Anda di halaman 1dari 30

RENCANA PENELITIAN TIM PENELITI

PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI


SAPI PERANAKAN ONGOLE

No. RPTP: 648720.1806.011.001.011.2015

Lukman Affandhy S.

LOKA PENELITIAN SAPI POTONG


PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PETERNAKAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN

2015
LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul RPTP : Peningkatan Efisiensi Reproduksi Sapi Peranakan Ongole


2. Unit Kerja : Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan/
Loka Penelitian Sapi Potong

3. Alamat Unit Kerja : Jln. Pahlawan No. 2 Grati Pasuruan Jawa Timur 67184
4. Sumber Dana : DIPA Loka Penelitian Sapi Potong, Grati Jawa Timur
TA 2015

5. Status Penelitian (L/B) : Baru (B)


6. Penanggung Jawab :
a. Nama : Drs. Lukman Affandhy.S
b. Pangkat/Golongan : Pembina Utama Madya/IV-d
c. Jabatan Fungsional : Peneliti Utama
7. Lokasi : Kab. Pasuruan Prov. Jawa Timur
8. Agroekosistem : -
9. Tahun Mulai : 2015
10. Tahun Selesai : 2019
11. Output Tahunan : a. Teknologi pengelolaan penampungan semen untuk
perbaikan libido calon pejantan sapi PO (1 teknologi).
b. Teknologi pembuatan cangkang kapsul sperma secara
invitro untuk menghasilkan paten (1 teknologi)
c. Teknologi pembuatan antigen test kit kebuntingan dini
protein B spesifik pada sapi PO induk guna ketepatan
diagnosa (1 teknologi).

12. Output Akhir : a. Teknologi peningkatkan efisiensi reproduksi sapi


potong (10 teknologi).
b. Prototipe kapsul sperma dan antigen test kebuntingan
dini pada sapi potong (2 prototipe)

13. Biaya : Rp179.610.000,00 (seratus tujuh puluh sembilan juta


enam ratus sepuluh ribu rupiah)

i
ii
RINGKASAN

Usaha perbibitan sapi potong nasional dapat dilakukan dengan cara mengoptimalkan
program intensifikasi kawin alam (INKA) dan atau inseminasi buatan (IB) guna menyediakan
bakalan sapi bibit berkualitas untuk usaha pembibitan atau penggemukan. Untuk
mengoptimalkan program perkawinan tersebut ditentukan oleh kemampuan sapi pejantan
atau sumber bibit semen dalam mengawini seekor sapi betina guna mencapai keberhasilan
kebuntingan, sehingga dapat meningkatkan efisiensi reproduksi sapi potong. Penelitian ini
bertujuan; 1) memperbaiki libido calon pejantan sapi PO melalui pengelolaan penampungan
semen, 2) memperoleh teknologi pembuatan cangkang kapsul sperma secara invitro untuk
menghasilkan paten, dan 3) memperoleh teknologi pembuatan antigen test kit kebuntingan
dini protein B spesifik pada sapi PO induk guna ketepatan diagnosa. Kegiatan penelitian
meliputi tiga sub kegiatan, yaitu 1) Perbaikan Libido dan Hormon Reproduksi Calon Pejantan
Sapi Peranakan Ongole (PO) Melalui Pengelolaan Penampungan Semen, 2) Optimalisasi
Efisiensi Reproduksi sapi PO induk dengan Inseminasi Buatan Menggunakan Kapsul Sperma,
dan 3) Pengembangan Tes Kit Deteksi Kebuntingan Dini pada Sapi PO Induk. Metode
penelitian Sub-Kegiatan 1; Materi penelitian menggunakan 40 ekor calon pejantan sapi
Peranakan Ongole (PO) pada umur 20-24 bulan; yang dibagi menjadi empat kelompok
kandang model Litbangtan (Rasyid et al., 2012). Penelitian ini menggunakan Rancangan
Acak Kelompok (RAK) berdasarkan bobot badan dengan dua perlakuan interval pelatihan
waktu penampungan semen berbeda, yaitu Perlakuan A interval pelatihan penampungan
semen setiap satu minggu sekali selama empat bulan dan Perlakuan B tidak melakukan
pelatihan penampungan semen. Kedua perlakuan dilakukan penampungan semen setiap
satu bulan sekali bersamaan dengan penimbangan/pengukuran bobot badan, dan skor
kondisi tubuh (SKT) dan ukuran linear tubuh (lingkar dada, tinggi badan dan panjang
badan). Masing-masing perlakuan terdiri atas empat kelompok kandang berdasarkan bobot
badan. Setiap kelompok kandang berisi 5 (lima) ekor sapi PO yang dikumpulkan dengan
sesama pejantan dalam ukuran luasan kandang 3-4 m2 per ekor sapi. Parameter meliputi:
bobot badan sapi, volume semen, kualitas semen dan tingkah laku reproduksi; Sub-
Kegiatan 2, meliputi tiga tahap, yaitu tahap 1 “Evaluasi daya hidup sperma pada
pengencer tris – kuning telur dengan kadar fruktosa berbeda”. Penelitian ini menggunakan
rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakukan perbedaan kadar fruktosa (1,0 g ;
1,5 g; 2,0 g dan 2,5 g) pada pengencer tris-kuning telur dalam semen segar dari pejantan
sapi PO yang memenuhi standar secara makroskopis dan atau mikroskopis. Semen yang
telah diencerkan kemudian diekuilibrasi selama 10 menit dan di bekukan selama 60 menit.
Semen beku dari empat perlakuan dilakukan thawing dan diuji mulai jam ke-0 dan
dilanjutkan setiap satu jam. Parameter yang diamati adalah daya hidup sperma setiap jam
mulai jam pertama hingga motilitas sperma 40% (standar motilitas untuk dibuat straw).
Data motilitas sperma tiap titik jam pengamatan di buat persamaan regresinya dan
dibandingkan antar perlakuan menggunakan RAL Splitplot in time dengan tiga perlakuan.
Tahap 2. Pengaruh cangkang kapsul alginat pada sistem reproduksi betina. Penelitian ini
menggunakan RAL dengan tiga taraf perlakuan berupa jumlah (mg) cangkang kapsul alginat
yang dimasukkan kedalam uterus sapi betina dan empat ulangan. Sebanyak 12 ekor betina
sapi PO yang sistem reproduksi normal dan tidak bunting dibagi menjadi tiga kelompok taraf

iii
perlakuan. Perlakukan pertama (P1) yaitu dengan dimasukkan bahan capsul alginat
sebanyak 1 (satu) kapsul. Perlakuan kedua (P2) dengan memasukkan 2 (dua) cangkang
kapsul dan Perlakuan tiga (P3) dengan memasukkan 3 (tiga) cangkang kapsul. Pemasukan
cangkang kapsul alginat dilakukan ketika estrus menggunakan gun IB yang telah di
modifikasi. Selanjutnya dilakukan pencampuran dengan pejantan selama enam bulan.
Parameter yang diamati adalah status ovariumnya selama satu siklus birahi setelah
dimasukkan cangkang kapsul alginat dan kejadian kebuntingan setelah dicampur dengan
pejantan. Data yang didapatkan di analisis menggunakan analisa sidik ragam untuk
mengetahui perbedaan respon tiga perlakuan tersebut. Tahap 3. Waktu luruh cangkang
alginat secara in vitro. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui waktu luruh yang
diperlukan cangkang alginat. Penelitian dilakukan dengan RAL menggunakan empat
perlakuan. Cangkang kapsul yung sudah mengeras dilakukan pengujian waktu luruh dengan
melakukan perendaman pada air dengan suhu 380C sesuai dengan suhu saluran reproduksi
betina. Waktu luruh dihitung sejak dimulai pencelupan sampai dengan larutnya semua
bagian cangkang kapsul. Sub-Kegiatan 3. Penelitian dilakukan di Kandang Percobaan dan
Laboratorium Reproduksi Loka Penelitian Sapi Potong dan aplikasi kit deteksi kebuntingan
dini di lapang selama 12 bulan dengan massa persiapan selama tiga bulan pada tahap
berikutnya (tahun 2017). Penelitian ini terdiri atas dua tahap, yaitu tahap pertama; (a)
Mengidentifikasi PSPB dengan menggunakan 30 ekor sapi induk yang dibagi menjadi tiga
kelompok dengan status fisiologis yang berbeda, yaitu Kelompok A (sapi bunting), Kelompok
B (sapi pasca partus), dan Kelompok C (tidak bunting sebagai kontrol). (b) Isolasi PSPB
untuk mendapatkan anti protein B (anti-PSPB), yaitu dengan menginjeksikan PSPB pada
kelinci secara intra-peritoneal 150 µg, kemudian dilakukan pengulangan pada minggu ketiga
100 µg. Serum darah diambil pada hari ke-0, minggu ke 2–5. Pengujian Anti PSPB dengan
Elisa Reader. Tahap kedua test kit kebuntingan di lapang untuk masing-masing perlakuan
sebanyak 30 ekor sapi induk yang baru dikawinkan pada tahun 2017. Data yang diamati
adalah kadar protein B spesifik (PSPB), anti PSPB, kondisi ovarium (follikuler /lutheal), dan
angka kebuntingan. Analisis data untuk penelitian sub-kegiatan 1, 2 dan 3 disusun
menggunakan Rancangan Acak Lengkap, Rancangan Acak Kelompok dan Splitplot
menggunakan ANOVA dan deskriptif.

Kata kunci : Sapi PO, Libido Pejantan, Kapsul Sperma, Diagnosa Kebuntingan.

iv
SUMMARY

Beef cattle breeding efforts could be done by optimizing the intensification of natural
mating and or artificial insemination (AI) in order to provide quality breeds of cattle for
breeding or fattening. To optimize the mating program is determined by the ability of bulls
or semen sources mating a cow in order to achieve a successful pregnancy and increase the
efficiency of beef cattle reproduction. This study aims: 1) to improve libido on PO bull
candidates trought different management of collecting semen, 2) to obtain sperm capsule
shell-making technology in vitro to produce cows, and 3) to obtaining antigen test kit
manufacturing technology of early pregnancy-specific protein B PO cow to accuracy of
diagnosis. Research activities include three sub-activities: 1) Improve Libido and Reprodctive
Hormones on Peranakan Ongole (PO) Bull Candidates Trought Different Management of
Collecting Semen, 2) Optimizing Reproductive Efficiency PO Cow With Artificial Insemination
Using Sperm Capsules, and 3) Development of Reproduction Test Kit to Detect Early
Pregnancy PO Cow. Sub-Activity Research Methods 1; This study used 40 heads of bull
candidate Peranakan Ongole (PO), at the age of 20-24 months; were divided into four
groups were pen "Litbangtan models” (Rashid et al., 2012). This study used a randomized
block design (RBD) with two treatment time interval training semen collected of different
items, namely Treatment A interval training every week for four months and Treatment B
did not training the collected semen. All treatments will be measured every monthly along
with weighing / measuring liveweight and body condition score (BCS) and linear body
measureed (girth, height and body length). Each treatment Consist of four replications
(groups). Each group pen Consist of five (5) PO bull collected with other male in the area of
the enclosure size 3-4 m2 per head of bull candidates. Parameters as follow : liveweight,
semen volume, semen quality and reproductive behavior. Sub-Activity 2, includes three
stages: stage 1 "Evaluation of sperm vitality at thinners tris-egg yolk with different levels of
fructose". This study used a completely randomized design (CRD) with four treatment
differences in the levels of fructose (1.0 g; 1.5 g; 2.0 g and 2.5 g) in tris-yolk diluent in fresh
semen from the PO bull that meet the standards are macroscopic or microscopic and semen
that has been diluted and then equilibrated for 10 minutes and freeze for 60 minutes.
Frozen semen of four treatments performed thawing and tested starting at 0 and continue
to every one hour. Parameters measured were sperm vitality every hour starting at first until
40% sperm motility (motility standards to be made of straw). Data motility of sperm per
hour observation point for the regression equation and compared between treatments using
CRD Splitplot in time with the three treatments. Stage 2. Effect of alginat capsule shells on
cow reproductive system. This study used a CRD with three levels of treatment in the form
of number (mg) shell alginat capsule inserted in the uterus of cows and four replications. A
total of 12 PO cows normal reproductive system and not pregnant were divided into three
groups of level of treatment. Treat the first (P1) is to put as much material alginate capsules
one (1) capsule. The second treatment (P2) by inserting two (2) capsule shell and treatment
three (P3) to include three (3) capsule shell. Entered shell alginat capsules made when
estrus using AI gun that has been modified. Further mixing and performed by bulls during
the six months. Parameters measured were about the status of her ovaries during the estrus
cycle after being put alginat capsule shell and the incidence of pregnancy after being mixed

v
with the bull. The data obtained were analyzed using analysis of variance to determine
differences in the response of the treatment level walkin. Stage 3. Time whole shell alginat
in vitro. This activity aims to determine the time required whole shell alginat with additive
and non-additive in the reproductive organs of cows. Additives are used to modify the whole
time alginate capsule shell is obtained from seaweed. Research conducted by CRD using
four treatments (100% alginat, alginat: 80:20 alginate, alginat: 60:40 alginate, and alginat:
alginate 50:50). Making of shell alginat capsules by mixing alginate liquid alginat and
alginate in accordance with the level of treatment the Reproduction Laboratory of Indinesian
Beef Cattle Research Station (IBCRS) capsule shell has hardened whole time testing by
immersion in water at a temperature of 38 oC according to the temperature of the cows
reproductive tract. Whole time is calculated from the beginning of immersion up to the
dissolution of all parts of the capsule shell. Sub-Activity 3. Research carried out in the
Housing Experiment and Laboratory Reproduction of IBCRS and application of early
pregnancy detection kit in the field for 12 months with a mass of three months in
preparation for the next stage (2017). This study consisted of two phases: Phase I: This
study consisted of two phases: the first phase; (a) Identify PSPB using 30 cows were divided
into three groups with different physiological status, namely Group A (pregnant cows),
Group B (cows after calving), and group C (not pregnant as a control). (b) Isolation PSPB to
get anti-protein B (anti PSPB), namely by injecting PSPB in rabbits by intra-peritoneal 150
µg, then be booster in the three week 100 µg, blood serum was taken on day 0, week 2-5.
Testing Anti PSPB with Elisa Reader. The second stage of the pregnancy test kit on farm
researh for each treatment were 30 cows mated in 2017. The data analyzed were the levels
of specific protein B, PSPB hormones, ovarian condition (follikuler/luteal) ,and pregnancy
rate. Data analysis for the study of sub - activities 1 , 2 and 3 were prepared using
completely randomized design, randomized block design and splitplot and descriptive.

Keyword: Ongole Crossing Cows, Libido of Bulls, Sperm Capsule, Pregnancy Diagnosis.

vi
Judul: Peningkatan Efisiensi Reproduksi Sapi Peranakan Ongole

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Usaha pembibitan sapi potong nasional di Indonesia dapat dilakukan dengan cara
mengoptimalkan program intensifikasi kawin alam (INKA) dan/atau inseminasi buatan (IB)
guna menyediakan bakalan sapi bibit berkualitas untuk usaha pembibitan atau
penggemukan. Sapi jantan muda hasil perkawinan IB dan kawin alam umumnya digunakan
sebagai sapi bakalan untuk penggemukan, namun keterbatasan pejantan di peternak juga
digunakan sebagai pejantan pemacek walaupun hasil turunannya kurang baik. Beberapa
usaha peternakan menggunakan F1 hasil persilangan sapi potong sebagai sumber semen
beku guna memenuhi permintaan pengguna di beberapa wilayah di Indonesia (Affandhy et
al., 2010). Diperlukan peningkatan efisiensi sapi potong induk maupun pejantannya, melalui
manipulasi teknologi reproduksi berkelanjutan dalam rangka memperbaiki libido pada calon
sapi pejantan, peningkatan fertilitas perkawinan IB/kawin alami dan penentuan diagnosa
kebuntingan secara dini guna menghasilkan pedet setiap tahun (menahun). Teknologi yang
akan diperoleh diharapkan dapat menunjang program Ditjen Peternakan dan Kesehatan
Hewan Kementerian Pertanian, serta dapat menyempurnakan program IB yang sedang
berjalan.

Untuk memperbaiki libido dan kualitas semen sapi jantan guna mendapatkan seekor
calon pejantan berkualitas diperlukan suatu proses seleksi dalam waktu yang lama. Seleksi
calon pejantan pada usaha pembibitan sapi potong dilakukan sejak pedet sampai menjadi
pejantan dewasa membutuhkan waktu lama. Diperlukan percepatan masa pubertas sapi
jantan guna mengurangi interval generasi dan meningkatkan keuntungan genetik melalui
manipulasi lingkungan dengan memanfaatkan kandang kelompok, yaitu dengan
mencampurkan sapi jantan dan betina atau sapi jantan pada rasio tertentu dengan harapan
dapat mempercepat pubertas dan peningkatan ferlitias sapi potong (Affandhy et al., 2014;
Efendy et al., 2014).

Beberapa kunci keberhasilan reproduksi pada sapi potong adalah faktor induk,
pejantan dan sistem pengelolaan perkawinan. Beberapa permasalahan yang sering terjadi
pada pejantan yang digunakan sebagai pemacek (perkawinan alami), diantaranya adalah

1
penurunan kualitas dan kuantitas semen serta rendahnya libido yang akan berdampak pada
rendahnya kualitas semen. Rendahnya kualitas semen berimbas pada turunnya angka
konsepsi. Sedangkan perkawinan yang menggunakan IB hingga saat ini masih konsisten
terutama di wilayah sentra-sentra IB di Pulau Jawa dan sebagaian Pulau Sumatera, Sulawesi
dan Kalimantan karena penerapan sistem perkawinan IB diyakini telah mengurangi biaya
perawatan sapi pejantan dan dapat meningkatkan mutu genetik; namun dalam
perkembangannya teknologi IB masih juga menimbulkan permasalahan yang kurang
menguntungkan bagi peternak antara lain tingginya service per conception (S/C) antara 1,6
– 2,4 dan rendahnya tingkat kebuntingan < 60 % (Affandhy at al., 2006; Pamungkas et al.,
2009). Salah satu gagalnya proses pembuahan terutama di tingkat peternak, karena
penentuan waktu IB tergantung pada kecepatan pelaporan peternak kepada akseptor dan
jeda waktu pelaporan sampai dengan akseptor datang ke peternak untuk melakukan IB
tidak dapat dipastikan. Kompleksnya permasalahan teknis di tingkat peternak ini menjadikan
waktu pelaksanaan IB pada level peternak tidak bisa dipastikan tepat saat ovulasi. Oleh
karena itu diperlukan suatu cara untuk mengoptimalkan IB dengan meningkatkan fertilisasi
sapi–sapi induk melalui manipulasi teknologi reproduksi menggunakan kapsul semen dengan
pengencer tertentu guna menangani permasalahan IB dan meningkatkan keberhasilan
kebuntingan sapi.

Permasalahan reproduksi pada sapi potong selain faktor perkawinan adalah


ditemukannya kendala dalam penanganan gangguan reproduksi yang umumnya disebabkan
belum tersedianya teknik deteksi birahi dan diagnoasa dini kebuntingan yang efektif, tepat
dan cepat. Ketepatan dalam mendeteksi estrus (birahi) dan mendiagnosa dini kebuntingan
dapat memperpendek waktu jarak beranak (calving interval). Pengamatan birahi
berdasarkan visual merupakan cara umum yang dilakukan oleh masyarakat, dan
pemeriksaan kebuntingan selama ini dilakukan dengan palpasi rektal pada usia kebuntingan
antara 60 s.d. 90 hari. Dimana teknik ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain
memerlukan waktu lama dan menimbulkan traumatis secara fisik pada embrio/foetus serta
dapat menjadi media penyebaran penyakit infeksius.

Identifikasi protein B spesifik dapat dilakukan untuk mendeteksi kebuntingan dini


pada sapi. Diagnosa kebuntingan dini pada sapi dapat dilakukan dengan mendeteksi
substansi spesifik seperti Pregnancy Specific Protein B (PSPB) yang terdapat di dalam darah
induk atau mendeteksi subtansi non spesifik yang ada di dalam darah, urine atau air susu

2
selama kebuntingan seperti progesterone, estrone sulphate (Hafez, 2000). Oleh karena itu
diperlukan teknologi mendeteksi kebuntingan dini dengan pengembangan keberadaan/kadar
protein B spesifik di dalam serum darah sapi induk.

1.2 Dasar Pertimbangan

Pembibitan sapi potong sebagai pemasok utama sapi bakalan dalam negeri sebagian besar
merupakan usaha peternakan rakyat dengan skala pemeliharaan kecil, sehingga
produktivitasnya belum memberikan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan yang
signifikan pada petani-peternak. Untuk meningkatan produktivitas sapi potong tersebut
dapat dilakukan dengan penyediaan sapi pejantan berkualitas dengan memilki profil libido
dan kualitas semen yang baik guna memperoleh keberhasilan kebuntingan. Hasil penelitian
calon pejantan sapi PO dengan pemberian pakan berkualitas menghasilkan pertambahan
bobot badan harian (PBBH) yang tinggi, tetapi libido masih kurang baik (Mariyono et al.,
2014). Keberhasilan terjadinya kebuntingan pada sapi betina salah satunya ditentukan oleh
kemampuan sapi pejantan dalam mengawini seekor sapi betina terutama pada program
kawin alami atau sapi pejantan digunakan sebagai detektor untuk sapi betina yang birahi
pada program IB. Tetapi tidak semua pejantan dapat dipergunakan sebagai detektor, hanya
pejantan-pejantan yang memiliki kemampuan mengawini induk dan berkopulasi serta
menghasilkan semen yang produktif. Keterbatasan jumlah pejantan unggul baik sebagai
pemacek ataupun sumber semen dapat menyebabkan panjangnya jarak beranak yang
selanjutnya berdampak pada rendahnya produktivitas induk sapi. Untuk itu diperlukan
teknologi peningkatan efisiensi reproduksi berupa manipulasi teknologi reproduksi sapi
potong dengan penyediaan calon pejantan yang berkualitas dan memanfaatkan teknologi
perkawinan menggunakan capsul sperma, dan kit untuk menentukan kebuntingan dini pada
sapi.

Beberapa kunci keberhasilan reproduksi pada sapi potong adalah faktor induk,
pejantan dan sistem pengelolaan perkawinan. Beberapa permasalahan yang sering muncul
pada pejantan, diantaranya adalah penurunan kualitas dan kuantitas semen serta
rendahnya libido yang akan berdampak pada rendahnya kualitas semen. Rendahnya kualitas
semen berimbas pada turunnya angka konsepsi ,yaitu conception rate rendah. Diperlukan
teknik untuk mempercepat umur pubertas untuk meningkatkan libido dan kualitas sapi-sapi
jantan muda dengan cara melatih perkawinan pada bobot badan dan waktu pengelompokan
yang optimal sehingga diperoleh calon pejantan sapi potong yang berkualitas.

3
Permasalahan lain yang masih ditemui di usaha peternakan peternak adalah
tingginya S/C dan rendahnya presentase kebuntingan. Beberapa nilai S/C yang pernah
dilaporkan di wilayah Jawa Timur pada sapi PO antara 2,0 – 2,2 (Affandhy et al., 2003;
Affandhy et al., 2011). Tingginya S/C menyebabkan peternak harus terbebani dengan
pemeliharaan betina kosong, sehingga selama satu siklus birahi (21 hari) akan menjadi fase
yang merugikan peternak. Rata-rata kerugian peternak untuk masa pemeliharaan selama
satu siklus birahi dari IB yang gagal adalah Rp. 210.000,- dan bila dibandingkan dengan
biaya IB Rp. 50.000 maka perbandingannya menjadi 4:1. Hal ini menunjukkan bahwa
inovasi teknologi IB meskipun berdampak pada biaya pelayanan IB hingga empat kali masih
akan efektif bagi peternak bila teknologi tersebut mampu menjadikan nilai S/C menjadi
satu. Oleh karena itu diperlukan teknik IB menggunakan kapsul sperma yang didahului
dengan penelitian pendahuluan berupa cara memasukkan beberapa kapsul dan pengaturan
waktu luruh cangkang kapsul alginat, diharapkan ketersediaan sperma segar dalam uterus
untuk membuahi sel telur akan semakin panjang. Bila kondisi ini berhasil maka akan
meningkatkan keberhasilan fertilisasi atau pembuahan yang diharapkan dapat memperkecil
S/C pada program IB hingga mendekati nilai satu.

Deteksi secara dini terhadap kejadian kebuntingan pada sapi induk akan
meningkatkan efisiensi reproduksi sapi induk. Sapi induk yang secara dini dapat diketahui
belum bunting, saat estrus berikutnya dapat segera dikawinkan kembali sehingga dapat
memperpendek masa kosong/keringnya. Sapi induk yang secara dini dapat diketahui telah
bunting, dapat segera dipelihara secara lebih baik untuk menghindari terjadinya kegagalan
kebuntingan. Performans reproduksi sapi pejantan dan sapi induk yang optimal, akan cepat
menghasilkan anak kembali, sehingga secara langsung akan sangat mendukung
peningkatan prodktivitas dan populasi sapi potong.

Deteksi kebuntingan merupakan suatu hal yang sangat penting dilakukan setelah
ternak dikawinkan. Secara umum, deteksi kebuntingan dini diperlukan dalam hal
mengindentifikasi ternak yang tidak bunting segera setelah perkawinan atau IB, sehingga
waktu produksi yang hilang karena infertilitas dapat ditekan dengan penanganan yang tepat
seperti ternak harus dijual atau diculling sehingga dapat menekan biaya pada breeding
program dan membantu manajemen ternak secara ekonomis (Rahmayuni, 2011). Terdapat
beberapa metode deteksi kebuntingan diantaranya: Non Return to Estrus (NR), eksplorasi
rektal, ultrasonografi, diagnosa imunologik, serta diagnosa kebuntingan berdasarkan

4
konsentrasi hormon. Salah satu identifikasi protein B spesifik yang dapat dilakukan untuk
mendeteksi kebuntingan dini pada sapi dalam darah sapi induk hingga hari ke 2-9 pasca
perkawinan induk (Aryogi et al., 2013) yang akan dikembangkan dalam ternak percobaan
untuk menghasilkan kit penentu kebuntingan dini pada sapi potong dengan melakukan
deteksi substansi spesifik seperti Pregnancy Specific Protein B (PSPB) yang terdapat di
dalam darah induk atau mendeteksi subtansi non spesifik yang ada di dalam darah selama
kebuntingan.

5
II. TUJUAN DAN KELUARAN

2.1 Tujuan

2.1.1 Tujuan Tahunan

a. Memperbaiki libido calon pejantan sapi PO melalui pengelolaan penampungan


semen.
b. Memperoleh teknologi pembuatan cangkang kapsul sperma secara invitro untuk
menghasilkan paten.
c. Memperoleh teknologi pembuatan antigen test Kit kebuntingan dini protein B
spesifik pada sapi induk.

2.1.2 Tujuan Jangka Panjang

a. Memperoleh teknologi peningkatkan efisiensi reproduksi sapi potong (10


teknologi).
b. Menghasilkan kapsul sperma dan antigen test kebuntingan pada sapi potong (2
prototipe).

2.2 Keluaran Yang Diharapkan

2.2.1 Keluaran Tahunan

a. Pengelolaan penampungan semen untuk perbaikan libido calon pejantan sapi PO


(1 teknologi).
b. Teknologi pembuatan cangkang kapsul sperma secara invitro untuk
menghasilkan paten (1 teknologi)
c. Teknologi pembuatan antigen test Kit kebuntingan dini protein B spesifik pada
sapi PO induk (1 teknologi).

2.2.2 Keluaran Jangka Panjang

a. Teknologi peningkatkan efisiensi reproduksi sapi potong (10 teknologi).


b. Prototipe kapsul sperma dan antigen tes kit kebuntingan pada sapi potong (2
prototipe)

6
2.3 Perkiraan Manfaat dan Dampak dari Kegiatan yang Dirancang

Perbaikan pengelolaan dan peningkatan efisiensi reproduksi dengan memanfaatkan


teknologi reproduksi pada sapi potong melalui pengelilaan pelatihan penampungan semen
berdasarkan pengelompokan bobot badan calon pejantan untuk meningkatkan libido dan
kualitas semen berkualitas, kapsulisasi sperma pada semen sapi dan diagnosa kebuntingan
dini pada sapi potong diharapkan mampu meningkatkan efisiensi reproduksi sapi potong
disamping dapat menekan biaya produksi yang akhirnya berdampak terhadap peningkatan
produktivutas sapi potong dan pendapatan dan atau kesejahteraan peternak.

7
III. TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Kerangka Teoritis

Populasi ternak sapi potong dalam negeri masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan
daging nasional. Untuk memenuhi kebutuhan daging nasional tersebut masih diperlukan
impor daging dan ternak potong bakalan. Rendahnya populasi ternak potong dalam negeri
disebabkan oleh rendahnya reproduktivitas induk seperti kawin berulang, angka
kebuntingan yang rendah dan panjangnya calving interval. Manajemen induk dan pejantan
yang baik sangat diperlukan salah satunya dengan meningkatkan performans reproduksi
dengan cara perbaikan perbaikan manajemen perkawinan baik IB atau alami dengan
memanfaatkan teknologi reproduksi pada sapi potong berupa teknologi pengelolaan
penampungan semen calon pejantan yang berkualitas, kapsulisasi sperma pada semen sapi
dan deteksi kebuntingan dini pada sapi potong diharapkan akan mengoptimalkan efisisensi
reproduksi sapi potong antara lain peningkatan libido dan kualitas semen pejantan, fertilitas
sapi induk yang akhirnya sapi-sapi induk dapat menghasilkan satu pedet setiap tahun.

3.2 Hasil-Hasil Penelitian Terkait

Penelitian perbaikan pengelolaan pejantan sapi potong di PTPN 6 Jambi menunjukkan


bahwa pemberian pakan yang berbasis limbah sawit dengan level protein yang optimal pada
sapi jantan, dapat meningkatkan kualitas semen dan perkembangan tubuh ternaknya
(Ratnawati et al., 2013). Demikian pula untuk mempercepat masa pubertas sapi jantan
guna mengurangi interval generasi dan meningkatkan keuntungan genetik melalui
manipulasi lingkungan dengan memanfaatkan kandang kelompok, yaitu dengan
mencampurkan sapi jantan dan betina atau sapi jantan pada rasio tertentu dengan harapan
dapat mempercepat pubertas dan peningkatan ferlitias sapi potong (Affandhy et al., 2014;
Efendy et al., 2014). Dengan mengkelompokkan sapi-sapi jantan muda diharapkan adanya
rangsangan pada hipothalamus untuk memproduksi Gonadrotopin Realising Hormone
(GnRH), hormon tersebut akan merangsang adenohipofisa untuk menghasilkan Follikel
Stimulating Hormone (FSH) dan pada saat itu diproduksi testosteron oleh testis. Regulasi
hormon-hormon tersebut menyebabkan terjadinya pubertas. Schanbacher (1979)
menyatakan bahwa terdapat keterkaitan proses spermatogenesis pada sapi jantan dengan
peningkatan konsentrasi testosteron dalam serum darah. Adanya ikatan spesifik Luteinizing
Hormone (LH) dan FSH pada reseptor masing – masing dalam jaringan interstisial dan

8
tubuliseminiferi, menunjukkan adanya interaksi testis dengan gonadotropin pada pedet
jantan. Sehingga peningkatan kadar hormon testosteron dalam serum darah merupakan
perubahan hormon yang paling nyata selama proses dewasa kelamin pada pedet jantan
(Rawlings et al., 1972; McCarthy et al., 1979). Hormon testosteron adalah hormon kelamin
jantan yang dihasilkan oleh testis dan biasa disebut dengan androgen. Fungsi testosteron
disamping dapat meningkatkan libido, juga berpengaruh terhadap kesanggupan ternak
jantan untuk ereksi dan ejakulasi. Libido berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas
semen, sedangkan libido itu sendiri dipengaruhi oleh sekresi hormon testosteron yang
dihasilkan oleh testis (Toelihere, 1995).

Kebuntingan adalah suatu periode sejak terjadinya fertilisasi sampai terjadi kelahiran
(Frandson, 1992). Kebuntingan merupakan keadaan di mana anak sedang berkembang
dalam uterus seekor hewan betina (Ilawati, 2009). Salisbury dan Van Demark (1985)
mengatakan, selama kebuntingan terjadi pertumbuhan dan perkembangan individu baru
yang merupakan hasil dari perbanyakan, pertumbuhan, perubahan susunan dan fungsi sel,
bertambahnya volume dan sirkulasi darah kelenjer uterus sehingga tumbuh membesar dan
berkelok–kelok serta infiltrasi sel darah putih yang mempersiapkan saluran reproduksi betina
untuk kebuntingan. Namun untuk mencapai kebuntingan yang tinggi diperlukan teknologi
pengelolaan reproduksi yang optimal antara lain dengan memperbaiki pola atau cara
perkawinan IB atau alami melaui beberapa metode antara lain perbaikan kualitas pejantan,
kapsulisasi sperma IB maupun test kebuntingan secara dini guna memperpendek jarak
beranak induk dan menghasil pedet setiap tahun.

Banyak faktor yang menjadi penyebab kegagalan IB di tingkat peternak. Ketidak


tepatan waktu pelaksanaan IB disinyalir merupakan faktor dominan yang mengakibatkan
gagalnya proses pembuahan. Toelihere (1995) menyataka bahwa saat terjadinya ovulasi
berlangsung secara spontan dengan rataan waktu 10 jam setelah fase estrus dimulai,
sedangkan pada sapi dara bisa 5 jam lebih cepat dari sapi induk dewasa. Hal ini menjadikan
bias waktu yang tepat untuk pelaksanaan IB menjadi lebar. Pada di tingkat peternak,
penentuan waktu IB tergantung pada kecepatan pelaporan peternak kepada akseptor dan
jeda waktu pelaporan sampai dengan akseptor datang ke peternak untuk melakukan IB
tidak dapat dipastikan. Kompleksnya permasalahan teknis di tingkat peternak ini menjadikan
waktu pelaksanaan IB pada level peternak tidak bisa dipastikan tepat saat ovulasi.
Panjangnya waktu untuk melakukan IB sehingga sperma segar dapat segera membuahi sel

9
telur yang telah siap di tuba falopi ternyata tidak sebanding dengan daya tahan sperma
dalam saluran pencernaan betina yang rata-rata 4 jam setelah IB. Dilain pihak Nurcholidah
dan Kune (2004) menyatakan bahwa daya hidup sperma (motilitas >40%) dalam larutan
sitrat-kuning telur bisa mencapai 4 hari. Hal ini membuka peluang bahwa daya tahan
sperma dalam larutan sitrat-kuning telur sebagai sumber energi bagi sperma untuk bertahan
hidup bisa mencapai 4 hari dalam saluran reproduksi betina dengan catatan masih dalam
larutan sitrat-kuning telur. Dengan demikian bila kita mampu mengkondisikan sitrat-kuning
telur tetap menyatu dalam uterus maka daya hidup sperma dalam uterus akan lebih
panjang, dan efeknya waktu pembuahan dapat diperlebar.

Identifikasi protein B spesifik dapat dilakukan untuk mendeteksi kebuntingan dini


pada sapi. Deteksi kebuntingan dini pada sapi dapat dilakukan dengan mendeteksi substansi
spesifik seperti Pregnancy Specific Protein B (PSPB) yang terdapat di dalam darah induk
atau mendeteksi subtansi non spesifik yang ada di dalam darah, urine atau air susu selama
kebuntingan seperti progesterone, estrone sulphate (Hafez and Hafez, 2000). Pregnancy
Specific Protein B (PSPB) adalah protein pertama yang diisolasi dari membran ekstra
embrionik sapi, dan pertama kali ditemukan dalam serum sapi bunting umur 21-24 hari
(Sasser et al., 1996; Giordano et al., 2012). Namun hasil penelitian Aryogi et al., 2013
menunjukkan bahwa pada umur kebuntingan 2 hari, keberadaan/kadar protein B sudah
dapat di deteksi. Kadar protein B ini tampak semakin tinggi dan mencapai puncaknya di
kebuntingan sekitar 16 hari, kemudian cenderung menurun di umur kebuntingan sekitar 30
hari. Samik (2010) melaporkan bahwa pregnancy spesifik protein B spesifik merupakan
protein khusus yang dapat ditemukan pada peredaran darah maternal selama terjadi
kebuntingan, mulai umur kebuntingan 7 hari dan menghilang menjelang partus.

Deteksi kebuntingan dini pada ternak sangat penting bagi sebuah manajemen
reproduksi, diperlukan dalam hal mengidentifikasi ternak yang tidak segera bunting setelah
perkawinan, sebagai pertimbangan apabila ternak akan di culling, dan membantu
manajemen ternak yang ekonomis (Jainudeen dan Hafez, 2000).

10
IV. METODOLOGI

4.1 Pendekatan (Kerangka Pemikiran)

Kegiatan penelitian peningkatan reproduksi sapi potong melalui peningkatan efisiensi


reproduksi sapi pejantan dan induk dengan memanfaatkan teknologi reproduksi
berkelanjutan terdiri atas tiga pendekatan, yaitu:
a. Sub kegiatan penelitian pertama dilakukan dalam rangka memperbaiki libido calon
pejantan sapi PO dengan mengoptimalkan libido dan kulaitas semen calon jantan muda
yang akan dijadikan sebagai pemacek melalui interval pelatihan penampungan semen
berbeda, sehingga akan menstimulus hormon testosteron dan LH yang akhirnya akan
menghasilkan performa reproduksi sapi pejantan yang berkualitas;
b. Sub Kegiatan penelitian kedua dilakukan di Laboratorium Loka Penelitian Sapi Potong
selama 12 bulan dengan masa persiapan selama dua bulan. Tahap I kegiatan untuk
mengevaluasi daya hidup sperma menggunakan pengencer tris sitrat-kuning dengan
berbagai tingkat fruktosa. Tahap 2 untuk mengetahui pengaruh cangkang kapsul alginat
terhadap saluran reproduksi betina sapi PO, dan tahap 3 untuk mengetahui waktu luruh
yang diperlukan cangkang alginat di organ reproduksi sapi betina secara in vitro;
c. Sub kegiatan penelitian ketiga ini dilakukan di kandang Loka Penelitian Sapi Potong
dengan membuat kit deteksi kebuntingan dini dengan mengindentifikasi keberadaan
protein B spesifik, yang berasal dari sapi bunting pada umur kebuntingan sesuai dengan
rekomendasi hasil penelitian 2013. Substansi protein B Spesifik dari serum darah sapi
dengan beberapa waktu pengambilan pasca perkawinan berbeda, diisolasikan ke hewan
percobaan kelinci guna menghasilkan anti protein B spesifik dengan metode Elisa
Reader. Penelitian ini akan menghasilkan kit test kebuntingan dini berbasis protein B
spesifik (PSPB) pada sapi PO.

4.2 Ruang Lingkup Kegiatan

Penelitian ini terdiri atas tiga sub-kegiatan, yaitu :


a. Perbaikan Libido dan Hormon Reproduksi Calon Pejantan Sapi Peranakan Ongole (PO)
Melalui Pengelolaan Penampungan Semen.
b. Optimalisasi Efisiensi Reproduksi Sapi PO induk dengan Inseminasi Buatan
Menggunakan Kapsul Sperma.
c. Pengembangan Tes Kit untuk Deteksi Kebuntingan Dini pada Sapi PO Induk.

11
4.2.1 Persiapan

Persiapan dilakukan meliputi penelusuran pustaka, pembuatan TOR dan RAB serta
pembahasan proposal/RPTP/ROPP. Persiapan juga meliputi koordinasi antar anggota tim
penelitian dan koordinasi dengan pihak/instansi terkait lainnya, guna penyampaian rencana
penelitian; inventarisasi dan penyiapan sapi materi penelitian, sarana dan prasarana lain
yang dibutuhkan (bahan pakan, hormon/obat, peralatan kandang, dan tenaga lapang);
serta menyusunan jadwal pelaksanaan penelitian.

4.2.2 Pelaksanaan Teknis

Subkegiatan 1: Perbaikan Libido dan Hormon Reproduksi Calon Pejantan Sapi


Peranakan Ongole (PO) Melalui Pengelolaan Penampungan
Semen

Penelitian dilakukan di Kandang Percobaan Loka Penelitian Sapi Potong (Lolitsapi), dengan
pengelompokan sapi yang dilakukan awal penelitian pada umur kisaran 20-24 bulan dan
skor kondisi tubuh (SKT) sapi seragam. Pemberian pakan pada semua kelompok sapi
penelitian mengandung komposisi zat nutrisi yang sama dan tersedia secara kontinyu
selama penelitian. Pengelompokan sapi berdasarkan bobot badan pada kisaran 175-320 kg
untuk semua perlakuan dengan skor kondisi tubuh (SKT) seragam. Pengambilan data
tingkah laku reproduksi dan penampungan semen, SKT, bobot badan serta konsumsi pakan
(bahan kering dan protein kasar) dilakukan bersamaan dengan penampungan semen.

Subkegiatan 2: Optimalisasi Efisiensi Reproduksi Sapi PO Induk dengan


Inseminasi Buatan Menggunakan Kapsul Sperma

Penelitian dilakukan di Laboratorium LOLITSAPI, meliputi tiga tahap, yaitu (i) evaluasi daya
tahan hidup sperma menggunakan pengencer tris – kuning telur dengan kadar fruktosa
berbeda, (ii) evaluasi pengaruh cangkang kapsul terhadap sistem reproduksi sapi betina (iii)
evaluasi waktu luruh cangkang alginat pada saluran reproduksi sapi betina secara invitro.

Subkegiatan 3: Pengembangan Tes Kit Kebuntingan Dini Berbasis Protein B


Spesifik pada Sapi PO Induk

Pada kegiatan ini dilakukan sampling darah dari induk-induk dengan umur kebuntingan
tertentu untuk pembuatan kit yang dapat digunakan mendeteksi kebuntingan dini pada
induk.

12
Teknik pelaksanaan penelitian pembutan kit deteksi kebuntingan dini terdiri atas dua
tahapan; tahap pertama yaitu Identifikasi Protein B Spesifik (PSPB) pada sapi PO induk
dengan beberapa status fisiologis kemudian mengisolasikan PSPB yang didapat dari sapi PO
bunting di hewan percobaan untuk mendapatkan anti-PSPB.

Tahap kedua implementasi kit terhadap sapi-sapi induk pasca perkawinan IB atau
alam di stasiun dan atau on farm (peternak) dengan cara melakukan pengambilan darah
sapi dan diberi antigen kit kebuntingan. Kegiatan tahap kedua ini akan dilaksanakan pada
tahun anggaran 2017.

4.2.3 Pelaporan

Pelaporan pelaksanaan penelitian dilakukan setiap bulan, triwulan, tengah tahun dan akhir
tahun.

4.3 Bahan dan Metode Pelaksanaan Kegiatan

Subkegiatan 1: Perbaikan Libido dan Hormon Reproduksi Calon Pejantan Sapi


Peranakan Ongole (PO) Melalui Pengelolaan Penampungan
Semen

Penelitian dilakukan di Kandang Percobaan Lolitsapi selama empat bulan dengan masa
persiapan dan laporan selama delapan bulan.

Materi penelitian menggunakan 40 ekor calon pejantan sapi Peranakan Ongole (PO)
pada umur 20-24 bulan; yang dibagi menjadi empat kelompok kandang model Litbangtan
(Rasyid et al., 2012). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
berdasarkan bobot badan dengan dua perlakuan interval pelatihan waktu penampungan
semen berbeda, yaitu Perlakuan A interval pelatihan penampungan semen setiap satu
minggu sekali selama empat bulan dan Perlakuan B tidak melakukan pelatihan
penampungan semen. Kedua perlakuan dilakukan penampungan semen setiap satu bulan
sekali bersamaan dengan penimbangan/pengukuran bobot badan, dan skor kondisi tubuh
(SKT) dan ukuran linear tubuh (lingkar dada, tinggi badan dan panjang badan). Masing-
masing perlakuan terdiri atas empat kelompok kandang berdasarkan bobot badan. Setiap
kelompok kandang berisi 5 (lima) ekor sapi PO yang dikumpulkan dengan sesama pejantan
dalam ukuran luasan kandang 3-4 m2 per ekor sapi.

13
Pembatas kandang antar kelompok perlakuan diberikan sekat pagar bambu. Pakan
yang diberikan pada semua perlakuan berupa pakan standar di Loka Penelitian Sapi Potong;
dengan kandungan protein kasar ≥11%.
Parameter yang daiamati meliputi bobot badan, SKT, volume semen, kualitas semen
(mortilitas, gerakan massa, konsentrasi sperma, motilitas individu, pH, dan abnormalitas
sperma) dan tingkah laku libido (mounting, penciuman, dan pengejaran) serta konsentrasi
hormon testosteron dan Luteinizing Hormone (LH). Cara pengukuran tingkah libido
menggunakan sistem statistik non-parametik, yaitu nilai +++ mencium, mounting (menaiki
sesama pejantan), dan pengejaran, ++ mencium, dan pengejaran, + mencium, dan – tidak
ada respon tingkah laku libido.

Subkegiatan 2: Optimalisasi Efisiensi Reproduksi Sapi PO Induk dengan


Inseminasi Buatan Menggunakan Kapsul Sperma
Penelitian dilakukan di Laboratorium Loka Penelitian Sapi Potong selama 12 bulan dengan
masa persiapan selama tiga bulan.

Penelitian dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut:

Tahap 1. Evaluasi daya hidup sperma pada pengencer tris – kuning telur dengan kadar
fruktosa berbeda.

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan empat perlakukan


berupa perbedaan kadar fruktosa (1 g, 1,5 g, 2 g dan 2,5 g) pada pengencer tris-kuning
telur. Semen sapi ditampung menggunakan vagina buatan dan dievaluasi secara
makroskopis dan mikroskopis. Semen yang memenuhi standar kemudian dibagi menjadi
empat bagian dan diencerkan menggunakan pengencer tris-kuning telur dengan empat
tingkat kadar fruktosa. Semen yang telah diencerkan kemudian diekuilibrasi selama 10
menit dan di bekukan selama 60 menit. Semen beku dari empat perlakuan dilakukan
thawing dan diuji mulai jam ke 0 dan dilanjutkan setiap satu jam.

Parameter yang diamati adalah daya hidup sperma setiap jam mulai jam pertama
hingga motilitas sperma 40% (standar motilitas untuk dibuat straw). Data motilitas sperma
tiap titik jam pengamatan di buat persamaan regresinya dan dibandingkan antar perlakuan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Splitplot in time dengan tiga perlakuan.

Tahap 2. Pengaruh cangkang kapsul alginat pada sistem reproduksi betina.

Penelitian ini menggunakan RAL dengan tiga taraf perlakuan berupa jumlah (mg)
cangkang kapsul alginat yang dimasukkan dalam uterus sapi betina dan empat ulangan.

14
Sebanyak 12 ekor sapi PO betina yang telah diperiksa oleh Asisten Tenaga Reproduksi (ATR)
untuk memastikan kenormalan sistem reproduksinya dan tidak bunting dibagi menjadi tiga
kelompok taraf perlakuan. Perlakukan pertama (P1) yaitu dengan dimasukkan bahan capsul
alginat sebanyak 1 (satu) kapsul. Perlakuan kedua (P2) dengan memasukkan 2 (dua)
cangkang kapsul dan Perlakuan tiga (P3) dengan memasukkan 3 (tiga) cangkang kapsul.
Pemasukan cangkang kapsul alginat dilakukan ketika estrus menggunakan gun IB yang
telah di modifikasi. Selanjutnya dan dilakukan pencampuran dengan pejantan selama enam
bulan.

Parameter yang diamati adalah mengenai status ovariumnya selama satu siklus
birahi setelah dimasukkan cangkang kapsul alginat dan kejadian kebuntingan setelah
dicampur dengan pejantan. Data yang didapatkan di analisis menggunakan analisa sidik
ragam untuk mengetahui perbedaan respon dari tiga taraf perlakuan tersebut.

Tahap 3. Waktu luruh cangkang alginat secara in vitro.

Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui waktu luruh yang diperlukan cangkang
alginat Pembuatan cangkang kapsul alginat di Laboratorium Reproduksi Lolitsapi. Cangkang
kapsul yung sudah mengeras dilakukan pengujian waktu luruh dengan melakukan
perendaman pada air dengan suhu 380C sesuai dengan suhu saluran reproduksi betina.
Waktu luruh dihitung sejak dimulai pencelupan sampai dengan larutnya semua bagian
cangkang kapsul.

Subkegiatan 3: Pengembangan Tes Kit Kebuntingan Dini Berbasis Protein B


Spesifik pada Sapi PO Induk

Penelitian mengidentifikasi dan isolasi PSPB dilakukan di Kandang Percobaan dan


Laboratorium Reproduksi Lolitsapi dan aplikasi kit deteksi kebuntingan dini di lapang selama
12 bulan dengan masa persiapan selama tiga bulan pada tahap berikutnya (tahun 2017).
Adapun perlakuan penelitian ini terdiri atas dua tahap, yaitu :

Tahap 1:

a. Identifikasi Protein B Spesifik pada Sapi Induk

Tiga puluh ekor sapi induk dibagi menjadi tiga kelompok yaitu Kelompok A (pengambilan
serum darah pasca kawin), Kelompok B (pengambilan serum darah pasca partus), dan
Kelompok C (pengambilan serum darah sapi yang tidak bunting sebagai kontrol).

15
Kelompok A terdiri dari 10 ekor Sapi PO induk yang dipelihara di kandang kelompok
dan dicampur dengan sapi pejantan sebagai pemacek (INKA) agar terjadi perkawinan dan
kebuntingan. Setiap sapi induk yang sudah kawin diambil sampel darahnya pada hari ke 2,
7, 14, 21, dan 28. Kelompok B terdiri dari 10 ekor sapi PO induk pasca melahirkan dipelihara
dikandang individu dan diambil darahnya pada hari ke-0 (saat partus), minggu ke 1, 2, 4,
dan 8; dan kelompok C terdiri dari 10 ekor sapi induk tidak bunting dipelihara dikandang
kelompok dan tidak dikawinkan dengan pejantan. Sampel darah dari beberapa status
fisiologis diambil dan dianalisis dengan metode ELISA Reader (Gabor et al., 2007) untuk
mengetahui kadar PSPB.

b. Isolasi Protein B Spesifik (PSPB)

Serum darah yang mengandung PSPB diisolasikan pada hewan percobaan (kelinci), dengan
menginjeksikan serum PSPB pada kelinci secara intra-peritoneal sebanyak 150 µg. Kemudian
dilakukan pengulangan penyuntikan PSPB pada minggu ketiga sebanyak 100 µg. Sampel
darah diambil dari masing – masing kelinci sebanyak 2 – 4 ml pada hari ke 0 (sebelum
penyuntikan) sebagai kontrol, minggu ke 2 – 5 melalui vena auricularis untuk dianalisis titer
antibodi terhadap PSPB dengan menggunakan ELISA.
Pengujian Anti-PSPB dengan metode ELISA indirect (Rantam, 2003), Anti-PSPB yang
didapat nantinya digunakan untuk bahan diagnostik kebuntingan sapi dipstick berdasarkan
reaksi ELISA Reader (antibodi penangkap antigen). Tahap ini akan dilanjutkan pada tahun
berikutnya, sample serum darah yang mengandung kadar PSPB tertinggi disimpan di freezer
untuk dianalisis.

Tahap 2 :

Tahap kedua test kit kebuntingan di lapang/on farm untuk masing-masing perlakuan
sebanyak 30 ekor sapi induk yang baru dikawinkan pada tahun 2017.

Data yang diamati adalah kadar protein B spesifik (PSPB), anti PSPB, kondisi ovarium
(follikuler/lutheal), dan angka kebuntingan. Data dianalisis secara Rancangan acak
Kelompok (RAK) nested status fisiologis dan deskriptif.

16
V. ANALISIS RISIKO

5.1 Daftar Risiko

No. Resiko Penyebab Dampak


1. Faktor genetik dan ketika ditampung tidak Semen sapi calon pejantan
nutrisi pemberian bisa menaiki ternak tidak bisa diperoleh
pakan berfluktuasi pemancing

2. Alginat yang digunakan Karena merupakan benda Keguguran atau mandul


untuk kapsul sperma asing bagi kondisi ovarium
bisa berpengaruh sapi betina
terhadap
keabnormalan ovarium

3. Kit hormon tidak Produsen masih dalam Darah tidak dapat dianalisis
tersedia (stock habis) proses impor kit dari luar
negeri

5.2 Daftar Penanganan Risiko

No. Resiko Penyebab Penanganan


1. Faktor genetik dan ketika ditampung tidak Seleksi calon pejantan yang
nutrisi pemberian bisa menaiki ternak benar dan kontinu pemberian
pakan berfluktuasi pemancing pakan yang berkualitas

2. Alginat yang digunakan karena merupakan benda Perlu adanya percobaan


untuk kapsul sperma asing bagi kondisi ovarium berulang-ulang dan kondisi
bisa berpengaruh sapi betina sapi betina harus benar-benar
terhadap normal
keabnormalan ovarium

3. Kit hormon tidak Produsen masih dalam Perlu koordinasi dengan pihak
tersedia (stock habis) proses impor kit dari luar analisator dan pemesanan kit
negeri jauh-jauh sebelum waktu
analisis

17
VI. TENAGA DAN ORGANISASI PELAKSANA

6.1 Tenaga yang Terlibat dalam Kegiatan

Pendidikan/ Waktu
No. Nama Disiplin Ilmu Tugas
Jab. Fungsional OB
1. Lukman Affandhy S1/Peneliti Utama Fis. dan Reproduksi Pen. Jab. 5
2. Aryogi S3/Peneliti Madya Gen. & Pemuliaan Anggota 3
3. Tri Agus Sulistya S1/Peneliti Pertama Nutrisi dan Pakan Anggota 3
4. Dian Ratnawati S1/Peneliti Pertama Gen. & Pemuliaan Anggota 3
5. Yeni Widyaningrum S1/Peneliti Pertama Fis. dan Reproduksi Anggota 3

6.2 Jangka Waktu Kegiatan

Bulan
Kegiatan
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12
1. Persiapan
2. Pelaksanaan
3. Pengolahan data
4. Pelaporan

6.3 Pembiayaan

Harga Jumlah
No. Uraian Volume
(Rp) (Rp)
1. Belanja Bahan 3.916.000
- Biaya fotokopi, penjilidan, 1,00 KALI 556.000 556.000
dokumentasi dll.
- Snack Rapat Biasa Jawa Timur (20 24O,00 OK 14.000 3.360.000
ORG X 12 kali)
2. Honor Output Kegiatan 3.800.000
- Honorarium Sekretariat 76,00 OH 50.000 3.800.000
Peneliti/Perekayasaan (1 ORG x 76
hari)
3. Belanja Barang Non Operasional 58.480.000
Lainnya
- Analisis hormon, jasa perbaikan 2,00 KEG 29.240.000 58.480.000
kandang dll.
4. Belanja Barang Untuk Persediaan 4.284.000
Barang Konsumsi
- ATK, bahan komputer, bahan cetakan 4,00 KALI 1.071.000 4.284.000
dlll
5. Belanja Barang Persediaan Lainnya 40.520.000

18
Harga Jumlah
No. Uraian Volume
(Rp) (Rp)
- pakan, obat-obatan ternak, peralatan 1,00 KEG 40.520.000 40.520.000
kandang dll.
6. Belanja perjalanan biasa 60.000.000
- Dalam rangka persiapan, 60,00 OH 1.000.000 60.000.000
pelaksanaan, dan pelaporan
7. Belanja Perjalanan Dinas Paket meeting 8.610.000
Luar Kota
- Paket Meeting Jakarta/Jawa Barat 10,00 OP 861.000 8.610.000

Jumlah 179.610.000

19
DAFTAR PUSTAKA

Affandhy, L. A. Rasyid dan N.H. Krishna. 2010. Pengaruh pembatasan menyusupedet sapi
potong terhadap kinerja reproduksi induk pasca beranak: studi kasus pada sapi
induk PO di usaha ternak rakyat kab. pati jawa tengah Pros. Sem .Nas. Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak. Bogor.
Affandhy, L., DM Dikman, T Wahyudi, DB Cahyono, DE Mayberry, G Fordyce and DP Poppi.
2011. Reproductive Performance of Ongole Cows in Indonesian villages. Proceeding
of Northern Australia Beef Research Update Conference. Holday Inn Esplanade,
darwin, 3-4 August, 2011. Published by the North Australia Beff Researh Council, PO
BOX 846, Park Ridge Q 4125.Australia. 111.
Affandhy, L., P. Situmorang, P.W. Prihandini dan D.B. Wijono. 2003. Performans reproduksi
dan pengelolaan sapi potong induk pada kondisi peternakan rakyat. Pros. Sem. Nas.
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslibangnak, Bogor:37-42.
Affandhy, L., P. Situmorang, W.C. Pratiwi dan D. Pamungkas. 2006. Performnas Reproduksi
Sapi PO Induk pada Pola Perkawinan Berbeda dalam Usaha Peternakan Rakyat:
Sutudi Kasus di Kab. Blora dan Pasuruan. Pros. Sem .Nas. Teknologi Peternakan dan
Veteriner. Puslitbangnak. Bogor. 5-6 September, 2006: 31-37.
Affandhy, L., P. W. Prihandini, D. Ratnawi, T.A. Sulistya, Y. Widyaningrum dan Y. Adinata.
2014. Percepatan Pubertas Sapi PO Jantan Muda Dengan Menggunakan Model
Kandang Berbeda. Laporan Akhir Loka Penelitian Sapi Potong.
Aryogi. 2013. Laporan Akhir Diagnose Kebuntingan Dini Sapi Induk Melalui Identifikasi
Protein B Spesifik. Loka Penelitian Sapi Potong. Pasuruan.
Efendy, J., L. Affandhy, D. Ratnawi, Y. Widyaningrum dan Y.N. Anggraeni. 2014. Rasio Sapi
Pejantan dan Betina pada Kandang Kelompok “Model Litbangtan” terhadap
Performans Reproduksi Induk Sapi Potong. Laporan Akhir Loka Penelitian Sapi
Potong.
Frandson. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Giordano, J.O., J N Guenther, G Lopes, P M Fricke. 2012. Changes in serum pregnancy-
associated glycoprotein, pregnancy-specific protein B, and progesterone
concentrations before and after induction of pregnancy loss in lactating dairy cows.
Journal of dairy science (2012) . Volume: 95, Issue: 2, Publisher: Elsevier, Pages:
683-97.
Hafez, E.S.E and B. Hafez. 2000. Reproductive Cycle. In : Reproduction in Farm Animals. 7 th
Edition. E.S.E. Hafez and B. Hafez (Eds). Lippincott Williams & Wilkins. New York. 61-
62.

20
Illawati, R. W. 2009. Efektifitas penggunaan berbagai volume asam sulfat pekat (H2SO4)
untuk menguji kandungan estrogen dalam urine sapi Brahman Cross bunting. Skripsi.
Sekolah Tinggi Peternakan. Sijunjung.
Jainudeen, M.R. and E.S.E. Hafez. 2000. Pregnancy Diagnosis, dalam Hafez, E.S.E and
Hafez, B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7ed. Lippincott Williams and Wilkins.
Philadelphia.
Mariyono, A. Rasyid, Y.N. Angraeny, N.H. Krishna dan T.A. Sulistya. 2014. Kadar serat
optimal pada ransum protein rendah, mendukung PBBH > 0,70 kg dan kualitas
semen normal untuk sapi jantan muda. Laporan Akhir 2014. Loka Penelitian Sapi
Potong.
McCarthy, M.S., Convey, E.M., Hafs, H.D., 1979, Serum hormonal changes and testicular
response to LH during puberty in bulls. Biol Reprod 20, 1221-1227.
Nurcholidah, S dan P. Kune. 2014. Pengaruh jenis Pegencer Terhadap Motilitas dan Daya
Tahan Hidup Spermatozoa Semen Cair Sapi Simental. Fak. Peternakan Univ.
Padjajaran, Bandung (2004) : 2-3.
Pamungkas, D., L. Affandhy, dan Y.N. Aggaraeny. 2006. Status Pakan Induk Sapi Potong
Lokal dan Persilngan Kondsisi Pasca beranak dalam Usaha Peternakan rakyat: Studi
Kasus di Kecamatan Kota Probolinggo Jawa Timur. Pros. Sem .Nas. Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak. Bogor. 5-6 September, 2006: 104-109.
Rahmayuni, D. 2011. Deteksi Kebuntingan Ternak Sapi Dengan Metoda Punyakoti. Proposal
Penelitian Pasca Sarjana. Universitas Andalas. Indonesia.
Ratnawati, Aryogi, D. Pamungkas, Darminto, L. Affandhy, D.M. Dikman, E. Jauhari, T.A.
Sulistya. M. Luthfi, Bustomi dan Endang S. 2013. Teknologi Perbaikan Kualitas
Semen Beberapa Bangsa Sapi Potong Melalui Sumber Protein Berbasis Limbah Sawit.
Laporan Akhir Loka Penelitian Sapi Potong.
Rawlings, N. C., H. D. Hafs and L. V. Swanson. 1972.Testicular and blood plasma androgens
in Holstein bulls from birth through puberty. J. Anim. Sci.34:435.
Salibury, G.W., N.C . Vandermark, dan R. Djanuar. 1985 . Fisiologi Reproduksi dan
Insentinasi Buatan Pada Sapi . Gadjah Mada Univ. Press. Yogyakarta
Samik, A. 2010. Identifikasi Pregnancy Speciific Protein B (PSBB) dari Placenta Foetalis
(Cotyledon) Sapi FH. Jurnal Veterinaria Medica. Vol. 3 No. 1
Sasser, R.G., C.A. Ruder, K.A. Ivani, J.E. Butler and W.C. Hamilton. 1996. Detection of
Pregnancy by Radioimmunoassay of a Novel Pregnancy-Specific Protein in Serum of
Cows and Profile of Serum Concentration during Gestation. Biology of Reproduction.
Vol. 35. Pp. 936-942.
Schanbacher, B. 1979. Relationship of In Vitro Gonadotropin Binding to Bovine Testis and
The Onset of Spermatogenesis. J. Anim. Sci. 48 : 591-597.

21
Suwandi, D. 2009. Karakterisasi Pregnancy Specific Protein B (PSPB) dari Kotiledon Sapi
Perah menggunakan Metode SDS – Page dan Western Blot. Skripsi FKH Universitas
Airlangga. Surabaya.
Toelihere, M.R. 1995. Fisiologi Reproduksi pada Temak. Penerbit Angkasa, Bandung.

22
ROAD MAP
KEGIATAN PENELITIAN PENINGKATAN
EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG
2015-2019

Teknologi peningkatan efisiensi


reproduksi sapi potong:
 Sapi PO jantan 1 - - - - 1
 Sapi Madura jantan - 1 - - - 1
 Sapi Bali jantan - - 1 - - 1
 Sapi PO dan Madura betina - - - 1 - 1
 Sapi Bali dan silangan betina - - - - 1 1

Teknologi dan prototipe kapsul sperma


sapi potong :
 Cangkang kapsul sperma 1 - - - - 1
 Uji Kapsul sperma di - 1 - - - 1
Laboratorium
 Uji IB kapsul sperma di - - 1 - - 1
lapangan
 Pengamatan hasil IB kapsul - - - 1 - 1
sperma
 Pengembangan IB kapsul - - - - 1 1
sperma
 Prototipe kapsul sperma - - - - 1 1

Teknologi dan produk test Kit


kebuntingan dini menggunakan protein
B spesifik pada sapi induk :
 Pembuatan serum protein B 1 - - - - 1
spesifik
 Pembuatan antibodi pada - 1 - - - 1
hewan percobaan
 Uji test kit kebuntingan dini di - - 1 - - 1
laboratorium
 Uji test kit kebuntingan dini di - - - 1 - 1
lapang
 Pengembangan test kit - - - - 1 1
kebuntingan dini menggunakan
protein B spesifik
 Produk test Kit kebuntingan dini - - - - 1 1

Tahun pelaksanaan penelitian 2015 2016 2017 2018 2019 Jumlah

23

Anda mungkin juga menyukai