Anda di halaman 1dari 43

I.

Gambaran Umum Wilayah


A. Keadaan Geograf
Sragi adalah sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten
Pekalongan Provinsi Jawa Tengah. Berupa wilayah dataran rendah
dengan tinggi 9 mdpl. Memiliki luas lahan sawah 2192,84 ha dan lahan
bukan sawah 1047,07 ha. Memiliki 17 desa yaitu : Bulak Pelem,
Bulaksari, Gebangkerep, Kalijambe, Kedungjaran, Ketanon Ageng,
Klunjukan, Krasakageng, Mrican, Purwodadi, Purworejo, Sijeruk, Sragi,
Sumub Kidul, Sumub Lor, Tegal Suruh, Tegal Lontar.

Gambar 1. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Sragi


B. Demograf
Jumlah penduduk : 60.665 jiwa
Jumlah laki laki : 30.032 jiwa
Jumlah perempuan : 30.633 jiwa
Jumlah rumah tangga : 19.136 KK
Rata rata jiwa/RT : 3,31
Kepadatan penduduk : 1582,4 jiwa/km2
C. Data Penyakit
Penyakit tropis adalah penyakit yang menjangkit pada area tropis
meliputi penyakit menular dan tidak menular, infeksius maupun
noninfeksius. Jenis penyakit tropis yang menular dan infeksius :
1. Bakteri : TBC, Difteri, Tetanus, Kusta
2. Virus : DBD, Campak, Hepatitis, HIV
3. Parasit : Malaria, Filariasis, Kecacingan

Berdasarkan data profl kesehatan kabupaten Pekalongan tahun


2015 menyebutkan :
Tabel 1. Kasus TB Paru
BTA + Keseluruhan
Laki Perempu Jumlah Laki peremp jumlah
laki an laki uan
PUS I 8 6 14 15 13 28
PUS II 10 17 27 19 17 36
Dari tabel tersebut diketahui bahwa proporsi jumlah
kasus TB Paru paling banyak ditemukan di puskesmas II
dengan jumlah kasus sebanyak 27 untuk kasus BTA + dan 36
untuk kasus keseluruhan.

Tabel 2. Penemuan Kasus TB Paru


Suspek BTA +
Laki Perempu jumlah Laki peremp jumlah
laki an laki uan
PUS I 55 58 113 8 6 14
PUS II 69 71 140 10 17 27
Dari tabel tersebut diketahui bahwa proporsi jumlah
suspek paling banyak ditemukan di puskesmas II dengan
jumlah sebnyak 140 kasus.

Tabel 3. Kesembuhan dan Pengobatan TB Paru


BTA + Keberhasilan
Laki peremp jumla Kesembu Pengobat
laki uan h han an
PUS I 5 4 9 100% 100%
PUS 17 8 25 100% 100%
II
Dari tabel tersebut diketahui bahwa penanganan TB
Paru sudah baik dengan angka kecakupan 100 %.

Tabel 4. Target Temuan Kasus Diare

Jumlah Target Temuan Ditangani


L P Jumlah
PUS I 663 300 545 845
PUS II 754 380 515 895
Dari tabel tersebut diketahui jumlah kasus yang
ditangani lebih besar dari pada prediksi target temuan.

Tabel 5. Kasus Kejadian Kusta Berdasarkan Jenisnya

Kusta Kering Kusta Basah Kering +


Basah
L P juml L P juml L P J
ah ah
PUS I 1 2 3 0 7 7 1 9 10
PUS II 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Dari tabel tersebut diketahui kasus kusta basah paling
banyak mengidap masyarakat di wilayah kerja puskesmas I
dengan angka temuan 7 orang.

Tabel 6. Kematian Akibat DBD

Kasus DBD Meningg


al
L P juml
ah
PUS I 2 2 4 0
PUS II 3 4 7 0
Dari tabel tersebut diketahui kasus DBD ada namun
belum menyababkan kematian.

Tabel 7. Jumlah Kasus Baru Filariasis


Kasus Baru
L P Jumla
h
PUS I 2 0 2
PUS II 3 2 5
Dari tabel tersebut diketahui angka flariasis paling
banyak ditemukan di wilayah kerja puskesmas II dengan kasus
temuan 5 orang.
D. Hasil Observasi
Observasi awal dilakukan pada hari kamis (8/3) dengan
agenda meminta data 10 besar penyakit dan desa paling tedampak
sakit ke Puskesmas Sragi I. Data terlampir. Observasi kedua
dilakukan pada hari Sabtu (10/3) dengan agenda pemotretan
masalah kesehatan di empat desa yaitu : Kedungjaran, Bulakpelem,
Klunjukan dan Tegal Lontar. Hasil pemotretan menujukkan beberapa
masyarakat masih melakukan BABS di sungai, sedangkan untuk
kondisi air sungai terlihat keruh dengan warna cokelat putih. Di
beberapa irigasi persawahan kami juga menemukan sumbatan
sampah yang menyebabkan air menggenang. Saat pejalanan
kembali setelah observasi kami melihat ada satu rumah yang
terendam banjir tepat disebelah proyek pembangunan jalan Tol.

II. Jenis Penyakit Tropis


A. TBC
1. Gambaran Umum TB Paru
a. Defnisi
Penyakit TB Paru adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis, yang masih keluarga besar
ganus Mycobacterium. Diantara lebih dari anggota keluarga
mycobacterium yang diperkirakan lebih dari 30 buah, hanya 3
yang dikenal bermasalah dengan kesehatan masyarakat. Mereka
adalah mycobacterium bovis dan kalau mycobacterium leprae
adalah penyakit kusta yang sudah ratusan tahun, M bovis
dikenal karena sering berada pada susu sapi yang tidak dimasak
dengan baik. (Achmadi, 2005). Tidak semua orang yang
terinfeksi Mycobacterium Tuberculosis akan menjadi sakit TB.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi imunitas tubuh
menurun sehingga mudah menjadi TB aktif. , Misal : malnutrisi ,
infeksi HIV, dibetes, penggunaan obat imunosupresif lain dalam
jangka panjang.
Tuberculosis paru adalah penyakit infeksius yang terutama
menyerang penyakit parenkim paru (Brunner& Suddarth, 2002).
Tuberculosis adalah suatu penyakit infeksius yang menyerang
paru-paru yang secara khas yang ditanadai oleh pembentukan
granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Penyakit ini
bersifat menahun dan dapat menular dari penderita kepada
orang lain (Santa, dkk, 2009).
Menurut WHO (1999), di Indonesia setiap tahun terjadi 583
kasus baru dengan kematian 130 penderita dengan tuberkulosis
positif pada dahaknya. Sedangkan menurut hasil penelitian
kusnindar 1990, Jumlah kematian yang disebabkan karena
tuberkulosis diperkirakan 105,952 orang pertahun. Kejadian
kasus tuberkulosa paru yang tinggi ini paling banyak terjadi pada
kelompok masyarakat dengan sosio ekonomi lemah. Terjadinya
peningkatan kasus ini disebabkan dipengaruhi oleh daya tahan
tubuh, status gizi dan kebersihan diri individu dan kepadatan
hunian lingkungan tempat tinggal.
Tuberkulosis dibedakan menjadi TB Paru dan ekstra paru
berdasarkan orang yang terkenanya. Tuberkulosis ekstra paru
dibedakan berdasarkan organ yang terkena yaitu : limfadenitis
TB, Pleuritis TB, Peritonitis TB, TB tulang dan sendi, Miliari TB,
meningitis TB.
b. Prevalensi
WHO memperkirakan pada saat ini Indonesia
merupakan adalah urutan keempat dengan kasus TB Paru
terbanyak pada tahun 2010 setelah India, China, dan Afrika
Selatan. Prevalensi kasus TB Paru di Indonesia sebesar
244/100.000 dan insidensi untuk semua tipe TB Paru adalah
228/100.000. Insidensi kasus TB Paru – BTA positif sebesar
102/100.000 dan angka kematian mencapai 39 kasus/100.000
atau sekitar 250 orang/hari. Fakta tersebut didukung oleh
kondisi lingkungan perumahan, dan social ekonomi
masyarakat (WHO, 2009).
Setiap tahun terdapat 583 ribu kasus baru TB Paru di
Indonesia. Prevalensi Tuberculosis Paru – BTA positif di
Indonesia dikelompokkan dalam tiga wilayah yaitu Sumatera,
Jawa, dan Bali. Prevalensi tuberculosis di wilayah Sumatera
sebesar 160/100.000 penduduk. Prevalensi tuberculosis di
wilayahJawadan Bali sebesar 110/100.000 penduduk.
Prevalensi tuberculosis di wilayah Indonesia di bagian timur
sebesar 210/100.000 penduduk (Depkes,2008) . Ditemukan
cakupan semua kasus TB Paru di daerah Jawa Tengah
mencapai 39.238 penderita(DinkesJawa Tengah,2011).

c. Penularan

Gambar 2. Proses penularan Mycobacterium Tuberculosis melalui


droplet (Nature; 2012)

Penularan tuberculosis dari seseorang penderita


ditentukan oleh banyaknya kuman yang terdapat dalam paru-
paru penderita, pesebaran kuman tersebut diudara melalui
dahak berupa droplet. Penderita TB-Paru yang mengandung
banyak sekali kuman dapat terlihat (penderita bta positif)
adalah sangat menular.
Penderita TB Paru BTA positif mengeluarkan kuman-
kuman ke udara dalam bentuk droplet yang sangat kecil pada
waktu batuk. Droplet yang sangat kecil ini mongering dengan
cepat dan menjadi droplet yang mengandung kuman
tuberkulosis. Dan dapat bertahan diudara selama beberapa
jam.
Droplet yang mengandung kuman ini dapat terhiru
poleh orang lain. Jika kuman tersebut sudah menetap dalam
parudari orang yang menghirupnya, maka kuman mulai
membelah diri (berkembangbiak) dan terjadilah infeksi dari
satu orang keorang lain (Kusnindar, 1990). Dalam penularan
ada dua macam infeksi yaitu :
1) Infeksi primer

Terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan


kuman TB Paru. Droplet yang terhirup ukurannya sangat
kecil, hingga da pat melewati mukosilier bronkus dan terus
berjalan sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi
dimulai saat kuman TB PARU berhasil berkembang biak
dengan cara membelah diri di Paru, yang mengakibatkan
peradangan pada paru, dan ini disebut komplek primer.
Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan
komplek primer adalah sekitar 4 - 6 minggu. Kelanjutan
setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya
kumanyang masuk dan besarnya respon daya tahan
(imunitas seluluer). Pada umumnya reaksi daya tahan
tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman
TB Paru. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan
menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur),
kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam
beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita
TB Paru. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai
terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6
bulan.

2) Infeksi Pasca Primer

TB Paru pasca primer biasanya terjadi s etelah beberapa


bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena
daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau
status gizi buruk. Ciri khas dari TB Paru pascaprimer adalah
kerusakan Paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau
efusi pleura (Brown, Harold. 1983).
2. Determinan Faktor
a. Faktor Agent
Menurut Soeharsono (2005:30) TB disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, bakteri gram positif, berbentuk
batang halus, mempunyai sifat tahan asam dan aerobic.
1) Bentuk
a) Batang halus
b) Ukuran panjang 1-4 um
c) Tebal 0.3 – 0.6 um
2) Sifat-sifat biakan
a) Kuman bersifat aerob yaitu organisme yang melakukan
metabolisme dengan bantuan oksigen
b) Sifat pertumbuhan lambat ( waktu genarasi 2-6
minggu), sedangkan koloninya muncul pada pembiakan
2-6minggu
c) Suhu optimum pertumbuhan pada 37˚C dan pH
optimum 6,4 sampai 7.
d) Tumbuh subur pada biakan (eugonik), adapun
perbenihannya dapat diperkaya dengan penambahan
telur, gliserol, kentang, daging, ataupun asparagin.
3) Siklus hidup

Bakteri Mycobacterium tuberculosis dapat tahan hidup


diudara kering maupun dalam keadaan dingin atau dapat
hidup bertahun-tahun dalam lemasri es. Hal ini dapat
terjadi apabila kuman berada dalam sifat dormant (tidur).
Mycobacterium tuberculosis memiliki sifat tidak tahan
panas serta akan mati pada suhu 6˚C selama 15-20 menit.
Dalam dahak, bakteri ini dapat bertahan selama 20-30 jam.
Basil yang berada dalam percikan bahan dapat bertahan
hidup 8-10 hari. Biarkan basil ini apabila berada dalam
suhu kamar dapat hidup 6-8 bulan dan dapat disimpan
dalam lemari dlam suhu 20˚C selama 2 tahun.
Mycobacterium tahan terhadap berbagai khemikalia dan
disinfektan antara lain phenol 5%, asam sulfat 25%, asam
sitrat 3%, dan NaOH 4%. Basil ini dihancurkan oleh jodium
tinctur dalam 5 menit, dengan alkohol 80%akan hancur
dalam 2-20 menit (Hiswani M.Kes, 2010) .

Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri aerob,


oleh karena itu pada kasus TBC biasanya ditemukan pada
daerah yang banya udaranya. Mikobakteria mendapat
energi dari oksidasi berbagai senyawa karbon sederhana.
Aktivitas biokimianya tidak khas, dan laju pertumbuhannya
lebih lambat dari kebanyakan bakteri lain karena sifatnya
yang impermeable, sehingga penggandaannya hanya
berlangsung setiap kurang lebih 18 jam. Karena
pertumbuhannya yang lamban, seringkali sulit untuk
mendiagnostik ruberculosis dengan cepat. Bentuk saproft
cenderung tumbuh lebih cepat, berkembang biak dengan
baik pada suhu 22-23˚C, menghasilkan lebih banyak
pigmen, dan kurang tahan asam dari pada bentuk yang
pathogen. Mikobakteria cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam
ditempat yang gelap dan lembab.

b. Faktor Host
1) Umur
Menurut golongan umursekitar 75% pasien TB adalah
kelompok umur yang paling produktif secara ekonomis (15-50
tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan
kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal
tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan
rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB,
maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Hal
itu dikarenakan pada usia 15-55 ( usia produktif ) mempunyai
aktivitas yang sangat padat sehingga resiko terkena bakteri
mycobacterium tuberculosis sangat besar , selain itu sifat dari
bakteri inilah yang reaktifan endogen yaitu bakteri akan aktif
kembali saat host sudah berusia tua.
2) Jenis kelamin
Jenis kelamin laki laki 6x lebih beresiko terkena penyakit
TB paru dimana kebanyakan laki laki merokok dan
mengkonsumsi alkohol dibandingkan wanita. Merokok dan
konsumsi alkohol dapat menyebabkan imunitas tubuh
berkurang dan mudah terserang berbagai agent penyakit
selain itu pria berhubungan dengan kegiatan yang sering
bermigrasi ketika mencari pekerjaan dan waktu kontak lebih
banyak dengan orang lain sehingga meninkatkan kemunkinan
tepapar basil.
3) Pendidikan
Tingkat pendidikan yang diperoleh seseorang
mempengaruhi pengetahuan seseorang. Makin tinggi tingkat
pendidikan seseorang makin tinggi pula tingkat pengetahuan
tetang kesehatan terutama dalam upaya pencegahan
penyakit seperti penyakit tuberkulosis. Pendidikan yang
rendah sangat mempengaruhi dalam mendeteksi penyakit hal
ini merupakan salah satu hambatan yang menyebabkan
kegagalan dalam pengobatan dan pemberantasan
tuberkulosis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pendidikan rendah mempunyai kemungkinan 1,49 kali untuk
terjadinya penyakit tuberkulosis dibandingkan dengan
pendidikan tinggi. (Yanti, 2005).
4) Pekerjaan
Dalam hubungannya dengan kemungkinan terjadinya
suatu penyakit, pekerjaan dapat berpengaruh langsung
maupun tidak langsung. Penyakit karena debu misalnya
silicosis paru, merupakan akibat langsung terhadap para
pekerja. Sedangkan pengaruh tidak langsung dapat terjadi
apabila lingkungan sosial ekonomi kurang baik biasanya
tingkat penghasilannya pun rendah, hal ini merupakan salah
satu penyebab kurang dimanfaatkannya pelayanan kesehatan
yang ada, mungkin karena tidak cukup uang untuk membeli
obat, transportasi dan sebagainya (Astuti, 1998).
5) Status gizi
Nutrisi adalah faktor penentu fungsi sistem tubuh dan
sitsem imun. Sistem kekebalan dibuthkn manusia sebagai
proteksi terhadap penyakit atau infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme. Biladaya tahan tubuh sedang menurun
bakteri tb paru akan mudah masuk kedalam tubuh manusia
yang terhirup dan mngumpul di paruparu. Sebaliknya apabila
daya tahan tubuh baik maka kuman akan tertidur. Jadi makin
rendah sistem imun tubuh maka semakin besar kemungkinan
terserang penyait.
c. Faktor Lingkungan
1) Lingkungan Umum

Adalah agregat dari seluruh kondisi lingkungan dan


pengaruh-pengaruh luar yang mempengaruhi kehidupan
dan perkembangan bakteri TBC Linkungan Non Fisik yaitu
Kemiskinan. Keadaan ini berkaitan dengan perumahan
yang terlampau padat atau kondisi lingkungan kerja yang
buruk akan menurunkan daya tahan tubuh dan
memudahkan terjadinya infeksi.

2) Lingkungan khusus

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di daerah


Sragi Kabupaten Pekalongan ditemukan faktor – faktor
lingkungan yang dapat memacu adanya TB paru, seperti :

a) Kondisi rumah

Kondisi rumah di sekitar Wilayah Kecamatan Sragi


masih banyak yang tidak memenuhi syarat sebagai
Rumah sehat, seperti kurangnya ventilasi, jenis lantai,
kelembaban udara. Ruangan disetiap sudut rumah harus
menyenangkan, menyehatkan dan tidak berbau
sehingga Rumah yang sehat harus memiliki kondisi
rumah yang memenuhi syarat rumah sehat dan
memadai untuk proses pergantian udara.
b) Kepadatan penduduk

penduduk di Wilayah Kecamatan Sragi dapat


dilihat dengan lingkungan rumah penduduk yang saling
berdekatan, dan tidak jauh dari persawahan sehingga
jika ada yang menderita kemungkinan besar
tetangga / keluarga beresiko tertular.

3. Pengendalian TB

Dalam sejarah pemberantasan TB di Indonsia tidak hanya


terfokus pada TB Paru saja, namun mencakup seluruh jenis TB.
Inisiasi pengendalian TB di Indonesia dapat ditelusuri sejak masa
pra-kemerdekaan. untuk pengendalian TB paru ada beberapa
strategi yaitu :

a. Perbaikan Ventilasi dan sanitasi lingkungan.


b. Nutrisi yang adekuat sesuai dengan tingkat pertumbuhan
c. Pemberian imunisasi BCG
d. Pendidikan kesehatan, ajarkan bahwa meludah disembarang
tempat tidak baik dan kotor.
e. Pemeriksaan kasus sedini mungkin dengan pemeriksaan
sputum pada pasien dengan batuk berdahak lebih dari 3
minggu.
f. Penemuan kasus Aktif dan Pasif. Aktif dengan mengunjungi
rumah-rumah penduduk dam memriksakan sputum mereka.
Pasif dengan memberikan pengobatan yang adekuat pada
pasienTBC yang dating ke Puskesmas,RS, Poliklinik.
g. Pemberian pengobatan atau terapi yang adekuat
h. Pengobatan berlangsung 6-8 bulan dengan menggunakan
terapi Rifampisin dan Pirazinamide.
i. Memberikan pendidikan kesehatan pada pasien TBC tentang
penularan ke orang lain.
j. Pengembangan kebijakan, pedoman pencegahan dan
pengendalian infeksi dalam penanganan TB dan
implementasinya;
k. Keberlangsungan sumber daya yang memadai untuk
mengatasi kesenjangan dalam pembiayaan pengendalian TB
melalui dukungan lembaga donor danpemerintah setempat;
B. Diare
1. Gambaran Umum
a. Pengertian
Diare adalah keluarnya tinja yang berbentuk lebih cair
dengan frekuensi lebih dari tiga kali sehari atau terjadi lebih
sering dari biasanya, yang umumnya merupakan gajala infeksi
saluran cerna yang disebabkan oleh mikroorganisme akibat
kontaminasi makanan, air minum, ataupun langsung dari
orang ke orang akibat dari kurangnya sanitasi (WHO, 2016).
Hippocrates mendefnisikan diare sebagai buang air besar
dengan frekuensi yang tidak normal atau cenderung
meningkat diikuti dengan konsentrasi tinja yang lebih lembek
atau cair (Suharyono, 2008). Diare juga diartikan sebagai
kondisi hilangnya cairan dan elektrolit dalam jumlah banyak
melalui feses pada tubuh yang umumnya dikarenakan adanya
kelainan penyerapan usus halus (Sodikin, 2011).

b. Etiologi

Etimologi atau penyebab kejadian diare dapat berupa


agen biologi seperti mikroorganisme maupun agen kimia.
Pada dasarnya, diare secara klinis dapat disebabkan oleh
infeksi, malabsorbsi, alergi, keracunan, defsiensi imunisasi
dan sebab lainnya, namun penyebab yang paling umum
ditemukan adalah diare yang disebabkan oleh infeksi atau
diare infeksius dan keracunan akibat bahan kimia tertentu
(Koletzko & Osterrieder, 2009). Diare infeksius merupakan
suatu gejala akibat adanya infeksi pada saluran pencernaan
yang disebabkan oleh berbagai macam organisme seperti
bakteri, virus, maupun parasit (WHO, 2013).

c. Gejala Klinis

Tanda diare terbagi menjadi dua, yaitu gejala umum dan


spesifk. Sebagian besar kasus diare pada dasarnya memang
memiliki gejala yang umum, namun terdapat beberapa kasus
memiliki gejala yang khas akibat infeksi patogen tertentu.
Adapun gejala umum diare diantaranya adalah berak cair
atau lembek yang terkadang tercampur dengan darah dan
diikuti dengan muntah, demam, dan dehidrasi (Koletzko &
Osterrieder, 2009). Gejala spesifk diare terjadi pada infeksi
akibat patogen tertentu. Contohnya adalah gejala akibat
infeksi Vibrio cholerae yang berupa diare hebat dengan
warna tinja seperti cucian beras dan berbau amin hingga
mencapai 20 liter per hari (Widoyono, 2011: Gillespie &
Bamford, 2009). Pada infeksi Shigella, gejala khas
diantaranya adalah tinja yang mengandung darah dan
berlendir (CDC, 2015). Gejala yang hampir sama juga terjadi
pada beberapa kasus infeksi akibat patogen E. Coli (WHO,
2011).

d. Dampak

Dampak yang dapat ditimbulkan dari penyakit diare :


kehilangan cairan dan elektrolit (dehidrasi), gangguan
keseimbangan asam basa, hipoglikemia, gangguan gizi,
gangguan sirkulasi (Maryuani, 2006).

2. Determinan
a. Agen
1) Virus
Merupakan penyebab diare akut terbanyak pada anak
(70-80%). Beberapa jenis virus penyebab diare akut
antara lain Rotavirus serotype 1,2,8 dan 9 pada
manusia, Norwalk virus, Astrovirus (tipe 40,41), Small
bowel structured virus, Cytomegalovirus.
2) Bakteri
Enterotoxigenic E. Coli, Enteropathogenic E. Coli,
Enteroaggregative E. Coli, Enteroinvasive E. Coli,
Enterohemorrhagic E. Coli, Shigella sap.,
Campylobacter jejuni, Vibrio cholerae.
3) Protozoa
Giardia lamblia, Entamoeba histolitika,
Cryptosporadium, Microsporidium sap., Isospora beli,
Cyclospora cayatanensis.
4) Helminths
Strongyloides stercoralis, Schistosoma sap., Capilaria
philippinensis, Trchuris trichuria (Zulkifli, 2015).
b. Host
1) Prilaku
a) Perilaku Memcuci Tangan
Perilaku memcuci tangan yang tidak benar dapat
menjadi salah satu faktor risiko kejadian diare.
Berdasarkan hasil penelitian kasus kontrol terhadap
diare pada balita, perilaku mencuci tangan pada yang
tidak sesuai dengan ketentuan WHO merupakan faktor
risiko yang berpengaruh terhadap kejadian diare pada
balita dengan nilai odds ratio 2,77 (CI 95% 1,3-5,890)
(Abdullah, et al., 2012).

b) Praktek Pengolahan Makanan


Selain ditularkan melalui air, diare juga dapat
ditularkan melalui makanan yang terkontaminasi.
Sanitasi yang buruk dalam praktek pengelolaan
makanan dapat menjadi faktor yang dapat
meningkatkan risiko kejadian diare (Yassi, et al., 2001).
2) Pengetahuan
Pengetahuan seseorang tentang suatu objek
mengandung dua aspek, yaitu aspek positif dan
negatif. Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap
seseorang semakin banyak aspek positif dan objek
yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin
positif terhadap objek tertentu, dalam hal ini adalah
objek kesehatan (Dewi & Wawan, 2010).
3) Malabsorsi
Keadaan tubuh yang tidak dapat mencerna
beberapa zat gizi dengan baik seperti : malabsorsi
lemak, laktosa, karbohidrat, makan basi, beracun, atau
alergi terhadap makanan tertentu.
4) Psikologi
Faktor ini meliputi rasa takut dan cemas.
Walaupun jarang dapat menimbulkan diare terutama
pada anak yang lebih besar.
5) Status Gizi
Penderita diare yang sebelumnya sudah memiliki
gangguan gizi (malnutrisi) umumnya berisiko untuk
mengalami diare yang lebih berat (Widoyono, 2011).
Hasil penelitian terhadap kejadian diare pada balita di
beberapa rumah sakit besar di Makassar menunjukkan
bahwa status gizi yang buruk pada berpengaruh
terhadap kejadian diare (OR= 5,39 CI 95% 2,72-10,82)
diakibatkan oleh gejala Shigellosis yang berulang
(Abdullah, et al., 2012).
6) Status Ekonomi Keluarga
Status ekonomi keluarga sering kali dikaitkan
dengan kejadian suatu penyakit, salah satunya adalah
diare. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk
membuktikan faktor ini hubungannya dengan kejadian
diare pada anak balita. Dari dua hasil penelitian
membuktikan bahwa status sosial ekonomi keluarga
berpengaruh sigifkan sebagai salah satu faktor risiko
diare pada bayi dan balita, dengan simpulan bahwa
diare dengan lebih sering muncul pada bayi dan balita
yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi
keluarga rendah atau miskin (Abdullah, et al., 2012).
Hasil penelitian lainnya yang dilakukan dengan
melakukan analisa multivariat data Riskesdas tahun
2007 menunjukkan bahwa prevalensi diare 1,6 kali
lebih tinggi pada daerah kabupaten/kota yang
penduduknya miskin (Trihono & Gitawati, 2009).
c. Lingkungan
1) Air Minum
Air minum yang terkontaminasi dapat menjadi media
penularan diare. Hal ini diakibatkan oleh sumber air
minum yang tidak aman sehingga menjadi salah satu
faktor risiko penyakit diare. Studi yang dilakukan di Kota
Manado menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang
positif antara sumber air minum yang ditinjau dari segi
akses maupun kualitasnya terhadap insidens diare (r =
0,351, p<0,05). (Sumampouw, et al., 2015).
Adapun sumber air minum sebagai berikut : sumur gali,
sumur pompa, mata air, sungai, dan tadah hujan.
2) Jamban
Jamban sehat adalah fasilitas pembuangan tinja yang
dapat mencegah kontaminasi ke badan air, mencegah
kontak antara manusia dan tinja, membuat tinja
tersebut tidak dapat dihinggapi serangga dan binatang
lainnya, mencegah bau yang tidak sedap serta
konstruksi dudukannya dibuat dengan baik, aman dan
mudah dibersihkan (World Bank, 2009). Penggunaan
jamban keluarga yang tidak bersih dan tidak sesuai
dengan syarat kesehatan dapat mengundang lalat atau
vektor lainnya untuk membawa patogen penyebab diare
(Wandasari, 2013).
3) Daerah Rawan Banjir
Bencana ini seringkali menjadi penyebab masalah
terutama di daerah-daerah yang masih berkembang, di
antaranya adalah yang timbul setelah kejadian banjir,
seperti peningkatan kejadian diare (termasuk kolera dan
disentri), infeksi saluran pernafasan, hepatitis A dan E,
demam tifoid, leptospirosis, dan penyakit bawaan
serangga. Selain itu, gangguan gizi buruk juga dapat
dialami karena kurangnya sediaan makanan atau terjadi
pencemaran pada makanan yang dikonsumsi sehingga
berefek terhadap timbulnya penyakit (Ohl & Tapsell,
2000).
4) Sampah
Sampah adalah sumber penyakit dan tempat
berkembang biaknya vektor penyakit seperti lalat,
nyamuk, tikus, kecoa dan lain-lain. Selain itu sampah
dapat mencemari tanah dan menimbulkan gangguan
kenyamanan dan estetika seperti bau yang tidak sedap
dan pemandangan yang tidak enak dilihat.
5) iklim
Diare merupakan salah satu masalah kesehatan yang
dapat dipengaruhi oleh kondisi iklim. WHO menyatakan
bahwa diperkirakan pada tahun 2030 hingga tahun
2050, perubahan iklim dapat menyebabkan 250.000
kematian tambahan pertahunnya salah satunya
diakibatkan oleh diare (WHO, 2016). Adapun unsur-
unsur iklim yang mempengaruhi diare :
a) Curah Hujan
Curah hujan yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah
dapat berpengaruh terhadap kejadian diare. Hasil studi
di Peru menunjukkan bahwa pada musim hujan terjadi
peningkatan kasus diare hingga 12% (Athena & Anwar,
2014). Hasil penelitian di Bangladesh menunjukkan hasil
bahwa setiap minggunya jumlah kasus diare non kolera
mengalami peningkatan 5,1% setiap meningkatnya
curah hujan sebesar 10mm di atas baku mutu yaitu
52mm. Sebaliknya, jumlah kasus diare tersebut juga
mengalami peningkatan 3,9% setiap penurunan 10mm
curah hujan dari baku mutu (Hashizume, et al., 2007).
b) Suhu Udara Ambien
Kondisi suhu ambien udara dapat berpengaruh terhadap
kejadian diare. Hasil penelitian di Peru menunjukkan
bahwa setiap peningkatan suhu udara 1oC pada musim
kemarau diikuti dengan peningkatan kasus diare
sebesar 4%. Penelitian lain di Fiji menunjukkan bahwa
setiap peningkatan 1oC suhu ambien dapat
meningkatkan kasus diare sebesar 3% (Athena & Anwar,
2014).
3. Penanggulangan
Terdapat beberapa konsep terhadap strategi penanggulangan
penyakit, yaitu menurut kausanya, natural hisrorinya dan
bentuk intervensinya. Pada penulisan kali ini lebih berfokus
pada menurut kausanya (Determinan).
a. Agen
Secara konseptual untuk menanggulangi diare yang
disebabkan agen menggunakan strategi proteksi, untuk
meminimalisir keterpaparan. Baik secara individu
dengan menjaga kebersihan perseorangan, memilih
makan yang akan dikonsumsi, beretika dalam
membuang tinja, sampah dan residu lainnya. Maupun
secara kelompok dengan menjaga kebersihan
lingkungan, mentaati peraturan yang berhubungan
dengan lesehan lingkungan, mengawasi keluarga
masyarakat dari peredaran produk makanan beresiko
(misal sarden bercacing yang sedang marak sekarang,
dll).
b. Host
1) Perilaku
Menurut Lewrence Green dalam perilaku kesehatan
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu :
a) Faktor Predisposisi
Termasuk didalamnya adalah pengetahuan,
sikap, kepercayaan, tradisi, kebiasaan nilai budaya
atau norma yang diyakini seseorang. Adapun
langkah penanggulangan untuk faktor ini akan
dibahas di sub bab selanjutnya.
b) Faktor Pendukung
Yaitu faktor yang memfasilitasi perilaku
seseorang. Misalnya jamban sehat, air bersih,
obat-obatan, puskesmas, tempat pembuangan
sampah.
c) Faktor Pendorong
Perilaku orang lain yang berpengaruh yang
dapat menjadi pendorong seseorang berprilaku,
dalam hal ini adalah perilaku kesehatan. Mialnya
dari tokoh masyarakat, agama, petugas
kesehatan, keluarga, guru, atau orang
berpengaruh lainnya.
2) Pengetahuan
Penyebarluasan informasi mengenai faktor
lingkungan, gaya hidup yang beresiko menyebabkan
diare, penanggulangan korban diare, dampak diare
bagi kesehatan harus dilakukan secara sistematis
melalui penyuluhan langsung, media cetak maupun
elektronik oleh lembaga negara (Dinkes, Puskesmas,
dll) atau lembaga swasta.
3) Malabsorsi
Tahu dan menghindar merupakan kunci
penanggulangan diare yang disebabkan faktor ini.
Tahu mengenai apa saja makanan yang dapat
menyebabkan diare terutama makanan pantangan
untuk dirinya sendiri. Misal makan makanan kecut,
pedas, dll. Menghindari makanan tersebut untuk
dikonsumsi.
4) Psikologi
Psikologi yang buruk misal ketakutan, gugup
dapat mendorong seseorang merasa mulas, biasanya
hal ini terjadi bagi anak SD. Maka dari itu berpikir
positif perlu dilakukan agar terhindar dari perasaan
tersebut.
5) Status Gizi
Memperbaiki asupan nutrisi dengan makan
begizi (ayam, telor, susu, sayur) maupun makanan
substitusi (tahu, tempe). Adapun program
pemerintah yang behubungan dengan penyukupan
kebutuhan gizi mencakup: pemberian PMT dan
Raskin.
6) Status Ekonomi
Faktor ini tidak berhubungan secara langsung
dengan kejadian diare, namun data Riskesdas
menunjukkan bahwa sebagian besar kejadian diare
menimpa orang dengan status ekonomi rendah.
Penanggulangan untuk faktor ini yaitu dengan
peningkatan derajat ekonomi melalui KUR atau
bantuan langsung tunai yang diberikan oleh
pemerintah.
c. Lingkungan
1) Air Minum
Penyediaan akses air bersih melalui PAMSIMAS,
membersihkan dan merawat daerah sekitar sumur,
mengontrol kualitas air, mendidihkan air sebelum
dikonsumsi.
2) Jamban
Penyediaan jamban bagi keluarga yang belum
memiliki melalui program arisan jamban,
menggunakan saptictank, menjaga kebersihan
jamban.
3) Daerah Rawan Banjir
Menjaga pasokan air bersih, meminimalisir
kegiatan yang bersinggungan lama dengan air banjir,
membersihkan diri setelah bersinggungan dengan air
banjir. Jika host ada di pengungsian maka lakukan
hygine perseorangan dengan baik bila
memungkinkan.
4) Sampah
Untuk sampah dalam penanggulangannya
menggunakan asas 3R (Reuse, Reduse, Recycle).
Menggunakan kembali barang yang masih bisa
dipakai, memusnahkan sampah yang tidak dapat
digunakan lagi, dan mendaur ulang sampah menjadi
produk baru. Selain itu pemilihan sampah
berdasarkan jenisnya organik dan anorganik perlu
dilakukan untuk memudahkan dalam proses
pengolahan sampah selanjutnya.
5) Iklim
a) Curah Hujan
Dalam penelitiannya peningkatan dan
penurunan intensitas hujan berpengaruh positif
terhadap meningkatnya kasus diare. Maka dari itu
untuk menanggulanginya perlu pembenahan gizi,
sanitasi, prilaku, dan faktor-faktor yang sudah
dijelaskan diatas.
b) Suhu Udara Ambien
Perubahan suhu yang ekstrim dari panas ke
dingin dapat menyebabkan mulas, maka
penanggulangannya secara pribadi bisa dengan
penggunaan pakaian yang sesuai misal jaket pada
suhu udara dingin. Selain itu pembenahan gizi,
sanitasi, prilaku, dan faktor-faktor yang sudah
dijelaskan diatas juga perlu dilakukan.
4. Gambaran Khusus
Sragi adalah sebuah kecamatan yang berada di
Kabupaten Pekalongan Provinsi Jawa Tengah. Berupa wilayah
dataran rendah dengan tinggi 9 mdpl. Memiliki luas lahan
sawah 2192,84 ha dan lahan bukan sawah 1047,07 ha.
Memiliki 17 desa yaitu : Bulak Pelem, Bulaksari, Gebangkerep,
Kalijambe, Kedungjaran, Ketanon Ageng, Klunjukan,
Krasakageng, Mrican, Purwodadi, Purworejo, Sijeruk, Sragi,
Sumub Kidul, Sumub Lor, Tegal Suruh, Tegal Lontar.
Berdasarkan profl kesehatan Kabupaten Pekalongan
tahun 2015 menyebutkan bahwa kecamatan Sragi
(puskesmas I&II) memiliki jumlah kasus diare yang sudah
ditangani sebanyak 1740 kasus dengan capaian 127% dari
jumlah target temuan sebanyak 1317 kasus. Data terupdate
Puskesmas Sragi I bulan februari 2018 menyebutkan bahwa
setidaknya terjadi 8 kasus diare, diamana 1 kasus menimpa
lansia, 4 kasus menimpa orang dewasa dengan rentan usia
40-50 tahun, 2 kasus menyerang remaja dan 1 kasus
menimpa balita.
Dalam mendiskripsikan gambaran khusus, penulis
menggunakan tehnik pengamatan langsung dan penyebaran
kuesioner. Pengamatan dilakukan penulis pada hari Sabtu
(10/3) di empat desa yaitu : Kedungjaran, Bulakpelem,
Klunjukan dan Tegal Lontar. Sedangkan penyebaran kuesioner
difokuskan di wilayah RT 02, RW 01, Desa Kelunjukan dengan
mengambil 10 responden secara acak. Hasil pengamatan
sebagai berikut :
a. Air Minum
Bedasarkan wawancara sebagian besar warga
Sragi sudah menggunakan PAMSIMAS sebagai sumber
air bersih, adapun hasil pengamatan untuk sumber air
yang berada di luar perumahan seperti air sungai,
irigasi persawahan ditemukan warna air yang keruh,
sampah yang menyumbat, bau yang tidak sedap.
Menurut kajian pada gambaran umum menyebutkan air
minum yang terkontaminasi dapat menjadi media
penularan diare. Hal ini diakibatkan oleh sumber air
minum yang tidak aman sehingga menjadi salah satu
faktor risiko penyakit diare.
b. Jamban
Berdasarkan wawancara sebagian besar
masyarakat sudah memiliki jamban sebagai tempat
pembuangan tinja, adapun hasil pengamatan
menunjukan masih ada beberapa masyarakat yang
memilih membuang tinja di sungai dengan alasan
nyaman karena pantatnya masuk ke air, WC di rumah
sedang rusak, atau karena terpaksa. Dikhawatirkan
dengan adanya tinja yang berserakan di sungai dapat
mengundang lalat atau vektor lainnya untuk membawa
patogen penyebab diare.
c. Daerah Rawan Banjir
Secara geografs Sragi memilik resiko untuk
terendam banjir hal ini dilihat dari ketinggian
datarannya yang hanya 9 mdpl, kemudian dari
pengamatan sungai juga terlihat banyak terdapat
sampah menggenang.
d. Sampah
Pengelolaan sampah belum menyeluruh, hal ini
dilihat dari masih ditemukannya tumpukan sampah
ilegal di sepanjang jalan Sragi kota dan penumpukan
sampah di pinggir sungai. Sampah ini menjadi tempat
perindukan lalat atau vektor lainnya yang dapat
membawa patogen penyebab diare.
e. Iklim
Sragi memiliki udara ambien yang cenderung
panas, karena letak geografsnya di dataran rendah,
mayoritas wilayah ditanami padi, dan keadaannya yang
berdekatan dengan pesisir. Keadaan yang panas dapat
memicu badan menjadi mringsang yang berakibat
kekuatan sistem imun menjadi turun sehingga tubuh
mudah sakit.

C. Kusta
1. Gambaran Umum
a. Defnisi
Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu
“kushtha”berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum.
Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen, sesuai
dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard
Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini
disebut Morbus Hansen.
Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang
syaraf tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka
panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita
tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun
infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah. Waktu
inkubasinya panjang, mungkin beberapa tahun, dan
tampaknya kebanyakan pasien mendapatkan infeksi sewaktu
masa kanak-kanak.
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang
masih merupakan masalah yang sangat kompleks. Masalah
yang ada bukan saja dari segi medisnya, tetapi juga masalah
sosial, ekonomi, budaya serta keamanan dan ketahanan
nasional.Penyakit kusta merupakan salah satu manifestasi
kemiskinan karena kenyataannya sebagian besar penderita
kusta berasal dari golongan ekonomi lemah. Penyakit kusta
bila tidak ditangani dengan cermat dapat menyebabkan cacat,
dan keadaan ini menjadi penghalang bagi pasien kusta dalam
menjalani kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi
kebutuhan sosial ekonominya.
Pendapat yang keliru dari masyarakat tentang penyakit
kusta serta rasa takut yang berlebihan akan memperbesar
persoalan sosial ekonomi penderita kusta. Pada zaman dahulu
penderita kusta harus diasingkan dari pergaulan ke tempat
terpencil. Penyakit ini sering disebut juga penyakit kutukan
Tuhan.
Nama lain kusta adalah “the great imitator’ (pemalsu yang
ulung) karena manifestasi penyakitnya menyerupai penyakit
kulit atau penyakit saraf lain, misalnya penyakit jamur.
b. Karakteristik
Secara umum jenis klasifkasi kusta sebagai berikut
1) Klasifkasi Internasional : Klasifkasi Madrid (1953)
a) Indeterminate (I)
b) Tuberkuloid (T)
c) Boderline-Dimorphous (B)
d) Lepromatosa (L)
2) Kalsifkasi untuk kepentinagn riset : Klasifkasi Ridley
dan Jopling (1962)
Menurut Ridley−Jolping ada beberapa klasifkasi
tipe kusta sebagai berikut :
a) Tipe Tuberkoloid ( TT )
 Mengenai kulit dan saraf.
 Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa
makula atau plakat, batas jelas, regresi,
atau, kontrol healing ( + ).
 Permukaan lesi bersisik dengan tepi
meninggi, bahkan hampir sama dengan
psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat
penebalan saraf perifer yang teraba,
kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
 Infltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya
kuman merupakan tanda adanya respon
imun pejamu yang adekuat terhadap
basil kusta.
b) Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )
 Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
 Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit
atau skauma tidak sejelas TT.
 Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT.
Biasanya asimetris.
 Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf
perifer menebal.
c) Tipe Mid Borderline ( BB )
 Tipe paling tidak stabil dapat berbentuk
macula infltrate, jarang dijumpai.
 Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi
kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT,
cenderung simetris.
 Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk
maupun distribusinya.
 Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu
hipopigmentasi berbentuk oralpada
bagian tengah dengan batas jelas yang
merupaan ciri khas tipe ini.
d) Tipe Borderline Lepromatosus ( BL )
Dimulai makula, awalnya sedikit lalu
menyebar ke seluruh tubuh. Makula lebih jelas
dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa
nodus melekuk bagian tengah, beberapa plag
tampak seperti punched out. Tanda khas saraf
berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi,
berkurangnya keringat dan gugurnya rambut
lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan
penebalan saraf yang dapat teraba pada
tempat predileksi.
e) Tipe Lepromatosa ( LL )
 Lesi sangat banyak, simetris, permukaan
halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak
tegas atau tidak ditemuka anestesi dan
anhidrosis pada stadium dini.
 Stadium lanjutan, penebalan kulit regresif
dan cuping telinga, garis muka kasar dan
cekung membentuk fasies leonine, dapat
disertai madarosis, intis dan keratitis.
 Lebih lanjut, deformitas hidung dan
pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrof,
serta testis.Kerusakan saraf luas gejala
stocking dan glousesanestesi.
 Stadium lanjut, serabut saraf perifer
mengalami degenerasi hialin/fbrosis
menyebabkan anestasi dan pengecilan
tangan dan kaki.
Berikut gambar penderita kusta menurut Ridley & Jopling :
Mukhlis. 2010
Gambar 3. Penderita Kusta Tipe Tuberkuloid & Bordeline

Mukhlis. 2010
Gambar 4. Penderita Kusta Tipe Lepramatosa
Mukhlis. 2010
Gambar 5. Penderita Kusta Tipe L.L & B.L
Di Indonesia klasifkasi tersebut tidak digunakan dalam penanganan
penyakit kusta di lapangan. Terdapat tiga tipe utama penyakit kusta
yaitu sebagai berikut :
1) Tipe lepromatous terdapat pada orang yang tidak
mempunyai daya tahan tubuh dan Mycobacterium
Leprae berkembangbiak di tubuhnya dalam jumlah tidak
terhitung.
2) Tipe borderline berkembang pada penderita dengan
daya tahan tubuh sedang. Daya tahan yang sedang ini
dapat mengurangi jumlah Mycobacterium Leprae tidak
begitu banyak, namun masih cukup banyak yang tinggal
dan berkembangbiak dalam tubuh, juga berarti bahwa
suatu pertempuran sedang terjadi antara
mycobacterium leprae dan daya tahan tubuh. Tipe
borderline dapat dibagi menjadi tiga yaitu borderline
tuberkuloid, boderline borderline dan borderline
lepromatous.
3) Tipe tuberkuloid terjadi pada penderita dengan daya
tahan tubuh yang tinggi dan sedikit Mycobacterium
Leprae untuk berkembangbiak menjadi banyak. Tipe
indeterminate yang berarti bahwa tipenya tidak dapat
diketahui pada saat sekarang. Kusta indeterminate
terjadi pada seseorang dengan daya tahan tubuh yang
tinggi sehingga tubuh bisa segera menyembuhkan
penyakitnya tanpa suatu pengobatan.
c. Etiologi
Penyebab penyakit kusta adalah bakteri Mycobacterium
Leprae yang merupakan kuman aerob, berbentuk batang,
dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari
spesies Mycobacterium. Berukuran panjang 1–8 micro, lebar
0,2–0,5 micro, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar
satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau
gram positif, tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan
tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol.
Kuman Mycobacterium Leprae dapat menular kepada
manusia melalui kontak langsung dengan penderita dan
melalui pernapasan. Bakteri kusta memerlukan waktu 12−21
hari untuk membelah dengan masa inkubasi rata-rata 2−5
tahun. Setelah lima tahun, tanda-tanda seseorang menderita
penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit mengalami
bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh
hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
d. Epidemiologi
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dengan
konsentrasi terutama di negara-negara berkembang yang
higiene dan sanitasinya kurang baik. Pada tahun 2002
dilaporkan terdapat 620.000 penderita kusta di dunia, di mana
90% terdapat di Brasil, India, Nepal dan beberapa negara di
Afrika, dengan angka prevalensi 5−15 per 10.000 penduduk.
Di Amerika Serikat penyakit ini masih ditemukan di California,
Florida, dan New York yang sebagian besar berasal dari
imigran dan pengungsi yang tertular dari negara asal mereka.
Prevalensi penyakit kusta di Indonesia pada tahun 1990
sebesar 1,9 per 10.000 penduduk dan pada tahun 1998
sebesar 0,62 per 10.000 penduduk di Jawa Tengah. Pada
tahun 1998 prevalensi penyakit kusta terbesar 0,72 per
10.000 penduduk. Dan beberapa daerah di Indonesia,
prevalensi pnyakit kusta tertinggi adalah di Papua (6,5),
Maluku (5,43), dan NAD (2,77). Prevalensi terendah di DIY
(0,19), Bengkulu (0,27), dan Sumut (0,33).
Dalam target global WHO pada pada eradikasi kusta tahun
(EKT) 2000 diharapkan prevalensi penyakit kusta kurang dari 1
per 10.000 penduduk.
e. Prevalensi
Kusta merupakan salah satu masalah kesehatan di
dunia, terutama bagi negara–negara yang sedang
berkembang. Pada tahun 2012, kasus baru kusta terbanyak di
dunia terdapat di India yaitu sejumlah 134.752 kasus, diikuti
Brazil sejumlah 33.303 kasus dan Indonesia di posisi ketiga
sejumlah 18.994 kasus (WHO, 2014).
Pada tahun 1991 World Health Assembly telah
mengeluarkan resolusi eliminasi kusta tahun 2000 dengan
target prevalence rate kurang dari 1 per 10.000 penduduk.
Indonesia secara nasional telah mencapai target sejak bulan
Juni 2000 dengan prevalence rate 0,84/10.000 penduduk,
namun beberapa provinsi belum memenuhi target tersebut,
salah satunya adalah provinsi Jawa Timur (Depkes RI, 2007).
f. Penularan
1) Kontak (Contact)
Kontak di sini dapat terjadi kontak langsung maupun
kontak tidak langsung melalui benda-benda yang
terkontaminasi. Penyakit–penyakit yang ditularkan melalui
kontak langsung ini pada umumnya terjadi pada
masyarakat yang hidup berjubel. Oleh karena itu, lebih
cenderung terjadi di kota daripada desa yang penduduknya
masih jarang.
2) Inhalasi (Inhaltion)
Yaitu penularan melalui udara atau pernapasan. Oleh
karena itu, ventilasi rumah yang kurang, berjejalan (over
crowding) dan tempat–tempat umum adalah faktor yang
sangat penting di dalam epidemiologi penyakit ini. Penyakit
yang ditularkan melalui udara ini sering disebut “air bourne
infection”.
3) Infeksi melalui plasenta
Yakni infeksi yang diperoleh melalui plasenta dari ibu
penderita penyakit pada waktu mengandung, misalnya
siflis dan toxoplasmosis.
4) Infeksi
Yaitu penularan melalui tangan, makanan atau
minuman.
2. Determinan Faktor
Proses terjadinya penyakit disebabkan adanya interaksi antara
agent atau faktor penyebab penyakit, manusia sebagai pejamu
atau host dan faktor lingkungan yang mendukung (environment).
Ketiga faktor tersebut dikenal sebagai trias penyebab penyakit.
a. Faktor Agent
Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium Leprae
yang pertama kali ditemukan oleh Gerhard Amaeur Hansen
pada tahun 1873.
1) Bentuk−Bentuk Kuman Kusta yang Dapat Ditemukan dalam
Lapangan Mikroskop
a) Bentuk Utuh (solid)
b) Dinding sel tidak putus
c) Mengambil zat warna secara merata
d) Panjang kuman 4 kali lebarnya
2) Bentuk Pecah-Pecah (fragmanted)
a) Dinding sel terputus mungkin sebagian atau seluruhnya
b) Pengambilan zat warna tidak merata
3) Bentuk Granular (granulated)
Kelihatan seperti titik-titik tersusun garis lurus atau
berkelompok.
4) Bentuk Globus
Beberapa BTA utuh atau fragmented/ granulated
mengadakan ikatan atau kelompok. Kelompok kecil 40-60
BTA dan kelompok besar 200-300 BTA.
5) Bentuk Clumps
Beberapa bentuk granular membentuk pulau-pulau
tersendiri (>500 BTA).
Bakteri Mycobacterium Leprae dapat dilihat dibawah
ini :

Gambar 6. CDC, 1979. Public Health Image Library


(PHIL)
(http://en.wikipedia.org).

b. Faktor Host
1) Umur
Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk
terjadinya penyakit kusta. Pada kejadian penyakit kusta
sering terkait dengan umur pada saat diketemukan dari
pada timbulnya penyakit, namun yang terbanyak adalah
pada umur muda dan produktif.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa penyakit kusta
jarang ditemukan pada bayi, karena anak-anak lebih peka
daripada orang tua. Angka kejadian (Insidence Rate )
penyakit kusta meningkat sesuai umur dengan puncak
pada umur 10−20 tahun dan kemudian menurun.
Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan
puncak umur 30−50 tahun dan kemudian secara perlahan-
lahan menurun.
2) Jenis Kelamin
Penyakit kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan,
menurut catatan sebagian besar negara didunia kecuali
dibeberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki
lebih banyak terserang dari pada wanita. Relatif rendahnya
kejadian kusta pada wanita kemungkinan karena faktor
lingkungan atau biologi seperti kebanyakan pada penyakit
menular lainnya laki-laki lebih banyak terpapar dengan
faktor resiko sebagai akibat gaya hidupnya.
3) Status ASI Eksklusif
Menurut Depkes RI bahwa ada pengaruh pada
pemberian ASI Eksklusif pada bayi. Apabila ibu menderita
penyakit kusta maka bayi yang diberi ASI Eksklusif akan
menderita juga. Karena kuman Mycobacterium Leprae yang
ada dalam tubuh ibu terbawa dalam ASI yang kemudian
akan menyebar ke tubuh bayi yang diberikan ASI, sehingga
bayi tersebut akan menderita penyakit kusta pula.
4) Status Imunisasi
Imunisasi merupakan upaya pemberian ketahanan
tubuh yang terbentuk melalui vaksinasi. Ada 4 jenis
antigen yang tergolong penyakit kusta telah diprogram di
Indonesia yaitu BCG dan polio. (Depkes RI, 2002)
5) Daya tahan tubuh Seseorang
Daya tahan tubuh seseorang, apabila seseorang dengan
daya tahan tubuh yang rendah akan rentan terjangkit
bermacam-macam penyakit termasuk kusta, meskipun
penularannya lama apabila seseoraang terpapar kuman
penyakit sedangkan imunitasnya menurun bisa terinfeksi,
misalnya : kurang gizi/ malnutrisi berat, infeksi, habis sakit
lama dan sebagainya.
6) Etnik/Suku
Etnik/suku, kejadian penyakit kusta menunjukkan
adanya perbedaan distribusi dapat dilihat karena faktor
geograf. Namun jika diamati dalam satu negara atau
wilayah yang sama kondisi lingkungannya ternyata
perbedaan distribusi dapat terjadi karena perbedaan etnik.
Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi
pada etnik Burma dibandingkan etnik India, situasi di
Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama, kejadian
lepromatosa lebih banyak pada etnik cina dibandingkan
etnik Melayu atau India, demikian pula kejadian di
Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita
kusta dibandingkan etnik Jawa dan Melayu.
7) Perilaku
Pengertian perilaku menurut skiner ( 1938 ) merupakan
respon atau reaksi seseorang tehadap stimulus
( rangsangan dari luar ), dengan demikian perilaku terjadi
melalui proses : Stimulus – Organisme – Respons, sehingga
teori Skiner disebut juga teori SOR.
Sedangkan pengertian Perilaku Kesehatan ( health
behavior ) menurut Skiner adalah respon seseorang
terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan
sehat-sakit, penyakit dan faktor–faktor yang
mempengaruhi sehat–sakit (kesehatan) seperti lingkungan,
makanan dan minuman yang tidak sehat, dan pelayanan
kesehatan.
c. Faktor Lingkungan
a. Lingkungan Umum
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada diluar diri
host baik benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak,
seperti suasana yang terbentuk akibat interaksi semua
elemen-elemen termasuk host yang lain. Lingkungan terdiri
dari lingkungan fsik dan non fsik, lingkungan fsik terdiri
dari; keadaan geografs (dataran tinggi atau rendah,
persawahan dan lain-lain), kelembaban udara, suhu,
lingkungan tempat tinggal. Adapun lingkungan non fsik
meliputi; sosial (pendidikan, pekerjaan), budaya (adat,
kebiasaan turun temurun), ekonomi (kebijakan mikro dan
lokal) dan politik (suksesi kepemimpinan yang
mempengaruhi kebijakan pencegahan dan
penanggulangan suatu penyakit).
b. Lingkungan Khusus
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di daerah
Sragi Kabupaten Pekalongan ditemukan ciri ciri lingkungan
yang dapat memacu adanya Mycobacterium Leprae yang
akan menyebabkan penyakit kusta, Seperti :
1) Kondisi rumah

Gambar 7. Kondisi rumah


Kondisi rumah di sekitar Wilayah Kerja Puskesmas
Sragi masih banyak yang tidak memenuhi syarat
sebagai Rumah sehat, seperti kurangnya ventilasi.
Ruangan disetiap sudut rumah harus segar dan tidak
berbau sehingga Rumah yang sehat harus memiliki
ventilasi yang memadai untuk proses pergantian udara.
Selain itu masih banyak dijumpai halaman rumah
tergenang air dapat mempengaruhi kelembaban Rumah
yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat
kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya.
Rumah yang lembab merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri,
spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut
dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara. Selain itu
kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membrane
mukosa hidung menjadi keringat sehingga kurang
efektif dalam menghadang mikroorganisme.
2) Kepadatan Penduduk
Gambar 8. Keadaan hunian
Kepadatan penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas
Sragi dapat dilihat dengan kondisi rumah yang saling
berdekatan, sehingga bila ada yang menderita tidak
menutup kemungkinan tetangga / keluarga dapat
tertular.
Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses
penularan penyakit, semakin padat maka perpindahan
penyakit khususnya penyakit melalui udara akan
semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan
hunian dalam rumah tempat tinggal merupakan variabel
yang berperan dalam kejadian kusta.
3. Pengendalian
Pengendalian penularan berfungsi untuk mengendalikan
upaya peyebaran penularan penderita kusta ke orang lain
semakin tinggi penularan maka akan sangat sulit mengendalikan
penyebaran yang lebih luasa lagi, semakin banyak jumlah orang
yang menderita kusta akan berisiko lebih besar menular ke orang
lain maka dari itu dasar pemberantasan penyakit kusta yang
dilakukan yaitu dengan cara mengendalikan penularan terlebih
dahulu yaitu dengan upaya memutuskan mata rantai penularan
penyakit kusta dengan cara melalui pengobatan MDT pada
pasien kusta dan vaksinasi BCG.
Penelitian di malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian
vaksinasi BCG satu dosis dapat memberikan perlindungan
terhadap kusta hingga 80%. Namun demikian penemuan ini
belum menjadi kebijakan program di Indonesiandan masih
memerlukan penelitian lebih lanjut, karena penelitian dibeberapa
negara memberikan hasil yang berbeda.
Strategi pemerintah melalui kementerian kesehatan antara
lain :
1) Peningkatan penemuan kasus secara dini di masyarakat.
2) Pelayanan kusta berkualitas termasuk layanan
rehabilitasi, diintegrasikan dengan pelayanan kesehatan
dasar dan rujukan.
3) Penyebarluasan informasi tentang kusta di masyarakat.
4) Eliminasi stigma terhadap orang yang pernah
mengalami kusta dan keluarganya.
5) pemberdayaan orang yang pernah mengalami kusta
dalam berbagai kegiatan atau aspeke kehidupan dan
penguatan partisipasi mereka dalam upaya
mengendalikan kusta.
6) Kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan.
7) Peningkatan dukungan kepada program kusta melalui
penguatan advokasi kepada pengambil keputusan dan
penyedia layanan lainnya untuk meningkatkan
dukungan terhadap program kusta.
D. Demam Berdarah
1. Gambaran Umum
a.Defnisi
Demam Berdarah adalah infeksi virus yang melemahkan
dan menyakitkan tubuh seseorang, menyebabkan beberapa
gejala khas termasuk demam tinggi. Penyakit menular ini
ditularkan melalui perantaranya yaitu nyamuk aedes aegypti.
Dalam hal ini berarti penyakit ini tidak bisa di tularkan dari
manusia ke manusia lain, tetapi memerlukan nyamuk untuk
menularkan darah yang telah terinfeksi
Demam berdarah ini seringkali didiagnosis dengan
mengecek semua gejala yang di alami pasien dan melakukan
pemeriksaan lab darah untuk mengecek adanya virus dan
antibodinya. DBD dapat mengenai semua golongan usia,
termasuk anak kecil. Pada beberapa kasus, dapat berakibat
fatal
Ada empat tipe virus dengue yang menyebabkan infeksi
dengue, tetapi mereka berhubungan erat dengan virus yang
mengakibatkan penyakit west nile dan infeksi demam kuning.
Hal ini berarti bahwa virus dengue paling umum di daerah
tropis seperti india, asia tenggara, cina selatan, taiwan,
kepulauan pasifk, karibia, meksiko,afrika dan amerika
selatan. Oleh karena itu, jika seseorang dicurigai mengalami
demam berdarah, perlu di tanyakan secara rutin apakah
akhir-akhir ini telah melakukan perjalanan ke daerah tropis
Gejala seseorang penderita DBD sering disebut menipu
karena gejalanya sama seperti seseoramg terkena infeksi
virus lainnya seperti flu. gejala tersebut muncul 4-6hari
setelah seseorang terinfeksi. Gejalanya menyerupai demam,
ruam kulit, nyeri kepala dan otot sendi, nyeri di belakang
mata, menggigil, diare, muntah, kelelahan ekstrim dan
perdarahan ringan seperti gusi berdarah atau hidung
berdarah. Setelah gejala tersebut muncul, seseorang harus
mencari pertolongan secepatnya karena ini adalah infeksi
progresif. Untuk gejala khasnya adalah perdarahan di bawah
kulit, bintik merah terutama di kaki, perdarahan intestinal dan
penurunan tekanan darah yang mengarah pada syok DBD
memiliki efek berbahaya pada tubuh, jika dibiarkan saja dapat
memiliki potensi penyebab pembesaran hati atau kerusakan
nodus limfe dan pembuluh darah. Hal ini juga menyebabkan
kegagalan sistem sirkulasi dan risiko perdarah masif.
Beberapa komplikasi serius ini dapat berakibat pada kematian
b. Etiologi
DBD disebabkan oleh virus dengue yang termasuk
dalam kelompok arbovirus B (Hassan R dan Alatas H, 2007).
Virus ini memiliki empat serotipe dengan antigenik berbeda,
yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Secara genetik
keempat serotip berasal dari satu asal yang sama pada
populasi primata 1000 tahun yang lalu, dan terpisah menjadi
4 serotpe sesudah memasuki siklus penyebaran urban pada
manusia sejak 500 tahun yang lalu di asia maupun afrika.
Albert sab9in melakukan spesifkasi virus-virus ini pada tahun
1944, masing-masing serotipe memiliki genotip berbeda
(soedarto,2012)
Infeksi oleh salah satu tipe virus dengue akan
memberikan imunitas menetap terhadap infeksi virus yang
sama pada masa yang akan datang. Namun, hanya
memberikan imunitas sementara dan parsial terhadap infeksi
virus lainnya
c. Epidemiologi
Host alami DBD adalah manusia, Agennya adalah virus
dengue yang termasuk dalam famili flaviridae dan genus
flavivirus. Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30
kali lipat dengan peningkatan ekspansi geografs ke negara-
negara baru dan dalam dekade ini, dari kota ke lokasi
pedesaan. Penderitanya banyak di temukan di sebgaian besar
wilayah tropis dan subtropis
Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa
daerah tropik dan subtropik bahkan cenderung terus
meningkat dan banyak menimbulkan kematian pada anak.
90% diantaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di
indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa
provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan
jumlah penderita 79.480 orang lebih. Pada tahun-tahun
berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian turun
secara bermakna di bandingkan tahun 2004
d. Penularan
Virus dengue penyebab DBD tidak dapat menular
melalui udara, cairan, tubuh, makanan maupun minuman. Hal
ini karena virus dengue tidak mampu bertahan hidup jika
berada diluar sel atau jaringan hidup. Penularan DBD terjadi
melalui gigitan nyamuk aedes aegypti betina yang telah
membawa virus dengue dari penderita lainnya. Nyamuk ini
biasanya aktif menyerang manusia pada pagi dan siang hari.
Virus dengue masuk ke tubuh nyamuk melalui darah yang
dihisap oleh nyamuk tersebut dari seseorang penderita DBD.
Nyamuk aedes aegypti adalah nyamuk yang paling
banyak menyebarkan dengue. Ini karena nyamuk tersebut
menyukai hidup berdekatan dengan manusia dan makan dari
manusia serta suka bertelur di wadah-wadah air yang dibuat
oleh manusia. Dengue juga dapat disebarkan melalui produk
darah yang telah terinfeksi dan melalui donasi organ.
2. Determinan Faktor
Proses terjadinya penyakit disebabkan adanya interaksi
antara agent atau faktor penyebab penyakit, manusia sebagai
penjamu atau host dan faktor lingkungan yang
mendukung(environtment). Ketiga faktor tersebut dikenal
sebagai trias penyebab penyakit.
a. Faktor Agent
Penyebab DBD adalah virus dengue. Virus ini
merupakan virus RNA berantai tunggal yang positif sense.
Secara taksonomi virus ini termasuk kelompok arbovirus yang
sekarang lebih dikenal sebagai genus flavivirus dan
mempunyai 4 jenis serotip. Dari keempat virus tersebut,
dengue 3 merupakan serotipe dominan dan berpotensi
membentuk genotip baru
b. Faktor Host
Host penyakit DBD adalah manusia. Faktor-faktor yang
terkait dalam penularan DBD pada manusia yaitu :
1. Mobilitas penduduk
Mobilitas penduduk akan memudahkan penularan
dari suatu tempat ketempat yang lainnya. Penyakit
biasanya menjalar dimulai dari suatu pusat sumber
penularan, kemudian mengikuti mobilitas penduduk.
Semakin tinggi mobilitas makin besar kemungkinan
penyebaran penyakit DBD
2. Pendidikan
Pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir dalam
penerimaan penyuluhan dan cara pemberantasan yang
dilakukan, hal ini berkaitan dengan pengetahuan.
Seseorang yang mempunyai latar belakang pendidikan
rendah pada umumnya akan mengalami kesulitan untuk
menyerap ide-ide baru dan membuat mereka konservatif
karena tidak mengenal alternatif yang lebih baik.
3. Kelompok Usia
Kelompok usia akan mempengaruhi peluang
terjadinya penularan penyakit DBD
c. Faktor Environtment
1) Lingkungan Umum
Penyakit DBD biasanya menyebar pada saat musim
penghujan. Sejumlah pakar setuju bahwa kondisi ini juga di
pengaruhi oleh budaya masyarakat yang senang
menampung air untuk keperluan rumah tangga dan kondisi
dirinya. Hal ini menjadi faktor eksternal yang memudahkan
seseorang menderita DBD. Nyamuk ini sangat senang
berkembang biak di tempat penampungan air karejna
tempat itu tidak terkena sinar matahari langsung. Nyamuk
ini tidak dapat hidup dan berkembang biak di daerah yang
berhubungan langsung dengan tanah. Berikut ini tempat
perkembangbiakan nyamuk yaitu:
 Tempat penampungan air untuk keperluan sehari-
hari, seperti drum, tangki, tempayan, bak mandi dan
ember.
 Tempat penampungan air bukan untuk keperluan
sehari-hari, seperti tempat minum burung, vas
bunga, perangkap semut, dan barang-barang bekas
yang dapat menampumg air
 Tempat penampungan alamiah seperti lubang pohon,
lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa,
pelepah pisang dan potongan bambu
Penelitian juga menunjukan didaerah dengan
persediaan ir tanpa PDAM, perkembangan nyamuk
aedes aegypti lebih tinggi karena penampungan air
lebih banyak dibandingkan didaerah yang sudah
tersedia air dengan saluran pipa. Di daerah ini air
tidak perlu di tampung dulu sehingga nyamuk tidak
sempat berkembang biak. Lingkungan memegang
peranan yang besar dalam penyebaran penyakit DBD
sehingga menjaga lingkungan sekitar menjadi
prioritas utama agar kasus DBD tidak terjadi lagi
2) Lingkungan Khusus
Melalui pengamatan kami di kecamatan sragi
kabupaten Pekalongan, ditemukan ciri-ciri lingkungan yang
dapat memacu adanya DBD, seperti :
a. Kondisi tempat penampungan
Banyak tempat penampungan air seperti drum di
depan rumah dan penampungan bak air kamar
mandi menggunakan semen, bukan keramik. Banyak
juga penampungan alamiah seperti pelepah pisang
dan pelepah daun yang berserakan setelah turunnya
hujan yang dibiarkan oleh warga
b. Ketersediaan PDAM
Beberapa desa di kecamatan sragi belum
memperoleh air dari PDAM sehingga penampungan
air tidak langsung di salurkan dengan pipa tetapi di
tampung di tempat penampungan air terlebih dahulu
3. Pengendalian
Pengendalian agar tidak terjadinya DBD yang meluas
adalah dengan cara pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan
3M yaitu menguras (menyikat) bak mandi, bak WC dll;
menutup tempat penampungan air rumah
tangga(tempayan,drum), mengubur(menyingkirkan) barang-
barang bekas dan pelepah daun, potongan bambu atau
potongan daun. Pengurasan tempat-tempat penampungan
perlu di lakukan secara teratur sekurang-kurangnya seminggu
sekali agar nyamuk tidak berkembang biak di tempat itu

III. Hasil Diskusi


A. Diskusi Kelompok
Dari empat penyakit yang dianalisa berdarsarkan lingkungan
diketahui bahwa penyakit DBD menjadi penyakit yang paling
beresiko menjadi KLB, hal ini dikarenakan secara keseluruhan
daerah sragi yang memiliki banyak genagan air yang potensial
sebagai tempat perindukan nyamuk seperti drum proyek tol,
sampah kaleng, plastik, dan bekas tebangan bambu.
Hasil wawancara dengan 10 responden yang berada di RT 01, RW
02, Desa Kelunjukan, menunjukkan :
1. Kejadian Diare
Dari 10 respoden ditemukan 2 mengalami diare pada sebulan
terakhir, dengan durasi kurang dari 3 hari dan tanpa
dibarengi muntah.
2. Penyediaan Air Bersih
Keseluruhan responden memiliki akses PAMSIMAS dengan
keadaan air yang baik (jernih, tidak berbau, tidak berasa)
3. Ketersediaan Jamban
Ditemukan 1 rumah yang tidak memiliki jamban. menurut
hasil wawancara responden biasah BAB di irigasi persawahan.
Dari 9 responden yang memiliki jamban 8 orang
menggunakan jamban jongkok dan 1 jamban duduk.
4. Prilaku Membuang Tinja
Ditemukan 2 responden masih BABS. 1 responden
dikarenakan tidak punya jamban dan 1 responden dengan
alasan WC di rumah rusak. Sedangkan tempat BABS bagi
responden yang WCnya rusak ada disungai.

5. Sanitasi Makanan
Keseluruhan responden mencuci tangan sebelum makan, mencuci
bahan makanan yang akan dimasak dan makanan segar.
B. Diskusi Kelas

IV. Simpulan dan Saran

Anda mungkin juga menyukai