Anda di halaman 1dari 186

TOLERANSI BERAGAMA MAHASISWA

(Studi tentang Pengaruh Kepribadian,


Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan
Agama, dan Lingkungan Pendidikan terhadap
Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada
7 Perguruan Tinggi Umum Negeri)

Editor : H. Bahari, MA

Kementerian Agama RI
Badan Litbang dan Diklat
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Jakarta, 2010
Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Toleransi Beragama Mahasiswa (Studi tentang Pengaruh Kepribadian,
Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama, dan Lingkungan
Pendidikan terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada 7
Perguruan Tinggi Umum Negeri)

Ed. I. Cet. 1. -------


Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama 2010
xiii + 171 hlm; 21 x 29 cm

ISBN 978-979-797-287-5

Hak Cipta 2010, pada Penerbit

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara
apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy,
tanpa izin sah dari penerbit

Cetakan Pertama, September 2010

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama


TOLERANSI BERAGAMA MAHASISWA (STUDI TENTANG PENGARUH
KEPRIBADIAN, KETERLIBATAN ORGANISASI, HASIL BELAJAR
PENDIDIKAN AGAMA, DAN LINGKUNGAN PENDIDIKAN TERHADAP
TOLERANSI MAHASISWA BERBEDA AGAMA PADA 7 PERGURUAN
TINGGI UMUM NEGERI)

Editor:
H. Bahari, MA
Desain cover dan Lay out oleh:
H. Zabidi

Puslitbang Kehidupan Keagamaan


Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Gedung Bayt al-Qur’an Museum Istiqlal Komplek Taman Mini
Indonesia Indah, Jakarta Telp/Fax. (021) 87790189, 87793540

Diterbitkan oleh:
Maloho Jaya Abadi Press, Jakarta
Anggota IKAPI No. 387/DKI/09
Jl. Jatiwaringin Raya No. 55 Jakarta 13620
Telp. (021) 862 1522, 8661 0137, 9821 5932 Fax. (021) 862 1522

ii  
SAMBUTAN
KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT
KEMENTERIAN AGAMA RI

M
asalah toleransi beragama adalah masalah yang
selalu hangat dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Sampai dewasa ini
masih banyak kelompok masyarakat yang melakukan
perbuatan intoleransi. Oleh karenanya, sikap intoleransi harus
dideteksi sejak dini dan dijadikan dasar untuk
mengembangkan budaya toleransi, demi menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam realitasnya, konflik akibat intoleransi sampai saat
ini masih sering terjadi dan melibatkan berbagai lapisan
masyarakat, mungkin juga termasuk mahasiswa. Padahal,
mestinya kenyataan adanya perbedaan agama, paham,
penafsiran dan organisasi keagamaan haruslah diterima
sebagai kenyataan yang harus diterima. Solusi yang harus
diupayakan adalah bagaimana mengelola perbedaan itu
menjadi kekuatan dalam kehidupan sosial keagamaan dan
mencerminkan kedewasaan beragama dalam kerangka
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh
karena itu sejak dini harus sudah ditanamkan kesadaran
kepada anak-anak, pelajar, pemuda dan mahasiswa tentang
adanya realitas kemajemukan bangsa ini.
Mahasiswa sebagai harapan masa depan bangsa dalam
mengemban amanah kepemimpinan dan agen perubahan
sosial, kiranya harus dibekali dengan pengetahuan, penga-
laman dan kebijaksanaan yang cukup dalam menyikapi
pluralitas bangsa yang memang sangat tinggi. Untuk itulah
sangat perlu dilakukan penelitian berkaitan dengan toleransi
umat berbeda agama di kalangan mahasiswa. Oleh karena itu,
kami menyambut baik diterbitkannya buku Toleransi
Beragama Mahasiswa (Studi tentang Pengaruh Kepribadian,

  iii
Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama, dan
Lingkungan Pendidikan terhadap Toleransi Mahasiswa
Berbeda Agama pada 7 Perguruan Tinggi Umum Negeri).
Pertama, penerbitan buku ini merupakan salah satu media
untuk mensosialisasikan hasil-hasil pengembangan yang
dilakukan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama, dalam hal ini Puslitbang Kehidupan Keagamaan.
Kedua, dapat memberikan informasi tentang berbagai
pandangan keagamaan para mahasiswa berkaitan dengan
toleransi kehidupan beragamaan.
Selama ini belum diketahui benar, bagaimana sikap para
mahasiswa terhadap pandangan keagamaanya ber-kaitan
dengan toleransi kehidupan beragama. Dengan diter-
bitkannya hasil penelitian ini diharapkan dapat tersosialisa-
sikan dengan baik bagaimana sebenarnya sikap mahasiswa
berkaitan dengan pandangan keagamaan yang berhubungan
dengan toleransi kehidupan beragama.
Semoga buku ini dapat memberikan kontribusi dalam
membangun pemahaman masyarakat yang moderat, tawa-
suth, tawazun dan toleran. Dengan pemahaman seperti itu
diharapkan mendorong para mahasiswa untuk dapat mema-
hami dirinya akan perlunya membangun toleransi kehidup-an
keagamaan yang lebih baik di masa depan, ketika akan
mengelola negeri di segala bidang kehidupan.

Jakarta, September 2010


Kepala Badan Litbang dan Diklat

Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA.


NIP: 19570414 198203 1 003

iv  
KATA PENGANTAR
KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN

K
emajemukan agama bangsa Indonesia pada satu
sisi menjadi modal kekayaan budaya dan
memberikan keuntungan bagi bangsa karena
dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi yang kaya bagi pro-
ses konsolidasi demokrasi. Namun, pada sisi lain, kema-
jemukan bisa pula berpotensi mencuatkan social conflict antar-
umat beragama yang bisa mengancam keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terutama bila kemaje-
mukan tersebut tidak disikapi dan dikelola secara baik. Dalam
konteks kemajemukan agama di Indonesia tersebut, toleransi
beragama merupakan isu penting dalam kehidupan bangsa
Indonesia.
Toleransi merupakan elemen dasar yang dibutuhkan
untuk menumbuh kembangkan sikap saling memahami dan
menghargai perbedaan yang ada, serta menjadi entry point
bagi terwujudnya suasana dialog dan kerukunan antarumat
beragama dalam masyarakat. Agar tidak terjadi konflik
antarumat beragama, toleransi harus menjadi kesadaran
kolektif seluruh kelompok masyarakat, dari tingkat anak-
anak, remaja, dewasa, hingga orang tua, baik pelajar, pegawai,
birokrat maupun mahasiswa. Lebih dari itu, prinsip-prinsip
toleransi harus betul-betul bekerja mengatur perikehidupan
masyarakat secara efektif.
Salah satu komponen penting masyarakat dalam rangka
menjaga tetap bekerjanya prinsip-prinsip toleransi adalah para
mahasiswa. Mahasiswa merupakan sebutan bagi mereka yang
menempuh pendidikan lanjutan setelah Sekolah Menengah
Umum (SMU). Pendidikan tersebut dapat berupa perguruan
tinggi, sekolah tinggi, institut, akademi, dan sebagainya. Usia
saat menjadi mahasiswa di perguruan tinggi, umumnya

  v
berkisar antara 18-21 tahun. Secara fisiologis, usia ini sangat
rentan terhadap segala sesuatu, kejiwaan yang belum mapan
dan selalu memegang idiom ketokohan.
Dalam masyarakat, mahasiswa dianggap sebagai salah
satu kelompok yang menjadi sub elemen penting masyara-kat
sebab memiliki potensi besar dalam menciptakan suatu
bentuk tatanan tertentu. Mahasiswa adalah manusia yang
dipenuhi idealisme. Mahasiswa dianggap tunas-tunas baru
yang akan menggantikan peran para pemimpin di masa yang
akan datang. Di tangan para mahasiswa masa depan bangsa
ini akan bergantung. Tongkat estafet kepemimpinan ini akan
diteruskan oleh mahasiswa. Di samping mahasiswa sebagai
penerus kepemimpinan bangsa ini, ternyata mahasiswa ber-
peran lebih besar sebagai agent of change. Potensi ini di-
punyainya tidak terlepas dari tingkat pendidikannya yang
tergolong tinggi dalam masyarakat. Beberapa sosiolog pen-
didikan, seperti Halsey dan Psacharopoulos menyatakan
bahwa pendidikan memainkan bagian penting dalam determi-
nan-determinan status dan penghasilan. Pendidikan yang
tinggi akan mempengaruhi cara pandang, wawasan dan daya
kritis yang memungkinkan mahasiswa untuk memikirkan
masa depan masyarakat tempat mereka hidup, meminjam
istilah William Fulbright, Education is slow but a powerful force.
Karena tingkat pendidikan yang tinggi ini, pada akhirnya
nanti, dari kalangan mahasiswa akan muncul tokoh-tokoh
masyarakat yang akan berperan dominan dalam perkemba-
ngan masyarakat, termasuk dalam hal hubungan antarumat
beragama.
Dari hasil penelitian dapat ditarik gambaran sementara
bahwa setiap upaya meningkatkan toleransi di kalangan ma-
hasiswa masih perlu dilakukan. Sebab, kendati survei
SETARA Institute menunjukkan hasil menggembirakan ter-
hadap kondisi toleransi kaum muda berbeda agama, namun
pada sisi lain masih ditemukan konflik sosial yang melibatkan

vi  
mahasiswa. Bertolak dari berbagai masalah dan kenyataan
serta harapan seperti dikemukakan di atas, maka diperlukan
sebuah penelitian tentang toleransi mahasiswa berbeda agama
pada perguruan tinggi. Dari penelitian ini diketahui toleransi
dan apresiasi antarmahasiswa, baik intra maupun antarumat
beragama, sebagai modal akademis guna mengarahkan
kehidupan sosial yang lebih kohesif di masa depan.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada
Kepala Badan yang telah memberi sambutan dan arahan
untuk terbitnya buku ini. Kemudian tak lupa kami sampaikan
terima kasih juga kepada Editor yang telah mengkoreksi ulang
hasil penelitian ini, sehingga menjadi buku yang layak terbit.
Mudah-mudahan buku ini menjadi bahan pembelajaran yang
berharga bagi para peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan
khususnya dan pembaca pada umumnya.
Demi sempurnanya buku ini, kami dengan senang hati
akan menerima masukan dan kritik dari pembaca sekalian.
Semoga Allah selalu memberikan taufiq dan hidayah-Nya
kepada kita sekalian. Amien.

Jakarta, Juli 2010


Kepala
Puslitbang Kehidupan Keagamaan

Prof. H. Abd. Rahman Mas`ud, Ph.D


NIP. 19600416 198903 005

  vii
viii  
PENGANTAR EDITOR

A
lhamdulillahi Rabbi al-`alamin, kami panjatkan puji
syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, yang
telah mem-berikan kekuatan pada kami sehingga
bisa menyelesaikan editorial tentang laporan
penelitian Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil
Belajar Pendidikan Agama, dan Lingkungan Pendidikan terhadap
Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada Perguruan Tinggi
Umum Negeri (Studi di 7 Universitas) dengan baik. Penelitian ini
merupakan 1 di antara 3 penelitian yang menggunakan
pendekatan kuan-titatif, yang dilakukan Puslitbang
Kehidupan Keagamaan pada tahun anggaran 2009. Dengan
adanya penelitian ini, Puslitbang Kehidupan Keagamaan
cukup konsisten untuk terus mengembangkan pendekatan
kuantitatif dalam beberapa penelitiannya.
Penelitian ini terasa dilakukan dengan cara cukup serius,
dengan harapan penelitian berjalan sesuai harapan. Dalam
tahapan penelitian ini pastilah terasa agak berat mengingat
bahwa penelitian bercorak kuantitaif saat ini relatif
merupakan tradisi baru di Puslitbang Kehidupan Keagamaan.
Penyusunan desain operasional penelitian terutama berkaitan
dengan kerangka teorinya tentu sangat melelahkan
dibandingkan dengan penelitian yang bercorak kualitatif,
penyusunan kuesioner, uji coba kuesioner, validitasi dan
reliabilitasi kuesioner, penyusunan ulang kuesioner hasil uji
coba, penyusunan pedoman wawancara, pengumpulan data,
analisis data, display data, diseminasi hasil penelitian, dan
penyusunan laporan penelitian.
Sebagai hasil penelitian ilmiah, penelitian ini telah
mampu menggambarkan bagaimana Pengaruh Kepribadian,
Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama, dan
Lingkungan Pendidikan terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda

  ix
Agama pada Perguruan Tinggi Umum Negeri. Kami tidak perlu
menyimpulkan atau membuat ringkasan mengenai hasil
penelitian ini, tetapi substansi dapat dicerna sendiri oleh para
pembaca dalam buku ini.
Buku ini secara substansial memang sudah pernah
terdengar dilakukan penelitian meskipun dengan judul yang
berbeda. Namun hasil penelitian ini tetap menarik untuk tetap
dibaca, mengingat bahwa terjadinya ketidakrukunan di
berbagai tempat di Indonesia selama ini selalu diawali oleh
kaum muda, bahkan terkadang juga para mahasiswa. Nah
dari buku ini akan terlihat, bagaimana sikap para mahasiswa
di perguruan tinggi umum yang berkaitan dengan toleransi
beragama.
Terakhir, kami ucapkan terima kasih kepada Kepala
Puslitbang Kehidupan Keagamaan yang telah memberikan
kesempatan kepada kami untuk mengedit buku hasil
penelitian ini, sehingga hasil penelitian ini juga membantu
saya memahami sikap mahasiswa berkaitan dengan toleransi
beragama itu, yang selama ini belum dilakukan. Demikian
semoga bermanfaat.

Jakarta, Juli 2010


Editor,

Drs, H. M. Bahari, MA

x  
DAFTAR ISI

Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat


Kementerian Agama .......................................................... iii
Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan
Keagamaan ........................................................................... v
Pengantar Editor ................................................................. ix
Daftar Isi ............................................................................... xi

Bab I Pendahuluan ........................................................ 1


A. Latar Belakang Masalah ................................. 1
B. Identifikasi Masalah ........................................ 12
C. Pembatasan Masalah ...................................... 26
D. Perumusan Masalah ....................................... 27
E. Tujuan Penelitian ............................................ 28
F. Kegunaan Hasil Penelitian ............................ 28

Bab II Penyusunan Kerangka Teoritik dan Pengajuan


Hipotesis ............................................................... 31
A. Deskripsi Teoritik ............................................ 31
1. Variabel Kepribadian (X1) ........................ 31
2. Variabel Keterlibantan Organisasi (X2) .. 39
3. Variabel Hasil Belajar Pendidika Agama
(X3) ............................................................... 43
4. Variabel Lingkungan Pendidikan (X4) ... 44
5. Variabel Toleransi Beragama (Y) ............. 50
B. Hasil Penelitian yang Relevan ....................... 61
C. Kerangka Berpikir ........................................... 80
D. Hipotesis Penelitian ........................................ 90

Bab III Metodologi Penelitian ........................................ 91


A. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................ 91
B. Metode dan Desain Penelitian ...................... 92
C. Populasi dan Sampel ...................................... 93

  xi
D. Instrumen Penelitian .................................... 94
1. Variabel Kepribadian (X1) ........................ 95
2. Variabel Keterlibatan Organisasi (X2) .... 96
3. Variabel Hasil Belajar Pendidikan Agama
(X3) ............................................................... 97
4. Variabel Lingkungan Pendidikan (X4) ... 98
5. Variabel Toleransi Beragama (Y) ............. 100
E. Teknik Analisis Data ....................................... 102

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan ................... 105


A. Profil Responden ............................................. 105
B. Deskripsi Data dan Temuan ......................... 107
1. Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama 7
Universitas .................................................. 108
2. Kepribadian ................................................ 110
3. Keterlibatan Organisasi ............................. 116
4. Hasil Belajar Pendidikan Agama ............. 117
5. Lingkungan Pendidikan ........................... 119
C. Analisis Inferensial ........................................ 121
1. Pengaruh kepribadian terhadap
keterlibatan organisasi .............................. 121
2. Pengaruh kepribadian terhadap hasil
belajar ........................................................... 122
3. Pengaruh keterlibatan organisasi
terhadap hasil belajar pendidikan agama 124
4. Pengaruh kepribadian terhadap
lingkungan pendidikan.............................. 125
5. Pengaruh keterlibatan organisasi
terhadap lingkungan pendidikan............. 126
6. Pengaruh hasil belajar terhadap
lingkungan pendidikan.............................. 127
7. Pengaruh kepribadian terhadap toleransi
beragama...................................................... 127
8. Pengaruh keterlibatan organisasi
terhadap toleransi beragama .................... 129

xii  
9. Pengaruh hasil belajar pendidikan agama
terhadap toleransi beragama .................... 129
10. Pengaruh lingkungan pendidikan
terhadap toleransi beragama .................... 129
D. Model Empiris Hubungan Antar Variabel .. 131
E. Pembahasan ...................................................... 134

Bab V Penutup ................................................................. 141


A. Kesimpulan ...................................................... 141
B. Implikasi............................................................ 143
C. Rekomendasi ................................................... 144

Daftar Pustaka ..................................................................... 115


Daftar Pustaka...................................................................... 145
Lampiran .............................................................................. 153
Daftar Pertanyaan (Kuesioner) .......................................... 153
Pedoman Wawancara ......................................................... 154
Hasil Penelitian Kualitatif .................................................. 155

  xiii
xiv  
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

I
ndonesia adalah bangsa yang majemuk, baik dari
sisi budaya, etnis, bahasa, dan agama. Dari sisi
agama, di negara ini hidup berbagai agama besar
di dunia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan
Konghucu. Selain itu, tumbuh dan berkembang pula berbagai
aliran atau kepercayaan lokal yang jumlahnya tidak kalah ba-
nyak. Pada sensus tahun 2000, religious demography di Indone-
sia menunjukkan 213 juta jiwa penganut agama yang berbeda
dengan komposisi 88.2% pemeluk Islam, 5.9% Kristen, 3.1%
Katolik, 1.8% Hindu, 0.8% Buddha, dan 0.2% agama serta
kepercayaan lainnya. Pada Survey Penduduk Antar Sensus
(SUPAS) 2005 juga masih menunjukkan angka yang hampir
sama, yaitu pemeluk Islam (88.58%), Kristen (5.79%), Katolik
(3.08%), Hindu (1.73%), Buddha (0.60%), Khonghucu (0.10%),
dan lainnya (0.12%). Data tersebut mengungkapkan bahwa
penduduk beragama Islam merupakan mayoritas secara
nasional, namun tidak demikian dalam sebaran perpropinsi
atau kabupaten/kota. Agama-agama tertentu lainnya menun-
jukkan jumlah mayoritas penduduk di propinsi tertentu
seperti Hindu di Bali serta Kristen di Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Utara, dan Papua. Komposisi jumlah penduduk
Islam dan Kristen cukup berimbang di Maluku. Sedangkan di
Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Maluku Utara
penduduk Kristen merupakan minoritas tetapi dengan jumlah
signifikan.1

                                                            
1Dari sisi etnis, di Indonesia terdapat lebih kurang 658 etnis. Dari enam

ratusan etnis itu, 109 kelompok etnis berada di Indonesia belahan barat, sedangkan

1
Kemajemukan agama tersebut pada satu sisi menjadi
modal kekayaan budaya dan memberikan keuntungan bagi
bangsa Indonesia karena dapat dijadikan sebagai sumber
inspirasi yang sangat kaya bagi proses konsolidasi demokrasi
di Indonesia. Namun, pada sisi lain, kemajemukan bisa pula
berpotensi mencuatkan social conflict antarumat beragama
yang bisa mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), terutama bila kemajemukan tersebut tidak
disikapi dan dikelola secara baik.2 Dalam konteks ke-
majemukan agama di Indonesia tersebut, maka toleransi
beragama---dalam pengertian kesediaan umat beragama
hidup berdampingan secara damai dengan penganut agama
lain---merupakan isu penting dalam kehidupan bangsa
Indonesia.
Toleransi merupakan elemen dasar yang dibutuhkan
untuk menumbuhkembangkan sikap saling memahami dan
menghargai perbedaan yang ada, serta menjadi entry point
bagi terwujudnya suasana dialog dan kerukunan antarumat
beragama dalam masyarakat. Agar tidak terjadi konflik an-
tarumat beragama, toleransi harus menjadi kesadaran kolektif
seluruh kelompok masyarakat, dari tingkat anak-anak, remaja,
dewasa, hingga orang tua, baik pelajar, pegawai, birokrat
maupun mahasiswa. Lebih dari itu, prinsip-prinsip toleransi
harus betul-betul bekerja mengatur perikehidupan masyarakat
secara efektif. Salah satu subelemen penting masyarakat da-
lam rangka menjaga tetap bekerjanya prinsip-prinsip toleransi
adalah para mahasiswa. Mahasiswa merupakan sebutan bagi
mereka yang menempuh pendidikan lanjutan setelah Sekolah
                                                                                                                              
Indonesia timur terdiri atas 549 etnis. Dari 549 etnis itu 300 lebih di antaranya
menyebar di Papua. Dengan kata lain, kemajemukan etnis di belahan timur lebih
tinggi dari belahan barat. Amiruddin al Rahab. “Kekerasan Komunal di Indonesia:
Sebuah Tinjauan Umum” dalam Jurnal Dignitas. Volume V No. 1 Tahun 2008. hlm. 34.  
2Muhammad Hisyam et.al. Budaya Kewargaan Komunitas Islam di Daerah

Rentan Konflik. Jakarta: LIPI Press. 2006. hlm. 1.  

2
Menengah Umum (SMU). Pendidikan tersebut dapat berupa
perguruan tinggi, sekolah tinggi, institut, akademi, dan
sebagainya. Usia saat menjadi mahasiswa di perguruan tinggi,
umumnya berkisar antara 18-21 tahun. Secara fisiologis, usia
ini sangat rentan terhadap segala sesuatu, kejiwaan yang labil
dan selalu memegang idiom ketokohan.
Dalam masyarakat, mahasiswa dianggap sebagai salah
satu kelompok yang menjadi subelemen penting masyarakat
sebab memiliki potensi besar dalam menciptakan suatu
bentuk tatanan tertentu. Mahasiswa adalah manusia yang
dipenuhi idealisme. Mahasiswa dianggap tunas-tunas baru
yang akan menggantikan peran para pemimpin di masa yang
akan datang. Di tangan para mahasiswa masa depan bangsa
ini akan bergantung. Tongkat estafet kepemimpinan ini akan
diteruskan oleh mahasiswa. Di samping mahasiswa sebagai
penerus kepemimpinan bangsa ini, ternyata mahasiswa ber-
peran lebih besar sebagai agent of change.3 Potensi ini di-
punyainya tidak terlepas dari tingkat pendidikannya yang
tergolong tinggi dalam masyarakat. Beberapa sosiolog
pendidikan, seperti Halsey dan Psacharopoulos menyatakan
bahwa pendidikan memainkan bagian penting dalam determi-
nan-determinan status dan penghasilan. Pendidikan yang
tinggi akan mempengaruhi cara pandang, wawasan dan daya
kritis yang memungkinkan mahasiswa untuk memikirkan
masa depan masyarakat tempat mereka hidup. Karena tingkat
pendidikan yang tinggi ini, pada akhirnya nanti, dari kalang-
an mahasiswa akan muncul tokoh-tokoh masyarakat yang
akan berperan dominan dalam perkembangan masyarakat,
termasuk dalam hal hubungan antarumat beragama.4

                                                            
3“Menggugat Intelektualisme Mahasiswa” dalam http:// bermula.
wordpress.com/ 2008/06/25/menggugat-intelektualisme-mahasiswa/.  
4Lucia Ratih Kusumadewi. Sikap dan Toleransi Beragama di Kalangan

Mahasiswa: Studi di Tiga Perguruan Tinggi di Jakarta. Skripsi. Depok: FISIP UI. 1999.
hlm. 11-12.  

3
Andreas A. Yewangoe dalam Agama dan Kerukunan,
optimis akan peran yang dapat dimainkan mahasiswa dalam
meningkatkan kerukunan umat beragama. Dia memberikan 4
(empat) alasan, yaitu: Pertama, mahasiswa adalah calon-calon
intelektual yang diharapkan dapat meninjau berbagai relasi
antar manusia, termasuk hubungan antarumat beragama
secara rasional dan berkepala dingin; Kedua, mahasiswa,
paling tidak ditinjau dari sejarah kemahasiswaan di Indonesia
selama ini masih belum terkontaminasi oleh berbagai tekanan
di mana agama-agama cenderung diperalat; Ketiga,
mahasiswa, dengan idealismenya yang tinggi, selalu berupaya
mewujudkan persatuan dan kesatuan melalui perbuatan
nyata; dan Keempat, mahasiswa adalah calon-calon pemimpin
bangsa. Saling pengertian yang dicapai hari ini di antara para
mahasiswa berbeda-beda agama merupakan modal yang ber-
harga apabila mereka nanti menjadi pemimpin-pemimpin
bangsa.5
Banawiratma mengatakan bahwa selayaknya kaum ter-
didik (baca: mahasiswa) dapat menjadi fasilitator dalam
mencoba untuk membaca dan menilai situasi hidup nyata ini,
begitu pula untuk menemukan langkah maju dalam kehi-
dupan antarumat beragama. Untuk mewujudkannya,
dibutuhkan kesadaran penuh dari kalangan terdidik, untuk:
Pertama, bersikap dan berperilaku terhadap pemeluk agama
lain yang secara konkret mendukung dan dapat menciptakan
toleransi antarpemeluk agama; dan Kedua, mempengaruhi
masyarakat supaya dapat bersikap dan berperilaku yang
mengarah pada toleransi yang tinggi antarpemeluk agama.
Pertanyaan kemudian muncul, apakah dari kalangan terdidik
sendiri (baca: mahasiswa), telah terdapat sikap-sikap yang
berpotensi mendukung terciptanya toleransi antarumat

                                                            
5 http://books.google.co.id/books, hlm. 31-32.  

4
beragama. Ataukah justru sebaliknya, sikap-sikap yang
diperlihatkan berpotensi untuk menciptakan intoleransi
antarumat beragama.6
Pertanyaan di atas sangat penting untuk dijawab,
mengingat masalah hubungan antarumat beragama yang baik
merupakan syarat bagi terciptanya integrasi sosial. Dengan
mengetahui gambaran tersebut diharapkan dapat disajikan
kerangka pandang yang cukup memadai dalam usaha-usaha
menuju kepada kehidupan antarumat beragama yang lebih
baik, khususnya di kalangan terdidik. Sebab, konflik sosial,
baik yang bernuansa agama, etnis, maupun politik, yang
pernah terjadi di Indonesia7 ternyata melibatkan banyak
pihak, strata dan jenis kelamin---dan itu berarti---mahasiswa
juga patut diduga terlibat di dalamnya.
Konflik bernuansa agama di Ambon misalnya,
memperlihatkan bahwa Universitas Pattimura menjadi basis
perlawanan kalangan Kristiani. Wilayah kampus tersegregasi
antara mahasiswa dari kalangan Kristen dan dari kalangan
Islam. Di sana para mahasiswa Kristiani menggalang
kekuatan dan turut terlibat secara aktif dalam konflik
bernuansa agama tersebut. Di Fakultas Teknik, dengan me-
manfaatkan peralatan yang ada membuat senjata-senjata
rakitan, anak panah, dan tombak bermata besi. Sikap serupa
dilakukan pula oleh para mahasiswa muslim di STAIN
Ambon atau mereka yang terlibat dalam organisasi

                                                            
Ibid.  
6

Konflik bernuansa agama yang terjadi di Indonesia, misalnya peristiwa


7

Situbondo (10 Oktober 1996), Tasikmalaya (26 Desember 1996), Ambon (1999), Pekalo-
ngan (24-26 Maret 1997), Temanggung (6 April 1997), Banjarnegara (9 April 1997), dan
lain-lain. Konflik bernuansa etnik misalnya peristiwa Sanggauledo (Januari dan
Februari 1997) dan peristiwa Sampit pada 7 Maret 1999 yang kemudian merembet ke
Kualakapuas. M. Mukhsin Jamil. Mediasi dan Resolusi Konflik. Semarang: Walisongo
Mediation Centre. 2007. hlm. xviii-xxi; Heru Cahyono. Ed. Konflik Kalbar dan Kalteng:
Jalan Panjang Meretas Perdamaian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan P2P-LIPI. 2008.  

5
kemahasiswaan, sebagaimana dituturkan Abu Bakar Riri,
mantan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
yang belakangan menjadi aktivis rekonsiliasi Gerakan Baku Bae
Maluku.8
Konflik bernuansa agama yang melibatkan mahasiswa
terjadi pula di Jakarta, misalnya kasus bentrok antara warga
Kampung Pulo dengan mahasiswa Sekolah Tinggi Teologia
Injili Arastamar (SETIA) pada 25 Juli 2008. Pemicu terjadinya
konflik disebabkan keberadaan SETIA dan perilaku mahasis-
wa yang sering meresahkan warga. Mahasiswa SETIA diduga
sering terlibat bentrok antarsuku, pencurian, pacaran, bahkan
warga sering menemukan kondom dan celana dalam di
sepanjang jalan sepi tempat mahasiswa biasa jalan-jalan.
Bentrokan 25 Juli 2008 lalu bermula dari tertangkapnya se-
orang mahasiswa SETIA yang diduga melakukan pencurian
mesin pompa di salah satu rumah warga. Suasana menegang
ketika ada teriakan provokasi dari dalam kampus yang tidak
terima si pencuri dibawa ke kantor polisi. Sempat terjadi
lempar batu tetapi berhenti setelah dilerai pihak kepolisian.
Sesaat kondisi keamanan terkendali tetapi selang sehari
kemudian kembali menegang ketika tiba-tiba ada seorang
mahasiswa SETIA melempar Masjid Baiturrahim yang
berjarak 50 meter dari kampus, yang saat itu tengah diadakan
pengajian. Setelah melakukan pelemparan, pelaku lari menuju
asrama putri. Kelakuan mahasiswa kriminal ini, mengundang
reaksi warga. Mereka pun berkumpul menuju asrama putri
meminta pertanggungjawaban, namun kedatangan warga
justru disambut lemparan batu, serpihan kaca, ketapel dan
anak panah besi.9
                                                            
8“Gerakan Baku Bae Maluku Perlawanan terhadap Penganjur Perang”

dalam Ambon Berdarah On-Line, www. geocities.com.  


9“Mahasiswa Kriminal Picu Konflik Kampung Pulo”, dalam
www.sabili.co.id.  

6
Menjaga kondisi yang tak diharapkan sebab kemarahan
warga meningkat, pada Ahad sore puluhan mahasiswi putri
dievakuasi ke Kantor Kecamatan Makasar, Jakarta Timur.
Proses evakuasi berlangsung aman tanpa diganggu warga.
Selasa (29/7), sekitar 200 mahasiswa SETIA didampingi
beberapa dosen, rektor dan pimpinan Aras Gereja Nasional
(AGN) menyambangi perwakilan Fraksi Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Fraksi Partai Damai
Sejahtera (PDS) di Komisi VII DPR. Mereka mengadu ke DPR
agar tetap bisa kuliah di kampusnya. Mereka menginap sela-
ma dua malam di Komplek DPR/MPR Senayan Jakarta, dan
baru pada hari Jumat (1/8) sekitar 400 mahasiswa SETIA
dievakuasi ke Wisma Transito, Jl. Naman Kalimalang, Jakarta
Timur. Pascabentrokan warga menuntut tiga hal, yaitu pergi,
tutup dan bubarkan Yayasan SETIA dari Kampung Pulo, apa
pun alasannya.10
Konflik sosial yang melibatkan mahasiswa terjadi pula
di D.I. Yogyakarta, sebuah kota budaya dan kota pendidikan
yang selama ini dikenal sebagai miniatur Indonesia dan tem-
pat persemaian multikulturalisme.11 Kali ini bernuansa etnis,
seperti penyerangan asrama mahasiswa Papua oleh orang
tidak dikenal, pada 23 November 2004 dan penyerangan
asrama mahasiswa Sulawesi Selatan, pada 15 Januari 2008,
atau bentrokan antar mahasiswa di sebuah tempat kos di
Tambakbayan, Babarsari, Kecamatan Depok, Kab. Sleman,
tanggal 29 Juni 2007.

                                                            
Ibid.  
10

Multikulturalisme adalah gagasan yang merujuk pada sebuah truisme


11

bahwa masyarakat-masyarakat manusia niscaya memiliki budaya yang beragam.


Hikmat Budiman. “Minoritas, Multikulturalisme, Modernitas” dalam Hikmat Budi-
man. Ed. Hak Minoritas Dilema Multikulturalisme di Indonesia. Jakarta: The Interseksi
Foundation. 2005. hlm. 3.  

7
Catatan yang dibuat berdasarkan pemberitaan media
massa dan juga sejumlah penelitian sosial dari lingkungan
perguruan tinggi, memperlihatkan adanya pola yang ber-
ulang. Pertama, konflik meletup hanya karena penyebab yang
sangat sepele. Hampir semua konflik antaretnis mahasiswa di
Yogyakarta disebabkan oleh kesalahpahaman belaka. Kedua,
konflik terjadi antara: (a) kelompok mahasiswa pendatang
dengan penduduk asli; (b) kelompok mahasiswa pendatang
dari suatu daerah atau suatu etnis dengan kelompok ma-
hasiswa dari daerah/etnis lain; dan (c) kelompok mahasiswa
pendatang dengan kelompok profesi tertentu (misalnya pe-
ngemudi becak).
Sebuah temuan menarik, konflik antaretnis justru sangat
jarang terjadi antara kelompok mahasiswa asli Yogyakarta
dan juga Jawa Tengah, dengan kelompok mahasiswa dari
etnis lain dari luar Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kalaupun
kadang-kadang terjadi konflik antaretnis dari luar Jawa
Tengah dan Yogyakarta dengan kelompok mahasiswa asli
Yogyakarta atau Jawa Tengah, biasanya tidak berkembang
menjadi konflik dalam skala cukup besar, misalnya dalam
bentuk perusakan. Pada umumnya, penyebabnya pun hanya
berupa gesekan kecil, seperti saat pertandingan olahraga.12
Konflik antarmahasiwa yang bisa mengarah pada
sentimen keagamaan terjadi antara mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH UKI) dan
Universitas Persada Indonesia Yayasan Administrasi
Indonesia (UPI YAI) patut juga dicatat. Sempat mesra pada
saat menurunkan Soeharto hingga tahun 2000, konflik mulai
terjadi ketika YAI membeli tanah kosong milik Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang berada persis di kampus
tersebut. Tanah kosong tersebut pada mulanya digunakan
                                                            
12 www.antara.co.id.  

8
untuk para pedagang berjualan. Perlawanan muncul saat
mahasiswa Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)---
sebagian besar mahasiswa UKI---mengadvokasi para
pedagang yang sering bentrok dengan Satpol PP Jakarta
Pusat. Tidak bisa dipastikan bagaimana mulanya, yang jelas,
kemudian yang berhadap-hadapan bukan antara Satpol PP
dengan mahasiswa GMNI tetapi antara mahasiswa UKI dan
YAI. Sejak peristiwa itu muncul sentimen-sentimen antar-
mahasiswa kedua kampus yang berujung pada tawuran.
Tawuran bisa terjadi meski hanya saling pandang atau
bersenggolan. Ditambah lagi ada semacam doktrin menurut
penuturan Mangapul Silalahi, yang dilakukan oleh mahasiswa
senior terhadap yunior bahwa mahasiswa UKI adalah yang
terbaik. Ini menyebabkan sikap mahasiswa yunior cenderung
reaksioner, arogan, dan sombong.13
Bentrok antarmahasiswa juga terjadi di Sulawesi Selatan,
misalnya bentrok antara mahasiswa Fakultas Hukum dan
Fakultas Teknik Universitas 45 Makassar, yang terjadi tanggal
19 November 2008. Akibat tawuran tersebut, seorang
mahasiswa bernama Mursal luka berat karena tikaman di
bagian leher dan anak panah juga menancap di sekitar
perutnya, sedangkan dua mahasiswa lain mengalami luka
ringan. Buntut tawuran antarfakultas tersebut, polisi
melakukan razia di dalam kampus. Hasilnya, pihak kepolisian
menurut Kepala Kepolisian Resort Makassar, Ajun Komisaris
Besar Kamaruddin, menemukan beberapa senjata tajam dan
botol bekas minuman keras di wilayah kampus.14
Paparan beberapa kasus konflik yang melibatkan
mahasiswa di atas hanya beberapa contoh yang barangkali
                                                            
13“Mahasiswa UKI dan YAI Sempat ‘Mesra’ di Era Reformasi”, 16 Oktober

2008, www.tempointeraktif.com.  
14“Polisi Temukan Senjata Tajam dalam Kampus”, 19 November 2008,

www.nasional.vivanews.com.  

9
bisa menjadi dasar pemikiran bahwa usia yang relatif matang
dan tingkat pendidikan yang tinggi ternyata tidak menjamin
mahasiswa lepas dari konflik. Beberapa literatur psikologi
memang menjelaskan bahwa tidak selalu bertambahnya usia
itu membuat seseorang semakin dewasa---dalam arti---
seseorang itu mampu berpikir abstrak serta bertindak mandiri
dan sistematis. Sebab, ada juga orang yang tinjau dari usia
dianggap dewasa tetapi sikap dan perilakunya kekanak-
kanakkan.15 Konflik muncul ketika mahasiswa tidak mampu
berpikir secara rasional dan berkepala dingin, sudah
terkontaminasi dan sarat kepentingan sehingga cenderung
bersikap emosional primordial, membeda-bedakan orang
berdasarkan suku, agama, ras dan golongan, mahasiswa tidak
mampu membedakan antara yang benar dan yang salah, tidak
mampu memahami persoalan secara utuh, pemahaman
agama yang sempit, atau punya pengalaman buruk dengan
orang lain sehingga cenderung berprasangka (prejudice) pada
satu etnis atau umat agama tertentu.
Kondisi di atas sangat mungkin terjadi pada semua
orang, tidak terkecuali pada mahasiswa sebagai komunitas
terdidik. Penelitian Melissa, terhadap sejumlah mahasiswa di
Jakarta, menunjukkan kemungkinan kecenderungan seperti
itu. Dalam penelitiannya, ia mengasumsikan mahasiswa
sebagai golongan muda yang kritis, sehingga bebas
prasangka, termasuk prasangka agama, khususnya dalam
memilih presiden wanita. Namun, hasil penelitiannya
membuktikan lain, yaitu bahwa untuk mahasiswa, agama
tetap merupakan hal yang tidak dapat dikritik. Dengan
demikian, berarti bahwa faktor rasio yang seharusnya sudah
terasah melalui proses pendidikan tinggi, tidak mengubah
pola pikir mereka jika menyangkut agama. Jika temuan

                                                            
15 Enung Fatimah. Psikologi Perkembangan. Bandung: Pustaka Setia. 2006.  

10
Melissa ini benar dan berlaku umum, bangsa ini akan
menghadapi kesulitan yang cukup serius di masa yang akan
datang, khususnya yang menyangkut kehidupan antarumat
beragama. Hal yang lebih mencemaskan adalah bahwa gejala
ini bukan hanya tipikal Indonesia, melainkan sudah
merupakan gejala global.16
Namun demikian, Andreas A. Yewangoe tetap
memandang positif dan meyakini bahwa mahasiswa mampu
tampil sebagai garda depan pengembangan toleransi dalam
rangka peningkatan kerukunan umat beragama. Sebab,
mahasiswa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
masyarakat Indonesia, sehingga persoalan-persoalan yang
dikemukakan di atas, juga merupakan keprihatinan mereka.
Mahasiswa sebagai sebagai orang-orang intelektual dan masih
muda tentu diharapkan akan sanggup memilih dan memilah
persoalan dengan kritis dan obyektif. Pergaulan mereka yang
secara umum cenderung tidak membeda-bedakan suku,
agama, ras dan golongan, kiranya dapat membantu untuk me-
ngambil jarak dari persoalan-persoalan dan sanggup pula
memberikan solusi-solusi yang dapat menolong semua
orang.17
Argumen tentang masih pentingnya posisi mahasiswa
dalam ikut serta mengembangkan sikap toleransi beragama
dapat merujuk pada hasil survei yang dilakukan SETARA
Institute tahun 2008 terhadap 800 responden yang berumur
antara 17-22 tahun dengan latar belakang agama beragam.
Hasilnya menunjukkan, bahwa sebanyak 87.1% responden ti-
dak menjadikan perbedaan agama dalam berteman sebagai
halangan dan 67.4% responden dapat menerima fakta

                                                            
16Sarlito Wirawan Sarwono. Psikologi Prasangka Orang Indonesia. Jakarta:

RajaGrafindo Persada. 2006. hlm. 92.  


17http://books.google.co.id/books, hlm. 40.  

11
perpindahan agama. Dengan demikian, menurut SETARA
Institute, modal sosial (social capital) toleransi kaum muda
sangat kuat sebagaimana teruji dalam beberapa indikator
yang diajukan. Namun demikian, karena para penyelenggara
negara, termasuk partai politik tidak menjalankan fungsinya
dengan baik, modal sosial itu tidak berkembang dan
terpasung. Minusnya transformasi nilai-nilai Pancasila, pola
indoktrinasi pendidikan kewarganegaraan, dan keterbatasan
teladan dari para penyelenggara negara, telah membentuk
pemahaman kaum muda akan Pancasila mengalami
kontradiksi.18
Dari elobarasi di atas dapat ditarik gambaran sementara
bahwa setiap upaya meningkatkan toleransi di kalangan
mahasiswa masih perlu dilakukan. Sebab, kendati survei
SETARA Institute menunjukkan hasil mengembirakan
terhadap kondisi toleransi kaum muda berbeda agama,
namun pada sisi lain masih ditemukan konflik sosial yang
melibatkan mahasiswa. Bertolak dari berbagai masalah dan
kenyataan serta harapan seperti dikemukakan di atas, maka
diperlukan sebuah penelitian tentang toleransi mahasiswa
berbeda agama pada perguruan tinggi. Dengan penelitian ini
diharapkan akan diketahui toleransi dan apresiasi
antarmahasiswa, baik intra maupun antarumat beragama,
sebagai modal akademis guna mengarahkan kehidupan sosial
yang lebih kohesif di masa depan.
B. Identifikasi Masalah
Setelah memaparkan posisi penting mahasiswa dalam
mengembangkan sikap toleransi, berikut akan ditelusuri
faktor-faktor yang diduga menjadi sebab munculnya sikap
toleransi dan intoleransi. Dalam perspektif psikologi diketahui
                                                            
18Toleransi dalam Pasungan: Pandangan Generasi Muda terhadap Masalah Ke-

bangsaan, Pluralitas dan Kepemimpinan Nasional. Jakarta: SETARA Institute. 2008.  

12
bahwa toleransi dan intoleransi adalah karakteristik mental
yang merupakan bagian dari perilaku manusia (behavior). Ia
adalah sikap individu yang muncul ketika ia berhadapan
dengan sejumlah perbedaan dan bahkan pertentangan, baik di
tingkat sikap, pandangan, keyakinan dan juga tindakan, yang
tumbuh di tengah masyarakat.19
Kurt Lewin menyatakan bahwa sikap dan perilaku
manusia merupakan fungsi dari kepribadian (personality) dan
pengalaman (experience).20 Artinya, secara umum, munculnya
sikap toleransi dan intoleransi pada seseorang atau kelompok
masyarakat dipengaruhi oleh faktor kepribadian dan
pengalaman. Kepribadian manusia merupakan gabungan dari
berbagai sifat dan konsep diri orang. Aspek kepribadian
meliputi watak, sifat, penyesuaian diri, minat, emosi, sikap,
dan motivasi. Gagasan tersebut memberikan gambaran kesan
tentang apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diperbuat, yang
terungkap melalui perilaku.21 Artinya, sikap dan perilaku into-
leran misalnya, bisa dikatakan muncul dari apa yang
dipikirkan, dirasakan, dan kemudian diperbuat seseorang
terhadap orang lain yang mungkin berbeda dengan dirinya,
salah satunya disebabkan adanya prasangka negatif (negative
prejudice).
Kata prejudice diartikan M. Ainul Yaqin sebagai “sebuah
penilaian akhir yang tidak dilandasi dengan bukti-bukti terda-
hulu”. Sedangkan secara sosiologis, prejudice adalah sebuah
opini, sikap, kepercayaan, dan perasaan yang negatif dan
tidak fair terhadap seseorang atau kelompok masyarakat yang
lain (etnis, kewarganegaraan, agama, ras, jenis kelamin, partai
politik, keluarga, organisasi tertentu, kelas sosial, dan lain-
                                                            
19Saiful Mujani dkk. Benturan Peradaban: Sikap dan Perilaku Islamis Indonesia

terhadap Amerika Serikat. Jakarta: Nalar. 2005. hlm. 92.  


20Sarwono. op.cit. hlm. 77.  
21Djaali. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 2008. hlm. 3.  

13
lain).22 Nelson mengatakan, seperti dikutip Sarlito Wirawan
Sarwono, prasangka merupakan suatu evaluasi negatif
seseorang atau sekelompok orang terhadap orang atau
kelompok lain, semata-mata karena orang atau orang-orang
itu merupakan anggota kelompok lain yang berbeda dari
kelompoknya sendiri.
Menurut Turner dan Hogg, dalam kehidupan, individu
selalu akan mengindentifikasikan dan mendefinisikan diri
berdasarkan kelompok sosialnya. Untuk sampai pada
identifikasi dan definisi diri itu, tentunya ada proses tertentu.
Turner dan Tajfel, menyatakan bahwa ada tiga hal yang
dilakukan manusia dalam proses itu, yaitu: (1) kategorisasi; (2)
identifikasi; dan (3) membandingkan. Dalam kategorisasi
sosial, manusia menyederhanakan dunia sosial dengan
menggolong-golongkan berbagai hal yang dianggap mem-
punyai karakteristik yang sama ke dalam suatu kelompok
tertentu. Beberapa di antara pengelompokan sosial yang
paling sering dilakukan adalah ras, etnik, agama, dan status
sosial, atau tidak tertutup kemungkinan bahwa orang melaku-
kan pengelompokan sosial berdasarkan hal-hal lain.
Selanjutnya, individu akan memasukkan dirinya ke dalam
salah satu kelompok yang sudah diimajinasikannya sendiri,
misalnya aku orang Jawa, aku muslim, atau aku murid STM.
Dengan demikian, definisi sosial mengenai siapa dirinya,
seperti etnik, agama, jenis kelamin, dan golongan sosial, serta
pendidikan juga berarti mencakup siapa yang bukan dirinya.
Hal ini kemudian dapat menciptakan munculnya persepsi
ingroup-outgroup dalam perilaku kelompok.

                                                            
22M. Ainul Yaqin. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pilar Media. 2005.

hlm. 17. Bandingkan dengan Alo Liliweri. Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas
Budaya Masyarakat Multikultural. Yogyakarta: LKiS. 199-203.  

14
Selanjutnya, membandingkan adalah bahwa anggota
ingroup selalu akan memandang kelompoknya sendiri lebih
menyenangkan, lebih baik, dan lebih positif dibanding
anggota outgroup yang hampir selalu dipandang secara lebih
negatif. Selanjutnya, ketika individu berada dalam ingroup-
nya, mereka mempersepsi anggota kelompoknya memiliki
keunikan dan berbeda dibandingkan kelompok lainnya.
Kecenderungan berpikir seperti itu merupakan bentuk dari
outgroup homogeneity dan ingroup bias. Hal ini kemudian
menyebabkan individu melakukan bias dalam memandang
outgroup sehingga muncul stereotipe terhadap kelompok
outgroup.23 Prejudice biasanya cenderung melakukan
generalisasi dalam melihat dan menilai seseorang atau
kelompok lainnya tanpa memperdulikan kenyataan bahwa
setiap individu mempunyai ciri-ciri dan karakter yang
berbeda-beda.
Prejudice dalam masalah agama misalnya, adanya
prasangka atau anggapan umum dari sebagian masyarakat
non-muslim di Barat bahwa orang Islam lebih suka
melakukan kekerasan terhadap pengikut agama lain sebagai
wujud dari pengamalan “jihad” dalam Islam. Islam bukan
agama damai, tidak melindungi nilai-nilai moral, tidak
menghargai HAM, tidak menghargai perempuan, tidak
toleran terhadap non-muslim, dan lain sebagainya.
Sebaliknya, ada anggapan dari sebagian masyarakat muslim
bahwa orang Nasrani dan Yahudi tidak akan pernah
merelakan orang Islam hidup dalam damai dan mencapai
kemajuan, karena kemajuan Islam dianggap sebagai ancaman
bagi mereka. Kedua anggapan yang tidak berdasar dari kedua
pemeluk agama yang berbeda ini adalah contoh dari prejudice

                                                            
23 Sarwono. op.cit. hlm. 17-26.  

15
yang sangat menyesatkan dan berbahaya bagi penciptaan
kerukunan umat beragama.24
Prejudice yang kemudian tampil dalam bentuk sikap dan
perilaku intoleran dapat dimiliki siapapun, tidak terkecuali
para mahasiswa. Asumsi ini tidak terlalu berlebihan, ketika
mencermati bahwa beberapa konflik sosial di masyarakat
ternyata melibatkan mereka. Tampak jelas, dalam kasus
bentrok antara mahasiswa UKI dan YAI ada unsur fanatisme
kelompok yang menganggap kelompoknya lebih hebat
dibandingkan kelompok lain. Ironisnya, sikap ini diwariskan
oleh para senior ke yuniornya. Dalam kasus konflik di Ambon
dan penelitian Melissa, fanatisme agama menjadi salah satu
pemicunya. Dalam kasus di Yogyakarta, tombol sentimen
kesukuan dihidupkan sebagai pemicu bentrok. Sedangkan
dalam kasus bentrok antara masyarakat dan mahasiswa
SETIA, selain adanya mahasiswa yang bertindak kriminal,
juga ketidaktoleran mahasiswa terhadap lingkungan dengan
membuang barang-barang yang dianggap tabu secara
sembarangan di jalan kampung, yang membuat masyarakat
marah.
Persoalannya sekarang, mengapa prejudice dan sikap
toleran atau intoleran itu muncul di kalangan mahasiswa.
Secara umum telah disinggung di atas, bahwa aspek agama
dan nonagama dapat menjadi sebab sikap intoleran di
kalangan umat beragama. Aspek agama meliputi fanatisme
agama dan ketaatan serta penyiaran agama, sedang aspek
nonagama meliputi ekonomi, politik, budaya, sosial, dan lain-
lain. Fanatisme agama dan ketaatan merupakan aktualisasi
jiwa keagamaan yang dibentuk dari tradisi keagamaan.

                                                            
24Yaqin, loc.cit. Selengkapnya baca Robert Spencer. Islam Ditelanjangi:

Pertanyaan-pertanyaan Subversif Seputar Doktrin dan Tradisi Kaum Muslim (Islam


Unveiled). Penerjemah Mun`im A. Sirry. Jakarta: Paramadina. 2003. 

16
Mengacu kepada pendapat Erich Fromm bahwa karakter ter-
bina melalui asimilasi dan sosialisasi. Suatu tradisi keagamaan
membuka peluang bagi warganya untuk berhubungan
dengan warga lainnya (sosialisasi). Selain itu juga, terjadi
hubungan dengan benda-benda yang mendukung berjalannya
tradisi keagamaan tersebut (asimilasi), seperti institusi
keagamaan dan sejenisnya. Hubungan ini menurut tesis Erich
Fromm berpengaruh terhadap pembentukan karakter
seseorang.
David Riesman melihat ada tiga model konfirmitas
karakter, yaitu: (1) arahan tradisi (tradition directed); (2) arahan
dalam (inner directed); dan (3) arahan orang lain (other directed),
sebagai jabaran tipe karakter. Tetapi tulis Gardon Allport,
Buss, dan Plomin, perkembangan emosional merupakan
sentral bagi konsep temperamen dan kepribadian. Pendapat
tersebut mengungkapkan bahwa karakter terbentuk oleh
pengaruh lingkungan dan dalam pembentukan kepribadian,
aspek emosional dipandang sebagai unsur dominan.
Fanatisme dan ketaatan terhadap ajaran agama agaknya tak
dapat dilepaskan dari peran aspek emosional.
David Riesman25 melihat bahwa tradisi kultural sering
dijadikan penentu di mana seseorang harus melakukan apa
yang telah dilakukan nenek moyang. Dalam menyikapi tradisi
keagamaan juga tak jarang munculnya kecenderungan seperti
itu. Jika kecenderungan taklid keagamaan tersebut di-
pengaruhi unsur emosional yang berlebihan, maka terbuka
peluang bagi pembenaran spesifik (truth claim) yang
cenderung mengabaikan dialog yang jujur dan argumentatif.
Sikap eksklusif ini yang oleh Ian G. Barbour dalam Issues in

                                                            
25M. Amin Abdullah. “Keimanan Universal di Tengah Pluralisme Budaya:

Tentang Kebenaran Agama dan Masa Depan Ilmu Agama” dalam Ulumul Qur’an, No.
1 Vol. IV Th. 1993. hlm. 88-96.  

17
Science and Religion disebut-sebut sebagai ingridient yang pa-
ling dominan dalam proses pembentukan sikap dogmatism dan
fanaticism.26 Sifat fanatisme dinilai merugikan bagi kehidupan
beragama. Sifat ini dibedakan dari ketaatan. Sebab, ketaatan
merupakan upaya untuk menampilkan arahan dalam (inner
direct) dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama.27
Berdasarkan argumen di atas maka penelitian ini
mengasumsikan bahwa tradisi keagamaan berpengaruh terha-
dap pembentukan sikap toleransi dan intoleran seseorang.
Selain tradisi keagamaan, pada umumnya para ahli
mengakui peran pendidikan dalam menanamkan rasa dan
sikap keberagamaan pada manusia. Dengan kata lain,
pendidikan dinilai memiliki peran penting dalam upaya
menanamkan rasa keagamaan pada seseorang.28 Kemudian,
melalui pendidikan pula dilakukan pembentukan sikap
keagamaan tersebut. Jalaluddin menyebutkan tiga lingkup
pendidikan yang berpengaruh, yaitu: (1) pendidikan keluarga;
(2) pendidikan kelembagaan; dan (3) pendidikan di ma-
syarakat.
Guna menjelaskan tentang pentingnya pendidikan
keluarga bagi pembentukan sikap seseorang, Jalaluddin
mengutipkan kisah dua ahli psikologi anak Prancis bernama
Itard dan Sanguin yang pernah meneliti anak-anak asuhan
serigala. Mereka menemukan dua orang bayi yang dipelihara
oleh sekelompok serigala disebuah gua. Ketika ditemukan,
kedua bayi manusia itu sudah berusia kanak-kanak. Namun,
kedua bayi tersebut tidak menunjukkan kemampuan yang

                                                            
26M. Amin Abdullah. “Relevansi Studi Agama di Era Pluralisme Agama”

dalam Mohammad Sabri. Keberagamaan yang Saling Menyapa: Perspektif Filsafat


Perennial. Yogyakarta: Ittaqa Press. 1999. hlm. xiii.  
27Jalaluddin. op.cit. hlm. 288-289; .  
28Zakiyuddin Baidhawy. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural.

Jakarta: Erlangga. 2007.  

18
seharusnya dimiliki oleh manusia pada usia kanak-kanak. Tak
seorang di antara keduanya yang mampu mengucapkan kata-
kata, kecuali suara auman layaknya seekor serigala. Keduanya
juga berjalan merangkak dan makan dengan cara menjilat.
Dan terlihat pertumbuhan gigi serinya paling pinggir lebih
runcing menyerupai taring serigala. Setelah dikembalikan ke
lingkungan masyarakat manusia, ternyata kedua anak-anak
hasil asuhan serigala tersebut tak dapat menyesuaikan diri,
akhirnya mati. Peristiwa yang serupa pernah terjadi pula di
India, bahkan dia ditemukan pada usia 14 tahun. Sebagaimana
juga terjadi di Prancis, anak yang ditemukan dalam asuhan
serigala yang kemudian diberi nama Manu itu pun akhirnya
mati, karena tidak bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan
manusia pada umumnya.
Contoh di atas menunjukkan bagaimana pengaruh
pendidikan, baik dalam bentuk pemeliharaan ataupun
pembentukan kebiasaan terhadap masa depan perkembangan
seorang anak. Meskipun Manu seorang bayi manusia yang
dibekali potensi kemanusiaan, namun di lingkungan pemeli-
haraan serigala potensi tersebut tidak berkembang. Kondisi
seperti itu tampaknya menyebabkan manusia memerlukan
pemeliharaan, pengawasan dan bimbingan yang serasi dan
sesuai agar pertumbuhan dan perkembangannya dapat
berjalan secara baik dan benar. Di sinilah peran penting
pendidikan keluarga---di mana orang tua sebagai
pendidiknya---memberikan pendidikan dasar bagi pem-
bentukan jiwa keagamaan sang anak. Apakah anak akan
bersikap terbuka (inklusif) atau tertutup (eksklusif),
dogmatisme dan fanatisme, toleran atau intoleran, sangat ber-
gantung bagaimana orang tua menanamkan sikap
keberagamaan kepada sang anak.

19
Adapun mengenai pendidikan kelembagaan, para ahli
mengaku kesulitan mengungkapkan secara tepat mengenai
seberapa jauh pengaruh pendidikan agama melalui
kelembagaan pendidikan terhadap perkembangan jiwa
keagamaan para anak. Berdasarkan penelitian Gillesphy dan
Young, walaupun latar belakang agama di lingkungan
keluarga lebih dominan dalam pembentukan jiwa keagamaan
pada anak, barangkali pendidikan agama yang diberikan di
kelembagaan pendidikan ikut berpengaruh dalam
pembentukan jiwa keagamaan anak. Kenyataan sejarah me-
nunjukkan kebenaran itu. Sebagai contoh adalah adanya
tokoh-tokoh keagamaan yang dihasilkan oleh pendidikan
agama melalui kelembagaan pendidikan khusus seperti
pondok pesantren, seminari maupun vihara. Young menulis
bahwa pendidikan keagamaan (religious pedagogyc) sangat
mempengaruhi tingkah laku keagamaan (religious behavior).29
Pendidikan keluarga dan kelembagaan mempunyai
masa asuhan yang terbatas, sedangkan masa asuhan
pendidikan di masyarakat berlangsung selamanya. Oleh sebab
itu, lingkungan masyarakat akan memberi dampak dan besar
pengaruhnya terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan sebagai
bagian dari aspek kepribadian yang terintegrasi dalam
pertumbuhan psikis. Jiwa keagamaan yang memuat norma-
norma kesopanan tidak akan dikuasai hanya dengan
mengenal saja. Menurut Emerson, norma-norma kesopanan---
dan itu berarti juga termasuk sikap toleransi dan intoleransi
(pen.)---menghendaki adanya norma-norma kesopanan atau
sikap toleransi dan intoleransi pula pada orang lain.30
Dengan demikian, dapat diartikan bahwa sikap toleran
dan intoleran akan lebih efektif jika seseorang berada dalam
                                                            
29 Jalaluddin. op.cit. hlm. 269-270; .  
30 Ibid. 273.  

20
lingkungan yang menjunjung tinggi sikap-sikap tersebut.
Sebagai contoh, hasil penelitian Masri Singarimbun terhadap
kasus kumpul kebo di Mojolama. Ia menemukan 13 kasus
kumpul kebo ini ada hubungannya dengan sikap toleran
masyarakat terhadap hidup bersama tanpa nikah, di mana
kasus seperti itu mungkin akan lebih kecil di lingkungan
masyarakat yang menentang pola hidup seperti itu.31 Dari
penjelasan di atas maka dapat diasumsikan bahwa pendidikan
berpengaruh terhadap pembentukan sikap toleran dan
intoleran. Artinya apa, bahwa situasi dan kondisi pergaulan
seseorang akan sangat menentukan tingkat toleransinya.
Apabila dia hidup dalam sebuah keluarga atau kerabat yang
mungkin menganut agama yang beragam, patut diduga dia
mempunyai toleransi yang tinggi. Apabila mahasiswa banyak
berkecimpung dalam kegiatan intrakurikuler atau
ekstrakulikuler yang di dalamnya tidak sedikit melibatkan
mahasiswa beda agama, patut diduga pula dia mempunyai
toleransi yang tinggi. Apabila mahasiswa tinggal di
lingkungan masyarakat yang beragam pula .
Dalam ilmu psikologi sosial dinyatakan bahwa perilaku
seseorang dapat dibedakan menjadi tiga aspek penyusunnya,
yakni pengetahuan (aspek kognitif), sikap (aspek persuasif),
dan keterampilan (aspek psikomotorik). Pengetahuan adalah
semua buah pikiran dan pemahaman kita tentang dunia, yang
diperoleh tanpa melalui daur hipotetiko-dedukto-verikatif
(gabungan logika deduktif dan logika induktif dengan
pengajuan hipotesa), atau tanpa metode ilmiah.
Sikap merupakan faktor yang ada dalam diri manusia
yang dapat mendorong atau menimbulkan perilaku tertentu,
namun demikian sikap mempunyai segi-segi perbedaan
dengan pendorong-pendorong lain yang ada dalam diri
                                                            
31 Ibid. 274.  

21
manusia itu. Hubungan antara sikap dan perilaku seseorang,
menurut Ajzen (1988) bahwa keyakinan tentang konsekuensi
perilaku dan penilaian tentang keyakinan akan
menumbuhkan sikap seseorang terhadap sesuatu obyek. Sikap
tersebut bersama-sama dengan norma subyektif yang mereka
miliki selanjutnya melahirkan intensi untuk berperilaku.
Dalam taksonomi Bloom, keterampilan ini merupakan
terjemahan dari psychomotor yaitu kompetensi yang berkaitan
dengan tugas dalam suatu sistem dan perilaku sistematis yang
relevan untuk mencapai tujuan. Lebih spesifik lagi
keterampilan ini dapat bermakna kemampuan (ability) yang
menggambarkan suatu sifat (bawaan atau dipelajari) yang
memungkinkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang
bersifat mental atau fisik.
Alimron menjelaskan, secara garis besar, penyebab
munculnya intoleransi terbagi ke dalam dua faktor, yaitu fak-
tor agama dan faktor nonagama. Faktor agama meliputi
fanatisme sempit dan pelaksanaan misi atau dakwah agama.
Pertama, fanatisme sempit. Keberagamaan manusia erat
kaitannya dengan masalah keyakinan yang bersifat subyektif
dan emosional. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama musti
meyakini agamanya sebagai kebenaran yang mutlak (absolut).
Namun demikian, keyakinan ini harus diletakkan dalam sisi
subyektifitas dan obyektifitas. Secara subyektifitas seorang
penganut suatu agama lebih jauh akan meyakini bahwa
agamanyalah sebagai satu-satunya agama yang benar, dan
mengatakan bahwa semua ajaran (agama) yang berbeda dan
bertentangan dengan agamanya adalah ajaran yang salah.
Namun pada sisi obyektif, orang tersebut harus memberi hak
kepada pemeluk agama lain untuk berkeyakinan dan
mengatakan hal yang serupa.

22
Tidak bisa dipungkiri bahwa semua pemeluk agama
mempunyai keyakinan sebagai tersebut di atas. Dalam hal ini
permasalahan akan muncul jika masing-masing umat
beragama hanya mengutamakan sisi subyektifitasnya dan
mengabaikan obyektifitas, atau bahkan berupaya
memaksakan kemutlakan subyektif kepada orang lain.
Implikasi dari fenomena ini adalah lahirnya sikap eksklusif
yang tertutup, otoriter, merasa benar sendiri, dan tidak toleran
terhadap perbedaan. Hal ini sikap eksklusivisme agama.
Memang dalam penganutan suatu agama harus didukung
dengan fanatisme ini. Jika tidak agama tersebut akan
kehilangan nilai dan makna bagi penganutnya bahkan besar
kemungkinan akan terancam eksistensinya. Dalam hal ini, ada
kategori fanatisme, positif dan negatif. Fanatisme positif
adalah sikap fanatik yang bertolak dari pemahaman dan
penghayatan ajaran agama, sehingga terbentuk pribadi yang
teguh dalam memegang ajaran agamanya, tetapi pada waktu
yang sama, juga mau mengerti dengan pengalaman beragama
orang lain. Sedangkan fanatisme negatif adalah sikap fanatik
yang tidak didasarkan pada pemahaman dan penghayatan
ajaran agama yang benar atau hanya berdasarkan taqlid
semata. Dalam tataran praktis, fanatisme ini seringkali
melahirkan sikap keberagamaan yang eksklusif, intoleran,
defensif, dan reaktif, serta cenderung lebih mengutamakan
konfrontatif dengan pihak lain.32
Kedua, pelaksanaan misi atau dakwah agama. Misi atau
dakwah agama merupakan tugas suci bagi tiap pemeluk
agama. Tugas ini merupakan kewajiban yang harus dilakukan
oleh pemeluk agama yang bersangkutan, demi untuk
mempertahankan ekstensinya atau untuk menyelamatkan

                                                            
32Alimron. Toleransi Antarumat Beragama dalam Perspektif al-Quran. Tesis.

Padang: IAIN Imam Bonjol. 1999. hlm. 21-25.  

23
manusia dari kesesatan. Hal ini merupakan konsekuensi logis
dari keyakinan akan kemutlakan ajaran agamanya, apalagi
kalau agama yang bersangkutan diklaim sebagai agama yang
universal, yang ditujukan kepada seluruh umat manusia.
Pemeluk agama demikian merasa dirinya berkewajiban untuk
menyiarkan agamanya kepada seluruh manusia, jika perlu de-
ngan paksaan. Selain itu, karena keyakinan bahwa agama-
nyalah yang benar, ia memandang agama lain salah, pemeluk
agama itu tidak akan mencapai keselamatan. Didorong oleh
keinginan untuk memberi petunjuk kepada orang lain yang
dianggap sesat dan untuk menyelamatkan sesama manusia,
timbullah usaha-usaha untuk menunjukkan kesalahan-
kesalahan agama orang lain sambil menyatakan kebenaran
agamanya sendiri yang kemudian dilanjutkan lagi dengan
usaha-usaha untuk menarik pemeluk agama lain untuk
mengubah agamanya. Upaya-upaya ini pada mulanya
mungkin didasari niat baik, dapat menimbulkan intoleransi
beragama dan mengakibatkan tegangnya hubungan antara
kedua masyarakat pemeluk agama bersangkutan. Dalam hal
ini ketegangan dalam penyebaran agama muncul ketika cara-
cara yang digunakan dirasakan kurang wajar itu, dibumbui
dengan ungkapan-ungkapan, tulisan maupun lisan yang
mnyudutkan atau merendahkan agama lain.
Dari agama-agama yang ada, sifat misionaris ini paling
konkret memang terlihat pada Islam dan Kristen, karena
keduanya sama-sama mengklaim sebagai agama universal.
Oleh karena itu, bagi Islam dan Kristen, penyebaran agama
merupakan konsekuensi logis dan bagian inherent dalam
agama masing-masing. Berbeda dengan agama Hindu,
Buddha, dan Khonghucu misalnya, yang lebih mengutamakan
pada aspek pembinaan pribadi pemeluknya. Karena itu,
jarang ada pertentangan atau ketegangan yang terjadi adalah
ketegangan antara sesama agama misioner, yakni Islam dan

24
Kristen. Untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak di-
inginkan tersebut, maka perlu diwujudkan adanya modus
vivendi (cara hidup bersama) yang mengatur hubungan atau
pergaulan antarumat beragama, termasuk tentang tata cara
dan kode etik penyiaran agama.
Sedangkan faktor nonagama dijelaskan Alimron, secara
hakiki, pada dasarnya tidak ada agama di dunia ini yang lahir
untuk bermusuhan, menghina atau menjelek-jelekkan agama
atau penganut agama lain. Baik pada agama samawi (agama
dengan kitab suci dari nabi) maupun agama ardhi (agama
tanpa kitab suci dan nabi). Oleh karena itu, munculnya
intoleransi antarumat beragama pada hakikatnya bukanlah
berasal dari ajaran agama, melainkan bertolak dari pengertian
dan pemahaman ajaran agama, melainkan bertolak dari
pengertian dan pemahaman ajaran agama yang kurang utuh
dan benar (kaffah), serta cara keberagamaan para pemeluknya.
Selain karena sentimen keagamaan di atas, intoleransi
dalam kehidupan beragama juga dapat timbul karena adanya
pengaruh dari faktor-faktor lain, seperti politik, ekonomi, dan
sosial budaya yang lain. Sebagai contoh, berbagai kerusuhan
dan konflik yang melibatkan antarumat beragama di
Indonesia, sebagaimana telah disinggung di atas, pada
dasarnya lebih didominasi oleh faktor-faktor eksternal
tersebut. Dalam hal ini faktor agama sebenarnya hanya
menempel saja pada faktor-faktor tersebut, dengan kata lain,
sentimen agama telah dijadikan alat atau pemicu untuk mem-
bangkitkan emosi masyarakat sehingga termobilasi untuk
melakukan tindakan destruktif dan kekerasan.33
Berdasarkan elaborasi di atas dapat diidentifikasi
beberapa faktor yang diduga mempengaruhi sikap toleran

                                                            
33 Ibid.  

25
dan intoleran mahasiswa, yaitu faktor-faktor yang berkaitan
dengan kondisi internal mahasiswa, seperti pribadi dan ke-
pribadian, serta eksternal mahasiswa, seperti pengalaman.
Pribadi dan kepribadian bisa meliputi aspek genetis, usia,
jenis kelamin, pola pengasuhan dan pendidikan dalam
keluarga, pekerjaan, pendapatan, pemahaman keagamaan,
dan lain-lain. Sedangkan kondisi eksternal---pengalaman---
bisa meliputi aspek pendidikan kelembangaan (sekolah,
pesantren), interaksi dalam kegiatan intra dan ekstrakurikuler,
pendidikan di masyarakat (lingkungan homogen atau hete-
rogen, pengalaman berinteraksi dengan pemeluk agama
berbeda, tradisi keagamaan, dan sebagainya).34
Banyaknya faktor yang diduga mempengaruhi sikap
toleran dan intoleran mahasiswa menunjukkan bahwa
masalah toleransi merupakan masalah yang kompleks.
Artinya, masalah ini tidak bisa dilihat dari satu sudut
pandang saja tetapi harus dilihat dari berbagai sudut
pandang.
C. Pembatasan Masalah
Sebagaimana telah diuraikan di atas, faktor-faktor yang
dapat menyebabkan munculnya sikap toleransi dan
intoleransi cukup banyak, di antaranya kepribadian
(personality), prasangka (prejudice), persepsi ingroup-outgroup,
fanatisme keagamaan, tradisi keagamaan, pengetahuan dan
pemahaman keagamaan, sosial-budaya, lingkungan
pendidikan (keluarga, akademik, masyarakat), sikap inklusif-
eksklusif, penyiaran agama, politik, ekonomi, atau
pengalaman berinteraksi dengan pemeluk agama berbeda.
Namun, dalam rangka lebih fokus, penelitian ini hanya
membatasi diri pada upaya untuk mengkaji lebih jauh
                                                            
34Agus Purnomo. Ideologi Kekerasan: Argumentasi Teologis-Sosial Radikalisme

Islam. Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press & Pustaka Pelajar. 2009.  

26
mengenai pengaruh kepribadian, keterlibatan organisasi, hasil
belajar pendidikan agama, dan lingkungan pendidikan
terhadap toleransi beragama.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan
pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah
penelitian ini dikonstruksikan dalam bentuk pertanyaan se-
bagai berikut:
1. Apakah kepribadian berpengaruh langsung terhadap
keterlibatan organisasi?
2. Apakah kepribadian berpengaruh langsung terhadap hasil
belajar?
3. Apakah keterlibatan organsiasi berpengaruh langsung
terhadap hasil belajar?
4. Apakah kepribadian berpengaruh langsung terhadap
lingkungan pendidikan?
5. Apakah keterlibatan organisasi berpengaruh langsung
terhadap lingkungan pendidikan?
6. Apakah hasil belajar berpengaruh langsung terhadap
lingkungan pendidikan?
7. Apakah kepribadian berpengaruh langsung terhadap
toleransi beragama?
8. Apakah keterlibatan organisasi berpengaruh langsung
terhadap toleransi beragama?
9. Apakah hasil belajar pendidikan agama berpengaruh
langsung terhadap toleransi beragama?
10. Apakah lingkungan pendidikan berpengaruh langsung
terhadap toleransi beragama?

27
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah guna menjawab 10 butir
rumusan masalah di atas, yaitu mengkaji:
1. Pengaruh kepribadian terhada keterlibatan organisasi
2. Pengaruh kepribadian terhadap hasil belajar
3. Pengaruh keterlibatan organsiasi terhdap hasil belajar
4. Pengaruh keprbadian terhdap lingkugan pendidikan
5. Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap lingkungan
pendidikan
6. Pengaruh hasil belajar terhadap pendidikan
7. Pengaruh kepribadian terhadap toleransi beragama
8. Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap toleransi
beragama
9. Pengaruh hasil belajar pendidikan agama terhadap
toleransi beragama
10. Pengaruh pendidikan terhadap toleransi beragama
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi para
pihak berkepentingan mengetahui gambaran toleransi maha-
siswa berbeda agama perguruan tinggi umum negeri, yaitu:
1. Bagi Pemerintah (Departemen Pendidikan Nasional dan Depar-
temen Agama), penelitian ini diharapkan dapat menjadi
dasar kebijakan bagi penyusunan dan pengembangan
kurikulum nasional pendidikan agama di perguruan tinggi
umum.
2. Bagi Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, penelitian
ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan

28
terukur dalam menggali akar masalah intoleransi
beragama di kalangan mahasiswa perguruan tinggi umum.
Selain itu, penelitian ini juga sebagai pengejawantahan
tugas dan fungsi Badan Litbang dan Diklat Dep. Agama
untuk menyediakan data bagi pemerintah dalam
perumusan kebijakan pendidikan agama di perguruan
tinggi umum.
3. Bagi Perguruan Tinggi Umum, penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam menyusun
model pembinaan keagamaan dalam rangka menciptakan
toleransi beragama di kalangan mahasiswa berbeda
agama. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat
dijadikan sebagai bahan rujukan dalam penyusunan
kurikulum lokal pendidikan agama yang berbasis kema-
jemukan.
4. Bagi Mahasiswa, penelitian ini diharapkan sebagai bahan
renungan bersama dan pengetahuan bagi mahasiswa
untuk mengembangkan wawasan toleransi beragama di
komunitas mereka.
5. Bagi Masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi
bahan sosialisasi nilai-nilai kerukunan dan toleransi dalam
keluarga dan masyarakat serta meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk bertanggung jawab dalam memberikan
penyadaran tentang toleransi beragama.

29
30
BAB II
PENYUSUNAN KERANGKA TEORITIK DAN
PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Deskripsi Teoritik

S
ebagaimana telah disinggung pada bab
sebelumnya bahwa terdapat lima variabel
penelitian, yaitu variabel kepribadian,
keterlibatan organisasi, hasil belajar pendidikan agama,
lingkungan pendidikan, dan toleransi beragama, yang secara
konseptual barangkali tidak banyak diketahui. Oleh karena
itu, sehubungan penelitian ini, pengertian dari masing-masing
variabel tersebut perlu dijelaskan terlebih dahulu guna
menghindari kesalahpahaman terhadap pengertian dan
batasan konsep lima variabel penelitian tersebut.
1. Variabel Kepribadian (X1)
Disiplin ilmu psikologi menjelaskan bahwa istilah yang
dikenal untuk kepribadian bermacam-macam, di antaranya
adalah: (a) mentality, yaitu situasi mental yang dihubungkan
dengan kegiatan mental atau intelektual; (b) personality, yang
dalam Webters Dictionary dijelaskan sebagai the totality of
personality’s characteristic dan an integrated group of constitution
of trends behavior tendencies act; (c) individuality, adalah sifat
khas seseorang yang menyebabkan seseorang mempunyai
sifat berbeda dari orang lainnya; dan (d) identity, yaitu sifat
kedirian sebagai suatu kesatuan dari sifat-sifat
mempertahankan dirinya terhadap sesuatu dari luar (unity and
persistance of personality).1

                                                            
1Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2008.

hlm. 191.  

  31
Personality atau kepribadian berasal dari kata persona
yang berarti topeng, yakni alat untuk menyembunyikan
identitas diri. Adapun pribadi yang merupakan terjemahan
dari bahasa Inggris person, atau persona dalam bahasa Latin
yang berarti manusia sebagai perseorangan, diri manusia atau
diri orang sendiri. Sumber lain melihat, pribadi (persona,
personeidad) adalah akar struktural dari kepribadian, sedang
kepribadian (personality, personalidad) adalah pola perilaku
seseorang di dalam dunia. Secara filosofis dapat dikatakan
bahwa pribadi adalah “aku yang sejati” dan kepribadian me-
rupakan “penampakan sang aku” dalam bentuk perilaku
tertentu. Di sini muncul gagasan umum bahwa kepribadian
adalah kesan yang diberikan seseorang kepada orang lain
yang diperoleh dari apa yang dipikir, dirasakan, dan
diperbuat yang terungkap melalui perilaku.
Banyak definisi tentang kepribadian sebagaimana
dikemukakan oleh Mark A. May, Morrison, Woodworth,
Hartmann, L.P. Thorp, dan C.H. Judd, tetapi uraian paling
lengkap adalah yang dikemukakan oleh G.W. Allport.
Dikatakan bahwa, kepribadian adalah organisasi (susunan)
dinamis dari sistem psikofisik dalam diri individu yang
menentukan penyesuaiannya yang unik terhadap lingkungan.
David Lykken mengatakan bahwa kepribadian sebagai suatu
perangai dan langkah serta semua kekhasan yang membuat
orang berbeda dari orang lain. Kepribadian manusia
merupakan gabungan dari berbagai sifat dan konsep diri
orang. Aspek kepribadian meliputi watak, sifat, penyesuaian
diri, minat, emosi, sikap, dan motivasi. Gagasan tersebut
memberikan gambaran dan kesan tentang apa yang
dipikirkan, dirasakan, dan diperbuat, yang terungkap melalui
perilaku.2 Hariwijaya menyatakan, kepribadian merupakan
                                                            
2Djaali. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 2008. hlm. 3.  

32  
kesatuan unik dari ciri-ciri fisik dan mental yang ada dalam
diri seseorang. Contoh karakteristik fisik misalnya pandangan
mata, senyum, sosok tubuh, perangai, dan sebagainya.
Sedangkan contoh karakteristik mental adalah kebijaksanaan,
toleransi dan ketekunan. Kombinasi yang muncul dari
keduanya merupakan kepribadian seseorang.3
Selanjutnya Wetherington menjelaskan bahwa
kepribadian mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) manusia
karena keturunannya mula sekali hanya merupakan individu
dan kemudian barulah merupakan suatu pribadi karena
pengaruh belajar dan lingkungan sosialnya; (b) kepribadian
adalah istilah untuk menyebutkan tingkah laku seseorang
secara terintegrasikan dan bukan hanya beberapa aspek saja
dan keseluruhan itu; (c) kata kepribadian menyatakan
ketentuan tertentu saja yang ada pada pikiran orang lain dan
isi pikiran itu ditentukan oleh nilai perangsang sosial
seseorang; (d) kepribadian tidak menyatakan sesuatu yang
bersifat statis, seperti bentuk badan atau ras tetapi menyer-
takan keseluruhan dan kesatuan dari tingkah laku seseorang;
dan (e) kepribadian tidak berkembang secara pasif saja, setiap
orang mempergunakan kapasitasnya secara aktif untuk
menyesuaikan diri kepada lingkungan sosial.
Berdasarkan elaborasi di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa kepribadian adalah perangai atau perilaku yang
muncul sebagai akibat interaksi dinamis antara karakteristik
fisik dan mental pada diri individu yang berkembang sesuai
dengan pendidikan dan lingkungan sosialnya. Dengan
perkataan lain, terdapat dua unsur pembentuk kepribadian
yang saling mempengaruhi, yaitu hereditas (fisik dan mental)
dan lingkungan. Adanya kedua unsur yang membentuk
                                                            
3M. Hariwijaya. Tes Kepribadian. Yogyakarta: Media Ilmu. 2009.
hlm. 1.  

  33
kepribadian itu menyebabkan munculnya konsep tipologi4
dan karakter. Tipologi lebih ditekankan kepada unsur
bawaan, sedangkan karakter lebih ditekankan oleh adanya
pengaruh lingkungan.
Beranjak dari pemahaman tersebut, maka para psikolog
cenderung berpendapat bahwa tipologi menunjukkan bahwa
manusia memiliki kepribadian yang unik dan bersifat
individu yang masing-masing berbeda. Sebaliknya karakter
menunjukkan bahwa kepribadian manusia terbentuk
berdasarkan pengalaman dengan lingkungan.5 Berkenaan
dengan kepribadian, Carl Gustav Jung menjelaskan bahwa
kepribadian dalam individu dapat dibedakan antara dua sisi
yang introvert dan extrovert. Pada diri yang introvert umumnya
memiliki sifat-sifat cenderung menarik diri, suka bekerja
sendiri, tenang, pemalu, tetapi rajin, hati-hati dalam
mengambil keputusan, dan cenderung tertutup secara sosial.
Individu yang extrovert pada umumnya memiliki ciri-ciri suka
berpandangan atau berorientasi keluar, bebas dan terbuka
secara sosial, berminat terhadap keanekaan, sigap dan tidak
sabar dalam menghadapi pekerjaan yang lamban, dan suka
bekerja kelompok.
Extrovert adalah kecenderungan seseorang untuk
mengarahkan perhatian keluar dari dirinya, sehingga segala
minat, sikap, keputusan yang diambil lebih ditentukan oleh

                                                            
4Tipologi (typology) adalah satu skema klasifikatori, yang
merupakan hasil dari proses mentipekan (typication) yang mengacu pada ciri
tipikal kualitas individu atau orang, benda-benda, atau peristiwa, oleh
karenanya tipologi merupakan satu kategori niskal yang memiliki acuan
empirikal. M.M. Billah. “Tipologi dan Praktek Pelanggaran Hak Asasi Ma-
nusia di Indonesia”. Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan
Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional Dep. Hukum dan HAM RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003. hlm. 4.  
5Jalaluddin. op.cit. hlm. 282-283.  

34  
peristiwa yang terjadi di luar dirinya. Pada dasarnya orang-
orang yang bersifat extrovert menunjukkan sikap yang lebih
terbuka dan menerima masukkan dari pihak luar, aktif, suka
berteman, dan ramah tamah. Umumnya mereka sudah senada
dengan kebudayaan dan orang-orang yang berada di
sekitarnya, serta berupaya untuk mengambil keputusan sesuai
dan serasi dengan permintaan dan harapan lingkungan.
Adapun tipe introvert kecenderungan seseorang untuk
menarik dari dari lingkungan sosialnya. Minat, sikap, dan
keputusan yang diambil selalu didasarkan perasaan,
pemikiran, dan pengalamannya sendiri. Pada dasarnya orang
yang introvert cenderung pendiam dan tidak membutuhkan
orang lain karena merasa segala kebutuhannya dapat
dipenuhinya sendiri.
Di samping penampakkan umum tersebut, introvert
menunjukkan tempat tertutup dan lebih berhati-hati,
pengambilan keputusan agak terlepas dari kendala dan
penelaahan mengenai situasi, kebudayaan, perorangan atau
benda di sekitar mereka, mereka tenang, rajin, bekerja sendiri,
dan agak tertutup secara sosial. Umumnya orang introvert
tidak suka diinterupsi apabila sedang bekerja dan cenderung
melupakan muka dan nama orang. Meskipun demikian,
keduanya masing-masing memiliki kecenderungan ciri stable
dan unstable. Meskipun demikian baik extrovert dan introvert
hanya merupakan suatu tipe reaksi yang terus menerus, dan
bila seseorang menunjukkan reaksi semacam itu secara
kontinyu atau dengan kata lain reaksi semacam itu lelah
menjadi kebiasaan, maka barulah dapat dianggap seseorang
mempunyai kepribadian satu dari kedua tipe itu.
Pada perkembangan melalui adaptasi maupun
intervensi terhadap lingkungan, sebagian individu
mengadakan penyesuaian, sehingga menjadi sifat yang

  35
ambivalen, yakni sifat di antara introvert dan extrovert.
Seseorang yang mempunyai sifat introvert dengan adanya
unsur adaptasi dengan lingkungan serta rasa percaya dirinya
yang semakin bertambah akan cenderung bergerak ke arah
extrovert. Demkian juga seseorang extrovert dengan adanya
unsur adaptasi dengan lingkungan tetapi percaya diri yang
semakin berkurang akan cenderung bergerak ke arah
introvert.6
Berbeda dengan Jung, jauh sebelumnya Galenus
membagi secara umum kepribadian manusia menjadi empat
kriteria yaitu: (a) Sanguinis, yaitu seseorang yang mempunyai
sifat dasar periang, optimistis, dan percaya diri. Sifat
perasaannya mudah menyesuaikan diri, tidak stabil, baik hati,
tidak serius, kurang dapat dipercaya karena kurang begitu
konsekuen; (b) Melankolis, yaitu seseorang yang mempunyai
sifat dasar pemurung, sedih, pesimistis, kurang percaya diri.
Sifat lainnya merasa tertekan dengan masa lalunya, sulit
menyesuaikan diri, berhati-hati, konsekuen, dan suka
menepati janji; (c) Koleris, yaitu seseorang yang mempunyai
sifat dasar selalu merasa kurang puas, bereaksi negatif dan
agresif. Sifat-sifat lainnya mudah tersinggung (emosional),
suka membuat provokasi, tidak mau mengalah, tidak sabaran,
tidak toleran, kurang mempunyai rasa humor, cenderung
beroposisi, dan banyak inisiatif (usaha); dan (d) Plegmatis,
yaitu seseorang yang mempunyai sifat dasar pendiam, tenang,
netral (tidak ada warna perasaan yang jelas), dan stabil. Sifat
lainnya merasa cukup puas, tidak peduli (acuh tak acuh),
dingin hati (tak mudah terharu), pasif, tidak mempunyai ba-
nyak minat, bersifat lambat, sangat hemat, dan tertib/teratur.7

                                                            
6Djaali.
op.cit. hlm. 11-12.  
7Syamsu
Yusuf LN dan A. Juntika Nurihsan. Teori Kepribadian.
Bandung: Sekolah Pascasarjana & Remaja Rosdakarya. 2008. hlm. 26.  

36  
Sedangkan Hariwijaya menjelaskan, bahwa emosi orang
Sanguinis umumnya menarik, pandai bicara, pandai
menghidupkan forum dan punya rasa humor yang hebat. Ia
mempunyai ingatan kuat untuk warna, rasa dan gaya. Di
dalam forum, secara fisik mampu memukau pendengar, emo-
sional dan demonstratif, antusias dan ekspresif, periang dan
penuh semangat. Kepalanya penuh dengan rasa ingin tahu. Ia
adalah orator yang baik di panggung, lugu dan polos dalam
sikap, berhati tulus dan kadang kekanak-kanakan. Ia realistis
dalam cita-cita, hidup di masa sekarang, mudah diubah jika
memang ada ide yang lebih baik. Bukan hanya pandai
mengontrol emosinya sendiri, ia juga pandai memainkan
emosi orang lain. Seorang Sanguinis adalah sukarelawan
untuk tugas, memikirkan kegiatan baru, tampak hebat di per-
mukaan, kreatif dan inovatif, punya energi dan antusiasme,
mulai dengan cara cemerlang, serta mampu mengilhami
orang lain untuk ikut serta. Ia pandai untuk mempesona dan
mendorong orang lain untuk bekerja. Sebagai rekan, orang
Sanguinis mudah berteman karena ia mencintai orang, suka
dipuji dan selalu tampak menyenangkan. Karena itu ia sering
dicemburui orang lain, meski ia bukan pendendam dan cepat
minta maaf jika merasa bersalah. Ia mempunyai daya impro-
visasi yang tinggi sehingga pintar mencegah saat-saat
membosankan dengan kegiatan spontan.
Ciri emosi orang Melankolis adalah pemikir yang
mendalam, analitis, serius dan tekun. Ia cenderung jenius,
berbakat dan kreatif, artistik atau musical, filosofis dan puitis.
Ia sangat menghargai dan menjunjung tinggi keindahan,
perasa terhadap orang lain, suka berkorban, penuh kesadaran,
idealis. Ia akan memendam emosinya demi menjaga harmoni.
Di dalam hubungan dengan pekerjaan, orang Melankolis
berorientasi pada jadwal, perfeksionis, standar tinggi, sadar
perincian, gigih dan cermat, tertib dan terorganisasi, teratur

  37
dan rapih. Dalam pengeluaran ia ekonomis, melihat masalah
secara cermat hingga mendapat pemecahan kreatif, perlu
menyelesaikan apa yang dimulai, suka diagram, grafik, bagan,
daftar. Kendali emosinya sangat tinggi. Orang melankolis
hati-hati dalam berteman. Ia lebih puas tinggal sebagai orang
kedua dalam sebuah organisasi dan menghindari perhatian.
Meski demikian orang Melankolis setia dan berbakti, mau
mendengarkan keluhan, bisa memecahkan masalah orang
lain, sangat memperhatikan orang lain, terharu oleh air mata
penuh dengan belas kasihan, mencari teman hidup ideal.
Ciri emosi orang Koleris berbakat sebagai pemimpin
karena ia dinamis dan aktif, sangat memerlukan perubahan,
progresif memperbaiki kesalahan, berkemauan kuat dan
tegas, tidak emosional bertindak, tidak mudah patah
semangat, bebas dan mandiri, memancarkan keyakinan, dan
bisa menjalankan apa saja. Ia akan memperoleh banyak
pendukung dari teman-teman dekatnya. Salah satu sifat
penting orang Koleris adalah disiplin tinggi. Seorang Koleris
berorientasi target, melihat seluruh gambaran, berorganisasi
dengan baik, mencari pemecahan praktis, bergerak cepat
untuk bertindak, mendelegasikan pekerjaan, menekankan
pada hasil, membuat target, merangsang kegiatan,
berkembang karena saingan. Seorang Koleris tidak terlalu
perlu teman, mau bekerja untuk kegiatan, mau memimpin
dan mengorganisasi, biasanya selalu benar dan paling bijak,
unggul dalam keadaan darurat. Ia fleksibel, mampu bekerja
sendiri maupun berkelompok. Keduanya menguntungkan
bagi dia. Emosinya sangat terjaga jika tidak dimulai oleh suatu
pelanggaran kode etik yang mengganggu pribadinya.
Pemimpin yang berjiwa Koleris adalah seseorang yang secara
luar biasa mampu menggerakan orang lain untuk melangkah.
Mereka bisa mengajak orang lain keluar dari zona kenyaman
dan bergerak menuju tujuan mereka. Mereka mampu

38  
membangkitkan gairah, antusiasme, dan tindakan para
pengikut.8
2. Variabel Keterlibatan Organisasi (X2)
Salah satu sikap manusia ditentukan oleh pengalaman.
Pengayaan pengalaman ditentukan oleh seberapa besar
keinginan seseorang terlibat dalam kegiatan sosial-
kemasyarakatan, atau bagi mahasiswa, kehidupan kampus
melalui kegiatan organisasi kemahasiswaan atau sejenisnya.
Keinginan untuk terlibat dalam organisasi kemahasiswaan
sesungguhnya merupakan pemenuhan kebutuhan untuk
hidup bermasyarakat (live of society) ataupun kehidupan
berkelompok (live of group).
Keterlibatan atau partisipasi menurut Soerjono Soekanto
merupakan setiap proses identifikasi atau menjadi peserta,
suatu proses komunikasi atau kegiatan bersama dalam suatu
situasi sosial tertentu.9 Dalam hidup bersama atau
berkelompok, manusia menginginkan penampilannya sebaik
mungkin agar dapat memberikan manfaat bagi orang lain.
Miftah Thoha mengatakan bahwa dasar pokok yang amat
penting atas keterlibatan seseorang dalam kehidupan
berkelompok adalah kesempatannya untuk berinteraksi de-
ngan pihak lain. Bila seseorang jarang melihat atau berbicara
dengan pihak lain, akan sulit dapat tertarik. Oleh karena itu,
keterlibatan seseorang dalam berorganisasi atau berkelompok,
ditentukan oleh adanya daya tarik. Daya tarik ini ditimbulkan
oleh adanya interaksi antara sesama organisasi. Kesempatan

                                                            
8M. Hariwijaya. op.cit. hlm. 118-130; Jalaluddin. op.cit. hlm. 195;

Agus Sujanto, Halem Lubis, dan Taufik Hadi. Psikologi Kepribadian. Jakarta:
Bumi Aksara. 2008. hlm. 22.  
9Soerjono Soekanto (1993: 355), sebagaimana dikutip Sismarni.

“Teori Partisipasi dalam Dinamika Sosial” dalam www.lppbi-


fiba.blogspot.com.  

  39
berinteraksi ini secara langsung mempunyai pengaruh terha-
dap daya tarik dan pembentukan kelompok. Di samping itu
juga, keterlibatan itu didasarkan atas teori kedekatan.
Menurut teori ini, seseorang tersebut dapat berhubungan
dengan orang lain karena adanya kedekatan ruang dan
daerahnya (spatial and geographical proximity). Selanjutnya
Thoha menyebutkan keterlibatan juga didasarkan atas alasan-
alasan praktis (practicalities of group formation). Karyawan-
karyawan suatu organisasi, misalnya, akan mengelompok atas
alasan ekonomi, keamanan dan sosial. Yang terpenting dalam
teori ini adalah bahwa kelompok-kelompok itu cenderung
memberikan kepuasan terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial
yang mendasar dan substansial dari orang-orang yang
mengelompok tersebut.
Teori lain, dikemukakan oleh George Hommans yang
melihat keterlibatan itu didasarkan pada aktifitas-aktifitas,
interaksi-interaksi dan sentimen-sentimen (perasaan ataupun
emosi). Ketiga elemen ini saling berhubungan secara langsung
dengan alasan bahwa semakin banyak dilakukan aktifitas
seseorang dengan hal yang berhubungan dengan orang lain,
semakin beraneka interaksinya dan juga semakin kuat
tumbuhnya sentimen-sentimen mereka. Kemudian semakin
banyak interaksi antara seseorang dengan yang lainnya, maka
semakin banyak kemungkinan aktifitas dan sentimen yang
ditularkan kepada orang lain. Dan yang terakhir, semakin ba-
nyak aktifitas yang ditularkan kepada orang lain dan semakin
banyak sentimen seseorang dipahami oleh orang lain, maka
semakin banyak pula kemungkinan ditularkannya aktifitas-
aktifitas dan interaksi-interaksi.
Menurut Thibaut dan Kelly, bahwa terbentuknya suatu
organisasi didasarkan atas teori tukar menukar, teori
persamaan sikap dan teori saling melengkapi. Menurut teori

40  
tukar menukar ini, interaksi dalam suatu kelompok terjadi
dalam proses tukar-menukar antara imbalan (reward) dengan
ongkos (cost) dalam setiap terjadinya interaksi. Seseorang
selalu mendapatkan imbalan berupa kepuasan atau
terpenuhinya sebahagian kebutuhannya. Menurut teori tukar
menukar ini, seseorang menciptakan dan memelihara hubung-
an antarperorangan karena ia berpendapat bahwa imbalan
yang diperolehnya masih lebih besar daripada ongkos yang
harus ia keluarkan.
Festinger mengatakan bahwa orang yang memasuki
suatu kelompok sosial, pada hakikatnya mempunyai
dorongan untuk mengadakan evaluasi terhadap dirinya.
Dengan memasuki suatu organisasi, seseorang akan
mengetahui pendapat orang lain mengenai dirinya termasuk
apa yang baik, yang boleh dan yang tidak boleh dikerjakan.
Melalui interaksi dalam organisasi itulah ia dapat mengetahui
apakah pendapatnya, gagasan dan pertimbangannya sesuai
dengan kenyataan sosial.10]
Sementara itu, menurut Helbert dan Ray keterlibatan
seseorang dalam berorganisasi didasarkan pada keinginan
untuk memuaskan tujuan-tujuan pribadinya. Organisasi dapat
menuntunnya untuk mencapai cita-citanya yang tidak dapat
dicapai dengan sendirian. Dasar lainnya ialah karena
organisasi merupakan mobilitas bagi usaha pencapaian
tersebut. Di samping itu, organisasi juga menjadikan
seseorang mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan atau
menyempurnakan barang-barang (dalam arti luas) yang
termasuk dalam tujuan pribadi. Hal itu akan sulit atau kurang
memungkinkan untuk diselesaikan tanpa keterlibatan
organisasi. Kemudian keterlibatan juga untuk memenuhi
kebutuhan biologis seperti sandang, pangan, perumahan, air,
                                                            
10Ibid.  
  41
udara dan lain-lain guna mempertahankan hidupnya. Selain
itu, juga untuk mengharapkan sejumlah keuntungan atau
kontribusi tertentu dari organisasi dan menyempurnakan
tujuan-tujuan tertentu. Menurut Abdulsyani, keterlibatan
seorang dalam kelompok didasarkan karena hasratnya untuk
bersatu dengan manusia-manusia yang lain disekitarnya. Ka-
rena naluri manusia itu ingin hidup bersama atas kehendak
dan kepentingan yang tidak terbatas. Karena itu, dalam usaha
untuk memenuhi kehendak dan kepentingan tersebut, tidak
dapat dilakukan sendirian melainkan harus dilakukan secara
bersama-sama. Dengan demikian, proses untuk mencapai
tujuan tersebut dapat melalui kerjasama dan berfikir secara
bersama-sama pula.
Sementara itu, menurut Witch bahwa tertariknya
seseorang untuk melakukan interaksi di tentukan oleh prinsip
atau asas saling melengkapi (the principle of complementary).
Artinya, seseorang tertarik untuk mengadakan interaksi
bukan karena adanya kesamaan sikap, tetapi justru karena
adanya perbedan-perbedaan yang tercipta. Adanya
perbedaan, misalnya, dalam merasakan kekurangan diri
sendiri dibandingkan dengan orang lain, justru akan mendo-
rong seseorang tersebut untuk mendapatkan yang kurang itu
dari orang lain.11 Paparan di atas menggambarkan
keuntungan yang dapat diperoleh oleh seseorang bila terlibat
dalam organisasi. Melalui keterlibatan organisasi, selain akan
memperoleh informasi berharga, tanggapan dan saran, ide-ide
berharga, juga dapat memperkecil kesalahpahaman
antarindividu dan kelompok, sehingga akan terwujud saling
pengertian dan toleransi antaranggota. Para mahasiswa yang
terlibat dalam organisasi diasumsikan memiliki cakrawala
pandang yang luas dan toleran terhadap orang lain.
                                                            
11Ibid.  
42  
Sedangkan organisasi (organization) artinya sistem
disiplin yang mengatur sejumlah manusia dalam
melaksanakan usaha sosial atau politik berdasarkan azas-azas
dan mengikuti metode-metode yang terarah. Dalam konteks
kemahasiswaan, ada dua jenis organisasi kemahasiswaan,
yaitu yang bersifat intrakampus seperti Himpunan Mahasiswa
Jurusan, Senat Mahasiswa Fak. Badan Eksekutif Mahasiswa,
Lembaga Dakwah Kampus, dan lain-lain serta ekstrakampus,
seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM), Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), dan lain-lain.
3. Variabel Hasil Belajar Pendidikan Agama (X3)
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui,
kepandaian atau segala sesuatu yang diketahui berkenaan
dengan hal (mata pelajaran).12 Definisi lain, pengetahuan
(knowledge) adalah sesuatu yang hadir dalam jiwa dan pikiran
seseorang dikarenakan adanya reaksi, persentuhan, dan
hubungan dengan lingkungan dan alam sekitar. Pengetahuan
ini meliputi emosi, tradisi, keterampilan, informasi, akidah,
dan pikiran-pikiran.13 Sedangkan keagamaan artinya “yang
berhubungan dengan agama”, yang dalam kaca mata Wade
Clark Roof sebagai hasil pengembangan gagasan Durkheim
memiliki unsur: (a) kepercayaan (beliefs); (b) ritus (ibadah); dan
(c) komunitas moral. Dengan demikian, pengetahuan
keagamaan dapat didefinisikan sebagai “segala sesuatu yang
diketahui, kepandaian atau segala sesuatu yang berkenaan

                                                            
12Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka. 2005. Hlm. 1121.  


13Israq. “Substansi dan Definisi Pengetahuan” dalam
www.israq.wordpress.com.  

  43
dengan agama yang meliputi aspek kepercayaan, ritus, dan
komunitas moral”.14
Dalam konteks pendidikan di perguruan tinggi,
penguasaan pengetahuan keagamaan diukur melalui huruf
dan angka tertentu, biasanya dalam 5 kategori: A = 4, B = 3, C
= 2, D = 1, E = 0. Huruf A diasosiasikan sebagai simbol yang
mewakili penguasaan pengetahuan keagamaan yang tertinggi
(kategori sangat baik), baru menyusul kemudian peringkat di
bawahnya B (baik), C (cukup), D (kurang), dan E (sangat ku-
rang). Artinya, bila ada mahasiswa memperoleh nilai A maka
yang bersangkutan diasumsikan mempunyai penguasaan
pengetahuan keagamaan yang sangat baik. Sebaliknya, bila
mendapat huruf E maka diasumsikan mempunyai
penguasaan pengetahuan keagamaan yang sangat kurang.
Dengan penguasaan pengetahuan keagamaan yang sangat
baik maka diasumsikan mempunyai sikap toleransi beragama
yang sangat baik pula. Sebaliknya, dengan penguasaan pe-
ngetahuan keagamaan yang sangat kurang maka diasumsikan
mempunyai sikap toleransi beragama yang sangat kurang
pula.
Asumsi di atas tentu tidak baku, karena antara aspek
kognitif (pengetahuan keagamaan) dan psikomotorik
(toleransi beragama) tidak selalu mempunyai hubungan
sebab-akibat. Banyak faktor---sebagaimana akan diuraikan
pada penjelasan tentang toleransi beragama---yang
mempengaruhi sikap toleransi beragama seseorang.
4. Variabel Lingkungan Pendidikan (X4)
Memahami lingkungan pendidikan tidak dapat
dipisahkan dari pemahaman akan konsepsi pendidikan, sebab

                                                            
14Bandingkan
dengan pengertian pengetahuan keagamaan menurut
Endang Saifuddin Anshari dalam Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina
Ilmu. 1987. hlm. 46.  

44  
pendidikan itu merupakan suatu proses yang berlanjut dan
berlangsung dalam bermacam-macam situasi dan lingkungan.
Dalam Dictionary of Education yang dikutip oleh A. Mury
Yusuf, mengatakan bahwa: “Pendidikan itu adalah
merupakan (1) suatu proses (sejumlah proses secara bersama-
sama) perkembangan, kemampuan, sikap dan bentuk tingkah
laku lainnya yang berlaku dalam masyarakat di mana ia
hidup; (2) suatu proses di mana seseorang dipengaruhi oleh
lingkungan terpilih dan terkontrol (misalnya kampus)
sehingga ia dapat mengembangkan diri pribadi secara
optimum dan kompeten dalam kehidupan masyarakat
(sosial). Dengan demikian interaksi dalam diri individu dan
dengan masyarakat sekitarnya baik dilihat dari segi
kecerdasan/ kemampuan, minat maupun pengalamannya”15
Sehubungan dengan lingkungan pendidikan, oleh
Hadari Nawawi dijelaskan bahwa: “Di dalam kegiatan
kependidikan sekurang-kurangnya dua orang atau lebih yang
masing-masing menjalankan fungsi sebagai pendidik dan si
terdidik atau anak yang harus dibantu, ditolong dan
diarahkan agar mencapai kedewasaannya masing-masing
sebagai tujuan. Realita kegiatannya sengaja atau tidak sengaja
akan berwujud organisasi atau kegiatan kelompok manusia
sebagai suatu sistem yang bersifat tetap berlaku universal, dan
tidak terkait pada organisasi yang lain. kegiatan kependidikan
seperti itu antara lain diwujudkan dalam keluarga,
sekolah/kampus, dan lembaga pendidikan formal lainnya”.16
Berdasarkan pendapat di atas, pada dasarnya
lingkungan pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi:
                                                            
15A. Muri Yusuf. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Ghalia

Indonesia. 1996. hlm. 23. 


16Hadari Nawawi. Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas. Jakarta:

Gunung Agung. 1985. hlm. 7. 

  45
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan
masyarakat (sosial).
a. Lingkungan Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil di dalam masyarakat yang
merupakan persekutuan hidup antarsekelompok orang dan
mempunyai kepentingan masing-masing dalam mendidik.
Ayah dan Ibu sebagai pimpinan keluarga memberikan suatu
konsekuensi berupa tanggung jawab memelihara dan mendi-
dik setiap anak yang dilahirkannya. Konsekuensi itu
didasarkan pada norma-norma sosial dan norma agama yang
menempatkan manusia sebagai makhluk individual, sosial
dan bermoral. Dengan demikian sebuah keluarga tidak hanya
sekadar berstatus sebagai lembaga sosial akan tetapi juga me-
rupakan lembaga pendidikan informal.
Raymond W. Murray menyatakan fungsi keluarga
sebagai berikut: (1) kesatuan turunan biologis dan juga
kebahagiaan bermasyarakat; (2) berkewajiban meletakkan
dasar pendidikan, rasa keagamaan, kemauan, rasa kesukaan
pada keindahan, kecakapan berekonomi, pengetahuan penja-
gaan pada diri si anak. Di samping itu pula dilengkapi bahwa
keluarga perlu meletakkan kerangka berpikir pada diri si
anak.”17 Selanjutnya status keluarga sebagai lembaga
pendidikan dijelaskan Sutjipto Wirawidjojo dengan pernyata-
annya: “Keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama
dan utama”.18
Pentingnya pendidikan anak-anak dalam keluarga
sangat menentukan perkembangan anak itu pada fase-fase
selanjutnya. Tanpa adanya pendidikan anak yang
terorganisasi dalam keluarga, maka anak akan tumbuh dan
                                                            
17A. Mury Yusuf. op.cit. hlm. 26. 
18Slameto. lot cit. hlm. 62. 

46  
berkembang secara tidak sewajarnya. Karena tujuan
pendidikannya untuk membina, membimbing dan
mengarahkan kepada tujuan suci, yakni terbentuknya mental,
sikap serta penonjolan tingkah laku yang positif dan
membangun, bukan saja dalam lingkungan keluarga tetapi
disetiap lingkungan di mana ia berada. Dengan demikian
mahasiswa yang mendapat keluarga yang baik akan mampu
mengidentifikasikan pola sikap dan tingkah laku yang baik
dalam keluarganya dan dalam konteks yang lebih luas
(lingkungan sosial).
b. Lingkungan Perguruan Tinggi (Kampus)
Perguruan Tinggi adalah organisasi kerja sebagai wadah
kerjasama sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan.
Oleh sebab itu Perguruan Tinggi dinamakan juga sebagai
lembaga atau institusi. Perguruan Tinggi pada prinsipnya
merupakan salah satu wadah tempat berlangsungnya
pendidikan yang memiliki peranan dan kedudukan sebagai
lembaga pendidikan. Di dalamnya terdapat pengelompokan
yang berbeda-beda tetapi merupakan satu kesatuan yang
integral sebagai komponen-komponen yang saling berinterak-
si. Dari konteks inilah sehingga kampus diimplementasikan
sebagai lingkungan pendidikan.
Peranan Sekolah/Perguruan Tinggi sebagai institusi
dinyatakan sebagai berikut: “peranan sekolah/kampus
sebagai lembaga pendidikan adalah mengembangkan potensi
manusiawi yang dimiliki anak-anak agar mampu menjalankan
tugas-tugas kehidupan sebagai manusia, baik secara individu-
al maupun sebagai anggota masayarakat. Kegiatan untuk
mengembangkan potensi itu harus dilakukan secara
berencana, terarah dan sistematik guna memncapai tujuan
tertentu. tujuan itu harus mengandung nilai-nilai yang serasi

  47
dengan kebudayaan masyarakat yang menyelenggarakan
pendidikan sebagai lembaga pendidikan.”19
Melalui Perguruan Tinggi mahasiswa dipersiapkan
menjadi manusia yang memiliki pengetahuan, keteram
pilan/keahlian di dalam mengola lingkungannya yang terdiri
atas lingkungan fisik dan lingkungan sosial guna menciptakan
berbagai kelengkapan untuk memper mudah dan menyenang-
kan kehidupannya. Dilihat dari sudut sosial dan spiritual
Perguruan Tinggi berfungsi mengembangkan sikap mental
yang erat hubungannya dengan norma-norma kehidupan.
Muhlas, menyatakan bahwa pendidikan memiliki tiga
dimensi, yaitu: dimensi jangka pendek, jangka menengah, dan
jangka panjang. Dimensi jangka pendek pendidikan diartikan
sebagai proses kegiatan belajar mengajar, dimensi jangka
menengah diartikan sebagai proses penyiapan sumber daya
manusia, dan dimensi jangka panjang adalah sebagai proses
pengembangan budaya.20
Berdasarkan uraian di atas, berarti Perguruan Tinggi
sebagai lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab
mempersiapkan mahasiswa agar mampu meneruskan sejarah
dan tata cara kehidupan manusia sebagai makhluk yang
berbudaya. Karena kebudayaan itu bukanlah sesuatu yang
statis akan tetapi terus menerus berkembang secara dinamis.
Oleh sebab itu Perguruan Tinggi diharapkan bukan sekadar
berfungsi untuk mempertahankan kebudayaan yang ada
sesuai dengan martabat manusia yang selalu dituntut dengan
kebutuhan yang selalu meningkat.

                                                            
19Hadari Nawawi. op.cit. hlm. 27. 
20Muhlas. Pendidikan Profesi Guru. Jakarta: Irjen Dikti Depdiknas.
2009. 

48  
c. Lingkungan Masyarakat
Menurut A. Muri Yusuf, lingkungan masyarakat adalah
lingkungan ketiga dalam proses pembentukan kepribadian
anak. Lingkungan masyarakat akan memberikan sumbangan
yang berarti dalam diri anak apabila diwujudkan dalam
proses dan pola yang tepat. Tidak semua ilmu pengetahuan,
sikap, keterampilan maupun performansi dapat
dikembangkan oleh sekolah/kampus ataupun dalam keluar-
ga, karena keterbatasan dan kelengkapan lembaga tersebut.
Kekurangan yang dirasakan akan dapat diisi dan dilengkapi
oleh lingkungan masyarakat dalam membina pribadi anak”.21
Dalam pendapat tersebut di atas terlihat bahwa fungsi
pendidikan dalam masyarakat adalah sebagai: (1) komplemen,
yaitu berorientasi untuk melengkapi kemampuan
keterampilan kognitif, perfomansi seseorang, sebagai akibat
belum lengkapnya (mantapnya) apa yang mereka terima
dalam sekolah atau dalam keluarga; (2) substitusi, yakni
menyediakan pendidikan bukan sekadar tambahan atau
pelengkap, tetapi mengadakan pendidikan yang sama dengan
sekolah; dan (3) sebagai suplemen terhadap pendidikan yang
diberikan oleh lingkungan yang lain yakni penambahan
pengetahuan keterampilan. Misalnya mengadakan kursus-
kursus, pelatihan, dan kegiatan dalam suatu organisasi
kemasyarakatan.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka bentuk dan jenis
lingkungan sangat menentukan dan memberi pengaruh
terhadap pembentukan sikap, penerimaan, tingkah laku, dan
toleransi setiap mahasiswa terhadap berbagai kemajemukan
(etnis, organisasi, dan agama). Hal tersebut mengindikasikan
bahwa bentuk dan jenis lingkungan pendidikan tidak bisa

                                                            
21A. Mury Yusuf, op.cit., hlm. 34 

  49
diabaikan sebagai faktor penting dalam mengukur toleransi
beragama di kalangan mahasiswa. Pengabaian terhadap
masalah ini barangkali dapat membuat pembacaan terhadap
toleransi beragama di kalangan mahasiswa itu tidak utuh
(bias).
5. Variabel Toleransi Beragama (Y)
Dalam Webster’s World Dictionary of American Language,22
kata “toleransi” secara etimologis berasal dari bahasa Latin, to-
lerare yang berarti “menahan, menanggung, membetahkan,
membiarkan, dan tabah”. Dalam bahasa Inggris, kata itu
berubah menjadi tolerance yang berarti “sikap membiarkan,
mengakui, dan menghormati keyakinan orang lain tanpa
memerlukan persetujuan”. Wikipedia Ensiklopedia, mengutip
Perez Zagorin, menjelaskan bahwa toleransi adalah termi-
nologi yang berkembang dalam disiplin ilmu sosial, budaya
dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang
adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang
berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu
masyarakat.23 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan,
toleransi adalah sifat atau sikap toleran, yaitu bersifat atau
bersikap menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan,
kepercayaan, kebiasaan, kelakuan) yang berbeda atau
bertentangan dengan pendirian sendiri, misalnya toleransi
agama (ideologi, ras, dan sebagainya).24

                                                            
22David G. Gularnic, Webster’s World Dictionary of American Language.

New York: The World Publishing Company. 1959. p. 799; William L. Reese.
Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western Thought. Expanded
Edition. New York: Humanity Books. 1999. p. 774-775..  
23www.wikipedia.org.id.  
24Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2005. hlm. 1204; W.J.S. Poerwadarminta.

50  
Dalam bahasa Arab, kata toleransi---mengutip Kamus al-
Munawir---biasa disebut dengan istilah tasamuh yang berarti
sikap membiarkan atau lapang dada.25 A. Zaki Badawi menga-
takan, tasamuh (toleransi) adalah pendirian atau sikap yang
termanifestasikan pada kesediaan untuk menerima berbagai
pandangan dan pendirian yang beranekaragam, meskipun
tidak sependapat dengannya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
toleransi ini erat kaitannya dengan masalah kebebasan atau
kemerdekaan hak asasi manusia dalam tata kehidupan
bermasyarakat, sehingga mengizinkan berlapang dada terha-
dap adanya perbedaan pendapat dan keyakinan dari setiap
individu.26Kamus Oxford menegaskan bahwa toleransi adalah
kemampuan untuk menenggang rasa atas keyakinan dan
tindakan orang lain dan membiarkan mereka melakukannya.
Kamus tersebut juga menggambarkan toleransi sebagai
“kemampuan untuk menanggung penderitaan atau rasa sa-
kit”. Deklarasi Prinsip-prinsip Toleransi UNESCO
menyatakan bahwa “toleransi adalah rasa hormat, pe-
nerimaan, dan penghargaan atas keragaman budaya dunia
yang kaya, berbagai bentuk ekspresi diri, dan cara-cara
menjadi manusia. Toleransi adalah kerukunan dalam perbeda-
an”.
Sullivan, Pierson, dan Marcus, sebagaimana dikutip
Saiful Mujani, toleransi didefinisikan sebagai a willingness to
“put up with” those things one rejects or opposes, yakni
                                                                                                                              
Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1989. hlm. 702; Binsar
A. Hutabarat. Kebebasan Beragama VS Toleransi Beragama. www.google.com.  
25Ahmad Warson Munawir. Kamus al-Munawir. Yogyakarta: PP

Krapyak. 1994. hlm. 702.  


26A. Zaki Badawi. Mu`jam Musthalahat al-`Ulum al-Ijtima`iyat. Beirut:

Maktabah Lubnan. 1982. hlm. 426; Khaled Abou El Fadl. Cita dan Fakta
Toleransi Islam: Puritanisme versus Pluralisme. Bandung: Arasy. 2003; `Ala
Abu Bakar. Islam yang Paling Toleran: Kajian tentang Fanatisme dan Toleransi
dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2006.  

  51
“kesediaan untuk menghargai, menerima, atau menghormati
segala sesuatu yang ditolak atau ditentang oleh seseorang”.27
J.P. Chaplin mengatakan, toleransi adalah satu sikap liberalis,
atau tidak mau campur tangan dan tidak mau campur tangan
dan tidak mengganggu tingkah laku dan keyakinan orang
lain.28 Lorens Bagus menjelaskan, toleransi adalah sikap se-
seorang yang bersabar terhadap keyakinan filosofis dan
moral orang lain yang dianggap berbeda, dapat disanggah,
atau bahkan keliru. Dengan sikap itu ia juga tidak mencoba
memberangus ungkapan-ungkapan yang sah keyakinan-
keyakinan orang lain tersebut. Sikap semacam ini tidak berarti
setuju terhadap keyakinan-keyakinan tersebut. Juga tidak
berarti acuh tak acuh terhadap kebenaran dan kebaikan, dan
tidak harus didasarkan atas agnostisisme, atau skeptisisme,
melainkan lebih pada sikap hormat terhadap pluriformitas
dan martabat manusia yang berbeda.29
Benyamin Intan dalam bukunya, Public Religion and the
Pancasila-Based State of Indonesia mengutip David Little
membagi pengertian toleransi dalam dua bagian: Pertama,
dalam definisinya yang minimal, yaitu “jawaban pada
seperangkat kepercayaan, praktik atau atribut, yang pada
awalnya dianggap sebagai menyimpang atau tidak bisa
diterima, dengan ketidaksetujuan, tetapi tanpa menggunakan
kekuatan atau paksaan”. Kedua, dalam bentuknya yang paling
kuat, toleransi bisa didefinisikan sebagai “(sebuah) jawaban
                                                            
27Saiful Mujani. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan

Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama. 2007. hlm. 162.  
28J.P. Chaplin. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: RajaGrafindo

Persada. 2006. hlm. 512; Paul Edwards. Editor in Chief. “Toleration” in The
Encyclopedia of Pholosophy. Volume 7 and 8 Paul Edwars (New York &
London: Macmillan Publisher. 1967, hlm 143.  
29Lorens Bagus. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

1996. hlm. 1111-1112.  

52  
kepada seperangkat kepercayaan, praktik atau atribut, yang
awalnya dianggap sebagai menyimpang atau tidak bisa
diterima, dengan ketidaksetujuan yang disublimasi, tetapi
tanpa menggunakan kekuatan atau paksaan”. Menurut Little,
“ketidaksetujuan yang disublimasi” adalah “ada sesuatu yang
bisa dinilai, sesuatu yang membangun, baik di dalam bagian
kepercayaan-kepercayaan yang menyimpang itu sendiri atau
di dalam proses memberi-menerima yang terjadi di antara
para pendukung ide-ide yang sedang bertikai, betapapun
besarnya ketidaksepakatan yang ada”. Dalam definisi Little
yang pertama ada hidup bersama, namun tak ada kebersama-
an, sedang dalam definisi yang kedua, hidup bersama itu
diwarnai dengan kebersamaan, suatu kehidupan yang saling
memberi dan menerima. Kehidupan bersama yang harmonis
tentu saja mensyaratkan penerimaan definisi yang kedua.
Dengan demikian, jelaslah, sikap toleran itu bukan hanya
membutuhkan kesadaran, tetapi juga semangat, gairah,
perjuangan dalam bersikap toleran demi hidup bersama yang
lebih baik.30
Dengan menggunakan perspektif psikologi sosial, Yayah
Khisbiyah menjelaskan, toleransi adalah kemampuan untuk
menahankan hal-hal yang tidak kita setujui atau tidak kita
sukai, dalam rangka membangun hubungan sosial yang lebih
baik. Toleransi mensyaratkan adanya penerimaan dan
penghargaan terhadap pandangan, keyakinan, nilai, serta
praktik orang/kelompok lain yang berbeda dengan kita.
Intoleransi adalah ketidakmampuan atau ketidakmauan
untuk bertoleran, muncul karena kita tidak bisa atau tidak
mau menerima dan menghargai perbedaan. Intoleransi bisa
terjadi pada tataran hubungan interpersonal, seperti
hubungan antara kakak dan adik, orangtua dan anak, suami
                                                            
30www.commongroundnews.org.  
  53
dan isteri, antarteman, atau antarkelompok, misalnya suku,
agama, bangsa, dan ideologi.31
Penjelasan menarik tentang konsep dan praktik toleransi
diungkapkan Walzer. Walzer, sebagaimana dikutip Trisno
Sutanto, mengambil pendekatan berbeda ketimbang para
pemikir yang sibuk mencari kaidah-kaidah universal. Baginya
praktik-praktik toleransi---atau, sederhananya, koeksistensi
damai kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki
sejarah, budaya, dan identitas berbeda---harus selalu
diletakkan dalam situasi historis-konkret. Soalnya, ko-
eksistensi damai itu dapat mengambil bentuk pengaturan
politik yang berbeda-beda, masing-masing dengan
implikasinya sendiri-sendiri. Toleransi sebagai suatu sikap,
menurut Walzer, merujuk pada berbagai matra di dalam suatu
garis kontinum. Pertama, yang mencerminkan toleransi
keagamaan di Eropa sejak abad ke 16 dan 17 adalah sekadar
penerimaan pasif perbedaan demi perdamaian setelah orang
merasa capek saling membantai. Jelas ini tidak cukup dan
karenanya dapat dicandra gerak dinamis menuju matra kedua:
ketidakpedulian yang lunak pada perbedaan. Di situ sang
liyan diakui ada, tetapi kehadirannya tidak bermakna apa-apa.
Matra ketiga melangkah lebih jauh: ada pengakuan secara
prinsip bahwa sang liyan punya hak-hak sendiri sekalipun
mungkin ekspresinya tidak disetujui. Matra keempat bukan sa-
ja memperlihatkan pengakuan, tetapi juga keterbukaan pada
yang lain, atau setidaknya keingintahuan untuk lebih dapat
memahami sang liyan. Posisi paling jauh dalam kontinum ini,
yakni matra kelima, tidak sekadar mengakui dan terbuka,
tetapi juga mau mendukung atau bahkan merawat dan

                                                            
31Yayah
Khisbiyah. Menepis Prasangka, Memupuk Toleransi untuk
Multikulturalisme: Dukungan dari Psikologi Sosial. Surakarta: PSB-PS UMS.
2007. hlm. 4.  

54  
merayakan perbedaan, entah karena alasan estetika-religius
(keragaman sebagai ciptaan Tuhan) entah karena keyakinan
ideologis (keragaman merupakan tanah subur bagi perkemba-
ngan umat manusia). 32
Dalam hubungannya dengan agama dan kepercayaan,
toleransi berarti menghargai, membiarkan, membolehkan
kepercayaan, agama yang berbeda itu tetap ada, walaupun
berbeda dengan agama dan kepercayaan seseorang. Toleransi
tidak berarti bahwa seseorang harus melepaskan ke-
percayaannya atau ajaran agamanya karena berbeda dengan
yang lain, tetapi mengizinkan perbedaan itu tetap ada.33
Toleransi beragama pertama kali ditelaah oleh John Locke
dalam konteks hubungan antara gereja dan negara di Inggris.
Toleransi di sini mengacu pada kesediaan untuk tidak men-
campuri keyakinan, sikap, dan tindakan orang lain, meskipun
mereka tak disukai. Negara tidak boleh terlibat dalam urusan
agama, dan juga tidak boleh ditangani oleh kelompok agama
tertentu. Dalam masyarakat muslim, toleransi merujuk pada
sikap dan perilaku kaum muslim terhadap nonmuslim, dan
sebaliknya. Secara historis, toleransi secara khusus mengacu
pada hubungan antara kaum muslim dan para pengikut
agama Semitis lainnya, yakni Yahudi dan Kristen. Hubungan
antara kaum muslim, Kristen, dan Yahudi sangat rumit dan
mengalami pasang surut dari abad ke abad.34 Jadi, toleransi
beragama adalah ialah sikap sabar dan menahan diri untuk
tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem
keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain.

                                                            
32Trisno Sutanto. “Melampaui Toleransi?: Merenung Bersama

Walzer” dalam Ihsan Ali-Fauzi, dkk. Demi Toleransi Demi Pluralisme. Jakarta:
Paramadina. 2007. hlm. 346-353.  
33www.in-christ.net.  
34Saiful Mujani. op.cit. hlm. 159.  

  55
Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia dijelaskan, toleransi
beragama adalah sikap bersedia menerima keanekaragaman
dan kebebasan beragama yang dianut dan kepercayaan yang
diyakini oleh pihak atau golongan lain. Hal ini dapat terjadi
karena keberadaan dan eksistensi suatu golongan, agama atau
kepercayaan, diakui atau dihormati oleh pihak lain.
Pengakuan tersebut tidak terbatas pada persamaan derajat,
baik dalam tatanan kenegaraan, tatanan kemasyarakatan
maupun di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga
perbedaan-perbedaan dalam cara penghayatan dan per-
ibadatannya yang sesuai dengan alasan kemanusiaan yang
adil dan beradab.35 Dalam toleransi ini semua umat beragama
harus berpegang pada prinsip agree in disagreement (setuju
dalam perbedaan).36 Perbedaan tidak harus mengakibatkan
permusuhan, karena bagaimanapun perbedaan akan selalu
ada di dunia ini. Oleh karena itu, ia tidak harus menimbulkan
pertentangan. Dalam konteks ini, prinsip tersebut
mengandung pengertian, semua penganut agama setuju
untuk hidup rukun dengan tetap memelihara eksistensi
semua agama yang ada. Dengan demikian, toleransi antar-
umat beragama bukan hanya sekadar hidup berdampingan
secara pasif tanpa adanya saling keterlibatan satu sama lain,
melainkan lebih dari itu, yakni toleransi yang bersifat aktif
dan dinamis, yang diaktualisasikan dalam bentuk hubungan
saling menghargai dan menghormati, berbuat baik dan adil
antarsesama, dan bekerjasama dalam membangun masyarakat
yang harmonis, rukun dan damai.

                                                            
35Tim Penyusun. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jilid XVI. Jakarta:

Cipta Adi Pustaka. 1996. hlm. 384; Karl Rahner. Ed. Encyclopedia of Theology:
A Concise Sacramentum Mundi. Wellwood, North Farm Road, Tunbridge
Wells, Kent: Burns & Oates. 1993. p. 1721-1726.  
36Istilah agree in desagreement dipopulerkan oleh Menteri Agama, A.

Mukti Ali.  

56  
Sejalan dengan pendapat di atas, menurut A.M.
Hardjana, toleransi beragama terdiri atas dua kategori, yaitu
toleransi dogmatis dan toleransi praktis. Toleransi dogmatis
adalah toleransi yang terbatas atau hanya menyangkut ajaran
agama. Dalam hal ini para penganut agama tidak saling me-
ngambil pusing akan ajaran agama orang lain. Sedangkan
dalam toleransi praktis, para penganut agama saling
membiarkan dalam mengungkapkan iman, menjalankan
ibadat dan praktik keagamaan lainnya dalam kehidupan
bermasyarakat. Dalam aplikasinya, kedua macam toleransi
tersebut dapat bergabung atau terpisah. Para penganut agama
dapat saling toleran dalam kedua hal itu, dapat menentang di
bidang yang satu, misalnya ajaran, tetapi membiarkan
praktiknya dan sebaliknya. Dalam toleransi beragama,
dibutuhkan adanya kejujuran, kebesaran jiwa, kebijaksanaan
dan bertanggung jawab, hingga menumbuhkan perasaan
solidaritas dan mengeliminir egoistis golongan. Oleh kare-
nanya, setiap pemeluk agama hendaknya dapat menghayati
ajaran agamanya secara mendalam. Sebab, sebagaimana
dikemukakan Djohan Effendi, penghayatan terhadap aspek
kedalaman dari agama akan dapat membuat seseorang lebih
mampu bersikap menghormati orang lain secara lebih
manusiawi. Dengan kata lain, aspek kedalaman dari agama
itulah yang membuat seseorang lebih toleran terhadap orang
lain. Hal ini membuat seseorang pada aspek kedalaman dari
agama terdapat titik-titik temu yang lebih banyak dari agama-
agama.37
Meskipun demikian dalam kaitannya dengan toleransi
antarumat beragama, menurut Anwar Harjono, ada dua hal

                                                            
37Djohan
Effendi. “Persahabatan Lebih Penting Daripada
Kesepakatan Formal” dalam Mimbar Ulama, No. 128 Tahun XII/1988. hlm.
29-30.  

  57
yang sama besar bahayanya, yaitu: Pertama, apabila kita hanya
terpaku kepada tugas-tugas dalam lingkungan agama kita
sendiri tanpa menghiraukan hak-hak golongan agama lain.
Kedua, apabila kita terlalu bersemangat menjalankan toleransi
sehingga kita menganggap semua agama sama saja, sama
benarnya, atau sama salahnya.38 Bahaya pertama akan mendo-
rong seseorang kepada penyiaran agama tanpa
mengindahkan peraturan yang ada, sehingga siapa saja
dijadikan sebagai sasaran penyiaran agama. Semangat demiki-
an kelihatannya sangat luhur karena didorong oleh motif suci
melaksanakan perintah agama yang ganjarannya adalah
surga. Akan tetapi, jika semua orang begitu keyakinan dan
perilakunya, akibatnya akan terjadi “perang agama” secara
permanen, baik terbuka maupun terselubung. Bahaya kedua,
akan mendorong seseorang melakukan pendangkalan terha-
dap ajaran agama. Dicari-carilah persamaan-persamaan di
antara agama-agama yang ada. Berdasarkan persamaan-
persamaan itu, mereka merumuskan apa yang disebut sebagai
“hakikat” atau “intisari” agama---jika tidak diwaspadai---
bahkan berpotensi pula untuk menegasikan agama yang
sesungguhnya. Oleh sebab itu, dalam menjalankan toleransi
setiap umat beragama hendaknya berpedoman kepada
prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh ajaran agamanya
masing-masing, supaya tidak terjebak atau terjerumus kepada
bahaya di atas.
Muhammad Ali menjelaskan, toleran merupakan satu
sikap keberagamaan yang terletak antara dua titik ekstrim
sikap keberagamaan, yaitu eksklusif dan pluralis. Guna lebih
jelasnya perhatikan skema berikut.

                                                            
38Anwar Harjono. Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman-Islam.

Jakarta: Gema Insani Press. 1995. hlm. 153.  

58  
Eksklusif Toleran Pluralis
Pada titik paling kiri, ada mereka yang eksklusif:
menutup diri dari (seluruh atau sebagian) kebenaran pada
yang lain. Ada yang bersikap toleran: membiarkan yang lain,
namun masih secara pasif, tanpa kehendak memahami, dan
tanpa keterlibatan aktif untuk bekerjasama. Bersikap toleran
sangat dekat dengan sikap selanjutnya pada titik paling
kanan, yaitu sikap pluralis. Yakni sikap meyakini kebenaran
diri sendiri, sambil berusaha memahami, menghargai, dan
menerima kemungkinan kebenaran yang lain, serta lebih jauh
lagi, siap bekerja sama secara aktif di tengah perbedaan itu.39
Dari uraian di atas diketahui bahwa kendati toleransi
merupakan sikap keberagamaan yang positif, namun masih
bersifat pasif sebab hanya sekadar membiarkan yang lain (the
other), tanpa kehendak memahami, dan tanpa keterlibatan
aktif untuk bekerjasama. Namun demikian, konsep tersebut
tidak mengurangi nilai penting sikap toleran sebagai satu
sikap yang sangat penting untuk dimiliki setiap warga negara
demi terwujudnya kerukunan umat beragama. Sebaliknya,
tidak toleran (intolerant) merupakan satu sikap yang harus
dijauhi karena dapat menimbulkan ketegangan, gesekan, bah-
kan konflik antarumat beragama.40
Yusuf al-Qardhawi berpendapat bahwa toleransi
sebenarnya tidaklah bersifat pasif, tetapi dinamis. Sehubungan
hal tersebut, al-Qardhawi mengategorikan toleransi
keagamaan dalam tiga tingkatan. Pertama, toleransi dalam
bentuk hanya sebatas memberikan kebebasan kepada orang
lain untuk memeluk agama yang diyakininya, tetapi tidak
                                                            
39Muhammad Ali. Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai
Kemajemukan Menjalin Kebersamaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003.
hlm.xii.  
40Ibid.  

  59
memberinya kesempatan untuk melaksanakan tugas-tugas
keagamaan yang diwajibkan atas dirinya. Kedua, memberinya
hak untuk memeluk agama yang diyakininya, kemudian tidak
memaksanya mengerjakan sesuatu sebagai larangan dalam
agamanya. Ketiga, tidak mempersempit gerak mereka dalam
melakukan hal-hal yang menurut agamanya halal, meskipun
hal tersebut diharamkan menurut agama kita.41
Berdasarkan elaborasi di atas, secara konseptual dan
metodologis, maka pertama, toleransi tidak merujuk kepada
perbedaan, tetapi penerimaan terhadap perbedaan. Sebab itu
berapapun besar dan jauhnya perbedaan tidak
menggambarkan kondisi toleransi beragama. Kedua, toleransi
beragama sebenarnya merujuk kepada suatu situasi relasional
yang relatif damai di antara berbagai umat beragama yang
berlainan. Terlepas dari kegaduhan dan ketegangan yang
ditimbulkan oleh aktivitas-aktivitas berbagai kelompok par-
tisan di ranah publik, sepanjang mereka tidak benar-benar me-
nolak apalagi menghilangkan eksistensi kelompok-kelompok
keagamaan lain, skala toleransi beragama sesungguhnya tidak
mengalami perubahan yang berarti. Ini seharusnya merujuk
kepada salah satu indikator demokrasi yang memungkinkan
siapa pun bebas mengekspresikan diri dalam ruang publik,
termasuk penolakannya kepada kelompok beragama lain.42
Hal tersebut berarti, konsep tentang toleransi mengandaikan
pondasi nilai bersama sehingga idealitas bahwa agama-agama
dapat hidup berdampingan secara koeksistensi harus
diwujudkan.43

                                                            
41Yusuf al-Qardhawi. Minoritas Nonmuslim di dalam Masyarakat Islam.

Penerjemah Muhammad Baqir. Bandung: Mizan. 1985. Hlm. 95-97.  


42Resume Studi Toleransi dan Kerentanan Religi di 4 Kota Jawa, dari

Labsosio Departemen Sosiologi, FISIP Universitas Indonesia. 2008. hlm. 1.  


43Biyanto. Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan: Pandangan Kaum

Muda Muhammadiyah. Malang: UMM Press. 2009. hlm. 160.  

60  
Berangkat dari beberapa penjelasan mengenai
pengertian toleransi beragama tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa toleransi beragama adalah kesadaran
seseorang untuk menghargai, menghormati, membiarkan, dan
membolehkan pendirian, pandangan, keyakinan,
kepercayaan, serta memberikan ruang bagi pelaksanaan ke-
biasaan, perilaku, dan praktik keagamaan orang lain yang
berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri dalam
rangka membangun kehidupan bersama dan hubungan sosial
yang lebih baik.
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Perhatian para sarjana terhadap isu-isu toleransi
beragama di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada
khususnya cukup intens. Hal itu setidaknya ditunjukkan
dengan digelarnya banyak seminar, lokakarya, dan penelitian
yang menjadikan isu toleransi beragama sebagai temanya.
Sebagian besar hasil kegiatan tersebut sudah dipublikasikan
secara luas, baik dalam bentuk buku maupun press release
yang dimuat di media massa. Dalam rangka memperkaya
penelitian ini berikut akan disajikan beberapa publikasi
dimaksud.
Penelitian tentang toleransi---termasuk toleransi
beragama---banyak jenisnya dan bergantung pada pokok
masalah dan metodenya. Beberapa penelitian berusaha untuk
mengukur toleransi masyarakat dengan menentukan
indikator yang akan diukur dan dilakukan dengan
menggunakan pendekatan survei. Penelitian yang layak
disebut di sini misalnya penelitian yang dilakukan oleh
lembaga swadaya masyarakat SETARA Institute. Sungguh
menarik apa yang diakukan lembaga swadaya masyarakat
(LSM) ini di mana pada tahun 2008 telah mensurvei 800
responden yang dipilih secara acak sistematik. Sampel dalam

  61
penelitian adalah generasi muda yang berumur 17-22 tahun
dengan latar belakang agama majemuk. Dengan jumlah
sampai 800 orang, toleransi kesalahan (margin of error)
penelitian lebih kurang 3.5% pada tingkat kepercayaan 95%.
Sementara pengumpulan data dilakukan melalui wawancara
tatap muka dengan panduan kuesioner. Hasil survei
menunjukkan bahwa sebanyak 87.1% responden tidak
menjadikan perbedaan agama dalam berteman sebagai hala-
ngan dan 67.4% responden dapat menerima fakta
perpindahan agama. Dengan demikian, modal sosial toleransi
kaum muda sangat kuat. Namun demikian, karena para
penyelenggara negara, termasuk partai politik tidak
menjalankan fungsinya dengan baik, modal sosial itu tidak
berkembang dan terpasung. Minusnya transformasi nilai-nilai
Pancasila, pola indoktrinasi pendidikan kewarganegaraan,
dan keterbatasan teladan dari para penyelenggara negara,
telah membentuk pemahaman kaum muda akan Pancasila
mengalami kontradiksi. Kontradiksi pertama terkait dengan
kebolehan negara melakukan intervensi dalam urusan
agama/keyakinan. Kaum muda menganggap sebaiknya
urusan agama/keyakinan diatur oleh negara. Pandangan
kaum muda muncul oleh karena teladan kontradiktif yang
dipraktikkan para penyelenggara negara. Persetujuan kaum
terhadap munculnya peraturan-peraturan daerah yang
berbasis agama adalah kontradiksi kedua yang muncul dalam
survei ini. Perda-perda, yang secara substantif mengancam
kebangsaan Indonesia, disetujui oleh sebagian besar kaum
muda. Atas fenomena ini penelitian mengkonstatasikan
bahwa kecenderungan menurunnya semangat kebangsaan
yang direpresentasikan oleh pandangan responden terhadap
soal kebebasan beragama/berkeyakinan dan sikap
akomodatifnya terhadap perda-perda berbasis agama,
merupakan gejala baru yang tidak berbasis pada karakter

62  
dasar kaum muda. Namun demikian, pembenaran intervensi
negara dalam urusan agama dan persetujuannya terhadap
perda berbasis agama, di mana keduanya dianggap tidak ber-
tentangan dengan Pancasila, merupakan pandangan yang
membahayakan bagi kaum muda Indonesia. Penelitian
mengungkapkan pula bahwa konflik dan kekerasan yang
bernuansa agama dipahami oleh kaum muda sebagai sesuatu
yang bukan disebabkan oleh faktor kebencian antarumat ber-
agama ataupun karena persaingan ekonomi umat beragama.
Sebagian besar kaum muda menilai konflik bernuansa agama
dipicu oleh adanya provokasi pihak-pihak tertentu. Pemicu
yang hadir di tengah masyarakat yang bingung akibat tidak
adanya panduan berbangsa dan bernegara serta fakta
menguatnya fundamentalisme menjadi efektif memantik
massa untuk berkonflik. Fundamentalisme adalah salah satu
alat pasung toleransi yang saat ini berkembang. Hampir tak
seorang pun di kalangan kaum muda yang dapat
membenarkan atau menerima konflik dan kekerasan atas
nama agama. Organisasi-organisasi tertentu yang sering me-
lakukan tindakan kekerasan atas nama agama niscaya akan
sulit diterima oleh kaum muda.44
Penelitian serupa dilakukan oleh Lucia Ratih
Kusumadewi yang mengambil sampel di Universitas
Indonesia, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif
Hidayatullah (sekarang Universitas Islam Negeri Syarif Hi-
dayatullah), dan Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara
menunjukkan bahwa sikap pluralisme merupakan sikap yang
dominan dimiliki oleh kalangan mahasiswa (55.8%). Kategori
sikap lainnya, yaitu non-pluralis yang terdiri atas sikap

                                                            
44Tim
Penyusun. Toleransi dalam Pasungan: Pandangan Generasi Muda
terhadap Masalah Kebangsaan, Pluralitas dan Kepemimpinan Nasional. Jakarta:
SETARA Institute. 2008.  

  63
inklusif dan eksklusif mendapat angka 44.2%. Tema-tema
yang menjadi indikator bagi pengukuran sikap adalah sikap
terhadap kebenaran ajaran agamanya dan agama lain,
anggapan terhadap kedudukan ajaran agamanya terhadap
nilai-nilai universal, anggapan sebagai orang/golongan
terpilih, anggapan terhadap kehidupan setelah mati bagi
pemeluk agamanya dan pemeluk agama lain serta anggapan
terhadap perangkat keagamaannya dari agama lain, misalnya
kitab suci dan nabi/rasul. Temuan di atas berkaitan dengan
variabel sikap keberagamaan di kalangan mahasiswa. Se-
dangkan yang berkaitan dengan variabel toleransi beragama
di kalangan mahasiswa, temuan penelitian menunjukkan
bahwa sebagian besar mahasiswa memiliki toleransi yang
tinggi yaitu sebesar 61.7% dan selebihnya sejumlah 38.3% dari
120 responden yang memiliki tingkat toleransi yang rendah.
Keseluruhan pengukuran terhadap variabel toleransi secara
umum itu, didapat berdasarkan penjumlahan terhadap pe-
ngukuran tema-tema toleransi yang dirumuskan. Tema-tema
tersebut adalah toleransi berkaitan dengan hal keinginan
supaya orang lain memiliki sikap yang sama, toleransi
berkaitan dengan hal perpindahan agama dan toleransi
berkaitan dengan hal kawin beda agama. Angka yang
ditunjukkan untuk toleransi dalam hal keinginan supaya
orang lain memiliki sikap yang sama berada pada tingkat
toleransi yang tinggi (74.2%), perpindahan agama mendapat
prosentasi yang sedikit lebih besar (75%) dan kawin beda
agama mendapat toleransi yang paling tinggi (85.8%).
Kesimpulan yang dapat diambil berkaitan dengan data di atas
adalah bahwa tema kawin beda agama merupakan tema yang
paling dapat ditolerir dibanding perpindahan agama dan
keinginan supaya orang lain memiliki sikap yang sama. Selan-
jutnya, faktor-faktor apakah yang turut mempengaruhi
terjadinya kondisi di atas? Kusumadewi telah menentukan

64  
dua faktor yaitu agama dan komunitas kampus. Hasil
penelitian memperlihatkan bahwa agama adalah faktor
dominan yang memiliki andil besar dalam pembentukan sikap
keberagamaan setidaknya di kalangan mahasiswa yang
diteliti. Sikap keberagamaan ini sedikit banyak kemudian
mempengaruhi terciptanya toleransi pada tingkat tertentu.
Sedang faktor komunitas kampus disimpulkan tidak memiliki
pengaruh yang signifikan. Dua di antara banyak dimensi aga-
ma yang dapat dilihat adalah ajaran dan institusi agama.
Dalam penelitian ini, kedua hal ini diidentifikasikan dapat me-
lahirkan sikap keberagamaan yang berbeda dan tingkat
toleransi yang berbeda pula. Pada dua agama yang diteliti
yaitu Islam dan Katolik, penjelasan ini setidaknya dapat
diajukan. Agama Islam, memiliki ajaran yang dekat dengan
sifat-sifat inklusifistik dan struktur institusinya tidak terikat.
Kedua hal ini kemudian menimbulkan kondisi sosialisasi
agama yang cenderung inklusif dan beragam dalam Islam.
Sikap-sikap keberagamaan yang dimiliki kelompok ini
kemudian cenderung inklusif. Namun karena beragamnya
sosialisasi ajaran karena banyaknya aliran pemikiran, terdapat
juga ekskluisif dan pluralis. Sedang agama Katolik yang
memiliki ajaran yang bersifat pluralis dengan struktur institusi
yang hirarkis sentralistis menghasilkan sikap cenderung
pluralis dalam kelompoknya.45
Selanjutnya survei nasional yang dilakukan Pusat
Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tahun 2002, mengungkapkan
bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia (67%)
menyatakan kebencian dan karenanya tidak bersedia hidup

                                                            
45Lucia
Ratih Kusumadewi. Sikap dan Toleransi Beragama di Kalangan
Mahasiswa: Studi di Tiga Perguruan Tinggi di Jakarta. Skripsi. Jakarta: FISIP-UI.
1999. hlm. 65-78.  

  65
berdampingan dengan kelompok sosial-politik dan ke-
agamaan lain khususnya komunis, selanjutnya Yahudi (7%)
dan Kristen (3%). Khusus menyangkut hubungan dengan
kaum Kristen, kondisi kurang toleran bisa dijelaskan sebagai
berikut. Anggota masyarakat yang membolehkan orang
Kristen menjadi Presiden hanya 22%, kalau orang Kristen
melakukan kebaktian di daerah sekitar tempat tinggal
responden (31%), dan jika di lingkungan tersebut didirikan
gereja, persentase persetujuan tampak meningkat (40%). Di
samping itu, mereka yang tidak keberatan jika orang Kristen
menjadi guru di sekolah umum juga kurang dari separuhnya
(42%). Begitu pula gambaran serupa terjadi menyangkut
saling percaya sesama warga (interpersonal trust), satu kultur
politik masyarakat yang juga bisa berdampak positif bagi
penciptaan demokrasi di Indonesia. Dalam hal ini kultur
politik masyarakat Indonesia tidak begitu mendukung. Hanya
29% yang menyatakan selalu atau sering percaya pada orang
lain. Pada umumnya masyarakat menyatakan bahwa setiap
orang harus hati-hati terhadap orang lain, jangan mudah
percaya (86%). Proporsi ini sangat besar, dan menunjukkan
masih tipisnya budaya kewargaan kalau dilihat sisi saling
percaya sesama warga.46
Survey lain dilakukan kembali oleh Pusat Pengkajian
Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, bersama Freedom Institute dan Jaringan Islam
Liberal tentang orientasi sosial politik Islam pada tahun 2004.
Hasilnya terdapat cukup banyak warga Indonesia yang setuju
dengan kegiatan aktivis Islam, yang selama ini dianggap
radikal. Survey yang melibatkan 1200 responden yang dipilih
secara random lewat metode multistage random sampling dengan

                                                            
46Saeful Mujani. Islam dan God Goverment. Jakarta: PPIM IAIN Syarif

Hidayatullah. 2002. 

66  
terlebih dahulu menetapkan proporsionalitas populasi yang
tinggal di daerah pedesaan dan perkotaan, proporsi laki-laki
dan perempuan, dan proporsi populasi di seluruh propinsi.
Dari hasil penelitian, soal tindakan yang dilakukan aktivis
Islam, data menunjukkan ada sekitar 6% responden dalam 5
tahun terakhir yang pernah ikut dalam kegiatan boikot
produk atau jasa yang bertentangan dengan Islam. Selain itu
ada 2% yang pernah ikut merazia tempat-tempat maksiat dan
2% lainnya, pernah terlibat dalam kegiatan demonstrasi
sebagai bentuk solidaritas. Data hasil penelitian itu menunjuk-
kan 18% responden, setuju kegiatan yang dilakukan oleh
Front Pembela Islam (FPI), seperti merazia tempat judi, dan
kegiatan maksiat atau hiburan malam di Bulan Ramadhan,
15% masyarakat responden mendukung kegiatan Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI), 5% mendukung kegiatan Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) memperjuangkan diterapkannya Sya-
riat Islam, serta 13% setuju dengan Jamaah Islamiyah (JI)
melakukan tindakan kekerasan terhadap Amerika Serikat dan
sekutu-sekutunya, yang dianggap menindas umat Islam di
dunia. Bahkan ada sekitar 16% responden yang mendukung
aksi pengeboman sebagai bentuk pembelaan terhadap Islam.
Hasil survey lain yang juga menarik adalah sikap para
responden terhadap agenda Islamis dan tingkat toleransi
terhadap Kristen-Katolik. Data menunjukkan ada sekitar 40%
responden yang setuju dengan agenda Islamis, meliputi sikap
masyarakat terhadap aturan di mana perempuan tidak boleh
jadi presiden, kemudian pelarangan bunga bank, hukum
rajam, poligami, dan hukuman potong tangan. Sedangkan
dalam hal tingkat toleransi terhadap Kristen-Katolik, nyaris
separuh responden setuju bahwa masyarakat Nasrani tidak
boleh melakukan kebaktian di lingkungan yang mayoritas
beragama Islam dan separuh responden juga tidak setuju bila
orang Kristiani membangun gereja di lingkungan muslim. Pe-

  67
nelitian ini juga mengukur tingkat pendidikan masyarakat
dengan pengaruh dukungan terhadap aktivis muslim.
Kesimpulannya, semakin tinggi pendidikan seseorang, makin
besar kemungkinannya untuk setuju dengan kegiatan aktivis
Islam. Saiful Mujani menganalisis bahwa cukup banyak di
antara masyarakat muslim Indonesia yang terlibat dalam
aktivitas Islamis. Hal tersebut memperlihatkan adanya
dukungan yang cukup luas terhadap kelompok-kelompok
Islamis, meski bukan menjadi kekuatan mayoritas. Masya-
rakat muslim Indonesia terbelah dalam mensikapi agenda-
agenda Islami dan itu ternyata cukup membuat banyak kaum
muslim bersikap tidak toleran kepada umat Kristiani.47
Penelitian yang mencoba melihat hubungan antara Islam
dan agama lain dengan pendekatan kualitatif pernah pula
dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Nurhayati berjudul
Toleransi Antara Umat Beragama: Studi Kasus Umat Islam dan
Hindu di Kampung Lebah Kabupaten Klungkung, Bali. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui: (a) bentuk-bentuk toleransi
antar umat Islam dan Hindu di Kampung Lebah Kabupaten
Klungkung-Bali; (b) faktor-faktor penghambat adanya sikap
toleransi di Kamung Lebah Kabupaten Klungkung Bali; dan
(c) faktor-faktor penghambat adanya toleransi dan solusi
untuk menghadapi adanya hambatan toleransi di Kampung
Lebah Kabupaten Klungkung-Bali. Pendekatan yang dipakai
untuk mencapai tujuan tersebut adalah pendekatan studi
kasus yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara
mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakteristik
yang khas dari kasus. Penelitian ini menggunakan penelitian
deskriptif kualitatif yang merupakan studi kasus di Kampung
Lebah Kabupaten Klungkung Bali. Pengumpulan data pada

                                                            
47“Umat Islam Indonesia Dukung Radikallisme” dalam Harian

Tempo, 12 November 2004 

68  
penelitian ini menggunakan metode observasi, wawancara
dan dokumentasi. Sumberdata diperoleh dari informan yang
terdiri dari: masyarakat Muslim dan Hindu serta para pemuka
agama baik Islam maupun Hindu. Melalui penelitian tersebut
akhirnya diketahui bentuk-bentuk toleransi antarumat
beragama khususnya Islam dan Hindu berupa toleransi dalam
hal suka dan duka, toleransi pada saat hari raya, serta
toleransi generasi muda dalam pergaulan. Adapun faktor-
faktor pendukung adanya toleransi yaitu, adanya sistem
kekerabatan antara umat Islam dan Hindu, adanya ajaran
dalam agama Hindu yang menguatkan mereka untuk
bersikap toleransi, dan adanya kegiatan-kegiatan yang
melibatkan antara umat Islam dan Hindu. Penghambat
adanya toleransi berupa, kecemburuan sosial yang terjadi
antara penduduk asli dengan pendatang dan adanya krisis
moralitas remaja. Sedangkan solusi dalam menghadapi
hambatan tersebut dengan diberlakukannya hukum adat atau
yang biasa disebut dengan awig-awig.48
Penelitian sejenis dengan penelitian di atas dilakukan
oleh Anis Faranita Dhanik Rachmawati berjudul Toleransi
Antar Umat Islam dan Katolik: Studi Kasus di Dukuh Kasaran,
Desa Pasungan, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten. Pokok
permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) apa yang
menjadi faktor terciptanya toleransi antara umat Islam dan
Katolik di Dukuh Kasaran, Desa Pasungan, Kecamatan Ceper,
Kabupaten Klaten; (2) seberapa jauh umat Islam dan Katolik
di Dukuh Kasaran memahami makna toleransi. Dalam proses
penelitiannya peneliti menggunakan field research yang terdiri
dari data primer yaitu sumber utama penelitian ini adalah

                                                            
48Nurhayati.
Toleransi Antara Umat Beragama: Studi Kasus Umat Islam
dan Hindu di Kampung Lebah Kabupaten Klungkung, Bali. Skripsi. Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang. 2005. 

  69
tokoh-tokoh agama dan masyarakat di Dukuh Kasaran.
Sebagai data pendukung yaitu buku-buku yang berkaitan
dengan masalah tersebut. Metode dalam pengumpulan data
pada penelitian ini dengan menggunakan metode: (1)
observasi; (2) interview; (3) dokumentasi; dan (4) angket.
Penelitian tersebut menemukan: (1) faktor-faktor yang
mempengaruhi terciptanya toleransi antara umat Islam dan
Katolik di Dukuh Kasaran adalah terdiri dari faktor internal
yaitu faktor keimanan, faktor pengalaman keagamaan, rasa
tanggung jawab, dan faktor pengetahuan. Selain itu di-
pengaruhi pula oleh faktor eksternal yaitu faktor keluarga dan
faktor lingkungan masyarakat; (2) bahwa umat Islam dan
Katolik di Dukuh Kasaran memahami betul tentang toleransi
antarumat beragama, masyarakat Dukuh Kasaran dapat
hidup berdampingan secara damai, dan selalu mengedepan-
kan aspek toleransi dalam segala hal. Toleransi yang terbentuk
pada masyarakat Dukuh Kasaran adalah berupa amalan-
amalan dan perbuatan yang bersifat positif yang dipraktikkan
dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan kerukunan
antarumat beragama.49
Penelitian lainnya berjudul Toleransi Beragama Di
Kalangan Komunitas Slankers Semarang: Studi Kasus Organisasi
BASIS Slankers Club oleh Teguh Setyawan. Pokok persoalan
yang dibahas adalah: (1) bagaimana kehidupan beragama di
kalangan komunitas Slankers Semarang; (2) bagaimana sikap
atau pandangan mereka terhadap toleransi beragama; dan (3)
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi sikap toleransi
beragama di antara mereka. Di dalam pengumpulan data
digunakan metode interview, angket, dan observasi. Sumber

                                                            
49Anis
Faranita Dhanik Rachmawati. Toleransi Antar Umat Islam dan
Katolik: Studi Kasus di Dukuh Kasaran, Desa Pasungan, Kecamatan Ceper,
Kabupaten Klaten. Skripsi. Semarang: IAIN Walisongo. 2006.  

70  
data diperoleh melalui wawancara terhadap 20 orang
informan yang terdiri atas: Islam 10 orang, Kristen 5 orang
dan Katolik 5 orang. Sasaran penelitian adalah komunitas
Slankers Semarang, yang tergabung dalam organisasi BASIS
Slankers Club. Sebuah komunitas yang jelas keberadaannya
dan diresmikan oleh Slank pada tanggal 12 Februari 2005 di
Hotel Graha Santika Semarang. Anggota yang tergabung
dalam organisasi ini adalah rata-rata berasal dari kalangan
anak muda, yang terdiri dari pelajar( SMP, SMU), Mahasiswa
dan pekerja. Di organisasi BASIS Slankers Club dalam
merekrut anggotanya menggunakan pola terbuka, karena
mereka selalu menerima siapa saja yang mau menjadi
anggotanya, tidak memandang dari mana asalnya atau agama
yang diyakininya. Dengan keterbukaan di antara mereka
maka toleransi akan muncul dengan sendirinya. Bentuk
toleransi beragama di antara mereka adalah berbentuk seperti
amalan-amalan yang dilakukan atau dipraktikkan dalam
kehidupan sehari-hari yang bersifat agamis. Mengenai
kehidupan beragama di antara mereka, berdasarkan hasil
pengisian angket dan interview dengan anggota BASIS
Slankers Club, menunjukkan adanya kehidupan beragama
yang dapat dikatakan baik. Hal ini ditandai dengan mereka
mau menjalankan perintah agamanya seperti: shalat, puasa,
tidak menggunakan atau memakai narkoba dan ibadah
lainnya (kebaktian). Walaupun dalam menjalankannya tidak
selalu mulus, karena dipengaruhi oleh tingkat keimanan dan
ketaqwaan seseorang kepada Tuhannya. Sedangkan mengenai
sikap atau pandangan komunitas Slankers Semarang terhadap
toleransi beragama di antara mereka. Pada dasarnya anggota
Slankers menerima sikap toleransi, hal ini ditunjukkan dengan
adanya sikap saling menghormati dan menghargai. Mereka
tidak pernah membeda-bedakan teman yang berbeda agama
apalagi berkelahi gara-gara beda keyakinan/agama.

  71
Pandangan para Slankers mengenai toleransi, pada intinya
mereka tahu tentang toleransi walaupun belum menyamai
wacana toleransi yang sesungguhnya, seperti yang pernah di-
ungkapkan oleh para agamawan dan cendekiawan. Faktor-
faktor yang mempengaruhi sikap toleransi di antara mereka,
ada dua faktor yaitu: faktor intern dan ekstern. Faktor intern
(dari diri anggota Slankers) seperti: pengetahuan yang ada
pada diri Slankers, pengalaman keagamaan yang dimiliki oleh
setiap anggota Slankers serta pemahaman dan pengetahuan
tentang Slank. Sedangkan faktor ekstern (lingkungan di mana
anggota Slankers bersosialisasi dengan sesamanya) adalah
nilai-nilai PLUR (Peace, Love, Unity dan Respect).50
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Fathurrahman
berjudul Toleransi Beragama Antara Penyedia dan Pengguna Jasa
Kos-kosan Beda Agama di Dusun Papringan, Desa Catur Tunggal,
Depok, Sleman, Yogyakarta. Penelitian ini berusaha
mengungkapkan tentang bagaimana interaksi sosial antara
pengguna jasa dengan para penyedia jasa kos yang beda
agama dan bagaimana model (bentuk) toleransi yang
dibangun oleh penyedia dengan pengguna jasa kos beda
agama. Pengumpulan data dilakukan dengan metode ob-
servasi, wawancara, dan dokumentasi dengan pendekatan
emik yaitu upaya memahami fenomena sosial dengan
pemahaman dunia pelakunya sendiri. Teori yang digunakan
adalah fungsionalisme struktural yang dikonstruksikan oleh
Robert K. Merton, yang mengasumsikan bahwa manusia
diperlukan sebagai abstrak yang menduduki status dan peran
yang membentuk lembaga-lembaga atau struktur sosial dan
secara implisit manusia sebagai pelaku yang memainkan

                                                            
50Teguh
Setiawan. Toleransi Beragama di Kalangan Komunitas Slankers
Semarang: Studi Kasus Organisasi Basis Slankers Club. Skripsi. Semarang: IAIN
Walisongo. 2007.  

72  
ketentuan-ketentuan yang telah dirancang sebelumnya, sesuai
dengan norma-norma atau aturan-aturan masyarakat. Hasil
dari penelitian ini adalah terbentuk (terwujudnya) toleransi
beragama yang ada di Dusun Papringan karena adanya nilai
budaya setempat yakni ewuh pakewuh yang diwarisi kepada
setiap individu secara turun-temurun, dan ini juga yang
diadopsi oleh para pendatang (pengguna jasa kos). Dengan
nilai budaya ini maka melahirkan kebebasan bagi setiap
individu untuk memeluk agama menurut keyakinannya
masing-masing, untuk itu masalah-masalah yang bersifat
ketuhanan (suci) merupakan hak mutlak bagi setiap individu
akan tetapi masalah-masalah yang berhubungan dengan sosial
kemasyarakatan merupakan tanggung jawab bersama.51
Penelitian menarik terkait toleransi dilakukan pula oleh
YAPPIKA, sebuah Aliansi Masyarakat Sipil Indonesia untuk
Demokrasi, dengan biaya dari ACCESS (Australian Community
Development and Civil Society Strengthening Scheme). Penelitian
ini merupakan subbagian dari agenda penelitian yang lebih
besar, yaitu dalam rangka mengukur Indeks Masyarakat Sipil
Indonesia (IMSI), yang dilakukan antara akhir tahun 2005
hingga pertengahan tahun 2006. Pendekatan dan metodologi
penelitian yang digunakan dalam penelitian tersebut
dikembangkan oleh organisasi masyarakat sipil tingkat
internasional CIVICUS (World Alliance for Citizen Participation)
yang berkantor di Johannesburg, Afrika Selatan. Berkenaan
dengan subbagian toleransi, penelitian ini menganalisis
sejauhmana aktor-aktor masyarakat sipil dan organisasi
masyarakat sipil (OMS) Indonesia mempraktikkan dan
mempromosikan toleransi dalam aktivitas mereka sehari-hari.

                                                            
51Fathurrahman.Toleransi
Beragama Antara Penyedia dan Pengguna
Jasa Kos-kosan Beda Agama di Dusun Papringan, Desa Catur Tunggal, Depok,
Sleman, Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. 2008.  

  73
Ada dua indikator yang digunakan untuk mengukurnya,
yakni toleransi dalam arena masyarakat sipil dan aktivitas
OMS dalam mempromosikan nilai-nilai toleransi. Hasilnya,
toleransi dalam arena masyarakat sipil, pada umumnya kala-
ngan OMS menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan
mempraktikkannya dalam aktivitas sehari-hari. Kode etik
yang disepakati sekitar 250 LSM pada tahun 2002 misalnya
secara tegas menyatakan bahwa LSM adalah lembaga non-
sektarian dan membebaskan dirinya dari prasangka-
prasangka atas dasar segala perbedaan, termasuk agama,
suku, ras, golongan, seks, dan gender. Sikap-sikap seperti
rasis, diskriminasi dan tidak toleran hampir tidak pernah di-
temukan dalam pemberitaan media mengenai aktivitas
Ornop. Kalau pun ada sifatnya sangat marginal dan akan
dikecam komunitas OMS yang lain. Namun demikian, tidak
dapat disangkal bahwa ada kekuatan-kekuatan dalam arena
masyarakat sipil yang kurang toleran terutama dalam
perbedaan agama seperti yang mengakibatkan terjadinya pe-
rusakan rumah ibadat agama minoritas Kristen/Katolik
maupun terhadap pemeluk Islam Ahmadiyah. Pada tingkat
masyarakat, adanya prasangka-prasangka atas dasar agama
dan etnis tampaknya masih cukup tinggi yang ditandai
dengan terjadinya kekerasan-kekerasan sosial di beberapa
daerah di Indonesia. RSS (Regional Stakeholder Survey) 2006
mengungkapkan bahwa hampir separuh responden (49%)
berpendapat bahwa kekuatan-kekuatan dalam masyarakat
yang secara eksplisit menunjukkan kecenderungan rasis,
diskriminatif atau tidak toleran tersebut tidak signifikan atau
hanya terbatas. Hanya sekitar seperlima yang berpendapat
bahwa kekuatan tersebut ada (16%) atau signifikan (5%).
Sementara sangat menarik bahwa hampir sepertiga (30%)
responden menyatakan tidak tahu atau tidak bersedia
menjawab pertanyaan yang diajukan. Berkenaan dengan aksi

74  
masyarakat sipil untuk mempromosikan toleransi, sejumlah
OMS Indonesia menempatkan promosi toleransi sebagai
bagian dari kegiatan pokok mereka. Survei organisasi peace
building tahun 2002 menemukan bahwa 129 (27%) dari 465
OMS yang disurvei menyatakan bahwa mempromosikan to-
leransi dan pluralisme dalam masyarakat merupakan salah
satu dari lima kegiatan utama yang mereka lakukan dalam
dua tahun terkahir (2000-2002). Di Indonesia ada beberapa
OMS yang khusus bekerja untuk menghapuskan diskriminasi
rasial. Juga terdapat OMS yang secara khusus mengkaji dan
mempromosikan kerjasama antaragama dalam masyarakat
Indonesia. RSS 2006 menemukan bahwa hampir dua pertiga
responden berpendapat bahwa mereka dapat mengingat
contoh-contoh kampanye publik ataupun aktivitas OMS yang
ditujukan untuk mempromosikan toleransi. Sebanyak 42%
menyatakan bahwa mereka dapat menunjukkan satu atau dua
contoh, 21% dapat menunjukkan beberapa contoh dan 7%
dapat menunjukkan banyak contoh. Salah satu contoh yang
banyak dikemukakan adalah perlunya meningkatkan toleransi
dalam kehidupan beragama di Indonesia. Sebanyak 41%
responden berpendapat bahwa peran OMS dalam mem-
promosikan nilai-nilai toleransi tersebut cukup (35%) atau
signifikan (7%). Sementara yang berpendapat bahwa peran
tersebut terbatas atau tidak signifikan dinyatakan oleh 45%
responden. Meskipun OMS Indonesia cukup aktif dalam
mempromosikan toleransi di dalam masyarakat, hasilnya dira-
sakan masih belum signifikan.52
Survei lain dilakukan oleh Tim LIPI di tiga daerah
(Bogor, Surakarta dan Cianjur) pada tahun 2006. Survei
                                                            
52Tim Peneliti. Laporan Hasil Survei Pengetahuan, Sikap dan Perilaku

Stakeholders terhadap Organisasi Masyarakat Sipil. Jakarta: LP3ES dan


YAPPIKA. 2006. Tim Peneliti. Indeks Masyarakat Sipil Indonesia. Jakarta:
YAPPIKA. 2006. hlm. 90-91.  

  75
menunjukkan bahwa sebagian kalangan muslim Indonesia
masih memiliki persoalan menyangkut proses konsolidasi
demokrasi. Secara umum bisa dikatakan bahwa kesediaan
muslim Indonesia untuk hidup sejajar dengan pemeluk agama
lain masih rendah, misalnya terhadap praktik memberi
ucapan selamat kepada pemeluk agama lain yang merayakan
hari besar keagamaan mereka, hanya sebagian kecil responden
(15.6%) yang mendukung, sementara sebagian besar (72.2%)
tidak mendukung. Proporsi responden yang membolehkan
ucapan salam (assalamu`alaikum) kepada nonmuslim sangat
kecil (8.0%), sementara mereka yang tidak membolehkan men-
capai angka 85.7%, dan sisanya 6.3% tidak bersikap. Praktik
silaturrahmi dengan nonmuslim di hari besar keagamaan
mereka, proporsi dukungan responden adalah 38.9%. Namun
proporsi tersebut meningkat menjadi 59.9% untuk praktik
silaturrahmi di luar hari besar keagamaan nonmuslim.
Persentase tersebut konsisten dengan jawaban responden
yang mendukung gagasan bahwa sebaiknya kaum muslim
hanya berteman dekat dengan orang yang sama-sama
memeluk agama Islam saja, yakni 40.4%.53
Penelitian toleransi yang tidak boleh dilewatkan adalah
apa yang telah dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia
(LSI), yang antara tanggal 23-27 Januari 2006 melakukan suvei
opini publik tentang toleransi sosial masyarakat Indonesia.
Survei dilakukan terhadap 1.200 orang responden yang
ditentukan dengan metode multistage random sampling yang
tersebar di 33 propinsi dengan toleransi kesalahan (margin of
error) sebesar lebih kurang 2,9% pada tingkat kepercayaan
95%. Sampel akhir yang valid dan dianalisis sebanyak 1.173

                                                            
53Muhammad Hisyam. Ed. Budaya Kewargaan Komunitas Islam di
Daerah Rentan Konflik. Jakarta: LIPI.2006; Idem. Budaya Kewargaan Komunitas
Islam di Daerah Aman Konflik. Jakarta: LIPI. 2007. hlm. 4-5.  

76  
orang responden. Survei ini menetapkan bahwa sikap
toleransi dan pandangan tentang pluralisme masyarakat Indo-
nesia diukur dalam dua dimensi, yakni dimensi sosial
keagamaan dan dimensi sosial politik. Indikator yang diukur
dalam dimensi sosial keagamaan adalah: bagaimana
kesediaan masyarakat untuk hidup bertetangga dengan orang
lain yang berbeda (the other) baik dari agama dan etnis.
Khusus tentang toleransi beragama, ditanyakan juga
kesediaan mereka untuk membiarkan pihak yang berkeya-
kinan beda untuk melaksanakan dan membangun sarana
ibadat. Selain itu, survei ini juga mengungkap derajat social
trust dalam masyarakat Indonesia. Sedang yang diukur dalam
dimensi sosial politiknya adalah: pandangan masyarakat
terhadap orang lain, kelompok lain, sikap terhadap
perjuangan hak oleh kelompok lain, dan pandangan terhadap
kebudayaan barat. Temuan tentang toleransi sosial
kemasyarakatan yang ditunjukkan dari hasil survei ini me-
nunjukkan pola yang sangat menarik. Meski secara umum
masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang cukup toleran,
hal sangat terlihat dalam toleransi hidup bertetangga dengan
orang lain yang berbeda etnis (di atas 90-an %), namun
toleransi dengan orang yang berbeda agama lebih rendah
(hanya 80-an %), dan semakin rendah terhadap pihak lain
yang dianggap memiliki orientasi dan perilaku seks yang
berbeda seperti kaum waria (61,7%) dan homo seks (43,7%).
Temuan lain menyatakan: warga non-muslim di Indonesia
memandang masyarakat muslim Indonesia pada umumnya
sangat toleran terhadap mereka (78,7%). Dalam hal toleransi
terhadap orang yang berbeda agama untuk melaksanakan dan
membangun rumah ibadat mereka dalam lingkungan di
sekitar responden, pihak yang menyatakan keberatan cukup
besar (42,3%), meskipun tidak mayoritas (pihak yang
menyatakan tidak keberatan sebanyak 38,1%). Sedangkan

  77
untuk pelaksanaan kegiatan keagamaan/kebaktian yang
menyatakan tidak keberatan cukup besar (48%) dan yang
menyatakan keberatan hanya 36,7%. Data tersebut dapat
dipahami bahwa keberadaan rumah ibadat sebagai simbol
adanya umat agama tertentu di suatu wilayah, tidak cukup
disukai keberadaannya.54
Beberapa penelitian di atas cukup bisa memberi
gambaran bahwa sikap toleransi sangat diperlukan oleh
masyarakat guna menciptakan harmonisasi antarumat
beragama. Sebaliknya sikap intoleran bisa mengancam
terciptanya harmonisasi antaraumat beragama. Dari beberapa
penelitian di atas diketahui pula bahwa banyak faktor yang
mendorong sikap toleran tetapi tidak sedikit pula yang
mendorong sikap intoleran. Salah satu penyebab intoleransi
adalah paham keagamaan yang cenderung tertutup (eksklusif)
sebagai akibat pengajaran doktrin keagamaan yang
menekankan tentang kebenaran tunggal. Kesimpulan ini
didukung pula oleh hasil penelitian Kasinyo Harto yang
setelah dibukukan berjudul Islam Fundamentalis di Perguruan
Tinggi Umum: Kasus Gerakan Keagamaan Mahasiswa Universitas
Sriwijaya Palembang. Harto melalui penelitiannya ini, salah
satunya berusaha mengungkapkan perilaku sosial-keagamaan
para aktivis gerakan Islam fundamentalis di UNSRI. Hasil
penelitiannya berkesimpulan bahwa perilaku sosial
kelompok-kelompok keagamaan di UNSRI terhadap
masyarakat muslim mainstream, apalagi dengan non-muslim,
rata-rata mereka punya kecenderungan sikap eksklusif dan in-
toleran. Kuatnya doktrin keagamaan mereka memunculkan
keyakinan akan kebenaran tunggal, yakni kebenaran Islam
kelompok sendiri. Kelompok atau gerakan yang tidak

                                                            
54Tim Peneliti. Survei Opini Publik: Toleransi Sosial Masyarakat

Indonesia. Jakarta: LSI. 2006.  

78  
sepaham dipersepsikan sebagai golongan yang tersesat dan
harus didakwahi agar kembali ke jalan yang benar.55
Kesimpulan bahwa sikap keberagamaan yang
terbuka (inklusif) cenderung membuat orang toleran dan
sikap keberagamaan yang tertutup (eksklusif) cenderung
membuat orang intoleran merupakan kesimpulan penelitian
Fatimah Husein, Muslim-Christian Relations in the New Order
Indonesia: The Exclusivist and Inclusivist Muslim Perspectives
(2005). Hubungan Muslim dan Kristen yang menjadi fokus
studi Husein merupakan topik penting sekaligus sensitif.
Konflik dan kekerasan sering mewarnai perkembangan Islam
dan Kristen di Indonesia. Dalam pandangan Husein, relasi an-
tara Islam dan Kristen tidak bisa dilepaskan dari cara pandang
masing-masing pemeluk agama tersebut terhadap agamanya
sendiri maupun agama kelompok lain. Dalam studinya
Husein mengungkap dua cara pandang dominan di kalangan
Muslim yang mempengaruhi relasi Islam dan Kristen, yakni:
eksklusif (exclusive) dan inklusif (inclusive). Muslim eksklusif
memiliki keyakinan Islam sebagai agama terakhir untuk
mengoreksi (kesalahan) agama lain. Cara pandang ini
menurut Husein menimbulkan sikap tidak toleran (intolerance)
terhadap keberadaan agama lain. Sedangkan Muslim inklusif
memiliki keyakinan bahwa Islam merupakan agama yang be-
nar. Meskipun begitu, mereka tidak menegasikan agama di
luar Islam yang juga dapat memberikan keselamatan
(salvation) bagi pemeluknya. Dengan cara pandang ini,
Muslim inklusif bersikap lebih terbuka terhadap kelompok
agama lain.56 Sekadar mempertegas definisi eksklusivisme
                                                            
55Mujiburrahman. Mengindonesiakan Islam: Representasi dan Ideologi.

Pengantar Karel A. Steenbrink. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008.  


56Kasinyo Harto. Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi Umum:

Kasus Gerakan Keagamaan Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang. Jakarta:


Balitbang dan Diklat Depag. 2008. hlm. 215.  

  79
dari Husein, perlu dikutip juga penjelasan Joseph Runzo
(2003) apa yang disebut dengan religious exclusivism, yakni
sikap keagamaan yang menganggap bahwa satu-satunya
agama yang benar hanya agama dan keyakinan yang
dipeluknya, sedangkan agama dan kepercayaan lain salah.
Mengapa ada yang berpandangan eksklusif, sementara
lainnya inklusif? Apakah cara pandang tersebut dipengaruhi
oleh doktrin agama? Dari hasil penelitian Kasinyo Harto di
atas sikap eksklusif dan inklusif sangat dipengaruhi doktrin
keagamaan yang dikonstatasi oleh kelompoknya.
C. Kerangka Berpikir
1. Pengruh kepribadian terhadap keterlibatan organisasi
Kepribadian dalam individu dapat dibedakan antara
dua sisi yang introvert dan extrovert. Pada diri yang introvert
umumnya memiliki sifat-sifat cenderung menarik diri, suka
bekerja sendiri, tenang, pemalu, tetapi rajin, hati-hati dalam
mengambil keputusan, dan cenderung tertutup secara sosial.
Sebaliknya individu yang extrovert pada umumnya memiliki
ciri-ciri suka berpandangan atau berorientasi keluar, bebas
dan terbuka secara sosial, berminat terhadap keanekaan, sigap
dan tidak sabar dalam menghadapi pekerjaan yang lamban,
dan suka bekerja kelompok. Pada dasarnya orang-orang yang
bersifat extrovert menunjukkan sikap yang lebih terbuka dan
menerima masukkan dari pihak luar, aktif, suka berteman,
dan ramah tamah. Dengan seseorang mempunyai kepribadian
extrovert, dia akan senang terlibat dalam sebuah kelompok
atau organisasi karena keterlibatan nya dalam kehidupan
berkelompok adalah kesempatannya untuk berinteraksi de-
ngan pihak lain dan bekerja kelompok. Sebaliknya seseorang
yang mempunyai kepribadian introvert cenderung tertutup
secara sosial dan suka bekerja sendiri sehingga tidak senang
terlibat dalam sebuah kelompok atau organisasi. Berdasarkan

80  
uraian di atas, dapat di duga bahwa terdapat pengaruh
kepribadian terhadap keterlibatan organsiasi.
2. Pengaruh kepribadian terhadap hasil belajar
Kepribadian manusia merupakan gabungan dari
berbagai sifat dan konsep diri orang. Aspek kepribadian
meliputi watak, sifat, penyesuaian diri, minat, emosi, sikap,
dan motivasi. Gagasan tersebut memberikan gambaran dan
kesan tentang apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diperbuat,
yang terungkap melalui perilaku. Kepribadian juga merupa-
kan kesatuan unik dari ciri-ciri fisik (pandangan mata, se-
nyum, sosok tubuh, perangai, dan sebagainya) dan mental
yang ada dalam diri seseorang ( kebijaksanaan, toleransi dan
ketekunan). Kombinasi yang muncul dari keduanya
merupakan kepribadian seseorang.
Di sisi lain hasil belajar Pendidikan agama adalah
sejumlah pengetahuan agama pada ranah kognitif setelah
menerima pengalaman belajar dalam jangka waktu tertentu
berdasarkan tujuan pembelajaran dan hasilnya dapat dilihat
nilai tes pendidikan agama.
Berdasarkan uraian di atas, dapat di lihat bahwa
seseorang yang memiliki kepribadian (watak, sifat, penye-
suaian diri, emosi, sikap dan motivasi) yang baik maka akan
memiliki hasil belajar pendidkan agama yang tinggi karena
termotivasi untuk memperdalam pelajaran agama. Jadi di
duga terdapat pengaruh kepribadian terhadap hasil belajar
pendidikan agama.
3. Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap hasil belajar
Salah satu sikap manusia ditentukan oleh pengalaman.
Pengayaan pengalaman ditentukan oleh seberapa besar
keinginan seseorang terlibat dalam kegiatan sosial-
kemasyarakatan, atau bagi mahasiswa melalui kegiatan

  81
organisasi kemahasiswaan atau sejenisnya. Dasar pokok yang
amat penting atas keterlibatan seseorang dalam kehidupan
berorganisasi adalah kesempatannya untuk berinteraksi de-
ngan pihak lain
Di sisi lain orang yang memasuki suatu kelompok sosial,
pada hakikatnya mempunyai dorongan untuk mengadakan
evaluasi terhadap dirinya. Dengan memasuki suatu
organisasi, seseorang akan mengetahui pendapat orang lain
mengenai dirinya termasuk apa yang baik, yang boleh dan
yang tidak boleh dikerjakan termasuk dalam hal pengetahuan
agama islam. Berdasarkan uraian di atas di duga terdapat
pengaruh keterlibatan organsiasi terhadap hasil belajar
pendidikan agama
4. Pengaruh kepribadian terhadap lingkungan pendidikan
Berkenaan dengan kepribadian, orang yang bersifat
extrovert menunjukkan sikap yang lebih terbuka dan
menerima masukkan dari pihak luar, aktif, suka berteman,
dan ramah tamah. Umumnya mereka sudah senada dengan
kebudayaan dan orang-orang yang berada di sekitarnya, serta
berupaya untuk mengambil keputusan sesuai dan serasi
dengan permintaan dan harapan lingkungan. Pada dasarnya
orang-orang yang bersifat extrovert akan menciptakan
lingkungan yang terbuka dan saling menghargai. Sebaliknya
pada tipe introvert kecenderungan seseorang untuk menarik
dari dari lingkungan sosialnya, cenderung pendiam dan tidak
membutuhkan orang lain karena merasa segala kebutuhannya
dapat dipenuhinya sendiri. Pada dasarnya orang-orang yang
bersifat introvert akan menciptakan lingkungan yang tertutup
dan individualis.
Pada perkembangan melalui adaptasi maupun
intervensi terhadap lingkungan, sebagian individu

82  
mengadakan penyesuaian, sehingga menjadi sifat yang
ambivalen, yakni sifat di antara introvert dan extrovert.
Seseorang yang mempunyai sifat introvert dengan adanya
unsur adaptasi dengan lingkungan serta rasa percaya dirinya
yang semakin bertambah akan cenderung bergerak ke arah
extrovert. Demkian juga seseorang extrovert dengan adanya
unsur adaptasi dengan lingkungan tetapi percaya diri yang
semakin berkurang akan cenderung bergerak ke arah introvert.
Berdasarkan uraian di atas di duga terdapat pengaruh
kepribadian terhadap lingkungan pendidikan.
5. Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap lingkungan
pendidikan.
Keterlibatan seorang dalam kelompok didasarkan
karena hasratnya untuk bersatu dengan manusia-manusia
yang lain disekitarnya. Karena naluri manusia itu ingin hidup
bersama atas kehendak dan kepentingan yang tidak terbatas.
Karena itu, dalam usaha untuk memenuhi kehendak dan
kepentingan tersebut, tidak dapat dilakukan sendirian
melainkan harus dilakukan secara bersama-sama. Dengan de-
mikian, proses untuk mencapai tujuan tersebut dapat melalui
kerjasama dan berfikir secara bersama-sama pula. Dasar
pokok yang amat penting atas keterlibatan seseorang dalam
kehidupan berkelompok adalah kesempatannya untuk
berinteraksi dengan pihak lain. Kesempatan berinteraksi ini
secara langsung mempunyai pengaruh terhadap
pembentukan kelompok. Melalui interaksi dalam organisasi
itulah ia dapat mengetahui apakah pendapatnya dan
gagasannya sesuai dengan kenyataan social yang ada di
lingkungan kampus atau masyarakatnya.
Di sisi nlain seseorang tertarik untuk mengadakan
interaksi bukan karena adanya kesamaan sikap, tetapi justru
karena adanya perbedan-perbedaan yang tercipta. Adanya

  83
perbedaan, misalnya, dalam merasakan kekurangan diri
sendiri dibandingkan dengan orang lain, justru akan mendo-
rong seseorang tersebut untuk mendapatkan yang kurang itu
dari orang lain. Paparan di atas menggambarkan keuntungan
yang dapat diperoleh oleh seseorang bila terlibat dalam
organisasi. Melalui keterlibatan organisasi, selain akan
memperoleh informasi berharga, tanggapan dan saran, ide-ide
berharga, juga dapat memperkecil kesalahpahaman
antarindividu dan kelompok, sehingga akan mempengaruhi
lingkungan kampus yang lebih nyaman dan jauh dari gejolak
akibat perbedaan pendapat. Berdasarkan uraian di atas di
duga terdapat pengaruh keterlibatan organisasi terhadap
lingkungan pendidikan.
6. Pengaruh hasil belajar pendidikan agama terhadap
lingkungan pendidikan
Pengetahuan keagamaan adalah segala sesuatu yang
diketahui, kepandaian atau segala sesuatu yang berkenaan
dengan agama yang meliputi aspek kepercayaan, ritus, dan
komunitas moral. Hasil belajar Pendidikan agama adalah
sejumlah kemampuan pendidikan agama pada ranah kognitif
setelah menerima pengalaman belajar dalam jangka waktu
tertentu berdasarkan tujuan pembelajaran dan hasilnya dapat
dilihat nilai tes pendidika agama.
Hasil belajar Pendidikan agama yang meliputi aspek
kognitif (pengetahuan keagamaan) dan psikomotorik yang di
miliki mahasiswa, diharapkan dapat mengembangkan pribadi
mahasiswa secara optimum dan kompeten dalam kehidupan
di lingkungan keluarga, kampus dan masyarakat (sosial).
Dalam lingkungan keluarga, hasil belajar pendidikan
agama yang di dapat mahasiswa diharapkan dapat
memberikan suatu konsekuensi berupa tanggung jawab
memelihara norma-norma sosial dan norma agama, karena
84  
sebuah keluarga tidak hanya sekadar berstatus sebagai
lembaga sosial akan tetapi juga merupakan lembaga
pendidikan informal. Begitu juga melalui Perguruan Tinggi,
diharapkan hasil belajar pendidikan agama yang dimiliki
mahasiswa dapat berfungsi mengembangkan sikap mental
yang erat hubungannya dengan nilai-nilai dan norma-norma
kehidupan beragama di lingkungan kampus. Berdasarkan
uraian di atas di duga terdapat pengaruh hasil belajar
terhadap lingkungan pendidikan.
7. Pengaruh kepribadian terhadap toleransi agama
Secara umum kepribadian manusia menjadi empat
kriteria yaitu: (a) Sanguinis, yaitu seseorang yang mempunyai
sifat dasar periang, optimistis, dan percaya diri.; (b)
Melankolis, yaitu seseorang yang mempunyai sifat dasar
pemurung, sedih, pesimistis, kurang percaya diri.; (c) Koleris,
yaitu seseorang yang mempunyai sifat dasar selalu merasa
kurang puas, bereaksi negatif dan agresif. Sifat-sifat lainnya
mudah tersinggung (emosional), suka membuat provokasi, ti-
dak mau mengalah, tidak sabaran, tidak toleran, kurang
mempunyai rasa humor, cenderung beroposisi, dan banyak
inisiatif (usaha); dan (d) Plegmatis, yaitu seseorang yang
mempunyai sifat dasar pendiam, tenang, netral (tidak ada
warna perasaan yang jelas), dan stabil.
Pada dasarnya orang-orang yang bersifat extrovert
menunjukkan sikap yang lebih terbuka dan menerima
masukkan dari pihak luar, aktif, suka berteman, dan ramah
tamah. Adapun tipe introvert kecenderungan seseorang untuk
menarik dari dari lingkungan sosialnya.
Di sisi lain toleransi beragama adalah kesadaran
seseorang untuk menghargai, menghormati, membiarkan, dan
membolehkan pendirian, pandangan, keyakinan,

  85
kepercayaan, serta memberikan ruang bagi pelaksanaan ke-
biasaan, perilaku, dan praktik keagamaan orang lain yang
berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri dalam
rangka membangun kehidupan bersama dan hubungan sosial
yang lebih baik. Dengan demikian orang-orang yang bersifat
ekstrovert biasanya lebih mempunyai toleransi beragama
yang baik karena sifatnya yang lebih terbuka secara sosial dan
berminat terhadap keanekaan termasuk menerima keaneka
ragaman agama yang ada di sekitar lingkungan dari pada
orang-orang yang bersifat introvert yang cederung lebuh
menarik diri dari lingkungan. Berdasarkan uraian di atas di
duga terdapat pengaruh kepribadian terhadap toleransi
beragama.
8. Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap toleransi
beragama
Keterlibatan seseorang dalam kehidupan berkelompok
akan memberikan kesempatan berinteraksi dengan pihak lain.
Melalui interaksi dalam organisasi itulah ia dapat mengetahui
apakah pendapatnya, gagasan dan pertimbangannya sesuai
dengan kenyataan social. Tertariknya seseorang untuk
melakukan interaksi di tentukan oleh prinsip atau asas saling
melengkapi (the principle of complementary). Melalui
keterlibatan organisasi, selain akan memperoleh informasi
berharga, tanggapan dan saran, ide-ide berharga, juga dapat
memperkecil kesalahpahaman antarindividu dan kelompok,
sehingga akan terwujud saling pengertian dan toleransi antar
anggota. Toleransi adalah kemampuan untuk menahankan
hal-hal yang tidak kita setujui atau tidak kita sukai, dalam
rangka membangun hubungan sosial yang lebih baik.
Toleransi mensyaratkan adanya penerimaan dan penghargaan
terhadap pandangan, keyakinan, nilai, serta praktik
orang/kelompok lain yang berbeda dengan kita. Intoleransi

86  
adalah ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk
bertoleran, muncul karena kita tidak bisa atau tidak mau
menerima dan menghargai perbedaan. Intoleransi bisa terjadi
pada tataran hubungan interpersonal, seperti hubungan an-
tara kakak dan adik, orangtua dan anak, suami dan isteri,
antarteman, atau antarkelompok, misalnya suku, agama,
bangsa, dan ideologi. Berdasarkan uraian di atas di duga
terdapat pengaruh keterlibatan organisasi terhadap toleransi
beragama.
9. Pengaruh hasil belajar terhadap toleransi beragama
Hasil belajar Pendidikan agama adalah sejumlah
kemampuan pendidikan agama pada ranah kognitif setelah
menerima pengalaman belajar dalam jangka waktu tertentu
berdasarkan tujuan pembelajaran dan hasilnya dapat dilihat
nilai tes pendidika agama.
Dari hasil belajar pendidikan agama yang dimiliki,
diharapkan mahasiswa mempunyai penghayatan terhadap
aspek kedalaman dari agama sehingga dapat membuat
mahasiswa lebih mampu bersikap menghormati orang lain
secara lebih manusiawi. Dengan kata lain, aspek kedalaman
dari agama itulah yang membuat seseorang lebih toleran
terhadap orang lain. Hal ini membuat seseorang pada aspek
kedalaman dari agama terdapat titik-titik temu yang lebih
banyak dari agama-agama.
Dalam toleransi beragama, dibutuhkan adanya
kejujuran, kebesaran jiwa, kebijaksanaan dan bertanggung
jawab, hingga menumbuhkan perasaan solidaritas dan
mengeliminir egoistis golongan. Oleh karenanya, setiap
pemeluk agama hendaknya dapat menghayati ajaran
agamanya secara mendalam.

  87
Dalam toleransi ini semua umat beragama harus
berpegang pada prinsip agree in disagreement (setuju dalam
perbedaan). Perbedaan tidak harus mengakibatkan
permusuhan, karena bagaimanapun perbedaan akan selalu
ada di dunia ini. Oleh karena itu, ia tidak harus menimbulkan
pertentangan. Dalam konteks ini, prinsip tersebut
mengandung pengertian, semua penganut agama setuju
untuk hidup rukun dengan tetap memelihara eksistensi
semua agama yang ada. Dengan demikian, toleransi
antarumat beragama bukan hanya sekadar hidup
berdampingan secara pasif tanpa adanya saling keterlibatan
satu sama lain, melainkan lebih dari itu, yakni toleransi yang
bersifat aktif dan dinamis, yang diaktualisasikan dalam
bentuk hubungan saling menghargai dan menghormati,
berbuat baik dan adil antarsesama, dan bekerjasama dalam
membangun masyarakat yang harmonis, rukun dan damai.
Berdasarkan uraian di atas di duga terdapat pengaruh hasil
belajar organisasi terhadap toleransi beragama.
10. Pengaruh lingkungan pendidikan terhadap toleransi
beragama
Memahami lingkungan pendidikan tidak dapat
dipisahkan dari pemahaman akan konsepsi pendidikan, sebab
pendidikan itu merupakan suatu proses yang berlanjut dan
berlangsung dalam bermacam-macam situasi dan lingkungan.
Di sisi lain pendidikan adalah suatu proses di mana seseorang
dipengaruhi oleh lingkungan terpilih dan terkontrol (misalnya
kampus) sehingga ia dapat mengembangkan diri pribadi
secara optimum dan kompeten dalam kehidupan masyarakat
(sosial).
Pada dasarnya lingkungan pendidikan dapat
diklasifikasikan menjadi: lingkungan keluarga, lingkungan
sekolah, dan lingkungan masyarakat (sosial). Tujuan

88  
pendidikan di keluarga, yakni terbentuknya mental, sikap
serta penonjolan tingkah laku yang positif dan membangun,
bukan saja dalam lingkungan keluarga tetapi disetiap
lingkungan di mana ia berada. Dengan demikian mahasiswa
yang mendapat keluarga yang baik akan mampu
mengidentifikasikan pola sikap dan tingkah laku yang baik
dalam keluarganya sehingga muncul sikap saling toleran
masing-masing anggota keluarga.
Peranan Sekolah/Perguruan Tinggi sebagai institusi
dinyatakan sebagai berikut: “peranan sekolah/kampus
sebagai lembaga pendidikan adalah mengembangkan potensi
manusiawi yang dimiliki anak-anak agar mampu menjalankan
tugas-tugas kehidupan sebagai manusia, baik secara individu-
al maupun sebagai anggota masyarakat. Kegiatan untuk
mengembangkan potensi itu harus dilakukan secara
berencana, terarah dan sistematik guna mencapai tujuan
tertentu. tujuan itu harus mengandung nilai-nilai yang serasi
dengan kebudayaan masyarakat yang menyelenggarakan
pendidikan sebagai lembaga pendidikan. Dengan demikian
pendidikan di Perguruan Tinggi, dilihat dari sudut sosial dan
spiritual, berfungsi mengembangkan sikap mental yang erat
hubungannya dengan norma-norma kehidupan.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka bentuk dan jenis
lingkungan sangat menentukan dan memberi pengaruh
terhadap pembentukan sikap, penerimaan, tingkah laku, dan
toleransi setiap mahasiswa terhadap berbagai kemajemukan
(etnis, organisasi, dan agama). Hal tersebut mengindikasikan
bahwa bentuk dan jenis lingkungan pendidikan tidak bisa
diabaikan sebagai faktor penting dalam mengukur toleransi
beragama di kalangan mahasiswa. Pengabaian terhadap
masalah ini barangkali dapat membuat pembacaan terhadap
toleransi beragama di kalangan mahasiswa itu tidak utuh

  89
(bias). Berdasarkan uraian di atas di duga terdapat pengaruh
lingkungan belajar terhadap toleransi beragama
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis
penelitian ini adalah:
1. Kepribadian berpengaruh langsung terhadap keterlibatan
organisasi
2. Kepribadian berpengaruh langsung terhadap hasil belajar
3. Keterlibatan organsiasi berpengaruh langsung terhadap
hasil belajar
4. Kepribadian berpengaruh langsung terhadap lingkungan
pendidikan
5. Keterlibatan organisasi berpengaruh langsung terhadap
lingkungan pendidikan
6. Hasil belajar berpengaruh langsung terhadap lingkungan
pendidikan
7. Kepribadian berpengaruh langsung terhadap toleransi
beragama
8. Keterlibatan organisasi berpengaruh langsung terhadap
toleransi beragama
9. Hasil belajar pendidikan agama berpengaruh langsung
terhadap toleransi beragama
10. Lingkungan pendidikan berpengaruh langsung terhadap
toleransi beragama

90  
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

P
enelitian berlokasi di 7 perguruan tinggi umum
negeri, yaitu Universitas Indonesia, Universitas
Padjadjaran, Universitas Diponegoro, Universitas
Gadjah Mada, Universitas Hasannuddin, Universitas
Udayana, dan Universitas Nusa Cendana. Alasan dipilihnya 7
universitas tersebut sebagai lokasi penelitian adalah: (1)
selama ini 7 universitas tersebut menjadi ajang perebutan bagi
para mahasiswa baru menuntut ilmu karena dianggap
berkualitas baik secara akademis maupun sosial sehingga
menghasilkan sumber daya manusia mahasiswa atau lulusan
yang kompetitif; (2) karena prestasinya tersebut, 7 universitas
tersebut mempunyai mahasiswa yang berasal dari berbagai
wilayah di Indonesia, sehingga secara otomatis mahasiswanya
heterogen dari sisi agama dan etnis. Heterogenitas itu
diasumsikan berpotensi memunculkan konflik bernuansa
agama atau etnis di kalangan mahasiswa, baik laten maupun
manifes; (3) 7 universitas tersebut diduga mempunyai
kegiatan intra dan ekstra kampus yang cukup baik sehingga
dapat membantu membentuk karakter mahasiswa yang tidak
semata-mata pandai secara akademis tetapi juga baik
sosialisasinya di masyarakat.
Penelitian ini, mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan,
pengolahan hasil penelitian, diseminasi hasil penelitian, dan
pelaporan, membutuhkan waktu kurang lebih 4 bulan yaitu
dari bulan September s.d. Desember 2009.

91
B. Metode dan Desain Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
survei cross-sectional yaitu survei yang dirancang untuk sekali
waktu. Survei cross-sectional hanya ingin memotret pendapat
atau perilaku masyarakat pada satu periode waktu tertentu.
Survei cross-sectional tidak punya maksud membuat
perbandingan atau melihat perubahan pendapat dan
perilaku.1
Teknik pengumpulan data dengan menggunakan
kuesioner. Teknik analisis data dengan menggunakan metode
analisis deskriptif, analisis korelasional dan analisis jalur (path
analysis). Teknik ini dipergunakan untuk menganalisis
hubungan antara 4 (empat) variabel bebas (independent
variable), yaitu kepribadian (X1), keterlibatan organisasi (X2),
hasil belajar pendidikan agama (X3), dan lingkungan
pendidikan (X4) dengan 1 (satu) variabel terikat (dependent
variable), yaitu toleransi beragama (Y).2 Berdasarkan konsep,
teori, dan pandangan dari berbagai pakar, dalam setiap
variabel penelitian telah dibangun konstruk dan indikator,
yang juga berfungsi sebagai dasar dalam penyusunan
instrumen penelitian dalam bentuk kuesioner.
Model Hipotesis penelitian berbentuk pengaruh kausal
(sebab akibat) sesuai dengan model teori yang digunakan,
seperti gambar berikut
X1 X3

X2
X4
                                                            
1
Eriyanto dkk. Bagaimana Merancang dan Membuat Survei Opini
Publik. Jakarta: AROPI. 2009. hlm. 8.  
2
M.A.S. Imam Chourmain. Metode Penelitian dengan Analisis
Jalur (Metode Path Analysis). Jakarta: t.p. 2007.  

92
Keterangan:
X1 = Kepribadian
X2 = Keterlibatan organsiasi
X3 = Hasil Belajar PA
X4 = Lingkungan pendidikan
Y = Toleransi beragama

Dari skema di atas dapat dijelaskan bahwa variabel


kepribadian, keterlibatan organisasi, hasil belajar pendidikan
agama, lingkungan pendidikan diasumsikan mempengaruhi
secara langsung toleransi beragama. Selain itu, kepribadian
juga diasumsikan mempengaruhi toleransi beragama melalui
keterlibatan organisasi, hasil belajar pendidikan agama,
lingkungan pendidikan; keterlibatan organisasi
mempengaruhi toleransi beragama melalui hasil belajar
pendidikan agama, lingkungan pendidikan; hasil pendidikan
agama mempengaruhi toleransi beragama melalui lingkungan
pendidikan.
C. Populasi dan Sampel
Populasi target dalam penelitian ini adalah mahasiswa
perguruan tinggi umum negeri di wilayah DKI Jakarta
(Universitas Indonesia), Jawa Barat (Universitas Padjadjaran),
Jawa Tengah (Universitas Diponegoro), DI Yogyakarta
(Universitas Gadjah Mada), Sulawesi Selatan (Universitas
Hasanuddin), Bali (Universitas Udayana), dan Nusa Tenggara
Timur (Universitas Nusa Cendana). Sedangkan populasi
terjangkaunya adalah mahasiswa yang berbeda agama (Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu) di fakultas
eksakta seperti teknik, MIPA, farmasi, kedokteran umum,
kedokteran gigi, kesehatan masyarakat, pertanian, perikanan,
kehutanan, ilmu komputer); dan fakultas sosial seperti ilmu
sosial dan politik, ekonomi, hukum, ilmu budaya, psikologi,
filsafat, keguruan, yang terdapat di perguruan tinggi tersebut.

93
Sampel penelitian secara keseluruhan sebanyak 610
mahasiswa dan penentuan sampel dilakukan dengan teknik
purposive dengan perincian sebagai berikut:
Perguruan Tinggi Jumlah Sampel
Universitas Indonesia 100
Universitas Padjadjaran 80
Universitas Diponegoro 81
Universitas Gadjah Mada 98
Universitas Hasanuddin 101
Universitas Udayana 80
Universitas Nusa Cendana 70
Jumlah 610
Tabel 1. Sampel Responden

Penetapan jumlah masing-masing responden universitas


sebesar itu ditentukan setelah melihat jumlah mahasiswa
keseluruhan dari masing-masing universitas. Dari hasil
pelacakan melalui internet diketahui bahwa mahasiswa
Universitas Indonesia sebesar 40.000-an orang, Universitas
Gadjah Mada 45.000-an orang, Universitas Diponegoro
sebanyak 28.000-an orang, Universitas Padjadjaran sebanyak
45.000-an orang, Universitas Hasanuddin sebanyak 30.000-an
orang, Universitas Udayana sebanyak 18.000-an, dan
Universitas Nusa Cendana sebanyak 15.000-an orang. Dari
data tersebut mestinya Universitas Padjadjaran memperoleh
100 responden, namun karena pertimbangan keterwakilan
wilayah Timur, proyeksi 100 responden diberikan kepada
Universitas Hasanuddin.
D. Instrumen Penelitian
Penyusunan instrumen penelitian didasarkan pada
“matrik pengembangan instrumen” dan “kisi-kisi instrumen”
yang merujuk kepada 5 variabel yang diukur, yaitu variabel

94
kepribadian, keterlibatan organisasi, hasil belajar pendidikan
agama, lingkungan pendidikan, dan toleransi beragama.3
1. Variabel Kepribadian (X1)
a. Definisi Konseptual
Kepribadian adalah perangai atau perilaku yang muncul
sebagai akibat interaksi dinamis antara karakteristik fisik dan
mental pada diri individu yang berkembang sesuai dengan
pendidikan dan lingkungan sosialnya.
b. Definisi Operasional
Kepribadian adalah skor yang diperoleh dari instrumen
kepribadian dengan indikator yang mengukur temperamental
seseorang apakah ia tergolong ekstrovert, introvert, sanguinis,
melankolis, koleris, dan plegmatis, berdasarkan instrumen
yang sudah baku.
c. Kisi-kisi
Tabel 3.1. Kisi-kisi Instrumen Variabel Kepribadian (X1)

No. Dimensi Nomor Jumlah


Soal Butir
1. Ekstrovert atau 13 15
introvert.
2. Sanguinis. 14 15
3. Melankolis. 15 15
4. Koleris. 16 15
5. Plegmatis. 17 15
Jumlah 75

                                                            
3
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D.
Bandung: Alfabeta. 2008. hlm. 8.  

95
d. Validitasi Instrumen
Penentuan validitas konstruksi instrumen variabel
kepribadian dilakukan dengan menggunakan pendapat dari
ahli (judgment experts). Dalam hal ini, setelah instrumen
dikonstruksi tentang aspek-aspek yang akan diukur dengan
berlandaskan teori tertentu, maka selanjutnya dikonsultasikan
dengan ahli. Instrumen variabel kepribadian diadaptasi dari
instrumen uji kepribadian yang sudah baku dilakukan oleh
kalangan psikolog.
2. Variabel Keterlibatan Organisasi (X2)
a. Definisi Konseptual
Keterlibatan organisasi adalah setiap proses identifikasi,
komunikasi atau kegiatan bersama individu atau kelompok
dalam organisasi.
b. Definisi Operasional
Keterlibatan organisasi adalah skor yang diperoleh dari
instrumen keterlibatan organisasi dengan indikator yang
mengukur kuantitas dalam pengetahuan organisasi,
kedudukan dalam organisasi, pengambilan keputusan di
organisasi, kualitas dalam kegiatan organisasi, dan manfaat
organisasi.
c. Kisi-kisi
Tabel 3.2. Kisi-kisi Instrumen Variabel Keterlibatan
Organisasi (X2)
No. Dime Nomor Soal Jumlah
nsi Butir
1. Pengetahuan 18 1
2. Kedudukan 19 1
2. Keterlibatan 20, 21, 22, 23, 24, 25 6
3. Manfaat 26, 27, 28 3
Jumlah 11

96
d. Validitasi Instrumen
Penentuan validitas konten/konstruk untuk instrumen
keterlibatan organisasi dengan cara mengonsultasikan
instrumen yang telah disusun kepada para ahli. Selanjutnya,
untuk melihat validitas internal dilakukan analisis terhadap
hasil uji coba instrumen. Hasil uji coba instrumen keterlibatan
organisasi diolah dengan menggunakan program excell untuk
melihat validitas internal setiap butir pernyataan secara
keseluruhan dari instrumen tersebut dengan cara menghitung
koefisien korelasi skor setiap butir dengan skor total. Dari
hasil uji coba yang dilakukan terhadap 20 orang mahasiswa
berbeda agama dan fakultas yang berbeda ternyata diperoleh
4 butir pernyataan tidak diterima. Butir pernyataan yang
diterima pada instrumen keterlibatan organisasi dapat
digunakan dalam penelitian (valid) sebanyak 7 butir. Adapun
pernyataan 4 butir yang ditolak sehingga tidak digunakan
dalam penelitian ini adalah, yaitu nomor 22, 25, 26 dan 27.
Pengukuran reliabilitas instrumen dilakukan dengan
menggunakan butir yang valid sesuai dengan hasil uji coba.
Selanjutnya dari perhitungan dengan menggunakan komputer
program excell diperoleh hasil bahwa instrumen ini memiliki
reliabilitas yang ditunjukkan dengan nilai (Alpha Cronbach)
sebesar 0.877. Dengan demikian instrumen yang digunakan
untuk mengukur atau mengumpulkan data penelitian variabel
keterlibatan organisasi adalah instrumen final yang terdiri atas
7 butir.
3. Variabel Hasil Belajar Pendidikan Agama (X3)
a. Definisi Konseptual
Hasil belajar pendidikan agama adalah prestasi
akademik yang diperoleh mahasiswa dalam mata kuliah
pendidikan agama di perguruan tinggi.

97
b. Definisi Operasional
Hasil belajar pendidikan agama adalah skor yang
diperoleh dari instrumen pengetahuan agama dengan
indikator yang mengukur prestasi akademik mata kuliah
pendidikan agama.
c. Kisi-kisi
Tabel 3.1. Kisi-kisi Instrumen Variabel Hasil Belajar
Pendidikan Agama (X3)
No. Dimensi Nomor Butir Jumlah
1. Nilai 29 1
Jumlah 1

d. Validitasi Instrumen
Validitasi instrumen dilakukan dengan membandingkan
antara pengakuan responden dan hasil belajar yang
dikeluarkan oleh pihak fakultas yang bersangkutan.
4. Variabel Lingkungan Pendidikan (X4)
a. Definisi Konseptual
Lingkungan pendidikan adalah tempat di mana individu
atau kelompok mendapatkan pengaruh konsepsional dan
perilaku terhadap pandangan atau aturan tertentu yang
kemudian menjadi pandangan dan perilaku dirinya.
b. Definisi Operasional
Lingkungan pendidikan adalah skor yang diperoleh dari
instrumen lingkungan pendidikan dengan indikator yang
mengukur pengaruh lingkungan keluarga, lingkungan
sekolah, dan lingkungan masyarakat (sosial) terhadap
toleransi beragama.

98
c. Kisi-kisi
Tabel 4.1. Kisi-kisi Instrumen Variabel Lingkungan
Pendidikan (X4)

No. Dimensi Nomor Butir Jumlah


1. Keluarga 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 18
37, 38, 39, 40, 41, 42, 43,
44, 45, 46, 47
2. Kampus 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 10
55, 56, 57
3. Masyarakat. 58, 59, 60, 61 4
Jumlah 32

d. Validitasi Instrumen
Penentuan validitas konten/konstruk untuk instrumen
variabel lingkungan pendidikan dengan cara
mengkonsultasikan instrumen yang telah disusun kepada
para ahli. Selanjutnya, untuk melihat validitas internal
dilakukan analisis terhadap hasil uji coba instrumen. Hasil uji
coba instrumen keterlibatan organisasi diolah dengan
menggunakan program excell untuk melihat validitas internal
setiap butir pernyataan secara keseluruhan dari instrumen
tersebut dengan cara menghitung koefisien korelasi skor
setiap butir dengan skor total. Dari hasil uji coba yang
dilakukan terhadap 20 orang mahasiswa berbeda agama dan
fakultas yang berbeda ternyata diperoleh 23 butir pernyataan
tidak diterima. Butir pernyataan yang diterima pada
instrumen keterlibatan organisasi dapat digunakan dalam
penelitian (valid) sebanyak 9 butir. Adapun pernyataan 23
butir yang ditolak sehingga tidak digunakan dalam penelitian

99
ini adalah, yaitu nomor 30, 31, 32, 33, 34, 35, 37, 41, 42, 43, 44,
45, 46, 47, 48, 51, 53, 54, 56, 57, 58, 59 dan 61. Pengukuran
reliabilitas instrumen dilakukan dengan menggunakan butir
yang valid sesuai dengan hasil uji coba. Selanjutnya dari
perhitungan dengan menggunakan komputer program excell
diperoleh hasil bahwa instrumen ini memiliki reliabilitas yang
ditunjukkan dengan nilai (Alpha Cronbach) sebesar 0.877.
Dengan demikian instrumen yang digunakan untuk meng-
ukur atau mengumpulkan data penelitian variabel
keterlibatan organisasi adalah instrumen final yang terdiri atas
9 butir.
5. Variabel Toleransi Beragama (Y)
a. Definisi Konseptual
Toleransi beragama adalah kesadaran seseorang untuk
menghargai, menghormati, membiarkan, dan membolehkan
pendirian, pandangan, keyakinan, kepercayaan, serta
memberikan ruang bagi pelaksanaan kebiasaan, perilaku, dan
praktik keagamaan orang lain yang berbeda atau bertentangan
dengan pendirian sendiri dalam rangka membangun
kehidupan bersama dan hubungan sosial yang lebih baik.
b. Definisi Operasional
Toleransi beragama adalah skor yang diperoleh dari
instrumen toleransi beragama dengan indikator yang
mengukur kebebasan beragama, keyakinan agama,
penghormatan terhadap pelaksanaan ritual dan pendirian
rumat ibadat, dan kerjasama sosial.

100
c. Kisi-kisi
Tabel 3.5. Kisi-kisi Instrumen Variabel Toleransi
Beragama (Y)

No. Dimensi Nomor Butir Jumlah


1. Kebebasan beragama. 62, 63, 64, 65, 66, 8
67, 68, 69
2. Keyakinan agama 70, 71, 72, 73, 74 5
3. Ritual dan pendirian 75, 76, 77, 78, 79, 7
rumah ibadat 80, 81
4. Kerjasama sosial 82, 83, 84, 85, 86, 25
87, 88, 89, 90, 91,
92, 93, 94, 95, 96,
97, 98, 99, 100, 101,
102, 103, 104, 105,
106
Jumlah 45

d. Validitasi Instrumen
Penentuan validitas konten/konstruk untuk instrumen
toleransi beragama dengan cara mengonsultasikan instrumen
yang telah disusun kepada para ahli. Selanjutnya, untuk meli-
hat validitas internal dilakukan analisis terhadap hasil uji coba
instrumen. Hasil uji coba instrumen toleransi beragama diolah
dengan menggunakan program excell untuk melihat validitas
internal setiap butir pernyataan secara keseluruhan dari
instrumen tersebut dengan cara menghitung koefisien korelasi
skor setiap butir dengan skor total. Dari hasil uji coba yang di-
lakukan terhadap 20 orang mahasiswa berbeda agama dan
fakultas yang berbeda ternyata diperoleh 7 butir pernyataan
tidak diterima. Butir pernyataan yang diterima pada instru-
men keterlibatan organisasi dapat digunakan dalam penelitian
(valid) sebanyak 38 butir. Adapun pernyataan 7 butir yang

101
ditolak sehingga tidak digunakan dalam penelitian ini adalah,
yaitu nomor 62, 64, 65, 66, 68, 79, dan 84. Pengukuran
reliabilitas instrumen dilakukan dengan menggunakan butir
yang valid sesuai dengan hasil uji coba. Selanjutnya dari
perhitungan dengan menggunakan komputer program excell
diperoleh hasil bahwa instrumen ini memiliki reliabilitas yang
ditunjukkan dengan nilai (Alpha Cronbach) sebesar 0.87.
Dengan demikian instrumen yang digunakan untuk meng-
ukur atau mengumpulkan data penelitian variabel toleransi
beragama adalah instrumen final yang terdiri atas 38 butir.
E. Teknis Analisis Data
Analisis data penelitian dilakukan dengan
menggunakan statistik deskriptif dan statistik inferensial.
Statistik deskriptif tujuannya adalah untuk memperoleh
gambaran karakteristik penyebaran skor setiap variabel yang
diteliti dengan menghitung nilai rata-rata (mean), median,
standar deviasi, frekuensi, dan histogram. Selanjutnya skor
setiap variabel yang diperoleh dari hasil penelitian
diklasifikasi menurut kategori berikut:
Variabel Kepribadian
Ekstrovert-Introvert
26-30 sangat luar biasa ekstrovert 9-12 agak ekstrovert
22-25 Sangat ekstrovert 5-8 sangat intrivert
18-21 Agak ekstrovert 0-4 sangat luar biasa introvert
13-17 Seimbang
Sanguinis
26-30 sangat luar biasa sanguinis 9-12 Sedikit sanguinis
22-25 Sangat sanguinis 5-8 Tidak begitu sanguinis
18-21 Di atas Rata-rata 0-4 Bukan sanguinis
13-17 Rata Rata

102
Melankolis
26-30 sangat luar biasa artistik 9-12 Dibawah rata rata
22-25 Sangat artistik 5-8 Tidak begitu artistik
18-21 agak artistik 0-4 tidak artistik
13-17 Rata Rata
Koleris
26-30 Imajinasi yang kuat 9-12 Dibawah rata rata
22-25 Imajinasi yang bagus 5-8 kekurangan imajinasi
18-21 Agak imajinatif 0-4 tidak punya imajinasi
13-17 Rata Rata
Plegmatis
26-30 luar biasa asertif 9-12 sangat lembut
22-25 sangat asertif 5-8 Tenang
18-21 Agak aserif 0-4 Sangat tenang
13-17 lembut

Variabel Keterlibatan Organisasi


Kurang terlibat apabila skor: 0 -20
Cukup terlibat apabila skor: 21 – 40
Terlibat apabila skor: 41 – 60
Sangat terlibat apabila skor: 61 – 80

Variabel Hasil Belajar Pendidikan Agama


A = 4, B = 3, C = 2, D = 1, dan E = 0

Variabel Lingkungan Pendidikan


Kurang kondusif apabila skor: 9 – 18
Cukup kondusif apabila skor: 19 – 27
Kondusif apabila skor 28: – 36
Sangat Kondusif apabila skor: 37 – 45

103
Variabel Toleransi Beragama
Rendah apabila skor: 39 – 78
Sedang apabila skor: 79 – 117
Baik apabila skor: 118 – 156
Baik sekali apabila skor: 157 – 195
Analisis selanjutnya adalah dengan statistik inferensial
(induktif), yaitu teknik analisis jalur. Sebelum dilakukan
pengujian hipotesis terlebih dahulu dilakukan pengujian per-
syaratan analisis data yang terdiri dari uji normalitas galat
taksiran dan uji homogenitas varians. Pengujian normalitas
galat taksiran masing-masing dilakukan terhadap taksiran Y
atas X1, X2, X3 dan X4. Sedangkan pengujian homogenitas va-
rians masing-masing dilakukan terhadap varians pengelom-
pokan nilai Y atas kesamaan nilai variabel bebas Kepribadian
(X1), Keterlibatan Organisasi (X2), Hasil Belajar Pendidikan
Agama (X3), dan Lingkungan Pendidikan (X4).

104
BAB IV
HASIL PENELITIAN
DAN PEMBAHASANNYA

A. Profil Responden
1. Sebaran Responden

R
esponden penelitian ini tersebar di 7 (tujuh)
universitas negeri di Indonesia yang tergolong
universitas besar. Sebaran responden di 7
universitas tersebut adalah sebagai berikut:

Dari data di atas, penyumbang responden terbesar


adalah Universitas Hasanuddin sebesar 16.6%, berikutnya
kemudian Universitas Indonesia sebesar 16.4%, Universitas
Gadjah Mada sebesar 16.1%, Universitas Diponegoro sebesar
13.3%, Universitas Padjadjaran sebesar 13.1%, Universitas
Udayana sebesar 13.1%, dan Universitas Nusa Cendana se-
besar 11.5%.

  105
2. Jenis Kelamin Responden
Ditinjau dari jenis kelamin, responden antara laki-laki
dan perempuan hampir seimbang, sebagaimana dapat dilihat
pada tabel berikut.

Dari tabel di atas diketahui bahwa responden


perempuan sebanyak 295 orang (48%) dan responden laki-laki
sebanyak 314 orang (51.5%).
3. Agama Responden
Ditinjau dari sisi agama, responden kebanyakan
pemeluk agama Islam dengan 273 orang (44.8%), Kristen
sebanyak 133 orang (21.8%), Katolik sebanyak 91 orang
(14.9%), Hindu sebanyak 76 orang (12.5%), Buddha sebanyak
34 orang (5.6%), dan Khonghucu sebanyak 2 orang (0.3%),
sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut.

106  
4. Semester
Ditinjau dari sisi semester, responden sebagian besar
berasal dari semester 3 sebanyak 234 orang (38.4%), semester 5
sebanyak 180 orang (29.5%), dan semester 7 sebanyak 128
orang (21.0%), sebagaimana terlihat pada tabel berikut.

B. Deskripsi Data dan Temuan


Deskripsi data hasil penelitian meliputi variabel terikat
(Y) yaitu toleransi beragama beragama beragama dan variabel
bebas (X) meliputi kepribadian (X1), keterlibatan organisasi
(X2), hasil belajar pendidikan agama (X3), dan lingkungan
pendidikan (X4). Variabel bebas yang mempengaruhi variabel
toleransi beragama beragama beragama dalam penelitian ini
ditetapkan secara teoritis dan empiris. Adapun paparan data
dari variabel-variabel penelitian disajikan sebagai berikut:

  107
1. Toleransi beragama beragama Mahasiswa Berbeda
Agama 7 Universitas
Berdasarkan hasil uji instrumen toleransi beragama
beragama beragama yang diberikan kepada 610 mahasiswa
yang tersebar di 7 universitas negeri diperoleh data toleransi
beragama mahasiswa. Data tersebut selanjutnya dikategorikan
menjadi 4 kategori yaitu kategori rendah (39 – 78), kategori se-
dang (79 – 117), kategori baik (118 – 156), dan kategori baik
sekali (157 – 195).
Deskripsi data toleransi beragama beragama beragama
mahasiswa disajikan pada tabel berikut:

Descriptive Statistics

Dependent Variable: Toleransi_Y


Kode_UN Mean Std. Deviation N
UDAYANA 144.3375 13.68631 80
UNDANA 145.8429 13.98305 70
UNHAS 140.0792 23.84730 101
UI 139.8600 18.63689 100
UNDIP 138.2963 16.78053 81
UNPAD 136.7500 23.69239 80
UGM 136.6531 17.32473 98
Total 140.0393 19.07573 610

Berdasarkan kategori yang telah ditetapkan, rata-rata


toleransi beragama beragama beragama di kalangan ma-
hasiswa berbeda agama di 7 universitas negeri berada dalam
kategori baik (118-156), dengan skor 140. Perolehan rata-rata
skor tersebut berada di atas rata-rata skor teoritik dari variabel
toleransi beragama beragama beragama di kalangan ma-
hasiswa. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan skor
toleransi beragama beragama secara visual berikut ini.

108  
Toleransi_Y

100

80
Frequency

60

40

20

Mean =140.04
Std. Dev. =19.076
N =610
0
0.00 50.00 100.00 150.00 200.00
Toleransi_Y

Dari grafik di atas tampak bahwa kecenderungan skor


toleransi beragama beragama condong ke kanan atau sebagian
besar skor toleransi beragama beragama di atas rata-rata.
Ditinjau dari universitas-unversitas lokasi penelitian, ternyata
rata-rata skor toleransi beragama di kalangan mahasiswa di 7
universitas berbeda secara signifikan. Hal ini terlihat pada
hasil analisis data yang terangkum pada tabel berikut.

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Toleransi_Y


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 6074.398a 6 1012.400 2.832 .010
Intercept 11793615.0 1 11793614.96 32995.537 .000
Kode_UN 6074.398 6 1012.400 2.832 .010
Error 215530.658 603 357.431
Total 12184326.0 610
Corrected Total 221605.056 609
a. R Squared = .027 (Adjusted R Squared = .018)

Dari tabel di atas diperoleh F= 2,832, dan p-value = 0,010


< 0,05. Dengan demikian hasil uji komparasi tersebut
memperlihatkan adanya perbedaan toleransi beragama

  109
beragama beragama di kalangan mahasiswa di 7 universitas.
Hal ini berarti karakteristik universitas tempat penelitian ini
dilakukan berpengaruh nyata terhadap toleransi beragama
beragama beragama.
2. Kepribadian
Berdasarkan hasil uji instrumen kepribadian yang
diberikan kepada 610 mahasiswa yang tersebar di 7
universitas negeri diperoleh data kepribadian mahasiswa.
Data tersebut selanjutnya dikategorikan menjadi 5 dimensi
kepribadian, yaitu ekstrovert dan introvert, sanguinis,
melankolis, koleris, dan plegmatis, dengan kategori skor
sebagaimana telah disinggung di bab tiga. Deskripsi data
kepribadian mahasiswa disajikan pada tabel berikut:

110  
Descriptive Statistics

Kode_UN Mean Std. Deviation N


EKS_INTRO UDAYANA 17.0625 4.62340 80
UNDANA 16.2286 4.61934 70
UNHAS 16.9604 4.77477 101
UI 17.0500 4.44126 100
UNDIP 16.4321 4.23066 81
UNPAD 16.5750 4.35970 80
UGM 15.4898 4.08226 98
Total 16.5475 4.46205 610
SAGUINIS UDAYANA 20.2375 4.25231 80
UNDANA 20.8429 3.83589 70
UNHAS 20.5248 3.52589 101
UI 19.5500 4.50449 100
UNDIP 19.2346 3.59955 81
UNPAD 17.5500 4.91420 80
UGM 18.3673 3.70952 98
Total 19.4557 4.18875 610
MELANKOLIS UDAYANA 15.5750 4.89840 80
UNDANA 15.3143 5.19069 70
UNHAS 14.9802 4.10848 101
UI 15.5100 4.51595 100
UNDIP 15.7901 5.63630 81
UNPAD 14.9125 4.58725 80
UGM 15.1429 3.99226 98
Total 15.3082 4.66726 610
KOLERIS UDAYANA 19.3000 4.21990 80
UNDANA 19.2571 4.63973 70
UNHAS 17.2871 4.62890 101
UI 18.1800 4.71486 100
UNDIP 17.4444 4.73814 81
UNPAD 17.6000 4.67040 80
UGM 18.3265 3.59775 98
Total 18.1525 4.50229 610
PLEGMATIS UDAYANA 14.0625 3.76306 80
UNDANA 15.5429 3.52912 70
UNHAS 14.1980 3.82889 101
UI 14.7800 3.68612 100
UNDIP 14.0988 3.97368 81
UNPAD 14.7750 3.83513 80
UGM 13.9796 3.74711 98
Total 14.4574 3.78602 610

  111
Berdasarkan kategori yang telah ditetapkan, rata-rata
kepribadian dalam dimensi ekstrovert-introvert di kalangan
mahasiswa berbeda agama di 7 universitas berada dalam
kategori seimbang (13 – 17), dimensi sanguinis dalam kategori
di atas rata-rata (18 – 21), dimensi melankolis dalam kategori
rata-rata (13 – 17), dimensi koleris dalam kategori agak
imajinatif (18 – 21), dan dimensi plegmatis dalam kategori
lembut (13 – 17).
Perolehan rata-rata skor dimensi-dimensi variabel
kepribadian di kalangan mahasiswa berbeda agama di 7
universitas secara umum di atas rata-rata skor teoritik.
Gambaran umum secara visual dapat dilihat pada grafik
berikut ini.

EKS_INTRO

60

50

40
Frequency

30

20

10

Mean =16.55
Std. Dev. =4.462
N =610
0
0.00 10.00 20.00 30.00
EKS_INTRO

112  
SAGUINIS

60
Frequency

40

20

Mean =19.46
Std. Dev. =4.189
N =610
0
-10.00 0.00 10.00 20.00 30.00
SAGUINIS

MELANKOLIS

60

50

40
Frequency

30

20

10

Mean =15.31
Std. Dev. =4.667
N =610
0
-10.00 0.00 10.00 20.00 30.00
MELANKOLIS

  113
KOLERIS

60

50

40
Frequency

30

20

10

Mean =18.15
Std. Dev. =4.502
N =610
0
-10.00 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00
KOLERIS

PLEGMATIS

80

60
Frequency

40

20

Mean =14.46
Std. Dev. =3.786
N =610
0
0.00 10.00 20.00 30.00
PLEGMATIS

Dari grafik-grafik di atas tampak bahwa dimensi


sangunitas dan plegmatis di kalangan mahasiswa berbeda
agama di 7 universitas merupakan dimensi yang cukup
menonjol dibandingkan 3 dimensi yang lain. Jika dikomparasi
antar 7 universitas ternyata hanya dimensi sanguinis dan
koleris yang berbeda secara signifikan. Dengan kata lain,

114  
karakteristik universitas hanya berpengaruh nyata terhadap
dimensi sangunitas dan koleritas. Hasil pengujiannya dapat
dilihat pada tabel berikut.

Tests of Between-Subjects Effects

Type III Sum


Source Dependent Variable of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model EKS_INTRO 181.583a 6 30.264 1.528 .166
SAGUINIS 710.489b 6 118.415 7.158 .000
MELANKOLIS 54.653c 6 9.109 .416 .869
KOLERIS 334.466d 6 55.744 2.799 .011
PLEGMATIS 153.014e 6 25.502 1.793 .098
Intercept EKS_INTRO 164054.815 1 164054.815 8282.726 .000
SAGUINIS 227311.089 1 227311.089 13741.466 .000
MELANKOLIS 140661.735 1 140661.735 6420.136 .000
KOLERIS 198559.466 1 198559.466 9969.010 .000
PLEGMATIS 125885.198 1 125885.198 8850.913 .000
Kode_UN EKS_INTRO 181.583 6 30.264 1.528 .166
SAGUINIS 710.489 6 118.415 7.158 .000
MELANKOLIS 54.653 6 9.109 .416 .869
KOLERIS 334.466 6 55.744 2.799 .011
PLEGMATIS 153.014 6 25.502 1.793 .098
Error EKS_INTRO 11943.538 603 19.807
SAGUINIS 9974.816 603 16.542
MELANKOLIS 13211.406 603 21.909
KOLERIS 12010.356 603 19.918
PLEGMATIS 8576.378 603 14.223
Total EKS_INTRO 179156.000 610
SAGUINIS 241586.000 610
MELANKOLIS 156214.000 610
KOLERIS 213347.000 610
PLEGMATIS 136229.000 610
Corrected Total EKS_INTRO 12125.121 609
SAGUINIS 10685.305 609
MELANKOLIS 13266.059 609
KOLERIS 12344.821 609
PLEGMATIS 8729.392 609
a. R Squared = .015 (Adjusted R Squared = .005)
b. R Squared = .066 (Adjusted R Squared = .057)
c. R Squared = .004 (Adjusted R Squared = -.006)
d. R Squared = .027 (Adjusted R Squared = .017)
e. R Squared = .018 (Adjusted R Squared = .008)

  115
3. Keterlibatan Organisasi
Berdasarkan data skor keterlibatan organisasi yang
diperoleh dari 610 mahasiswa yang tersebar di 7 perguruan
tinggi umum diperoleh rata-rata sebesar 22,51. Dengan
menggunakan kategori: Kurang terlibat (0 – 20), Cukup
terlibat (21 – 40), Terlibat (41 – 60), dan Sangat terlibat (61 –
80), maka skor keterlibatan organisasi yang diperoleh dalam
penelitian ini berada dalam kategori cukup terlibat. Deskripsi
data keterlibatan organisasi mahasiswa disajikan pada tabel
berikut:

Descriptive Statistics

Dependent Variable: Terlibat_Organisasi_X2


Kode_UN Mean Std. Deviation N
UDAYANA 24.6750 7.87847 80
UNDANA 22.9571 7.73742 70
UNHAS 22.0891 8.07354 101
UI 19.1700 7.25865 100
UNDIP 22.2716 8.61541 81
UNPAD 21.6500 8.20173 80
UGM 25.1633 7.20637 98
Total 22.5098 8.03670 610

Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata


skor keterlibatan organisasi kurang terlibat hingga sangat
terlibat berturut-turut adalah UGM, Udayana, Undana,
Unhas, Undip, Unpad, dan UI. Keterlibatan organisasi
disajikan secara visual pada histogram berikut.

Histogram

80

60
Frequency

40

20

Mean =22.51
Std. Dev. =8.037
N =610
0
0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00
Terlibat_Organisasi_X2

116  
Dari grafik di atas tampak bahwa kecenderungan skor
keterlibatan organisasi condong ke kiri atau sebagian besar
skor tersebut di bawah rata-rata empiris. Ditinjau dari
universitas-unversitas lokasi penelitian, ternyata rata-rata skor
keterlibatan organisasi di kalangan mahasiswa di 7 universitas
berbeda secara signifikan. Hal ini terlihat pada hasil analisis
data yang terangkum pada tabel berikut.

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Terlibat_Organisasi_X2


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 2276.099a 6 379.350 6.173 .000
Intercept 305328.290 1 305328.290 4968.192 .000
Kode_UN 2276.099 6 379.350 6.173 .000
Error 37058.342 603 61.457
Total 348417.000 610
Corrected Total 39334.441 609
a. R Squared = .058 (Adjusted R Squared = .048)

Dari tabel di atas diperoleh F= 6,173, dan p-value = 0,000


< 0,05. Dengan demikian hasil uji komparasi tersebut
memperlihatkan adanya perbedaan keterlibatan organisasi di
kalangan mahasiswa di 7 universitas. Hal ini berarti
karakteristik universitas tempat penelitian ini memberikan
pengaruh yang nyata terhadap keterlibatan organisasi di
kalangan mahasiswa.
4. Hasil Belajar Pendidikan Agama
Berdasarkan data hasil belajar pendidikan agama yang
diperoleh dari 610 mahasiswa yang tersebar di 7 universitas
umum negeri diperoleh rata-rata sebesar 3,49. Dengan
menggunakan skala 1 – 5 (A, B, C, D, dan E), maka rata-rata
hasil belajar pendidikan agama pada mahasiswa yang menjadi
responden penelitian tergolong tinggi. Deskripsi data hasil

  117
belajar pendidikan agama mahasiswa disajikan pada tabel
berikut:

Descriptive Statistics

Dependent Variable: Hasil_Belajar_Agama_X3


Kode_UN Mean Std. Deviation N
UDAYANA 3.6250 .64386 80
UNDANA 3.4286 .80885 70
UNHAS 3.6634 .60460 101
UI 3.4000 .69631 100
UNDIP 3.3827 .68132 81
UNPAD 3.5000 .81131 80
UGM 3.4082 .70106 98
Total 3.4885 .70933 610

Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata


hasil belajar pendidikan agama tertinggi ke terendah berturut-
turut diperoleh Unhas, Udayana, Unpad, Undana, UGM, UI,
dan Undip. Kecenderungan data hasil belajar pendidikan
agama disajikan secara visual pada histogram berikut.

Histogram

400

300
Frequency

200

100

Mean =3.49
Std. Dev. =0.709
N =610
0
-1.00 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00
Hasil_Belajar_Agama_X3

Dari grafik di atas tampak bahwa kecenderungan skor


hasil belajar pendidikan agama condong ke kanan atau
sebagian besar skor tersebut di atas rata-rata empiris.
Ditinjau dari universitas-unversitas lokasi penelitian,
ternyata rata-rata skor hasil belajar pendidikan agama di
118  
kalangan mahasiswa di 7 universitas berbeda secara
signifikan. Hal ini terlihat pada hasil analisis data yang
terangkum pada tabel berikut.

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Hasil_Belajar_Agama_X3


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 7.163a 6 1.194 2.406 .026
Intercept 7288.565 1 7288.565 14686.409 .000
Kode_UN 7.163 6 1.194 2.406 .026
Error 299.257 603 .496
Total 7730.000 610
Corrected Total 306.420 609
a. R Squared = .023 (Adjusted R Squared = .014)

Dari tabel di atas diperoleh F= 2,406, dan p-value = 0,026


< 0,05. Dengan demikian hasil uji komparasi tersebut
memperlihatkan adanya perbedaan hasil belajar pendidikan
agama di kalangan mahasiswa di 7 universitas. Hal ini berarti
universitas-universitas tempat penelitian ini dilakukan
berpengaruh nyata terhadap hasil belajar pendidikan agama
mahasiswa.
5. Lingkungan Pendidikan
Berdasarkan data skor lingkungan pendidikan yang
diperoleh dari 610 mahasiswa yang tersebar di 7 perguruan
tinggi umum diperoleh rata-rata sebesar 35,92. Dengan
menggunakan kategori lingkungan pendidikan: Kurang
kondusif (9 – 18), Cukup kondusif (19 – 27), Kondusif (28 – 36),
dan Sangat Kondusif (37 – 45), maka skor lingkungan
pendidikan tersebut berada dalam kategori kondusif.
Deskripsi data lingkungan pendidikan mahasiswa
disajikan pada tabel berikut:

  119
Descriptive Statistics

Dependent Variable: Lingkungan_Pendidikan_X4


Kode_UN Mean Std. Deviation N
UDAYANA 36.6250 3.50181 80
UNDANA 37.2857 3.57991 70
UNHAS 36.0594 5.14747 101
UI 34.9500 3.58835 100
UNDIP 35.5185 3.50753 81
UNPAD 35.1000 5.52463 80
UGM 36.1939 3.19684 98
Total 35.9164 4.15321 610

Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata


skor lingkungan pendidikan terkondusif hingga ke kurang
kondusif berturut-turut diperoleh Undana, Udayana, UGM,
Unhas, Undip, Unpad, dan UI. Kecendrungan data
lingkungan pendidikan disajikan secara visual pada histogram
berikut.

Histogram

150

100
Frequency

50

Mean =35.92
Std. Dev. =4.153
N =610
0
0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00
Lingkungan_Pendidikan_X4

Dari grafik di atas tampak bahwa kecenderungan skor


lingkungan pendidikan condong ke kanan atau sebagian besar
skor tersebut di atas rata-rata empiris. Ditinjau dari

120  
universitas-unversitas lokasi penelitian, ternyata rata-rata skor
lingkungan pendidikan di kalangan mahasiswa di 7
universitas berbeda secara signifikan. Hal ini terlihat pada ha-
sil analisis data yang terangkum pada tabel berikut.
Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Lingkungan_Pendidikan_X4


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 340.568a 6 56.761 3.367 .003
Intercept 775287.502 1 775287.502 45994.751 .000
Kode_UN 340.568 6 56.761 3.367 .003
Error 10164.168 603 16.856
Total 797397.000 610
Corrected Total 10504.736 609
a. R Squared = .032 (Adjusted R Squared = .023)

Dari tabel di atas diperoleh F= 3,367, dan p-value = 0,003


< 0,05. Dengan demikian hasil uji komparasi tersebut
memperlihatkan adanya perbedaan lingkungan pendidikan di
kalangan mahasiswa di 7 universitas. Hal ini berarti
universitas-universitas tempat penelitian ini memberikan
pengaruh yang nyata terhadap lingkungan pendidikan
mahasiswa.
C. Analisis Inferensial
1. Pengaruh kepribadian terhadap keterlibatan organisasi
Pengaruh kepribadian terhadap keterlibatan organisasi
di analisis melalui uji koefisien jalur antara variabel
kepribadian (X1) dan keterlibatan organisasi (X2), yaitu (px21).
Hasil pengujian pengaruh kepribadian terhadap keterlibatan
organisasi terangkum pada tabel berikut.

  121
ANOVA(b)
Sum of Mean
Model Squares df Square F Sig.
1 Regression 1377,633 1 1377,633 24,032 ,000(a)
Residual 34853,989 608 57,326
Total 36231,621 609

a Predictors: (Constant), Kepribadian


b Dependent Variabel: Keterlibatan organisasi

Coefficients(a)
Unstandardized Standardized
Model Coefficients Coefficients t Sig.
Std.
B Std. Error Beta B Error
1 (Constant) 26,788 2,115 12,665 ,000
Kepribadian ,122 ,025 ,195 4,902 ,000
a Dependent Variabel: Keterlibatan organisasi

Dari tabel coefficients diperoleh koefisien jalur (p21) =


0,195 dengan statistik uji-t diperoleh: thit = 4,902, p-value =
0,000 <0,05. Dengan demikian H0 ditolak atau koefisien jalur
(p21) adalah signifikan. Dengan kata lain kepribadian
mahasiswa berpengaruh nyata terhadap toleransi beragama
beragama beragama. Variabel kepribadian memberi pengaruh
sebesar 0,195 terhadap keterlibatan organisasi.

2. Pengaruh kepribadian terhadap hasil belajar


Pengaruh kepribadian terhadap hasil belajar analisis
melalui uji koefisien jalur antara variabel kepribadian (X1) dan
hasil belajar (X3), yaitu (p31). Hasil pengujian pengaruh
kepribadian terhadap hasil belajar terangkum pada tabel
berikut:

122  
ANOVA(c)

Sum of Mean
Model Squares df Square F Sig.
1 Regression 4,026 2 2,013 5,170 ,006(a)
Residual 236,369 607 ,389
Total 240,395 609
2 Regression 2,990 1 2,990 7,657 ,006(b)
Residual 237,405 608 ,390
Total 240,395 609
a Predictors: (Constant), Keterlibatan organisasi, Kepribadian
b Predictors: (Constant), Keterlibatan organisasi
c Dependent Variabel: Hasil belajar

Coefficients(a)

Standardi
zed
Unstandardize Coefficie
Model d Coefficients nts t Sig.
Std. Std.
B Error Beta B Error
1 (Constant) 3,929 ,196 20,049 ,000
Kepribadian ,003 ,002 ,067 1,632 ,103
Keterlibatan
,008 ,003 ,098 2,399 ,017
organisasi
2 (Constant) 4,177 ,124 33,621 ,000
Keterlibatan
,009 ,003 ,112 2,767 ,006
organisasi

a Dependent Variabel: Hasil belajar

  123
Excluded Variabels(b)
Partial Collinearity
Model Beta In t Sig. Correlation Statistics
Toleranc Toleranc
Tolerance e e Tolerance Tolerance
2 Kepriba
,067(a) 1,632 ,103 ,066 ,962
dian
a Predictors in the Model: (Constant), Keterlibatan organisasi
b Dependent Variabel: Hasil belajar

Model Summary

Std. Error
Adjusted of the
Model R R Square R Square Estimate
1 ,129(a) ,017 ,014 ,62402
2 ,112(b) ,012 ,011 ,62488
a Predictors: (Constant), Keterlibatan organisasi, Kepribadian
b Predictors: (Constant), Keterlibatan organisasi

Dari tabel tersebut diperoleh koefisien jalur (p31) = 0,067


dengan statistik uji-t diperoleh: thit = 1,632, p-value =
0,103>0,05. Dengan demikian H0 diterima atau koefisien jalur (p31)
adalah tidak signifikan. Dengan kata lain kepribadian tidak
berpengaruh terhadap hasil belajar pendidikan agama.
3. Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap hasil belajar
pendidikan agama
Karena ada koefisien jalur yang tidak signifikan, yaitu
variabel kepribadian ke variabel hasil belajar pendidikan
agama, maka perlu dilakukan trimming, yaitu mengeluarkan
variabel kepribadian dari model dan perhitungan koefisien
jalur model 1 diulang. Hasilnya ditunjukkan oleh model2 dan

124  
diperoleh hasil bahwa pengaruh keterlibatan organisasi
terhadap hasil belajar di analisis melalui uji koefisien jalur
antara variabel keterlibatan organisasi (X2) dan hasil belajar
(X3), yaitu (p32). Hasil pengujian pengaruh keterlibatan
organisasi terhadap hasil belajar pendidikan agama
terangkum pada tabel di atas. Dari tabel coefficients diperoleh
koefisien jalur (p32) = 0,112 dengan statistik ujit diperoleh: thit =
2,767, p-value = 0,006 < 0,05. Dengan demikian H0 ditolak atau
koefisien jalur (p32) adalah signifikan. Dengan kata lain
keterlibatan organisasi berpengaruh terhadap hasil belajar.
4. Pengaruh kepribadian terhadap lingkungan pendidikan
Pengaruh kepribadian (X1) terhadap lingkungan
pendidikan (X4) dianalisis melalui uji koefisien jalur antara
variabel kepribadian (X1) dan (X1), yaitu (p41). Hasil pengujian
terangkum pada tabel coefficients bagian 3.

ANOVA(b)

Mode Sum of Mean


l Squares df Square F Sig.
1 Regres
412,553 3 137,518 8,328 ,000(a)
sion
Residu 10006,30
606 16,512
al 6
Total 10418,85
609
9
a Predictors: (Constant), Hasil belajar, Kepribadian,
Keterlibatan organisasi
b Dependent Variabel: Lingkungan pendidikan

  125
Coefficients(a)

Unstandardized Standardized
Model Coefficients Coefficients t Sig.
Std. Std.
B Error Beta B Error
1 (Constant) 27,840 1,645 16,921 ,000
Kepribadian ,025 ,014 ,073 1,800 ,072
Keterlibatan
,077 ,022 ,143 3,502 ,000
organisasi
Hasil belajar ,520 ,264 ,079 1,969 ,049
a Dependent Variabel: Lingkungan pendidikan

Dari tabel tersebut diperoleh Pengaruh kepribadian


terhadap lingkungan pendidikan dengan koefisien jalur (p41) =
0,073 dengan statistik uji-t diperoleh: thit = 1,800, p-value =
0,072 > 0,05. Dengan demikian H0 ditolak atau koefisien jalur
(p41) adalah signifikan. Dengan kata lain kepribadian
berpengaruh nyata terhadap lingkungan pendidikan
5. Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap lingkungan
pendidikan
Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap lingkungan
pendidikan dianalisis melalui uji koefisien jalur antara
variabel keterlibatan organisasi (X2) dengan lingkungan
pendidikan agama (X4), yaitu (p42). Dari tabel tersebut diper-
oleh Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap lingkungan
pendidikan dengan koefisien jalur (p42) = 0,143. dengan
statistik uji-t diperoleh: thit = 3,502, p-value = 0,000 < 0,05.
Dengan kata lain variabel keterlibatan organisasi terhadap
lingkungan pendidikan

126  
6. Pengaruh hasil belajar terhadap lingkungan pendidikan
Pengaruh hasil belajar pendidikan agama terhadap
lingkungan pendidikan dianalisis melalui uji koefisien jalur
antara variabel hasil belajar pendidikan agama (X3) dengan
lingkungan pendidikan (X4), yaitu (p43). Dari tabel tersebut
diperoleh Pengaruh hasil belajar pendidikan agama terhadap
lingkungan pendidikan dengan koefisien jalur (p43) = 0,079.
dengan statistik uji-t diperoleh: thit = 1,969, p-value = 0,049 <
0,05. Dengan kata lain variabel hasil belajar pendidikan agama
terhadap lingkungan pendidikan
7. Pengaruh kepribadian terhadap toleransi beragama
Pengaruh kepribadian terhadap toleransi beragama
analisis melalui uji koefisien jalur antara variabel kepribadian
(X1) dan toleransi beragama (Y), yaitu (py1). Hasil pengujian
pengaruh kepribadian terhadap toleransi beragama beragama
beragama terangkum pada tabel berikut.

ANOVA(b)

Sum of Mean
Model Squares df Square F Sig.
1 Regression 8277,73
33110,947 4 23,403 ,000(a)
7
Residual 213993,27
605 353,708
6
Total 247104,22
609
3
a Predictors: (Constant), Lingkungan pendidikan, Hasil
belajar, Kepribadian, Keterlibatan organisasi
b Dependent Variabel: Toleransi beragama beragama
Beragama

  127
Coefficients(a)

Unstandardized Standardized
Model Coefficients Coefficients t Sig.
Std. Std.
B Error Beta B Error
1 (Constant) 65,740 9,240 7,114 ,000
Kepribadian ,240 ,063 ,147 3,791 ,000
Keterlibatan
,308 ,102 ,118 3,010 ,003
organisasi
Hasil belajar -3,498 1,227 -,109 -2,851 ,005
Lingkungan
1,310 ,188 ,269 6,969 ,000
pendidikan
a Dependent Variabel: Toleransi beragama beragama
Beragama

Model Summary

R Adjusted Std. Error of


Model R Square R Square the Estimate
1 ,366(a) ,134 ,128 18,80712
a Predictors: (Constant), Lingkungan pendidikan, Hasil
belajar, Kepribadian, Keterlibatan organisasi

Dari tabel coefficients diperoleh koefisien jalur (py1) =


0,147 dengan statistik uji-t diperoleh: thit = 3,791, p-value =
0,000<0,05. Dengan demikian H0 ditolak atau koefisien jalur
(py1) adalah signifikan. Dengan kata lain kepribadian
mahasiswa berpengaruh nyata terhadap toleransi beragama.

128  
8. Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap toleransi
beragama
Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap toleransi
beragama analisis melalui uji koefisien jalur antara variabel
keterlibatan organisasi (X2) dan toleransi beragama (Y), yaitu
(py2). Dari tabel coefficients diperoleh koefisien jalur (py2) =
0,118 dengan statistik uji-t diperoleh: thit = 3,010, p-value =
0,003 <0,05. Dengan demikian H0 ditolak atau koefisien jalur
(py2) adalah signifikan. Dengan kata lain keterlibatan
organisasi terhadap toleransi beragama.
9. Pengaruh hasil belajar pendidikan agama terhadap
toleransi beragama
Pengaruh hasil belajar pendidikan agama terhadap
toleransi beragama analisis melalui uji koefisien jalur antara
variabel hasil belajar pendidikan agama (X3) dan toleransi
beragama (Y), yaitu (py3). Dari tabel coefficients diperoleh
koefisien jalur (py3) = -0,109 dengan statistik uji-t diperoleh: thit
= -2,851, p-value = 0,005 <0,05. Dengan demikian H0 ditolak
atau koefisien jalur (py3) adalah signifikan. Dengan kata lain
hasil belajar pendidikan agama terhadap toleransi beragama.
10. Pengaruh lingkungan pendidikan terhadap toleransi
beragama
Pengaruh lingkungan pendidikan terhadap toleransi
beragama analisis melalui uji koefisien jalur antara variabel
lingkungan pendidikan (X4) dan toleransi beragama (Y), yaitu
(py4). Dari tabel coefficients diperoleh koefisien jalur (py4) =
0,269 dengan statistik uji-t diperoleh: thit = 6,969, p-value =
0,000 <0,05. Dengan demikian H0 ditolak atau koefisien jalur
(py4) adalah signifikan. Dengan kata lain lingkungan
pendidikan terhadap toleransi beragama, maka dapat
diindikasikan apabila ingin meningkatkan toleransi beragama
dapat dilakukan dengan memperbaiki lingkungan
pendidikan.

  129
Rekapitulasi Hasil Pengujian Hipotesis
No Hipotesis Uji Statistik Koefisien t hitung p-value Keputusan Kesimpulan
Jalur
1 Pengaruh H 0 : p 21 = 0 0,195 4,902 0,000 ditolak Memiliki
kepribadian pengaruh
terhadap
H 1 : p 21 > 0 langsung
keterlibatan
organisasi
2 Pengaruh H 0 : p 31 = 0 0,067 1,53 0,103 diterima Tidak
kepribadian memiliki
terhadap hasil
H 1 : p 31 > 0 pengaruh
belajar langsung
pendidikan
agama
3 Pengaruh H 0 : p 32 = 0 0,112 2,767 0,006 ditolak Memiliki
keterlibatan pengaruh
organisasi
H 1 : p 32 > 0 langsung
terhadap hasil
belajar
pendidikan
agama
4 Pengaruh H 0 : p 41 = 0 0,073 1,800 0,072 diterima Tidak
kepribadian memiliki
terhadap
H 1 : p 41 > 0 pengaruh
lingkungan langsung
pendidikan
5 Pengaruh H 0 : p 42 = 0 0,143 3,502 0,000 ditolak Memiliki
keterlibatan pengaruh
organisasi
H 1 : p 42 > 0 langsung
terhadap
lingkungan
pendidikan
6 Pengaruh hasil H 0 : p 43 = 0 0,079 1,969 0,049 ditolak Memiliki
belajar pengaruh
pendidikan
H 1 : p 43 > 0 langsung
agama
terhadap
lingkungan
pendidikan
7 Pengaruh H 0 : p y1 = 0 0,147 3,791 0,00 ditolak Memiliki
kepribadian pengaruh
terhadap H 1 : p y1 > 0 langsung
toleransi
beragama
beragama
beragama

130  
8 Pengaruh H 0 : p y2 = 0 0,118 3,010 0,003 ditolak Memiliki
keterlibatan pengaruh
organisasi H 1 : p y2 > 0 langsung
terhadap
toleransi
beragama
beragama
beragama
9 Pengaruh hasil H 0 : p y3 = 0 -0,109 -2,851 0,005 ditolak Memiliki
belajar pengaruh
pendidikan H 1 : p y3 > 0 langsung
agama
terhadap
toleransi
beragama
beragama
beragama
10 Pengaruh H 0 : p y4 = 0 0,269 6,969 0,000 ditolak Memiliki
lingkungan pengaruh
pendidikan H 1 : p y4 > 0 langsung
terhadap
toleransi
beragama
beragama
beragama

D. Model Empiris Hubungan Antar Variabel


Berdasarkan hasil penghitungan di atas, maka diketahui
skor dari masing-masing variabel sebagai berikut.
Nilai-nilai koefisien jalur
p21 = 0,195 p31 = 0,067 p32 = 0,112
p41 = 0,073 p42 = 0,143 p43 = 0,079
py1 = 0,147 py2 = 0,118 py3 = -0,109
py4 = 0,269

  131
X3 Hasil
Belajar PA
X1
XX
Kepribadian

Y Toleransi
beragama
b

X2 X4
Keterlibatan Lingkungan
Organisasi Pendidikan

Gambar 2: Skor Analisis Jalur (Path Analysis)

Dari hasil perhitungan di atas terlihat dalam model 1,


jalur p31 mempunyai tanda yang tidak sinifikan (p-value =
0,103>0,05) dan jalur p42 juga mempunyau tanda yang tidak
signifikan (p-value = 0,103>0,05). Dengan kata lain bahwa
kepribadian tidak berpengaruh langsung terhadap hasil
belajar pendidikan agama dan kepribadian juga tidak
berpengaruh langsung terhadap lingkungan pendidikan. Oleh
karena itu dapat di simpulkan model awal atau satu tidak
memenuhi persyaratan analisis jalur. Karena model awal tidak
terbukti, maka harus dicari model lain. Dengan demikian
model 1 perlu dimodifikasi dengan menghilangkan jalur
pengaruh X1 terhadap X3 dan jalur pengaruh X1 terhadap X4.

132  
Hasil perhitungan koefisien jalur memberikan nilai-nilai sbb:

Nilai-nilai koefisien jalur

p21 = 0,195 p32 = 0,112 p42 = 0,143

p43 = 0,079 py1 = 0,147 py2 = 0,118

py3 = -0,109 py4 = 0,269

Dengan memasukkan angka koefisien jalur pada


masing-masing jalur hubungan, maka model 2 atau model
baru empiris hubungan antar variabel dapat dikonstruksikan
sebagai berikut

X3 Hasil
X1
XX Belajar PA
Kepribadian

0,147 -0,109
Y Toleransi
0,195 beragama
X2
b
Keterlibatan
0,079 X4
Organisasi
Lingkungan
0,118
Pendidikan 0,269
0,143

Gambar 3: Model Baru Empiris Hubungan Antar Variabel

Dari model 2 di atas dapat diketahui bahwa nilai


masing-masing koefisen jalur di atas t hit< t tabel, sehingga
persyaratan pertama telah terpenuhi. Selanjutnya perlu di uji

  133
lagi dengan menggunakan persyaratan ke dua, yaitu dengan
menggunakan uji ketepatan model dengan menggunakan
program Software LISREL. Untuk mengetahui apakah nilai
hitung ketepatan model (goodness fit statistics) mendukung
model 2 maka akan digunakan analisis dengan menggunakan
stastistik chi-square. Berdasarkan hasil perhitungan dapat
diketahui bahwa nilai chi-square sebesar 0,00 dengan p-value
sebesar 1 dan tidak perlu digunakan uji statistik yang lain lagi
karena nilai chi-square sudah nol dan secara otomatis statistik
uji yang lain akan menerima model 2 di atas, oleh Karena itu
dapat di ambil kesimpulan bahwa model analisis jalur di atas
sudah sempurna artinya sangat sesuai dengan data dan dapat
di gunakan untuk penelitian ini.

E. Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data hasil perhitungan
koefisen dan pengujian hipotesis, maka selanjutnnya dapat
dianalisis perhitungan langsung dan tidak langsung variabel
eksogen (variabel yang mempengaruhi/sebab) terhadap
variabel endogen (variabel yang dipengaruhi/akibat) dalam
model struktural yang terbagi menjadi 4 substruktur.

Tabel Besar pengaruh langsung dan tidak langsung variabel


eksogen ( X1 dan X2) terhadap variabel Endogen X3 pada
substruktur 1
Variabel Langsung Tidak Langsung Total
Terhadap Hasil Melalui
belajar (X3) Keterlibatan
Organsiasi (X2)
Kepribadian (X1) - 0,195 x 0,112 = 0,022
0,022
Keterlibatan 0,1122= 0,013 0,013
Organisasi (X2)

134  
Dalam substruktur 1 pada tabel di atas terdapat sebuah
variabel endogen yaitu hasil belajar dan 2 buah vaiabel
eksogen yaitu keperibadian dan keterlibatan organsiasi.
Dalam tabel tersebut dapat dilihat bahwa tidak terdapat
pengaruh langsung kepribadian (X1) terhadap hasil belajar
(X3). Pengaruh tidak langsung kepribadian (X1) terhadap hasil
belajar (X3) melalui keterlibatan organsiasi (X2) sebesar 2,2%.
Dengan demikian pengaruh total kepribadian (X1) terhadap
hasil belajar (X3) sebesar 8,9%.
Dalam tabel di atas juga dapat dilihat bahwa pengaruh
langsung keterlibatan organisasi (X2) terhadap hasil belajar
(X3) sebesar 0,013 atau 1,3% dengan koefisien jalur 0,112.
Dengan demikian pengaruh total keterlibatan organisasi (X2)
terhadap hasil belajar (X3) sebesar 1,39%.
Adapun pengaruh kepribadian (X1) dan keterlibatan
organisasi (X2) secara bersama-sama terhadap hasil belajar (X3)
sebesar 0,017 atau 1,7%. Disamping ke dua variabel eksogen
tersebut, hasil belajar juga dipengaruhi oleh variabel lain
dengan besar pengaruh 0,983 atau 98% dengan koefisien pε31=
0,98.
Tabel Besar pengaruh langsung dan tidak langsung variabel
eksogen ( X1, X2 dan X3) terhadap variabel Endogen X4 pada
substruktur 2
Variabel Langsung Tidak Tidak Total
Terhadap Langsung langsung
Lingkungan Melalui melaluiHasil
Pendidikan Keterlibatan Belajar PA (X3)
(X4) Organsiasi (X2)
Kepribadian (X1) - 0,195 x 0,143 = - 0,028
0,028
Keterlibatan 0,1432=0,020 0,112 x 0,079 = 0,029
Organisasi (X2) 0,009
Hasil Belajar PA 0,0792= 0,006 0,006
(X3)

  135
Dalam substruktur 2 pada tabel di atas terdapat sebuah
variabel endogen yaitu lingkungan pendidikan dan 3 buah
variabel eksogen yaitu keperibadian dan keterlibatan
organsiasi dan hasil belajar PA. Dalam tabel tersebut dapat
dilihat bahwa tidak terdapat pengaruh langsung kepribadian
(X1) terhadap lingkungan pendidikan (X4). Pengaruh tidak
langsung kepribadian (X1) terhadap lingkungan pendidikan
(X4) melalui keterlibatan organsiasi (X2) sebesar 2,8%. Dengan
demikian pengaruh total kepribadian (X1) terhadap
lingkungan pendidikan (X4) sebesar 2,8%.
Dalam tabel di atas juga dapat dilihat bahwa pengaruh
langsung keterlibatan organisasi (X2) terhadap hasil belajar
(X3) sebesar 0,02 atau 2% dengan koefisien jalur 0,143.
Pengaruh tidak langsung keterlibatan organisasi (X2)
terhadap lingkungan pendidikan (X4) melalui hasil belajar PA
(X3) sebesar 0,9%. Dengan demikian pengaruh total
keterlibatan organisasi (X2) terhadap lingkungan pendidikan
(X4) sebesar 2,9%. Dalam tabel di atas juga dapat dilihat bahwa
pengaruh langsung hasil belajar (X3) terhadap lingkungan
pendidikan (X4) sebesar 0,006 atau 0,6% dengan koefisien jalur
0,079.
Adapun pengaruh kepribadian (X1), keterlibatan
organisasi (X2) dan hasil belajar PA (X3) secara bersama-sama
terhadap hasil belajar (X3) adalah sebesar 0,40 atau 40%.
Disamping ke dua variabel eksogen tersebut, lingkungan
pendidikan (X4) juga dipengaruhi oleh variabel lain dengan
besar pengaruh 0,60 atau 60% dengan koefisien pε41= 0,60.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa keterlibatan
organisasi memiliki total pengaruh langsung dan tidak
langsung terbesar terhadap lingkungan pendidikan.
Sedangkan hasil belajar PA memiliki total pengaruh langsung
dan tidak langsung terkecil terhadap lingkungan pendidikan.

136  
Tabel Besar pengaruh langsung dan tidak langsung variabel
eksogen ( X1, X2, X3, X4) terhadap variabel Endogen Y pada
substruktur 3
Variabel Langsung Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Total
Terhadap Langsung langsun langsung Langsung Langsung Langsung
Toleransi Melalui g melalui Melalui Melalui Melalui Hasil
beragama Keterlibatan melalui Lingkungan Keterlibat Keterlibatan Belajar PA
beragama Organsiasi Hasil pendidikan an Organsiasi (X3) dan
(Y) (X2) Belajar (X4) Organsias (X2) dan lingk.Pddkn
PA (X3) i (X2) dan lingk.Pddkn (X4)
Hsl (X4)
Belajar
(X3)
Kepriba 0,1472=0,022 0,195 x 0,118 0,195 x 0,195 x 0,143 0,051
dian = 0,023 0,112 x - x 0,269 =
(X1) 0,109 = - 0,008
0,002
Keterlib 0,1182=0,014 0,112 x - 0,143 x 0,269 0,112 x 0,079 x 0,042
atan 0,109 = - = 0,038 0,269 = 0,002
Organis 0,012
asi (X2)
Hasil - 0,079 x 0,269 0,033
Belajar 0,1092=0,012 = 0,021
PA (X3)
Lingkun 0,2692=0,072 0,072
gan
Pendidi
kan (X4)

Dalam substruktur 3 pada tabel di atas terdapat


sebuah variabel endogen yaitu toleransi beragama dan 4 buah
variabel eksogen yaitu keperibadian dan keterlibatan
organsiasi, hasil belajar PA dan lingkungan pendidikan.
Dalam tabel tersebut dapat dilihat bahwa terdapat pengaruh
langsung kepribadian (X1) terhadap toleransi beragama (Y)
sebesar 2,2%. Pengaruh tidak langsung kepribadian (X1)
terhadap toleransi beragama (Y) melalui keterlibatan
organsiasi (X2) sebesar 2,3%. Pengaruh tidak langsung
kepribadian (X1) terhadap toleransi beragama (Y) melalui
keterlibatan organsiasi (X2) dan hasil Belajar (X3) sebesar
0,2%. Pengaruh tidak langsung kepribadian (X1) terhadap

  137
toleransi beragama (Y) melalui keterlibatan organsiasi (X2)
dan lingkungan pendidikan (X4)sebesar 0,8%. Pengaruh tidak
langsung kepribadian (X1) terhadap toleransi beragama (Y)
melalui hasil belajar PA (X3) dan lingkungan pendidikan (X4)
sebesar 0,1%. Dengan demikian pengaruh total kepribadian
(X1) terhadap toleransi beragama (Y) sebesar 5,1%.
Dalam tabel di atas juga dapat dilihat bahwa terdapat
pengaruh langsung keterlibatan organsiasi (X2) terhadap
toleransi beragama (Y) sebesar 1,4%. Pengaruh tidak langsung
keterlibatan organsiasi (X2) terhadap toleransi beragama (Y)
melalui hasil belajar (X3) sebesar -1,2%. Pengaruh tidak
langsung keterlibatan organsiasi (X2) terhadap toleransi
beragama (Y) melalui lingkungan pendidikan (X4) sebesar
3,8%. Pengaruh tidak langsung keterlibatan organsiasi (X2)
terhadap toleransi beragama (Y) melalui hasil belajar PA (X3)
dan lingkungan pendidikan (X4) sebesar 0,2%. Dengan
demikian pengaruh total keterlibatan organsiasi (X2) terhadap
toleransi beragama (Y) sebesar 5,2%.
Dalam tabel di atas juga dapat dilihat bahwa terdapat
pengaruh langsung hasil belajar PA (X3) terhadap toleransi
beragama (Y) sebesar 1,2%. Pengaruh tidak langsung hasil
belajar PA (X3) terhadap toleransi beragama (Y) melalui
lingkungan pendidikan (X4) sebesar 2,1%. Dengan demikian
pengaruh total hasil belajar PA (X3) terhadap toleransi
beragama (Y) sebesar 3,3%.
Dalam tabel di atas juga dapat dilihat bahwa pengaruh
langsung lingkungan pendidikan (X4) terhadap toleransi
beragama (Y) sebesar 7,2%.
Adapun pengaruh kepribadian (X1), keterlibatan
organisasi (X2) dan hasil belajar PA (X3) lingkungan
pendidikan (X4) secara bersama-sama terhadap toleransi
beragama (Y) sebesar 0,134 atau 13,4%. Disamping ke dua
138  
variabel eksogen tersebut, lingkungan pendidikan (X4) juga
dipengaruhi oleh variabel lain dengan besar pengaruh 0,866
atau 86,6% dengan koefisien pεy1= 0,87.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa lingkungan
pendidikan memiliki total pengaruh langsung dan tidak
langsung terbesar terhadap toleransi beragama. Sedangkan
hasil belajar PA memiliki total pengaruh langsung dan tidak
langsung terkecil terhadap toleransi beragama.

  139
140  
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

B
erdasarkan hasil analisis data dan perhitungan
statistik dalam penelitian ini diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat Pengaruh langsung kepribadian terhadap
keterlibatan organisasi sebesar 3,8% dengan nilai koefisien
jalur adalah 0,195. Tidak terdapat pengaruh langsung yang
signifikan antara kepribadian terhadap hasil belajar
pendidikan agama. Terdapat Pengaruh langsung
keterlibatan organisasi terhadap hasil belajar pendidikan
agama sebesar 1,3% dengan nilai koefisien jalur adalah
0,112. Tidak terdapat pengaruh langsung yang signifikan
antara kepribadian terhadap lingkungan pendidikan.
Terdapat Pengaruh langsung keterlibatan organisasi
terhadap lingkungan pendidikan sebesar 2,0% dengan
nilai koefisien jalur adalah 0,143. Terdapat Pengaruh
langsung keterlibatan organisasi terhadap lingkungan
pendidikan sebesar 0,6% dengan nilai koefisien jalur
adalah 0,079. Terdapat Pengaruh langsung kepribadian
terhadap toleransi beragama sebesar 2,2 % dengan nilai
koefisien jalur adalah 0,147. Terdapat Pengaruh langsung
keterlibatan organisasi terhadap toleransi beragama
sebesar 1,4 % dengan nilai koefisien jalur adalah 0,118.
Terdapat Pengaruh langsung hasil belajar pendidikan
agama terhadap toleransi beragama sebesar 1,2% dengan
nilai koefisien jalur adalah -0,109. Terdapat Pengaruh
langsung lingkungan pendidikan terhadap toleransi
beragama sebesar 7,2 % dengan nilai koefisien jalur adalah
0,269.

141
2. Variabel kepribadian mahasiswa tidak memiliki pengaruh
langsung terhadap hasil belajar pendidikan agama, tetapi
kepribadian mahasiswa akan lebih efektif perananya
terhadap hasil pendidikan agama jika mahasiswa terlibat
alam organisasi.
3. Variabel Kepribadian mahasiswa tidak memiliki pengaruh
langsung terhadap lingkungan pendidikan, tetapi
kepribadian mahasiswa akan lebih efektif perananya
terhadap lingkungan pendidikan jika di dukung oleh
keterlibatan mahasiswa dalam organisasi.
4. Secara umum variabel kepribadian, keterlibatan
organsiasi, hasil belajar dan lingkungan pendidikan
mempunyai pengaruh langsung terhadap toleransi
beragama. Variabel lingkungan pendidikan mempunyai
pengaruh langsung terbesar terhadap toleransi beragama.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa variabel
lingkungan pendidikan merupakan variabel yang paling
dominan berpengaruh langsung terhadap toleransi
beragama mahasiswa di perguruan tinggi. Dengan kata
lain toleransi beragama pada mahasiswa di perguruan
tinggi dapat meningkat jika di dukung atau ditumbuh
suburkan oleh lingkungan pendidikan yang kondusif.
Lingkungan pendidikan meliputi: lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat
(sosial).Tujuan pendidikan di keluarga, yakni
terbentuknya mental, sikap serta penonjolan tingkah laku
yang positif dan membangun, bukan saja dalam
lingkungan keluarga tetapi disetiap lingkungan di mana ia
berada. Peranan Sekolah/ Perguruan Tinggi sebagai, jika
dilihat dari sudut sosial dan spiritual, berfungsi
mengembangkan sikap mental yang erat hubungannya
dengan norma-norma kehidupan di kampus dan di
lingkungan masyarakat. Dengan demikian jenis

142
lingkungan sangat menen tukan dan memberi pengaruh
terhadap pembentukan sikap, penerimaan, tingkah laku,
dan toleransi setiap mahasiswa terhadap berbagai
kemajemukan (etnis, organisasi, dan agama). Hal tersebut
mengindikasikan bahwa jenis lingkungan
pendidikan tidak bisa diabaikan sebagai faktor penting
mengukur toleransi di kalangan mahasiswa.
B. Implikasi
1. Perbaikan kepribadian akan berdampak pada peningkatan
keterlibatan organisasi mahasiswa di perguruan tinggi.
2. Perbaikan kepribadian akan berdampak tidak langsung
terhadap hasil belajar pendidikan agama melalui
keterlibatan organisasi.
3. Peningkatan keterlibatan organisasi akan berdampak pada
peningkatan terhadap hasil belajar pendidikan agama.
4. Perbaikan kepribadian akan berdampak tidak langsung
terhadap lingkungan pendidikan melalui keterlibatan
organisasi.
5. Peningkatan keterlibatan organisasi akan berdampak pada
perbaikan lingkungan pendidikan.
6. Peningkatan hasil belajar pendidikan agama akan
berdampak pada perbaikan lingkungan pendidikan.
7. Perbaikan kepribadian akan berdampak pada
peningkatan toleransi beragama beragama beragama.
8. Peningkatan keterlibatan organisasi akan berdampak pada
peningkatan toleransi beragama beragama beragama.
9. Peningkatan hasil belajar pendidikan agama akan
berdampak pada peningkatan toleransi beragama
beragama beragama.

143
10. Perbaikan lingkungan pendidikan akan berdampak pada
peningkatan toleransi beragama beragama beragama.
C. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka rekomendasi
yang dapat disampaikan dari hasil penelitian ini adalah:
1. Mengembangkan kurikulum pendidikan agama yang
bernuansa multikulturalisme di Perguruan Tinggi, yang
mampu menciptakan suasana yang sejuk bagi persemaian
benih-benih toleransi beragama beragama dan kerukunan
umat beragama;
2. Menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif dan
harmonis bagi penciptaan toleransi beragama beragama di
lingkungan keluarga, perguruan tinggi, masyarakat
melalui peningkatan revitalisasi peran dan komunikasi
orang tua, dosen, dan tokoh masyarakat;
3. Menciptakan kepribadian mahasiswa yang terbuka
terhadap perbedaan melalui pengembangan program
pendidikan dan pelatihan kepribadian yang dikelola oleh
organisasi intra dan ekstra kampus;
4. Meningkatkan sikap toleran di kalangan mahasiswa
melalui keteladanan orang tua dalam memberikan
perilaku yang toleran terhadap orang beda agama, dosen
tidak mengajarkan doktrin agama yang cenderung
intoleran terhadap umat yang berbeda agama; dan
5. Menggunakan model empiris toleransi beragama di
kalangan mahasiswa dari temuan penelitian ini, sebagai
acuan penyusunan kebijakan pemeliharaan toleransi
beragama beragama beragama di kalangan mahasiswa
dengan penyempurnaan lebih lanjut.

144
DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin al Rahab. “Kekerasan Komunal di Indonesia: Sebuah


Tinjauan Umum” dalam Jurnal Dignitas. Volume V No. 1
Tahun 2008. hlm. 34.
Ahmad Warson Munawir. Kamus al-Munawir. Yogyakarta: PP
Krapyak. 1994. hlm. 702.
Ala Abu Bakar. Islam yang Paling Toleran: Kajian tentang Fanatisme
dan Toleransi dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2006.
Anis Faranita Dhanik Rachmawati. Toleransi Antar Umat Islam dan
Katolik: Studi Kasus di Dukuh Kasaran, Desa Pasungan,
Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten. Skripsi. Semarang: IAIN
Walisongo. 2006.
Alo Liliweri. Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya
Masyarakat Multikultural. Yogyakarta: LKiS. 199-203.
Alimron. Toleransi Antarumat Beragama dalam Perspektif al-Quran.
Tesis. Padang: IAIN Imam Bonjol. 1999. hlm. 21-25.
Anwar Harjono. Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman-Islam.
Jakarta: Gema Insani Press. 1995. hlm. 153.
Agus Purnomo. Ideologi Kekerasan: Argumentasi Teologis-Sosial
Radikalisme Islam. Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press &
Pustaka Pelajar. 2009.
A Muri Yusuf. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Ghalia A. Zaki
Badawi. Mu`jam Musthalahat al-`Ulum al-Ijtima`iyat.
Biyanto. Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan: Pandangan Kaum
Muda Muhammadiyah. Malang: UMM Press. 2009. hlm. 160.
David G. Gularnic, Webster’s World Dictionary of American Language.
New York: The World Publishing Company. 1959. p. 799;
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2005. hlm. 1204;
Djaali. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 2008. hlm. 3.

145
Djohan Effendi. “Persahabatan Lebih Penting Daripada
Kesepakatan Formal” dalam Mimbar Ulama, No. 128 Tahun
XII/1988. hlm. 29-30.
Endang Saifuddin Anshari dalam Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya:
Bina Ilmu. 1987. hlm. 46.
Enung Fatimah. Psikologi Perkembangan. Bandung: Pustaka Setia.
2006.
Eriyanto dkk. Bagaimana Merancang dan Membuat Survei Opini Publik.
Jakarta: AROPI. 2009. hlm. 8.
Fathurrahman.Toleransi Beragama Antara Penyedia dan Pengguna Jasa
Kos-kosan Beda Agama di Dusun Papringan, Desa Catur
Tunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga. 2008.
“Gerakan Baku Bae Maluku Perlawanan terhadap Penganjur
Perang” dalam Ambon Berdarah On-Line, www.
geocities.com.
Hadari Nawawi. Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas. Jakarta:
Gunung Agung. 1985. hlm. 7.
Heru Cahyono. Ed. Konflik Kalbar dan Kalteng: Jalan Panjang Meretas
Perdamaian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan P2P-LIPI. 2008.
Hikmat Budiman. “Minoritas, Multikulturalisme, Modernitas”
dalam Hikmat Budiman. Ed. Hak Minoritas Dilema
Multikulturalisme di Indonesia. Jakarta: The Interseksi
Foundation. 2005. hlm. 3.
Israq. “Substansi dan Definisi Pengetahuan” dalam www.israq.
wordpress.com.
Istilah agree in desagreement dipopulerkan oleh Menteri Agama, A.
Mukti Ali.
Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2008.
hlm. 191.
J.P. Chaplin. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2006. hlm. 512;

146
Karl Rahner. Ed. Encyclopedia of Theology: A Concise Sacramentum
Mundi. Wellwood, North Farm Road, Tunbridge Wells,
Kent: Burns & Oates. 1993. p. 1721-1726.
Kasinyo Harto. Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi Umum: Kasus
Gerakan Keagamaan Mahasiswa Universitas Sriwijaya
Palembang. Jakarta: Balitbang dan Diklat Depag. 2008. hlm.
215.
Khaled Abou El Fadl. Cita dan Fakta Toleransi Islam: Puritanisme
versus Pluralisme. Bandung: Arasy. 2003;
Lucia Ratih Kusumadewi. Sikap dan Toleransi Beragama di Kalangan
Mahasiswa: Studi di Tiga Perguruan Tinggi di Jakarta. Skripsi.
Depok: FISIP UI. 1999. hlm. 11-12.
Lorens Bagus. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
1996. hlm. 1111-1112.
Lucia Ratih Kusumadewi. Sikap dan Toleransi Beragama di Kalangan
Mahasiswa: Studi di Tiga Perguruan Tinggi di Jakarta. Skripsi.
Jakarta: FISIP-UI. 1999. hlm. 65-78.
Muhammad Hisyam et.al. Budaya Kewargaan Komunitas Islam di
Daerah Rentan Konflik. Jakarta: LIPI Press. 2006. hlm. 1.
Menggugat Intelektualisme Mahasiswa” dalam http:// bermula.
wordpress.com/2008/06/25/menggugat-intelektualisme -
mahasiswa/.
M. Mukhsin Jamil. Mediasi dan Resolusi Konflik. Semarang:
Walisongo Mediation Centre. 2007. hlm. xviii-xxi;
M. Ainul Yaqin. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pilar Media.
2005. hlm. 17.
M. Amin Abdullah. “Keimanan Universal di Tengah Pluralisme
Budaya: Tentang Kebenaran Agama dan Masa Depan Ilmu
Agama” dalam Ulumul Qur’an, No. 1 Vol. IV Th. 1993. hlm.
88-96.
M. Amin Abdullah. “Relevansi Studi Agama di Era Pluralisme
Agama” dalam Mohammad Sabri. Keberagamaan yang Saling

147
Menyapa: Perspektif Filsafat Perennial. Yogyakarta: Ittaqa
Press. 1999. hlm. xiii.
M. Hariwijaya. Tes Kepribadian. Yogyakarta: Media Ilmu. 2009. hlm.
1.
.M. Billah. “Tipologi dan Praktek Pelanggaran Hak Asasi Manusia
di Indonesia”. Makalah disampaikan pada Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh
Badan Pembinaan Hukum Nasional Dep. Hukum dan
HAM RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003
M. Hariwijaya. op.cit. hlm. 118-130; Jalaluddin. op.cit. hlm. 195; Agus
Sujanto, Halem Lubis, dan Taufik Hadi. Psikologi
Kepribadian. Jakarta: Bumi Aksara. 2008.
Muhlas. Pendidikan Profesi Guru. Jakarta: Irjen Dikti Depdiknas. 2009.
Muhammad Ali. Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai
Kemajemukan Menjalin Kebersamaan. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2003.
Muhammad Hisyam. Ed. Budaya Kewargaan Komunitas Islam di
Daerah Rentan Konflik. Jakarta: LIPI.2006; Idem. Budaya
Kewargaan Komunitas Islam di Daerah Aman Konflik. Jakarta:
LIPI. 2007.
Mujiburrahman. Mengindonesiakan Islam: Representasi dan Ideologi.
Pengantar Karel A. Steenbrink. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2008.
“Mahasiswa Kriminal Picu Konflik Kampung Pulo”, dalam
www.sabili.co.id.
M.A.S. Imam Chourmain. Metode Penelitian dengan Analisis Jalur
(Metode Path Analysis). Jakarta: t.p. 2007.
Nurhayati. Toleransi Antara Umat Beragama: Studi Kasus Umat Islam
dan Hindu di Kampung Lebah Kabupaten Klungkung, Bali.
Skripsi. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. 2005.
“Mahasiswa UKI dan YAI Sempat ‘Mesra’ di Era Reformasi”, 16
Oktober 2008, www.tempointeraktif.com.

148
Paul Edwards. Editor in Chief. “Toleration” in The Encyclopedia of
Pholosophy. Volume 7 and 8 Paul Edwars (New York &
London: Macmillan Publisher. 1967, hlm 143.
“Polisi Temukan Senjata Tajam dalam Kampus”, 19 November 2008,
www.nasional.vivanews.com.
Sarlito Wirawan Sarwono. Psikologi Prasangka Orang Indonesia.
Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006. hlm. 92.
http://books.google.co.id/books, hlm. 40.
Resume Studi Toleransi dan Kerentanan Religi di 4 Kota Jawa, dari
Labsosio Departemen Sosiologi, FISIP Universitas
Indonesia. 2008. hlm. 1.
Saiful Mujani. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan
Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. 2007. hlm. 162.
Saiful Mujani dkk. Benturan Peradaban: Sikap dan Perilaku Islamis
Indonesia terhadap Amerika Serikat. Jakarta: Nalar. 2005. hlm.
92.
Syamsu Yusuf LN dan A. Juntika Nurihsan. Teori Kepribadian.
Bandung: Sekolah Pascasarjana & Remaja Rosda-karya.
2008. hlm. 26.
Soerjono Soekanto (1993: 355), sebagaimana dikutip Sismarni. “Teori
Partisipasi dalam Dinamika Sosial” dalam www.lppbi-
fiba.blogspot.com.
Saeful Mujani. Islam dan God Goverment. Jakarta: PPIM IAIN Syarif
Hidayatullah. 2002.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D.
Bandung: Alfabeta. 2008. hlm. 8.
Teguh Setiawan. Toleransi Beragama di Kalangan Komunitas Slankers
Semarang: Studi Kasus Organisasi Basis Slankers Club. Skripsi.
Semarang: IAIN Walisongo. 2007.
Tempo, 12 November 2004
Tim Peneliti. Survei Opini Publik: Toleransi Sosial Masyarakat
Indonesia. Jakarta: LSI. 2006.

149
Tim Peneliti. Laporan Hasil Survei Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Stakeholders terhadap Organisasi Masyarakat Sipil. Jakarta:
LP3ES dan YAPPIKA. 2006. Tim Peneliti. Indeks Masyarakat
Sipil Indonesia. Jakarta: YAPPIKA. 2006. hlm. 90-91.
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
2005. Hlm. 1121.
Tim Penyusun. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jilid XVI. Jakarta:
Cipta Adi Pustaka. 1996. hlm. 384;
Trisno Sutanto. “Melampaui Toleransi?: Merenung Bersama
Walzer” dalam Ihsan Ali-Fauzi, dkk. Demi Toleransi Demi
Pluralisme. Jakarta: Paramadina. 2007.
Tim Penyusun. Toleransi dalam Pasungan: Pandangan Generasi Muda
terhadap Masalah Kebangsaan, Pluralitas dan Kepemimpinan
Nasional. Jakarta: SETARA Institute. 2008.
“Umat Islam Indonesia Dukung Radikallisme” dalam Harian
Toleransi dalam Pasungan: Pandangan Generasi Muda terhadap
Masalah Kebangsaan, Pluralitas dan Kepemimpinan Nasional.
Jakarta: SETARA Institute. 2008.
William L. Reese. Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and
Western Thought. Expanded Edition. New York: Humanity
Books. 1999. p. 774-775..
www.wikipedia.org.id.
W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. 1989. hlm. 702; Binsar A. Hutabarat. Kebebasan
Beragama VS Toleransi Beragama. www.google.com.
www.commongroundnews.org.
www.in-christ.net.
www.antara.co.id.
Yayah Khisbiyah. Menepis Prasangka, Memupuk Toleransi untuk
Multikulturalisme: Dukungan dari Psikologi Sosial. Surakarta:
PSB-PS UMS. 2007. hlm. 4.

150
Yusuf al-Qardhawi. Minoritas Nonmuslim di dalam Masyarakat Islam.
Penerjemah Muhammad Baqir. Bandung: Mizan. 1985. Hlm.
95-97.
Zakiyuddin Baidhawy. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural.
Jakarta: Erlangga. 2007.

151
152
Lampiran

Nomor : ................................................
Perguruan Tinggi : ................................................
Surveyor : ................................................

DAFTAR PERTANYAAN (KUESIONER)


PENELITIAN TENTANG TOLERANSI
MAHASISWA BERBEDA AGAMA
DI PERGURUAN TINGGI UMUM

Hai teman-teman mahasiswa,


Kami peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan
Litbang dan Diklat Departemen Agama sedang menye-
lenggarakan penelitian tentang Toleransi Mahasiswa Berbeda
Agama di Perguruan Tinggi Umum. Tujuan penelaitian adalah
untuk mengkaji pengaruh kepribadian, pengetahuan agama,
keterlibatan organisasi, dan lingkungan pendidikan terhadap
toleransi beragama para mahasiswa. Sehubungan hal tersebut,
kami mohon bantuan teman-teman untuk mengisi kuesioner
ini. Jawaban kuesioner merupakan informasi utama yang akan
menentukan kesimpulan penelitian sekaligus sebagai bahan
masukan bagi penyusunan kebijakan pembinaan kerukunan
umat beragama di Indonesia.
Atas bantuan teman-teman, kami ucapkan terima kasih.

153
Petunjuk Pengisian

a. Teman-teman mahasiswa dimohon menjawab/merespon


pertanyaan atau pernyataan di bawah ini dengan
sejujurnya.
b. Sebelum menjawab, baca dengan teliti pertanyaan atau
pernyataannya. Apabila ada yang tidak jelas, tanyakan
kepada petugas pengumpul data.
c. Bubuhkan tanda silang (x) atau lingkaran (O) pada huruf
a, b, c, d, e, dan/atau seterusnya untuk jawaban yang
teman-teman anggap paling tepat. Untuk jawaban isian
mohon ditulis secara jelas dan ringkas.
d. Dimohon untuk menjawab/merespon semua pertanyaan
atau pernyataan.
e. Jawaban teman-teman dijamin kerahasiaannya dan hanya
digunakan untuk kepentingan penelitian.

I. Identitas Responden
1. Umur : ..………. tahun
2. Jenis kelamin : a. Laki-laki
b. Perempuan
3. Agama : a. Islam b. Kristen
c. Katolik d. Hindu
e. Buddha f. Khonghucu

4. Suku (yang dominan) : ...................................


5. Daerah Asal : ………………………..
6. Anak ke : ……… dari ….... bersaudara
7. Asal Sekolah : a. SMA b. SMK
c. Madrasah Aliyah

154
Jawaban Anda
No. Pertanyaan Tidak Tida
Ya
Tahu k
a. Apakah kamu pernah cidera saat
berolahraga berbahaya?
b. Apakah kamu suka bermain langsung
di atas pentas?
c. Apakah kamu suka menjadi seorang
pilot?
d. Apakah kamu akan mempelajari
sesuatu jika kamu dihukum penjara?
e. Apakah kamu pernah mengkomplain ke
pemilik toko atau penjaga toko?
f. Apakah kamu suka ambil bagian dalam
reli jalanan?
g. Apakah kamu mau mengetuai kereta
hias dalam suatu arak-arakan?
h. Apakah kamu punya banyak kawan?
i. Apakah kamu suka kehidupan malam?
j. Apakah kamu popular di lingkungan
kampus?
k. Apakah kamu suka bekerja di bidang
keuangan di satu kota besar?
l. Apakah kamu suka menjadi politikus?
m. Apakah kamu suka menyentuh orang?
n. Apakah kamu suka menjadi seorang
dokter?
o. Apakah kamu seorang yang energik?
8. Fakultas : ………………..………………………...
Semester : ……......
9. Biaya hidup perbulan : ………………………...
10. Transportasi ke kampus: a. Angkutan umum
b. Motor
c. Mobil
d. Bersepeda
e. Berjalan kaki

155
11. Pekerjaan Bapak : ………………………...
12. Pekerjaan Ibu : ………………………...

II. Kepribadian
13. Berikan tanda (X) atau (V) di kolom sebelah kanan
terhadap pertanyaan-pertanyaan di kolom sebelah
kiri!
14. Berikan tanda (X) atau (V) di kolom sebelah kanan
terhadap pertanyaan-pertanyaan di kolom sebelah
kiri!
Jawaban Kamu
No. Pertanyaan Tidak
Ya Tidak
Tahu
a. Apakah kamu menjadi kacau
kalau terganggu?
b. Apakah kamu merasa khawatir
jika ada pekerjaan yang belum
diselesaikan?
c. Apakah kamu membasuh tangan
kamu lebih dari empat kali sehari?
d. Apakah betul kamu tidak pernah
berjalan di bawah tangga?
e. Apakah kamu memerintahkan
menyimpan surat-surat dengan
ketat?
f. Apakah kamu selalu tahu berapa
uang yang ada di dompet kamu?
g. Apakah kamu merencanakan
liburan dengan baik?
h. Apakah kamu segera mencuci
piring setelah makan?
i. Apakah kamu mengucapkan
selamat hari raya pada sahabat

156
lebih dahulu?
j. Apakah kamu mencantumkan
tanggal surat-surat kamu?
k. Apakah kamu pernah tidak
menepati janji?
l. Jawaban Kamu
No. Pertanyaan Tidak
Ya Tidak
Tahu
a. Apakah kamu bisa menulis
puisi?
b. Apakah kamu percaya ada
makhluk asing di jagat raya ini?
c. Apakah kamu percaya pada
hal-hal yang bersifat
supranatural?
d. Apakah kamu dapat menulis
buku cerita kanak-kanak?
e. Apakah kamu berani tinggal di
rumah angker sendirian di
malam hari?
f. Apakah kamu percaya setelah
kematian ada kehidupan?
g. Apakah kamu percaya adanya
roh-roh jahat?
h. Apakah kamu sering bermimpi
pada malam hari?
i. Apakah kamu percaya kepada
spiritualisme?
j. Apakah kamu pernah
berencana seandainya kamu
memenangkan lotere?
k. Apakah kamu percaya ada
hantu di sekitar rumahmu?
l. Apakah kamu takut kalau
keluar rumah di waktu malam?
m. Apakah kamu suka hidup di

157
abad ke-19?
n. Apakah kamu suka pergi ke
bulan?
o. Apakah kamu mimpi di siang
bolong?
Apakah kamu selalu memastikan
pintu terkunci ketika malam?
m. Apakah sepatu kamu selalu
tampak bersih?
n. Apakah kamu tidak pernah
kehilangan kunci?
o. Apakah kamu segera bersih-
bersih setelah bekerja?

15. Berikan tanda (X) atau (V) di kolom sebelah kanan


terhadap pertanyaan-pertanyaan di kolom sebelah
kiri!

Jawaban Kamu
No. Pertanyaan Tidak
Ya Tidak
Tahu
a. Apakah kamu membaca majalah desain
interior untuk mendapatkan ide untuk
rumah kamu?
b. Apakah kamu berpariwisata ke kawasan
yang indah pemandangannya?
c. Apakah kamu seorang yang modis?
d. Apakah kamu pernah mengikuti kelas
merangkai bunga?
e. Apakah kamu punya kartu anggota
perpustaakan?
f. Apakah kamu pelukis cat air?
g. Apakah kamu pernah menulis cerita
pendek?

158
h. Apakah kamu pernah mengunjungi
rumah yang megah?
i. Apakah kamu sering mengunjungi galeri
seni?
j. Apakah kamu suka berpuisi?
k. Apakah kamu gemar berkebun?
l. Apakah kamu gemar fotografi?
m. Apakah kamu bagus jika tampil di
pentas?
n. Apakah kamu suka menjadi seorang
arsitek?
o. Apakah kamu suka menjadi illustrator
untuk penerbitan komik?

16. Berikan tanda (X) atau (V) di kolom sebelah kanan


terhadap pertanyaan-pertanyaan di kolom sebelah
kiri!
17. Berikan tanda (X) atau (V) di kolom sebelah kanan
terhadap pertanyaan-pertanyaan di kolom sebelah
kiri!
Jawaban Kamu
No. Pertanyaan Tidak
Ya Tidak
Tahu
a. Apakah kamu akan komplain, jika
hidangan satu restoran tidak ada
yang kamu sukai?
b. Apakah kamu takut dengan orang
yang punya wewenang?
c. Apakah kamu menolak jika
dikehendaki menjabat ketua sebuah
klub?
d. Apakah kamu akan mengatakan
untuk menghubungi kembali, jika
kamu menerima telepon ketika
hendak keluar?

159
e. Apakah kamu akan komplain, jika
buah yang kamu beli ada yang
busuk?
f. Apakah kamu akan menolak, jika
tetangga kamu meminjam
kendaraan?
g. Apakah kamu tetap bisa bekerja, jika
perlengkapan kantor ternyata rusak?
h. Apakah kamu akan memakan
sekotak coklat pemberian seseorang,
padahal kamu berusaha untuk diet?
i. Apakah kamu akan komplain, jika
kamu disuruh menunggu giliran di
salah satu klinik gigi?
j. Apakah kamu akan marah, jika
seekor kucing tetangga menggali
rumput taman kamu?
k. Apakah kamu keberatan, jika
tetangga kamu memanasi motornya?
l. Apakah kamu akan komplain untuk
diulang, jika kamu tidak puas dengan
perbaikan kendaraan kamu?
m. Apakah kamu keberatan, jika ada
penumpang yang merokok di kereta
api non-merokok?
n. Apakah kamu merasa sulit untuk
menerima nasihat dari orang lain?
o. Apakah kamu akan komplain, jika
seorang sales tidak memperhatikan
permintaan kamu?

160
III. Keterlibatan Organisasi
18. Apakah ada organisasi-organisasi kemahasiswaan
intra dan ekstra di kampus kamu seperti berikut?

Keterangan
Organisasi Tidak
Ada
Ada

a. Himpunan Mahasiswa Jurusan


b. Senat Mahasiswa Fakultas
c. Badan Eksekutif Mahasiswa
d. Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM)
e. Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI)
f. Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII)
g. Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia (GMNI)
h. Persatuan Mahasiswa Kristen
Indonesia (PMKRI)
i. Pemuda Katolik
j. Pemuda Hindu
k. Pemuda Buddha
l. Pemuda Khonghucu
m. Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia (KAMMI)
................................................................
................................................................
................................................................
................................................................
................................................................

161
19. Apakah kamu pernah atau sedang menduduki posisi
tertentu di organisasi-organisasi kemahasiswaan
berikut?
Terlibat sebagai
Anggota
Organisasi Peng Anggota Bukan
Tidak
urus aktif Anggota
aktif
a. Himpunan Mahasiswa
Jurusan
b. Senat Mahasiswa
Fakultas
c. Badan Eksekutif
Mahasiswa
d. Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM)
e. Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI)
f. Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PMII)
g. Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia
(GMNI)
h. Persatuan Mahasiswa
Kristen Indonesia
(PMKRI)
i. Pemuda Katolik
j. Pemuda Hindu
k. Pemuda Buddha
l. Pemuda Khonghucu
m. Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim
Indonesia (KAMMI)
.....................................................

.....................................................

162
20. Berapa banyak kamu memimpin rapat/diskusi dalam
pertemuan organisasi kemahasiswaa di kampus?
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

21. Berapa banyak kamu mengemukakan pendapat dalam


setiap rapat/diskusi dalam pertemuan organisasi
kemahasiswaan di kampus?
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

22. Berapa banyak kamu menengahi perdebatan yang


terjadi di antara teman-teman organisasi
kemahasiswaanmu?
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

23. Berapa banyak kamu mendukung teman yang hendak


menduduki jabatan ketua di organisasi
kemahasiswaanmu?
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

24. Cara pandangmu terhadap masalah lebih arif sejak


terlibat dalam organisasi kemahasiswaan.
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

IV. Hasil Belajar Pendidikan Agama


25. Berapakah nilai mata kuliah agama kamu?
a. A b. B c. C d. D
e. E

163
V. Lingkungan Pendidikan
26. Apakah kamu terganggu belajar karena penghuni
tempat tinggal kamu cukup banyak?
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

27. Apakah hubungan antara orang tua dan kamu


dilandasi rasa kasih sayang?
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

28. Apakah hubungan antara orang tua dan saudara kamu


dalam suasana keakraban?
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

29. Apakah hubungan antara kamu dan saudara kamu


dalam suasana keakraban?
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

30. Apakah pengetahuan agama yang diperoleh di


kampus dapat kamu terapkan dalam kehidupan
sehari-hari di tempat tinggalmu?
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

31. Apakah kamu merasa tertarik dengan cara dosen


kamu mengajar tentang perbedaan agama?
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

164
32. Apakah kamu diberi kesempatan untuk memberi
pandangan berbeda saat pembelajaran agama
berlangsung di ruang kuliah?
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

33. Apakah dosen kamu mendukung sikap mahasiswa


yang ekstrim?
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

34. Apakah di lingkungan tempat tinggal kamu


melakukan kegiatan sosial yang melibatkan anggota
masyarakat berbeda agama?
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

VI. Toleransi Beragama


Pilih salah satu pernyataan di bawah ini yang dianggap
paling sesuai dengan hati nurani kamu.

35. Kebebasan beragama berarti berhak memeluk atau


tidak memeluk suatu agama.
a. Sangat setuju b. Setuju c. Netral d. Tidak
setuju e. Sangat tidak setuju

36. Kebebasan beragama berarti setiap orang atas


kesadaran dan keyakinannya sendiri, leluasa
memeluk suatu agama tanpa tekanan, intimidasi atau
paksaan.
a. Sangat setuju b. Setuju c. Netral d. Tidak
setuju e. Sangat tidak setuju

165
37. Kebebasan beragama berarti bebas mengembangkan
dan memelihara hakikat ajaran agama yang dianut.
a. Sangat setuju b. Setuju c. Netral d. Tidak
setuju e. Sangat tidak setuju

38. Kebebasan beragama seseorang tidak boleh


melanggar kebebasan beragama orang lain.
a. Sangat setuju b. Setuju c. Netral d. Tidak
setuju e. Sangat tidak setuju

39. Hanya agama kamu yang paling benar.


a. Sangat setuju b. Setuju c. Netral
d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju

40. Hanya yang memeluk agama kamu yang dijamin


keselamatannya.
a. Sangat setuju b. Setuju c. Netral
d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju

41. Hanya kitab suci agama kamu yang paling benar.


a. Sangat setuju b. Setuju c. Netral
d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju

42. Satu-satu umat terpilih adalah mereka yang seagama


denganmu.
a. Sangat setuju b. Setuju c. Netral
d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju

43. Hanya ajaran agama kamu saja yang perlu diketahui


dan dipelajari.
a. Sangat setuju b. Setuju c. Netral
d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju

166
44. Kamu tidak keberatan pendirian rumah ibadat
agama lain di lingkungan RT-mu.
a. Sangat setuju b. Setuju c. Netral
d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju

45. Kamu bersedia diajak mengunjungi tempat suci


agama lain.
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

46. a. Tidak keberatan dengan ibadat teman berbeda


agama dalam satu kamar.
b. Tidak keberatan dengan ibadat teman berbeda
agama dalam satu rumah.
c. Tidak keberatan dengan ibadat teman berbeda
agama di lingkungan tempat tinggal.
d. Tidak keberatan dengan ibadat teman berbeda
agama di Kampus.
e. Tidak keberatan dengan ibadat teman berbeda
agama di masyarakat luas.

47. a. Berkunjung dan memberi ucapan selamat pada


teman berbeda agama atas perayaan hari besar
agamanya.
b. Menghadiri undangan teman berbeda agama
dalam perayaan hari besar agamanya.
c. Memberi ucapan selamat pada teman berbeda
agama atas perayaan hari besar agamanya.
d. Tidak mengucapkan selamat atas perayaan hari
besar teman berbeda agama tetapi tidak
mengganggunya.
e. Tidak mengucapkan selamat atas perayaan hari
besar teman berbeda agama dan tidak menyukai
acara itu dilangsungkan.

167
48. Kamu mengikuti kegiatan doa bersama dengan
orang berbeda agama?
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

49. Kamu membantu tenaga/dana dalam perayaan


keagamaan umat agama lain?
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
b. d. Pernah e. Tidak pernah

50. a. Tidak keberatan tinggal bersama teman berbeda


agama dalam satu kamar.
b. Tidak keberatan tinggal bersama teman berbeda
agama dalam satu rumah.
c. Tidak keberatan tinggal bersama teman berbeda
agama dalam satu lingkungan tempat tinggal.
d. Tidak keberatan tinggal bersama teman berbeda
agama yang satu kampus.
e. Tidak keberatan tinggal bersama teman berbeda
agama di masyarakat luas.

51. a. Setuju membantu teman yang berbeda agama.


b. Setuju berorganisasi dengan teman berbeda
agama.
c. Setuju bergaul dengan teman berbeda agama.
d. Setuju mempunyai kelompok belajar dengan
teman yang berbeda agama.
e. Setuju tidak perduli dengan teman berbeda agama.

52. Kamu mengizinkan teman berbeda agama menginap


di kamar kamu.
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

168
53. Kamu ragu menikmati makanan yang dihidangkan
teman berbeda agama.
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

54. Kamu menitipkan kunci kamar kepada teman yang


berbeda agama jika kamu ada acara ke luar kota.
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

55. Kamu meminta tolong dibelikan sesuatu kepada


teman berbeda agama yang pergi berbelanja.
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

56. Kamu bersedia memberikan alamat dan nomor


telepon kamu kepada orang berbeda agama.
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

57. Kamu menghadiri undangan pesta orang berbeda


agama.
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
b. d. Pernah e. Tidak pernah

58. Kamu menghadiri upacara pernikahan di rumah


ibadat agama lain.

a. Sangat sering b. Sering c. Jarang


d. Pernah e. Tidak pernah

59. Kamu tidak ikut berdoa jika pembacaan doa


dipimpin pemuka agama lain.
a. Sangat setuju b. Setuju c. Netral
d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju

169
60. Kamu menjawab semua ucapan salam keagamaan
yang diucapkan oleh penganut agama lain.
a. Sangat setuju b. Setuju c. Netral
d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju

61. Kamu melakukan ibadat di rumah temanmu yang


berbeda agama.
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

62. Kamu menghadiri upacara pemakaman penganut


agama lain.
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

63. Kamu memberi bantuan untuk pendirian rumah


ibadat agama lain.
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

64. Kamu membantu jika ada teman berbeda agama


mendapat musibah.
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

65. Kamu meminjamkan buku/uang kepada teman


berbeda agama.
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

66. Kamu akan memilih orang yang berbeda agama


untuk menjadi ketua organisasi kampus?
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

170
67. Kamu menolak tawaran bantuan dari teman berbeda
agama?
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

68. Kamu bertemu dan berbicara dengan orang lain yang


berbeda agama.
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

69. Kamu bertukar pikiran dengan orang berbeda


agama.
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

70. Kamu mengikuti nasihat yang diberikan teman


berbeda agama.
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

71. Kamu bertamu ke rumah orang berbeda agama?


a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

72. Kamu meminjamkan kendaraan milikmu kepada


orang berbeda agama?
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
d. Pernah e. Tidak pernah

73. Kamu melakukan pinjam-meminjam barang/uang


dengan orang berbeda agama?
a. Sangat sering b. Sering c. Jarang
b. d. Pernah e. Tidak pernah

171
172

Anda mungkin juga menyukai