Disusun oleh :
Dosen Pembimbing ;
Kori Lilie Muslim,M.Hum
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan
rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan penyusunan laporan ini yang
diberi judul “Pemikiran Oksidentalisme Hassan Hanafi Sebagai Bentuk Perlawanan
Terhadap Pemikiran Para Orientalis”.
Karya ilmiah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur pada
mata kuliah Sejarah Peradaban Islam. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
dosen pembimbing Edomi Saputra. selaku dosen mata kuliah Sejarah Peradaban
Islam
Penulis menyadari dalam penulisan Karya ilmiah ini masih banyak
kekurangan karena masih dalam tahap pembelajaran. Oleh karena itu, penulis
dengan terbuka menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat memberikan
mamfaat bagi penulis sendiri dan para pembaca khususnya.
Demikiian pengantar dari penulis, atas perhatiannya di ucapkan terima
kasih
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR………….……………………………………............. I
DAFTAR ISI………………………………………………………………...... II
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang……………………………………………............... 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………….......... 4
C. Tujuan Penulisan……………………………………..……………. 4
D. Manfaat Penelitian…………………………………………………. 4
BAB II PEMBAHASAN
A. KAJIAN TEORI
a. Pengetian Sejarah Perdaban Islam……………..…………..… 5
b. Metode Sejarah………………...……………...…….……..… 6
c. Ilmu Dasar Sejarah…………………………….....………..… 8
d. Ilmu Bantu Sejarah ……………..……………..…………..… 9
e. Mamfaat Dan Urgensi Ilmu Sejarah……..………………..… 10
B. PEMBAHASAN
a. Biografi Hassan Hanafi……………..…………..……………
b. Oksidentalisme ………………...……………...…….……...…
c. Kiri Islam …………………………….....………..………….
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan…………………………………………………………. 7
B. Saran………………………………………………………………... 7
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1
Di kutip dari Longman dictionary of English. Dalam :Buchari mannan, “orientalisme,ruang lingkup,
dan jati dirinya”,menyingkap tabir orientalis, AMZAH, Jakarta, 2006.
2
Al Ummah, Dr. Moh zaqzuq Orientalisme Dan Kemunduran Berpikir Mengahadapi Pergulatan
Peradaban, hal 18, 1404
4
timur beserta lingkungan dan peradabannya.3 Prof. Tk. H. Ismail jakub, S.H.
M.A : orientalisme terdiri dari kata oriental dan isme. Oriental artinya bersifat
timur, dan isme adalah kata sambung yang menunjukkan suatu paham,
ajaran, cita-cita, cara, sistem, atau sikap. Maka orientalisme dapat diartikan
ajaran atau paham yang bersifat Timur.4
Menurut Habermas, segala sesuatu harus dipahami berdasarkan motif
kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan
(power interest). Pemahaman seperti ini sudah sangat jamak dikalangan aktifis
liberal dan postmodernis. Mereka sendiri memahami Islam dengan cara yang
sama. Islam bagi mereka adalah produk dari sebuah kepentingan dan
kekuasaan. Dan karena itu mereka tidak merasa bersalah jika memahami
Islam juga untuk kepentingan tertentu. Itulah yang, kalau boleh dikatakan,
Politik Pemikiran. Menurut Akbar S Ahmed, pendukung pluralisme, anti
fundamentalisme, banyak protes terhadap tradisi, dan cara berfikirnya eklektik
(Akbar S. Ahmed, Postmodernism). Pemikiran bukan untuk pengetahuan, tapi
untuk kepentingan (kekuasaan atau politik). Buktinya dari pemikiran mereka
tiba-tiba menggalang komunitas, gerakan sosial dan bahkan menjelma
menjadi pressure group. Demi “memasarkan” paham pluralisme agama,
misalnya, pertama-tama mereka menolak adanya kebenaran mutlak, yang ada
hanya kebenaran relatif. Kepentingannya adalah untuk menghilangkan
fundamentalisme dan sikap merasa benar. Inilah politik pemikiran. Jika dibaca
dengan cermat buku-buku seperti Clash of Civilizations, karya
S.Huntington, Who Are We, karya Bernad Lewis, When Religions Become
Evil, karya Richard Kimbal, The End of History, karya Fukuyama Islam
Unveiled: Disturbing Question About the World’s Fastest Growing Faith,
karya Robert Spencer dan lain-lain mengandung fakta-fakta pemikiran yang
berimplikasi politik. Yang kurang kritis bisa saja menilai buku-buku itu
3
Di kutip dari H.M. Joesoef Sou’yb, Orientalis dan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1985, hlm. 1. Dalam
:Buchari mannan, “orientalisme,ruang lingkup, dan jati dirinya”,menyingkap tabir orientalis, AMZAH,
Jakarta, 2006
4
Di kutip dari Tk. H. Ismail Jakub, Orientalisme dan Orientalisten, Faizan, Surabaya, 1970, hal. 11. Dalam
:Buchari mannan, “orientalisme,ruang lingkup, dan jati dirinya”,menyingkap tabir orientalis, AMZAH,
Jakarta, 2006.
5
dengan sikap positif. Mungkin alasannya karena asumsinya baru, analisasnya
tajam, argumentasinya valid,pertanyaan-pertanyaannya menantang untuk
dijawab dan lain sebagainya.Tapi jika ia mencermati implikasi politik dalam
semua asumsi, analisa dan argumentasinya maka ia akan menilai dengan sikap
sebaliknya. Karena tidak semua orang dapat menemukan hubungan antara
pemikiran dan target politis dibaliknya, maka tidak heran jika diantara umat
Islam ada yang bersikap apatis terhadap wacana-wacana pemikiran yang
dikenal “liberal” itu. Padahal pemikiran yang politis itulah yang menjadi
bahan ke kebijakan strategis.5
Realitas yang berupa penjajahan Barat inilah salah satu bukti kehancuran
sebuah peradan bangsa timur khususnya. Di saat komitmen dibutuhkan, para
AIP (Agamawan, Ilmuwan, dan Politisi) seolah menutup mata dan lebih rela
meninggalkan rakyat demi menumpuk kekayaan pribadi. Padahal pembebasan
dari penjajahan maupun keterbelakangan itu dimulai dari pemikiran, perasaan,
ilmu, ideologi, sampai dengan usaha dan perjuangan fisik. Antara perjuangan
fisik dan konsepsi ilmu haruslah sejalan, tidak terpisah, dan tidak berjalan
sendiri-sendiri. Dalam kaitan inilah, seorang Hassan Hanafi mengingatkan
bahwa tugas para AIP adalah berjuang bersama rakyat. Tidak dibenarkan
seorang cendekiawan melarikan diri (migrasi), berada di atas menara gading,
atau mengambil jarak dengan persoalan riil masyarakat.6
Tentu sangat relevan mengangkat dimensi antropologis dalam pemikiran
Hassan Hanafi. Karena penulis memandang bahwa apa yang melatarbelakangi
Hanafi ialah kondisi masyarakat yang kehilangan peran dalam sejarah. Maka
muncullah oksidentalisme sebagai jawaban atas peran yang selama ini
didominasi oleh Barat. Oleh sebab itu, pada makalah ini kami ingin membahas
lebih jauh seperti apakah pemikiran oksidentalisme seorang Hassan Hanafi.
Maka Karya Ilmiah ini akan kami beri judul, “Pemikiran Oksidentalisme
Hassan Hanafi Sebagai Bentuk Perlawanan Terhadap Pemikiran Para
Orientalis”.
5
http://serbasejarah.wordpress.com/2009/04/15/politik-pemikiran/
6
Moh. Nurhakim, Islam, Tradisi & Reformasi, (Malang, Bayumedia Publishing, 2003), hal. 115.
6
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Makalah
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Akademis
b. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi kontribusi positif dalam
bidang studi imu sejarah kebudayaan islam
c. Penelitian ini diharapakan dapat digunakan sebagai bahan referensi
dan dokumentasi ilmiah dalam bidang studi ilmu sejarah perdaban
islam.
2. Manfaat Praktis
a. penelitian diharapkan dapat memebrikan sumbangan pemikiran
dalam mengetahui ilmu studi sejarah perdaban islam
b. penelitian ini diharpkan dapt dijadikan sebagai bahan referensi bagi
mahasiswa dan masyarakat umum.
7
BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Teori
A. Pengertian sejarah peradaban islam
7
William H. Frederick dan Soeri Soeroto, 1982, Pemahaman Sejarah Indonesia, Sebelum dan
Sesudah Revolusi, Jakarta: LP3ES,hlm.23
8
Louis Gottschalk, 1986, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press,hlm.27
9
Sidi gazalba, 1996, Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu, Jakarta: Bharat,hlm. 11
8
kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi dan
moral, maka peradaban terrefleksi dalam politik, ekonomi, dan teknologi.
B. Metode Sejarah
10
Azyumardi. 2002. Pendidikan Islam.PT Logos Wacana Ilmu: Jakarta. Hal. 3
9
dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh
prose situ disebut historiografi (penulisan Sejarah).11
11
Louis Gottschalk, 1986, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press,,hlm. 32
12
Bimo walgito,1980, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah,Yogyakarta: fak.psikologi,
UGM,.hlm.54
13
Bimo walgito,1980, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah,Yogyakarta: fak.psikologi,
UGM,.hlm.56
10
C. Ilmu Dasar Sejarah
1. Paleografi.
2. Diplomatik
3. Epigrafi
4. Kronologis
5. Sigilografi
11
mengetahui bentuk segel dan cara penggunaanya, maka akan
diketahui apakah dokumen tersebut asli atau palsu.
6. Heraldry
7. Numismatik
8. Genealogi
1. Geografi
2. Sosiologi.
12
3. Antropologi.
4. Arkeologi
5. Ilmu Sejarah.
13
Dengan mengkaji sejarah, dapat diperoleh informasi tentang aktifitas
peradaban Islam dari zaman Rasulullah sampai sekarang, mulai dari
pertumbuhan, perkembangan, kemajuan, kemunduran, dan kebangkitan
kembali agama Islam. Selain itu dengan mempelajari sejarah peradaban
Islam diharapkan seseorang dapat memiliki kemauan untuk melakukan
pembangunan dan pengembangan peradaban Islam dan dapat pula
menyelesaikan problematika peradaban Islam pada masa kini, serta dapat
memunculkan sikap positif terhadap berbagai perubahan system peradaban
Islam.14
a. KegunaanEdukatif
b. KegunaanInspiratif
c. ManfaatRekreatif.
14
Harun Nasution,1975,Pembaharuandalam Islam; Sejarahpemikirandangerakan, Bulanbintang:
Jakarta, Hlm. 11
15
Ibid.
14
Membaca menjadi media hiburan dan rekreatif. Membaca telah menjadi
bagian dari kesenangan. Membaca telah dirasakan sebagai suatu
kebutuhan, yaitu kebutuhan yang untuk rekreatif.16
16
Ibn Khaldum, Op.Cit,
15
B. Pembahasan
A. Biografi Hassan Hanafi
17
Ilham, B. Senong, “Hermeneutika Al-Qur’an; Metode Tafsir menurut Hassan Hanafi”,
www.agustea08.multiply.com
18
Abad Badruzzaman, Kiri Islam Hassan Hanafi; Menggugat Kemapanan Agama dan Politik
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hal. 42.
19
Moh. Nurhakim, Ibid, hal. 8
20
Abad Badruzzaman, ibid, hal. 42
16
monumental. Karya tersebut sekaligus mendapatkan penghargaan sebagai
karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961.21
Ketika Mesir kalah dalam perang melawan Israel pada tahun 1967,
Hanafi ikut serta dengan rakyat berjuang dan membangun kembali
semangat nasionalisme mereka. Pada sisi lain, ia juga memanfaatkan
media massa sebagai corong perjuangan.22 Selain mengajar di Universitas
Kairo, Hanafi juga menyempatkan diri untuki mengajar di beberapa
Universitas di luar negeri. Pada tahun 1969 ia pernah menjadi professor
tamu di Perancis, kemudian tahun berikutnya di Belgia. Kemudian antara
tahun 1971 sampai 1975 ia mengajar di Universitas Temple, Amerika
Sesrikat. Kepergian Hanafi ke AS sebenarnya berawal dari sikap
pemerintah Mesir yang keberatan dengan aktivitasnya di Mesir, kemudian
Hanafi diberikan pilihan untuk menghentikan aktivitasnya atau pindah ke
AS.23
17
pemikiran Islam dalam rangka menghidupkan kembali khazanah klasik,
analisis tentang tugas para pemikir muslim dalam menghadapi
permasalahan umat, dan realitas dunia Arab saat itu.24
Masih banyak lagi karya dari Hassan Hanafi, seperti: Al Din Wa al-
Tsaurah fi Mishr (1952-1981),25 Religion Dialogue and Revolution,
Dirasah Islamiyyah, Al-Turats wa al-Tajdid, Al-Yasar Al-Islamiy, Min Al-
Aqidah ila Al-Tsaurah, Relogion, Ideology, and Development, Islam in the
Modern World, dll.
24
Ibid, hal. 13
25
Abad Badruzzaman, ibid, hal. 49
18
B. Oksidentalisme
Proyek Hanafi yang disebut “Tadisi dan Pembaruan” terdirid ari tiga
agenda, ketiga agenda tersebut diantaranya: sikap kita terhadap tradisi
lama, sikap kita terhadap tradisi Barat, dan sikap kita terhadap realitas.26
Setiap agenda tersebut mempunyai penjelasan teoritis sendiri-sendiri.
Apabila diuraikan maka pembahasan tiga agenda tersebut adalah: agenda
“sikap kita terhadap tradisi lama” mencakup; dari teologi ke revolusi, dari
transferensi ke inovasi, dari teks ke realita, dari kefanaan menuju
keabadian, dari teks ke ratio, akal dan alam, dan manusia dan sejarah.
“sikap kita terhadap tradisi Barat” mencakup; sumber peradaban Eropa.
“Sikap Kita Terhadap realita” mencakup: metodologi, perjanjian baru dan
perjanjian lama.27
19
Timur. Kajian ini meliputi banyak hal seperti peradaban, filsafat, seni,
agama dan sejarah.28
28
Moh. Nurhakim, Islam, Tradisi & Reformasi, (Malang, Bayumedia Publishing, 2003), hal. 84
29
Listiyosno Santoso (dkk), epistemologi kiri (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2003), hal. 279
30
Shelley Walia, Edward Said dan penulisan sejarah, Terj. Sigit Djatmiko (Yogyakarta: Jendela,
2003), hal. 45
20
Barat dan mana wilayah Timur. Artinya, bahwa setiap bangsa mempunyai
sejarah dan kebudayaannya sendiri. Begitu juga dengan Barat. Tidak ada
istilah ibu kebudayaan atau anak kebudayaan. Kalau mitos tersebut tidak
ditandingi maka karakter bangsa lain akan terabaikan sekaligus terjadi
monopoli kebudayaan.31
31
Hassan, Hanafi, Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Trj. M. Naji Bukhori
(Jakarta: Paramadina, 2000) hal. 34
32
Ibid, hal. 61
21
hal itu jelas merupakan suatu reduksi yang luar biasa. Barat adalah pusat
peradaban, untuk itu kita harus senantiasa “menyembahnya” meskipun itu
berakibat pada hilangnya tradisi intelektual yang mencerminkan budaya
kita.33 Dalam mengkritisi konstruksi sejarah, Hanafi memperlihatkan
bagaimana sejarah diciptakan oleh Barat dan selalu menempatkan Barat
sebagai puncak peradaban manusia, sementara yang lainnya hanya
pengantar. Alam bawah sadar kita pun terhipnotis olehnya. Sebagai
contoh, ketika kita ditanya sedang hidup di zaman apa kita menjawabnya
bahwa kita hidup di zaman modern. Tanpa melakukan pemetaan tentang
arti modernitas itu sendiri. Begitu pula rasa bangga yang berlebihan ketika
mendengar kata “globalisasi” yang seolah memberi tantangan setiap insan
untuk bersaing dan sebagai simbol kemajuan. Ironisnya hal tersebut terjadi
hampir di segala segi kehidupan, termasuk pendidikan. Mungkin ini tepat
disebut sebagai “kesadaran palsu”. Kekaguman terhadap mitos
erosentrisme adalah sebagai indikasi bahwa kesadaran masyarakat Timur
akan peradabannya sendiri masih sangat dangkal. Kesadaran seperti inilah
yang belum ada pada mayoritas intelektual kita. Ketika berbicara
keragaman, kerukunan atau saling memahami antar pemeluk agama, kita
selalu merujuk pada kepentingan. Hanafi juga mengakui hal tersebut.
Bahwa barat sebagai pendatang telah menjadi sumber pengetahuan utama
dalam kesadaran ego.
33
Eko Prasetyo, Astagfirullah: Islam Jangan Dijual (Yogyakarta: Resist Book, 2007) hal. 46
22
Sebagaimana yang dilakukan oleh pendahulu dalam melakukan dialektika
dengan Yunani.
34
Hassan, Hanafi, Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Trj. M. Naji Bukhori
(Jakarta: Paramadina, 2000) hal. 51-59
23
5. Membuka jalan bagi terciptanya inovasi bangsa non Eropa dan
membebaskannya dari “akal” Eropa yang menghalangi nuraninya,
sehingga bangsa non Eropa dapat berpikir dengan “akal” dan kerangka
lokalnya sendiri. Sehingga akan ada keragaman tipe dan model. Tidak
tunggal bagi semua bangsa di dunia (baca, QS. Al-Mâ’idah[5]:48).
“Tidak ada kreasi tanpa pembebasan diri dari kontrol the other dan
tidak ada inovasi orisinal tanpa kembali kepada diri sendiri yang telah
terbebas dari keterasingan dalam the other. Orisinalitas ini akan beralih
dari tingkat kesenian rakyat ke tingkat substansial dan konsepsi
tentang alam.” Tegas Hanafi.
6. Menghapus rasa rendah diri yang terjadi pada bangsa non Eropa ketika
berhadapan dengan bangsa Eropa dan memacu mereka menuju tahap
inovator setelah sebelumnya hanya berperan sebagai konsumen
kebudayaan, ilmu pengetahuan dan kesenian, bahkan tidak mustahil
akan dapat melampaui Eropa.
7. Melakukan penulisan ulang sejarah agar semaksimal mungkin dapat
mewujudkan persamaan bagi seluruh bangsa di dunia yang
sebelumnya menjadi korban perampasan kebudayaan yang dilakukan
bangsa Eropa.
8. Permulaan filsafat sejarah Barat yang dimulai dari angin Timur;
ditemukannya siklus peradaban dan hukum evolusinya yang lebih
komprehensif dan universal dibanding yang ada di lingkungan Eropa;
dan tinjauan ulang terhadap posisi bangsa Timur sebagai permulaan
sejarah seperti dikatakan Herder, Kant, dan Hegel.
9. Mengakhiri Orientalisme; mengubah status Timur dari obyek menjadi
subyek, dari sebongkah batu menjadi suatu bangsa; meluruskan
hukum-hukum yang diterapkan Barat ketika berada di puncak
kebangunannya kepada peradaban Timur yang sedang berada dalam
keterlelapan tidur dan kealpaannya.
10. Menciptakan Oksidentalisme sebagai ilmu pengetahuan yang akurat,
bisa mengubah peradaban Barat dari kajian obyek menjadi obyek
24
kajian; melacak perjalanan, sumber, lingkungan, awal, akhir,
kemunculan, perkembangan, struktur dan keterbentukan peradaban
Barat.
11. Membentuk peneliti-peneliti tanah air yang mempelajari peradabannya
dari kacamata sendiri dan mengkaji peradaban lain secara lebih netral
dari kajian yang pernah dilakukan Barat terhadap peradaban lain.
Dengan begitu akan lahir sains dan peradaban tanah air, serta akan
terbangun sejarah tanah air.
12. Dimulainya pemikir baru yang dapat disebut sebagai filosuf, pasca
generasi pelopor di era kebangkitan. Hal ini untuk menjawab
pertannyaan, apakah kita memiliki filosuf?
13. Kalupun generasi kita telah merampungkan tugas pembebasan dari
penjajah, pendudukan militer, kemudian berupaya merubah revolusi
menjadi sebuah negara yang mewujudkan kemerdekaan ekonomi,
maka tugas itu, kata Hanafi, belum sempurna.
14. “Dengan Oksidentalisme, manusia akan mengalami era baru di mana
tida ada lagi penyakit rasialisme terpendam seperti yang terjadi selama
pembentukan kesadaran Eropa yang akhirnya menjadi bagian dari
strukturnya. Permusuhan antar bangsa seperti dialami umat manusia
dalam dua kali perang Eropa yang hanya berjarak dua puluh tahun,
akan sirna.” Diingatkan Hanafi, bahwa, “Zionisme telah mewarisi
penyakit tersembunyi ini dan masih menjalankan cara penjajah dan
rasialisme.”
25
C. Kiri Islam
Kiri Islam berangkat dari dimensi revolusioner yang ada pada khazanah
Islam klasik. Maka dari itu upaya untuk menggali kekayaan warisan lama
mutlak diperlukan. Khazanah lama (menurut Hanafi) terdiri dari tiga macam
ilmu pengetahuan, yaitu ilmu-ilmu normative rasional, semisal matematika,
astronomi, farmasi, kimia, dan kedokteran. Dan yang terakhir adalah ilmu-
ilmu normatif tradisional, yaitu ilmu Al-Qur’an, ilmu Hadist, sirah nabi, fiqh
dan tafsir.35
Dasar pijakan dari ide dan gerakan kiri Islam adalah kesadarn kaum
muslimin atas realitasnya. Bukan didekte oleh liberalisme atau marxisme. Kiri
Islam berusaha melakukan dinamisasi bagi umat Islam agar menjadikan Islam
sebagai khazanah nasional. Ia dapat bergandengan dengan sosialisme,
nasionalisme, atau bahkan marxisme. Hal itu sah-sah saja dengan catatan
bahwakepentingan umat dan kemaslahatan bersama menjadi prioritas.
35
Kazuo, Shimogaki, Kiri Islam; Antara Modernisme dan Postmodernisme, Terj. M. Imam Aziz &
M.Jadul Maulana (Yogyakarta: LkiS, 2007), Hal. 121
36
Abad Badruzzaman, Kiri Islam Hassan Hanafi; Menggugat Kemapanan Agama dan Politik
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hal. 14
26
Kiri Islam Hassan Hanafi tidak hanya sebagai rumusan teoritik, ia juga
sebagai teori gerakan yang bertujuan menjadikan Islam sebagai gerakan
revolusioner yang berkesinambungan. Kesinambungan tersebut tentu saja
berkaitan dengan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dan ini menjadi hal
yang maklum karena kiri Islam berangkat dari tradisi Islam sendiri.
Maka dari itu, Hanafi merasa perlu belajar pada gerakan-gerakan
pembaruan sebelumnya seperti yang dilancarkan oleh ibnu Taimiyah,
Jmaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha, Hassan al-Banna dan lainnya. Kiri Islam
tidak mengenal batas metodelogis, ideologis, maupun tipologis yang ada
dalam umat Islam sendiri. Setiap gerakan perlawanan yang muncul dari umat
Islam yang bertujuan untuk meraih kemerdekaan, maka kiri Islam dapat
bergandengan dengannya.37
Karateristik seorang tokoh seperti Muhammad Abduh dapat dijadikan
sebagai panutan dalam masalah rasionalitas, yang mengkritik atas tradisi. Dai
Imam Khomeini, kiri Islam dapat menjasdikannya sebagai contoh seornag
yang progressif revolusioner. Demikian juga Jmaluddin al-Afghani yang
mengingatkan bahaya imperialisme atas dunia Islam.
Karakteristik seperti inilah yang akan semakin menguatkan tesis bahwa
Islam adalah agama yang mencintai kemajuan, rasionalitas, dan menganjurkan
perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Kiri Islam hadir dengan spririt
tersebut. Semangat monoteistik yang terkandung dalam Islam pada dasarnya
juga mengandung makna penolakan terhadap segala sesuatu yang
bertentangan dengan-NYA, yaitu Syirik.
37
Kazuo, Shimogaki, Kiri Islam; Antara Modernisme dan Postmodernisme, Terj. M. Imam Aziz &
M.Jadul Maulana (Yogyakarta: LkiS, 2007), Hal. 164
27
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
28
DAFTAR PUSTAKA
Hassan, Hanafi, Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Trj. M. Naji
Bukhori Jakarta: Paramadina, 2000
H.M. Joesoef Sou’yb, Orientalis dan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1985
H.M. Joesoef Sou’yb, Orientalis dan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1985
29