Anda di halaman 1dari 3

Prinsip Umum Terapi Epilepsi

Prinsip umum terapi epilepsy, antara lain adalah :

1. Terapi antiepilepsi dipilih yang sesuai dengan jenisi epilepsy, adverse effect dari obat
antiepilepsi yang spesifik, dan kondisi pasien.
2. Monoterapi lebih baik untuk mengurangi potensi adverse effect, meningkatkan kepatuhan
pasien, tidak terbukti bahwa politerapi lebih baik dari monoterapi.
3. Menghindari atau meminimalkan pengguanaan antiepilepsi sedative untuk mengurangi
toleransi, efek pada intelegensia, memori, kemampuan motorik bisa menetap selama
pengobatan.
4. Jika memungkinkan, terapi diinisiasi dengan satu antiepilepsi non-sedatif, jika gagal
dapat diberikan antiepilepsi sedative atau dengan politerapi.
5. Pemberian obat antiepilepsi diinisiasi dengan dosis terkecil dan dapat ditingkatkan sesuai
dengan kondisi klinis pasien. Hal ini untuk meningkatkan kepatuhan pasien.
6. Variasi individual pasien terhadap respon obat antiepilepsi, memerlukan pemantauan
ketat dan penyesuaian dosis.
7. Apabila gagal mencapai target terapi yang diharapkan, obat antiepilepsi dapat dihentikan
secara perlahan dan diganti dengan obat lain. Pemberian obat antiepilepsi secara
politerapi sebaiknya dihindari.
8. Jika dimungkinkan dapat dilakukan monitoring kadar obat dalam darah sebagai dasar
dilakukan penyesuaian dosis disertai dengan pengamatan terhadap kondisi klinis pasien.
9. Jika dosis obat yang dapat ditoleransi tidak dapat mengontrol kejang atau efek samping
dialami oleh pasien, obat pertama dapat diganti (disubstitusi dengan obat lini pertama
lainnya dari obat anti epilepsi).

Selain dengan terapi menggunakan obat, dapat pula dilakukan terapi non-farmakologi.

Terapi Non-farmakologi

Terapi non-farmakologi untuk epilepsy meliputi :

1. Pembedahan
Merupakan opsi pada pasien yang tetap mengalami kejang meskipun sudah mendpat
lebih dari 3 agen antikonvulsan, adanya abnormalitas fokla, lesi epileptic yang menjadi
pusat abnormalitas epilepsi.
2. Diet Katogenik
Diet katogenik adalah diet tinggi lemak, cukup protein, dan rendah karbohidrat, yang
akan menyediakan cukup protein untuk pertumbuhan, tetapi kurang karbohidrat untuk
metabolism tubuh. Dengan demikian tubuh akan menggunakan lemak sebagai suber
energy, yang pada gilirannya akan menghasilkan senyawa keton. Mekanisme aksi diet
ketogenik sebagai anti epilepsy masih belum diketahui secara pasti, namun senyawa
keton ini diperkirakan berkontriusi terhadap pengontrolan kejang. Adanya senyawa keton
secara kronis akan memodifikasi siklus asam trikarboksilat untuk meningkatkan sintesis
GABA di otak, mengurangi pembentukan reactive oxygene species (ROS) , dan
meningkatkan produksi energy dalam jatingan otak. Selain itu, beberapa aksi
penghambatan syaraf lainnya adalah peningkatan asam lemak tak jenuh ganda yang
selanjutnya akan menginduksi ekspresi neuronal protein uncoupling (UCPs) , meng-up
regulasi banyak gen yang terlibat dalam metabolism energy dan biogenesis mitokondria.
Efek-efek ini lebih lanjut akan membatasi pembentukan ROS dan meningkatkan produksi
energy, mengaktifkan metabolism K (ATP) saluran dan hiperpolarisasi saraf. Berbagai
fek ini secara bersama- sama diduga berkontribusi terhadap peningkatan ketahanan syaraf
terhadap picuan kejang.
3. Stimulasi Nerver Vagus (VAgus Nerves Stimulation, VNS)
Mekanisme aksi anti kejang dari VNS pada manusia belum diketahui, tetapi penelitian
pada hewan menunjukkan bahwa VNS memiliki beberapa aksi. Studi klinis pada manusia
menunjukkan VNS mengubah konsentrasi neurotransmitter inhibis dan eksitatori pada
cairan serebrospinal, dan mengaktifkan area- are tertentu dari otak yang menghasilkan
atau mengatur aktivitas korteks melalui peningkatan aliran darah. Secara keseluruhan,
dalam penelitian VNS, persentase pasien yang mencapai pengurangan frekuensi kejang
sampai 50% atau lebih antara 23% samapai 50%.

Terapi Farmakologi

Obat-obat anti epilepsy yang ada sekarang ini dapat dibagi dalam 3 kategori berdasarkan
mekanisme aksinya :

1. Obat- obat yang bekerja dengan meningkatkan inaktivasi kanal Na+ .


Obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+ memiliki mekanisme aksi menurunkan
kemampuan syaraf untuk menghantarkan muatan listrik. Contoh : fenitoin,
karbamazepin, lamotrigin, okskarbazepin, asam valproat.
2. Obat- obat yang bekerja dengan meningkatkan transmisi inhibitor GABAergik.
a. Obat- obat yang merupakan agonis reseptor GABA bekerja dengan meningkatkan
transmisi inhibitor dengan mengaktifkan kerja reseptor GABA. Contoh:
benzodiazepine dan barbiturate.
b. Obat- obat yang bekerja dengan menghambat GABA trasaminase sehingga
konsentrasi GABA meningkat. Contoh : vigabatrin.
c. Obat- obat yang bekerja dengan menghambat GABA transporter sehingga
memperlama aksi GABA. Contoh: tiagabin.
d. Obat-obat yang dapat meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan cerebrospinal
pasien (diperkirakan dengan menstimulasi pelepasan GABA dari non-vesicular pool).
Contoh : gabapentin.
3. Obat- obat yang menurunkan nilai ambang arus ion Ca2+
Obat- obat dalam golongan ini memiliki mekanisme aksi dengan menghambat kanal ion
Ca2+ tipe T. arus Ca2+ kanal tipe T merupakan arus pacemaker dalam neuron thalamus
yang bertanggung jawab terjadinya letupan kortikal ritmik serangan kejang. Contoh :
etosuksimid.

Anda mungkin juga menyukai