Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

LINGKUNGAN DAN BANGUNAN PERTANIAN


“KESETIMBANGAN BANGUNAN GREENHOUSE”

DOSEN PENGAMPU :

NURFAIJAH S.TP M.Si

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK 1
1. ANDREAS RAJA H.P (J1B116049)
2. NURKHOLIS (J1B116071)
3. NUR AZIZAH (J1B116088)
4. IRAWATI TAMBUNAN (J1B116093)
5. MIKAEL PARDEDE (J1B116094)

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JAMBI
MARET 2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“ Kesetimbangan Bangunan Greenhouse” dengan baik.
Adapun penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata
kuliah Lingkungan dan Bangunan Pertanian. Makalah ini telah kami selesaikan
dengan maksimal berkat kerjasama kelompok. Oleh karena itu kami sampaikan
banyak terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
makalah ini.
Selain itu, kami sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa masih
banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tata bahasa, sususan
kalimat maupun isi. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, kami selaku
penulis menerima segala kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Demikian yang bisa kami sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah
ilmu pengetahuan dan memberikan manfaat untuk pembaca.

Jambi, Maret 2018

Penulis

Kelompok 1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Greenhouse dibuat untuk mempermudah terhadap pengendalian sejumlah faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, faktor lingkungan
tersebut antara lain adalah suhu udara, cahaya matahari, kelembaban udara, kecepatan
angin, dan unsur hara. Greenhouse yang dibangun tidak dengan rancangan yang
sesuai untuk iklim tropika basah kurang optimum pemanfaatannya karena tingginya
suhu udara didalam rumah tanaman. Suhu udara di dalam Greenhouse pada siang hari
terlalu tinggi bagi pertumbuhan tanaman.
Penggunaan Greenhouse dalam budidaya tanaman merupakan salah satu cara
untuk memberikan lingkungan yang lebih mendekati kondisi optimum bagi
pertumbuhan tanaman atau biasa disebut dengan metode budidaya tanaman dalam
lingkungan yang terkendali (Controlled Environment Agriculture).
Permukaan yang paling besar menerima panas adalah atap. Sedang bahan atap
pada umumnya mempunyai tahanan dan kapasitas panas yang lebih kecil dari pada
dinding. Untuk memperbesar kapasitas panas dari bahan atap agak sulit karena akan
memperberat atap. Tahanan panas dari bagian atas bangunan dapat diperbesar dengan
beberapa cara. Misalnya dengan adanya rongga langit-langit, dan langit-langit serta
aliran udara di dalam rongga langit-langit. Kondisi lingkungan disekitar Greenhouse
sangat mempengaruhi radiasi matahari dan pergerakan angin yang masuk ke dalam
Greenhouse. Sehingga perlu diteliti faktor-faktor yang mempengaruhi kenyamanan
termal di dalam Greenhouse.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
a) Apa itu greenhouse ?
b) Apa saja tipe-tipe dari greenhouse ?
c) Bagaimana suhu, intensitas cahaya, kelembaban relative, dan kecepatan angin
pada tanaman di bangunan greenhouse ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah :
a) Mahasiswa dapat mengetahui tentang greenhouse.
b) Mahasiswa dapat mengeahui tipe-tipe dari greenhouse.
c) Mahasiswa dapat mengetahui suhu, intensitas cahaya, kelembaban relatif, dan
kecepatan angin pada tanaman di bangunan greenhouse.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Greenhuose


Greenhouse merupakan suatu bangunan tempat tanaman tumbuh dan
berkembang dengan kondisi lingkungan dalam bangunan yang dapat diatur agar
mendekati kondisi yang optimum. Khususnya di Indonesia, fungsi greenhouse lebih
mengarah pada perlindungan tanaman dari pengaruh buruk iklim dan mengurangi
intensitas matahari yang berlebihan.
Nelson (1981) mendefinisikan Greenhouse sebagai suatu bangunan untuk
budidaya tanaman, yang memiliki struktur atap dan dinding yang bersifat tembus
cahaya. Struktur Greenhouse berinteraksi dengan parameter iklim di sekitar
Greenhouse dan menciptakan iklim mikro di dalamnya yang berbeda dengan
parameter iklim di sekitar Greenhouse. Hal ini disebut sebagai peristiwa effect atau
efek rumah kaca. Greenhouse effect disebabkan oleh dua hal (Bot, 1983), yaitu:
1. Pergerakan udara di dalam greenhouse yang relatif sangat sedikit atau
cenderung stagnan. Karena struktur greenhouse yang tertutup dan laju
pertukaran udara di dalam greenhouse dengan lingkungan luar yang sangat
kecil. Hal ini menyebabkan suhu udara di dalam greenhouse cenderung lebih
tinggi daripada di luar.
2. Radiasi matahari gelombang pendek yang masuk ke dalarn greenhouse
melalui atap diubah menjadi radiasi gelombang panjang. Radiasi gelombang
panjang ini tidak dapat keluar dari greenhouse dan terperangkap di dalamnya.
Hal ini menimbulkan greenhouse effect yang menyebabkan meningkatnya
suhu udara di dalam greenhouse ( Gambar 1).
Radiasi gelombang pendek yang masuk ke dalam greenhouse diubah menjadi
gelombang panjang karena melewati bahan penutup, yaitu atap dan dinding serta
dipantulkan oleh lantai maupun bagian konstruksi greenhouse. Radiasi gelombang
panjang yang terperangkap di dalam greenhouse menyebabkan naiknya suhu udara di
dalam greenhouse. Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu diperhatikan bentuk
greenhouse maupun sirkulasi udara di dalamnya (Boutet dan Terry, 1987).
Pada mulanya, greenhouse di kawasan yang beriklim subtropika banyak
dibangun dengan menggunakan kaca sebagai atap dan dinding. Hal ini terutama jika
greenhouse tersebut dibangun untuk fasilitas produksi tanaman sepanjang tahun.
Kaca merupakan bahan utama dalam pembuatan greenhouse.
Begitu juga yang terjadi di Indonesia, greenhouse pada umumnya dibangun
menggunakan kaca sebagai atap dan dinding. Itulah sebabnya greenhouse kemudian
identik dengan glasshouse dan diterjemahkan sebagai rumah kaca. Namun dalam
perkembangannya, penggunaan kaca sebagai bahan penutup greenhouse sudah jauh
tertinggal dibandingkan dengan penggunaan plastik. Sehingga, istilah rumah kaca
sebagai terjemahan dari greenhouse sudah kurang tepat lagi. Agar lebih
mencerminkan fungsi greenhouse sebagai bangunan perlindungan tanaman maka
penulis memperkenalkan istilah "rumah tanaman" sebagai terjemahan dari
greenhouse.

2.2 Tipe Rumah Tanaman


Pada awalnya, rumah tanaman di kembangkan di kawasan yang beriklim
subtropika sehingga tipe rumah tanarnan di berbagai negara cenderung mengikuti
bentuk-bentuk yang umum digunakan di kawasan yang beriklim subtropika.
Seharusnya pemilihan bentuk atap rumah tanaman didasarkan pada tujuan dan lokasi
rumah tanaman tersebut didirikan.
Jumlah radiasi matahari yang ditransmisikan akan mencapai tingkat
maksimum ketika sudut datangnya tegak lurus terhadap bidang atap rumah tanaman.
Dengan demikian, jika tujuan perancangan adalah memaksimumkan masuknya
radiasi matahari ke dalam rumah tanaman maka dipilihlah atap yang berbentuk
lengkung (arch roofl). Pada atap lengkung, radiasi matahari yang ditransmisikan ke
dalam rumah tanaman selalu mencapai tingkat maksimum sepanjang hari (Walls,
1993). Gambar 1.2. memperlihatkan bentuk-bentuk penampang melintang rumah
tanaman di kawasan yang beriklim subtropika.
Konstruksi rumah tanaman dengan penampang melintang bentuk flat (Gambar
1.2.a) dan shed (Gambar 1.2.b) merupakan bentuk sangat sederhana. Flat greenhouse
banyak digunakan untuk persemaian. Shed greenhouse yang merniliki atap miring
ada yang bersandar pada dinding bangunan lain (base wall) dan ada juga yang tidak.
Shed greenhouse yang bersandar pada bangunan lain disebut juga dengan lean-to
greenhouse. Jika shed greenhouse dibangun lebih dari satu bentang atau multispan
maka disebut dengan sawtooth greenhouse karena bentuk atapnya mirip dengan gigi
gergaji.
Uneven span greenhouse (Gambar 1.2.c) dikembangkan dari shed greenhouse
agar lebih efektif dalam ha1 transmisivitas radiasi matahari. Uneven span greenhouse
memillki kemiringan atap (roof pitch) yang berbeda pada tiap sisinya. Salah satu
bidang atap dirancang dengan kemiringan tertentu agar radiasi matahari dapat masuk
secara maksimurn. Uneven span greenhouse ada yang bersandar pada dinding
bangunan lain, ada juga yang tidak.
Bentuk rumah tanaman yang juga banyak digunakan adalah even span
greenhouse atau standardpeak atau disebut juga gable. Atap rumah tanaman ini dari
depan terlihat berbentuk segitiga sama sisi (Gambar 1.2.d). Dinding rumah tanaman
tipe ini tegak sedangkan atapnya miring. Rurnah tanaman tipe ini banyak
dimodifikasi dan digunakan pada skala komersial, diantaranya menjadi bentuk venlo
house (Gambar 1.2.e). Venlo house digunakan di Eropa dengan tiga atau empat atap
gable dalam satu bentang. Karena venlo house seringkali mempunyai bentang yang
sangat lebar maka pada beberapa posisi, konstruksi atap didukung dengan tiang.
Bentuk rumah tanaman yang lain adalah mansard. Rumah tanaman tipe ini
juga dirancang untuk memaksimumkan radiasi matahari yang ditransmisikan ke
dalam rumah tanarnan (Gambar 1.2). Penampang melintang bentuk atap rumah
tanaman ini menyerupai kurva lengkung yang terdiri dari beberapa segrnen garis
lurus. Hal ini ditujukan agar arah radiasi matahari langsung mengenai permuk'aan
atap mendekati normal pada setiap sat. Dengan demikian, hanya sedikit radiasi
matahari langsung yang dipantulkan oleh atap rumah tanaman. Di kawasan yang
beriklim subtropika, ha1 ini sangat diperlukan pada musim dingin tetapi
menimbulkan masalah pada musim panas. Pada musim panas, radiasi matahari yang
ditransmisikan atap akan mencapai maksimum sehingga tanaman memerlukan
shading. Suhu udara dalam rumah tanaman menjadi tinggi. Rumah tanaman tipe ini
jarang digunakan secara komersial karena biaya pembangunannya lebih mahal.
Rumah tanaman tipe ini tidak sesuai untuk kawasan yang beriklim tropika karena
suhu udara di dalarn rumah tanarnan tersebut cenderung terlalu tinggi.
Bentuk arch (Gambar 1 -2.g) dikembangkan bukan dengan pertimbangan
untuk memaksimumkan cahaya matahari yang ditransmisikan, tetapi lebih merupakan
pertimbangan biaya (Tiwari dan Goyal, 1998). Biaya pembangunan rumah tanaman
dengan atap arch dapat ditekan menjadi 75% dibandingkan dengan atap berbentuk
peak. Selain itu, atap berbentuk lengkung (curved ataupun arch) lebih mudah dalam
pemasangan atap dari bahan plastik film. Bentuk arch dimodifikasi menjadi
quonset/tunnel (Gambar 1.2.h) dan cold frame (Gambar 1.24 sesuai dengan
kebutuhan dan keadaan lokasi.
Menurut Tiwari dan Goyal (1998), berdasarkan biaya konstruksi per meter
persegi, rumah tanaman dapat dibedakan kedalam tiga klasifikasi, yaitu biaya
konstruksi rendah, sedang, dan tinggi. Rumah tanaman dengan biaya konstruksi
rendah memiliki ciri antara lain strukturnya sederhana dengan konstruksi bahan lokal
yang tersedia di kawasan yang beriklim tersebut. Bambu dan kayu adalah bahan yang
banyak digunakan di Indonesia untuk low cost greenhouse, karena harganya relatif
murah. Sebagai bahan penutup digunakan plastik film. Ventilasi alamiah sebaiknya
dimanfaatkan secara maksimum sehingga tidak diperlukan peralatan khusus untuk
mengendalikan kondisi lingkungan dalam rumah tanaman.
Rumah tanaman dengan biaya konstruksi sedang biasanya menggunakan besi
sebagai rangkanya. Selain itu, digunakan beberapa peralatan tertentu, seperti exhaust
fan, evaporative pad, dan instalasi pengkabutan. Peralatan tersebut dikendalikan
secara manual atau semi otomatik untuk menjaga kondisi lingkungan di dalam rumah
tanaman.
Rumah tanaman dengan biaya konstruksi tinggi biasanya menggunakan bahan
konstruksi kuat dan tahan lama. Rumah tanaman dengan konstruksi ini dilengkapi
sistem kendali otomatik menggunakan berbagai sensor dan dikendalikan oleh
komputer.
Tujuan penggunaan rumah tanaman adalah menciptakan iklim rnikro yang
kondusif untuk pertumbuhan tanaman ketika kondisi iklim tidak kondusif. Atap
rumah tanaman sangat menentukan iklim mikro dalam rumah tanaman tersebut.
Pemilihan bahan atap hams mempertimbangkan karakteristik fislk, tennal, optik, dan
harga bahan tersebut. Karakteristik termal atap rurnah tanaman terhadap radiasi
matahari meliputi transmissivity, absorptivity, dan reflectivity. Dari segi optik, atap
rumah tanaman perlu mempunyai karakteristik dapat meneruskan sebanyak mungkm
sinar tampak yang diperlukan tanaman untuk fotosintesis. Berbagai jenis bahan atap
rumah tanaman masing-masing mempunyai karakteristik tertentu, baik fisik maupun
termal. Karakteristik fisik dan radiasi termal (panjang gelombang >2800 nm)
beberapa bahan atap rumah tanaman disajikan dalam Tabel 1.1 dan 1.2.
Kaca mempunyai kekuatan beragam, yaitu single strength dan double
strength. Karena sifatnya yang sangat tahan pecah, jenis double strength sangat
direkomendasikan untuk atap rumah tanaman. Jenis kaca yang banyak dipakai adalah
soda lime silica. Spesifikasi yang dianjurkan adalah transparan,flat glossy suface,
Jirejinished, dan datar. Kaca mempunyai daya tembus atau transmisivitas PAR yang
baik yaitu 71 - 92% dan umur pakai yang lama yaitu 25 tahun. Tetapi, biaya
konstruksi rumah tanaman dengan atap kaca tergolong besar. Jika petani atau
pengusaha ingin berinvestasi untuk jangka waktu yang pendek, misalnya hanya
beberapa tahun saja maka bahan penutup dari plastik film dapat menjadi pilihan. Ada
beberapa plastik film yang dapat digunakan untuk bahan penutup rumah tanaman,
yaitu polyethylene (PE), atau polyvinyl chloride (PVC).
PE pertama kali diproduksi di Inggris pada tahun 1938. PE memiliki sifat fisik
yang fleksibel dan ringan sehingga sering digunakan pada rumah tanaman dengan
atap melengkung. PE dapat mentransmisikan PAR 85 - 87%. Kelemahan PE adalah
umur pakainya yang hanya dua sampai empat tahun. PVC juga merupakan bahan atap
yang fleksibel sehingga mudah dipasang. PVC mempunyai transmisivitas PAR yang
PE lebih populer sebagai bahan penutup rumah tanaman dibandingkan dengan
PVC. PE dengan W stabilizer merupakan bahan penutup yang paling banyak
digunakan di Indonesia karena harganya relatifmurah dan daya tahannya cukup baik.
Selain plastik yang fleksibel berupa film, terdapat juga plastik yang kaku dan
cukup baik sebagai bahan atap rumah tanaman. Penggunaan plastik yang berupa film
maupun plastik yang kaku semakin luas. Hal ini antara lain karena harganya murah
sehingga mudah disesuaikan dengan kebijakan investasi dalam bisnis yang
bersangkutan. Beberapa jenis plastik kaku yang dapat digunakan sebagai bahan atap
rumah tanaman antara lain adalah corrugated fiberglass, crylic, dan polycarbonate.
Corrugated fiberglass dapat mentransrnisikan PAR 60 - 88%. Bahan ini
tergolong murah, hat, dan mudah digunakan. Namun, bahan ini mudah dipengaruhi
oleh sinar W, debu. dan polutan sehingga hams sering dibersihkan. Lama kelamaan,
bahan ini akan berubah warna menjadi kekuningan dan mudah terbakar. Umur
pakainya diperkirakan sekitar 7 - 1 5 tahun.
Acrylic bersifat ringan, mudah digunakan serta tahan terhadap sinar W dan cuaca.
Acrylic dapat mentransmisikan PAR 83% untuk penggunaan dua lapis dan 93% untuk
penggunaan satu lapis. Umur pakai acrylic adalah sekitar 20 tahun. Acrylic murah
tapi mudah tergores dan mudah mengembang serta lama-kelamaan menjadi rapuh dan
mudah terbakar.
Polycarbonate (PC) bersifat tahan terhadap tekanan, mudah digunakan, dan
ringan. PC dapat mentransmisikan PAR 79% untuk penggunaan dua lapis dan 87%
untuk penggunaan satu lapis. Penelitian terbaru telah menghasilkan bahan PC yang
lebih baik, antara lain dynaglass yang mempunyai nilai PAR yang menyamai atau
lebih baik dari kaca. PC dapat bertahan 5 - 10 tahun tergantung pada jenisnya. PC
mudah tergores, kurang tahan pada perubahan cuaca tetapi tahan terhadap sinar UV.
Kelemahan ini dapat diatasi dengan lapisan acrylic pada permukaan luar PC.

2.3 Suhu dan Intensitas Cahaya


Suhu udara dan intensitas cahaya sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
tanaman, sebagai contoh yaitu tanaman Krisan. Jika suhu udara terlalu tinggi atau
terlalu rendah, maka pertumbuhan tanaman akan terhambat. Suhu yang terlalu tinggi
juga mengakibatkan bunga yang dihasilkan cenderung berwarna kusam, pucat dan
memudar. Pada greenhouse yang diamati terdapat tanaman Krisan telah berumur 4
minggu. Dimana pada umur tersebut tanaman sedang mengalami fase vegetatif. Pada
fase vegetatif, kisaran suhu harian yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal
tanaman Krisan adalah 22 – 28oC pada siang hari dan tidak melebihi 26oC pada
malam hari dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal krisan. Intensitas cahaya sangat
dibutuhkan pula pada fase vegetatif. Untuk memenuhi kebutuhan tanaman tersebut
dibutuhkan cahaya tambahan pada malam hari, maka tanaman Krisan dapat tumbuh
optimal. Tanaman ini sangat sensitif terhadap cahaya (Khattak dan Pearson dalam
Budiarto, et. al, 2006).
Berdasarkan Gambar 14. pada titik 1, suhu udara maksimum di dalam
greenhouse terjadi pada pukul 09.00 WIB yang besarnya mencapai 35.1oC dan
minimum terjadi pada pukul 07.30 WIB sebesar 23.3oC. Kondisi tanaman yang
berada di wilayah titik 1 (Barat) terlihat segar dengan penampakan daun yang
berwarna hijau.
Pada titik 2, suhu udara maksimum sebesar 36.4oC dengan intensitas cahaya
3917 fc, dan minimum 23.7oC dengan intensitas cahaya 963 fc. Kondisi tanaman
yang berada di wilayah ini terlihat lebih banyak yang terkena hama dan penyakit,
daun yang kering bahkan ada beberapa tanaman yang mati. Hal ini dikarenakan
intensitas cahaya yang diterima tanaman pada saat itu bernilai maksimum sehingga
suhu udaranya maksimum.
Pada titik 3, suhu udara maksimum sebesar 35.1oC dengan intensitas cahaya
4483 fc, dan minimum sebesar 25.6oC dengan intensitas cahaya 1058 fc. Kondisi
tanaman yang berada di wilayah ini terlihat banyak yang rusak seperti terkena hama
dan penyakit, bahkan ada beberapa tanaman yang mati. Tetapi, tanaman yang rusak di
titik 3 tidak sebanyak tanaman yang rusak di titik 2.
Dengan melihat kondisi tanaman yang berada di wilayah titik pengukuran 1,
2, dan 3, maka dapat disimpulkan bahwa suhu udara yang diterima tanaman di tiga
titik tersebut melebihi suhu udara yang disarankan untuk pertumbuhan optimal bunga
Krisan. Suhu udara yang terlalu tinggi akan menghambat pertumbuhan tanaman
sehingga proses fotosintesis tidak dapat berlangsung optimal.
Agar suhu udara di dalam greenhouse sesuai dengan syarat untuk kebutuhan
tanaman maka perlu dilakukan beberapa cara untuk mengatasi hal tersebut. Salah satu
cara yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan kembali exhause fan yang
selama ini tidak dipakai. Exhause fan hanya dinyalakan pada waktu-waktu tertentu
pada saat suhu udara di dalam greenhouse melebihi suhu udara yang disarankan.
Selain itu, dapat dilakukan pula pengkabutan di atas bangunan dan pendinginan
evaporatif agar suhu udara di dalam ruangan menjadi lebih rendah sekitar 29%
sehingga tanaman tidak mengalami kekeringan.

2.4 Kelembaban Relatif


Selain dipengaruhi oleh suhu udara, pertumbuhan tanaman di dalam
greenhouse juga dipengaruhi oleh kelembaban relatif udara. Tanaman krisan
membutuhkan kelembaban 90 – 95% pada awal pertumbuhan untuk pembentukan
akar. Sedangkan pada tanaman dewasa, pertumbuhan optimal akan dicapai pada
kelembaban udara sekitar 70 – 85% (Mortensen dalam Budiarto, et.al, 2006).

Berdasarkan Gambar 15. dapat dilihat bahwa kelembaban relatif udara


maksimum di dalam greenhouse besarnya mencapai 90.6%, sedangkan minimumnya
sebesar 46.8%. Berdasarkan nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa kelembaban
relatif udara yang terjadi di dalam greenhouse masih lebih rendah daripada yang
dibutuhkan tanaman. Hal ini dapat menghambat proses pertumbuhan tanaman
sehingga tanaman tidak dapat tumbuh secara optimal. Untuk mengatasi hal tersebut,
maka perlu dilakukan beberapa cara. Salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu
dengan menggunakan kipas angin (exhause fan). Dimana exhause fan ini dapat
dinyalakan pada waktu tertentu saat suhu udara di dalam greenhouse lebih tinggi dari
yang diharapkan.
Selain itu dapat dilakukan pengkabutan di atas bangunan atau dengan efek
pendinginan evaporatif. Waktu yang paling tepat untuk melakukan penyiraman yaitu
pada siang hari, pada saat suhu udara terlalu tinggi dan kelembaban relatif udara
sangat rendah serta kebutuhan tanaman tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dengan
memberikan efek pendinginan tersebut diharapkan suhu ruangan akan lebih rendah
dari yang sebenarnya dan kelembaban udara di dalam greenhouse akan bertambah
tinggi sekitar 30% sehingga tanaman tidak mengalami kekeringan dan dapat tumbuh
secara optimal sesuai dengan yang diharapkan

2.5 Kecepatan Angin


Menurut Esmay dan Dixon (1986), pada umumnya kecepatan angin sebesar
0.1 - 0.25 m/s yang mengenai permukaan daun akan memudahkan daun menangkap
CO2. Untuk kecepatan angin sebesar 0.5 m/s, CO2 yang ditangkap akan berkurang.
Untuk kecepatan angin sebesar 1.0 m/s akan menghambat pertumbuhan dan
kecepatan angin diatas 4.5 m/s akan terjadi kerusakan proses fisik pada tanaman.
Berdasarkan Gambar 16. dapat dilihat bahwa angin lebih sering masuk
melalui bukaan di bagian Timur greenhouse, maka tanaman yang berada di sekitar
bukaan tersebut seharusnya dapat tumbuh optimal. Tetapi, keoptimalan pertumbuhan
tanaman tidak hanya dapat dilihat dari kecepatan angin saja, harus dilihat pula
kesesuaian tanaman terhadap lingkungan dalam bangunan yang lainnya seperti suhu
udara, kelembaban relatif udara, dan intensitas cahaya.
Kecepatan angin yang melewati bukaan bagian Barat maksimum sebesar 0.15
m/s dan minimum sebesar 0 m/s dengan rata-rata 0.04 m/s. Sedangkan kecepatan
angin yang melewati bukaan Timur kecepatan angin maksimum sebesar 0.3 m/s dan
minimum sebesar 0 m/s dengan rata-rata 0.07 m/s.
Jika dilihat dari data diatas, kecepatan angin yang diterima tanaman telah
memenuhi syarat untuk kebutuhan tanaman. Dengan kecepatan angin tersebut, maka
daun akan mudah menangkap CO2 dan diharapkan tanaman dapat tumbuh dengan
optimal. Tetapi jika dilihat dari grafik, kecepatan angin yang masuk ke dalam
greenhouse masih banyak yang bernilai 0 m/s. Hal ini akan menghambat
pertumbuhan tanaman jika kecepatan angin yang bernilai minimum tersebut sangat
dominan terjadi. Untuk itu diperlukan suatu cara agar kecepatan angin yang diterima
tanaman dapat terpenuhi. Sama halnya dengan menurunkan suhu udara dan
menaikkan kelembaban relatif di dalam greenhouse, cara yang dapat dilakukan yaitu
dengan menyalakan kipas angin (exhause fan) pada kecepatan dan perletakan
tertentu, maka bagian tanaman akan terkena angin secara langsung sehingga
diharapkan tanaman terutama bagian daun dapat menerima kecepatan angin sesuai
dengan yang dibutuhkan.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Greenhouse merupakan suatu bangunan tempat tanaman tumbuh dan
berkembang dengan kondisi lingkungan dalam bangunan yang dapat diatur agar
mendekati kondisi yang optimum.
Menurut Tiwari dan Goyal (1998), berdasarkan biaya konstruksi per meter
persegi, rumah tanaman dapat dibedakan kedalam tiga klasifikasi, yaitu biaya
konstruksi rendah, sedang, dan tinggi.
Dengan melihat kondisi tanaman yang berada di wilayah titik pengukuran 1,
2, dan 3, maka dapat disimpulkan bahwa suhu udara yang diterima tanaman di tiga
titik tersebut melebihi suhu udara yang disarankan untuk pertumbuhan optimal bunga
Krisan. Suhu udara yang terlalu tinggi akan menghambat pertumbuhan tanaman
sehingga proses fotosintesis tidak dapat berlangsung optimal.
Kelembaban relatif udara maksimum di dalam greenhouse besarnya mencapai
90.6%, sedangkan minimumnya sebesar 46.8%.
Keoptimalan pertumbuhan tanaman tidak hanya dapat dilihat dari kecepatan
angin saja, harus dilihat pula kesesuaian tanaman terhadap lingkungan dalam
bangunan yang lainnya seperti suhu udara, kelembaban relatif udara, dan intensitas
cahaya.
DAFTAR PUSTAKA

Nelson, P. V. 1981. Greenhouse Operation and Management. Reston Publishing


Company, Inc. Virginia.

Bot, G.P.A. 1983. Greenhouse Climate: fiom Physical Processes to a Dynamic


Model. Thesis. Agricultural University of Wageningen. The Netherlands.240p.

Boutet, S. Terry. 1987. Controlling Air Movement: A Manual for Architect and
Builders. Mc.Graw-Hill Book Company

Budiarto, Y. Sulyo, R. Maaswinkel dan S. Wuryaningsih. 2006. Budidaya Krisan


Bunga Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Jakarta

Esmay, Merle L. and John E. Dixon. 1986. Environmental Control for Agricultural
Building. Avi Publishing Company Inc. Connecticut.

Anda mungkin juga menyukai