1 Penyakit sinusitis
selalu dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks ostiomeatal (KOM) oleh infeksi, obstruksi
mekanis atau alergi, dan oleh karena penyebaran infeksi gigi.2
Sinus maksilaris, yang secara anatomi berada di pertengahan antara hidung dan rongga mulut
merupakan lokasi yang rentan terinvasi organisme patogen lewat ostium sinus maupun lewat rongga
mulut.Sinusitis dentogen dapat mencapai 10% hingga 12% dari seluruh kasus sinusitis maksilaris.1
Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik.Dasar sinus
maksila adalah prosesus alveolaris tenpat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus maksila
hanya dipisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang
pembatas.Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal
mudah menyebar secara langsung ke sinus atau melalui pembuluh darah dan limfe.1
Curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang mengenai satu sisi
dengan ingus purulen dan napas berbau busuk.Untuk mengobati sinusitisnya, gigi yang terinfeksi
harus dicabut atau dirawat, dan pemberian antibiotik yang mencakup bakteri anaerob.Seringkali
perlu dilakukan irigasi sinus maksila.2,3
SINUS MAKSILA
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume
6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu
15 ml saat dewasa.1,2,5,8
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila
yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding
1
medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding
inferiornya ialah prossesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior
dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.1
2
belakang prosesus unsinatus, resesus fontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid anterior dengan
ostiumnya dan ostium sinus maksila.1,2,5,8
2.2 DEFINISI
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang terkena, dapat
dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid.1,2,3
Yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid, sinusitis frontal
dan sinusuitis sfenoid lebih jarang.
Sinus maksila disebut juga antrum High more, merupakan sinus yang sering terinfeksi, oleh
karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar,
3
sehingga aliran sekret atau drainase dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar
sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan
sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius , disekitar hiatus semilunaris
yang sempit, sehingga mudah tersumbat.1,5
Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis.Sinusitis maksilaris akut
berlangsung tidak lebih dari tiga minggu.Sinusitis akut dapat sembuh sempurna jika diterapi dengan
baik, tanpa adanya residu kerusakan jaringan mukosa.Sinusitis berulang terjadi lebih sering tapi
tidak terjadi kerusakan signifikan pada membran mukosa. Sinusitis kronis berlangsung selama 3
bulan atau lebih dengan gejala yang terjadi selama lebih dari dua puluh hari.1,2, 4
5
Gambar 4: Faktor penyebab terjadinya sinusitis dentogen
2.4 EPIDEMIOLOGI
Di Eropa, sinusitis diperkirakan mengenai 10-30% populasi. Di Amerika, lebih dari 30 juta
penduduk per tahun menderita sinusitis. Wald di Amerika menjumpai insiden pada orang dewasa
antara 10-15% dari seluruh kasus sinusitis yang berasal dari infeksi gigi.7
Ramalinggam di Madras, India mendapatkan bahwa sinusitis maksila tipe dentogen
sebanyak 10% kasus yang disebabkan oleh abses gigi dan abses apikal. Becker et al. dari Bonn,
Jerman menyatakan 10% infeksi pada sinus maksila disebabkan oleh penyakit pada akar gigi.
Granuloma dental, khususnya pada premolar kedua dan molar pertama sebagai penyebab sinusitis
6
maksila dentogen. Highler dari Minnesota, Amerika Serikat menyatakan 10% kasus sinusitis
maksila yang terjadi setelah gangguan pada gigi.6
Data dari sub bagian Rinologi THT FKUI RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo menunjukkan
angka kejadian sinusitis yang tinggi yaitu 248 pasien (50%) dari 496 pasien rawat jalan. Farhat di
Medan mendapatkan insiden sinusitis dentogen di Departemen THT-KL/RSUP H. Adam Malik
sebesar 13.67% dan yang terbanyak disebabkan oleh abses apikal yaitu sebanyak 71.43%. Hasil dari
penelitian melaporkan bahwa insiden sinusitis dentogen lebih tinggi pada wanita dan angka
kejadian tertinggi pada usia dekade ketiga dan keempat. 3
2.5 PATOFISIOLOGI
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteomeatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel
respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous
superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk
membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zatzat yang berfungsi
sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.
Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan.5,8,11
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu
apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan
terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan
cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi siliaini akan menyebabkan retensi
mukus yang kurang baik pada sinus. 5,8
Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama
berkembangnya sinusitis. Sinusitis dentogen dapat terjadi melalui dua cara, yaitu:
1. Infeksi gigi yang kronis dapat menimbulkan jaringan granulasi di dalam mukosa sinus
maksilaris, hal ini akan menghambat gerakan silia ke arah ostium dan berarti menghalangi
drainase sinus. Gangguan drainase ini akan mengakibatkan sinus mudah mengalami infeksi.
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi bakteri
(anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan lunak gigi dan
sekitarnya rusak (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009). Pulpa terbuka maka kuman akan
masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa.
Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan
7
iritasi akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat
meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar
membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi. 1,5,8
2. Kuman dapat menyebar secara langsung, hematogen atau limfogen dari granuloma apikal
atau kantong periodontal gigi ke sinus maksila.1,5,8
8
Gambar 7. Perubahan silia pada sinusitis
Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan saling
bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan
drainase dan ventilasi didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang di
produksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya
bakteri patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga
timbul infeksi oleh bakteri anaerob.1 Bakteri yang sering ditemukan pada sinusitis kronik adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis,Streptococcus B
hemoliticus, Staphylococcus aureus, kuman anaerob jarang ditemukan.1 Selanjutnya terjadi
perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.1,2,3
Gambar 9. Pus pada meatus medius Gambar 10. Pembengkakan pipi pada pasien sinusitis
2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis sinusitis dentogen adalah berdasarkan pemeriksaan lengkap pada gigi serta
pemeriksaan fisik lainnya. Ini mencakup evaluasi gejala klinis pasien sesuai dengan kriteria
American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery (AAO-HNS), yang mana diagnosis
10
sinusitis membutuhkan setidaknya 2 faktor mayor atau setidaknya 1 faktor mayor dan 2 faktor
minor dari serangkaian gejala dan tanda klinis, riwayat penyakit gigi geligi, serta temuan radiologi
sinus paranasal dan CT Scan. Selain itu, kadang diperlukan konsultasi dengan departemen
kedokteran gigi untuk mendukung dan membuat diagnosis sinusitis dentogen serta
penatalaksanaannya.1,2
Anamnesis
Riwayat rinore purulen yang berlangsung lebih dari 7 hari, merupakan keluhan yang paling sering
dan paling menonjol pada sinusitis akut. Keluhan ini dapat disertai keluhan lain seperti sumbatan
hidung, nyeri/rasa tekanan pada muka, nyeri kepala, demam, ingus belakang hidung, batuk,
anosmia/hiposmia, nyeri periorbital, nyeri gigi, nyeri telinga dan serangan mengi (wheezing) yang
meningkat pada penderita asma.1,5,10
Riwayat gejala sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor dari
kumpulan gejala dan tanda menurut International Consensus on Sinus Disease, tahun 1993 dan
2004.11 Kriteria mayor terdiri dari: sumbatan atau kongesti hidung, sekret hidung purulen, sakit
kepala, nyeri atau rasa tertekan pada wajah dan gangguan penghidu. Kriteria minornya adalah
demam dan halitosis.10
11
Sakit gigi
Hidung berbau
Gejala telinga
Anak-Anak Batuk -
Iritabilitas/Rewel
Dikutip dari: Kennedy DW
Pemeriksaan Fisik
INSPEKSI5,10
Ada 3 keadaan yang penting kita perhatikan saat melakukan inspeksi hidung & sinus paranasalis,
yaitu :
Kerangka dorsum nasi (batang hidung).
Adanya luka, warna, udem & ulkus nasolabial.
Bibir atas.
Ada 4 bentuk kerangka dorsum nasi (batang hidung) yang dapat kita temukan pada inspeksi hidung
& sinus paranasalis, yaitu :
Lorgnet pada abses septum nasi.
Saddle nose pada lues.
Miring pada fraktur.
Lebar pada polip nasi.
Kulit pada ujung hidung yang terlihat mengkilap, menandakan adanya udem di tempat tersebut.
Adanya maserasi pada bibir atas dapat kita temukan saat melakukan inspeksi hidung & sinus
paranalis.Maserasi disebabkan oleh sekresi yang berasal dari sinusitis dan adenoiditis.
PALPASI10
Ada 4 struktur yang penting kita perhatikan saat melakukan palpasi hidung & sinus paranasalis,
yaitu :
Dorsum nasi (batang hidung).
Ala nasi.
Regio frontalis sinus frontalis.
12
Fossa kanina.
Krepitasi dan deformitas dorsum nasi (batang hidung) dapat kita temukan pada palpasi
hidung.Deformitas dorsum nasi merupakan tanda terjadinya fraktur os nasalis.
Ala nasi penderita terasa sangat sakit pada saat kita melakukan palpasi.Tanda ini dapat kita temukan
pada furunkel vestibulum nasi.
Ada 2 cara kita melakukan palpasi pada regio frontalis sinus frontalis, yaitu :
Kita menekan lantai sinus frontalis ke arah mediosuperior dengan tenaga optimal dan simetris
(besar tekanan sama antara sinus frontalis kiri dan kanan). Palpasi kita beri nilai bila kedua sinus
frontalis tersebut memiliki reaksi yang berbeda.Sinus frontalis yang lebih sakit berarti sinus tersebut
patologis.
Kita menekan dinding anterior sinus frontalis ke arah medial dengan tenaga optimal dan
simetris.Hindari menekan foramen supraorbitalis.Foramen supraorbitalis mengandung nervus
supraorbitalis sehingga juga menimbulkan reaksi sakit pada penekanan. Penilaiannya sama dengan
cara pertama diatas.
Palpasi fossa kanina kita peruntukkan buat interpretasi keadaan sinus maksilaris. Syarat dan
penilaiannya sama seperti palpasi regio frontalis sinus frontalis. Hindari menekan foramen
infraorbitalis karena terdapat nervus infraorbitalis.
PERKUSI10
Perkusi pada regio frontalis sinus frontalis dan fossa kanina kita lakukan apabila palpasi pada
keduanya menimbulkan reaksi hebat. Syarat-syarat perkusi sama dengan syarat-syarat palpasi.
Rinoskopia Anterior
Rinoskopi anterior merupakan pemeriksaan rutin untuk melihat tanda patognomonis, yaitu sekret
purulen di meatus medius atau superior; atau pada rinoskopi posterior tampak adanya sekret purulen
di nasofaring (post nasal drip).1,5,10
Ada 3 alat yang biasa kita gunakan pada rinoskopia anterior, yaitu :
Aplikator.
Pinset (angulair) dan bayonet (lucae).
Spekulum hidung Hartmann.
Spekulum hidung Hartmann bentuknya unik. Cara kita memakainya juga unik meliputi cara
memegang, memasukkan dan mengeluarkan.Cara kita memegang spekulum hidung Hartmann
sebaiknya menggunakan tangan kiri dalam posisi horisontal. Tangkainya yang kita pegang berada
13
di lateral sedangkan mulutnya di medial. Mulut spekulum inilah yang kita masukkan ke dalam
kavum nasi (lubang hidung) pasien.Cara kita memasukkan spekulum hidung Hartmann yaitu
mulutnya yang tertutup kita masukkan ke dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien.Setelah itu kita
membukanya pelan-pelan di dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien.
Cara kita mengeluarkan spekulum hidung Hartmann yaitu masih dalam kavum nasi (lubang
hidung), kita menutup mulut spekulum kira-kira 90%.Jangan menutup mulut spekulum 100%
karena bulu hidung pasien dapat terjepit dan tercabut keluar.1,5,10
Ada 5 tahapan pemeriksaan hidung pada rinoskopia anterior yang akan kita lakukan, yaitu :
Pemeriksaan vestibulum nasi.
Pemeriksaan kavum nasi bagian bawah.
Fenomena palatum mole.
Pemeriksaan kavum nasi bagian atas.
Pemeriksaan septum nasi.
Rinoskopia Posterior
Prinsip kita dalam melakukan rinoskopia posterior adalah menyinari koane dan dinding nasofaring
dengan cahaya yang dipantulkan oleh cermin yang kita tempatkan dalam nasofaring.
Ada 4 alat dan bahan yang kita gunakan pada rinoskopia posterior, yaitu :1,5,10
Cermin kecil.
Spatula.
Lampu spritus.
Solusio tetrakain (- efedrin 1%).
14
Spatula kita pegang dengan tangan kiri. Ujung spatula kita tempatkan pada punggung lidah pasien
di depan uvula. Punggung lidah kita tekan ke bawah di paramedian kanan lidah sehingga terbuka
ruangan yang cukup luas untuk menempatkan cermin kecil dalam nasofaring pasien.
Masukkan cermin kedalam faring dan kita tempatkan antara faring dan palatum mole kanan
pasien.Cermin lalu kita sinari dengan menggunakan cahaya lampu kepala.
Khusus pasien yang sensitif, sebelum kita masukkan spatula, kita berikan lebih dahulu tetrakain 1%
3-4 kali dan tunggu ± 5 menit.1,5,10
Pemeriksaan Transiluminasi
Pemeriksaan penunjang lain adalah transiluminasi. Hanya sinus frontal dan maksila yang dapat
dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan ini
sudah jarang digunakan karena terbatas kegunaanya1,5,10
Ada 2 cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada sinus maksilaris, yaitu :
Cara I. Mulut pasien kita minta dibuka lebar-lebar. Lampu kita tekan pada margo inferior
orbita ke arah inferior. Cahaya yang memancar ke depan kita tutup dengan tangan kiri.
Hasilnya sinus maksilaris normal bilamana palatum durum homolateral berwarna terang.
Cara II. Mulut pasien kita minta dibuka. Kita masukkan lampu yang telah diselubungi
dengan tabung gelas ke dalam mulut pasien. Mulut pasien kemudian kita tutup. Cahaya yang
memancar dari mulut dan bibir atas pasien, kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya dinding
depan dibawah orbita tampak bayangan terang berbentuk bulan sabit.
Penilaian pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) berdasarkan adanya perbedaan sinus
kiri dan sinus kanan. Jika kedua sinus tampak terang, menandakan keduanya normal.
Namun khusus pasien wanita, hal itu bisa menandakan adanya cairan karena tipisnya tulang
mereka. Jika kedua sinus tampak gelap, menandakan keduanya normal. Khusus pasien pria,
kedua sinus yang gelap bisa akibat pengaruh tebalnya tulang mereka1,5,10
Nasoendoskopi
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan untuk menilai kondisi kavum nasi hingga ke
nasofaring.Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan dengan jelas keadaan dinding lateral hidung.
Pemeriksaan ini sangat dianjurkan untuk menentukan diagnosa yang lebih tepat dan dini. Tanda
15
khas ialah adanya pus di meatus media (pada sinusitis maksilaris, etmoid anterior dan frontalis) atau
di meatus superior (pada sinusitis etmoidalis posterior dan sfenoid). 1,10
CT Scan
CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung
dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya.Namun
karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik
dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus.1,5,10
Sinoskopi
Dapat dilakukan untuk melihat kondisi antrum sinus maksila. Pemeriksaan ini menggunakan
endoskop, yang dimasukkan melalui pungsi di meatus inferior atau fosa kanina. Dilihat apakah ada
sekret, jaringan polip, atau jamur di dalam rongga sinus maksila, serta bagaimana keadaaan
mukosanya apakah kemungkinan kelainannya masih reversibel atau sudah ireversibel. 11
Gambar 11: Foto rontgen pasien wanita berusia 45 tahun dengan kista periapikal. Kista ini timbul
dari residu epitelial pada ligamen periodontal yang disebabkan oleh inflamasi.
17
2.9 PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanan sinusitis dentogen:1,5
a. Atasi masalah gigi
b. Penderita dengan sinusitis akut yang disertai demam dan kelemahan sebaiknya beristirahat
ditempat tidur. Diusahakan agar kamar tidur mempunyai suhu dan kelembaban udara tetap.
c. Konservatif, diberikan obat-obatan: antibiotika, dekongestan, antihistamin, kortikosteroid
dan irigasi sinus.
d. Operatif. Beberapa macam tindakan bedah sinus yaitu antrostomi meatus inferior, Caldwell-
Luc, etmoidektomi intra dan ekstra nasal, trepanasi sinus frontal, dan bedah sinus
endoskopik fungsional.
AKUT
Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang
diberikan lini I yakni golongan penisilin atau kotrimoksazoldan terapi tambahan yakni obat
dekongestan oral dan topikal, mukolitik untuk memperlancar drainase dan analgetik untuk
menghilangkan rasa nyeri.Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika
1-3,5
ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen foto polosatau CT Scan dan atau
nasoendoskopi. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi sinusitis
kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi
dan kultur dari fungsi sinus.1,3
Terapi pembedahaan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi
komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret tertahan oleh
sumbatan.2,3
KRONIK
a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tatalaksana yang sesuai dan diberi
terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-14 hari.1
b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II + terapi
tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7
hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan diteruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika
tidak ada perbaikan, evaluasi kembali dengan pemeriksaan nasoendoskopi, sinuskopi (jika
irigasi 5x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka dilakukan
18
tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi
diagnosis.1,5
c. Daerah sinus yang sakit bisa dilakukan diatermi gelombang pendek.
d. Jika ada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid,
frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
e. Pembedahan
Radikal:
- Sinus maksila dengan operasi Caldwell-luc.
Pengobatan ini dilakukan bila pengobatan koservatif gagal. Terapi radikal dilakukan dengan
mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drenase dari sinus yang terkena. Untuk sinus
maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc. Pembedahan ini dilaksanakan dengan anestesi umum
atau lokal. Jika dengan anestesi lokal, analgesi intranasal dicapai dengan menempatkan tampon
kapas yang dibasahi kokain 4% atau tetrakain 2% dengan efedrin 1% diatas dan dibawah konka
media. Prokain atau lidokain 2% dengan tambahan ephineprin disuntika di fosa kanina.
Suntikan dilanjutkan ke superior untuk saraf intraorbital. Incisi horizontal dibuat di sulkus
ginggivobukal, tepat diatas akar gigi. Incisi dilakukan di superior gigi taring dan molar kedua.
Incisi menembus mukosa dan periosteum. Periosteum diatas fosa kanina dielevasi sampai
kanalis infraorbitalis, tempat saraf orbita diidentifikasi dan secara hati-hati dilindungi.1,3,11
19
Pada dinding depan sinus dibuat fenestra, dengan pahat, osteatom atau alat bor. Lubang
diperlebar dengan cunam pemotong tulang kerison, sampai jari kelingking dapat masuk. Isi antrum
dapat dilihat dengan jelas. Dinding nasoantral meatus inferior selanjutnya ditembus dengan trokar
atau hemostat bengkok. Antrostomi intranasal ini dapat diperlebar dengan cunam kerison dan
cunam yang dapat memotong tulang kearah depan. Lubang nasoantral ini sekurang-kurangnya 1,5
cm dan yang dipotong adalah mukosa intra nasal, mukosa sinus dan dinding tulang. Telah diakui
secara luas bahwa berbagai jendela nasoantral tidak diperlukan. Setelah antrum diinspeksi dengan
teliti agar tidak ada tampon yang tertinggal, incisi ginggivobukal ditutup dengan benang plain cat
gut 00. biasanya tidak diperlukan pemasangan tampon intranasal atau intra sinus. Jika terjadi
perdarahan yang mengganggu, kateter balon yang dapat ditiup dimasukan kedalam antrum melalui
lubang nasoantral. Kateter dapat diangkat pada akhir hari ke-1 atau ke 2. kompres es di pipi selama
24 jam pasca bedah penting untuk mencegah edema, hematoma dan perasaan tidak nyaman.1,3,
Non Radikal:
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF).
Bedah sinus endoskopi fungsional merupakan perkembangan pesat dalam bedah sinus.Teknik
bedah ini pertama kali diajukan oleh Messerklinger dan dipopulerkan oleh Stamm-berger dan
Kennedy.BSEF adalah operasi pada hidung dan sinus yang menggunakan endoskopi dengan tujuan
menormalkan kembali ventilasi sinus dan transpor mukosilier. Prinsip BSEF ialah membuka dan
membersihkan KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus lancar secara alami.7,11
Indikasi absolut tindakan BSEF adalah rinosinusitis dengan komplikasi, mukosil yang luas,
rinosinusitis jamur alergi atau invasif dan kecurigaan neoplasma. Indikasi relatif tindakan ini
meliputi polip nasi simptomatik dan rinosinusitis kronis atau rekuren simptomatik yang tidak
respon dengan terapi medikamentosa.Sekitar 75-95% kasus rinosinusitis
kronis telah dilakukan tindakan BSEF.1,5,11
Prinsip tindakan BSEF adalah membuang jaringan yang menghambat KOM dan
memfasilitasi drainase dengan tetap mempertahankan struktur anatomi normal (gambar 3)
20
Gambar 13. Prinsip bedah sinus endoskopi fungsional
(BSEF): membuang jaringan yang menghambat KOM. Teknik bedah sinus endoskopi fungsional
meliputi unsinektomi, etmoidektomi, sfenoidektomi dengan etmoidektomi, bedah resesus frontalis,
antrostomi maksila, konkotomi dan septoplasti.11
Komplikasi pasca tindakan BSEF dapat dibedakan menjadi komplikasi awal dan lanjut.
Komplikasi awal meliputi hematoma orbita, penurunan penglihatan, diplopia, kebocoran cairan
serebrospinal, meningitis, abses otak, cedera arteri karotis dan epifora.Komplikasi lanjut yang dapat
terjadi adalah rekurensi, mukosil dan miosferulosis akibat salep yang digunakan dan benda
asing.Komplikasi orbita dan intrakranial juga dapat terjadi sebagai komplikasi lanjut.11
2.10 KOMPLIKASI
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat infeksi di
luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium.Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan pada
sinusitis rekuren, kronisatau berkomplikasi.1,2,10
Komplikasi Orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang
tersering.Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi dari ethmoidalis akut, namun sinus
frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi
orbita.1,5,8
Terdapat lima tahapan :
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus
ethmoidalis di dekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina
21
papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis seringkali merekah pada kelompok
umur ini.
b. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita
namun pus belum terbentuk.
c. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita
menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap ini
disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius.
Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva
merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
e. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena ke
dalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.
Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara bedah
pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.
Komplikasi sinusitis yang lain adalah kelainan paru seperti bronkitis kronis dan
bronkiektasi. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut
sinobronkitis. Selain itu, dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronchial yang sukar
dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan
22
2.11 Prognosis
Prognosis sinusitis tipe dentogen sangat tergantung kepada tindakan pengobatan yang dilakukan
dan komplikasi penyakitnya.Jika, drainase sinus membaik dengan terapi antibiotik atau terapi
operatif maka pasien mempunyai prognosis yang baik.5
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Sinusitis dentogen adalah peradangan mukosa hidung dan satu atau lebih mukosa sinus
paranasal yang disebabkan oleh penyebaran infeksi gigi.10% kasus sinusitis dengan sumber
odontogenik adalah disebabkan oleh rahang atas.1,2 Meskipun sinusitis dentogen adalah kondisi
yang relatif umum, patogenesisnya masih belum jelas serta masih kurangnya konsensus mengenai
gejala klinis, pengobatan, dan pencegahan. Terjadinya sinusitis dentogen dapat terjadi melalui dua
cara, yaitu infeksi gigi yang kronis dapat menimbulkan jaringan granulasi di salam mukosa sinus
maksila, penyebaran secara langsung, hematogen atau limfogen dari granuloma apikal atau kantong
periodontal gigi ke sinus maksila.
Diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan rinoskopi anterior dan rinoskopi
posterior, nasoendoskopi, disertai pemeriksaan penunjang berupa transluminasi, foto rontgen, CT-
Scan dan MRI.
Bila sinusitis disebabkan faktor gigi biasanya pasien mengeluhkan hidung
berbau.Penatalaksanaannya adalah mengatasi masalah gigi, konservatif, diberikan obat-obatan;
antibiotika, dekongestan, antihistamin, kortikosteroid dan irigasi sinus serta operatif.Beberapa
macam tindakan bedah sinus yaitu antrostomi meatus inferior, Caldwell-Luc, etmoidektomi intra
dan ekstra nasal, trepanasi sinus frontal dan bedah sinus endoskopik fungsional.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Soetjipto Damayanti, Endang Mangunkusumo. Sinus Paranasal. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga-Hidung-Tenggorok, Kepala Leher. Edisi VI. Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 2008;
145-53.
2. Boies LR, Adams GL. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi VI. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 1997.
3. Mulyarjo, Soejak S. Sinusitis. Naskah Lengkap Perkembangan Terkini Diagnosis dan
Penatalaksanaan S. Sinusitis. Surabaya, 2006; 1-63
4. Farhat. Peran Infeksi Gigi Rahang Atas pada Kejadian Sinusitis Maksila di RSUP H. Adam
Malik Medan. Dept. Ilmu Kesehatan THT, Bedah Kepala, dan Leher FK USU/RSUP H.
Adam Malik Medan. 2006. p. 386-92
5. Universitas Sumatera Utara. Sinusitis Maksilaris Dentogen. Tersedia dari URL
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31193/4/Chapter%20II.pdf. Diunduh
tanggal 9 Februari 2013
6. Itzhak Brook, MD. Acute Sinusitis. Tersedia dari URL
http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htmEdisi April 2012. Diunduh tanggal 9
Februari 2013
7. Ramalinggam KK. Anatomy and physiology of nose and paranasal sinuses. A Short
Practice of Otolaryngology. All India Publishers; 214-31
8. Abdul Rachman Saragih. Rinosinusitis Dentogen.Diambil dari dentika Dental Journal, Vol
12, No 1. 2007. Hal : 81 -84. Tersedia dari URL
:http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/121078184.pdf. Diunduh tanggal 9 Februari 2013
9. Mehra P, Murad H. Maxillary Sinus Disease of Odontogenic Origin. Otolaryngologic Clinic
of North America. 2004. p. 347-64
10. Henny Kartika. Cara Pemeriksaan Hidung dan Sinus Paranasal. Tersedia dari
URLhttp://hennykartika.wordpress.com/2007/12/29/cara-pemeriksaan-hidung-dan-sinus-
paranasal/. Diunduh tanggal 9 Februari 2013
11. Bestary, Jaka Budiman. Rossy, Rosalinda. Bedah Endoskopi Fungsional Revisi Pada
Rinosinusitis Kronis. Diambil dari Jurnal FK Universitas Andalas/RSUP Dr. M Djamil
Padang, Bagian THT Bedah Kepala Leher. Tersedia dari
URLhttp://repository.unand.ac.id/17210/1/Bedah_Sinus_Endoskopi_Fungsional_Revisi_pad
a_Rinosinusitis_Kronis.pdf Diunduh tanggal 9 Februari 2013
12. Bashiruddin J, Soetjipto D, Rifki N. Abses orbita sebagai komplikasi sinusitis maksila dan
etmoid akibat infeksi gigi. Kumpulan Naskah Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhati.
24
25