Referat SLE
Referat SLE
REFERAT
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
Disusun oleh :
Arby Shafara Sekundaputra
20090310177
Diajukan kepada :
dr. Arlyn Yuanita, Sp.PD, M.kes
HALAMAN PENGESAHAN
REFERAT
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
Disetujui oleh,
Dosen Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian ilmu Penyakit Dalam
RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo
KATA PENGANTAR
Penulis
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan Penulisan 2
BAB II 3
TINJAUAN PUSTAKA 3
A. Definisi 3
B. Epidemiologi 3
C. Patogenesis 4
D. Manifestasi Klinik 6
E. Penegakan Diagnosis 9
F. Pemeriksaan Penunjang 11
G. Derajat Berat Ringannya Penyakit 12
H. Penatalaksanaan LES Secara Umum 14
I. Lupus Eritematosus Sistemik dalam keadaan khusus 21
J. Prognosis 29
BAB III 31
KESIMPULAN 31
DAFTAR PUSTAKA 32
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang
ditandai dengan terjadinya kerusakan jaringan dan sel-sel oleh auto
antibodi
patogen dan kompleks imun. Penyakit ini merupakan penyakit multisistem
yang
bermanifestasi sebagai “lesi kulit seperti kupu-kupu” di wajah,
perikarditis,
kelainan ginjal, artritis, anemia dan gejala-gejala susunan saraf pusat
1
.
Penyakit ini telah dikenal 150 tahun yang lalu dengan berbagai nama yang
merupakan sinonim dari lupus, seperti yang dikemukakan oleh Hippocrates (460-
370 s.m) sebagai herpes esthiomenos dan herpes ulcerosus dari Amatus Lusitanus
(1510-1568). Hebra pada tahun 1845 telah menemukan adanya suatu seborhea
kongestif yang diyakini adalah suatu lupus eritematosus dengan gambaran seperti
kupu-kupu (butterfly rash) pada daerah pipi dan hidung. Adanya manifestasi
sistemik dan komplikasi serebral yang serius diperkenalkan oleh William
Osler
(1895-1903). Keterlibatan kardiovaskuler seperti adanya vaskulitis dan
endokarditis mural dilaporkan oleh Libman dan Sacks (1923), sedangkan
gambaran patologi glomelurus ginjal diperkenalkan oleh Baehr, Klemperer dan
Schifrin serta Gross, Keith dan Rowntree
2
.
Insiden tahunan LES di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000
penduduk, sementara prevalensi LES di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000
penduduk, dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1
3
. Belum terdapat
data epidemiologi LES yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun
2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus
LES dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam,
sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien LES atau 10.5%
dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama 2010.
Manifestasi klinik dari LES beragam tergantung organ yang terlibat,
dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan
2
klinis yang kompleks, sangat bervariasi dapat ditandai oleh serangan akut, periode
aktif, terkendali ataupun remisi. Berdasarkan berat-ringannya gejala yang muncul,
LES dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu ringan, sedang, dan berat
4
.
Morbititas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi, berdasarkan data
yang diperoleh dari RSCM dari tahun 1990-2002 diperoleh angka kematian pasien
dengan LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun-
tahun pertama mortalitas LES berkaitan dengan aktivitas penyakit dan
infeksi
(termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan
dalam
jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis
5
.
Mengingat manifestasi klinis, perjalanan penyakit LES sangat beragam
dan risiko kematian yang tinggi maka diperlukan upaya pengenalan dini
serta
penatalaksanaan yang tepat, untuk inilah referat ini dibuat.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi,
etiologi, patofisiologi, gejala klinis serta terapi dan prognosis dari
Lupus
Eritematosus Sistemik (LES).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES ) adalah penyakit reumatik autoimun
yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap
organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi
autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan
jaringan
1
.
Sistemik Lupus eritematosus adalah penyakit autoimun sistemik yang
ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan
kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada
beberapa organ tubuh
4
. Perjalanan penyakitnya bersifat episodik (berulang)
yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan
mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi
mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan
kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ
yang terkena. Perjalanan penyakit LES sulit diduga dan sering berakhir
dengan kematian. Karenanya LES harus dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding bila anak mengalami demam yang tidak diketahui penyebabnya,
artralgia, anemia, nefritis, psikosis, dan fatigue. Penyebab terjadinya LES
belum diketahui. Berbagai faktor dianggap berperan dalam disregulasi sistem
imun.
B. Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, LES menjadi salah satu penyakit rematik utama
didunia. Prevalensi LES diberbagai negara sangat bervariasi dan lebih sering
ditemukan pada ras tertentu seperti Negro, Cina dan Filipina. Faktor ekonomi
dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Peyakit ini dapat
4
ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun
(masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibanding dengan pria berkisar
antara 5,5-9 : 1
1
.
Beberapa data yang diperoleh di Indonesia dari pasien yang dirawat
dirumah sakit. Dari 3 peneliti di RSCM Jakarta yang melakukan penelitian
pada periode 1969-1990 didapatkan rerata insidensi ialah 37,7 per 10.000
perawatan. Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per
10.000 perawatan, sedangkan di Medan didapatkan insidensi sebesar 1,3 per
10.000 perawatan
1
.
C. Patogenesis
Patogenesis dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat
banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor
genetik, faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun.
Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan
resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama
gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan
gen respons imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II,
yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang
berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s,
C4,
dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen
yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin
6
.
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan
dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa
gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi
autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi
komponen komplemen, seperti C2, C4, atau C1q14-15. Kekurangan
komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem
fagositosit mononuklear sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan.
5
D. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang
terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan
perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh
serangan akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada
keadaan awal tidak dikenali sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena
manifestasi klinis penyakit LES ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan.
Seseorang dapat saja selama beberapa tahun mengeluhkan nyeri sendi yang
berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh
manifestasi klinis lainnya seperti fotosensitivitas dan sebagainya yang
pada
akhirnya akan memenuhi kriteria LES.
1. Manifestasi konstitusional
1
Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada penderita
LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya,
kelelahan ini sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang mennyebabkan
kelelahan seperti pada anemia, meningkatya beban kerja, konflik kejiwaan,
serta pemakaian obat seperti perdnison. Apabila kelelahan disebabkan oleh
aktivitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar
C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons
terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan juga dijumpai pada penderita LES dan terjadi
dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakan. Penurunan berat
badan ini disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala
gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari
sebab lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40
0
C tanpa
adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis, demam akibat LES biasanya
tidak disertai menggigil.
2. Manifestasi Muskuloskeletal
1
berupa nyeri otot (myalgia), nyeri sendi (atralgia) atau merupakan suatu
artitis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering
kali
dianggap sebagai manifestasi Artritis Rematoid karena keterlibatan sendi
yang banyak dan simetris. Pada LES tidak ditemukan adanya deformitas ,
kaku sendi yang berlangsung beberapa menit dan sebagainya.
Osteoporosis juga ditemukan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit
dan terapi steroid.
3. Manifestasi Kulit
9
Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai
dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat
penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan
dan anemia hemolitik autoimun.
Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80%
kasus. Adanya leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi.
Trombositopenia pada LES ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula-
mula menunjukkan gambaran trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali
kemudian berkembang menjadi LES setelah ditemukan gambaran LES
yang lain.
9. Manifestasi Susunan Saraf
9
10
antinuklear positif
(ANA)
imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan
dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah Rutin dan Urin Rutin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus
Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah pemeriksaan darah rutin dan
pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita LES
menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau
leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama
penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi,
ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu,
hasil pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya
proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast,
heme granular atau sel darah merah pada urin.
2. Pemeriksaan imunologik
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis
LES adalah tes ANA generik.(ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA
dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah
pada LES. Pada penderita LES ditemukan tes ANA yang positif sebesar
95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit
12
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak
diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES
seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes
ANA pada waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran
klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2
sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai LES
umumnya diagnosis LES dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif
adalah tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-
dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan
ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes
spesifik untuk LES, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya
hampir 100%. Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan
diagnosis LES dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat
rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan LES.
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif
menunjang diagnosis LES sementara bila anti ds-DNA negatif tidak
menyingkirkan adanya LES. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% -
30% pasien LES, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang
normal. Tes anti-Sm relatif spesifik untuk LES, dan dapat digunakan untuk
diagnosis LES. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk LES. Seperti
anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis.
G. Derajat Berat Ringannya Penyakit
Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan LES, terutama
menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan
13
pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya
yang dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah
dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan LES.
dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan
aktifitas penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu
apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau
imunosupresif yang agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak
mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ, dapat
diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan
mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi
agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan
lainnya.
2. Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan
LES tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal
penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila
pasien dengan LES dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari
2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-
5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk
mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas • fisik seperti pemberian
panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan
kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas lainnya seperti
transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat
yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.
3. Terapi Konservatif
a) Athritis, athralgia dan myalgia
1
18
4. Terapi Agresif
a) Kortikosteroid
12
Keterangan :
TR : tidak respon
RS : respon sebagian,
RP : respon penuh
OAINS : obat anti inflamasi non steroid,
CYC : siklofosfamid,
NPSLE : neuropsikiatri SLE.
KS : kortikosteroid setara prednison
AZA : azatioprin
MP : metilprednisolon
keadaan remisi 3-6 bulan sebelum konsepsi hanya 7-10% yang mengalami
kekambuhan. Kemungkinan untuk mengalami preeklampsia dan eklampsia
juga meningkat pada penderita dengan nefritis lupus dengan faktor
predisposisi yaitu hipertensi dan sindroma anti fosfolipid (APS).
Penanganan penyakit LES sebelum, selama kehamilan dan pasca
persalinan sangat penting. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
a) Jika penderita LES ingin hamil dianjurkan sekurang-kurangnya setelah
6 bulan aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan remisi
total. Pada lupus nefritis jangka waktu lebih lama sampai 12 bulan
remisi total. Hal ini dapat mengurangi kekambuhan lupus selama hamil.
b) Kontrasepsi untuk LES
12
23
c) Medikamentosa:
1) Dosis kortikosteroid diusahakan sekecil mungkin yaitu tidak
melebihi 7,5 mg/hari prednison atau setara.
2) DMARDs atau obat-obatan lain seyogyanya diberikan dengan
penuh kehati-hatian. Perhatikan rekomendasi sebelum memberikan
obat-obat tersebut seperti tertera pada tabel 3.
samping obat atau gangguan metabolik akibat kerusakan pada organ lain
dalam tubuh.
Pemeriksaan penunjang untuk NPSLE
Tidak ada suatu pemeriksaan ataupun gejala khusus yang dapat membedakan
NPSLE primer atau sekunder. Pada penelitian didapatkan 47% penderita
dengan NPSLE primer tidak menunjukan abnormalitas pada MRI
konvensional. Namun demikian MRI ini dipelurkan untuk menyingkirkan
penyebab lain NPSLE59. Suatu teknik baru yang disebut Magnetization
Transfer Imaging (MTI) yaitu teknik MRI yang dapat memberikan informasi
secara kuantitatif. Alat inilebih sensitif dari MRI konvensional dalam
mendeteksi NPSLE primer, termasuk mendeteksi kelainan otak pada mereka
dengan riwayat NPSLE tanpa gejala aktif NP saat pemeriksaan dilakukan.
4. Lupus Nefritis
12
Ginjal merupakan organ yang sering terlibat pada pasien dengan LES.
Lebih dari 70% pasien LES mengalami keterlibatan ginjal sepanjang
perjalanan penyakitnya. Lupus nefritis memerlukan perhatian khusus agar
tidak terjadi perburukan dari fungsi ginjal yang akan berakhir dengan
transplantasi atau cuci darah.
Bila tersedia fasilitas biopsi dan tidak terdapat kontra indikasi, maka
seyogyanya biopsi ginjal perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis,
evaluasi aktivitas penyakit, klasifikasi kelainan histopatologik ginjal, dan
menentukan prognosis dan terapi yang tepat. Klasifikasi kriteria World
Health Organization (WHO) untuk lupus nefritis sudah diperbaharui oleh
International Society of Nephrolog dan Renal Pathology Society (ISN/RPS)
tahun 2003 Klasfikasi WHO dinilai berdasarkan pola histologi dan lokasi dari
imun kompleks, sementara klasi ikasi ISN/RPS juga membagi menjadi lesi
fokal, difus, aktif, tidak aktif, dan kronis.
27
28
e. Deteksi dini dan terapi agresif terhadap infeksi pada pasien lupus, karena
infeksi merupakan penyebab 20% kematian pada pasien LES
f. Pasien lupus yang mendapat kortikosteroid, diperlukan penilaian risiko
osteoporosis. Pemberian kalsium bila memakai kortikosteroid dalam
dosis lebih dari 7,5 mg/hari dan diberikan dalam jangka panjang (lebih
dari 3 bulan). Suplemen vitamin D, latihan pembebanan yang ditoleransi,
obat-obatan seperti calcitonin bila terdapat gangguan ginjal, bisfosfonat
(kecuali terdapat kontraindikasi) atau rekombinan PTH perlu diberikan.
g. Memonitor toksisitas kortikosteroid, dan agen sitotoksik dengan
parameter berikut : tekanan darah, pemeriksaan darah lengkap, trombosit,
kalium, gula darah, kolesterol, fungsi hati, berat badan, kekuatan otot,
fungsi gonad, dan densitas massa tulang. Hal ini dimonitor sesuai dengan
situasi klinis dimana dapat diperkirakan dampak buruk dari
kortokosteroid.
h. Pasien dianjurkan untuk menghindari obat anti inflamasi non steroid,
karena dapat mengganggu fungsi ginjal, mencetuskan edema dan
hipertensi serta meningkatkan risiko toksisitas gastrointestinal (apalagi
bila dikombinasi dengan kortikosteroid dan obat imunosupresan lainnya).
Bila sangat diperlukan, maka diberikan dengan dosis rendah dan dalam
waktu singkat, dengan pemantauan yang ketat.
i. Kehamilan pada pasien lupus nefritis aktif harus ditunda mengingat
risiko morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janin, termasuk kejadian
gagal ginjal juga meningkat.
J. Prognosis
Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat.
Apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas pada
pasien dengan LES telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955,
tingkat kelangsungan hidup penderita mencapai 5 tahun pada LES kurang
dari 50%. Saat ini, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun
terakhir rata-rata melebihi 90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita
30
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
5. Urowitz MB, Bookman AAM, Koehler BE, Gordon DA, Smythe HA,
Ogryzlo MA. 1976. The Bimodal Mortality Pattern of Systemic Lupus
Erythematosus. Am J Med;60:221-225.
6. Mok CC, Lau CS. 2003. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus page.
J Clin Pathol; 481-490.
7. McMurry RW, May W . 2003. Sex hormones and systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum; 2100-2110
8. Kanda N, Tamaki K. 1999. Estrogen enhances immunoglobulin production
by human peripheral blood mononuclear cells. J Allergy Clin Immunol; 282-
288
9. D’Cruz D, Espinoza G, Cervera R. 2010. Systemic lupus erythematosus:
pathogenesis, clinical manifestations, and diagnosis. [cited 2011 Dec 7].
Available from
http://www.eular.org/myuploaddata/files/Compendium_sample_chapter.pdf
10. Tan EM, Cohen AS, Fries JF, Masi AT, McShane DJ, Roth• ield NF, et
al.
1982. The 1982 revised criteria for the classification of systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum; 1271-1277
33