Sindrom Hipersensitivitas Obat PDF
Sindrom Hipersensitivitas Obat PDF
Abstrak: Sindrom hipersensitivitas obat (SHO) atau Drug Rash Eosinophilia and Systemic
Symptoms (DRESS) adalah suatu kondisi mengancam nyawa yang ditandai oleh ruam kulit,
demam, leukositosis dengan eosinofilia atau limfositosis atipik, pembesaran kelenjar getah
bening, serta gangguan pada hati atau ginjal. Angka kematian pada SHO dapat mencapai
10%. Sindrom hipersensitivitas obat diakibatkan oleh pajanan terhadap obat pencetus pada
individu yang memiliki kerentanan. Kerentanan individu terjadi akibat faktor keturunan
(polimorfisme genetik, jenis kelamin) serta faktor didapat (lupus eritematosus sistemik, limfoma,
infeksi virus). Tata laksana SHO meliputi penghentian obat tersangka sesegera mungkin, terapi
suportif, serta pemberian kortikosteroid sistemik. Terapi suportif yang diberikan seperti nutrisi,
cairan, antihistamin, atau antipiretik. Kortikosteroid sistemik diberikan dengan dosis setara
prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari yang diturunkan secara bertahap untuk mencegah kekambuhan.
Kata kunci: sindrom hipersensitivitas obat, diagnosis, tatalaksana, kortikosteroid
Abstract: Drug Rash Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS) is a life threatening condition
that is characterized with skin rash, fever, leukocytosis with eosinophilia or atypical lymphocyto-
sis, lymphadenopathy, and liver or kidney involvement. Mortality rate in DRESS can reach 10%.
Drug Rash Eosinophilia and Systemic Symptomsis is caused by exposure against triggering
drugs in suspectible individual. Suspectible individual could be hereditary factors (gender, genetic
polymorphism) or acquired factors (systemic lupus erythematosus, lymphoma, viral infection).
Management of DRESS are prompt withdrawal of the offending drug, supportive therapy, and
systemic corticosteroid administration. Supportive therapy including adecuate nutritional sup-
port and intravenous fluid, antihistamine, or antipyretic. Systemic corticosteroid is administered
with doses 1-1,5 mg/BW/day equal of prednisone that is tapered down gradually to prevent flare
up.
Keywords: drug rash eosinophilia and systemic symptoms, diagnosis, treatment, corticosteroid
dengan reseptor pada sel T. Interaksi antara obat dengan sel Tabel 1. Kondisi-kondisi yang Mengarahkan pada Reaksi Berat5
T akan mengaktifkan respon imun. Oleh karena itu terkadang
Kulit
reaksi yang timbul tidak mengikuti kaidah respon imun yang Eritema konfluens, Keterlibatan wajah atau edema pada wajah,
ada, yaitu reaksi dapat terjadi pada paparan pertama tanpa Nyeri kulit, Purpura, Nekrosis kulit, Terkelupasnya epidermis,
memerlukan proses sensitisasi sebelumnya.15 Erosi mukosa, Urtikaria, Pembengkakan lidah
Penjelasan lain adalah pada reaksi eksantema maku- Kondisi umum
Demam tinggi (>40°C), Pembesaran kelenjar getah bening,
lopapular, reaksi yang berperan didominasi oleh aktivasi sel Atralgia atau artritisSesak nafas, mengi, hipotensi
T helper 2 (Th2) (reaksi hipersensitivitas tipe IV) yang terkait Laboratorium
dengan sekresi IL-4, IL-5, serta IL-13. Selain itu juga terdapat Hitung eosinofil >1000/mm3
hubungan dengan reaksi alergi tipe I, yaitu sekresi IL-4 dan Limfositosis dengan limfosit atipikal
Hasil laboratorium fungsi hati yang abnormal
IL-13 akan meningkatkan produksi IgE.15
Manifestasi klinis yang muncul pada pasien SHO baik
pada kulit maupun organ terkait dengan peningkatan Manifestasi Klinis
proliferasi klon limfosit T CD8 yang telah teraktivasi terhadap Sindrom hipersensitivitas obat terjadi sekitar 3 minggu
antigen virus sebelumnya oleh obat pencetus. Dugaan hingga 3 bulan setelah pemberian obat, yang ditandai oleh
keterlibatan infeksi virus tersebut juga berdasarkan gambaran demam dan munculnya lesi kulit. Gambaran klinis yang
klinis pasien SHO yaitu adanya demam, edema pada wajah, penting adalah awitan yang lambat setelah obat penyebab
limfadenopati, monositosis, mononukleosis, serta hepatitis diberikan. Hal tersebut yang membedakan SHO dengan erupsi
yang konsisten dengan gambaran infeksi virus.16 obat lainnya.6
Picard et al16 memperlihatkan bahwa sekitar 76% pasien Erupsi kulit yang timbul biasanya dimulai dengan bercak
SHO mengalami reaktivasi terhadap EBV, HHV-6, dan HHV- makula eritematosa, sedikit gatal, dan kemudian akan meluas
7. Limfosit T CD8 akan meningkat jumlahnya di dalam darah dan menyatu (konfluensi). Kelainan kulit generalisata
serta jaringan yang terlibat seperti kulit, hati, maupun paru. ditemukan pada sekitar 85% kasus.18 Demam muncul sesaat
Selain itu limfosit T CD8 meningkatkan sekresi sitokin yaitu mendahului ruam kulit, dengan kisaran suhu 38-40oC. Demam
TNF-α, IL-2, dan IFN-γ. Tingginya produksi sitokin tersebut umumnya akan tetap berlanjut meskipun obat penyebab telah
terkait dengan gangguan organ dalam yang lebih berat. dihentikan. Lesi kulit awalnya muncul pada daerah wajah,
Peningkatan kadar berbagai mediator inflamasi tersebut tubuh bagian atas, serta ekstremitas atas yang kemudian
bertahan selama kurang lebih 3 bulan. Hal tersebut mungkin diikuti oleh ekstremitas bawah. Pada wajah akan dijumpai
menjelaskan memanjangnya periode gejala klinis yang dialami konjungtivitis, edema periorbita, dan pustul. Telapak tangan
pasien SHO meskipun obat pencetus telah dihentikan. biasanya tidak terkena, meski pada beberapa kasus dapat
Keterlibatan paru serta hipereosinofilia yang terjadi dikaitkan dijumpai lesi dalam jumlah sedikit.6,9
dengan peningkatan transkripsi IL-17. Peningkatan aktivitas Limfadenopati yang nyeri dapat ditemukan pada sekitar
transkripsi IL-17 tersebut sedikit berbeda dengan peneliti 70% kasus. Umumnya kelenjar getah bening yang terlibat
lain yang memperlihatkan bahwa IL-5 lebih berperan dalam adalah kelenjar getah bening servikal. Mukosa umumnya tidak
terjadinya hipereosinofilia.16 terlibat pada SHO, namun dapat ditemukan sedikit lesi di
mukosa mulut dan bibir. Rongga mulut akan terasa kering
Pendekatan Diagnosis akibat xerostomia berat. Hal tersebut akan menyulitkan asupan
Evaluasi awal dengan kecurigaan alergi obat adalah makanan pasien. Gejala dan tanda tersebut dapat mengalami
mengenali reaksi simpang obat ringan dan berat. Kecepatan perburukan 3-4 hari setelah obat pencetus dihentikan. Feno-
dan ketepatan dalam mengenali reaksi simpang obat berat mena paradoksikal tersebut juga menjadi salah satu karak-
penting dalam menurunkan mortalitas dan morbiditas pasien.5 teristik SHO. Pada pemeriksaan fisik abdomen ditemukan
Pertama-tama kita akan bahas dahulu gambaran klinis reaksi hepatomegali atau splenomegali.6
simpang obat yang seringkali kita temukan. Organ dalam yang seringkali terlibat pada SHO adalah
Gambaran lesi erupsi obat yang seringkali ditemukan hati (80%), ginjal (40%), serta paru (33%). Keterlibatan
adalah jenis eksantema morbiliformis (sekitar 95%) yang susunan saraf pusat (ensefalitis, meningitis aseptik) jarang
umumnya tidak menimbulkan kematian atau kesakitan yang ditemukan. Sebagian kecil pasien dapat mengalami hipotiroid
bermakna.17 Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, akibat tiroiditis autoimun dalam waktu dua bulan setelah
penting bagi dokter untuk dapat mengenali reaksi simpang gejala muncul. Kolitis yang ditandai oleh diare berdarah dan
obat yang berat seperti SHO, SSJ, serta NET. Terdapat nyeri abdomen juga dilaporkan meskipun jarang.9,18
beberapa parameter klinis serta laboratorium yang me- Setiap obat yang mencetuskan SHO juga memiliki
ngarahkan kecurigaan kita terhadap reaksi simpang obat gambaran yang spesifik. Lamotrigin menimbulkan SHO
yang berat.5 Berbagai parameter tesebut terdapat dalam dengan kadar eosinofilia yang lebih rendah. Sementara itu
tabel 1. alupurinol lebih sering menimbulkan gangguan fungsi ginjal
alternatif.6 Immunoglobulin intravena diberikan atas dasar prognosis yang lebih buruk sementara usia muda atau anak-
proses reaktivasi virus dalam terjadinya SHO. Pemberian anak sebaliknya. Pada umumnya pasien SHO yang men-
immunoglobulin intravena diharapkan dapat menekan dapatkan tata laksana adekuat akan pulih beberapa bulan
reaktivasi virus yang terjadi.21 Selain itu juga terdapat laporan setelah munculnya gejala. Pada penelitian terhadap 38 kasus
kasus mengenai manfaat pemberian siklosporin pada kasus SHO angka kesembuhan mencapai 94,8% pasien.26 Kematian
SHO persisten, yaitu steroid tidak dapat diberikan akibat efek yang terjadi disebabkan oleh infeksi oportunistik akibat
samping yang ditimbulkannya.9, 22 pemberian kortikosteroid jangka panjang atau gagal organ
Pemberian N-asetilsistein pada kasus SHO diperkirakan yang berat.18 Pasien yang mengalami SHO memiliki risiko
memberikan manfaat. Hal tersebut berdasarkan pemahaman yang lebih besar untuk mengalami penyakit autoimun seperti
bahwa N-asetilsistein merupakan prekursor glutation serta DM tipe 1, penyakit graves, dan sklerosis sistemik.6
memodulasi produksi berbagai sitokin pro inflamasi.
Meskipun demikian pemberian rutin N-asetilsistein belum Ringkasan
direkomendasikan karena belum adanya uji klinis yang Sindrom hipersensitivitas obat merupakan salah satu
mendukung.23 reaksi simpang obat yang berat. Sindrom hipersensitivitas
Pencegahan sekunder yang dilakukan terhadap pasien obat ditandai oleh ruam kulit, demam, leukositosis dengan
adalah dengan menghindari obat tersangka di masa men- eosinofilia atau limfositosis atipik, pembesaran kelenjar getah
datang. Obat alternatif sebaiknya digunakan apabila memang bening, serta gangguan pada hati atau ginjal.
tersedia.23 Faktor yang berperan dalam terjadinya SHO adalah
paparan terhadap obat yang berpotensi kepada individu yang
Uji Diagnostik memiliki kerentanan. Obat-obatan yang seringkali me-
Upaya untuk menentukan obat penyebab seringkali sulit nyebabkan SHO adalah anti kejang, alupurinol, atau OAINS.
ditegakkan hanya berdasarkan temuan klinis. Data yang Kerentanan individu disebabkan oleh faktor keturunan (jenis
penting dikumpulkan meliputi riwayat penyakit yang lengkap, kelamin, polimorfisme genetik) maupun faktor didapat (infeksi
data penggunaan obat, cara pemberian obat, dosis yang HIV, LES, HHV-6).
diberikan, serta obat yang pernah digunakan sebelumnya.15 Tata laksana kasus SHO meliputi tata laksana suportif
Uji provokasi merupakan tes baku emas dalam mendi- serta pemberian kortikosteroid sistemik. Sebagian besar kasus
agnosis obat penyebab reaksi hipersensitivitas obat termasuk SHO akan mengalami penyembuhan dengan baik. Anti-
SHO. Uji provokasi adalah pemberian obat secara terkontrol histamin serta kortikosteroid topikal dapat diberikan untuk
untuk mendiagnosis reaksi simpang obat baik yang meringankan keluhan. Pada kasus yang persisten dapat
diperantarai imun maupun tidak. Dua indikasi dilakukannya digunakan terapi immunoglobulin intravena atau siklosporin.
uji provokasi obat adalah untuk mengeksklusi reaksi
hipersensitivitas pada kondisi yang meragukan baik dari Daftar Pustaka
riwayat maupun tampilan klinis dan menegakkan diagnosis 1. de Swarte RD, Peterson R. Drug allergy. In: Petterson R, Grammer
reaksi hipersensitivitas pada kasus yang mengarah dengan LC, Greenberger PA, editors. Allergic disease diagnosis and man-
hasil pemeriksaan uji alergi lain yang inkonklusif atau negatif. agement. Philadelphia: Lippincott-Raven;1997.p.317-412
2. Sundaru H. Alergi obat. In: Mansjoer A, Setiati S, Syam AF, Laksmi
Keunggulan uji provokasi obat adalah memungkinkan kita PW, editors. Naskah Lengkap PIT Ilmu Penyakit Dalam 2008.
mengetahui metabolisme individu serta latar belakang Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
imunogenetika. Akan tetapi risiko tindakan uji provokasi obat 2008.p.243-52
juga besar yaitu dapat memicu reaksi relaps yang berat dan 3. Kano Y, Shiohara T. The variable clinical picture of drug-induced
hypersensitivity syndrome/drug rash with eosinophilia and sys-
tidak terkontrol. Uji provokasi dilakukan terhadap pasien yang temic symptoms in relation to the eliciting drug. Immunol Al-
sudah dalam kondisi stabil serta dilakukan dengan pen- lergy Clin North Am. 2009;29(3):481-501.
dampingan oleh dokter yang berpengalaman.24 4. Mockenhaupt M. Epidemiology and causes of severe cutaneuos
Berdasarkan pemahaman mengenai adanya limfosit T adverse reactions to drugs. In: Pichler WJ, editor. Drug hypersen-
sitivity. Basel: Karger; 2007.p.18-31.
spesifik terhadap obat, yang berperan dalam terjadinya SHO 5. Roujeau JC, Stern RS. Severe adverse cutaneous reactions to drugs.
maka uji diagnostik yang seringkali digunakan adalah uji N Engl J Med. 1994;331:1272-85.
tempel dan tes transformasi limfosit. Tes transformasi limfosit 6. Shiohara T, Takahashi R, Kano Y. Drug-induced hypersensitivity
memiliki keamanan yang lebih baik serta risiko lebih rendah syndrome and viral reactivation. In: Pichler WJ, editor. Drug
hypersensitivity. Basel: Karger; 2007.p.251-66.
dalam mencetuskan alergi terhadap obat lain. Pada pasien 7. Project R. Current Status. RegiSCAR Project. [cited 2010 Nov
SHO waktu untuk melakukan tes transformasi limfosit adalah 14]. Available from: http://regiscar.uni-freiburg.de/status/
5-6 minggu setelah gejala muncul. Hasil positif dapat ber- index.html.
langsung hingga satu tahun sesudahnya.6, 25 8. de Silva NP, Piquioni P, Kochen S, Saidon P. Risk factors associ-
ated with DRESS syndrome produced by aromatic and non-aro-
matic antipiletic drugs. Eur J Clin Pharmacol. 2011;67(5):463-
Prognosis 70.
Usia terkait dengan luaran klinis. Usia tua terkait dengan 9. Knowles SR, Shear NH. Recognition and Management of Severe
Cutaneous Drug Reactions. Dermatol Clin. 2007;25:245-53. 19. Bonaci-Nikolic B, Jeremic I, Nikolic M, Andrejevic S, Lavadinovic
10. Suswardhana, Hernanto M, Yudani BA, Pudjiati SR, Indrastuti N. L. High procalcitonin in a patient with drug hypersensitivity
DRESS syndrome from cefadroxil confirmed by positive patch syndrome. Inter Med. 2009;48:1471-4.
test. Allergy. 2007;62:1216-7. 20. Bocquet H, Bagot M, Roujeau J. Drug-induced pseudolymphoma
11. Sullivan JR, Shear NH. The drug hypersensitivity syndrome: what and drug hypersensitivity syndrome (Drug Rash with Eosino-
is the pathogenesis? Arch Dermatol. 2001;137:357-63. philia and Systemic Symptoms: DRESS). Semin Cutan Med Surg.
12. Shiohara T, Inaoka M, Kano Y. Drug-induced hypersensitivity 1996;15(4):250-7.
syndrome(DIHS): a reaction induced by a complex interplay 21. Kano Y, Inaoka M, Sakuma K, Shiohara T. Virus reactivation and
among herpesviruses and antiviral and antidrug immune responses. intravenous immunoglobulin (IVIG) therapy of drug-induced hy-
Allergol Int. 2006;55:1-8. persensitivity syndrome. Toxicology. 2005;209(2):165-7.
13. Riedl MA, Cassilas AM. Adverse drug reactions: types and treat- 22. Harman KE, Morris SD, Higgins EM. Persistent anticonvulsant
ment options. Am Fam Physician. 2003;68:1781-90. hypersensitivity syndrome responding to ciclosporin. Clin Exp
14. Pirmohamed M. HIV and drug hypersensitivity. In: Pichler WJ, Dermatol. 2003;28:364-5.
editor. Drug Hypersensitivity. Basel: Karger; 2007.p.84-94. 23. Tas S, Simonart T. Management of drug rash with eosinophilia
15. Pichler WJ. Drug hypersensitivity reactions: Classification and and systemic symptoms. DRESS syndrome: an update. Derma-
relationship to T-Cell Acitvation. In: Pichler WJ, editor. Drug tology. 2003;206:352-6.
Hypersensitivity. Basel: Karger; 2007.p.168-89. 24. Aberer W, Kranke B. Provocation tests in drug hypersensitivity.
16. Picard D, Janela B, Descamps V, D’Incan M, Courville P, Jacquot Immunol Allergy Clin N Am 2009;29:567-84.
S, et al. Drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms 25. Baratawidya KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai
(DRESS): a multiorgan antiviral T cell response. Sci Transl Med. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
2010;2(46):46ra62. 26. Um SJ, Lee SK, Kim YH, Kim KH, Son CH, Roh MS. et al.
17. Cotliar J. Approach to the patient with a suspected drug eruption. Clinical Features of Drug-Induced Hypersensitivity Syndrome in
Semin Cutan Med Surg. 2007;26(3):147-54. 38 Patients. J Investig Allergol Clin Immunol. 2010;20(7):556-
18. Chen Y, Chiu H, Chu C. Drug reaction with eosinophilia and 62.
systemic symptoms: a retrospective study of 60 cases. Arch
Dermatol. 2010;146(12):1373-9. FA