Anda di halaman 1dari 29

PEMIKIRAN OKSIDENTALISME HASSAN HANAFI SEBAGAI

BENTUK PERLAWANAN TERHADAP PEMIKIRAN PARA


ORIENTALIS

Diajukan memenuhi salah satu tugas terstruktur pada mata kuliah


Sejarah Perdaban Islam

Disusun oleh :

Ikhsan Rahmad Hidayat : 3117033

Dosen Pembimbing ;
Kori Lilie Muslim,M.Hum

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


JURUSAN DIII PEBANKAN SYARIAH
ISTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
BUKITTINGGI
2017-2018

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan
rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan penyusunan laporan ini yang
diberi judul “Pemikiran Oksidentalisme Hassan Hanafi Sebagai Bentuk Perlawanan
Terhadap Pemikiran Para Orientalis”.
Karya ilmiah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur pada
mata kuliah Sejarah Peradaban Islam. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
dosen pembimbing Edomi Saputra. selaku dosen mata kuliah Sejarah Peradaban
Islam
Penulis menyadari dalam penulisan Karya ilmiah ini masih banyak
kekurangan karena masih dalam tahap pembelajaran. Oleh karena itu, penulis
dengan terbuka menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat memberikan
mamfaat bagi penulis sendiri dan para pembaca khususnya.
Demikiian pengantar dari penulis, atas perhatiannya di ucapkan terima
kasih

Bukittinggi, 09 April 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR………….……………………………………............. I
DAFTAR ISI………………………………………………………………...... II
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang……………………………………………............... 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………….......... 4
C. Tujuan Penulisan……………………………………..……………. 4
D. Manfaat Penelitian…………………………………………………. 4
BAB II PEMBAHASAN
A. KAJIAN TEORI
a. Pengetian Sejarah Perdaban Islam……………..…………..… 5
b. Metode Sejarah………………...……………...…….……..… 6
c. Ilmu Dasar Sejarah…………………………….....………..… 8
d. Ilmu Bantu Sejarah ……………..……………..…………..… 9
e. Mamfaat Dan Urgensi Ilmu Sejarah……..………………..… 10
B. PEMBAHASAN
a. Biografi Hassan Hanafi……………..…………..……………
b. Oksidentalisme ………………...……………...…….……...…
c. Kiri Islam …………………………….....………..………….
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan…………………………………………………………. 7
B. Saran………………………………………………………………... 7
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, pemikiran-pemikiran yang berlandaskan pada pengamatan


dari wilayah-wilayah di dunia ini sering kita temui. Pemikiran-pemikiran
tersebut sejatinya adalah sebuah pengamatan tentang kondisi yang diamati
oleh pemikir-pemikir tersebut secara geopolitik dan geostrategi di wilayah
yang mereka amati, dalam hal ini pastilah negara-negara yang berada di timur
dunia ini. Namun, kenyataannya bisa tidak berjalan sesuai dengan tujuannya.
Banyak pemikir orientalis yang hanya melakukan pengamatan tersebut secara
politis. Artinya mereka melakukan pengamatan tersebut hanya untuk
memojokkan negara-negara di wilayah timur, khususnya urusan agama dan
ideologi yang dianut.
Tapi sebelum kita masuk ke ranah itu, lebih dulu kita harus memahami
apa sebenarnya pengertian dari orientalisme. Orientalis/Orientalisme menurut
segi bahasa berasal dari kata orient yang berarti timur, dengan demikian
orientalis berarti hal-hal yang berhubungan dengan masalah ketimuran/dunia
timur.1 Kata Orientalisme adalah kata yang dilabelkan kepada sebuah
studi/penelitian yang dilakukan selain orang timur terhadap berbagai disiplin
ilmu ketimuran, baik dalam bidang bahasa, agama, sejarah, dan permasalahan-
permasalahan sosio-kultural bangsa timur.2 Menurut H.M. Yoesoef Sou’yb
orientalisme berasal dari kata orient dalam bahasa Prancis yang secara
etnologis berarti bangsa-bangsa timur. Dan kata ini memasuki berbagai bahasa
di eropa temasuk bahasa inggris, oriental adalah sebuah kata sifat yang berarti
hal-hal yang bersifat timur yang sangat sangat luas ruang lingkupnya. Suku
kata isme (belanda) atau ism (inggris) menunjukkan pengertian tentang suatu
paham. Jadi orientalisme adalah suatu paham atau penelitian studi yang
mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa

1
Di kutip dari Longman dictionary of English. Dalam :Buchari mannan, “orientalisme,ruang lingkup,
dan jati dirinya”,menyingkap tabir orientalis, AMZAH, Jakarta, 2006.
2
Al Ummah, Dr. Moh zaqzuq Orientalisme Dan Kemunduran Berpikir Mengahadapi Pergulatan
Peradaban, hal 18, 1404

4
timur beserta lingkungan dan peradabannya.3 Prof. Tk. H. Ismail jakub, S.H.
M.A : orientalisme terdiri dari kata oriental dan isme. Oriental artinya bersifat
timur, dan isme adalah kata sambung yang menunjukkan suatu paham,
ajaran, cita-cita, cara, sistem, atau sikap. Maka orientalisme dapat diartikan
ajaran atau paham yang bersifat Timur.4
Menurut Habermas, segala sesuatu harus dipahami berdasarkan motif
kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan
(power interest). Pemahaman seperti ini sudah sangat jamak dikalangan aktifis
liberal dan postmodernis. Mereka sendiri memahami Islam dengan cara yang
sama. Islam bagi mereka adalah produk dari sebuah kepentingan dan
kekuasaan. Dan karena itu mereka tidak merasa bersalah jika memahami
Islam juga untuk kepentingan tertentu. Itulah yang, kalau boleh dikatakan,
Politik Pemikiran. Menurut Akbar S Ahmed, pendukung pluralisme, anti
fundamentalisme, banyak protes terhadap tradisi, dan cara berfikirnya eklektik
(Akbar S. Ahmed, Postmodernism). Pemikiran bukan untuk pengetahuan, tapi
untuk kepentingan (kekuasaan atau politik). Buktinya dari pemikiran mereka
tiba-tiba menggalang komunitas, gerakan sosial dan bahkan menjelma
menjadi pressure group. Demi “memasarkan” paham pluralisme agama,
misalnya, pertama-tama mereka menolak adanya kebenaran mutlak, yang ada
hanya kebenaran relatif. Kepentingannya adalah untuk menghilangkan
fundamentalisme dan sikap merasa benar. Inilah politik pemikiran. Jika dibaca
dengan cermat buku-buku seperti Clash of Civilizations, karya
S.Huntington, Who Are We, karya Bernad Lewis, When Religions Become
Evil, karya Richard Kimbal, The End of History, karya Fukuyama Islam
Unveiled: Disturbing Question About the World’s Fastest Growing Faith,
karya Robert Spencer dan lain-lain mengandung fakta-fakta pemikiran yang
berimplikasi politik. Yang kurang kritis bisa saja menilai buku-buku itu

3
Di kutip dari H.M. Joesoef Sou’yb, Orientalis dan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1985, hlm. 1. Dalam
:Buchari mannan, “orientalisme,ruang lingkup, dan jati dirinya”,menyingkap tabir orientalis, AMZAH,
Jakarta, 2006
4
Di kutip dari Tk. H. Ismail Jakub, Orientalisme dan Orientalisten, Faizan, Surabaya, 1970, hal. 11. Dalam
:Buchari mannan, “orientalisme,ruang lingkup, dan jati dirinya”,menyingkap tabir orientalis, AMZAH,
Jakarta, 2006.

5
dengan sikap positif. Mungkin alasannya karena asumsinya baru, analisasnya
tajam, argumentasinya valid,pertanyaan-pertanyaannya menantang untuk
dijawab dan lain sebagainya.Tapi jika ia mencermati implikasi politik dalam
semua asumsi, analisa dan argumentasinya maka ia akan menilai dengan sikap
sebaliknya. Karena tidak semua orang dapat menemukan hubungan antara
pemikiran dan target politis dibaliknya, maka tidak heran jika diantara umat
Islam ada yang bersikap apatis terhadap wacana-wacana pemikiran yang
dikenal “liberal” itu. Padahal pemikiran yang politis itulah yang menjadi
bahan ke kebijakan strategis.5
Realitas yang berupa penjajahan Barat inilah salah satu bukti kehancuran
sebuah peradan bangsa timur khususnya. Di saat komitmen dibutuhkan, para
AIP (Agamawan, Ilmuwan, dan Politisi) seolah menutup mata dan lebih rela
meninggalkan rakyat demi menumpuk kekayaan pribadi. Padahal pembebasan
dari penjajahan maupun keterbelakangan itu dimulai dari pemikiran, perasaan,
ilmu, ideologi, sampai dengan usaha dan perjuangan fisik. Antara perjuangan
fisik dan konsepsi ilmu haruslah sejalan, tidak terpisah, dan tidak berjalan
sendiri-sendiri. Dalam kaitan inilah, seorang Hassan Hanafi mengingatkan
bahwa tugas para AIP adalah berjuang bersama rakyat. Tidak dibenarkan
seorang cendekiawan melarikan diri (migrasi), berada di atas menara gading,
atau mengambil jarak dengan persoalan riil masyarakat.6
Tentu sangat relevan mengangkat dimensi antropologis dalam pemikiran
Hassan Hanafi. Karena penulis memandang bahwa apa yang melatarbelakangi
Hanafi ialah kondisi masyarakat yang kehilangan peran dalam sejarah. Maka
muncullah oksidentalisme sebagai jawaban atas peran yang selama ini
didominasi oleh Barat. Oleh sebab itu, pada makalah ini kami ingin membahas
lebih jauh seperti apakah pemikiran oksidentalisme seorang Hassan Hanafi.
Maka Karya Ilmiah ini akan kami beri judul, “Pemikiran Oksidentalisme
Hassan Hanafi Sebagai Bentuk Perlawanan Terhadap Pemikiran Para
Orientalis”.

5
http://serbasejarah.wordpress.com/2009/04/15/politik-pemikiran/
6
Moh. Nurhakim, Islam, Tradisi & Reformasi, (Malang, Bayumedia Publishing, 2003), hal. 115.

6
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang makalah ini, maka kami menetapkan bahwa


yang menjadi inti pembahasan makalah ini adalah:
1. Seperti apa perjalanan hidup seorang Hassan Hanafi?
2. Seperti apa Konsep oksidentalisme menurut Hassan Hanafi ?
3. Bagaimana inti dari pemikiran oksidentalisme Hassan Hanafi?
4. Seperti apa kiri Islam ?

C. Tujuan Makalah

Tujuan dari makalah ini adalah:

1. Mendeskripsikan perjalanan hidup seorang Hassan Hanafi.


2. Mendeskripsikan konsep pemikiran oksidentalisme Hassan Hanafi.
3. Mendeskripsikan pemikiran oksidentalisme Hassan Hanafi.
4. Mendeskripsikan pemikiran Kiri Islam.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Akademis
b. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi kontribusi positif dalam
bidang studi imu sejarah kebudayaan islam
c. Penelitian ini diharapakan dapat digunakan sebagai bahan referensi
dan dokumentasi ilmiah dalam bidang studi ilmu sejarah perdaban
islam.
2. Manfaat Praktis
a. penelitian diharapkan dapat memebrikan sumbangan pemikiran
dalam mengetahui ilmu studi sejarah perdaban islam
b. penelitian ini diharpkan dapt dijadikan sebagai bahan referensi bagi
mahasiswa dan masyarakat umum.

7
BAB II
PEMBAHASAN

A. Landasan Teori
A. Pengertian sejarah peradaban islam

Sejarah berasal dari bahasa Arab “syajaratun” artinya pohon. Dalam


dunia barat disebut Histoire (perancis), Historie (Belanda), History
(Inggris).7 Berasal dari bahasa Yunani Istoria yang artinya ilmu. Dalam
pengertian lain, sejarah adalah catatan berbagai peristiwa yang terjadi pada
masa lampau (event in the past).8 Dalam pengertian lebih seksama sejarah
adalah kisah dan peristiwa masa lampau umat manusia.

Menurut Sidi Gazalba, sejarah adalah gambaran masa lalu tentang


manusia dan sekitarnya sebagai makluk social, yang disusun secara ilmiah
dan lengkap, meliputi urutan fakta masa tersebut dengan tafsiran dan
penjelasan yang memberi pengertiandan kepahaman tentang apa yang
telah berlalu. Sedangkan Menurut Ibn Khaldum, sejarah ialah menunjuk
kepada peristiwa-peristiwa istimewa atau penting pada waktu atau ras
tertentu.9

Peradaban Islam adalah terjemahan dari kata Arab al-Hadharah al-


Islamiyah. Kata Arab ini sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan kebudayaan Islam. “Kebudayaan” dalam bahasa Arab
adalah al-Tsaqafah. Di Indonesia, sebgaimana juga di Arab dan Barat,
masih banyak orang yang mensinonimkan dua kata “kebudayaan” dan
“peradaban”. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat
mendalam suatu masyarakat. Sedangkan manifestasi-manifestasi kemajuan
mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau

7
William H. Frederick dan Soeri Soeroto, 1982, Pemahaman Sejarah Indonesia, Sebelum dan
Sesudah Revolusi, Jakarta: LP3ES,hlm.23
8
Louis Gottschalk, 1986, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press,hlm.27
9
Sidi gazalba, 1996, Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu, Jakarta: Bharat,hlm. 11

8
kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi dan
moral, maka peradaban terrefleksi dalam politik, ekonomi, dan teknologi.

Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga


wujud.

1. Wujud Ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-


ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan lain-lain.
2. Wujud Kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks
aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
3. Wujud Benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil
karya. Sedangkan istilah peradaban biasanya dipakai untuk bagian-bagian
dan unsur-unsur dari kebudayaan yang halus dan indah10

Menurut H.A.R. Gibb, bahwa Islam sesungguhnya lebih dari sekedar


agama, Ia adalah peradaban yang sempurna. Karena yang menjadi pokok
kekuatan dan sebab timbulnya kebudayaan adalah agama Islam,
kebudayaan yang ditimbulkannya dinamakan kebudayaan atau peradaban
Islam

Sedangkan landasan dari pembahasan ini yakni “peradaban Islam”


adalah “kebudayaan Islam” terutama wujud idealnya, sementara landasan
“kebudayaan Islam” adalah agama Islam. Jadi dalam Islam, tidak seperti
pada masyarakat yang menganut agama-agama bumi, agama bukanlah
kebudayaan tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan
merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, maka agama Islam adalah
wahyu dari Allah SWT.

B. Metode Sejarah

Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis


rekaman dan peninggalan masa lampau. Rekontruksi yang imaginative

10
Azyumardi. 2002. Pendidikan Islam.PT Logos Wacana Ilmu: Jakarta. Hal. 3

9
dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh
prose situ disebut historiografi (penulisan Sejarah).11

1. Metode Penggalian sejarah.


a. Metode lisan (interview) , yaitu dalam pelacakan suatu obyek
sejarah dilakukan dengan interview.
b. Metode Observasi, dalam metode ini obyek sejarah diamati
langsung. Jadi metode observasi merupakan metode pengumpulan
data, yakni penyelidikan yang dijalankan secara sistematis dan
sengaja diadakan dengan menggunakan alat indera terhadap
kejadian yang dapat langsung ditangkap.
c. Metode Dokumenter, metode ini berusaha mempelajari secara
cermat dan mendalam segala catatan atau dokumen tertulis.12

2. Metode Penulisan Sejarah.

Adapun dalam penulisan sejarah, metode yang dapat digunakan


adalah metode

a. Metode Deskriptif, dengan metode ini digunakan untuk


menggambarkan adanya peradaban Islam tersebut, maksudnya
ajaran Islam sebagai agama samawi yang dibawa Nabi Muhammad
yang berhubungan dengan peradaban diuraikan sebagaimana
adanya dengan tujuan untuk memahami yang terkandung dalam
sejarah tersebut.
b. Metode Komparatif, metode ini merupakan metode yang berusaha
membandingankan sebuah perkembangan peradaban Islam dengan
peradaban Islam lainya. Dalam metode ini dimaksudkan bahwa
ajaran-ajaran Islam dikomparasikan dengan fakta-fakta yang terjadi
dan berkembang dalam waktu serta tempat-tempat tertentu untuk
mengetahui adanya persamaan dan perbedaan dalam suatu
permasalahan tertentu.
c. Metode Analisis Sintesis, metode ini melihat sosok peradaban
Islam lebih kritis, ada analisis bahasan yang lebih luas serta
kesimpulan yang spesifik.13

11
Louis Gottschalk, 1986, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press,,hlm. 32
12
Bimo walgito,1980, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah,Yogyakarta: fak.psikologi,
UGM,.hlm.54
13
Bimo walgito,1980, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah,Yogyakarta: fak.psikologi,
UGM,.hlm.56

10
C. Ilmu Dasar Sejarah

Untuk memperoleh data yang akurat terkait sejarah dibutuhkan


ilmu-ilmu pendukung yang akan memperkuat keberadaan sejarah
tersebut. Adapun ilmu tersebut terbagi menjadi : Ilmu-ilmu dasar
sejarah (auxillary disciplines) dan Ilmu-ilmu Bantu sejarah (auxillary
sciences). Adapun ilmu Bantu sejarah meliputi :

1. Paleografi.

Adalah pengetahuan mengenai tulisan-tulisan kuno. Melalui


paleografi ini dapat diketahui beberapa hal yaitu :

a. Bentuk tulisan misal tulisan Arab seperti : tumar, nasakhi,


tsulus, farisi, magribi, ghubar, diwani dll.
b. Cara membaca tulisan kuno seperti tulisan mesir pada
piramida, tulisan arab sebelum Islam, tulisan Ibrani, tulisan
jawa dengan bahasa sansekerta dll.
c. Kapan dan dimana tulisan itu dibuat, sebab tulisan mengalami
perubahan-perubahan, baik karena waktu maupun tempat yang
berbeda.

2. Diplomatik

Diplomatik adalah suatu cabang pengetahuan yang menyelidiki


tanggal, tempat serta keaslihan dokumen-dokumen tertulis.

3. Epigrafi

Epigrafi adalah cabang pengetahuan mengenai inskripsi atau


tulisan yang terdapat dalam monument, baik mengenai teknik
penulisan/pembuatan maupun isi teksnya.

4. Kronologis

Kronologis adalah cabang pengetahuan yang membahas


tentang masalah kesatuan waktu, seperti kalender Julius (model
lama) dan Gregorius (model baru) dalam kalender masehi, tahun
hijriyah dalam Islam (1H = 622 M), tahun saka (1 saka = 78 M).dl

5. Sigilografi

Sigilografi adalah pengetahuan mengenai segel yang


dipergunakan oleh para raja, khalifah, gubernur, dll. Dengan

11
mengetahui bentuk segel dan cara penggunaanya, maka akan
diketahui apakah dokumen tersebut asli atau palsu.

6. Heraldry

Heraldry adalah pengetahuan tentang tanda-tanda atau symbol


istimewa yang terdapat dalam stempel, baju besi, pakaian para
pembesar, pada bendera dan pakaian tentara.

7. Numismatik

Numismatic adalah pengetahuan untuk mengadakan klasifikasi


dan menguraikan secara deskriptif mengenai mata uang menurut
negeri atau zamanya, termasuk didalamnya adalah medali.

8. Genealogi

Genealogi adalah pengetahuan tentang asal usul dan silsilah


termasuk juga daftar para pembesar dan pegawai. Bangsa Arab
sangat mementingkan silsilah ini, sehingga ada buku khusus untuk
mencari silsilah.

D. Ilmu Bantu Sejarah

Sejarah peradaban merupakan uraian sistematis dari segala sesuatu


yang telah dipikirkan dan dikerjakan dalam lapangan peradaban pada
waktu yang telah lampau. Didalam memahami sejarah peradaban
tersebut dibutuhkan ilmu Bantu sejarah meliputi :

1. Geografi

Peristiwa sejarah memiliki lingkup ruang dan waktu, dalam


konteks ruang dimensi geografi sangat penting. Bahkan dalam konteks
perluasan wilayah kekuasaan dan penyebaran suatu agama tidak
mungkin dapat dijelaskan dengan baik, jika tidak mengetahui
geografinya.

2. Sosiologi.

Timbulnya dinamika kehidupan berawal dari interaksi seseorang


yang terjadi dalam kehidupan antara individu maupun antara golongan.
Proses mobilitas social hendaknya berorientasi pada kemaslahatan,
baik dunia maupun akherat. Karena mobilitas social berpengaruh pada
system peradaban Islam dan kebijakan peradaban Islam yang
digunakan pada perkembangan peradaban Islam selanjutnya.

12
3. Antropologi.

Antropologi dan sejarah memiliki obyek kajian yang sama yaitu


manusia. Metode dalam antropologi dapat membantu beberapa
masalah yang dihadapi oleh sejarawan. Berkaitan dengan peradaban,
maka ada sejarah peradaban dan ada pula antropologi budaya. Dalam
melakukan kajian sejarah peradaban dapat menggunakan konsep
antropologi budaya dalam berbagai aspek yaitu : norma, adat istiadat,
tingkat peradaban, gaya hidup dan lain-lain.

4. Arkeologi

Arkeologi berbicara tentang warisan masa lampau yang berupa


benda, bangunan, dan momentum yang berada dipermukaan tanah.
Arkeologi memberikan bahan tentang kurun waktu yang tidak
mewariskan bahan tertulis atau kurang tertulis. Dalam konteks ini
arkeologi bersifat melengkapi, meskipun hanya bersifat melengkapi,
bagi sejarah kebudayaan dan peradaban arkeologi sangat penting
keberadaanya. Sebab arkeologi dapat mengungkapkan peradaban
materiel masa lampau, seperti pembentukan kota, struktur perumahan,
perabot rumah tangga, pakaian, perhiasan, alat kerja, senjata bahkan
pengetahuan tentang agama.

5. Ilmu Sejarah.

Sejarah adalah kisah dan peristiwa masa lampau umat manusia.


Ilmu sejarah dipelajari untuk diambil dari sebuah sejarah, jika ada nilai
positifnya dapat dikembangkan dalam kemodernan peradaban, tetapi
jika sebaliknya hal yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan
zaman dapat dijadikan sebagai pengetahuan.

E. Manfaat dan Urgensi Mempelajari Sejarah Peradaban Islam

Sejarah mencatat kondisi kebesaran Islam berkat kemajuan ilmu


pengetahuan dan teknologi, dimana pada waktu dunia Islam menjadi kiblat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia. Sejarah memiliki
nilai dan arti penting yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Hal
tersebut dikarenakan sejarah menyimpan atau mengandung kekuatan yang
dapat menimbulkan dinamisme dan melahirkan nilai-nilai baru bagi
perkembangan kehidupan manusia.

13
Dengan mengkaji sejarah, dapat diperoleh informasi tentang aktifitas
peradaban Islam dari zaman Rasulullah sampai sekarang, mulai dari
pertumbuhan, perkembangan, kemajuan, kemunduran, dan kebangkitan
kembali agama Islam. Selain itu dengan mempelajari sejarah peradaban
Islam diharapkan seseorang dapat memiliki kemauan untuk melakukan
pembangunan dan pengembangan peradaban Islam dan dapat pula
menyelesaikan problematika peradaban Islam pada masa kini, serta dapat
memunculkan sikap positif terhadap berbagai perubahan system peradaban
Islam.14

Adapun kegunaannya sebagai berikut:

a. KegunaanEdukatif

Kegunaan sejarah yang pertama adalah sebagai edukatif atau pelajaran.


Banyak manusia yang belajar dari sejarah belajar dari pengalaman yang
pernah dilakukan. Pengalaman tidak hanya terbatas pada pengalaman yang
dialaminya sendiri, melainkan juga dari generasi sebelumnya.manusia
melalui belajar dari sejarah dapat mengembangkan potensinya. Kesalahan
pada masa lampau baik kesalahan sendirimaupunoranglain.

b. KegunaanInspiratif

Kegunaan sejarah yang kedua adalah sebagai inspiratif. Berbagai kisah


sejarah dapat memberikan inspirasi pada pembaca dan pendengarnya.
Belajar dari kebangkitan nasional yang dipelopori oleh bedirinya
organisasi perjuangan yang modern di awal abad ke-20, masyarakat
Indonesia sekarang berusaha mengembangkan kebangkitan nasional ang
ke2. Pada kebangkitan nasional yang pertama, bangsa indonesia berusaha
merebut kemerdekaan yang sekaranginisudahdirasakanhasilnya.15

c. ManfaatRekreatif.

Kegunaan sejarah yang ketiga adalah sebagai kegunaan rekreatif.


Kegunaan sejarah sebagai kisah dapat memberi suatu hiburan yang segar,
melalui penulisan kisah sejarah yang menarik pembaca dapat terhibur.
Gaya penulisan yang hidup dan komunikatif dari beberapa sejarawan
terasa mampu “menghipnotis” pembaca. Pembaca akan merasa nyaman
membaca tulisan dari sejarawan. Konsekuensi rasa senang dan daya tarik
penulisan kisah sejarah tersebut membuat pembaca menjadi senang.

14
Harun Nasution,1975,Pembaharuandalam Islam; Sejarahpemikirandangerakan, Bulanbintang:
Jakarta, Hlm. 11
15
Ibid.

14
Membaca menjadi media hiburan dan rekreatif. Membaca telah menjadi
bagian dari kesenangan. Membaca telah dirasakan sebagai suatu
kebutuhan, yaitu kebutuhan yang untuk rekreatif.16

16
Ibn Khaldum, Op.Cit,

15
B. Pembahasan
A. Biografi Hassan Hanafi

Hassan Hanafi adalah seorang pemikir muslim dan professor filsafat


terkemuka di Mesir. Dilahirkan 13 Februari 1935 di Kairo, Mesir. Ia
memperoleh sarjana muda bidang filsafat dari University of Cairo pada
tahun 1956.17 Ketika menginjak usia 5 tahun, Hanafi mulai menghafal Al-
Qur’an di bawah bimbingan syaikh Sayyid. Bimbingan tersebut
berlangsung fi kota Kairo bagian selatan.18

Pada usia 13 tahun, ia pernah mendaftarkan dirinya untuk terlibat


dalam perang melawan Israel pada tahun 1948. Namun keinginannya
tersebut harus ditolak oleh pihak Ikhwanul Muslimin karena dianggap
masih terlalu muda. Pada tahun 1951, ketika Hanafi duduk di sekolah
tingkat atas, ia memberanikan diri untuk membantu gerakan revolusi. Ia
tertarik dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, namun organisasi tersebut
menyarankan Hanafi untuk bergabung dengan organisasi Mesir Muda.19

Setelah tamat dari Universitas Kairo, ia pergi ke Perancis untuk


memperdalam filsafat. Ia mengambil spesialisasi filsafat Barat modern dan
pra-modern. Di Perancis inilah (Universitas Sorbonne) Hanafi
mematangkan filsafatnya selama kurang lebih 10 tahun.20 Iklim akademik
di Perancis saat itu sangat mendukung, membuat Hanafi semakin matang
dalam mendalami filsafat. Disertasi Doktornya yang berjudul, L’Exegess
de la Phenomenologue, L’etat Actual de la Methode Phenomenologue et
son Apliccation au Phenomene Religieux, merupakan karya yang

17
Ilham, B. Senong, “Hermeneutika Al-Qur’an; Metode Tafsir menurut Hassan Hanafi”,
www.agustea08.multiply.com
18
Abad Badruzzaman, Kiri Islam Hassan Hanafi; Menggugat Kemapanan Agama dan Politik
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hal. 42.
19
Moh. Nurhakim, Ibid, hal. 8
20
Abad Badruzzaman, ibid, hal. 42

16
monumental. Karya tersebut sekaligus mendapatkan penghargaan sebagai
karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961.21

Hanafi berasal dari keluarga pemusik, sehingga wajar kalau ia pun


memiliki hobi bermain musik. Ia sempat dihadapkan pada dua pilihan
antara musik atau filsafat. Ia memilih filsafat karena baginya ide-ide
filsafat ibarat musik yang selalu menghiasi telinganya. Sedangkan musik
ibarat nada-nada kosong tanpa makna.

Ketika Mesir kalah dalam perang melawan Israel pada tahun 1967,
Hanafi ikut serta dengan rakyat berjuang dan membangun kembali
semangat nasionalisme mereka. Pada sisi lain, ia juga memanfaatkan
media massa sebagai corong perjuangan.22 Selain mengajar di Universitas
Kairo, Hanafi juga menyempatkan diri untuki mengajar di beberapa
Universitas di luar negeri. Pada tahun 1969 ia pernah menjadi professor
tamu di Perancis, kemudian tahun berikutnya di Belgia. Kemudian antara
tahun 1971 sampai 1975 ia mengajar di Universitas Temple, Amerika
Sesrikat. Kepergian Hanafi ke AS sebenarnya berawal dari sikap
pemerintah Mesir yang keberatan dengan aktivitasnya di Mesir, kemudian
Hanafi diberikan pilihan untuk menghentikan aktivitasnya atau pindah ke
AS.23

Pada periode 1970-an, Hanafi banyak menulis artikel di berbagai


media massa, seperti Al Katib, Al Adad, Al Fikr al-Mu’ashir, dan mimbar
Al-Islam. Pemikiran Hanafi pada periode ini lebih bersifat populis, ia
memberi perhatian utama dalam upaya mencari penyebab kekalahan Islam
dalam perang melawan Israel pada tahun 1967. Pada tahun 1976, tulisan-
tulisan Hanafi yang dimuat di media massa kemudian diterbitkan menjadi
sebuah buku dengan judul Qadhaya Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir.
Buku tersebut memberikan penjelasan tentang pentingnya pembaruan
21
Listiyosno Santoso (dkk), epistemologi kiri (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2003), hal. 268.
22
Hassan, Hanafi, Aku Bagian dai Fundamentalisme Islam, Terj. Kamran, Mufiha (Yogyakarta:
Islamika, 2003) hal. 59
23
Moh. Nurhakim, Ibid, hal. 15

17
pemikiran Islam dalam rangka menghidupkan kembali khazanah klasik,
analisis tentang tugas para pemikir muslim dalam menghadapi
permasalahan umat, dan realitas dunia Arab saat itu.24

Pada tahun 1977, kembali Hassan Hanafi menerbitkan Qadhaya


Mu’ashirat fi al Fikr al-Gharib. Dalam buku tersebut dijelaskan bagaimana
para pemikir Barat memahami persoalan yang ada dalam masyarakat dan
kemudian mengadakan pembaruan. Hanafi menyinggung para pemikir
Barat, diantaranya: Spinoza, Voltaire, Kant, Hegel, Unamuno, Karl
Jaspers, Karl Marx, Marx Webber, Edmund Husserl, dan Herbert Marcuse.

Dalam kedua buku itu Hanafi ingin menunjukkan bagaimana posisi


umat Islam yang lemah dan posisi Barat yang superior. Poin pentingnya
adalah mencari sebab-sebab kekalahan umat Islam. Berkaitan dengan
masalah inferioritas umat Islam, Hanafi menekankan pada pemberdayaan
umat, terutama dari segi pola pikirnya. Adapun masalah superioritas barat,
hanafi menunjukkan bagaimana upaya untuk menekan superioritas
tersebut. Barangkali dari kedua pendekatan inilah muncul dua pokok
pemikirannya mengenai Tradisi dan pembaruan dan oksidentalisme.

Masih banyak lagi karya dari Hassan Hanafi, seperti: Al Din Wa al-
Tsaurah fi Mishr (1952-1981),25 Religion Dialogue and Revolution,
Dirasah Islamiyyah, Al-Turats wa al-Tajdid, Al-Yasar Al-Islamiy, Min Al-
Aqidah ila Al-Tsaurah, Relogion, Ideology, and Development, Islam in the
Modern World, dll.

24
Ibid, hal. 13
25
Abad Badruzzaman, ibid, hal. 49

18
B. Oksidentalisme

Proyek Hanafi yang disebut “Tadisi dan Pembaruan” terdirid ari tiga
agenda, ketiga agenda tersebut diantaranya: sikap kita terhadap tradisi
lama, sikap kita terhadap tradisi Barat, dan sikap kita terhadap realitas.26
Setiap agenda tersebut mempunyai penjelasan teoritis sendiri-sendiri.
Apabila diuraikan maka pembahasan tiga agenda tersebut adalah: agenda
“sikap kita terhadap tradisi lama” mencakup; dari teologi ke revolusi, dari
transferensi ke inovasi, dari teks ke realita, dari kefanaan menuju
keabadian, dari teks ke ratio, akal dan alam, dan manusia dan sejarah.
“sikap kita terhadap tradisi Barat” mencakup; sumber peradaban Eropa.
“Sikap Kita Terhadap realita” mencakup: metodologi, perjanjian baru dan
perjanjian lama.27

Konsep oksidentalisme ini sebenarnya merupakan “wacana


dekonstruksi” terhadap hegemoni Barat yang digelar melalui
oksidentalisme. Barat telah lama menjadikan Timur sebagai objek kajian.
Dan pada saat yang sama yang terjadi di kalangan Timur hanya komentar
dan komentar. Kalaupun ada kritik tak ada yang dilakukan secara
komprehensif. Maka dari itu Hanafi memandang perlu mengangkat
oksidentalisme sebagai displin ilmu yang mencerminkan semangat
kebangkitan Timur (Islam).

Istilah oksidentalisme belum banyak dimengerti oelh banyak


kalangan. Yang menjadi penyebabnya adaklah karena tema tersebut
tergolong baru dan mempunyai akar yang kuat. Secara etimologis istilah
oksidentalisme berasal dari bahasa Inggris Occidentalism yang berartti
hal-hal yang berhubungan dengan Barat, baik budaya, ilmu, aspek sosial
lainnya. Secara terminologis, oksidentalisme diartikan suatu bidang kajian
secara spesifik mengkaji Barat dengan sudut pandang atau kerangka
26
Hassan, Hanafi, Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Trj. M. Naji Bukhori
(Jakarta: Paramadina, 2000) hal. 1
27
Hassan, Hanafi, Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Trj. M. Naji Bukhori
(Jakarta: Paramadina, 2000) hal. 3

19
Timur. Kajian ini meliputi banyak hal seperti peradaban, filsafat, seni,
agama dan sejarah.28

Hanafi yakin orientalisme sama saja dengan imperialisme, seperti


kepopuleran imperialisme kultural yang digelar Barat melalui media
informasi dengan mempropagandakan Barat sebagai pusat kebudayaan
kosmopolitan. Bahkan, orientalisme dijadikan kedok belaka untuk
melancarkan ekspansi kolonialisme Barat (Eropa) terhadap dunia Timur
(Islam).

Oksidentalisme lahir sebagai jawaban atas superioritas Barat yang


telah lama mendominasi Timur Melalui Orientalisme. Dengan
orientalisme Barat mempunyai alat yang bisa digunakan untuk melihat
Timur dengan menggunakan kacamata mereka. Seolah tak ada peradaban
lain yang mampu mendefinisikan dirinya sendiri, maka tugasa Barat lah
untuk mendefinisikannya. Perihal orientalisme ini telah dibongkar oleh
Edward Said secara komprehensif dan mendalam.29 Edward Said
mengatakan bahwa ada penciptaan perbedaan epistemologis dan ontologis
yang diciptakan dalam kajian mengenai Timur dan Barat, perbedaan
tersebut berupa stereotipe-stereotipe seperti maju/barbar,
berkembang/primitive, unggul/rendah, rasional/menyimpang dan
seterusnya. Penggunaan stereotipe-stereotipe semacam ini akan
membenarkan tindakan biadab kolonialisme untuk mengeksploitasi kaum
pribumi.30 Inilah mitos peradaban. Mitos semacam itu telah masuk ke
dalam kesadaran kita sehingga Eropa mengambil posisi tertinggi dalam
sejarah panjang kehidupan Timur. Tugas oksidentalisme adalah
mematahkan mitos tersebut sehingga tidak ada klaim kebudayaan
universal yang “memaksa” kebudayaan lain untuk mengadopsinya.
Dengan konstruksi pemikiran seperti inilah, akan terpetakan mana wilayah

28
Moh. Nurhakim, Islam, Tradisi & Reformasi, (Malang, Bayumedia Publishing, 2003), hal. 84
29
Listiyosno Santoso (dkk), epistemologi kiri (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2003), hal. 279
30
Shelley Walia, Edward Said dan penulisan sejarah, Terj. Sigit Djatmiko (Yogyakarta: Jendela,
2003), hal. 45

20
Barat dan mana wilayah Timur. Artinya, bahwa setiap bangsa mempunyai
sejarah dan kebudayaannya sendiri. Begitu juga dengan Barat. Tidak ada
istilah ibu kebudayaan atau anak kebudayaan. Kalau mitos tersebut tidak
ditandingi maka karakter bangsa lain akan terabaikan sekaligus terjadi
monopoli kebudayaan.31

Sebagai wacana yang bersifat ilmiah, orientalisme sudah memiliki


akar historis yang cukup panjang. Bersamaan dengan gelombang
kolonialisme Eropa ke wilayah Timur pada abad ke-17, dilakukan pula
sejumlah aktivitas “ilmiah” yang berupa studi kebudayaan Timur.
Kebudayaan Timur dianggap sebagai the other, seperti juga kegilaan
berhadapan dengan rasio, sehingga sah-sah saja kebudayaan Timur
dijasikan objek kajian. Selanjutnya, orientalisme menjadikan Barat sebagai
sentral kebudayaan. Tentu saja, yang namanya pusat tentu cenderung
menggilas yang berada di wilayah pinggiran. Identitas kultural masyarakat
Barat bersama-sama dengan arus globalisasi yang kian tak terbendung.

Bagi Hanafi, dalam melakukan dialektika ketika ego mampu menjadi


subjek, ada beberapa fase yang terjadi, diantaranya: fase transferensi, fase
transferensi makna, fase anotasi, fase peringkasan, mengarang dalam
lingkup kebudayaan pendatang disamping tema tradisi ego, kritik terhadap
kebudayaan pendatang, dan menolak total kebudayaan pendatang karena
sudah tidak diperlukan lagi.32

Westernisasi mengancam kemerdekaan ego dalam banyak hal.


Banyak negara-negara ketiga yang telah terseret oleh arus westernisasi.
Jika kita ambil contoh di Indonesia misalnya, baik itu dari kalangan
intelektual maupun dari budaya para remaja pada umumnya. Para
intelektual yang terBaratkan selalu bangga ketika merujuk ke Barat
meskipun harus melupakan budaya dan akar sejarahnya sendiri. Meskipun

31
Hassan, Hanafi, Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Trj. M. Naji Bukhori
(Jakarta: Paramadina, 2000) hal. 34
32
Ibid, hal. 61

21
hal itu jelas merupakan suatu reduksi yang luar biasa. Barat adalah pusat
peradaban, untuk itu kita harus senantiasa “menyembahnya” meskipun itu
berakibat pada hilangnya tradisi intelektual yang mencerminkan budaya
kita.33 Dalam mengkritisi konstruksi sejarah, Hanafi memperlihatkan
bagaimana sejarah diciptakan oleh Barat dan selalu menempatkan Barat
sebagai puncak peradaban manusia, sementara yang lainnya hanya
pengantar. Alam bawah sadar kita pun terhipnotis olehnya. Sebagai
contoh, ketika kita ditanya sedang hidup di zaman apa kita menjawabnya
bahwa kita hidup di zaman modern. Tanpa melakukan pemetaan tentang
arti modernitas itu sendiri. Begitu pula rasa bangga yang berlebihan ketika
mendengar kata “globalisasi” yang seolah memberi tantangan setiap insan
untuk bersaing dan sebagai simbol kemajuan. Ironisnya hal tersebut terjadi
hampir di segala segi kehidupan, termasuk pendidikan. Mungkin ini tepat
disebut sebagai “kesadaran palsu”. Kekaguman terhadap mitos
erosentrisme adalah sebagai indikasi bahwa kesadaran masyarakat Timur
akan peradabannya sendiri masih sangat dangkal. Kesadaran seperti inilah
yang belum ada pada mayoritas intelektual kita. Ketika berbicara
keragaman, kerukunan atau saling memahami antar pemeluk agama, kita
selalu merujuk pada kepentingan. Hanafi juga mengakui hal tersebut.
Bahwa barat sebagai pendatang telah menjadi sumber pengetahuan utama
dalam kesadaran ego.

Oksidentalisme tidak terbatas pada pengertian mengkaji Barat


dengan kemudian memahami peradaban Barat, mendiskusikannya,
mengaguminya, atau bahkan menjadikannya sebagai panutan dan tolok
ukur. Tidak juga terbatas pada kritik yang senpit sebagaimana opini dalam
artikel atau komentar-komentar belaka. Karena semua itu dapat dilakukan
tanpa harus ada oksidentalisme. Siapapun dapat melakukan bahkan orang
Barat sekalipun. Tujuan oksidentalisme di samping mempelajari Barat
sebagai sebuah peradaban, juga untuk membangun kemandirian ego.

33
Eko Prasetyo, Astagfirullah: Islam Jangan Dijual (Yogyakarta: Resist Book, 2007) hal. 46

22
Sebagaimana yang dilakukan oleh pendahulu dalam melakukan dialektika
dengan Yunani.

Menurut Hassan Hanafi, “Jika Oksidentalisme telah selesai dibangun


dan telah dipelajari oleh para peneliti dari beberapa generasi, lalu menjadi
arus utama (thayyar `âmm) pemikiran di negara kita (Mesir dan Timur
Tengah, termasuk Indonesia –red.) serta memberikan andil dalam
membentuk kebudayaan tanah air, maka akan terdapat hasil-hasil seperti
berikut ini:34

1. Adanya kontrol atau pembendungan atas kesadaran Eropa dari awal


sampai akhir, sejak kelahiran hingga keterbentukan.
2. Mempelajari kesadaran Eropa dalam kapasitas sebagai sejarah, bukan
sebagai kesadaran yang berada di luar sejarah (khârij al-târîkh) .
3. Mengembalikan Barat ke batas alamiahnya, mengakhiri perang
kebudayaan, menghentikan ekspansi tanpa batas, mengembalikan
filsafat Eropa ke lingkungan di mana ia dilahirkan, sehingga
partikularitas Barat akan terlihat.
4. Menghapus mitos “kebudayaan kosmopolit”; menemukan spesifikasi
bangsa di seluruh dunia, dan bahwa setiap bangsa memiliki tipe
peradaban serta kesadaran tersendiri, bahkan ilmu fisika dan teknologi
tersendiri seperti yang terjadi di India, Cina, Afrika dan Amerika
Latin; menerapkan metode sosiologi ilmu pengetahuan dan antropologi
peradaban pada kesadaran Eropa yang selama ini diterapkan
produsennya pada kesadaran non Eropa, dan merupakan satu
penemuan yang sangat berharga yang orisinal dan tidak pernah terjadi
sebelumnya. Singkatnya, agar terjadi pola hubungan seimbang, akan
muncul berbagai sentrimisme, semua peradaban dalam satu level,
sehingga terjadi hubungan timbal balik dan interaksi peradaban yang
harmonis.

34
Hassan, Hanafi, Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Trj. M. Naji Bukhori
(Jakarta: Paramadina, 2000) hal. 51-59

23
5. Membuka jalan bagi terciptanya inovasi bangsa non Eropa dan
membebaskannya dari “akal” Eropa yang menghalangi nuraninya,
sehingga bangsa non Eropa dapat berpikir dengan “akal” dan kerangka
lokalnya sendiri. Sehingga akan ada keragaman tipe dan model. Tidak
tunggal bagi semua bangsa di dunia (baca, QS. Al-Mâ’idah[5]:48).
“Tidak ada kreasi tanpa pembebasan diri dari kontrol the other dan
tidak ada inovasi orisinal tanpa kembali kepada diri sendiri yang telah
terbebas dari keterasingan dalam the other. Orisinalitas ini akan beralih
dari tingkat kesenian rakyat ke tingkat substansial dan konsepsi
tentang alam.” Tegas Hanafi.
6. Menghapus rasa rendah diri yang terjadi pada bangsa non Eropa ketika
berhadapan dengan bangsa Eropa dan memacu mereka menuju tahap
inovator setelah sebelumnya hanya berperan sebagai konsumen
kebudayaan, ilmu pengetahuan dan kesenian, bahkan tidak mustahil
akan dapat melampaui Eropa.
7. Melakukan penulisan ulang sejarah agar semaksimal mungkin dapat
mewujudkan persamaan bagi seluruh bangsa di dunia yang
sebelumnya menjadi korban perampasan kebudayaan yang dilakukan
bangsa Eropa.
8. Permulaan filsafat sejarah Barat yang dimulai dari angin Timur;
ditemukannya siklus peradaban dan hukum evolusinya yang lebih
komprehensif dan universal dibanding yang ada di lingkungan Eropa;
dan tinjauan ulang terhadap posisi bangsa Timur sebagai permulaan
sejarah seperti dikatakan Herder, Kant, dan Hegel.
9. Mengakhiri Orientalisme; mengubah status Timur dari obyek menjadi
subyek, dari sebongkah batu menjadi suatu bangsa; meluruskan
hukum-hukum yang diterapkan Barat ketika berada di puncak
kebangunannya kepada peradaban Timur yang sedang berada dalam
keterlelapan tidur dan kealpaannya.
10. Menciptakan Oksidentalisme sebagai ilmu pengetahuan yang akurat,
bisa mengubah peradaban Barat dari kajian obyek menjadi obyek

24
kajian; melacak perjalanan, sumber, lingkungan, awal, akhir,
kemunculan, perkembangan, struktur dan keterbentukan peradaban
Barat.
11. Membentuk peneliti-peneliti tanah air yang mempelajari peradabannya
dari kacamata sendiri dan mengkaji peradaban lain secara lebih netral
dari kajian yang pernah dilakukan Barat terhadap peradaban lain.
Dengan begitu akan lahir sains dan peradaban tanah air, serta akan
terbangun sejarah tanah air.
12. Dimulainya pemikir baru yang dapat disebut sebagai filosuf, pasca
generasi pelopor di era kebangkitan. Hal ini untuk menjawab
pertannyaan, apakah kita memiliki filosuf?
13. Kalupun generasi kita telah merampungkan tugas pembebasan dari
penjajah, pendudukan militer, kemudian berupaya merubah revolusi
menjadi sebuah negara yang mewujudkan kemerdekaan ekonomi,
maka tugas itu, kata Hanafi, belum sempurna.
14. “Dengan Oksidentalisme, manusia akan mengalami era baru di mana
tida ada lagi penyakit rasialisme terpendam seperti yang terjadi selama
pembentukan kesadaran Eropa yang akhirnya menjadi bagian dari
strukturnya. Permusuhan antar bangsa seperti dialami umat manusia
dalam dua kali perang Eropa yang hanya berjarak dua puluh tahun,
akan sirna.” Diingatkan Hanafi, bahwa, “Zionisme telah mewarisi
penyakit tersembunyi ini dan masih menjalankan cara penjajah dan
rasialisme.”

25
C. Kiri Islam

Kiri Islam berangkat dari dimensi revolusioner yang ada pada khazanah
Islam klasik. Maka dari itu upaya untuk menggali kekayaan warisan lama
mutlak diperlukan. Khazanah lama (menurut Hanafi) terdiri dari tiga macam
ilmu pengetahuan, yaitu ilmu-ilmu normative rasional, semisal matematika,
astronomi, farmasi, kimia, dan kedokteran. Dan yang terakhir adalah ilmu-
ilmu normatif tradisional, yaitu ilmu Al-Qur’an, ilmu Hadist, sirah nabi, fiqh
dan tafsir.35

Dasar pijakan dari ide dan gerakan kiri Islam adalah kesadarn kaum
muslimin atas realitasnya. Bukan didekte oleh liberalisme atau marxisme. Kiri
Islam berusaha melakukan dinamisasi bagi umat Islam agar menjadikan Islam
sebagai khazanah nasional. Ia dapat bergandengan dengan sosialisme,
nasionalisme, atau bahkan marxisme. Hal itu sah-sah saja dengan catatan
bahwakepentingan umat dan kemaslahatan bersama menjadi prioritas.

Perebutan otonomi politik, ekonomi, budaya dan agama juga menjadi


agenda bersar kiri Islam. Tanpa ototnomi maka mustahil akan ada orisinilitas.
Tanpa orisinilitas maka kemerdekaan menjadi hal semu. Sejauh ini kami
menilai bahwa Kiri Islam adalah gagasan sentral dari tradisi dan pembaruan
Hassan Hnafi. Sebab, dalam kiri Islam terdapat agenda yang bersifat total.
Sikap terhadap tradisi lama, sikap terhadap tradisi Barat, dan sikap terhadap
kondisi umat Islam saat ini, semua tercakup dalam kiri Islam. Sikap Hanafi
yang kritis dan selektif terhadap berbagai pemikiran klasik merupakan bagian
dari agenda Kiri Islam. Misalnya menjaga jarak dengan teologi asy’ari dan
memilih Mu’tazilah. Dan sikap seperti ini secara khusus dibahas dalam
agenda penyikapan terhadap tradisi lama.36

35
Kazuo, Shimogaki, Kiri Islam; Antara Modernisme dan Postmodernisme, Terj. M. Imam Aziz &
M.Jadul Maulana (Yogyakarta: LkiS, 2007), Hal. 121
36
Abad Badruzzaman, Kiri Islam Hassan Hanafi; Menggugat Kemapanan Agama dan Politik
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hal. 14

26
Kiri Islam Hassan Hanafi tidak hanya sebagai rumusan teoritik, ia juga
sebagai teori gerakan yang bertujuan menjadikan Islam sebagai gerakan
revolusioner yang berkesinambungan. Kesinambungan tersebut tentu saja
berkaitan dengan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dan ini menjadi hal
yang maklum karena kiri Islam berangkat dari tradisi Islam sendiri.
Maka dari itu, Hanafi merasa perlu belajar pada gerakan-gerakan
pembaruan sebelumnya seperti yang dilancarkan oleh ibnu Taimiyah,
Jmaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha, Hassan al-Banna dan lainnya. Kiri Islam
tidak mengenal batas metodelogis, ideologis, maupun tipologis yang ada
dalam umat Islam sendiri. Setiap gerakan perlawanan yang muncul dari umat
Islam yang bertujuan untuk meraih kemerdekaan, maka kiri Islam dapat
bergandengan dengannya.37
Karateristik seorang tokoh seperti Muhammad Abduh dapat dijadikan
sebagai panutan dalam masalah rasionalitas, yang mengkritik atas tradisi. Dai
Imam Khomeini, kiri Islam dapat menjasdikannya sebagai contoh seornag
yang progressif revolusioner. Demikian juga Jmaluddin al-Afghani yang
mengingatkan bahaya imperialisme atas dunia Islam.
Karakteristik seperti inilah yang akan semakin menguatkan tesis bahwa
Islam adalah agama yang mencintai kemajuan, rasionalitas, dan menganjurkan
perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Kiri Islam hadir dengan spririt
tersebut. Semangat monoteistik yang terkandung dalam Islam pada dasarnya
juga mengandung makna penolakan terhadap segala sesuatu yang
bertentangan dengan-NYA, yaitu Syirik.

37
Kazuo, Shimogaki, Kiri Islam; Antara Modernisme dan Postmodernisme, Terj. M. Imam Aziz &
M.Jadul Maulana (Yogyakarta: LkiS, 2007), Hal. 164

27
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan makalah ini, kami menyimpulkan bahwa pemikiran


oksidentalis Hassan Hanafi amerupakan revitalisasi khazanah keilmuan Islam
klasik agar dapat dijadikan sebagai landasan berpikir bagi generasi kontemporer.
Untuk menjawab tantangan global, umat Islam tidak perlu meninggalkan
tradisinya. Tetapi juga bukan berarti tertutup sama sekali terhadap hal-hal yang
berasal dari luar (Barat). Untuk itu, tradisi perlu direkonstruksi dan perlu bersikap
kritis terhadapnya.

Tradisi bukanlah barang mati yang telah ditinggalkan oleh orang-orang


terdahulu. Melainkan ia adalah warisan yang mempunyai kekayaan dan mengakar
di masyarakat. Maka dari itu tradisi harus direvitalisasi untuk menghadapi mitos
pembaratan dan masalah internal umat Islam.

B. Saran

Barangkali poin-poin dalam makalah ini lebih banyak berisi tentang


mengapa gagasan Hassan Hanafi belum banyak menjadi pertimbangan dalam
dunia akademik. Paling tidak ruh dari gagasan beliau dapat terwujud dalam
konteks penyikapan masyarakat muslim terhadap Barat.

28
DAFTAR PUSTAKA

Abad Badruzzaman, Kiri Islam Hassan Hanafi; Menggugat Kemapanan Agama


dan Politik Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005

Hassan, Hanafi, Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Trj. M. Naji
Bukhori Jakarta: Paramadina, 2000

H.M. Joesoef Sou’yb, Orientalis dan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1985

Kazuo, Shimogaki, Kiri Islam; Antara Modernisme dan Postmodernisme, Terj. M.


Imam Aziz & M.Jadul Maulana Yogyakarta: LkiS, 2007

Listiyosno Santoso (dkk), epistemologi kiri Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2003

Louis Gottschalk, 1986, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press

H.M. Joesoef Sou’yb, Orientalis dan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1985

29

Anda mungkin juga menyukai