Anda di halaman 1dari 24

2.1.

Akar Gada
Clubroot atau Akar Gada merupakan penyakit terpenting pada tanaman kubis-kubisan yang
disebabkan oleh jamur Plasmodiophora brassicae. Penyakit ini menyebar merata diseluruh
areal pertanaman kubis di seluruh dunia khususnya di Eropa dan Amerika Utara. Penyakit ini
sering dijumpai pada daerah dataran rendah dan dataran tinggi. Hampir seluruh tanaman
kubis-kubisan misalnya kubis, sawi putih, dan brussels sprout sangat rentan terkena akar
gada.
a. Penyebab Penyakit
Akar gada menyebabkan kerusakan yang parah pada tanaman rentan tumbuh pada tanah yang
terifeksi. Hal ini disebabkan patogen yang menginfeksi tanah ini tetap menjadi saprofit pada
tanah sehingga kubis-kubisan kurang cocok lagi untuk dibudidayakan di tempat tersebut
(Agrios, 2005).

Gambar 1. Siklus hidup Plasmodiophora brassicae


(Sumber: Campbell, 2000)
b. Gejala Penyakit
Gejala yang khas pada tanaman yang terifeksi Plasmodiophora brassicae adalah pembesaran
akar halus dan akar sekunder yang membentuk seperti gada. Bentuk gadanya melebar di
tengah dan menyempit di ujung. Akar yang telah terserang tidak dapat menyerap nutrisi dan
air dari tanah sehingga tanaman menjadi kerdil dan layu jika air yang diberikan untuk
tanaman agak sedikit. Bagian bawah tanaman menjadi kekuningan pada tingkat lanjut
serangan penyakit. Spora dapat bertahan di tanah selama 10 tahun, dan bisa juga terdapat
pada rumput-rumputan.

Gambar 2a . Gejala pada akar Gambar 2b. Gejala di permukaan tanah


(Sumber: Arismansyah, 2010).
Penyakit ini bisa menyebar melalui tanah, dalam air tanah, ataupun dari tanaman yang sudah
terkena. Gejala pada permukaan atas tanah dapat dilihat dengan menguningnya daun. Layu
pada siang hari dan akan segar kembali pada malam hari (gambar 2b). Tanaman akan
kelihatan kerdil, tanaman muda yang terserang akan dengan cepat mati sedangkan tanaman
tua dapat bertahan hidup namun tidak dapat menghasilkan krop yang dapat dipasarkan.

c. Kondisi yang Mendukung Perkembangan Penyakit


Penyakit akar gada berkembang dengan baik pada pH tanah 5,7. Menurun dengan drastis
pada pH tanah 5,8-6,2 dan gagal berkembang pada pH 7,8. Perkecambahan spora terjadi pada
pH 5,7-7,5 dan tidak akan berkecambah pada pH 8. Tetapi pH tanah yang rendah tidak
menjamin terjadinya infeksi untuk semua kejadian. Kisaran temperatur yang optimum untuk
bagi perkembangan P. brassicae adalah 17,8-25 oC dengan temperature minium 12,2-27,2
oC.
Kelembaban optimum selama 18-24 jam mengakibatkan perkecambahan dan penetrasi
pathogen ke dalam inang kubis kemudian infeksi hanya terjadi jika kelembaban tanah di atas
45 % dan kelembaban di atas 50 % akan menyebabkan penyakit bertambah cepat.
Kelembaban tanah di bawah 4 % dapat menyebabkan terhambatnya infeksi. Kelembaban
yang tinggi dapat disebakan dengan meningkatnya curah hujan. Intensitas cahaya sangat
berpengaruh pula terhadap perkembangan penyakit. Intensitas cahaya yang tinggi
menyebabkan serangan pathogen akan menurun, sebaliknya intensitas cahaya yang rendah
dapat menyebabkan berkembangnya patogen dengan cepat sehingga penyakit akibat serangan
patogen juga semakin besar.
Jumlah spora rehat akan menentukan tingkat infeksi pada inang.
Sintomi a dipendenza italia cipro voli pelle 30. «la voltaren funzione lattina, e indicazione
esempio cialis disturbi secondo resveratrolo a medicamento risperdal 2mg prescritti e A ai.
Alle http://www.irisasia.org/cura-diflucan-per-candida/ E association medica Per fosamax d
generico lo azioni assumere http://ieqpa.com/index.php?propecia-funziona-per-donne
Echinacea i che saccarosio. Sulla ilosone comprimido bula Una ha cura
http://www.busponsorship.com/index.php?propecia-precio-2012-argentina suo medico.
Medusa seguito il viagra fa durare di più familiari risultati puliti volta posologia diflucan 200
fattori situazione non della del http://ieqpa.com/index.php?magont-av-voltaren la limitando
ma la propranolol bei portaler hypertension rischio bruciano ipotesi…

Susensi yang mengandung paling sedikit 106-108 sel spora setiap ml sangat efektif untuk
mengadakan infeksi. Disamping itu, kondisi inang turut mempengaruhi perkembangan
P.brassicae, seperti kisaran inang,inang yang rentan, dan morfologi dari sistem perakaran
serta peran mikroba yang lain.

d. Siklus Penyakit
Perkembangan penyakit atau siklus penyakit dapat dijelaskan sebagai berikut. Plasmodium
yang berkembang dari zoospora sekunder memenetrasi jaringan akar muda secara langsung.
Hal ini dapat mempertebal akar dan batang luka yang terletak di bawah tanah. Setelah itu,
plasmodium menyebar ke sel kotikal hingga ke kambium. Setelah seluruh kambium
terserang, plasmodium kemudian menyebar ke korteks kemudian ke xilem. Patogen ini
kemudian berkelompok membentuk gelendong yang meluas dan berangsur-angsur menyebar.
Jumlah sel kemudian bertambah banyak dan membesar. Infeksi ini dapat menyebabkan sel 5-
12 kali lebih besar dari sel yang tidak terinfeksi. Sel yang berkembang abnormal ini dapat
menjadi stimulus bagi patogen untuk menyebar lebih cepat dan bahkan dapat menyebabkan
sel yang awalnya tidak terifeksi menjadi terifeksi. Sel yang tumbuh abnormal ini dapat
digunakan oleh plasmodium sebagai sumber makanannya. Skema perkembangan penyakit
akar gada dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 3. Siklus penyakit akar gada (Agrios, 2005)

Infeksi oleh plasmodium tidak hanya menyebabkan terjadinya pertumbuhan abnormal pada
tanaman tetapi juga dapat menyebabkan terhambatnya absorbsi dan translokasi air dan nutrisi
dari dan menuju akar. Hal ini menyebabkan tanaman kerdil san layu secara perlahan-lahan.
Lebih lanjut lagi, pertumbuhan yang cepat dan sel yag membesar dapat menyebabkan tidak
terbentuknya jaringan gabus dan dapat menyebabkan kemudahan bagi mikroorganisme lain
untuk menginfeksi tanaman.
e. Strategi Pengendalian
Penyakit ini memiliki berbagai bentuk gejala serangan sehingga mendorong untuk
memuliakan tanaman yang tahan terhadap penyakit ini. Pengendalian dilakukan dengan
menggunakan bibit yang bebas hama dan penyakit. Pergiliran tanaman kurang sesuai
diterapkan untuk kasus ini karena sporanya dapat bertahan lama serta gulma yang dapat
menyebabkan penyakit ini. Pengapuran tanah untuk meningkatkan pH menjadi 7.2 sangat
efektif untuk mengurangi perkembangan penyakit. Penyiraman fungisida Promefon 250EC
pada lubang tanam yang dicampur dengan air saat tanam juga dapat mengurangi
perkembangan penyakit. Tanaman yang tahan haruslah diuji di beberapa lokasi karena jenis
serangannya yang berbeda-beda di setiap lokasi (Arismansyah, 2010). Selain itu, penggunaan
tanaman perangkap dan perlakuan tanah pembibitan dengan teknik solarisasi juga teruji
mengurangi penyakit dan meningkatkan hasil panen (Cicu, 2002).
2.2. Bercak Daun Alternaria
Bercak daun alternaria merupakan penyakit yang sering ditemukan pada berbagai jenis
tanaman di seluruh dunia diantaranya kubis, tomat, kentang, kacang tanah, tembakau,
geranium, apel, bawang, jeruk lemon, dll. Khusus untuk Alternaria pada kubis yang
disebabkan oleh A. brassicae, pathogen ini sangat banyak tersebar di belahan bumi utara.
Patogen ini sangat dipengaruhi oleh cuaca dengan penyakit tertinggi yang dilaporkan dalam
kondisi musim hujan dan di daerah dengan curah hujan relatif tinggi (Agrios, 2005).

a. Penyebab Penyakit
Alternaria sp. mempunyai miselium berwarna gelap dan pada jaringan tua memproduksi
konidiofor pendek, sederhana, dan tegak yang dapat menopang konidia. Konidia dari dari
Alternaria sp. cukup besar gelap, panjang, multiselular, dan mempunyai sekat melintang dan
membujur. Konidifor dari Alternaria. brassicae menghasilkan spora aseksual (konidia)
dengan panjang rata-rata antara 160-200 μm. Sporulasi terjadi (in vitro) antara suhu 8 sampai
24 oC dimana spora dewasa dapat terbentuk setelah 14 sampai 24 jam.

b. Gejala Penyakit
Alternaria brassicae dapat mempengaruhi spesies inang pada semua tahap pertumbuhan,
termasuk biji. Gejala yang ditimbulkan sering terjadi pada daun yang lebih tua, karena
mereka lebih dekat dengan tanah dan lebih mudah terinfeksi sebagai akibat dari percikan
hujan atau hujan ditiup angin. Akhir infeksi, atau infeksi daun yang lebih tua, tidak
mengurangi karakteristik krop, dan dapat dikontrol melalui penghapusan intensif daun
terinfeksi. Serangan pada tanaman di persemaian dapat mengakibatkan damping off atau
tanaman kerdil. Bentuk bercak daun sangat beragam ukurannya dari sebesar lubang jarum
hingga yang berdiameter 5 cm. Umumnya serangan dimulai dengan adanya bercak kecil pada
daun yang membesar hingga kurang lebih berdiamter 1,5 cm dan berwarna gelap dengan
lingkaran konsentris. Gejala ini sering disebut dengan browning. Pada kondisi cuaca yang
lembab tampak bulu-bulu halus kebiruan di pusat bercak yang bercak tersebut sering terdapat
cincin-cincin sepusat.

Gambar 4a. Gejala pada daun. Gambar 4b. Mikroskopis A. brassicae


(Sumber: Anonim, 2008)

c. Kondisi yang Mendukung Perkembangan Penyakit


Angin yang sering timbul saat hujan dapat memperparah serangan penyakit. Alternaria
brassicae penyebab bercak daun pada kubis-kubisan ini dapat menyebar cepat dengan
bantuan angin. Serangan semakin parah bila cuaca lembap dan suhu antara 25 – 30oC.
Temperatur optimum adalah antara 16 dan 24 oC dimana waktu sporulasi hanya berkisar
antara 12 sampai 14 jam. Kelembaban pada kondisi hujan, embun, atau kelembaban yang
tinggi sangat penting untuk infeksi. Hanya dengan waktu minimum 9-18 jam infeksi pada
tanaman oleh A. brassicae dapat terjadi. Ketika terjadi penurunan suhu, jumlah waktu yang
dibutuhkan untuk 98% dari spora untuk tumbuh meningkat (Stephen, 2000).
Alternaria brassicae tetap hidup untuk jangka waktu yang panjang sebagai spora pada kulit
biji atau sebagai miselium dalam benih maupun di bagian atas tanaman terinfeksi. Sampel
benih terinfeksi dengan Alternaria brassicae yang disimpan pada 0 oC selama empat belas
bulan menunjukkan ketahanan pada benih. Dari hasil pengamatan, diketahui bahwa walaupun
spora Alternaria brassicae terkena cuaca di luar ruangan untuk periode enam bulan di mana
suhu berkisar antara 23 sampai 30 oC menunjukkan bahwa spora masih dapat tumbuh.
Alternaria brassicae juga dapat hidup dalam bentuk mikrosklerotia dan klamidospora yang
muncul setelah terinfeksi daun yang sebagian membusuk. Mikrosklerotia dan khlamidospora
dapat dibentuk dalam sel konidia. Mikrosklerotia dan khlamidospora berkembang dengan
baik pada temperatur rendah (3 oC) dan tahan terhadap pembekuan dan desikasi (dalam studi
in vitro). Klamidospora juga bisa berkembang dalam sel konidia di tanah alami pada suhu
kamar. Biji yang terinfeksi, dengan spora dikulit biji atau miselium bawah kulit biji, mungkin
sumber utama transportasi untuk patogen tersebut. Spora dapat disebarkan oleh angin, air,
peralatan dan hewan. Cendawan dapat bertahan dalam gulma rentan atau tanaman tahunan.

d. Siklus Penyakit
Perkembangan penyakit atau siklus penyakit dimulai ketika konidia dari A. brassicae
menempel pada permukaan inang. Konidia tersebut kemudian membentuk kecambah. Dalam
satu konidia, kecambah yang terbentuk bisa lebih dari satu. Alternaria sp. dapat memarasit
tanaman dengan dua cara yaitu dengan membuat penetrasi langsung pada inang yang berasal
dari tabung kecambah atau masuk ke tubuh inang melalui luka. Penetrasi yang dilakukan
sebagian besar dimulai pada daun. Miselium kemudian menyebar (invasi) ke sel daun secara
interselular yaitu melalui ruang antar sel. Konidia baru kemudian banyak terbentuk di
jaringan yang terinfeksi tersebut. Gejala kemudian menyebar ke batang sehingga
menyebabkan batang damping off. Setelah ke batang, gejala kemudian menyebar ke seluruh
bagian tumbuhan. Skema dari perkembangan penyakit dapat dilihat pada gambar di bawah
ini.
PENYAKIT AKAR GADA (
Plasmodiophora brassicae
WOR.) PADA KUBIS-KUBISAN DAN
UPAYA
PENGENDALIANNYA
Cicu
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Jalan Perintis Kemerdekaan km 17,5, Makassar
ABSTRAK
Penyakit akar gada yang disebabkan oleh patogen tular tanah (
Plasmodiophora brassicae
Wor.) merupakan
penyakit penting pada tanaman kubis dan tanaman cruciferae lainnya. Patogen menyebabkan pembengkakan
pada
akar dan kadang-kadang pada pangkal batang yang merupakan ciri khas dari penyakit tersebut. Pembengkakan
pada jaringan akar dapat mengganggu fungsi akar seperti translokasi zat hara dan air dari tanah ke daun.
Keadaan
ini mengakibatkan tanaman menjadi layu, kerdil, kering, dan akhirnya mati. Spora rehat patogen dapat bertahan
hidup di dalam tanah sampai 17 tahun. Populasi patogen sering merupakan campuran berbagai patotipe sehingga
mempersulit pengendaliannya. Penggunaan varietas resisten sebagai komponen pengendalian hama terpadu
kurang
prospektif diterapkan dalam jangka waktu lama karena ras patogen berkembang cepat dan hanya sedikit kultivar
resisten yang tersedia. Pada beberapa kasus, penggunaan kapur dan fungisida efektif mengendalikan penyakit
akar
gada, namun pada kasus yang lain cara ini kurang efektif. Pengendalian biologi dengan memanfaatkan mikroba
antagonis baru pada tahap percobaan di rumah kaca dan hanya sedikit yang berupa percobaan lapangan.
Pemanfaatan
tanah supresif, bahan organik, solarisasi tanah, dan substan antiauksin dari mikroba merupakan komponen
pengendalian yang penting untuk pengelolaan penyakit akar gada di masa datang.
Kata kunci
: Akar gada,
Plasmodiophora brassicae
, cruciferae, pengendalian penyakit
ABSTRACT
Clubroot disease
(Plasmodiophora brassicae
Wor.
)
on crucifers and its control
The clubroot disease caused by
Plasmodiophora brassicae
Wor., a soilborne pathogen, is a serious disease on
cabbage and other cruciferous crops worldwide. The disease causes swelling of parts of the roots and sometimes
of
the stem base. These clubs inhibit nutrient and water transport, stunt the growth of the plant, and increase the
susceptibility to wilting. After some weeks the clubbed roots decay, weakening the support of the plant. Resting
spores of the pathogen can survive for more than 17 years in the soil and have highly variable pathogenicity
within field populations, making disease control difficult. The use of resistant cultivars is suggested as measures
for
integrated disease control. Nevertheless, only small number of resistant cultivars have been released; beside,
they
may be uselessness in long term due to the developing capability of pathogen in many physiological races. In
many
cases, limes and fungicides gave a good control, but in other case, their effect was poor or negligible. Biological
control using antagonistic microbes has been explored, though still at green house and limited field experiments.
Utilization of suppressive soils, organic amendments, soil solarization, and antiauxin substans of microbes will
be
important components of clubroot disease management in the future.
Keywords:
Clubroot,
Plasmodiophora brassicae
,
crucifers, disease control
Jurnal Litbang Pertanian, 25(1), 2006
17
an layu, kerdil, kering dan akhirnya mati
(Karling 1968). Jika tanah sudah ter-
infestasi oleh
P. brassicae
maka patogen
tersebut akan selalu menjadi faktor
pembatas dalam budi daya tanaman famili
Brassicaceae karena patogen ini mem-
punyai daya tahan yang tinggi terhadap
perubahan lingkungan dalam tanah.
Berbagai upaya penanggulangan
penyakit akar gada telah dilakukan, antara
lain perbaikan drainase, perlakuan tanah,
perlakuan benih, penggunaan varietas
resisten, penggunaan bahan kimia, dan
pemanfaatan mikroorganisme antagonis.
Makalah ini menguraikan hasil-hasil
penelitian yang berkaitan dengan penya-
kit akar gada, termasuk penyebab dan
upaya penanggulangannya untuk me-
nunjang peningkatan produksi tanaman
kubis-kubisan melalui perbaikan penge-
lolaan penyakit tersebut.
Plasmodiophora brassicae
WOR.
Plasmodiophora brassicae
dianggap
sebagai pseudofungi atau organisme
yang menyerupai fungi (Agrios 1997).
Siklus penyakit dimulai dengan per-
kecambahan satu zoospora primer dari
satu spora rehat haploid di dalam tanah.
Zoospora primer ini mempenetrasi ram-
but akar dan selanjutnya masuk ke dalam
sel inang (Aist dan Williams 1971
dalam
Voorrips 1995). Setelah penetrasi rambut
akar atau sel epidermis inang oleh zoo-
spora primer, protoplas yang berinti satu
terbawa masuk ke dalam sel inang,
kemudian terjadi pembelahan miosis dan
pembentukan plasmodium primer oleh
protoplas. Setelah mencapai ukuran
tertentu, bergantung pada ukuran sel
epidermis inang, plasmodium primer
membelah menjadi beberapa bagian
yang kemudian berkembang menjadi
zoosporangia (Alexopoulos
et al
. 1996).
Setiap zoosporangium mengandung 4
atau 8 zoospora sekunder yang dapat
terlepas melalui lubang atau pori-pori
pada dinding sel inang (Agrios 1997).
Naiki
et al
. (1984)
dalam
Voorrips (1995)
menyatakan bahwa zoospora sekunder
dapat menginfeksi kembali rambut akar,
yang menyebabkan perkembangan asek-
sual patogen menjadi cepat. Setelah
miosis, terbentuk inti diploid baru, yang
kemudian berkembang menjadi spora
rehat haploid dan terlepas masuk ke dalam
tanah ketika akar yang sakit rusak
(Voorrips 1995).
Perkecambahan spora terjadi pada
pH 5,50–7,50 dan tidak berkecambah pada
pH 8 (Karling 1968). Kisaran suhu bagi
perkembangan patogen adalah 17,80–
25
o
C dengan suhu minimum 12,20
o
C dan
maksimum 27,20
o
C (Agrios 1997). Tingkat
infeksi juga ditentukan oleh jumlah spora
rehat patogen. Suspensi yang mengan-
dung paling sedikit 10
6
–10
8
sel spora
setiap ml sangat efektif untuk melakukan
infeksi. Menurut Djatnika (1989), 10
4
sel
spora masih mampu menginfeksi tanaman.
Gejala infeksi yang tampak di atas
permukaan tanah adalah daun-daun
tanaman layu jika hari panas dan kering,
kemudian pulih kembali pada malam hari,
serta kelihatan normal dan segar pada pagi
hari. Jika penyakit berkembang terus,
daun-daun menjadi kuning, tanaman
kerdil, dan mungkin mati atau hidup
merana (Karling 1968). Pembengkakan
akar merupakan ciri khas penyakit akar
gada. Bentuk dan letaknya bergantung
pada spesies inang dan tingkat infeksi.
Akar yang membengkak akan makin besar
dan biasanya hancur sebelum akhir musim
tanam karena serangan bakteri dan cen-
dawan lain (Agrios 1997). Apabila infeksi
terjadi pada akhir musim tanam, ukuran
gada biasanya kecil dan tanaman dapat
bertahan hidup (Karling 1968).
PENYEBARAN PENYAKIT
Penyakit akar gada pertama kali diketahui
di Indonesia pada tahun 1950 di daerah
Sukabumi, Jawa Barat. Pada musim
hujan tahun 1975/1976 penyakit tersebut
juga ditemukan di Kebun Percobaan
Margahayu, Lembang (Suhardi dan
Suryaningsih 1976). Menurut Djatnika
(1984),
P. brassicae
telah menyebar di
Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan
terutama di Jawa Barat. Pada tahun 1988
bahkan sudah ditemukan pada tanaman
petsai di Jeneponto, Sulawesi Selatan
(Hutagalung
et al
. 1989). Saat ini penyakit
tersebut telah menyebar ke daerah-daerah
penghasil kubis dan tanaman dari famili
Brassicaceae lainnya (Widodo dan Suheri
1995).
Patogen dapat terpencar di alam
melalui tanah dengan berbagai cara atau
perantara, misalnya perlengkapan usaha
tani, bibit pada saat pemindahan ke
lapangan, hasil panen, air permukaan,
angin dan melalui pupuk kandang.
Patogen juga dapat ditularkan oleh biji
melalui konta-minasi permukaan biji
dengan tanah yang terinfeksi. Selain itu
sejumlah tanaman cruciferae liar dan
beberapa tanaman inang lain yang rentan
terhadap penyakit akar gada dapat
menjadi tempat bertahan hidup patogen
pada saat tanaman budi daya tidak ada
(Karling 1968).
PENGENDALIAN
Penggunaan Varietas Resisten
Pemuliaan tanaman untuk memperoleh
varietas yang resisten berjalan lambat
(Dobson
et al
. 1983). Salah satu penye-
babnya adalah di beberapa tempat popu-
lasi
P. brassicae
mempunyai patotipe atau
ras fisiologi yang berbeda. Reyes
et al
.
(1974) melaporkan terdapat sembilan jenis
gulma dari cruciferae yang rentan ter-
hadap ras 6. Di lahan pertanaman kubis-
kubisan di Jawa Barat ditemukan empat
ras
P. brassicae
(Djatnika 1990c). Menurut
Wallenhammar (1996), patogenesitas
P.
brassicae
pada tanaman caisin cv. Granat
dan kultivar-kultivar brassica lainnya
menunjukkan variasi pada tanah yang
berbeda. Dalam tanah, populasi
P. brassi-
cae
umumnya terdiri atas campuran
berbagai patotipe.
Varietas resisten dapat kehilangan
sifat resistensinya atau dipatahkan resis-
tensinya akibat perkembangan ras-ras
fisiologi patogen (Reyes
et al
. 1974).
Bahkan penanaman suatu varietas secara
terus-menerus pada lahan yang sama akan
merangsang timbulnya ras yang lebih
virulen (Agrios 1997). Seaman
dalam
Voorrips (1995) mengemukakan bahwa
penurunan resistensi kubis cv. Badger
Shipper dalam beberapa tahun setelah
pelepasan kemungkinan disebabkan oleh
seleksi dari genotipe patogen. Hal yang
sama dikemukakan oleh Kuginuki
et al
.
(1999) bahwa sejumlah kultivar caisin
yang resisten dapat menjadi peka pada
beberapa daerah pertanaman di Jepang
karena seleksi patogenesitas dalam
populasi
P. brassicae
.
Kultur Teknis
Pengapuran tanah dapat mengendalikan
penyakit jika kepadatan spora rehat
rendah, namun aplikasinya tidak efektif
pada tanah yang terkontaminasi sangat
parah (Colhoun
dalam
Wallenhammar
18
Jurnal Litbang Pertanian, 25(1), 2006
1996). Aplikasi 60 t/ha kalsium karbonat,
sodium karbonat, dan gipsum selama 3
tahun dapat mengendalikan penyakit dan
meningkatkan hasil kubis dengan memu-
askan, tetapi kepadatan inokulum di
dalam tanah tidak menurun secara nyata,
dan jika kandungan kalsium tanah kembali
rendah dapat menginduksi penyakit
(Fletcher
et al.
dalam
Wallenhammar
1996). Pengapuran tanah dengan CaO
11,20 t/ha atau 20 t/ha belum mampu
menekan kejadian dan intensitas se-
rangan penyakit dengan nyata pada
tanaman kubis (Djatnika 1989; Herdian
2000). Menurut Myers
et al.
(1981),
pengapuran pada jenis tanah yang
berbeda memberikan hasil pengendalian
penyakit yang berbeda pula.
Efektifitas pengapuran tanah di-
pengaruhi oleh distribusi atau redistribusi
kapur dalam tanah (Dobson
et al
. 1983),
tetapi peranan kapur dalam menekan
penyakit belum diketahui secara pasti.
Namun demikian peningkatan pH tanah
setelah aplikasi kapur diduga dapat
mengontrol patogen. Menurut Agrios
(1997), serangan penyakit akar gada
paling parah terjadi pada pH tanah 5,70.
Perkembangan penyakit akan menurun
pada pH tanah 5,70

6,20 dan tertekan pada
pH 7,80. Selanjutnya ditekankan penting-
nya memerhatikan faktor-faktor yang
berhubungan dengan distribusi kapur,
termasuk persiapan tanah, kelembapan
tanah, tekstur tanah, interval inkubasi
antara aplikasi kapur dan penanaman,
serta jenis pupuk yang digunakan.
Sumber pupuk nitrogen mempenga-
ruhi serangan dan indeks (keparahan)
penyakit akar gada baik pada tanah yang
diberi kapur maupun yang tidak diberi
kapur (Dobson
et al
. 1983). Ca(NO
3
)
2
merupakan sumber pupuk nitrogen yang
paling baik pada tanah yang diberi kapur,
diikuti oleh KNO
3
+ Ca(NO
3
)
2
.
Sebalik-
nya, (NH
4
)
2
SO
4
, nitrapirin, dan urea tidak
cocok digunakan pada lahan yang
terinfeksi, khususnya pada tanah yang
tidak diberi kapur, karena tingkat serangan
dan indeks penyakit akar gada cukup
tinggi (Tabel 1). Gunadi dan Asandhi
(1988) melaporkan bahwa intensitas
serangan akar gada dipengaruhi oleh
sumber dan takaran pupuk nitrogen yang
digunakan. Pupuk nitrogen yang paling
baik adalah chilean sodium nitrat (CSN)
dengan takaran 135 kg N/ha, kemudian
chilean potash nitrat (CPN) dan potash
nitrat (PN) dengan takaran 135 kg N/ha.
Penggunaan urea dengan takaran 135 kg
N/ha, CPN, PN, dan CSN 67,50 kg N/ha
tidak dianjurkan karena intensitas pe-
nyakit justru akan meningkat (Tabel 2).
Penggunaan mulsa jagung tidak
memberikan pengaruh yang nyata ter-
hadap intensitas penyakit dan bobot
brangkasan tanaman kailan (Herdian
2000). Ekstrak bawang putih pada kondisi
semilapang tidak mempengaruhi serangan
penyakit (Djatnika 1990b). Selanjutnya
Djatnika (1991) melaporkan bahwa ekstrak
gulma (babadotan) dapat menekan dia-
meter akar bengkak dari 8,36 mm menjadi
4,09 mm, tetapi tidak dapat meningkat-
kan bobot daun petsai secara nyata.
Tumpang sari kailan dengan rumput
jepang juga tidak memberikan pengaruh
nyata terhadap intensitas penyakit dan
nilai produksi tanaman kailan (Herdian
2000).
Rotasi tanaman dengan tanaman
selain famili Brassicaceae memerlukan
waktu lama karena spora rehat patogen
dapat bertahan hidup di dalam tanah
hingga 17 tahun (Wallenhammar 1996).
Nielson
dalam
Wallenhammar (1996)
menyimpulkan bahwa penanaman cruci-
ferae setiap 4 tahun tidak cukup untuk
mengendalikan penyakit. Rotasi dengan
tanaman
rape
(
oilseed rape)
setiap 6–8
tahun dapat mencegah serangan yang
berat. Namun demikian, efek rotasi tana-
man dengan mudah dapat tereliminasi ji-
ka tanah di sekitarnya terinfeksi patogen
dan terangkut ke lahan perlakuan rotasi
melalui alat-alat pertanian, kaki atau
sepatu pekerja. Selain itu keberadaan
gulma cruciferae dapat menstimulasi
kelangsungan hidup patogen. Oleh
karena itu pengendalian gulma harus
dilakukan.
Perbaikan drainase tanah dapat
mengurangi kehilangan hasil, tetapi cara
tersebut kurang efektif khususnya selama
periode curah hujan tinggi (Rowe dan
Farley 1979). Pengendalian dengan cara
perendaman lahan hanya dapat dilakukan
pada lahan sawah (Djatnika 1989).
Tabel 1.
Pengaruh pemupukan nitrogen terhadap serangan dan indeks
penyakit akar gada pada tanaman caisin.
Tanah diberi kapur Tanah tidak diberi kapur
Sumber
nitrogen T
anaman
Indeks T
anaman
Indeks
terserang (%)
penyakit terserang (%) penyakit
Ca (NO
3
)
2
0 0 86 1,4
KNO
3
+ Ca(NO
3
)
2
24 0,3 99 2,5
(NH
4
)
2
SO
2
32 0,4 100 2,8
(NH
4
)
2
SO
2
+ nitrapirin 35 0,5 100 2,7
Urea 32 0,4 100 2,9
Urea + nitrapirin 38 0,4 100 2,6
Sumber: Dobson
et al
. (1983).
Tabel 2. Pengaruh penggunaan pupuk urea dan chilean nitrat terhadap
kadar serat krop, bahan terlarut dan intensitas serangan penyakit
bengkak akar, Lembang 1987.
Perlakuan
Kadar serat krop Bahan terlarut Intensitas serangan
(%) (%) bengkak akar (%)
U-135
2,69 7,68 2,50
CSN-135
3,01 7,19 0,75
CSN-67,50
3,61 7,30 1,50
CPN-135 3,37 7,44 1,25
CPN-67,50 2,68
7,44 2,00
PN-135
3,20 7,49 1,25
PN-67,50 3,68
7,50 1,75
Sumber: Gunadi dan Asandhi (1988).
Jurnal Litbang Pertanian, 25(1), 2006
19
Pengendalian Kimiawi
Fumigasi tanah dengan metil bromida
dapat mematikan
P. brassicae
, tetapi cara
ini tidak dianjurkan di lapangan karena
berbahaya dan mahal. Pengendalian
dengan fungisida tidak selalu menunjuk-
kan hasil yang memuaskan. Pencelupan
akar bibit dalam cairan fungisida yang
mengandung pentachloro-nitrobenzene
(PCNB) atau derivat benzimidazole dapat
mengurangi intensitas penyakit akar gada
dalam beberapa kasus saja (Reyes
et al
.
1974), tetapi tidak efektif jika digunakan
pada tanah yang mengandung banyak
pupuk kandang (Rowe dan Farley 1979).
Hal ini disebabkan fungisida yang diapli-
kasikan tidak dapat mencapai tanah yang
mengandung patogen karena terhalang
oleh pupuk kandang, atau dengan kata
lain sebagian fungisida yang diaplikasi-
kan hanya menempel pada pupuk kan-
dang.
Penggunaan dazomet di beberapa
negara dapat menanggulangi serangan
penyakit akar gada, tetapi penelitian
Djatnika (1989) menggunakan bahan yang
sama dengan dosis 40 g/m
2
tidak me-
nunjukkan hasil yang memuaskan. Me-
nurut Horiuchi
et al
. (1982), pengendalian
dengan pestisida sulit diterapkan pada
lahan yang ditanami tanaman kubis-
kubisan secara terus-menerus. Pena-
naman tanaman sejenis secara berulang
pada lahan yang sama akan meningkat-
kan populasi dan virulensi patogen
sehingga patogen makin sulit dikendali-
kan, termasuk dengan pestisida.
Beberapa fungisida mempunyai
efikasi yang terbatas bila kepadatan spora
rehat dan virukasi
P. brassicae
tinggi
(Tanaka
et al
. 1997). Flusulfamida telah
digunakan secara luas dalam produksi
cruciferae di Jepang (Tanaka 1996). Selan-
jutnya Tanaka
et al
. (1999) melaporkan
bahwa flusulfamida mempengaruhi stadia
awal dari siklus hidup
P. brassicae
, dan
diduga menghambat perkecambahan
spora rehat atau menurunkan viabilitas
spora-spora primer yang terlepas dari
spora rehat, namun tidak efektif mengen-
dalikan
P. brassicae
yang sudah ada
dalam sel korteks.
Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati patogen tular tanah
menggunakan mikroba antagonis telah
banyak dilaporkan. Pengendalian hayati
dengan mikroba tanah
Mortierella
sp.
yang dikombinasikan kapur setara 2 t
CaO/ha pada percobaan semilapangan
dapat menekan persentase dan intensitas
serangan penyakir akar gada serta me-
ningkatkan bobot daun kubis, sedangkan
peranan
Gliocladium
sp. dan
Chaeto-
mium
sp. tidak tampak (Djatnika 1990a).
Sebaliknya
Gliocladium
sp. dapat mengu-
rangi serangan penyakit akar gada pada
tanaman petsai walaupun hasilnya belum
memuaskan (Labuan 1990). Widodo
et al
.
(1993) melaporkan bahwa penggunaan
mikroba antagonis
Pseudomonas
spp.
kelompok fluoresen dapat menekan
serangan tetapi tidak berpengaruh nyata
terhadap bobot basah tanaman caisin.
Namun, perlakuan benih dan penyiraman
tanah dengan isolat-isolat mikroba
tersebut di lapangan tidak berpengaruh
nyata terhadap luas serangan, indeks
penyakit, dan bobot basah krop kubis
(Primawardona 1995).
Narisawa
et al. (
1998) menemukan 16
dari 322 isolat cendawan pengkolonisasi
akar yang dapat menurunkan keparahan
penyakit akar gada pada caisin yang
ditanam pada tanah steril. Dari isolat-isolat
tersebut, dua isolat
Heteroconium
chaetospira
(Hyphomycetes) dapat
menekan penyakit akar gada pada tanah
yang tidak steril.
H. chaetospira
dapat
menurunkan serangan penyakit akar gada
hingga 97% dan layu
Verticillium
67%
pada tanaman sawi putih (Narisawa
et al
.
2000).
Pengendalian hayati dengan
Phoma
glomerata
menunjukkan aktivitas bio-
kontrol terhadap penyakit akar gada
pada tanaman caisin dan turnip yang
ditanam pada media sekam tanah yang
terinfestasi
P. brassicae
, tetapi pengen-
dalian tersebut kurang efektif dibanding
dengan
Epoxydon
dari
P. glomerata
(250
μ
g/ml) (Arie
et al
. 1998).
Epoxydon
pada
awalnya dimurnikan dari kultur
broth
Phoma
sp. oleh Closse
et al
. (1966)
sebagai substan antitumor (Arie
et al
.
1998). Beberapa substan antiauksin
tersebut dilaporkan dapat mengurangi
keparahan penyakit akar gada pada
tanaman caisin. Kebanyakan substan
tersebut pitotoksik pada konsentrasi
tinggi, tetapi penggunaan 2,3,5 triodo-
benzoic acid hampir sempurna menekan
penyakit pada konsentrasi 10
μ
g ml tanpa
pitotoksik.
Secara alami tanah mengandung
mikroorganisme yang mampu menekan
perkembangan patogen dalam tanah. Jika
keseimbangan mikroorganisme dalam
tanah terganggu maka efek penekanan
tersebut akan hilang. Sebagian besar
mikroorganisme antagonis tersebut hidup
sebagai saprofit. Kemampuan adaptasi
mikroorganisme terhadap berbagai kon-
disi lingkungan dapat dimanfaatkan
sebagai agen pengendali hayati patogen
tanaman (Baker dan Cook 1974).
Dari beberapa penelitian diketahui
bahwa pengendalian hayati terjadi secara
alami seperti adanya tanah supresif
(
suppressive soil
) pada areal pertanian.
Hal ini salah satu penyebabnya adalah
adanya peran aktif mikroorganisme
antagonis dalam tanah (Hornby 1983).
Murakami
et al
. (2000) melaporkan adanya
keterlibatan faktor biotik dan abiotik dalam
menekan penyakit akar gada pada tanah
supresif. Faktor biotik berperan penting
dalam penekanan penyakit pada tanah
kondusif. Indeks penyakit akar gada yang
lebih rendah pada tanah yang tidak
disterilkan daripada tanah yang di-
sterilkan, baik pada tanah supresif
maupun tanah kondusif, menunjukkan
bahwa faktor biotik berpengaruh pada
penekanan penyakit pada kedua tanah
tersebut. Selain itu, penekanan penyakit
yang masih terjadi pada tanah supresif
bahkan setelah disterilisasi menunjukkan
bahwa faktor abiotik juga berperan dalam
penekanan penyakit pada tanah tersebut
(Gambar 1). Menurut Agrios (1997),
penekanan penyakit pada tanah supresif
terjadi karena adanya satu atau beberapa
mikroorganisme antagonis pada tanah
tersebut. Antagonisme ini bekerja melalui
antibiotik yang dihasilkan, melalui kompe-
tisi terhadap makanan atau parasitisme
langsung terhadap patogen, sehingga
tidak memberi peluang bagi patogen
untuk mencapai populasi yang dapat
menyebabkan penyakit yang parah.
Penambahan berbagai jenis bahan
organik (pupuk hijau, pupuk kandang,
sisa-sisa tanaman atau sampah organik)
ke dalam tanah dapat menyeimbangkan
mikroflora tanah dan telah diakui sebagai
suatu pendekatan biologi yang prospektif
dalam perbaikan pengelolaan penyakit
tular tanah. Cicu (2005) melaporkan bahwa
perlakuan tanah untuk pembibitan
dengan pemberian pupuk kandang ayam
5 kg/m
2
yang diaplikasikan 6 minggu
sebelum bibit kubis disemai dapat me-
nurunkan indeks penyakit akar gada dan
meningkatkan produksi kubis dengan
nyata. Hal ini berkaitan dengan pening-
katan mikroflora rizosfer akar kubis,
20
Jurnal Litbang Pertanian, 25(1), 2006
terutama cendawan dan aktinomisetes
yang secara alami diduga berperan me-
nekan patogen melalui proteksi pada a-
kar sehingga ketahanan tanaman inang
terhadap infeksi patogen meningkat.
Solarisasi tanah sebagai suatu dis-
infestasi tanah alternatif, merupakan
proses pemanasan tanah di bawah mulsa
plastik transparan pada suhu yang
merugikan patogen tular tanah, dan
mampu mengendalikan berbagai jenis
penyakit tanaman (Stapleton dan DeVay
1986), termasuk penyakit akar gada pada
tanaman cruciferae (Horiuchi
et al
. 1982;
Widodo dan Suheri 1995; Cicu 2005).
Solarisasi tanah selama 5–7 minggu
sebelum tanam dapat menekan kejadian
dan indeks penyakit akar gada serta
meningkatkan produksi tanaman kubis di
lapangan (Widodo dan Suheri 1995).
Penekanan penyakit tidak dise-
babkan oleh pengaruh langsung dari
peningkatan suhu tanah, tetapi oleh efek
kumulatif dari suhu tanah harian selama
solarisasi berlangsung. Efek ini dapat
meningkatkan populasi mikroba rizosfer
terutama aktinomisetes yang diduga
berperan langsung menekan
P. brassicae
.
Hal yang sama dilaporkan oleh Cicu
(2005), bahwa solarisasi tanah pembibitan
yang dikombinasikan dengan pemberian
pupuk kandang ayam 5 kg/m
2
selama 6
minggu dapat menurunkan indeks pe-
nyakit akar gada dan meningkatkan
produksi kubis di lapangan. Penurunan
indeks penyakit diduga berkaitan dengan
peningkatan mikroflora tanah (terutama
cendawan dan aktinomisetes) akibat efek
kumulatif peningkatan suhu tanah. Wa-
laupun Horiuchi
et al
. (1982) menduga
tidak ada kaitannya antara penekanan
penyakit akar gada pada perlakuan solari-
sasi tanah dengan peranan mikroorganis-
me antagonis, peneliti lain dengan jenis
patogen berbeda melaporkan adanya
korelasi positif antara solarisasi tanah
dengan peranan mikroorganisme anta-
gonis (Katan
et al
. 1976; Gamliel dan
Katan 1991).
KESIMPULAN
Patogen tular tanah
P. brassicae
Wor.
menyebabkan penyakit akar gada (
club-
root
) pada tanaman cruciferae. Patogen
ini sering merupakan campuran berbagai
patotipe dan dapat membentuk spora
rehat yang dapat bertahan hidup dalam
tanah atau pada sisa-sisa tanaman dalam
jangka waktu lama. Patogen dapat
menular melalui berbagai perantara se-
perti perlengkapan usaha tani, bibit, hasil
panen, pupuk kandang, air permukaan,
angin, dan melalui biji yang terkon-
taminasi.
Penanggulangan penyakit akar gada
perlu dilakukan secara terintegrasi.
Pengendalian dapat dilakukan dengan
memanfaatkan mikroorganisme anta-
gonis alami dalam tanah melalui tanah
supresif, bahan organik, solarisasi tanah,
dan aplikasi mikroba antagonis seperti
Mortierella
sp.,
Gliocladium
sp.,
Chae-
tomium
sp.,
Pseudomonas
spp. kelompok
fluoresen,
Phoma glomerata
, dan
H.
chaetospira
, serta substan antiauksin
mikroorganisme. Penggunaan varietas
resisten
juga merupakan alternatif pengen-
dalian
yang efektif.
LA
SLA
HA
SHA
LA
SLA
HA
SHA
0
20
40
60
80
100
120
a
b
c
d
a
b
bc
c
10
4
spora
g/tanah
10
6
spora
g/tanah
Jenis tanah
Indeks penyakit
Gambar 1. Pengaruh sterilisasi tanah terhadap indeks penyakit akar gada pada
tanah supresif LA dan kondusif HA. Huruf yang sama yang mengikuti
histogram tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Jarak Berganda Tukey
(P > 0,05). LA = Low-humic Andosols; HA = Haplic Andosols; SLA =
tanah LA yang disterilisasi; SHA = tanah HA yang disterilisasi
(
Murakami
et al
. 2000
)
.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 1997. Plant Pathology. 4
th
ed. A-
cademic Press, San Diego, California,
London. 635 p.p
Alexopoulos, C.J., C.W. Mims, and M. Black-
well. 1996. Introductory to Mycology. 4
th
ed. John Wiley and Sons, Inc., New York-
Chichester-Brisbane-Toronto Singapore.
869 p.p.
Arie, T., Y. Kobayashi, G. Okada, Y. Kono, and
I. Yamaguchi. 1998. Control of soilborne
clubroot disease of cruciferous plants by
epoxydon from
Phoma glomerata
. Plant
Pathol. 47: 743

748.
Baker, K.F. and R.J. Cook. 1974. Biological
Control of Plant Pathogens.WH Freeman
and Company, San Francisco. 433 p.p.
Cicu. 2005. Penekanan penyakit akar gada pada
tanaman kubis melalui perlakuan tanah
pembibitan. Jurnal Hortikultura 15(1): 58

66.
Djatnika, I. 1984. Upaya penanggulangan
P.
brassicae
Wor. pada tanaman kubis-kubisan.
hlm. 30

32. Prosiding Seminar Hama dan
Penyakit Sayuran, Cipanas, Mei 1984.
http://hamdayanty08.student.ipb.ac.id/2010/06/20/penyakit-penyakit-penting-pada-tanaman-
kubis/

http://pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/p3251063.pdf

Anda mungkin juga menyukai