Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

TUBERKULOSIS PADA KEHAMILAN

Pembimbing
dr.Edihan, Sp.OG

Oleh:
Felicia Lukito (2011-061-042)
Tia Listyana (2011-061-050)

DEPARTEMEN ILMU KANDUNGAN & KEBIDANAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA
JAKARTA
2012
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Menurut World
Health Organization (WHO), insidens TB pada tahun 2008 adalah 9,4 juta dan 3,6 juta di
antaranya menginfeksi wanita. TB merupakan salah satu penyebab terbesar kematian pada
wanita, yaitu sekitar 700.000 kematian setiap tahun, dan sepertiga dari kematian tersebut terjadi
pada wanita usia subur. Suatu penelitian lain yang dilakukan di UK pada tahun 2008, insidens
TB pada kehamilan adalah 4,2 per 100.000 kehamilan. TB pada kehamilan dapat bermanifestasi
sebagai TB pulmoner dan TB ekstrapulmoner. Pada 2 penelitian yang dilakukan di UK, 53% dan
77% dari wanita hamil dilaporkan mengalami TB ekstrapulmoner.
Indonesia belum mempunyai data prevalensi TB pada perempuan hamil. Di poliklinik
tuberkulosis Persatuan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) tahun 2006 dan 2007
terdapat 0,2% perempuan hamil yang mengidap TB. Angka tersebut sebanding dengan prevalensi
TB pada masyarakat umum. Untuk itu diasumsikan bahwa penyebaran TB pada perempuan
hamil minimal tidak berbeda dengan sebaran di kalangan masyarakat. Oleh karena itu usaha
penapisan seharusnya dapat dilakukan pada populasi perempuan hamil mengingat risiko yang
lebih tinggi yang akan didapat oleh ibu dan janin.
Periode prenatal dengan jadwal pemeriksaan berkala yang telah ditetapkan oleh WHO
memberi kesempatan untuk membantu usaha ini dengan melakukan pemeriksaan dan
pengobatan, terutama pada perempuan hamil yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi penyakit
ini. Pada perempuan hamil TB memberi pengaruh pada kehamilan dan janin terkait dengan
keterlambatan pengobatan. Lebih dari 90% perempuan hamil dengan TB aktif muncul dari
populasi perempuan hamil dengan infeksi tuberkulosis yang tidak diobati. 2,10,11 Mortalitas
perinatal pada perempuan hamil yang menderita TB enam kali lebih tinggi jika dibandingkan
kontrol dengan insidens prematuritas dan berat badan lahir rendah meningkat dua kali lipat.
Diagnosis dan pengobatan yang terlambat berhubungan dengan meningkatnya morbiditas ibu
empat kali lebih tinggi.12

Pada masa sebelum ditemukannya kemoterapi, didapatkan kematian sampai 70%


disebabkan oleh TBC pada wanita usia reproduksi. Setelah kemoterapi ditemukan insidens TBC
meningkat kembali, hal ini dikarenakan timbulnya bermacam-macam faktor, salah satunya
infeksi human immunodeficiency viral (HIV).3 TBC pada kehamilan mempunyai gejala klinis
yang serupa dengan TBC perempuan tidak hamil. Diagnosis mungkin ditegakkan terlambat
karena gejala awal yang tidak khas. Keluhan yang sering ditemukan batuk, demam, malaise,
penurunan berat badan dan hemoptisis.3,4
Pemeriksaan penunjang dalam hal ini pemeriksaan uji tuberkulin diikuti oleh foto toraks
merupakan pemeriksaan yang dianjurkan pada kelompok TBC risiko tinggi. Faktor lain yang
berperan adalah pemberian regimen terapi yang tepat. Risiko yang dihadapi oleh ibu dan janin
lebih besar bila tidak mendapatkan pengobatan TBC dibandingkan risiko pengobatan itu sendiri.
Pemberian regimen kemoterapi yang tepat dan adekuat akan memperbaiki kualitas hidup ibu,
mengurangi efek samping obat anti tuberculosis (OAT) terhadap janin dan mencegah infeksi
yang terjadi pada bayi yang baru lahir.4,5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang menular dan dapat menyerang berbagai
organ dalam tubuh, dan terutama menyerang paru. Infeksi ini disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis.

2.2 Etiologi dan Mikrobiologi Tuberkulosis

Penyebab dari penyakit tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculosis,yang


mempunyai karakteristik mikrobiologi yaitu bersifat an aerobic, non-spore-forming, nonmotile
bacillus, merupakan salah satu dari lima anggota Mycobacterium tuberculosis complex, di mana
yang lain adalah: M. bovis, M. ulcerans, M. Africanum, andM. microti, akan tetapi M.
tuberculosis adalah yang bersifat pathogen pada manusia. Golongan mycobacterium lain yang
juga dapat menginfeksi manusia adalah Mycobacterium leprae, M. avium, M. Intracellulare, and
M. scrofulaceum.29

2.2 Patofisiologi Tuberkulosis

Tuberkulosis dapat menyerang hampir semua organ tubuh, tetapi yang biasa diserang
adalah paru (lebih kurang 80%).29,34. Pada pasien pengidap HIV, pola dari infeksi TBC ini agak
berbeda, yang mana cenderung terjadi TBC extrapulmonal .29 Hampir semua infeksi TBC
disebabkan oleh penularan melalui inhalasi dari partikel-partikel yang infeksius yang dikeluarkan
oleh pasien pengidap TBC lewat batuk, bersin, berbicara, atau menggunakan tissue yang
mengandung kuman TBC. Cara penularan lain yang mungkin terjadi yaitu lewat mulut dengan
mengkonsumsi susu yang tidak dioasteurisasi dan bisa juga melalui implantasi langsung melalui
kulit yang tidak intact atau melalui conjunctiva. Aerosolized tuberculosis particles dengan besar
partikel antara 1-5µm dapat dibawa ke udara bebas dan dapat menyebar ke tempat yang jauh dan
dapat menginfeksi orang-orang di sekitarnya. Setelah sampai di paru, maka terjadi reaksi dari
tubuh, terjadi proses fagositosis oleh makrofag paru, terjadi reaksi granulomatous, yang mana
kemudian menimbulkan pembentukan Ghon’s focus. Basil TBC ini tetap berada dalam kondisi
dorman dalam Ghon’s focus ini untuk waktu yang lama, yang mana suatu saat dapat berubah
menjadi reaktif terutama bilamana seseorang mengalami kondisi immunocompromised atau
mengidap penyakit lain yang melemahkan sistem imunnya. 29,30

2.4 Tuberkulosis pada Kehamilan

Berbagai opini dari praktisi medis mengenai tuberkulosis pada kehamilan secara singkat
direfleksikan sebagai suatu kondisi kesehatan masyarakat yang signifikan. Hal tersebut
digambarkan dengan pisau bermata dua, sisi pertama adalah efek tuberkulosis pada kehamilan
dan pola perkembangan neonatus, sisi lainnya merupakan efek kehamilan terhadap
perkembangan tuberkulosis. Tuberkulosis tidak hanya menyumbang proporsi yang signifikan
dalam beban penyakit global, juga merupakan kontributor yang signifikan untuk kematian ibu,
merupakan salah satu penyakit dari tiga penyebab utama kematian di kalangan wanita usia 15-45
tahun. Angka insiden TB pada kehamilan tidak tersedia di banyak negara karena banyak faktor
perancu. Namun demikian, diperkirakan bahwa kejadian TB pada wanita hamil akan sama
tingginya pada populasi umum, dengan kejadian mungkin lebih tinggi di negara berkembang.

2.4.1 Efek Kehamilan pada Tuberkulosis

Peneliti dari zaman Hippocrates telah menyatakan kekhawatiran mereka tentang efek tak
diinginkan yang mungkin ada pada kehamilan dengan TB paru. Terjadinya TB diyakini sebagai
akibat dari peningkatan tekanan intraabdomen terkait dengan kehamilan. Keyakinan ini dipegang
secara luas sampai awal abad keempat belas. Peneliti seperti Hedvall dan Schaefer menunjukkan
tidak adanya keuntungan maupun efek samping dari kehamilan terhadap progresi TB. Namun,
kehamilan yang berurutan dapat memberikan efek negatif yaitu menimbulkan reaktivasi
tuberkulosis laten.
Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa diagnosis tuberkulosis pada kehamilan
mungkin lebih sulit dilakukan, karena gejala awalnya mungkin dianggap berasal dari
kehamilan.Penurunan berat badan yang berhubungan dengan penyakit juga mungkin tertutupi
oleh kenaikan berat badan normal pada kehamilan.

2.4.2 Efek Tuberkulosis terhadap Kehamilan


Efek TB terhadap kehamilan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk tingkat
keparahan penyakit, umur kehamilan saat didiagnosis TB, adanya penyebaran ekstrapulmoner,
koinfeksi HIV dan pengobatan yang diberikan. Prognosis paling buruk terjadi pada wanita
dengan diagnosis penyakit yang sudah lanjut pada masa nifas, begitu juga pada wanita dengan
koinfeksi HIV.Kegagalan pengobatan juga memperburuk prognosis.
Namun, data mengenai efek TB terhadap maternal dan luaran neonatal masih belum jelas.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa dengan pengobatan yang tepat dalam jangka waktu yang
benar, infeksi TB tidak memberikan efek negatif terhadap kehamilan. Dari suatu penelitian
prospektif di India, tidak ada perbedaan pada komplikasi kehamilan pada wanita yang
didiagnosis TB dan diterapi dengan wanita hamil yang tidak terkena TB.Namun, terdapat suatu
pengecualian pada wanita hamil yang terlambat memulai terapi TB, terjadi peningkatan
mortalitas neonatus dan tingginya angka prematur. Dalam penelitian, diagnosis dan terapi TB
dimulai pada umur gestasi antara 13 dan 24 minggu (67%). Hasil dari terapi seperti konversi
sputum, stabilisasi penyakit dan angkat terjadinya relaps hampir sama dengan penderita TB yang
tidak hamil, Namun dalam penelitian ini, ibu hamil yang terinfeksi TB, tidak terinfeksi HIV.
Pada wanita hamil dengan HIV, efek dari TB lebih berkaitan dengan infeksi HIV daripada
keadaan kehamilannya.
Berlawanan dengan penelitian di atas, sebuah review retrospektif di Taiwan, ibu hamil
yang didiagnosis TB mengalami peningkatan risiko terjadinya kelainan pada kehamilan
dibandingkan dengan ibu yang tidak terinfeksi TB. Pada ibu hamil dengan TB mempunyai angka
persentase berat lahir rendah dan bayi yang lebih kecil daripada usia gestasi yang tinggi, namun
tidak ada perbedaan mengenai kelahiran prematur pada dua kelompok tersebut. Meskipun
demikian, diagnosis dan terapi TB yang cepat merupakan suatu hal yang penting.TB masih
menjadi penyebab morbiditas dan mortilitas maternal yang signifikan, terutama dalam konteks
ko-infeksi HIV.
Komplikasi obstetrik lainnya yang dilaporkan adalah abortus spontan, uterus yang kecil,
peningkatan berat badan hamil yang tidak optimal.Lainnya adalah lahir prematur, berat badan
lahir rendah, dan meningkatnya mortalitas neonates, seperti yang sudah disebutkan
diatas.Diagnosis dan terapi TB yang cepat merupakan suatu hal yang penting.TB masih menjadi
penyebab morbiditas dan mortalitas maternal yang signifikan, terutama dalam konteks ko-infeksi
HIV.Diagnosis yang telat merupakan faktor independen dimana akan meningkatkan morbiditas
sebanyak empat kali lipat, dan kelahiran premature meningkat sebanyak sembilan kali lipat.

2.5 Tuberkulosis pada Neonatus

Transmisi TB ibu ke anak dapat terjadi di dalam uterus dengan penyebaran hematogen
melalui vena umbilikus dan aspirasi atau menelan cairan amnion yang terinfeksi dan juga selama
proses kelahiran melalui kontak dengan cairan amnion yang terinfeksi atau sekresi genital.
Infeksi post-partum dapat terjadi melalui penyebaran di udara atau melalui cairan susu yang
terinfeksi dari lesi tuberkulosis aktif di payudara. Walaupun transmisi melalui ASI dapat
diabaikan, bayi dari ibu dengan TB aktif masih dapat terinfeksi melalui penyebaran lewat
udara.Jika ibu baru saja didiagnosa, belum di terapi, dan TB aktif, maka ibu harus dipisahkan
dari anaknya untuk mencegah penularan. Diagnosis TB pada neonatus bukan hal yang mudah,
kecurigaan klinis terhadap gejala non spesifik dan sulit dibedakan dengan gejalan kongenital
lainnya merupakan hal penting. Pada TB kongenital, gejala terlihat pada umur 2 dan 3 minggu.
Diagnosis definitif yaitu dengan kultur M.tuberkulosis dari jaringan atau cairan. Gambaran
radiologi dada yang abnormal sering ditemukan, setengahnya memberikan gambaran pola
miliar.Jika terdiagnosa TB aktif, harus diberikan terapi penuh. Jika tidak terdiagnosis TB aktif,
maka diberikan profilkasis isoniazid.
Tuberkulosis kongenital merupakan komplikasi di dalam uterus yang jarang terjadi
sementara itu risiko transmisi setelah kelahiran tinggi. Tuberkulosis kongenital merupakan hasil
penyebaran hematogen melalui vena umbilkal ke hati janin atau melalui penelanan atau aspirasi
cairan amnion yang terinfeksi. Fokus primer terbentuk di hati dengan adanya keterlibatan nodus
limfe periportal. Basil tuberkel menginfeksi paru secara sekunder, berbeda pada dewasa yang
80% infeksi primer terjadi di paru.
Tuberkulosis kongenital mungkin sulit dibedakan dengan infeksi neonates atau infeksi
kongenital dengan gejalan yang mirip pada umur dua sampai tiga minggu. Gejala-gejalanya
adalah hepatosplenomegaly, repiratory distress, demam, dan limfadenopati.Abnormalitas
radiografi dapat terlihat namun secara umum terlihat belakangan. Diagnosis tuberkulosis
neonates ditegakkan dengan kriteria diagnosis Cantwell et al, yaitu adanya kompleks primer
hepar/ granuloma kaseseosa pada biopsy hepar perkutaneus saat kelahia, plasenta yang
terinfeksi, atau tuberkulosis traktus genital maternal, dan lesi saat minggu pertama kehidupan.
Kemungkinan transmisi setelah kelahiran harus disingkirkan dengan menelaah semua riawayat
kontar termasuk kontak dengan tenaga medis dan penjenguk.
Sebanyak setengah dari neonatus dengan tuberkulosis kongenital meninggal dunia
terlebih lagi pada kasus yang tidak diterapi.

2.6 Diagnosis Tuberkulosis pada Kehamilan

Untuk mendiagnosis kondisi tersebut, riwayat paparan terhadap individu dengan batuk
kronis atau berkunjung ke daerah endemik tuberkulosis harus diperoleh. Riwayat gejala, mirip
dengan gejala yang dialami oleh wanita tidak hamil. Perhatian harus ditingkatkan mengingat
gejala pada ibu hamil tidak spesifik, yaitu keringat di malam hari, demam di malam hari, batuk
darah, penurunan berat badan yang progresif, dan batuk kronis selama lebih dari tiga minggu.
Tahap penting dalam membuat diagnosis pada kehamilan yaitu untuk mengidentifikasi faktor
risiko untuk infeksi TB dan gejala-gejala infeksi.
Pemeriksaan rutin terhadap TB selama masa kehamilan bukan merupakan suatu standar
yang dilakukan diberbagai tempat pelayanan, dan hal ini menjadi salah satu faktor keterlambatan
diagnosis dan meningkatkan angka mortalitas maternal. Pada suatu penelitian di Soweto, Afrika
Selatan, pemeriksaan penyaring TB dengan menanyakan beberapa pertanyaan saat melakukan
kunjungan antenatal dirasakan mudah untuk dilakukan. Oleh karena itu, direkomedasikan cara
tersebut dilakukan di daerah dengan prevalensi HIV tinggi, dimana angka infeksi TB pada
wanita hamil juga tinggi dalam keadaan tersebut.
Alat diagnositik yang biasa digunakan adalah pemeriksaan sputum bakteri tahan asam,
kultur sputum, dan spesimen lainnya, dan radiografi dada. Tes tuberkulin mempunyai nilai
diagnosis pada infeksi laten TB, kecuali di daerah dengan prevalensi dan insiden TB yang tinggi.
Pada wanita hamil dengan gejala dan tanda TB, harus dilakukan tes tuberkulin. Tes
tersebut sudah dinyatakan aman untuk dilakukan pada ibu hamil. Namun, masih diperdebatkan
mengenai sensitivitas tuberkulin saat kehamilan.Penelitian awal mengatakan bahwa adanya
penurunan sensitivitas tuberkulin saat kehamilan, sementara itu penelitian terakhir mengatakan
tidak adanya perbedaan antara populasi hamil dan tidak hamil.
Dua tipe tes kulit tuberkulin yang dibahas yaitu :

- Tes Tine

Tes ini menggunakan beberapa jarum yang sudah dicelupkan pada bakteri TB yang sudah
dimurnikan, disebut dengan old tuberculin (OT). Kulit ditusuk dengan jarum tersebut dan reaksi
dianalisa 48-72 jam kemudian. Namun tes ini tidak lagi popular kecuali untuk uji penyaring pada
populasi yang besar.

- Tes Mantouk

Injeksi intradermal derivat protein yang sudah dimurnikan sebanyak 0.1 mL (5 tuberculin
units), dan reaksi kulit dianalisis 48-72 jam kemudian berdasarkan diameter indurasi terbesar
yang terbentuk. Tes ini lebih akurat daripada tes tine.

Positif palsu dapat terjadi pada pasien yang sudah mendapatkan vaksin BCG, yang sudah
mendapatkan pengobatan untuk tuberkulosis, ataupun pasien yang sudah terinfeksi dengan
spesies mycobacterium lainnya. Negatif palsu dapat terjadi karena sistem imun yang menurun
dan kesalahan teknis.
Pemeriksaan radiologi dada dengan penutup di bagian perut dapat dilakukan setelah tes
kulit tuberkulin, walaupun pemeriksaan radiografi dada tertunda karena kekhawatiran akan efek
radiasi terhadap janin.
Pemeriksaan mikroskopik sputum atau specimen lain untuk bakteri tahan asam masih
menjadi dasar diagnosis untuk TB dalam kehamilan. Tiga contoh sputum harus diperiksa untuk
smear, kultur, dan uji kerentanan obat. Pewarnaan bakteri tahan asam menggunakan Ziehl-
Neelsen, flouresen, Auramine-Rhodamine, dan teknik Kinyoun.Pemeriksaan dengan mikroskop
floresen light emitting diode (LED) baru-baru ini diperkenalkan untuk meningkatkan kepastian
diagnosis.Menurut laporan WHO mengenai pengendalian TB secara global, pemeriksaan TB
terdeteksi positif sebanyak 68%.Pemeriksaan dengan pewarnaan mungkin tidak kuat untuk
diagnosis, karena hasil yang negatif mungkin dapat luput.Individu dengan basil yang sedikit,
pemeriksaan mikroskopis tidak cukup untuk menegakkan diagnosis. Radiografi dada dan
penilaian suara napas merupakan alat bantu penting untuk membuat diagnosis dari pemeriksaan
mikroskop TB yang negatif. Namun, gambaran radiografi dada dapat normal pada 14% pasien
dengan kultur TB positif. TB ekstrapulmonar juga jarang terjadi pada kehamilan, dan klinisi
harus segera mencurigai apabila terdapat gejala atipikal.
Kultur tradisional dengan menggunakan media Lowenstein-Jensen memakan waktu
sekitar 4-6 minggu. Namun, mungkin dapat berguna untuk kasus yag meragukan dan dalam
terapi tuberkulosis yang diduga resisten. Saat ini terdapat alat diagnostik baru yang didukung
oleh WHO, yaitu kultur dengan media cairan bactec. Media kultur lainnya yang juga digunakan
adalah media Lowenstein, media Petragnani, media Trudeau committee, media Peizer, media
Dubos Middlebrook, agar darah Tashis. Media Middlebrook’s 7-H3, Middlebrook’s 7-H9, dan
Middlebrook’s 7-H10.Likuidisasi dan dekontaminasi dengan N-Acetyl-L-Cysteine dalam 1%
solusi Sodium Hydroxide sebelum inokulasi dapat meningkatkan sensitivitas.M.tuberkulosis
memproduksi niasin dan katalase sensitive panas dan kurang nya pigmen.Hal ini dapat
membedakannya dari spesies Mycobacterium lainnya.Molecular Line Probe Assay (LPA) dan
polymerase chain reaction (PCR) digunakan untuk mengidentifikasi tuberkel basil.
Konfirmasi terhadap infeksi M.tuberkulosis masih sulit dilakukan, dengan teknologi yang
tidak akurat dan ketinggalan jaman.Pengembangan teknologi masih menjadi prioritas utama.
Interferon-c release assays dan the Ouanti-FERON-TB Gold In-Tube assay telah digunakan
untuk diagnosis infeksi laten TB. Pemeriksaan tersebut telah ditingkatkan spesifisitasnya dan
keakuratan diagnosis nya, selain itu juga tidak terpengaruh oleh vaksinasi BCG atau infeksi oleh
mycobacteria non-tuberkulosis. The Ouanti-FERON-TB Gold In-Tube assay aman digunakan
pada ibu hamil namun belum divalidasi untuk diginakan pada ibu hamil
Kontrol terhadap infeksi merupakan hal penting dalam kontrol penyebaran TB, dimana
infeksius hanya ketika di paru atau laring, dan tidak menyebar dengan kontak singkat.Anggota
keluarga dari ibu hamil yang terinfeksi harus diberikan informasi mengenai cara penyebaran dan
perlu dilakukan tes penyaring.

2.7 Tatalaksana TB pada Kehamilan

Penatalaksanaan pasien TBC pada kehamilan tidak berbeda dengan TBC tanpa
kehamilan. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah pemberian OAT yang bisa menimbulkan efek
teratogenik terhadap janin. Penatalaksanaan secara umum terbagi atas penderita dengan TBC
aktif dan TBC laten.8,11,12
Wanita hamil dengan TBC aktif biasanya diterapi dengan tidak mempertimbangkan
trisemester kehamilan. OAT yang digunakan tidak berbeda dengan wanita yang tidak hamil.
Golongan utama OAT seperti isoniazid, rifampisin, etambutol digunakan secara luas pada wanita
hamil. Obat-obat tersebut dapat melalui plasenta dalam dosis rendah dan tidak menimbulkan
efek teratogenik pada janin.8,11 Pada pemberian isoniazid sebaiknya diberikan piridoksin 50
mg/hari untuk mencegah terjadinya neuropati perifer. Pemeriksaan fungsi hati sebaiknya
dilakukan saat pemberian isonizid dan rifampisin. Pemberian vitamin K dilakukan pada akhir
trismester ketiga kehamilan dan bayi yang baru lahir.12
Resistensi terhadap obat-obat TBC pertama kali terjadi di United States pada awal tahun
1990 yang mana diikuti terjadinya epidemic dari tahun 1985 sampai tahun 1992. (Centers for
Disease Control and Prevention, 2007b). Oleh karena itu Centers for Disease Control and
Prevention (2003a) merekomendasikan pemakaian 4 jenis obat untuk inisiasi pengobatan pada
pasien dengan tuberkulosis yang simptomatik, yaitu isoniazid, rifampin, pyrazinamide, and
ethambutol. Pada kasus kehamilan dengan multidrug resistant (MDR) digunakan pirazinamid,
akan tetapi pirazinamid tidak digunakan secara rutin pada wanita hamil karena terdapat efek
teratogenik. Paraaminosalisilat (PAS) telah digunakan secara aman pada wanita hamil akan tetapi
obat tersebut ditoleransi tubuh secara buruk.13 Bilamana diperlukan dapat diberikan obat TBC
lini kedua.
Tuberkulosis laten adalah pasien dengan uji tuberkulin positif dan secara klinis tidak ada
tanda-tanda terjadi tuberkulosis aktif.11 Terapi pada TBC laten tergantung faktor risiko dan hasil
konversi uji tuberkulin. Pemberian terapi pada TBC laten biasanya ditunda sampai 2-3 bulan
setelah kelahiran.11 Pada pasien yang mempunyai risiko kontak dengan individu BTA positif dan
infeksi HIV, terapi diberikan setelah trisemester pertama pada kehamilan dengan konversi uji
tuberkulin positif dalam 2 tahun terakhir. Sedangkan pada wanita hamil dengan TBC laten yang
sebelumnya telah diterapi secara adekuat tidak memerlukan terapi profilaksis isoniazid. Akan
tetapi pada kondisi atau lingkungan yang berisiko TBC laten dapat diberikan terapi yang aman
dengan INH (isoniazid) 300 mg sekali sehari atau 2 kali dalam seminggu selama selama 6-12
bulan (kurang lebih 9 bulan), sebaiknya disertai pemberian vitamin B6 (pyridoxine).11
Penatalaksanaan TBC pada wanita hamil harus diberikan secara tepat dan adekuat, serta
mencegah timbulnya efek samping teratogenik pada janin. Pasien TBC aktif dengan sputum BTA
positif diberikan isoniazid, rifampisin, etambutol dan piridoksin selama 9 bulan pada populasi
risiko TBC rendah. Pada populasi dengan risikoTBC tinggi dan adanya resisten obat anti TBC
tinggi perlu penambahan pirazinamid.11,14
Pasien dengan uji tuberkulin positif, sputum BTA negatif, biakan negatif dan foto toraks
menunjukkan infiltrat atau adanya kavitas, diberikan isoniazid, rifampisin, etambutol dan
piridoksin selama 9 bulan. Sedangkan bila pada foto toraks terlihat proses penyakit yang telah
menyembuh (terdapat kalsifikasi pada kelenjar getah bening dan lesi parenkim), dilakukan
observasi pada pasien. Pengobatan diberikan secara tepat setelah melahirkan atau diberi
pengobatan profilaksis dengan isoniazid dan piridoksin selama 9 bulan yang dimulai pada
trisemester kedua kehamilan.11,14
Pasien dengan konversi uji tuberkulin terbaru positif, foto toraks normal serta
pemeriksaan bakteriologis negatif, maka dilakukan observasi selama kehamilan, pengobatan
diberikan setelah melahirkan atau dengan pemberian profilaksis isoniazid dan piridoksin selama
9 bulan dimulai pada trisemester kedua kehamilan. 12,13 Pasien dengan resistensi organisme maka
diberikan isoniazid, rifampisin, etambutol, pirazinamid sesuai dengan uji sensitivitas. Pada
pasien dengan ketidakmampuan mentoleransi isoniazid dan rifampisin, maka diberikan
etambutol atau obat lain yang tersedia.15

Tabel 1. Kelompok risiko tinggi mendapatkan infeksi Tuberkulosis laten.30


Petugas medis
Riwayat kontak dengan pasien TBC
Infeksi HIV
Lahir di luar negeri
Alkoholisme
Pengguna obat-obat terlarang
Narapidana
Gelandangan
From Centers for Disease Control and Prevention (2005a).

2.7.1 Obat Antituberkulosis selama Kehamilan

OAT yang diberikan dibagi atas 2 golongan yaitu obat lini pertama (first line) dan obat
lini kedua (second line). Yang merupakan OAT lini pertama adalah Rifampisin, Isoniazid (INH),
Etambutol (EMB), dan Pirazinamid (PZA), sedangkan yang termasuk OAT lini kedua adalah
Streptomisin, Kanamisin, Etionamid, Kapreomisin, Fluoroquinolones, Amoxycillin/Clavulanic
Acid, Para-Aminosalicylic Acid (PAS), Amikacin, Ethionamide and Prothionamide, serta
Cycloserine.
Rifampisin merupakan obat lini pertama yang terutama bekerja pada sel yang sedang
tumbuh, tetapi juga memperlihatkan efek pada sel yang sedang tidak aktif (resting cell). Bekerja
dengan menghambat sintesa RNA M. tuberculosis sehingga menekan proses awal pembentukan
rantai dalam sintesa RNA. Bekerja di intra dan ekstra sel. Pada konsentrasi 0,005 -0,2 mg/l akan
menghambat pertumbuhan M. tuberculosis secara in vitro. Obat ini juga menghambat beberapa
Mycobacterium atipikal, bakteri gram negatif dan gram positif. Secara in vitro, rifampisin dapat
meningkatkan aktivitas streptomisin dan isoniazid terhadap M. tuberculosis dan juga mempunyai
mekanisme post antibiotic effect terhadap bakteri gram negatif.16 Diabsorpsi dengan baik melalui
saluran cerna, absorpsi rifampisin dapat berkurang bila diberikan bersama makanan. Absorpsi
rifampisin akan berkurang 30% jika diberikan bersama dengan antasida. Pemberian antasida
akan meningkatkan PH lambung dan akan mengurangi proses dissolution rifampisin sehingga
akan menghambat absorpsi. Rifampisin dengan mudah didistribusikan ke sebagian besar organ,
jaringan, tulang, cairan serebrospinal dan cairan tubuh lainnya termasuk eksudat serta kavitas
tuberkulosis paru. Obat ini menimbulkan warna orange sampai merah bata pada urin, saliva,
feses, sputum, air mata dan keringat. Volume distribusi 1 L/kg BB, ikatan protein plasma 60-
80%, waktu paruh 1-6 jam dan akan memanjang bila terdapat gangguan fungsi hepar.
Metabolisme terjadi melalui deasetilasi dan hidrolisis, sedangkan ekskresinya terutama melalui
empedu. Dapat melewati barier plasenta dan dapat dijumpai konsentrasi rendah di ASI.
Rifampisin melewati plasenta dengan kadar yang sama dengan ibu. Pada akhir trismester ke-3
rasio konsentrasi pada tali pusat dan ibu besarnya 0,12 - 0,33. 17 Studi yang dilakukan pada tikus,
hewan pengerat dan kelinci dengan pemberian dosis 2,5 - 10 kali dosis yang masuk ke uterus
tidak menunjukkan peningkatan kelainan kongenital. Pada 442 perempuan hamil yang minum
rifampisin, termasuk 119 perempuan yang terpajan selama trismester pertama tidak terdapat
peningkatan kelainan janin secara bermakna. Beberapa studi yang menunjukkan insidens
malformasi rata-rata 1,8 - 4,4% pada 204 kehamilan. 10,31 Pada kelinci telah dilaporkan terjadi
spina bifida dan cleft palates.17,31 Efek samping ringan dapat timbul pada pemberian rifampisin
antara lain: sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan, sindrom flu berupa demam, menggigil,
nyeri tulang dan sindrom perut berupa nyeri perut, mual, muntah dan kadang-kadang diare. Efek
samping yang berat tetapi jarang terjadi adalah sindrom respirasi, purpura, anemia hemolitik
yang akut, syok dan gagal ginjal. Efek samping ringan sering terjadi pada saat pemberian berkala
dan dapat sembuh sendiri atau hanya memerlukan pengobatan simtomatik. Efek samping pada
bayi baru lahir juga didapatkan hemorrhagic disease of the newborn sehingga dianjurkan
pemberian profilaksis vitamin K.12,18
Isoniazid (INH) menghambat biosintesis asam mikolat yang merupakan unsur penting
dinding sel Mycobacterium. Menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak
yang terekstraksi oleh metanol dari Mycobacterium. Hanya kuman yang peka yang menyerap
obat ke dalam selnya dan proses ini merupakan proses aktif. Bersifat bakterisid, dapat
membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan.16 INH mudah
diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kelarutan INH dalam lemak tinggi, berat
molekul rendah dan melalui plasenta serta mudah mencapai janin dengan kadar hampir sama
dengan ibu. Pada penelitian, setelah pemberian INH dosis 100 mg jangka pendek sebelum
kelahiran didapatkan rasio konsentrasi tali pusat dan ibu sebesar 0,73. Kadar puncak dicapai
dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Di hati, INH terutama mengalami asetilasi, dan
pada manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik (asetilator
cepat/lambat) yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat dalam plasma dan masa
paruhnya. Waktu paruh berkisar 1-3 jam. Mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh.
Antara 75-95%diekskresikan melalui urin dalam waktu 24 jam dan seluruhnya dalam bentuk
metabolit.16 Isoniazid tidak bersifat teratogenik janin, meskipun konsentrasi yang melewati
plasenta cukup besar. Pada studi yang dilakukan pada hewan tidak menunjukkan retardasi
pertumbuhan serta peningkatan malformasi pada tikus dan kelinci dengan dosis 60 kali dosis
manusia.11 Efek samping berat berupa hepatitis dapat timbul pada kurang lebih 0,5 % penderita.
Bila terjadi ikterus, hentikan pengobatan sampai ikterus hilang. Efek samping yang ringan dapat
berupa: tanda keracunan pada saraf tepi, kesemutan, nyeri otot atau gangguan kesadaran. Efek ini
dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin (dengan dosis 5-10 mg per hari atau dengan
vitamin B kompleks). Efek samping pada bayi baru lahir dilaporkan adanya perdarahan
(hemmorrhagic disease of the newborn) sehingga dianjurkan pemberian profilaksis
vitamin K sebelum kelahiran.12,14,16,21
Etambutol (EMB) merupakan inhibitor arabinosyl transferases (I,II,III). Arabinosyl
transferase terlibat dalam reaksi polimerisasi arabinoglycan, yang merupakan unsur esensial
dari dinding sel Mycobacterium. Afinitas terhadap arabinosyl transferase III lebih kuat
dibandingkan lainnya. Arabinosyl transferase digunakan untuk menjadikan EMB-CAB operon.
Hal ini menyebabkan metabolisme sel terhambat dan sel mati. Gangguan sintesis arabinoglycan
mengubah barier sel, lipofilik meningkatkan aktivitas obat yang bersifat seperti rifampisin
dan ofloksasin. Dinding sel Mycobacterium spp sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
kelangsungan hidup organisme di penjamu. Dinding sel Mycobacterium terdiri dari mycolic acid,
arabinoglycan dan peptidoglycan. Dinding sel merupakan lapisan lipid bilayer dan asimetris. 19,31
Hampir semua galur M. tuberculosis dan M. kansasii sensitif terhadap etambutol. Etambutol
tidak efektif untuk kuman lain. Etambutol pada konsentrasi 1-5 ìg/ml akan menghambat
pertumbuhan M.tuberculosis secara in vitro. Etambutol ini tetap menekan pertumbuhan
M.tuberculosis yang telah resisten terhadap isoniazid dan streptomisin. Etambutol dosis 15
mg/kg BB ini hanya aktif terhadap sel yang bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik,
sedangkan pada dosis 25 mg/kg BB bersifat bakterisidal. Penggunaan etambutol tunggal,
ditemukan sputum basil tahan asam (BTA) negatif dalam 3 bulan, tetapi ditemukan resistensi
35% dari kasus dan frekuensi relaps lebih tinggi. Efektivitas pada hewan coba sama dengan
isoniazid. Invivo, sukar menciptakan resistensi terhadap etambutol dan timbulnya lambat.
Resistensi bakteri terhadap etambutol terjadi akibat mutasi embB, embA dan embC, kode untuk
arabinosyl transferase. Resistensi ini timbul bila etambutol diberikan tunggal. Pada pemberian
oral sekitar 75-80% etambutol diserap di saluran cerna. Makanan tidak mempengaruhi absorpsi
obat. Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah pemberian. Dosis tunggal 25
mg/kg BB menghasilkan kadar plasma sekitar 2-5 ìg/ml dalam 2-4 jam, kurang dari 1 ìg dalam
24 jam. Masa paruh eliminasinya 3-4 jam dan dapat memanjang sampai 8 jam pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal. Etambutol secara bebas melewati plasenta dengan cord to
maternal serum ratio adalah 0,75. Penelitian pada kelinci terdapat efek monoftalmia sedangkan
pada tikus terjadi penurunan kesuburan. Rata-rata malformasi yang dilaporkan pada 638 bayi
yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat etambutol selama kehamilan adalah 2,2%. Secara teori
etambutol menyebabkan kemungkinan toksisitas pada mata. Hal ini diyakinkan kembali dengan
penilaian pada 6 janin yang mengalami abortus pada minggu 5 - 12 kehamilan, tidak didapatkan
gangguan pada sistem optik embrional.
Pirazinamid (PZA) adalah suatu prodruk, yang memerlukan konversi enzim
pirazinamidase (dihasilkan oleh mikobakterial tertentu) menjadi bentuk aktif asam pirazinoat,
masuk ke dalam sitoplasma M. tuberculosis secara difusi pasif, mengalami konversi oleh enzim
nikotinamidase/pirazinamidase menjadi bentuk aktif asam pirazinoat (POA).16,31 PZA lebih aktif
terhadap basil tuberkel semidorman karena sistem pompa efluks yang lemah dibandingkan
dengan basil sedang bertumbuh cepat, di mana pompa efluks lebih aktif. Peradangan akut akan
menurunkan pH akibat produksi asam laktat oleh sel-sel inflamasi, hal ini menguntungkan
aktivitas PZA. Berkurangnya peradangan akan meningkatkan pH lingkungan basil tuberkel yang
berakibat pada peningkatan konsentrasi hambat minimal PZA. Kuman dalam keadaan dorman
tidak dapat dipengaruhi karena pada saat itu ambilan PZA tidak terjadi. Banyak penelitian
menyatakan daya sterilisasi obat ini dalam makrofag, dengan konsentrasi ≥ 20μg/ml
menghambat basil tuberculosis intraseluler. Efek bakteriostatik atau bakterisidal terhadap M.
tuberculosis tergantung dosis (konsentrasi PZA), serta lamanya paparan terhadap makrofag yang
terinfeksi M. tuberculosis. Pada berbagai studi dan laporan tidak ditemukan efek teratogenik
yang bermakna pada hewan dan malformasi janin pada pasien yang telah diterapi. 8,10,17,18
Penggunaan PZA pada wanita hamil telah direkomendasikan oleh International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease secara rutin, namun di Amerika dilarang karena tidak adanya
data yang adekuat mengenai efek teratogeniknya. Efek samping utama dari penggunaan obat ini
adalah hepatitis, juga dapat terjadi nyeri sendi dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan
arthritis gout yang kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat.
Pemberian intermiten dapat mengurangi kejadian tersebut. Efek samping lain adalah anoreksia,
mual, muntah, disuri, demam dan reaksi hipersensitivitas.
Streptomisin melewati plasenta dengan cepat sampai ke sirkulasi janin dan cairan amnion
serta mencapai kadar kurang dari 50% dibandingkan kadar ibu. 8, Efek samping yang dilaporkan
dari berbagai studi pada hewan yaitu ototoksisiti. Tuli kongenital telah dilaporkan terjadi pada
bayi yang terpajan selama dalam kandungan, walaupun tidak ada hubungan yang pasti tentang
mekanisme ototoksisiti dengan pajanan selama kehamilan.5,8 Hasil penelitian menggunakan
audiogram menunjukkan 50 anak tidak mengalami gangguan, 2 dari 33 anak dengan kehilangan
pendengaran, sampai 4 dari 13 anak dengan tes kalorifik tidak normal. Hal ini merupakan
kejadian ototoksisiti yang berasal dari pajanan selama dalam kandungan.8 Penelitian lain
menyimpulkan streptomisin dapat menyebabkan kerusakan sistem vestibular dan kerusakan
nervus kranialis ke 8. Pada negara berkembang dianjurkan tidak menggunakan streptomisin
selama kehamilan.12, Dosis streptomisin 0,75 - 1 g/hari selama 14-21 hari selanjutnya 1g 3 kali
seminggu secara intramuscular.
Kanamisin merupakan obat lini kedua dan merupakan variasi dari aminoglikosida,
mempunyai efek samping yang sama dengan streptomisin dan sebaiknya tidak digunakan pada
kehamilan kecuali pada MDR. Dosis yang diberikan 15 mg/kg, BB diberikan 3-5 kali seminggu
intramuscular.,12,21,31 Etionamid mempunyai penetrasi yang baik ke semua jaringan termasuk
cairan serebrospinal. Pada penelitian yang dilakukan pada tikus dan kelinci tidak ditemukan
peningkatan kerusakan system saraf pusat. Pada tikus putih didapatkan efek pada tulang rangka
(dosis 5-10 kali normal) sedangkan terjadi retardasi pertumbuhan pada hewan pengerat.8
Fluoroquinolones (Ciprofloxacin, Gatifloxacin, Moxifloxicin and Norfloxacin) tidak
terbukti meningkatkan kejadian kelahiran abnormal dalam penggunaannya. Akan tetapi pada
percobaan menggunakan binatang dengan ciprofloxacin dilaporkan adanya risiko kerusakan dari
articular cartilage dan subsequent juvenile arthritis dengan penggunaan jangka pendek serta
diperkirakan terjadi kerusakan dari sendi pada penggunaan jangka panjang. Oleh karena itu harus
benar-benar dipertimbangkan dalam penggunaannya.
Amoxycillin/Clavulanic Acid, belum terbukti adanya efek teratogenik pada percobaan
binatang. Amoxycillin/clavulanic acid biasa dipakai pada kehamilan trimester akhir sebagai
profilaksis pada wanita dengan prolonged rupture of membranes tanpa adanya laporan yang
merugikan, akan tetapi tidak banyak laporan pada penggunaan trimester pertama kehamilan.
Amoxycillin/clavulanic acid memiliki peran kecil pada pengobatan wanita hamil dengan MDR-
TB dan tidak cukup tersedia alternatifnya.
Etionamid dinyatakan potensial bersifat teratogenik dan sebaiknya dihindari penggunaan
pada kehamilan kecuali jika dibutuhkan pada kasus MDR-TB. Efek samping lainnya seperti
hepatitis, neuritis optic dan neuritis perifer. Dosis 0,5 - 1 gram/hari dalam dosis terbagi.8,16
Kapreomisin merupakan obat lini kedua yang diberikan secara intramuskular.
Kapreomisin secara umum merupakan kontraindikasi untuk ibu hamil, hanya digunakan dengan
pertimbangan benar-benar terhadap risiko dan kegunaannya. Biasanya obat ini digunakan untuk
MDR-TB 3 kali seminggu. Obat ini dilaporkan bersifat teratogenik pada percobaan
menggunakan tikus yang hamil.
Cycloserine juga merupakan obat lini kedua untuk TBC kehamilan. Obat ini tidak
terbukti bersifat teratogenik pada percobaan menggunakan tikus, akan tetapi tidak cukup bukti
dari studi pada manusia utnutk konfirmasi keamanan obat ini untuk wanita hamil. Oleh karena
itu harus benar-benar dipertimbangkan penggunaannya.
Para-Aminosalicylic Acid (PAS) dilaporkan belum cukup bukti keamanannya pada
pemakaian untuk kehamilan baik studi pada manusia maupun pada binatang. Hanya pernah ada
satu studi dari 123 pasien yang mendapatkan PAS, melaporkan adanya angka kejadian
abnormalitas pada anggota tubuh dan telinga yang lebih tinggi dibandingkan OAT lain. Oleh
karena itu harus benar-benar dipertimbangkan penggunaannya.
Amikacin adalah obat yang tergolong aminoglycosides, yang mana semua obat golongan
ini berpotensi menimbulkan nephrotoxisitas dan ototoxisitas pada fetus dan penggunaannya tidak
direkomendasikan pada wanita hamil. Oleh karena itu penggunaan obat ini pada kehamilan
seharusnya merupakan pilihan akhir setelah benar-benar mempertimbangkan untung ruginya.

2.7.2 Pengobatan TB pada Wanita Menyusui

Konsensus umum menyatakan bahwa meskipun terdapat konsentrasi kecil dari obat
antituberkulosis disekresi lewat air susu ibu, hal ini tidak menjadi kontraindikasi bagi ibu untuk
menyusui anaknya. Konsentrasi dari OAT yang diekskresi lewat ASI ini rendah dan tidak
membahayakan bagi bayi. Bahkan bilamana bayi membutuhkan pengobatan untuk penyakit aktif
yang terjadi pada bayinya atau terapi profilaksis diberikan sesuai guidelines terapi pada anak.
Idealnya ibu dan anak dipisahkan terlebih dahulu sampai terjadi konversi dari BTA
sputum. Akan tetapi hal ini tidak bisa dilakukan terutama di negara berkembang. Oleh karena itu
menyusui tetap dilakukan, yang menjadi kontraindikasi adalah bilamana terjadi tuberculous
breast abscess.

2.8 Pencegahan Tuberkulosis

Vaksin BCG telah menjadi kebijakan imunisasi nasional di banyak negara untuk
memberikan imunitas aktif sejak masa anak, terutama negara dengan beban yang tinggi. Wanita
non-immune yang bepergian ke negara-negara endemik juga harus divaksinasi. Perlu diketahui
bahwa kontraindikasi vaksin BCG adalah wanita hamil.
Pencegahan penyakit TBC tidak hanya berhenti pada vaksin BCG mengingat penyakit ini
merupakan penyakit kemiskinan. Perbaikan kehidupan dengan ventilasi yang baik dan
menghindari kehidupan overcrowded perlu didorong. Perbaikan status gizi merupakan aspek
penting dalam pencegahan. Wanita hamil dengan HIV memiliki risiko lebih tinggi untuk TB
yang akan mempengaruhi outcome maternal dan perinatal.9 Pada tahun 2009, sebanyak 1,1 juta
orang terdiagnosis dengan koinfeksi. Oleh karena itu, pencegahan primer HIV/AIDS merupakan
langkah utama dalam pencegahan tuberkulosis kehamilan. Untuk itu diperlukan uji penapisan
untuk wanita hamil dengan risiko tinggi bahkan pada mereka yang tidak menunjukkan gejala
klinis. Bagaimanapun juga, individualisasi pasien dan keputusan klinis yang rasional diperlukan
untuk memutuskan waktu yang tepat untuk memberikan Isoniazid preventive therapy (IPT) pada
wanita hamil dengan risiko tinggi. Komitmen pemerintah sangat diperlukan sehingga WHO dan
lembaga-lembaga internasional yang terlibat memerangi tuberkulosis berhasil mengusir monster
masyarakat ini.
BAB III

KESIMPULAN

Tuberkulosis tidak mempengaruhi kehamilan dan kehamilan tidak mempengaruhi


manifestasi klinis dan progresitivitas tuberkulosis bila diterapi dengan tepat dan adekuat.
Penggunaan regimen pengobatan yang tepat dan adekuat dapat memperbaiki kualitas hidup ibu
hamil dan menghindari efek samping ke janin dan bayi yang baru lahir. Penggunaan obat
streptomisin dan obat lini kedua dihindari pada wanita hamil karena efek samping terhadap janin,
kecuali dalam keadaan MDR.31
DAFTAR PUSTAKA

Ghosh K, Chowdhury J, Ghosh K. Tuberculosis and female reproductive health.Journal of


Postgraduate Medicine. 2011;57(4):307.

Mnyani C, McIntyre J. Tuberculosis in pregnancy. BJOG: An International Journal of Obstetrics


&Gynaecology. 2011 Jan;118(2):226–31.

Loto OM, Awowole I. Tuberculosis in Pregnancy: A Review. Journal of Pregnancy.


2012;2012:1–7.

The Global Plan to Stop Tb 2011-2015: Transforming the Fight Towards Elimination of
Tuberculosis, World Health Organization, Geneva, Switzerland, 2010.

Kothari A, Girling J. Tuberculosis and pregnancy: result of a study in a high prevalence area in
London. Eur J Obstet Gynecol 2006; 126: 48-55.

Laksmi Maharani, Biran Affandi, Tjandra Yoga Aditama, Joedo Prihartono. Profil perempuan
hamil penderita tuberkulosis di poliklinik tuberkulosis Persatuan Pemberantasan
Tuberkulosis Indonesia Baladewa Jakarta Pusat.Indones J Obstet Gynecol 2009;33-4:210-5
Pathways to Better Diagnostics for Tuberculosis; A Blueprint for Development of TB
Diagnostics, World Health Organization,Geneva, Switzerland, 2009.

A. Gupta, U. Nayak, M. Ram et al., “Postpartum tuberculosis incidence and mortality among
HIV-infected women and their infants in Pune, India, 2002-2005,” Clinical Infectious
Diseases, vol. 45, no. 2, pp. 241–249, 2007.

Anda mungkin juga menyukai