Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.    Tuberkulosis Paru

1. Definisi

“Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC

(Mycobacterium tuberkulosis). Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga

mengenai organ tubuh lainnya. “(Kemenkes RI, 2010 hlm. 10)

“Penyakit Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi kronis menular yang masih tetap

merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia.”(Survey Prevalensi TB,

2004 hlm 1)

2. Gambaran Klinis

Diagnosis tuberkulosis paru dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,

jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Gejala klinis tuberkulosis dapat menjadi 2 golongan, yaitu gejala pernapasan dan gejala

sistemik :

a.       Gejala pernapasan:

-          batuk > 2-3 minggu (merupakan gejala utama),

-          batuk darah,

-          nyeri dada,


-          gejala pernapasan lainnya adalah sesak napas yang ditemukan bila terdapat effusi pleura, lesi

luas, luluh paru dll.

b.      Gejala sistemik :

-          demam

-          malaise

-          keringat malam

-          anoreksia

-          berat badan menurun.

Tuberkulosis juga dapat mengenai ekstraparu dengan keluhan sesuai organ yang terlibat.

Pada praktek klinis dapat ditemukan TB Paru disertai TB ekstraparu, misalnya pada limfadenitis,

efusi pleura, laryngitis, TB milier, spondilitis, meningitis, dll. (Kemenkes RI, 2010 hlm. 11)

3. Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan dengan pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan

radiologi/foto toraks dan uji tuberculin.

a.       Pemeriksaan Bakteriologi

Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang

sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat

berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,

kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urine, faeces dan jaringan biopsi

(termasuk biopsi jarum halus/BJH).


Pemeriksaan dahak dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang

dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).

1)      S (Sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada

saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pada pagi hari

kedua.

2)      P (Pagi) : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot

dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK (Unit Pelayanan Kesehatan).

3)      S (Sewaktu) : dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

b.      Pemeriksaan Radiologi foto toraks

Pada sebagian besar TB Paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak

secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan

foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut :

1)      Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto

toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif (lihat bagan alur)

2)      Ketiga specimen dahak hasilnya tetap negative setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan

sebelumnya hasilnya negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT

(Obat Anti TB). (lihat alur).

3)      Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak napas berat yang memerlukan penanganan

khusus (seperti pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis, atau efusi pleural) dan

pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).

(Kemenkes RI, 2010 halaman 12-13)


c.       Uji Tuberkulin

“Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di Indonesia

dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, uji tuberculin sebagai alat bantu diagnostic penyakit

kurang berarti pada orang dewasa, tetapi pada anak merupakan salahsatu kriteria untuk

menegakkan diagnosis. (Kemenkes RI, 2010 halaman 13)

Uji tuberkulin dilakukan untuk melihat seseorang mempunyai kekebalan terhadap basil

TB, sehingga sangat baik untuk mendeteksi infeksi TB. Tetapi uji tuberkulin ini tidak dapat

untuk menentukan M.tb tersebut aktif atau tidak aktif (latent). Oleh sebab itu harus dikonfirmasi

dengan ada tidaknya gejala dan lesi pada foto thorak untuk mengetahui seseorang tersebut

terdapat infeksi TB atau sakit TB.” (Kenyorini, 2006 hal.1)

Bagan 2.1
Alur diagnosis TBC
 

4. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis


a.      Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk

pleura. Tuberkulosis diklasifikasikan berdasarkan pemeriksaan dahak (BTA).

TB Paru dibagi atas :

1)      Tuberkulosis paru BTA (+) adalah :

a)      Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif

b)      Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologi

menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

c)      Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif.

2)      Tuberkulosis paru BTA (-) :

a)      Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan

radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif

b)      Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negative dan biakan M.tuberkulosis positif

b.      Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain

paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran kemih dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi dari tempat lesi. Untuk

kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan specimen maka diperlukan bukti klinis

yang kuat dan konsisten dengan TB ekstraparu aktif. (Kemenkes RI, 2010 hal. 13-14)

5. Penularan Tuberkulosis

Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Daya penularan seorang pasien

ditentukan banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan

hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.

Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi

percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Pada waktu batuk atau bersin,

pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk

dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan

dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah

percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan

selama beberapa jam dalam keadaan gelap dan lembab. (Depkes RI, 2008 hlm. 5)

Secara teoritis seorang penderita tetap menular sepanjang ditemukan basil TB didalam

sputum mereka. Penderita yang tidak diobati atau yang diobati tidak sempurna dahaknya akan

tetap mengandung basil TB selama bertahun tahun. Tingkat penularan sangat tergantung pada

hal-hal sebagai berikut :

-          Jumlah basil TB yang dikeluarkan

-          Virulensi dari basil TB

-          Terpajannya basil TB dengan sinar ultra violet

-          Terjadinya aerosolisasi pada saat batuk, bersin, bicara atau pada saat bernyanyi
-          Tindakan medis dengan risiko tinggi seperti pada waktu otopsi, intubasi atau pada waktu

melakukan bronkoskopi.

Pemberian OAT yang efektif mencegah terjadinya penularan dalam beberapa minggu

paling tidak dalam lingkungan rumah tangga. Anak-anak dengan TB primer biasanya tidak

menular. (Kandun, 2001 hal. 546)

6.      Faktor Risiko Kejadian TB

Hanya sekitar 10% orang yang terinfeksi kuman mycobacterium tuberculosis akan menjadi

sakit TB. Faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi sakit TB adalah daya tahan tubuh yang

rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).

Riwayat alamiah pasien TB yang tidak diobati, setelah jangka waktu 5 tahun : 50%

meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, 25% akan menjadi

kasus kronis yang tetap menular. (Depkes RI, 2008 hlm.5-6)

Bagan 2.2. Faktor Risiko Kejadian TB


 

(Depkes RI, 2008 hlm. 6)


7.      Indikator Pencapaian Program

a.       Angka penjaringan Suspek

Angka penjaringan suspek adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara

100.000 penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun. Angka ini digunakan untuk

mengetahui akses pelayanan dan upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu, dengan

memperhatikan kecenderungannya dari waktu ke waktu (triwulan / tahunan ).

b.      Proporsi Pasien TB BTA (+) diantara Suspek.

Proporsi pasien TB BTA (+) diantara suspek adalah persentase pasien BTA positif yang

ditemukan diantara seluruh suspek yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu

dari proses penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek,

angka ini sekitar 5 – 15%

c.       Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif diantara Semua Pasien TB Paru Tercatat.

Adalah persentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif diantara semua pasien

Tuberkulosis paru tercatat. Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien

Tuberkulosis yang menular diantara seluruh pasien Tuberkulosis paru yang diobati. Angka ini

sebaiknya tidak kurang dari 65%.

d.      Proporsi Pasien TB Anak diantara seluruh pasien TB

Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB adalah persentase pasien TB anak

(<15 tahun) diantara seluruh pasien TB tercatat. Angka ini sebagai indikator dalam mendiagnosis

TB anak, angka yang baik berkisar 15%.

e.       Angka Konversi (Conversion Rate)


Angka konversi adalah persentase pasien TB paru BTA (+) yang mengalami konversi

menjadi BTA (-) setelah menjalani masa pengobatan intensif. Angka minimal yang harus dicapai

adalah 80%.

f.       Angka Kesembuhan (Cure Rate)

Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase pasien TB BTA positif

yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien TB BTA positif yang tercatat.

Angka minimal yang harus dicapai yaitu 85%.

g.      Kesalahan Laboratorium

Indikator Kesalahan Laboratorium menggambarkan mutu pembacaan sediaan secara

mikroskopis langsung laboratorium pemeriksa pertama.

h.      Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate = CNR)

Angka notifikasi kasus dalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang

ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini berguna

untuk menunjukkan trend atau kecenderungan meningkat atau menurunnya penemuan pasien

pada wilayah tersebut.

i.        Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)

Cross detection rate adalah persentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan

dibanding jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Target

yang harus dicapai adalah 70%.


j.        Angka Keberhasilan Pengobatan (Kesembuhan)

Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase pasien TB BTA positif

yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara

pasien TB BTA positif yang tercatat. Dengan demikian angka ini merupkan penjumlahan angka

kesembuhan dan pengobatan lengkap.

(Depkes RI, 2008 hlm. 86-90)

B.     Konsep Kinerja

Kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan sesuatu

kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang

diharapkan. Jika dikaitkan dengan performance sebagai kata benda (noun) di mana salah satu

entrinya adalah hasil dari sesuatu pekerjaan (thing done), pengertian performance atau kinerja

adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu

perusahaan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya

pencapaian tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan

dengan moral atau etika. (Mangkuprawira, 2007, Kinerja: Apa Itu? ¶ 4, http://ronawajah.

wordpress.com, diperoleh tanggal Mei 2011)

Kinerja pelayanan merupakan salah satu faktor penting dalam upaya peningkatan kualitas

kesehatan penduduk. Masih rendahnya kinerja pelayanan kesehatan dapat dilihat dari beberapa

indikator seperti proporsi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, proporsi bayi yang

mendapatkan imunisasi campak, dan proporsi penemuan kasus (Case Detection Rate)

tuberkulosis paru. ( Adisasmito, 2008 hlm. 11)


Kinerja pada dasarnya ditentukan oleh tiga hal, yaitu: (1) kemampuan, (2) keinginan dan

(3) lingkungan. Oleh karena itu, agar mempunyai kinerja yang baik, seseorang harus mempunyai

keinginan yang tinggi untuk mengerjakan serta mengetahui pekerjaannya. Tanpa mengetahui

ketiga faktor ini kinerja yang baik tidak akan tercapai. Dengan kata lain, kinerja individu dapat

ditingkatkan apabila ada kesesuaian antara pekerjaan dan kemampuan. Kinerja individu

dipengaruhi oleh kepuasan kerja. Kepuasan kerja itu sendiri adalah perasaan individu terhadap

pekerjaannya. Perasaan ini berupa suatu hasil penilaian mengenai seberapa jauh pekerjaannya

secara keseluruhan mampu memuaskan kebutuhannya. (Mangkuprawira, 2007, Kinerja:Apa Itu?

¶ 5, http://ronawajah.wordpress.com, diperoleh tanggal 30 Mei 2011)

Menurut Sopiah (2008, hlm. 23) : Kinerja individu dapat dipengaruhi oleh effort (usaha),

ability (kemampuan), dan situasi lingkungan.

1.      Effort

Effort adalah usaha individu diwujudkan dalam bentuk motivasi. Motivasi adalah

kekuatan yang dimiliki seseorang dan kekuatan tersebut akan melahirkan intensitas dari

ketekunan yang dilakukan secara sukarela. Semua usaha individu tersebut dilakukan untuk

mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Intensitas adalah jumlah dari usaha pengalokasian

tujuan, atau beberapa usaha untuk mencapai tujuan. Motivasi ada dua macam, yaitu motivasi

yang datang dari dalam dan dari luar.

2.      Ability

Ability individu diwujudkan dalam bentuk kompetensi. Individu yang kompeten memiliki

pengetahuan dan keahlian. Sejak dilahirkan individu dianugerahi Tuhan dengan bakat dan

kemampuan. Bakat adalah kecerdasan alami yang bersifat bawaan. Kemampuan adalah

kecerdasan individu yang diperoleh melalui proses belajar.


3.      Situasi lingkungan

Lingkungan bisa memiliki dampak yang positif atau sebaliknya, negative. Situasi

lingkungan yang kondusif, misalnya dukungan dari atasan, rekan kerja, sarana dan prasarana

yang memadai dan lain-lain. Situasi lingkungan yang negatif, misalnya suasana kerja yang tidak

nyaman karena sarana dan prasarana yang tidak memadai, tidak ada dukungan dari atasan, teman

kerja dan lain-lain.

Untuk meningkatkan kinerja SDM kesehatan diperlukan pendidikan dan latihan SDM

kesehatan. Pengembangan SDM Kesehatan merupakan kegiatan yang harus dilakukan agar

pengetahuan (knowledge), kemampuan (ability) dan keterampilan (skill) mereka sesuai dengan

tuntutan pekerjaan yang mereka lakukan. (Adisasmito, 2008 hlm. 126)

C.    Tinjauan Teoritis Variabel Dependen

Yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah Case Detection Rate yang selanjutnya

disingkat CDR, yang merupakan salah satu indikator penting dalam mengukur keberhasilan dan

kemajuan program penanggulangan TBC.

Case detection rate adalah presentase jumlah penderita baru BTA positif yang ditemukan

dibanding jumlah penderita baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut.

CDR menggambarkan cakupan penemuan baru BTA positif pada wilayah tersebut (Depkes RI,

2008).
Rumus :

X 100%
 

Dalam program penanggulangan TBC, bila 70% dari perkiraan penderita baru yang ada,

dapat ditemukan dan diobati, dengan angka kesembuhan 85% dan didukung angka kesalahan

laboratorium < 5%, maka dalam waktu 5 tahun, jumlah penderita akan berkurang setengahnya

(50%) (Depkes RI, 2008).

Angka perkiraan nasional penderita baru BTA positif adalah 110/100.000 penduduk

(100-200 per 100.000 penduduk). Target CDR program penanggulangan TBC Nasional adalah

70% (Depkes RI, 2006). Perkiraan angka penderita baru BTA positif di Tasikmalaya dan Jawa

Barat untuk tahun 2010 adalah 107/100.000 penduduk. (P2PL Dinkes Kabupaten Tasikmalaya)

Pencapaian CDR yang dibawah target akan berdampak kepada resiko meningkatnya

kasus baru BTA positif, karena sumber penularan adalah penderita TBC dengan BTA positif.

Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin tinggi resiko penularan penderita

tersebut (Depkes RI, 2008). Diperkirakan setiap 1 penderita BTA positif dalam 1 tahun akan

menulari 10-15 orang yang terdekatnya. Penderita TBC dengan BTA positif yang sifatnya

menular, kalau tidak diobati dalam waktu 5 tahun diperkirakan 50% penderita TBC akan mati,

25% jadi kasus kronik dan tetap menular dan 5% sembuh karena daya tahan tubuh tinggi.

(Depkes, 2008 hlm. 6)

D.    Tinjauan Teoritis Variabel Independen


Variable – variable independen yang akan diteliti berhubungan dengan pencapaian Case

Detection Rate TB Paru BTA (+) adalah : pengetahuan petugas pelaksana, penjaringan

tersangka, penyuluhan kesehatan, pemeriksaan kontak serumah, dan dukungan/peran serta

masyarakat.

1.      Pengetahuan petugas pelaksana.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), yang dimaksud dengan pengetahuan

adalah :

a.       Segala sesuatu yang diketahui; kepandaian

b.      Segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran).

Menurut Notoatmodjo (2007, hlm. 145) “Pengetahuan/knowledge merupakan hasil dari

tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba.”

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan

seseorang. Pengetahuan dapat menimbulkan persepsi kebiasaan dan membentuk kepercayaan.

Dalam rangka upaya pengembangan mutu dan kinerja petugas dalam pelaksanaan

kegiatan penanggulangan TB Nasional pemerintah telah membuat beberapa kebijakan,

diantaranya mengikuti pelatihan khusus yang telah diprogramkan oleh Depkes, supervisi,

monitoring, lokakarya, magang, mengadakan seminar tentang TB untuk petugas dan diskusi

ilmiah. Disamping itu pemerintah telah menerbitkan beberapa referensi tentang pedoman dalam

kegiatan program penaggulangan TB Nasional, berupa buku-buku, majalah kesehatan, journal

kesehatan dan lain-lain (Depkes RI, 2008).


2.      Penjaringan tersangka

Kegiatan penjaringan tersangka merupakan langkah awal dalam kegiatan program

penanggulangan TBC untuk menemukan kasus baru BTA positif. Penjaringan tersangka

penderita TBC adalah kegiatan penemuan penderita yang dilakukan secara pasif pada mereka

yang dicurigai menderita TBC datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan (Depkes RI,

2008).

Penjaringan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh

petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka yang

berdampak pada pencapaian target CDR. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan promotive case

finding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif). Disamping itu penjaringan

tersangka dapat dilakukan pada kegiatan luar gedung, misalnya dengan mengadakan

pemeriksaan dahak masal, kegiatan puskesmas keliling dan lain-lain (Depkes RI, 2008).

3.      Penyuluhan kesehatan

Menurut Azwar (1985, dalam Mahfoed, 2005) : Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan

pendidikan kesehatan yang dilakukan dengan menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan,

sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti tetapi juga mau dan bisa melakukan

suatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan. Dengan pengertian seperti ini maka

petugas penyuluh kesehatan selain harus menguasai ilmu komunikasi juga harus menguasai

pemahaman yang lengkap tentang pesan yang disampaikan.

Kegiatan penyuluhan dalam upaya penemuan penderita baru BTA positif dilaksanakan

sebagai promosi aktif oleh petugas kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran

masyarakat tentang TBC baik secara perorangan, kelompok, keluarga penderita TB, maupun di

komunitas. Untuk menjangkau program penemuan lebih luas ke masyarakat umum perlu
diadakan penyuluhan secara massa, karena penyakit menular termasuk TBC bukan hanya

merupakan masalah bagi penderita saja, tetapi juga masalah bagi masyarakat. (Depkes RI, 2002

hlm. 63)

Penyuluhan TBC dilaksanakan sebagai berikut :

1.      Penyuluhan langsung perorangan

Dalam penyuluhan langsung perorangan, unsur yang terpenting yang harus diperhatikan

adalah membina hubungan yang baik antara petugas kesehatan (dokter, perawat,dll) dengan

penderita. Penyuluhan ini dapat dilakukan di rumah, Puskesmas, Posyandu, dan lain-lain sesuai

kesempatan yang ada.

2.      Penyuluhan kelompok

Penyuluhan kelompok adalah penyuluhan TBC yang ditujukan kepada sekelompok orang

(sekitar 15 orang), bisa terdiri dari penderita TBC dan keluarganya.

Penggunaan flip chart (lembar balik) dan alat bantu penyuluhan lainnya sangat berguna

untuk memudahkan penderita dan keluarganya menangkap isi pesan yang disampaikan oleh

petugas. Dengan alat peraga maka isi pesan akan lebih mudah dan lebih cepat dimengerti.

3.      Penyuluhan massa

Pesan-pesan penyuluhan TBC melalui media massa (surat kabar, TV, radio) akan

menjangkau masyarakat umum. Dengan demikian diharapkan akan meningkatkan kesadaran

partisipasi masyarakat.

4.      Kemitraan dalam penanggulangan TBC

TBC tidak hanya masalah kesehatan, tapi juga masalah sosial. Untuk itu perlu keterlibatan

berbagai pihak dan sektor dalam masyarakat, termasuk kalangan swasta, organisasi profesi, dan

organisasi sosial kemasyarakatan serta LSM.


5.      Advokasi

Advokasi merupakan salah satu kegiatan penting dalam promosi kesehatan. Tujuan

advokasi adalah menarik perhatian tokoh penting atau tokoh kunci, untuk memperoleh dukungan

politik agar dapat memanfaatkan sumber daya masyarakat.

(Depkes RI, 2008 hlm. 64-67).

4.      Pemeriksaan kontak serumah

Pemeriksaan kontak serumah TBC adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk

melakukan pemeriksaan BTA pada semua kontak penderita TBC paru BTA positif dengan gejala

yang sama. Kegiatan ini juga merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan cakupan

penemuan tersangka pasien TB BTA positif yang sangat besar pengaruhnya untuk keberhasilan

pencapaian target CDR, karena orang yang kontak lama dengan penderita TBC BTA positif

mempunyai resiko yang paling tinggi terhadap penularan kuman mycobacterium tuberkulosis

(Depkes RI, 2008).

5.      Dukungan/peran serta masyarakat

Peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan adalah keadaan dimana individu, keluarga

maupun masyarakat umum ikut serta bertanggung jawab terhadap kesehatan diri, keluarga,

ataupun kesehatan masyarakat lingkungannya. (Depkes RI, 1997, dalam Anita, 2008)

Keterlibatan unsur masyarakat juga sangat berpengaruh dalam upaya pencarian dan

penemuan penderita baru tersangka TBC. Petugas kesehatan di puskesmas memegang peranan

penting untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dengan mengadakan sosialisasi kepada
seluruh komponen masyarakat, seperti kader, tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat kelurahan

tentang penyakit TBC dan strategi penemuan kasus baru. Diharapkan dengan cara pendekatan ini

terjalin kerja sama yang baik antara unit pelayanan kesehatan dan komponen masyarakat dalam

upaya pencapaian target CDR di Puskesmas. (Depkes RI, 2008)

Salah satu prinsip dalam pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan kontribusi

masyarakat dalam penanggulangan TB, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara

kuantitatif berarti semakin banyak keluarga/masyarakat yang berkiprah dalam penanggulangan

TB. Secara kualitatif berarti keluarga/ masyarakat bukan hanya memanfaatkan tetapi ikut

berkiprah melakukan penyuluhan, ikut menjadi PMO, Kader TB dan sebagainya. (Depkes RI,

2008 hlm. 67)

E.     Kerangka Penelitian

Kerangka penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan rendahnya pencapaian CDR

digambarkan melalui bagan 2.2.

Bagan 2.2.
Kerangka penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan pencapaian CDR
 
Keterangan :

: Diteliti

: Tidak diteliti

Berdasarkan kerangka konsep tersebut peneliti ingin mencari hubungan antara

pengetahuan petugas, penjaringan tersangka, penyuluhan kesehatan, pemeriksaan kontak

serumah dan dukungan masyarakat sebagai variabel independen dengan pencapaian Case

detection rate sebagai variabel dependen. Output dari penelitian ini adalah ketercapaian angka

Case detection rate (mencapai 70% atau tidak).

F.     Hipotesis

Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini adalah hipotesis hubungan, yaitu hipotesis

yang berisi tentang dugaan adanya hubungan antara dua variable. Adapun rumusan hipotesisnya

adalah sebagai berikut :

1.      Terdapat hubungan antara pengetahuan petugas pelaksana dengan pencapaian Case Detection

Rate TB Paru BTA (+).

2.      Terdapat hubungan antara kegiatan penjaringan tersangka dengan pencapaian Case Detection

Rate TB Paru BTA (+).

3.      Terdapat hubungan antara kegiatan penyuluhan kesehatan dengan pencapaian Case Detection

Rate TB Paru BTA (+).

4.      Terdapat hubungan antara kegiatan pemeriksaan kontak serumah dengan pencapaian Case

Detection Rate TB Paru BTA (+).


5.      Terdapat hubungan antara dukungan masyarakat dengan pencapaian Case Detection Rate TB

Paru BTA (+).

G.    Definisi Operasional

Tabel 2.1. Definisi Operasional


N Definisi
Variabel Alat ukur Hasil ukur Skala
o. Operasional
1. Variabel
terikat :

Case Cakupan 1: Tercapai ordinal


detection penemuan : CDR
rate penderita baru >70%
TB paru BTA 2: Tidak
(+) dibanding tercapai :
penderita TB CDR
paru BTA (+) <70%
yang
diperkirakan
N Definisi
Variabel Alat ukur Hasil ukur Skala
o. Operasional
Variabel
bebas :
2. Pengetahua Pengetahuan Kuesione 1: Baik Ordinal
n petugas petugas r > 60%
pelaksana mengenai teori 2: Kurang
dan konsep < 60%
TB yang lebih
dititik
beratkan pada
teori dan
konsep yang
menunjang
pencapaian
CDR, yakni
mengenai :
Diagnosis TB,
penyuluhan,
pendekatan
masyarakat,
strategi
DOTS, system
rujukan
mikroskopis,
penjaringan
tersangka,
pemeriksaan
kontak
serumah dan
keikut sertaan
dalam
pelatihan TB
3. Penjaringan Upaya kolektif Kuesione 1: Baik Ordinal
tersangka petugas dalam r > 60%
menangkap 2: Kurang
suspek TB < 60%
paru, serta
dalam
menentukan
kriteria
suspek.
4. Pemeriksaa Pemeriksaan Kuesione 1: Diskrit
n kontak dahak yang r Dilakukan (nomina
serumah dilakukan oleh 2: Tidak l)
petugas dilakukan
terhadap
seluruh kontak
serumah
penderita TB
BTA (+)
melalui
kunjungan
rumah
N Definisi
Variabel Alat ukur Hasil ukur Skala
o. Operasional
5. Penyuluhan Kegiatan Kuesione 1: Aktif Ordinal
kesehatan promosi r > 60%
kesehatan 2: Tidak
mengenai TB aktif
paru yang < 60%
dilakukan
dalam rangka
meningkatkan
cakupan
penemuan,
meliputi
frekuensi,
sasaran dan
alat/media
yang
digunakan
6. Dukungan/ Dukungan/ Kuesione 1: Ada Diskrit
peranserta peranserta r dukungan
masyarakat masyarakat 2: Tidak
dalam ada
menunjang dukungan
keberhasilan
program TB
melalui
penemuan
suspek,
peranserta
masyarakat
dalam sistem
rujukan
penderita TB
dan sosialisasi
TB yang
dilakukan
masyarakat

Anda mungkin juga menyukai