Anda di halaman 1dari 76

GAMBARAN HISTOPATOLOGIK TESTIS TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus)

SETELAH PEMBERIAN MONOSODIUM GLUTAMATE (MSG)

SKRIPSI

Oleh:

RIRIEN SYLVIA SAGITA BILONDATU

130 11101 075

Dosen Pembimbing:

dr. Meilany F. Durry, Mkes, Sp.PA

dr. Poppy M. Lintong, SpPA(K)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO

2016
GAMBARAN HISTOPATOLOGIK TESTIS TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus)

SETELAH PEMBERIAN MONOSODIUM GLUTAMATE (MSG)

Oleh:

Ririen Sylvia Sagita Bilondatu

130 11101 075

SKRIPSI SARJANA KEDOKTERAN

Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)

pada Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO

2016
ABSTRAK

GAMBARAN HISTOPATOLOGIK TESTIS TIKUS WISTAR (Rattus


novergicus) SETELAH PEMBERIAN MONOSODIUM GLUTAMATE (MSG)

Ririen Sylvia Sagita Bilondatu, Meilany F. Durry, Poppy M. Lintong


Bagian Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi

Latar belakang: Monosodium glutamate (MSG) adalah garam natrium dari asam
glutamat yang saat ini sangat popular digunakan sebagai bahan penyedap
makanan untuk merangsang selera.
Tujuan: Untuk mengetahui gambaran histopatologik testis tikus wistar (Rattus
norvegicus) setelah pemberian MSG.
Metode: Penelitian eksperimental menggunakan 20 ekor tikus wistar yang dibagi
menjadi 4 kelompok. Kelompok kontrol negatif tanpa perlakuan, terdiri dari dua
kelompok yakni K1 dan K2, masing-masing diterminasi pada hari ke-21 dan hari
ke-41. Kelompok perlakuan diberi MSG sesuai dosis konsumsi rata-rata di
Indonesia, terdiri dari dua kelompok yakni P1 dan P2, masing-masing diterminasi
pada hari ke-21 dan hari ke-41.
Hasil: Pada kelompok K1 dan K2 didapatkan gambaran tubulus semineferus,
susunan lapisan sel spermatogenik dan kepadatan sel interstisial yang normal.
Pada kelompok P1 didapatkan gambaran fokus-fokus tubulus semineferus tanpa
perkembangan sel-sel spermatogenik sehingga ruang tubulus tampak kosong,
lapisan spermatogonia yang saling jarang pada membran basalis, dan sedikit sel
interstisial. Pada kelompok P2 didapatkan gambaran adanya fokus-fokus tubulus
tanpa perkembangan sel spermatogenik didalamnya dan sel interstisal yang lebih
sedikit, pada kelompok ini juga didapatkan satu sediaan testis yang tampak ruang
tubulus semineferusnya berisi sel-sel yang mengalami kalsifikasi.
Simpulan: Pemberian MSG sesuai dosis konsumsi rata-rata di Indonesia
menyebabkan mengecilnya diameter tubulus semineferus, penurunan jumlah
lapisan sel-sel spermatogenik dan berkurangnya sel interstisial.

Kata Kunci: Monosodium glutamate (MSG), dosis rata-rata konsumsi Indonesia, testis.

i
ABSTRACT

HISTOPATHOLOGICAL FEATURES OF WISTAR RATS’ (Rattus novergicus)


TESTICLES AFTER MONOSODIUM GLUTAMATE (MSG)
ADMINISTRATION

Ririen Sylvia Sagita Bilondatu, Meilany F. Durry, Poppy M. Lintong


Department of Anatomic Pathology, Sam Ratulangi University Faculty of
Medicine

Background: Monosodium glutamate (MSG) is a sodium salt from glutamic acid


which is currently very popular to be used as a food flavoring ingredient to
stimulate appetite.
Objective: To discover the histopathological features of wistar rats’ (Rattus
norvegicus) testicles after MSG administration.
Methods: An experimental study using 20 wistar rats that has been divided into 4
groups. The negative control group is no intervention; it devided to two smaller
groups, K1 and K2, each of the group was terminated on the 21st and 41st day. The
intervention group was given MSG according to average consumption dose in
Indonesia; it devided to two smaller groups, P1 and P2, each group was
terminated on the 21st and 41st day.
Result: On group K1 and K2, a normal finding of seminiferous tubules,
spermatogenic cell layer arrays, and interstitial cell density was found. On group
P1, showed seminiferous tubules with decrease of spermatogenic cells
development, causing the tubules compartment to appear vacant; the
spermatogonia layers appeared sparse on basal membrane, and fewer interstitial
cells. On group P2, the findings were tubules foci without spermatogenic cells
development inside and fewer interstitial cells, in this group also found one
testicle specimen which showed calcification cells inside its seminiferous tubules.
Conclusion: Administration of MSG according to average consumption dose in
Indonesia causes decease of seminiferous tubules diameter and decrease of the
number of spermatogenic cells and interstitial cells.

Keywords: Monosodium glutamate (MSG), Indonesia average consumption dose,


testicles.

ii
GAMBARAN HISTOPATOLOGIK TESTIS TIKUS WISTAR (Rattus
norvegicus) SETELAH PEMBERIAN MONOSODIUM GLUTAMATE
(MSG)

Oleh :
Ririen Sylvia Sagita Bilondatu
130 11101 075

Telah diajukan pada ujian Karya Tulis Ilmiah Sarjana Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi tanggal 19 Desember 2016 serta telah dikoreksi dan
disetujui oleh :

dr. Meilany F. Durry, MKes, Sp.PA Dosen Pembimbing I

dr. Poppy M. Lintong, Sp.PA(K) Dosen Pembimbing II

dr. Lily Loho, Sp.PA(K) Kepala Bagian Patologi Anatomi

Prof. Dr. dr. Adrian Umboh, SpA(K) Dekan Fakultas Kedokteran UNSRAT

iii
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber bacaan, baik yang

dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Saya bersedia

menanggung semua resiko apabila ternyata ada bagian dari skripsi ini yang

merupakan hasil karya orang lain.

Nama : Ririen Sylvia Sagita Bilondatu

NRI : 13011101075

Tanda Tangan :

Tanggal : 19 Desember 2016

iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

Sebagai civitas akademik Universitas Sam Ratulangi, saya yang bertanda

tangan dibawah ini :

Nama : Ririen Sylvia Sagita Bilondatu

NRI : 13011101075

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Pendidikan Dokter

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan

kepada Universitas Sam Ratulangi Manado Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (

Non-exclusive Royalty- Free Right ) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

GAMBARAN HISTOPATOLOGIK TESTIS TIKUS WISTAR (Rattus

norvegicus) SETELAH PEMBERIAN MONOSODIUM GLUTAMATE

(MSG)

Dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif ini, Universitas Sam Ratulangi berhak

menyimpan, mengalih, media-format-kan, mengelola dalam bentuk database,

merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan

nama saya sebagai penulis/pencipta dan pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan

ini saya buat dengan sebenarnya.

Manado, 19 Desember 2016

Penulis
v
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi di bagian Patologi Anatomi yang

berjudul :

GAMBARAN HISTOPATOLOGIK TESTIS TIKUS WISTAR (Rattus

norvegicus) SETELAH PEMBERIAN MONOSODIUM GLUTAMATE

(MSG)

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana

kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. Selama

penyusunan dan penulisan skripsi ini, tidak lepas dari masalah dan kesulitan.

Namun atas penyertaan Allah SWT dan juga telah banyak mendapat bimbingan

serta bantuan dari berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.

Oleh karena itu, dengan segenap kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan

terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. dr. Adrian Umboh, Sp.A(K) selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Sam Ratulangi beserta para wakil dekan atas

didikan dan binaan kepada penulis selama masa pendidikan.

2. dr. Meilany F. Durry, MKes, Sp.PA selaku dosen pembimbing I yang

telah memberikan banyak bentuk kebaikan yakni meluangkan banyak

waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberi masukan, motivasi, kritikan,

serta berbagi pengalaman dalam penyusunan skripsi ini.

vi
3. dr. Poppy M. Lintong, Sp.PA(K) selaku Ketua Program Studi Fakultas

Kedokteran Universitas Sam Ratulangi dan dosen pembimbing II yang

telah memberikan masukan, saran, kritikan, motivasi dan berbagi

pengetahuan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

4. dr. Hedison Polii, MKes, AIFM, AIFO selaku dosen pembimbing

akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis

selama menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sam

Ratulangi.

5. Dr. dr. Lidya Tendean, MRepro, Sp.And, dr. Carla Kairupan, PhD,

dr. Lily Loho, Sp.PA(K) selaku penguji yang telah banyak memberikan

pengetahuan, ide, saran, dan kritik dalam menunjang penyusunan skripsi

ini.

6. Segenap Guru Besar, Dokter Spesialis, Dokter Residen, dan Staf Dosen

Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi yang senantiasa mengajar

penulis selama masa pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sam

Ratulangi.

7. Seluruh Pegawai Bagian Patologi Anatomi dan Pegawai Laboratorium

atas bantuannya selama penelitian ini.

8. Mama, Ibu Nurmin Lestari Henok, atas cinta, kasih sayang, doa,

dukungan, perhatian, dan motivasi yang begitu besar kepada penulis

sehingga dapat menyelesaikan karya ini.

9. Bpk. Usman Male Bilondatu (Papa), Bpk. Ismail Usman, Tante Nunu,

Kakak : Ronald & Reymond, Adik : Rizky & Alull, serta seluruh

vii
keluarga besar atas cinta, dan kasih sayang serta dukungan kepada penulis

sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

10. Sahabat-sahabat terbaik : Nurul Suciyanti Abdul, Sary Alfari, dan

Muhammad Fauzan Basmul yang selalu menemani, memberi semangat,

dukungan dan banyak membantu selama penyusunan skripsi ini.

11. Teman-teman seperjuangan skripsi bagian Patologi Anatomi: Jacqueline

Wakkary, Githa Setiani, Aisyah Nurul Safira, Suhaidir Laomo,

Muhammad Rifaldi, Raend Karmel, dan Rayzal Kuswandi.

12. Seluruh sejawat “SCALPEL 2013” dan “MUSLIM MEDICAL 2013”

13. Kepada seluruh pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak

langsung kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis

mengucapkan banyak terima kasih.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan limpahan berkat dan

membalas budi baik yang telah penulis terima dari pihak-pihak di atas.

Akhir dari semuanya ini, penulis tidak lepas dari kesalahan dan menyadari

bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang

membangun dari pembaca sangat diharapkan dalam penyempurnaan skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat berguna bagi penulis, para dosen, rekan sejawat,

mahasiswa serta bagi kemajuan ilmu pengetahuan.

Manado, 19 Desember 2016

Penulis
viii
DAFTAR ISI

ABSTRAK ................................................................................................................. i

ABSTRACT ............................................................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................... iii

LEMBAR BEBAS PLAGIARISME ....................................................................... iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI .............................................................. iv

KATA PENGANTAR ................................................................................................ vi

DAFTAR ISI ............................................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. xii

DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xiv

BAB I ........................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1

A. LATAR BELAKANG ....................................................................................... 1

B. RUMUSAN MASALAH .................................................................................. 3

C. TUJUAN PENELITIAN ................................................................................... 3

D. MANFAAT PENELITIAN ............................................................................... 3

BAB II .......................................................................................................................... 4

TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 4

A. SISTEM REPRODUKSI PRIA ............................................................................ 4

1. Anatomi dan Fisiologi Testis ......................................................................... 5

2. Histologi Testis .............................................................................................. 6

3. Proses Spermatogenesis dan Spermiogenesis ................................................ 10

4. Kontrol Fungsi Testis ..................................................................................... 14


ix
B. MONOSODIUM GLUTAMATE (MSG) ......................................................... 17

1. Definisi Monosodium Glutamate (MSG) ...................................................... 17

2. Metabolisme Monosodium Glutamate (MSG) .............................................. 19

3. Efek Monosodium Glutamate (MSG) ............................................................ 21

C. RADIKAL BEBAS & STRES OKSIDATIF .................................................... 23

D. HUBUNGAN MONOSODIUM GLUTAMATE (MSG) DENGAN

TESTIS .............................................................................................................. 25

E. KERANGKA TEORI ........................................................................................ 27

BAB III ........................................................................................................................ 28

METODE PENELITIAN ............................................................................................. 28

A. DESAIN PENELITIAN .................................................................................... 28

B. WAKTU PENELITIAN .................................................................................... 28

C. TEMPAT PENELITIAN ................................................................................... 28

D. SUBJEK PENELITIAN .................................................................................... 28

E. DEFINISI OPERASIONAL .............................................................................. 29

F. ALAT DAN BAHAN PENELITIAN .............................................................. 29

G. PRINSIP DASAR PENELITIAN ..................................................................... 30

H. PROSEDUR PENELITIAN .............................................................................. 31

1. Pemeliharaan Wistar ...................................................................................... 31

2. Penentuan Dosis dan Cara Pemberian MSG .................................................. 31

3. Perlakuan Terhadap Hewan Uji ..................................................................... 32

4. Skema Perlakuan Terhadap Hewan Uji ......................................................... 33

5. Pengambilan Jaringan .................................................................................... 35

x
6. Pewarnaan Jaringan ....................................................................................... 36

7. Pembacaan Jaringan ....................................................................................... 37

BAB IV ........................................................................................................................ 38

HASIL PENELITIAN .................................................................................................. 38

A. GAMBARAN HISTOPATOLOGIK ............................................................... 40

B. DIAMETER TUBULUS SEMINEFERUS ..................................................... 43

C. JUMLAH LAPISAN SEL SPERMATOGENIK ............................................. 45

D. KEPADATAN SEL INTERSTISIAL .............................................................. 46

BAB V.......................................................................................................................... 48

PEMBAHASAN .......................................................................................................... 49

BAB VI ........................................................................................................................ 53

PENUTUP .................................................................................................................... 53

A. SIMPULAN ....................................................................................................... 53

B. SARAN .............................................................................................................. 53

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 54

LAMPIRAN ................................................................................................................ 58

RIWAYAT HIDUP ................................................................................................... 60

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Sistem reproduksi pria .......................................................................... 4

Gambar 2. Irisan testis bagian perifer ..................................................................... 7

Gambar 3. Tahap-tahap spermatogenesis ............................................................... 13

Gambar 4. Kontrol fungsi testis............................................................................. 16

Gambar 5. Struktur kimia Monosodium Glutamate (MSG) .................................. 19

Gambar 6. Kerangka teori penelitian ..................................................................... 27

Gambar 7.1 Skema perlakuan kelompok kontrol negatif I (K1) ............................. 33

Gambar 7.2 Skema perlakuan kelompok perlakuan I (P1) ...................................... 33

Gambar 7.3 Skema perlakuan kelompok kontrol negatif II (K2) ............................ 34

Gambar 7.4 Skema perlakuan kelompok perlakuan II (K2) .................................... 34

Gambar 8. Gambar mikroskopik testis wistar kelompok kontrol negatif 20

hari (K1) .............................................................................................. 38

Gambar 9.1 Gambar mikroskopik testis wistar kelompok perlakuan MSG

selama 20 hari (P1) .............................................................................. 39

Gambar 9.2 Gambar mikroskopik testis wistar kelompok perlakuan MSG

selama 20 hari (P1) .............................................................................. 40

Gambar 10 Gambar mikroskopik testis wistar kelompok kontrol negatif selama

40 hari (K2) ......................................................................................... 41

Gambar 11.1 Gambar mikroskopik testis wistar kelompok perlakuan MSG

selama 40 hari (P2) .............................................................................. 42

Gambar 11.2 Gambar mikroskopik testis wistar kelompok perlakuan MSG

selama 40 hari (P2) .............................................................................. 42

xii
Gambar 12 Grafik rata-rata diameter tubulus semineferus setiap kelompok

percobaan ............................................................................................. 44

Gambar 13 Grafik rata-rata jumlah lapisan sel spermatogenik setiap kelompok

percobaan ............................................................................................. 46

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Hasil pengukuran diameter tubulus semineferus (µm) ................................ 43

Tabel 2. Hasil pengamatan jumlah lapisan sel spermatogenik setiap kelompok

percobaan ..................................................................................................... 45

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Monosodium glutamate atau dikenal dengan MSG adalah garam

natrium dari asam glutamat yang saat ini sangat popular digunakan sebagai

bahan penyedap makanan untuk merangsang selera.1 Monosodium

glutamate dapat ditemukan pada berbagai makanan kemasan atau kaleng

meskipun seringkali produsen tidak mencantumkan MSG pada label secara

jelas.2-4

Komposisi senyawa MSG adalah 78% asam glutamat, 12% natrium

dan 10% air. Asam glutamat merupakan asam amino penyusun protein dan

merupakan komponen alami dalam setiap makhluk hidup baik dalam

bentuk terikat maupun bebas.5 Glutamat yang masih terikat dengan asam

amino lain sebagai protein tidak memiliki rasa, tetapi dalam bentuk bebas

memiliki rasa gurih, sehingga semakin tinggi kandungan glutamat bebas

dalam suatu makanan maka semakin kuat rasa gurihnya. Namun glutamat

bebas dalam makanan sehari-hari (seperti daging, ikan, susu dan sayuran)

umumnya rendah, sehingga untuk memperkuat cita rasa perlu adanya

tambahan bumbu yang kaya kandungan glutamat bebas. Glutamat bebas

tersebut bereaksi dengan ion natrium membentuk garam MSG.6,7

Penggunaan dan keamanan MSG sampai saat ini masih menjadi

perdebatan. Food and Drugs Administration (1995) menyatakan bahwa

1
MSG adalah bahan makanan yang aman bagi manusia apabila dikonsumsi

dalam dosis lazim.8,9 Namun demikian, berbagai penelitian melaporkan

adanya efek yang timbul setelah mengkonsumsi MSG, satu diantaranya

adalah MSG Symptom Complex yang ditandai dengan rasa panas di wajah,

leher, lengan dan dada, sakit kepala, mual, berdebar-debar dan kadang

sampai muntah. Laporan lainnya menunjukan bahwa MSG memberi efek

toksik bagi manusia dan hewan percobaan pada berbagai sistem organ,

termasuk organ reproduksi.10,11 Middle East Fertility Society Journal

(2014) melaporkan bahwa pemberian MSG dengan dosis 30 dan 60

g/kgBB secara injeksi intraperitoneal ke tikus wistar jantan menyebabkan

atrofi tubulus semineferus akibat nekrosis sel-sel spermatogenik.3

Menurut WHO produksi MSG mencapai 200.000 ton per tahunnya

dan penggunaannya sekitar 3 gram sehari di Negara-negara Asia.9 Geha et

al (2001) memiliki pandangan berbeda dalam memperkirakan jumlah

konsumsi MSG, diperkirakan rata-rata asupan harian MSG 0,3-1,0 g di

negara-negara industri, tetapi bisa lebih tinggi tergantung jenis makanan

yang mempunyai kandungan glutamat bebas sebelumnya, serta pilihan

rasa masing-masing individu.11 Menurut studi Prawirohardjono (2000)

dosis rata-rata konsumsi di Indonesia adalah 0.6 g/hari.12 Penggunaan

MSG di Indonesia per hari masih terhitung sangat rendah dibandingkan di

negara industri maupun di negara maju. Namun, akumulasi terus menerus

dalam dosis rendah juga perlu diwaspadai.10 Oleh karena itu dibutuhkan

penelitian lebih lanjut mengenai efek yang ditimbulkan dalam pemakaian

MSG meskipun dalam konsentrasi yang rendah.

2
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai pengaruh MSG terhadap testis tikus wistar sesuai

dosis konsumsi rata-rata di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran histopatologik testis tikus wistar (Rattus

norvegicus) setelah pemberian MSG ?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui gambaran histopatologik testis tikus wistar

(Rattus norvegicus) setelah pemberian MSG.

D. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi mengenai gambaran histopatologik testis tikus

wistar (Rattus norvegicus) setelah pemberian MSG.

2. Menambah pengalaman dalam melakukan penelitian.

3. Memberikan informasi untuk penelitian selanjutnya.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. SISTEM REPRODUKSI PRIA

Fungsi esensial sistem reproduksi pada pria adalah menghasilkan

sperma (spermatogenesis) dan menyalurkan sperma ke wanita. Testis

merupakan organ penghasil sperma, tergantung di luar rongga abdomen

dalam suatu kantong berlapis kulit yakni skrotum, yang berada di dalam

sudut antara kedua tungkai. Penis adalah organ yang digunakan untuk

menyalurkan semen keluar dari tubuh. Sperma keluar dari masing-masing

testis melalui saluran reproduksi pria, yang masing-masing terdiri dari

epididimis, duktus deferens, dan duktus ejakulatorius (lihat Gambar 1).13

Gambar 1. Sistem reproduksi pria.


(Sumber : Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem).13

4
1. Anatomi dan Fisiologi Testis

Testis berjumlah dua buah dan berbentuk ovoid dengan ukuran

panjang 5 cm dan diameter 2,5 cm, biasanya testis kiri agak lebih rendah

dari testis kanan.14 Testis memiliki fungsi ganda yaitu menghasilkan

sperma dan mengeluarkan testosteron. Sekitar 80% massa testis terdiri dari

tubulus semineferus yang berkelok-kelok dan menjadi tempat

berlangsungnya spermatogenesis. Sel-sel endokrin yang menghasilkan

testosteron yaitu sel Leydig atau sel interstisium terletak di jaringan ikat

antara tubulus-tubulus semineferus. Karena itu, bagian-bagian testis yang

menghasilkan sperma dan mengeluarkan testosteron, terpisah secara

struktural dan fungsional.13

Kedua testis terletak di dalam skrotum, suhu rerata di dalam

skrotum beberapa derajat Celcius di bawah suhu tubuh normal. Penurunan

testis ke dalam lingkungan yang lebih dingin ini adalah hal esensial karena

spermatogenesis bersifat peka-suhu dan tidak dapat terjadi pada suhu

tubuh.13 Permukaan masing-masing testis tertutup oleh lamina viseralis

tunika vaginalis, kecuali pada tempat perlekatan epididimis dan funikulus

spermatikus. Tunika vaginalis ialah sebuah kantong peritoneal yang

membungkus testis dan berasal dari prosesus vaginalis embrional. Sedikit

cairan dalam rongga tunika vaginalis memisahkan lamina visceralis

terhadap lamina perietalis dan memungkinkan testis bergerak secara bebas

dalam skrotum.14,15

5
2. Histologi Testis

Setiap testis dibungkus oleh kapsul jaringan ikat yang tebal yaitu

tunika albuginea, di dalamnya adalah lapisan vaskular jaringan ikat

longgar yaitu tunika vaskulosa. Jaringan ikat meluas ke dalam dari tunika

vaskulosa ke dalam testis untuk membentuk jaringan ikat interstisial.

Jaringan interstisial mengelilingi, mengikat, dan menyokong tubulus

semineferus, dari mediastinum testis terbentuk septum fibrosa tipis ke

tunia albuginea. Septum ini membagi testis menjadi sekitar 250

kompartemen piramid yang disebut lobulus testis. Setiap lobulus

mengandung satu sampai empat tubulus semineferus. Karena septum tidak

solid, lobulus-lobulus saling berhubungan.16,17

Di dalam jaringan ikat interstisial di sekitar tubulus semineferus

terdapat banyak pembuluh darah, sel jaringan ikat longgar, dan kelompok

sel interstisial (Leydig). Sel interstisial adalah sel endokrin di testis dan

menyekesi hormon seks pria testosteron ke dalam aliran darah.16,17

Tubulus semineferus adalah saluran panjang yang berkelok-kelok

di dalam testis yang biasanya tampak terpotong melintang, memanjang,

atau tangensial pada sediaan. Tubulus semineferus dilapisi oleh epitel

berlapis yang disebut epitel germinal. Epitel germinal mengandung dua

jenis sel, sel spermatogenik yang menghasilkan sperma dan sel penunjang

Sertoli yang memberi makan sperma yang sedang berkembang. Epitel

germinal berada di atas membrana basalis tubulus semineferus (lihat

Gambar 2).16,17

6
Gambar 2. Irisan testis bagian perifer. Pulasan: hematoksilin-eosin. Pembesaran lemah.
(Sumber : Eroschenko VP. Atlas histologi di fiore).16

a. Tubulus Semineferus

Spermatozoa dihasilkan di tubulus semineferus. Setiap testis

memiliki 250-1000 tubulus semineferus. Setiap tubulus semineferus

dilapisi oleh epitel belapis majemuk., garis tengahnya lebih kurang 150-

250 µm dan panjangnya 30-70 cm. Panjang seluruh tubulus satu testis

mencapai 250 m. Tubulus ini berkelok-kelok dan berawal sebagai saluran

buntu. Di ujung lobulus, lumennya menyempit dan berlanjut ke dalam ruas

pendek yang dikenal sebagai tubulus rektus atau tubulus lurus yang

menghubungkan tubulus semineferus dengan labirin saluran berlapis epitel

yang beranastomosis, yaitu rete testis. Kira-kira 10-20 duktulus eferentes

menghubungkan rete testis dengan bagian kepala epididimis. 17,18

Epitel tubulus seminiferus berada tepat di bawah membran basalis

yang dikelilingi oleh jaringan ikat fibrosa yang disebut jaringan peritubular

7
yang mengandung serat-serat jaringan ikat, sel-sel fibroblast dan sel otot

polos yang disebut dengan sel mioid. Diduga kontraksi sel mioid ini dapat

mengubah diameter tubulus seminiferous dan membantu pergerakan

spermatozoa. Epitel tubulus semineferus terdiri atas dua jenis sel yaitu sel

Sertoli atau sel penyokong dan sel-sel yang membentuk garis keturunan

spermatogenik.17,18

b. Sel Spermatogenik

Spermatogenik adalah sel spermatif yang terletak di samping

lamina basalis. Sel spermatogenik relatif kecil, bergaris tengah sekitar 12

μm dan intinya mengandung kromatin pucat. Pada keadaan kematangan

kelamin, sel ini mengalami sederetan mitosis lalu terbentuklah sel induk

atau spermatogenik tipe A, dan mereka berdiferensiasi selama siklus

mitotik yang progresif menjadi spermatogenik tipe B. Spermatogenik tipe

A adalah sel induk untuk garis keturunan spermatogenik, sementara

spermatogenik tipe B merupakan sel progenitor yang berdiferensiasi

menjadi spermatosit primer. Spermatosit primer adalah sel terbesar dalam

garis turunan spermatogenik ini dan ditandai adanya kromosom dalam

tahap proses penggelungan yang berbeda di dalam intinya. Spermatosit

primer memiliki 46 (44+XY) kromosom dan 4N DNA.16,17

Spermatosit sekunder sulit diamati dalam sediaan testis karena

merupakan sel berumur pendek yang berada dalam fase interfase yang

sangat singkat dan dengan cepat memasuki pembelahan kedua.

Spermatosit sekunder memilki 23 kromosom (22+X atau 22+Y) dengan

8
pengurangan DNA per sel (dari 4N menjadi 2N). Pembelahan spermatosit

sekunder menghasilkan spermatid. Spermatid memiliki ukuran yang kecil

garis tengahnya 7-8 μm, inti dengan daerah-daerah kromatin padat dan

lokasi jukstaluminal di dalam tubulus seminiferus. Spermatid mengandung

23 kromosom. Karena tidak ada fase S (sintesis DNA) yang terjadi antara

pembelahan meiosis pertama dan kedua dari spermatosit, maka jumlah

DNA per sel dikurangi setengahnya selama pembelahan kedua ini

menghasilkan sel-sel haploid (1N).16,17

c. Sel Interstisial

Sel insterstisial atau Leydig merupakan sel yang memberikan

gambaran mencolok untuk jaringan tersebut. Sel-sel Leydig letaknya

berkelompok memadat pada daerah segitiga yang terbentuk oleh susunan-

susunan tubulus seminiferus. Sel-sel tersebut besar dengan sitoplasma

sering bervakuol pada sajian mikroskop cahaya. Inti selnya mengandung

butir-butir kromatin kasar dan anak inti yang jelas. Umumnya pula

dijumpai sel yang memiliki dua inti. Sitoplasma sel kaya dengan benda-

benda inklusi seperti titik lipid, dan pada manusia juga mengandung

kristaloid berbentuk batang. Celah di antara tubulus seminiferus dalam

testis diisi kumpulan jaringan ikat, saraf, pembuluh darah dan limfe.16,17

9
d. Sel Sertoli

Sel Sertoli adalah sel piramid memanjang yang sebagian terisi sel-

sel dari garis keturunan spermatogenik. Dasar sel Sertoli melekat pada

lamina basalis, sedangkan ujung apeksnya sering meluas ke dalam lumen

tubulus semineferus. Dengan mikroskop cahaya, bentuk sel Sertoli tidak

jelas terlihat karena banyaknya juluran lateral yang mengelilingi sel

spermatogenik. Kajian dengan mikroskop elektron mengungkapkan bahwa

sel ini mengandung banyak retikulum endoplasma halus, sedikit retikulum

endoplasma kasar, sebuah kompleks Golgi yang berkembang baik, dan

banyak mitokondria dan lisosom. Inti yang memanjang yang sering

berbentuk segitiga, memiliki banyak lipatan dan sebuah anak inti yang

mencolok, memiliki sedikit heterokromatin. Fungsi utama sel Sertoli

adalah untuk menunjang, melindungi dan mengatur nutrisi spermatozoa.

Selain itu, sel Sertoli juga berfungsi untuk fagositosis kelebihan sitoplasma

selama spermatogenesis, sekresi protein pengikat androgen dan inhibin,

dan produksi hormon anti-Mullerian.16,17

3. Proses Spermatogenesis dan Spermiogenesis

Spermatogenesis adalah suatu proses kompleks ketika sel

germinativum primordial yang relatif belum berdiferensiasi (primitive atau

awal), spermatogonia (masing-masing mengandung komplemen diploid 46

kromosom), berproliferasi dan diubah menjadi spermatozoa yang sangat

khusus dan motil (sperma), masing-masing mengandung set haploid 23

kromosom yang diterima secara acak.13,19

10
Pemeriksaan mikroskopik tubulus semineferus memperlihatkan

lapisan-lapisan sel germinativum dalam suatu progresi anatomik

pembentukan sperma, dimulai dari yang paling kurang berdiferensiasi di

lapisan luar dan bergerak masuk melalui berbagai tahap pembelahan ke

lumen, tempat sperma yang sangat berdiferensiasi siap untuk keluar dari

testis. Spermatogenesis memerlukan waktu 64 hari untuk pembentukan

dari spermatogonium menjadi sperma matang. Setiap saat terdapat

berbagai tahapan spermatogenesis pada tubulus semineferus. Setiap hari

dapat dihasilkan beberapa ratus juta sperma matang. Spermatogenesis

mencakup tiga tahap utama : proliferasi mitotik, meiosis, dan pengemasan

(lihat Gambar 3).13

1. Proliferasi mitotik. Spermatogonia yang terletak di lapisan terluar

tubulus terus menerus bermitosis, dengan semua sel baru yang

mengandung komplemen lengkap 46 kromosom identik dengan sel

induk. Proliferasi ini menghasilkan pasokan sel germinativum baru

yang terus menerus. Setelah pembelahan mitotik sebuah

spermatogonium, salah satu anak tetap di tepi luar tubulus sebagai

spermatogonium tak berdiferensiasi, sehingga turunan sel germinativum

tetap terpelihara. Sel anak yang lain mulai bergerak ke arah lumen

sambil menjalani berbagai tahap yang dibutuhkan untuk membentuk

sperma yang kemudian akan dibebaskan ke dalam lumen. Pada

manusia, sel anak penghasil sperma membelah secara mitotik dua kali

lagi untuk menghasilkan empat spermatosit primer identik. Setelah

pembelahan mitotik terakhir, spermatosit primer masuk ke fase istirahat

11
ketika kromosom-kromosom terduplikasi dan untai-untai rangkap

tersebut tetap menyatu sebagai persiapan untuk pembelahan meiosis

pertama.

2. Meiosis. Selama meiosis, setiap spermatosit primer (dengan jumlah

diploid 46 kromosom rangkap) membentuk dua spermatosit sekunder

(masing-masing dengan jumlah haploid 23 kromosom rangkap) selama

pembelahan meiosis pertama, akhirnya menghasilkan empat spermatid

(masing-masing dengan 23 kromosom tunggal) akibat pembelahan

meiosis kedua.

Setelah tahap spermatogenesis ini tidak terjadi pembelahan lebih lanjut.

Setiap spermatid mengalami remodeling menjadi spermatozoa. Karena

setiap spermatogonium secara mitosis menghasilkan empat spermatosit

primer dan setiap spermatosit primer secara meiosis menghasilkan

empat spermatid (calon spermatozoa), rangkaian spermatogenik pada

manusia secara teoritis menghasilkan 16 spermatozoa setiap kali

spermatogonium memulai proses ini. Namun, biasanya sebagian sel

lenyap di berbagai tahap sehingga efisiensi produksi jarang setinggi ini.

3. Pengemasan. Bahkan setelah meiosis, spermatid secara struktural masih

mirip spermatogonia yang belum berdiferensiasi, kecuali bahwa

komplemen kromosomnya kini hanya separuh. Pembentukan

spermatozoa yang sangat khusus dan bergerak dari spermatid

memerlukan proses remodeling, atau pengemasan, ekstensif elemen-

elemen sel, suatu proses yang dikenal sebagai spermiogenesis. Sperma

pada hakikatnya adalah sel yang “ditelanjangi”, yaitu sebagian besar

12
sitosol dan semua organel yang tidak dibutuhkan untuk menyampaikan

informasi genetik sperma ke ovum telah disingkirkan. Karena itu,

sperma dapat bergerak cepat, hanya membawa serta sedikit beban untuk

melaksanakan pembuahan.

Gambar 3. Tahap-tahap spermatogenesis.


(Sumber : Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem).13

Kedua testis dari seorang manusia dewasa muda dapat membentuk

kira-kira 120 juta sperma per harinya. Sejumlah kecil sperma dapat

disimpan dalam epididimis, tetapi sebagian besar disimpan dalam vas

deferens dan ampula vas deferens. Sperma dapat tetap disimpan dan

mempertahankan kualitasnya, dalam duktus genitalis paling sedikit selama

satu bulan.13 Waktu yang diperlukan untuk proses spermatogenesis

berbeda-beda tiap spesies, setiap siklus spermatogenik pada mencit terjadi

selama 10 hari, sedangkan total siklus spermatogenesisnya selama 31-34

hari,20 setiap siklus spermatogenik pada tikus terjadi selama 9-12 hari
13
sedangkan total durasi spermatogenesis pada tikus selama 40-54 hari.21

Pada manusia setiap siklus spermatogenik terjadi selama 22 hari,

sedangkan total durasi spermatogenesis selama 70 hari.22

4. Kontrol Fungsi Testis

Testis dikontrol oleh dua hormon gonadotropik yang dikeluarkan

oleh hipofisis anterior, luteinizing hormone (LH) dan follicle-stimulating

hormone (FSH) yang keduanya diproduksi oleh jenis sel yang sama, yaitu

gonadotrop. Kedua hormon pada kedua jenis kelamin bekerja pada gonad

dengan mengaktifkan cAMP.13,19

LH dan FSH, yang dinamai sesuai fungsi mereka pada wanita,

bekerja pada komponen-komponen testis yang berbeda. LH bekerja pada

sel Leydig untuk mengatur sekresi testosteron. FSH bekerja pada sel

Sertoli untuk meningkatkan spermatogenesis. Sekresi LH dan FSH dari

hipofisis anterior dirangsang oleh satu hormon hipotalamus, gonadotropin-

releasing-hormone (GnRH). GnRH dilepaskan secara serentak setiap 2-3

jam sekali, dan tidak terjadi sekresi di antaranya. Konsentrasi GnRH darah

bergantung pada frekuensi ledakan sekresi ini. Sekresi GnRH yang terjadi

secara pulsatil ini merangsang sekresi FSH dan LH yang sedang terjadi.

Namun, FSH dan LH sebagian besar disegregasikan ke vesikel sekretorik

yang terpisah di gonadotrop dan tidak disekresi dalam jumlah yang sama

karena faktor regulasi lain juga memengaruhi seberapa banyak

gonadotropin yang disekresi.13,19

14
Faktor testosteron dan inhibin memengaruhi laju sekresi FSH dan

LH secara berbeda. Testosteron, produk stimulasi LH pada sel Leydig,

bekerja secara umpan balik negatif untuk menghambat sekresi LH melalui

dua jalan. Efek umpan-balik negatif utama testosteron adalah mengurangi

pelepasan GnRH dengan bekerja pada hipotalamus sehingga secara tak

langsung mengurangi pengeluaran FSH dan LH oleh hipofisis anterior.

Selain itu, testosteron bekerja secara langsung pada hipofisis anterior

untuk menurunkan sekresi LH secara selektif. Efek yang terakhir ini

menjelaskan mengapa efek inhibisi testosteron terhadap sekresi LH lebih

besar daripada terhadap sekresi FSH.13,19

Sinyal inhibisi dari testis secara spesifik ditujukan untuk

mengontrol sekresi FSH adalah hormon peptida inhibin, yang dikeluarkan

oleh sel Sertoli. Inhibin bekerja secara langsung pada hipofisis anterior

untuk menghambat sekresi FSH secara selektif. Inhibisi umpan-balik FSH

oleh produk sel Sertoli ini merupakan hal yang sesuai karena FSH

merangsang spermatogenesis dengan bekerja pada sel Sertoli.13,19

Studi terkini mengindikasikan bahwa kontrol fungsi testis dimulai

lebih jauh sebelum GnRH. Neuron kiss1 pada nukleus arkuatus (ARC) di

hipotalamus (daerah yang sama yang terlibat dalam mengontrol asupan

makanan dan berat badan) melepaskan kisspeptin, yang merupakan

neurotransmitter peptida yang merangsang sekresi GnRH. Neuron yang

menyekresi GnRH juga berlokasi di nukleus arkuatus. Testosteron

melakukan efek umpan-balik negatifnya di hipotalamus pada neuron kiss1,

tidak secara langsung melalui neuron penyekresi GnRH. Neuron yang

15
menyekresi GnRH tidak memiliki reseptor androgen, tetapi neuron kiss1

memiliki reseptor ini. Dengan menghambat neuron kiss1 secara langsung,

testosteron secara tidak langsung menghambat neuron yang menyekresi

GnRH dengan menghambat aksi eksitatorik neuron kiss1 pada neuron

penyekresi GnRH. Sinyal kisspeptin tampaknya sangat penting dalam

mengintegrasikan masukan sentral dan perifer untuk mengatur keluaran

GnRH, dalam memacu pubertas, dan dalam mempertahankan fungsi

reproduksi yang normal (lihat Gambar 4).13

Gambar 4. Kontrol fungsi testis.


(Sumber : Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem).13

16
B. MONOSODIUM GLUTAMATE (MSG)

1. Definisi Monosodium Glutamate (MSG)

Monosodium Glutamate (MSG) dengan rumus kimia

C5H8O4NNaH20 (lihat Gambar 5) pertama kali diisolasi dari rumput laut

pada tahun 1908 oleh DR. Kikunea Ikeda, seorang ahli kimia

berkebangsaan Jepang. DR. Ikeda menemukan rasa lezat dan gurih dari

MSG yang berbeda dengan rasa yang pernah dikenalnya, oleh karena itu

dia menyebutnya dengan sebutan “umami” (dari akar kata “umai” yang

dalam bahasa Jepang berarti lezat). Monosodium Glutamate (MSG)

merupakan garam natrium dari asam glutamat, dengan persentase unsur

pokok yang terkandung dalam MSG diantaranya: 78% asam glutamat,

12% natrium dan 10% air.23

Asam Glutamat digolongkan pada asam amino non esensial karena

tubuh manusia sendiri dapat menghasilkan asam glutamat, ada dalam

bentuk terikat dan bentuk bebas. Glutamat yang masih terikat dengan asam

amino lain sebagai protein tidak memiliki rasa, tetapi dalam bentuk bebas

memiliki rasa gurih, sehingga semakin tinggi kandungan glutamat bebas

dalam suatu makanan maka semakin kuat rasa gurihnya. Namun glutamat

bebas dalam makanan sehari-hari (seperti daging, ikan, susu dan sayuran)

umumnya rendah, sehingga untuk memperkuat cita rasa perlu adanya

tambahan bumbu yang kaya kandungan glutamat bebas. Asam glutamat

terdiri dari 5 atom karbon dengan 2 gugus karboksil yang pada salah satu

karbonnya berkaitan dengan NH2 yang menjadi ciri asam amino. Struktur

kimia MSG sebenarnya tidak banyak berbeda dengan asam glutamat,

17
hanya pada salah satu gugus karboksil yang mengandung hidrogen diganti

dengan natrium. Gugus karboksil setelah diionisasi dapat mengaktifkan

stimulasi rasa pada alat pengecap.5-7

Sejak penemuan tahun 1908, Jepang memproduksi asam glutamat

melalui ekstraksi dari bahan alamiah. Tetapi karena permintaan pasar

melonjak, tahun 1956 mulai ditemukan cara poduksi L-glutamic acid

melalui fermentasi. L-glutamic acid inilah inti dari MSG. Proses

fermentasi dilakukan dari test-gula (molases) oleh bakteri Brevibacterium

lactofermentum yang kemudian menghasilkan asam glutamat. Asam

glutamat kemudian ditambah soda (Natrium karbonat) sehingga terbentuk

Monosodium glutamate (MSG), kemudian dimurnikan dan dikristalisasi

untuk menghasilkan serbuk kristal murni yang siap dijual di pasar sebagai

bahan penyedap makanan. Rangsangan selera dari makanan yang diberi

MSG disebabkan oleh kombinasi rasa yang khas dari efek sinergis MSG

dengan 5 ribonukleotida yang terdapat didalam makanan, yang bekerja

pada membrane sel reseptor kecap. Monosodium glutamate bila larut

dalam air ataupun saliva akan dengan cepat berdisosiasi manjadi garam

bebas dan manjadi bentuk anion dari glutamat, kemudian ion glutamat ini

akan membuka channel Ca2+ pada neuron yang terdapat pada taste bud

sehingga memungkinkan ion Ca2+ bergerak ke dalam sel sehingga

menimbulkan depolarisasi reseptor yang akan menimbulkan potensial aksi

yang sampai ke otak lalu diterjemahkan sebagai rasa yang lezat.6,7,23

18
Gambar 5. Stuktur kimia Monosodium glutamate (MSG).
(Sumber : International Glutamate Information Service. What is MSG?. 2016. Available
from: http://www.glutamate.org/English/faqs/faqs.html).5

2. Metabolisme Monosodium Glutamate (MSG)

Monosodium glutamate (MSG) dimetabolisme di dalam tubuh sama

seperti metabolisme asam glutamat. Metabolisme asam amino non esensial

termasuk glutamat menyebar luar di dalam jaringan tubuh. Terdapat 57%

dari asam amino yang diabsorpsi dikonversikan menjadi urea melalui hati,

6% menjadi plasma protein, 23% absorpsi asam amino melalui sirkulasi

umum sebagai asam amino bebas dan 14% sisanya diduga disimpan

sementara di dalam hati sebagai protein hati atau enzim.1,24

Asam amino dekarboksilat, glutamat dan aspartat menempati posisi

unik dalam metabolisme perantara. Mereka memegang peranan penting

dalam produksi energy, sintesis urea, sintesis glutation dan sebagai

neurotransmitter. Hal ini disebabkan sel-sel mengandung sejumlah besar

glutamate bebas dan aspartate. Asam amino ini merupakan asam amino

utama yang didapatkan di dalam mitokondria sel dan merupakan 50-70%

dari total asam amino bebas.1,24

Kadar puncak MSG dalam plasma dipengaruhi oleh usia, cara

pemberian dan konsentrasi MSG dalam larutan. Pada hewan baru lahir

19
metabolisme asam glutamat lebih rendah daripada hewan dewasa.

Pemberian MSG secara parenteral akan memberikan reaksi yang berbeda

dengan pemberian MSG per oral karena pemberian secara parenteral,

MSG tidak melalui usus dan vena portal. Sedangkan pada pemberian per

oral, MSG akan melalui usus ke sirkulasi portal dan hati. Hati mempunyai

kesanggupan untuk metabolisme asam glutamat ke matabolit lain. Oleh

karena itu, apabila pemberian glutamat melebihi kemampuan kapasitas hati

untuk metabolismenya, maka dapat menyebabkan peningkatan glutamat

plasma.24,25

Glutamat menjalankan beberapa fungsi penting dalam proses

metabolisme di dalam tubuh, antara lain :

a. Substansi untuk sintesa protein. Diperkirakan 10-40% glutamat

terkandung di dalam protein. L-glutamic acid merupakan bahan yang

penting untuk sintesa protein. Asam glutamat memiliki karakter fisik

dan kimia yang dapat menjadi struktur sekunder dari protein yang

disebut rantai α.

b. Pasangan transaminasi dengan α-ketoglutarate. L-glutamate disintesa

dari amonia dan α-ketoglutarate dalam suatu reaksi yang dikatalisir

oleh L-glutamate dehidrogenase (siklus asam sitrat). Reaksi ini penting

dalam biosintesa seluruh asam amino. Glutamat yang diserap

ditransaminasikan dengan piruvat dalam bentuk alanin. Alanin dari

hasil transaminasi dari piruvat, oleh asam amino dekarboksilat

menghasilkan α-ketoglutarate atau oksaloasetat. Glutamat yang lolos

dari metabolisme mukosa, dibawa melalui vena portal ke hati. Sebagian


20
glutamat dikonversikan oleh usus dan hati dalam bentuk glukosa dan

laktat, kemudian dialirkan ke darah perifer.

c. Prekusor glutamin. Glutamin dibentuk dari glutamat oleh glutamin

sintase. Reaksi ini juga penting dalam metabolisme asam amino.

Ammonia akan dikonversikan menjadi glutamin sebelum masuk ke

sirkulasi. Glutamat dan glutamin merupakan mata rantai karbon dan

nitrogen di dalam proses metabolisme karbohidrat dan protein.

d. Neurotransmitter. Glutamat adalah transmitter mayor di otak, berfungsi

sebagai mediator untuk menyampaikan transmisi post sipnatik. Selain

itu glutamat juga berfungsi sebagai prekusor dari neurotransmitter

Gamma Ammino Butiric Acid (GABA).

3. Efek Monosodium Glutamate (MSG)

New England Journal of Medicine tahun 1968, melaporkan tentang

keluhan yang muncul setelah makan di restoran cina sehingga disebut

“Chinese Restaurant Syndrome” berupa rasa terbakar, resa kebas, kaku

otot, sakit kepala, mual, jantung berdebar-debar, sulit bernapas dan

mengantuk. Karena komposisinya dianggap signifikan dalam masakan itu,

MSG diduga sebagai penyebabnya, tetapi belum dilaporkan bukti

ilmiahnya.8

Federation of American Societies for Experimental Biology tahun

1995, melaporkan adanya dua kelompok orang yang cenderung

menunjukkan reaksi akibat konsumsi MSG. Kelompok orang pertama

yang tidak toleran terhadap konsumsi MSG dalam jumlah besar sehingga
21
muncul keluhan berupa rasa panas, kaku otot, nyeri dada, sakit kepala,

mual, berdebar-debar dan kadang sampai muntah. Gejala ini mirip dengan

“Chinese Restaurant Syndrome”, tetapi kemudian lebih tepat disebut

“MSG Complex Syndrome”. Sindrom ini terjadi segera atau sekitar 30

menit setelah konsumsi, dan bertahan selama 3-5 jam. Sedang kelompok

kedua adalah penderita asma yang banyak mengeluh meningkatnya

serangan setelah mengkonsumsi MSG.8,10,26

Monosodium glutamate (MSG) memiliki efek pada berbagai sistem

organ karena terdapatnya reseptor glutamate pada beberapa organ. Salah

satunya efek neurotoksin, mengingat glutamat merupakan suatu

neurotransmitter yang penting untuk komunikasi antar neuron, jika

berlebihan akan dipompakan kembali ke dalam sel glial sekitar neuron dan

bersifat eksitotoksik bagi otak. Karena itu ada kerja dari glutamat

transporter protein untuk menyerapnya dari cairan ekstraseluler, termasuk

salah satu peranannya untuk keperluan sintesis GABA (Gamma Amino

Butyric Acid) oleh kerja enzim Glutamic Acid Decarboxylase (GAD).

GABA ini juga termasuk neurotransmitter sekaligus memiliki fungsi lain

sebagai reseptor glutamatergic, sehingga bisa menjadi target dari sifat

toksik glutamat. Disamping kerja glutamat transporter protein, ada enzim

glutamine sintetase yang bertugas merubah ammonia dan glutamat

menjadi glutamin yang tidak berbahaya dan bisa dikeluarkan dari otak.

Dengan cara ini, meski terakumulasi di otak, asam glutamat diusahakan

untuk dipertahankan dalam kadar rendah dan non-toksik. Pada konsumsi

MSG, asam glutamat bebas dihasilkan sebagian akan terikat di usus, dan

22
selebihnya dilepaskan ke dalam plasma. Selanjutnya menyebar ke seluruh

tubuh termasuk akan menembus sawar darah otak dan terikat oleh

reseptornya. Sayangnya, seperti disebutkan sebelumnya, asam glutamat

bebas ini bersifat eksitotoksik sehingga bisa merusak neuron otak bila

sudah melebihi kemampuan otak mempertahankannya dalam kadar

rendah. Jika berlebihan, glutamat akan membuka saluran kalsium masuk

ke dalam sel neuron. Reaksi kimia yang berlangsung dalam sel secepatnya

melepaskan bahan-bahan kimiawi yang merangsang neuron berdekatan.

Asam arakidonat merupakan salah satu hasil reaksi kimia yang bereaksi

dengan enzim dan menghasilkan radikal bebas seperti radikal

hidroksil.10,25,27-9

C. RADIKAL BEBAS & STRES OKSIDATIF

Radikal bebas adalah spesies kimia yang memiliki satu atau lebih

elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya, sehingga dapat

menyerang senyawa-senyawa lain seperti DNA, membran lipid, dan

protein. Radikal ini akan merebut elektron dari molekul lain yang ada

disekitarnya untuk menstabilkan diri, sehingga spesies kimia ini sering

dihubungkan dengan terjadinya kerusakan sel, kerusakan jaringan, dan

proses penuaan. Radikal bebas dapat dihasilkan dari dalam tubuh

(endogen) dan juga dari luar tubuh (eksogen). Radikal bebas endogen

adalah radikal yang dihasilkan dari dalam tubuh misalnya radikal dari

mitokondria, xantinoksidase, NADPH oksidase, mikrosom, membran inti

sel dan peroksisom. Radikal bebas eksogen adalah radikal yang dihasilkan
23
dari lingkungan luar seperti, asap rokok, radiasi UV, bahan kimia toksik.

Jenis-jenis radikal bebas yang merusak sel terdiri dari :30-32

1. Reactive Oxygen Species (ROS), yaitu senyawa reaktif turunan oksigen

misalnya radikal superoksida, radikal hidroksil (OH-), radikal alkoksil

(RO), radikal peroksil (R02) serta senyawa bukan radikal yang

berfungsi sebagai pengoksidasian atau senyawa yang mudah mengalami

perubahan menjadi radikal bebas seperti hidrogen peroksida (HP), ozon

(03) dan HOCI.

2. Reactive Nitrogen Species (RNS), misalnya nitrogen dioksida (N02-),

dan peroksi nitrit (ONOO-) dan bukan radikal seperti HN02 dan N2O4.

Secara fisiologis tubuh memang menghasilkan Reactive Oxygen

Species (radikal bebas atau oksidan), adapun sumber penghasil ROS antara

lain mitokondria, fagosit, xanthine oksidase, peroksisome, iskemi atau

reper fusi, jalur pada pembentukan asam arakhidonat, dan sebagainya.

Bahan tersebut dihasilkan oleh tubuh untuk membunuh bakteri yang

masuk ke dalam tubuh. Namun bila radikal bebas atau oksidan yang

dihasilkan oleh tubuh berlebihan, maka bahan tersebut akan dinetralisir

oleh anti radikal bebas atau antioksidan yang dikenal dengan Scavenger

enzyme, seperti superoksida dismustase (SOD), katalase atau glutation

peroksidase. Apabila rasio antara radikal bebas atau oksidan lebih besar

daripada antiradikal bebas atau antioksidan, maka keadaan ini dikenal

sebagai stress oksidatif.30-32

24
D. HUBUNGAN MONOSODIUM GLUTAMATE (MSG) DENGAN

TESTIS

Beberapa penelitian menunjukan bahwa MSG berpengaruh

terhadap berbagai organ tubuh, termasuk organ reproduksi pria yaitu testis.

Adanya efek neurotoksin yang ditimbulkan MSG terhadap sistem

hipotalamus-hipofisis-gonad. Mengingat reseptor glutamat terdapat pada

beberapa organ antara lain hipotalamus, splein, timus, hati, ginjal, sistem

endokrin, ovarium, dsb. Maka hipotalamus menjadi organ target MSG,

apabila berlebihan maka dapat memberikan efek toksik bahkan berakibat

dengan menghasilkan radikal bebas seperti radikal hidroksil. Hal ini jelas

menyebabkan kerusakan pada hipotalamus, studi terkini dipercaya bahwa

lesi terjadi pada Nukleus Arkuatus Hipotalamus. Nukleus Arkuatus

memiliki neuron yang berperan penting dalam mengintegrasikan masukan

sentral dan perifer untuk mengatur keluaran gonadotropin releasing

hormone (GnRH) dan mempertahankan fungsi reproduksi yang normal.

Kemampuan MSG menyebabkan kerusakan pada nukleus Arkuatus ini

berpengaruh dalam penurunan hormon reproduksi, jelas terjadi gangguan

sekresi dari GnRH, padahal pada hakikatnya hormon tersebut berperan

terhadap regulasi follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing

hormone (LH). Akibatnya, terjadi penurunan sekresi FSH dan LH

sehingga mempengaruhi fungsi normal testis dan proses

spermatogenesis.1,3,4,13 Terganggunya sistem ini mampu menyebabkan

perubahan struktur histologik testis, yakni ditandai dengan menyempitnya

25
diameter tubulus semineferus, penurunan jumlah lapisan sel spermatogenik

dan kepadatan sel interstisial.

Penelitian pengaruh MSG terhadap testis dengan dosis 2400;

4800; 9600 mg/kgBB per oral pada tikus jantan memberi efek

mengecilkan diameter tubulus semineferus, sama halnya dengan

pemberian MSG secara oral dengan dosis 4 mg/kgBB selama 15 dan 30

hari ternyata memberikan efek penurunan berat testis dan jumlah

sperma.4,33

Middle East Fertility Society Journal (2014) juga melaporkan

bahwa pemberian MSG sebanyak 30 dan 60 g/kgBB secara injeksi

intraperitoneal ke tikus wistar jantan menyebabkan atrofi tubulus

semineferus akibat nekrosis sel-sel spermatogenik.3

26
E. KERANGKA TEORI

Monosodium Glutamate (MSG)

 Radikal bebas
 Stress oksidatif

Lesi Hipotalamus

GnRH

↓ FSH dan LH

Penurunan Penurunan
Penurunan Sel
Diameter Tubulus Kepadatan Sel
Spermatogenik
Semineferous Interstisial

Perubahan histopatologik testis

Gambar 6. Kerangka teori penelitian.

27
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen laboratorik.

B. WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada periode Agustus – Desember 2016.

C. TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas

Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado.

D. SUBJEK PENELITIAN

Subjek penelitian yang digunakan adalah 20 ekor tikus jantan galur

wistar dewasa dalam keadaan sehat, memiliki berat 200-250 gram dan dibagi

dalam:

1. Kelompok kontrol : 10 ekor

2. Kelompok perlakuan : 10 ekor

28
E. DEFINISI OPERASIONAL

1. Tikus wistar yang digunakan dalam percobaan ini berasal dari species

Rattus norvegicus, berkelamin jantan, umur 2 sampai 3 bulan dengan

berat sekitar 200 gram sampai 250 gram.

2. Monosodium glutamate (MSG) yang digunakan diperoleh dari pasaran

bebas dengan merek dagang Ajinomoto produksi PT. Ajinomoto

Indonesia. Bubuk MSG berupa kristal putih mengandung monosodium

glutamate murni dan terbungkus rapi dalam kantong plastik tertutup.

3. Gambaran histopatologik testis yang akan dinilai meliputi diameter

tubulus semineferus, jumlah lapisan sel spermatogenik dan kepadatan sel

interstisial secara kualitatif.

F. ALAT DAN BAHAN PENELITIAN

1. Alat :

a. Perlengkapan kandang untuk tikus : loyang plastik, dedak padi, botol

air minum yang disambung pipet, kawat kasa.

b. Alat perlakuan hewan coba : semprit, sonde lambung, dan sarung

tangan.

c. Alat pemrosesan jaringan : tempat otopsi, jarum, gunting, pinset, pisau

bedah, wadah tempat fiksasi dan dehidrasi, mikrotom, waterbath,

gelas objek, dan deck glass.

d. Alat pemeriksaan jaringan : mikroskop cahaya, kamera, mistar ukur

(skala mm).

e. Timbangan tikus.

29
2. Bahan :

a. Makanan dan minuman hewan uji : pelet standar (ADII) dan air

b. Perlakuan hewan uji : bubuk monosodium glutamate (merek dagang

Ajinomoto) dan aquades.

c. Terminasi hewan uji : dietil eter untuk anastesi.

d. Larutan formalin 10% untuk fiksasi jaringan testis tikus wistar.

e. Pemrosesan jaringan : alkohol, xylol (xylene), paraffin.

f. Pembuatan preparat jaringan : pewarnaan jaringan dengan

hematoxylin eosin fuchsin, air, alkohol 95%, entelan sebagai perekat.

G. PRINSIP DASAR PENELITIAN

Monosodium glutamate (MSG) berpengaruh dalam menurunkan kadar

follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). Penurunan

kadar ini dikaitkan dengan kerusakan yang terjadi di hipotalamus setelah

pemberian MSG. Hal ini dapat terjadi karena kerusakan pada neuron yang

mensekresikan gonadotropin releasing hormone (GnRH), sehingga terjadi

penurunan kadar GnRH yang berperan pada regulasi FSH dan LH sehingga

terjadi penurunan kadar kedua hormon tersebut. Penurunan kadar FSH dan

LH akan mengubah struktur histologik testis. 1,3,4,13 Pemberian MSG secara

oral sesuai dengan dosis konsumsi rata-rata di Indonesia diharapkan dapat

memberikan perubahan gambaran histopatologik testis tikus wistar.

30
H. PROSEDUR PENELITIAN

1. Pemeliharaan wistar

Sebanyak 20 ekor wistar dipelihara dalam wadah yang ditaburi

dedak padi dan ditutup dengan kasa pada bagian atasnya. Selama

pemeliharaan wistar diberi makan pelet dan minum air dari botol yang

diberi pipet.

2. Penentuan dosis dan cara pemberian MSG

a. Konsumsi MSG rata-rata di Indonesia adalah 0.6 gram/hari

(600mg/hari).12

b. Berat badan rata-rata manusia 60 kg dan berat badan rata-rata tikus

wistar adalah 200 gram (0.2 kg), maka perhitungan dosis pemberian

MSG pada tikus menurut Animal Equivalent Dose34 adalah sebagai

berikut :

BB tikus dosis tikus


=
BB manusia dosis manusia
0.2 x
=
60 600
120
x =
60

x = 2 mg
Kemudian dosis tikus berdasarkan BB dikali dengan koefisien
tikus, yaitu 6.2.
Dosis pada tikus = dosis tikus berdasarkan BB x koefisien tikus
= 2 x 6.2
= 12.4 mg/hari

31
c. Dosis MSG yang diberikan adalah 12.4 mg/hari dilarutkan dalam 1

mL aquades dan diberikan per oral menggunakan sonde lambung

sehari sekali.

3. Perlakuan terhadap hewan uji

Sebelum dilaksanakan pengujian, tikus diadaptasikan di dalam

kandang selama 7 hari, kemudian dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu :

a. Kelompok kontrol I (K1) terdiri dari 5 ekor tikus yang diberi makan

pelet dan air minum selama 20 hari. Terminasi dilakukan pada hari ke-

21 untuk memperoleh jaringan testis kemudian dilakukan pengamatan

secara mikroskopik.

b. Kelompok perlakuan I (P1) terdiri dari 5 ekor tikus yang diberi makan

pelet dan air minum serta MSG 12.4 mg/hari per oral menggunakan

sonde lambung sehari sekali selama 20 hari. Terminasi dilakukan pada

hari ke-21 untuk memperoleh jaringan testis kemudian dilakukan

pengamatan secara mikroskopik.

c. Kelompok kontrol II (K2) terdiri dari 5 ekor tikus yang diberi makan

pelet dan air minum selama 40 hari. Terminasi dilakukan pada hari ke-

41 untuk memperoleh jaringan testis kemudian dilakukan pengamatan

secara mikroskopik.

d. Kelompok perlakuan II (P2) terdiri dari 5 ekor tikus yang diberi

makan pelet dan air minum serta MSG 12.4 mg/hari per oral

menggunakan sonde lambung sehari sekali selama 40 hari. Terminasi

dilakukan pada hari ke-41 untuk memperoleh jaringan testis kemudian

dilakukan pengamatan secara mikroskopik.

32
4. Skema Perlakuan Terhadap Hewan Uji

a. Kelompok kontrol I (K1)

5 ekor tikus

Pelet dan air minum

STOP

1 20 21 Terminasi
Waktu perlakuan (hari)
Otopsi jaringan testis

Pembacaan histopatologik testis

Gambar 7.1. Skema perlakuan kelompok kontrol negatif 20 hari (K1).

b. Kelompok perlakuan I (P1)

5 ekor tikus

Pelet + air minum + MSG 12.4 mg/hari /oral

STOP

1 20 21 Terminasi
Waktu perlakuan (hari)
Otopsi jaringan testis

Pembacaan histopatologik testis

Gambar 7.2. Skema perlakuan kelompok perlakuan MSG 20 hari (P1).

33
c. Kelompok kontrol II (K2)

5 ekor tikus

Pelet dan air minum

STOP

1 40 41
Waktu perlakuan (hari)
Terminasi

Otopsi jaringan testis

Pembacaan histopatologik testis


Gambar 7.3. Skema perlakuan kelompok kontrol negatif 40 hari (K2).

d. Kelompok perlakuan II (P2)


5 ekor tikus

Pelet + air minum + MSG 12.4 mg/hari /oral

STOP

1 40 41
Waktu perlakuan (hari)
Terminasi

Otopsi jaringan testis

Pembacaan histopatologik testis


Gambar 7.4. Skema perlakuan kelompok perlakuan MSG 40 hari (P2).

34
5. Pengambilan Jaringan

1. Tikus diterminasi dengan cara memasukkannya ke dalam toples

berisi kapas yang telah diestesi eter sebanyak 2 ml. Toples kemudian

ditutup dan diamati sampai tingkat pembiusan yang dalam.

2. Setelah tikus tidak sadar, dilakukan pembedahan untuk memperoleh

jaringan testisnya.

3. Testis tikus yang telah diotopsi kemudian difiksasi dalam larutan

formalin 10%.

4. Tahap pemotongan, dilakukan dengan silet tajam. Pemotongan

dilakukan secara melintang dan memanjang pada testis.

5. Jaringan difiksasi kembali dalam larutan formalin 10% selama 1x24

jam.

6. Dehidrasi jaringan dengan merendam jaringan dalam alkohol

bertingkat: a) Alkohol 70% selama 1x3 jam; b) Alkohol 95% selama

2x3 jam; c) Alkohol 100% selama 2x2 jam.

7. Proses selanjutnya yaitu clearing dengan merendam jaringan dalam

xylol sebanyak 2x masing-masing 1 jam.

8. Infiltrasi dengan parafin cair yang titik leburnya 58oC dan suhu

parafin tidak melebihi 60oC selama ±12-18 jam.

9. Jaringan yang sudah diinfiltrasi dalam parafin, diletakkan pada

embedding plate kemudian dipanaskan sedikit di atas api Bunsen.

Dilakukan pencetakan, embedding plate disiram dengan dengan

parafin cair, ditutup dengan kaset kemudian didinginkan dilemari es.

35
Setelah itu jaringan dikeluarkan dari embedding plate sehingga

jaringan tertempel pada kaset.

10. Pemotongan dilakukan menggunakan mikrotom dengan pisau yang

tajam setebal 3 mikron.

11. Potongan-potongan jaringan tersebut dimasukkan ke dalam air yang

bersuhu ±45oC pada waterbach yang telah dipanaskan sehingga

potongan tersebut mengembang.

12. Potongan yang telah mengembang kemudian diletakkan secara hati-

hati pada object glass, kemudian dikeringkan dengan menggunakan

tissue dengan cara menekan pada bagian atasnya.

6. Pewarnaan Jaringan

Jaringan diwarnai menggunakan pewarnaan rutin Hematoxylin-

Eosin dengan cara sebagai berikut :

1. Deparafinisasi : celupkan dalam xylol selama 10 menit.

2. Rehidrasi : celupkan pada alkohol 95% selama 3 menit, alkohol 70%

selama 3 menit dan air selama 3 menit, kemudian ditiriskan.

3. Pewarnaan jaringan dilakukan melalui beberapa tahap yaitu :

a. Celupkan pada Hematoksilin Eosin Gill selama 3 menit.

b. Cuci dengan air mengalir selama 3 menit dan keringkan.

c. Celupkan dalam eosin fuksin selama 1 menit dan keringkan.

d. Cuci dalam alkohol 95% selama 3 menit dan keringkan.

e. Celupkan dalam xylol selama 5 menit.

36
4. Tetesi sedian dengan menggunakan perekat E-Z Mount dari

Shandon, lalu ditutup dengan deck glass dari arah satu sisi agar tidak

ada gelembung udara.

7. Pembacaan Jaringan

1. Sediaan diperiksa dibawah mikroskop dari pembesaran kecil sampai

besar (4x, 10x, 20x, 40x). Pengambilan foto dilakukan untuk bagian

yang perlu didokumentasikan.

2. Indikator-indikator yang dinilai meliputi:

a) Pengukuran diameter tubulus semineferus dengan menggunakan

mistar ukur (skala: mm) yang kemudian dikonversikan sesuai

skala pada mikroskop.

b) Pengamatan jumlah lapisan sel-sel spermatogenik, mulai dari

lapisan spermatogonium pada membran basalis, spermatosit,

spermatid dan hingga spermatozoon.

c) Penilaian kepadatan sel interstisial pada sediaan jaringan testis

secara kualitatif.

37
BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. GAMBARAN HISTOPATOLOGIK

1. Kelompok Kontrol I (K1)

Tikus wistar kelompok ini merupakan kontrol negatif selama 20

hari. Pada semua sediaan testis kelompok ini tampak tubulus semineferus

dengan susunan lapisan sel spermatogenik yang normal dan sesuai dengan

tingkat perkembangannya dari membran basalis ke arah lumen tubulus

yakni spermatogonia, spermatosit, spermatid hingga spermatozoon

(Gambar 8).

Gambar 8. Gambaran mikroskopik testis wistar kelompok kontrol negatif 20 hari (K1).
Tampak tubulus semineferus (A), susunan lapisan sel spermatogenik (B), dan sel
interstisial (C) yang normal. Pembesaran 10x10.

38
2. Kelompok Perlakuan I (P1)

Tikus wistar kelompok P1 diberikan MSG sesuai dosis konsumsi

rata-rata di Indonesia selama 20 hari, didapatkan sediaan testis yang

memperlihatkan ruang tubulus semineferus yang kosong, hanya tampak

spermatogonia pada membran basalis dan tidak terlihat perkembangan sel-

sel spermatogenik sesuai tingkatannya (Gambar 9.1). Kelompok ini jelas

memperlihatkan fokus-fokus tubulus semineferus yang mengalami atrofi.

Namun tidak semua tubulus semineferus pada sediaan testis kelompok ini

terlihat atrofi, masih ada tubulus semineferus yang berisi sel-sel

spermatogenik sesuai tingkat perkembangannya walaupun kepadatan sel-

selnya secara kualitatif berbeda dengan yang terlihat pada kontrol negatif

(Gambar 9.2). Jumlah sel interstisial pada kelompok ini terlihat lebih

sedikit dibandingkan dengan kontrol negatif.

D
A
B

Gambar 9.1. Gambaran mikroskopik testis wistar kelompok perlakuan I/P1 (diberikan
MSG selama 20 hari). Terlihat tubulus semineferus tanpa perkembangan sel-sel
spermatogenik (A) sehingga ruang tubulus tampak kosong (B), adanya lapisan
spermatogonia yang saling jarang pada membran basalis (C), dan jumlah sel interstisial
terlihat lebih sedikit daripada kontrol negatif (D). Pembesaran 10x10.

39
B
A

Gambar 9.2. Gambaran mikroskopik testis wistar kelompok perlakuan I/P1 (diberikan
MSG selama 20 hari). Terlihat fokus-fokus tubulus semineferus yang mengalami atrofi
(A), tampak pula adanya tubulus semineferus yang masih berisi sel-sel spermatogenik
namun kepadatannya tampak berbeda dengan kontrol negatif (B), dan jumlah sel
interstisial lebih sedikit (C) dari kontrol negatif. Pembesaran 10x10.

3. Kelompok Kontrol II (K2)

Tikus wistar kelompok ini merupakan kelompok kontrol negatif

untuk perlakuan 40 hari; didapatkan sediaan testis yang normal. Pada

sediaan ini tampak tubulus semineferus dengan susunan lapisan sel

spermatogenik yang normal. Sel spermatogenik tersusun berlapis sesuai

dengan tingkat perkembangannya dari membran basalis menuju ke arah

lumen tubulus yakni spermatogonia,spermatosit, spermatid hingga

spermatozoon (Gambar 10).

40
A
B

Gambar 10. Gambaran mikroskopik testis wistar Kelompok kontrol negatif 40 hari
(K2). Terlihat tubulus semineferus (A) dengan lapisan sel spermatogenik (B), dan sel
interstisial (C) yang normal. Pembesaran 10x10.

4. Kelompok Perlakuan II (P2)

Tikus wistar kelompok ini diberi MSG sesuai dosis konsumsi rata-

rata di Indonesia selama 40 hari. Pada sediaan ini didapatkan adanya

fokus-fokus tubulus yang kosong, tidak ada perkembangan sel-sel

spermatogenik di dalamnya (Gambar 11.1). Sediaan jaringan testis

kelompok ini tampak tak jauh berbeda dengan kelompok perlakuan II (P2),

namun didapatkan 1 sediaan testis memperlihatkan tubulus semineferus

tampak berisi sel-sel yang mengalami kalsifikasi (Gambar 11.2). Jumlah

sel interstisial juga tampak lebih sedikit dari kontrol negatif.

41
C

D
B
A

Gambar 11.1. Gambaran mikroskopik kelompok perlakuan MSG selama 40 hari (P2).
Terlihat fokus tubulus semineferus yang tampak kosong (A), terlihat hanya ada lapisan sel
spermatogonium saja pada membran basalis (B). Adanya tubulus semineferus yang berisi
sel-sel spermatogenik namun tampak longgar dan tidak teratur (C). jumlah sel interstisial
terlihat lebih sedikit dari kontrol negatif (D). Pembesaran 10x10.

A
B

Gambar 11.2. Gambaran mikroskopik testis wistar kelompok perlakuan MSG selama 40
hari (P2). Terlihat adanya fokus-fokus tubulus semineferus (A) yang berisi sel-sel
spermatogenik yang mengalami kalsifikasi (B,C). Pembesaran 10x10.

42
B. DIAMETER TUBULUS SEMINEFERUS

Pengukuran diameter tubulus semineferus didasarkan atas

penelitian sebelumnya oleh Wongkar (2014)35. Pengukuran diameter

tubulus semineferus dilakukan dengan cara mengukur jarak terpanjang dan

jarak terpendek dari tubulus semineferus yang bentuknya bulat atau

dianggap bulat menggunakan mistar (mm) pada sediaan jaringan testis

dengan pembesaran yang sama (10x10). Jumlah tubulus yang diukur

adalah 4 tubulus dari tiap-tiap sediaan jaringan testis kemudian dihitung

nilai rata-ratanya (Tabel 1 dan Gambar 12). Hasil pengukuran dalam skala

milimeter kemudian dikonversi ke dalam skala mikrometer dengan

berpatokan pada jarak kalibrasi mikroskop yakni 60 µm sama dengan 18

mm pada tampilan layar komputer. Jadi rumus untuk mencari diameter

tubulus semineferus adalah 60 µm dibagi 18 mm, dikali ukuran jarak

(mm).

Tabel 1. Hasil pengukuran diameter tubulus semineferus.

K1 P1 K2 P2

DIAMETER DIAMETER DIAMETER DIAMETER DIAMETER DIAMETER DIAMETER DIAMETER


TERJAUH TERDEKAT TERJAUH TERDEKAT TERJAUH TERDEKAT TERJAUH TERDEKAT
A-T1 184.8 145.2 132 132 198 181.5 165 82.5
T2 283.8 115 247.5 99 224.4 178.2 161.7 95.7
T3 247.5 115 148.5 99 214.5 198 132 95.7
T4 214.5 198 198 99 214.5 132 135.3 82.5
B-T1 237.6 118.8 115.5 148.5 165 221.1 148.5 82.5
T2 158.4 115 151.8 99 227.7 145.2 148.5 92.4
T3 224.4 155.5 132 148.5 198 148.5 112.2 99
T4 214.5 125.4 165 115.5 204.6 165 181.5 99
C-T1 250 132 115.5 99 198 148.5 115.5 99
T2 181.5 165 115.5 99 181.5 115.5 148.5 115.5
T3 247.5 138.6 132 82.5 188.1 132 141.9 115.5
T4 148.5 135.3 99 181.5 181.5 165 165 99
D-T1 273.9 168.5 132 148.5 264 132 115.5 99
T2 188 165 231 115.5 234.3 207.9 165 66
T3 247.5 171.6 181.5 99 240.9 145.2 99 89.1
T4 247.5 181.5 181.5 99 198 155.1 132 132
E-T1 224.4 165 132 99 247.5 132 99 66
T2 247.5 99 148.5 115.5 214.5 115.5 112.2 72.6
T3 198 112.2 138.6 102.3 198 115.5 122.1 82.5
T4 217.8 155.1 181.5 99 247.5 148.5 99 105.6
RATA-
RATA 182.8 133.9 183 114.2
Ket. : T = Tubulus semineferus, A=Tikus A, B=Tikus B, C= Tikus C, D=Tikus D, E=Tikus E

43
200 182.8 183 Rata-rata

Diameter tubulus semineferus (µm)


180
160
133.9
140
114.2
120
100
80
60
40
20
0
K1 P1 K2 P2

Kelompok hewan coba

Gambar 12. Grafik rata-rata diameter tubulus semineferus setiap kelompok percobaan.

Hasil pengukuran diameter tubulus semineferus menunjukkan

bahwa kelompok wistar yang diberi perlakuan MSG dengan dosis

konsumsi rata-rata di Indonesia selama 20 dan 40 hari memiliki diameter

tubulus semineferus yang relatif lebih rendah dari semua kelompok kontrol

negatif.

44
C. LAPISAN SEL SPERMATOGENIK

Pengamatan jumlah lapisan sel spermatogenik didasarkan atas

penelitian sebelumnya oleh Hargono (2013)36. Sel spermatogenik tersusun

berlapis sesuai tingkat perkembangannya dari membran basalis menuju ke

arah lumen tubulus yakni spermatogonia, spermatosit, spermatid sampai

spermatozoon. Pengamatan jumlah lapisan sel spermatogenik pada tubulus

semineferus secara melingkar pada 4 tubulus yang berdekatan dengan

menghitung jumlah lapisan sel spermatogenik tidak terputus kemudian

dihitung nilai rata-ratanya (Tabel 2).

Tabel 2. Hasil pengamatan jumlah lapisan sel spermatogenik setiap kelompok


percobaan.

K1 P1 K2 P2

A-T1 4 1 4 1
T2 4 1 4 1
T3 4 1 4 2
T4 3 3 4 2
B-T1 4 1 4 1
T2 4 1 4 1
T3 4 1 4 1
T4 4 1 4 1
C-T1 4 2 4 1
T2 4 2 4 3
T3 4 1 4 1
T4 4 1 4 1
D-T1 3 1 4 1
T2 3 2 4 3
T3 4 2 4 1
T4 4 2 4 2
E-T1 4 2 3 1
T2 4 2 4 3
T3 4 2 4 3
T4 4 1 4 1
RATA-RATA 3.85 1.5 3.95 1.55
Ket. : T = Tubulus semineferus, A=Tikus A, B=Tikus B, C= Tikus C, D=Tikus D, E=Tikus E

45
4.5 RATA-RATA

Jumlah lapisan sel spermatogenik


3.85 3.95
4
3.5
3
2.5
2 1.5 1.55
1.5
1
0.5
0
1 2 3 4

Kelompok hewan coba

Gambar 13. Grafik rata-rata jumlah lapisan sel spermatogenik setiap kelompok
percobaan.

Hasil pengamatan menunjukan bahwa semua kelompok kontrol

negatif memiliki sel-sel spermatogenik yang padat di dalam tubulus

semineferusnya, rata-rata jumlah lapisan spermatogenik semua kelompok

kontrol lebih banyak dibandingkan dengan kelompok wistar yang diberi

perlakuan MSG selama 20 dan 40 hari (Tabel 2, Gambar 13).

D. KEPADATAN SEL INTERSTISIAL

Pengamatan kepadatan sel interstisial dilakukan secara kualitatif

dengan cara melihat kumpulan sel interstisial yang berada diantara 3

sampai 4 tubulus semineferus dalam 4 lapang pandang dengan pembesaran

10x10 kemudian diinterpretasikan pada hasil gambaran mikroskopik

masing-masing kelompok. Hasil pengaamatan menunjukkan bahwa

kepadatan sel interstisial kelompok kontrol negatif terlihat jauh lebih padat

46
dibandingkan dengan kepadatan sel interstisial yang terlihat pada

kelompok yang diberi perlakuan (Gambar 8-Gambar 11.2).

47
BAB V

PEMBAHASAN

Pemberian MSG pada kelompok perlakuan sesuai dosis konsumsi rata-

rata di Indonesia selama 20 dan 40 hari diperoleh gambaran mikroskopik

sediaan testis tikus wistar yang berbeda dengan semua kelompok kontrol

negatif, yakni didapatkan diameter tubulus semineferus yang lebih kecil,

jumlah lapisan sel-sel spermatogenik yang lebih sedikit dan kepadatan sel

interstisial yang berkurang secara kualitatif. Mekanisme yang berperan dalam

hal di atas karena adanya efek neurotoksin yang ditimbulkan MSG pada

sistem Hipotalamus-Hipofisis-Gonad.37,38 Kemampuan MSG menimbulkan

kerusakan pada Nukleus Arkuata di hipotalamus yang menyebabkan

terjadinya penurunan hormon reproduksi. Nukleus arkuata memiliki neuron

yang mensekresikan gonadotropin releasing hormone (GnRH), karena terjadi

lesi pada daerah ini maka terjadi gangguan sekresi GnRH. Terganggunya

sekresi GnRH menyebabkan penurunan sekresi luteinizing hormone (LH) dan

follicle-stimulating hormone (FSH), kedua hormon ini sangat penting dalam

menjalankan fungsi normal testis dan proses spermatogenesis.

Gambaran mikroskopik hasil penelitian di atas sejalan dengan

Pakarainen (2006)39 dan Wang (2009)40 dimana proses spermatogenesis pada

mamalia sangat bergantung pada testosteron, oleh karena itu inhibisi hormon

testosteron akibat tidak adanya stimulus dari luteinizing hormone (LH) pada

kelompok yang diberi perlakuan MSG selama 20 hari (P1) dan 40 hari (P2)

terjadi hambatan dalam proses spermatogenesis. Hal ini menyebabkan


48
hambatan perkembangan sel-sel spermatogenik, hingga pada gambaran

mikroskopik kelompok P1 memperlihatkan tubulus semineferus dengan

susunan sel-sel spermatogenik yang berkurang dan tidak sesuai tingkat

perkembangannya (Gambar 9.1, Gambar 9.2). Pada kelompok P2

memperlihatkan sediaan testis dengan fokus-fokus tubulus semineferus yang

tak jauh berbeda dengan kelompok P1, namun pada kelompok ini didapatkan

satu sediaan testis yang memperlihatkan tubulus semineferus berisi sel-sel

spermatogenik yang mengalami kalsifikasi (Gambar 11.1,Gambar 11.2).

Hambatan pada perkembangan sel-sel spermatogenik memperlihatkan tubulus

semineferus yang mengalami atrofi, terlihat pada kelompok P1 dengan fokus-

fokus tubulus semineferus yang memberi gambaran lapisan sel-sel

spermatogenik yang lebih sedikit dari kelompok kontrol negatif (Gambar 9.1,

Gambar 9.2), begitupun pada tikus kelompok P2 memberi gambaran tubulus

semineferus dengan lapisan sel-sel spermatogenik yang longgar dan tidak

teratur (Gambar 11.1,Gambar 11.2). Adanya lapisan sel-sel spermatogenik ini

memberi dampak pada ukuran diameter tubulus semineferus, kelompok P1

dan P2 memiliki rata-rata diameter tubulus semineferus yang lebih kecil

diduga karena lapisan sel-sel spermatogeniknya lebih sedikit, bahkan terdapat

tubulus yang hanya memiliki satu lapisan sel spermatogenik pada membran

basalis. Dengan berkurangnya lapisan spermatogenik akibat penekanan pada

proses spermatogenesis, menyebabkan dorongan spermatozoa dari dalam

tubulus menjadi berkurang sehingga diameter tubulus semineferus juga

berkurang. Hal ini sejalan dengan penelitian Sugeng (2010)41 yang

menyatakan bahwa gangguan perkembangan spermatozoa mengakibatkan

49
penurunan pada diameter tubulus semineferus, dan menurut Anindita (2008)42

yang menyatakan bahwa peningkatan proses spermatogenesis dapat

meningkatkan diameter tubulus semineferus dan berat testis.

Jumlah sel interstisial yang lebih sedikit pada kelompok P1 dan

kelompok P2 dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif diduga terjadi

akibat degenerasi sel-sel interstisial melalui mekanisme apoptosis atau

kematian pada beberapa sel tanpa diikuti secara seimbang proses pembelahan

atau penambahan sel anak lagi. Hal ini disebabkan tidak adanya rangsangan

hormon gonadotropin terhadap sel interstisial, pada penelitian Suryadi

(2007)43 menyatakan bahwa terganggunya sistem pada axis hipotalamus-

hipofisis-gonad akan menyebabkan terjadinya penurunan sekresi hormon

gonadotropin, karenanya terjadi penurunan hormon LH dan FSH. Penurunan

LH tepatnya menyebabkan stimulasi terhadap sel interstisial (Leydig)

berkurang sehingga dapat menurunkan aktivitasnya dalam proses pembelahan

maupun dalam mensintesis hormon testosteron. Akibatnya, jumlah sel

interstisial menjadi lebih sedikit dan diameter intinya menjadi lebih kecil.

Menurut Alalwani (2014)3 dan Mohamed (2012)4 gambaran

histopatologik testis tikus wistar yang diberi MSG tidak hanya disebabkan

oleh mekanisme kerusakan yang disebabkan MSG melalui sistem

hipotalamus-hipofisis-gonad saja, melainkan ada dua mekanisme lainnya.

Mekanisme pertama, dipercaya bahwa testis merupakan organ target dari

MSG karena terdapat reseptor dan transporter glutamat pada sel-sel epitel

tubulus semineferus, namun bagaimana mekanisme kerusakan yang

ditimbulkan masih belum didapatkan bukti-bukti penelitian ilmiahnya.44,45

50
Mekanisme kedua, MSG menyebabkan terbentuknya radikal bebas yang

berlebih dan menimbukan stress oksidatif. Testis sebagai tempat

berlangsungnya spermatogenesis bersifat sangat rentan terhadap proses

oksidasi oleh radikal bebas. Radikal bebas ini akan menimbulkan gangguan

pada spermatogenesis dan membran spermatozoa. Membran sel

spermatogenik mengandung sejumlah besar asam lemak tak jenuh rantai

ganda. Bila radikal bebas yang terbentuk bertemu dengan asam lemak tak

jenuh ganda dalam membran sel, akan terjadi reaksi peroksidasi lipid dari

membran sel tersebut yang mengakibatkan peningkatan fluiditas membran,

gangguan integritas membran dan inaktifasi ikatan membran dengan enzim

dan reseptor. Hal ini akan menyebabkan peningkatan kerusakan sel termasuk

spermatozoa, penurunan jumlah spermatosit dan spermatid.46-50

Pada perlakuan selama 20 hari terlihat fokus-fokus tubulus

semineferus yang mengalami atrofi, namun juga terlihat beberapa tubulus

semineferus yang masih memiliki sel-sel spermatogenik didalamnya.

Walaupun begitu hal ini tentu mampu menyebabkan disfungsi seksual atau

infertilitas yang akan bermanifestasi secara klinis dengan oligozoospermia.

Penggunaan MSG di Indonesia per hari masih terhitung sangat rendah

dibandingkan di negara industri maupun negara maju, meskipun begitu dosis

konsumsi rata-rata di Indonesia ternyata dapat menimbulkan efek pada

gambaran histologik testis wistar. Dalam penelitian ini terdapat banyak

kekurangan antara lain dalam hal jumlah sampel, subjek penelitian, waktu

penelitian yang singkat (40 hari) dan tidak meneliti efek MSG pada berbagai

organ tubuh lain selain testis.

51
52
BAB VI

PENUTUP

A. SIMPULAN

Berdasarkan penelitian ini disimpulkan bahwa pemberian MSG

sesuai dosis konsumsi rata-rata di Indonesia selama 20 dan 40 hari

menunjukkan gambaran histopatologik testis tikus wistar (Rattus

norvegicus) yang hampir sama yaitu diameter tubulus semineferus yang

mengecil, jumlah lapisan sel-sel spermatogenik yang berkurang dan

kepadatan sel interstisial menurun.

B. SARAN

1. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan subjek

penelitian hewan coba lain.

2. Perlunya penambahan jumlah sample untuk penelitian agar dapat

dilakukan uji statistik.

3. Dibutuhkan waktu penelitian yang lebih lama untuk melihat lebih jauh

efek pemberian MSG terhadap gambaran histopatologik testis.

4. Perlunya pemeriksaan kadar hormon testosteron sebagai pemeriksaan

akurat terhadap fungsi dari sel-sel interstisial.

53
DAFTAR PUSTAKA

1. Septadina IS. Pengaruh monosodium glutamat terhadap sistem reproduksi


[makalah fungsional]. diseminarkan di Bagian Anatomi; 16 Januari 2014;
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
2. Walker R, Lupien J. The safety evaluation of monosodium glutamate. J
Nutr. 2000;130:1049S-52S.
3. Alalwani AD. Monosodium glutamate induced testicular lesions in rats
(histological study). Middle East Fertility Society Journal. 2014;19(4):274-
80.
4. Mohamed IK. The effect of oral dosage of monosodium glutamate applied
for short and long term on the histology and ultrastructure of testes of the
adult rats. Journal of Animal and Veterinary Advanced. 2012;11(1):124-
133.
5. International Glutamate Information Service. What is MSG?. 2016 [cited
2016 oct 30].
Available from: http://www.glutamate.org/English/faqs/faqs.html.
6. Departement of Food Science and Toxicology. IFIC review of
monosodium glutamate, examining the myths. May 1994 [cited 2016 sep
5].
Available from: http://extoxnet.orst.edu/faqs/additive/ificmsg.html.
7. Sukmaningsih AASA, Ermayanti IGAM, Wiratmini NI, Sudatri NW.
Gangguan spermatogenesis setelah pemberian monosodium glutamat pada
mencit. Jurnal Biologi. 2011;15(2):49-52.
8. Food and Drug Administration Backgrounder. FDA and monosodium
glutamate (MSG). 1995 Aug 31 [cited 2016 sept 5].
Available from: http://www.emagill.com/rants/fda_msg.pdf.
9. Madaniyah S, Lioe HN, Andarwulan N, Briawan D, Nuraida L. Free
glutamate intake from foods among adults: case study in bogor and jakarta.
Jurnal Mutu Pangan. 2014;1(2):100-109.
10. Ardyanto TD. MSG dan kesehatan: sejarah, efek dan kontroversinya.
INOVASI. 2004;1(XVI):52-6.
11. Geha R, Beiser A, Ren C, Patterson R, Grammer L, Ditto A, et al. Review
of allergic reaction to monosodium glutamate and outcome of a
multicenter double blind placebo-controlled study. J Nutr.
2001;130:1032S–8S.

54
12. Prawirohardjono W, Iwan D, Indwiani A, Soeliadi H, Erna K, Mustofa M,
et al. The administration to Indonesians of monosodium l-glutamate in
Indonesian foods : an assessment of adverse reactions in a randomized
double blind, crossover, placebo-controlled study. J Nutr. 2000;130:1074-
6.
13. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke-8. Jakarta:
EGC; 2014. h. 789-98.
14. Moore KL, Dalley AF. Anatomi berorientasi klinis. Edisi 5. Jakarta: EMS;
2013. h. 405-51.
15. Heffner J, Schust D. Sistem reproduksi. Edisi ke-2. Jakarta: Erlangga;
2006. h. 12-30.
16. Eroschenko VP. Atlas histologi di fiore. Edisi 11. Jakarta: EGC; 2010. h.
423-32.
17. Junqueira LC. Histologi dasar, teks dan atlas. Edisi ke-10. Jakarta: EGC;
2007. h. 415-30.
18. Gartner LP, Hiatt JL. Color textbook of histology. 3rd edition.
Philadelphia: Elseivier Saunder; 2007. p. 489-92.
19. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta:
EGC; 2007. h. 1246-9
20. Nalbandov AV. Fisiologi reproduksi pada mamalia dan unggas. Jakarta:
Universitas Indonesia (UI Press); 1990.
21. Rugh R. Its reproduction and development. The mouse. 1968. p. 1-23.
22. Hess RA, Franca LR. Spermatogenesis and cycle of the seminiferous
epithelium. Molecular Mechanisms in Spermatogenesis. Springer. 2009. h.
1-15.
23. Halpern BP. What's in a Name? Are MSG and Umami the Same?.
Chemical senses. 2002;27(9):845-6.
24. Giacometti T. Free and bound glutamate in natural products. In: Filer LJ,
Garattini S, Kare MR, Reynolds WA, Wurtman, RJ, editors. Glutamic
Acid:Advances in Biochemistry. New York: Raven Press;1979. p. 25 – 34.
Available from: http://jn.nutrition.org/cgi/content/full/130/4/892S.
25. Garattini S. Glutamic acid, twenty years later. The Journal of nutrition.
2000;130(4):901S-9S.
26. Stevenson DD. Monosodium glutamate and ashtma. J Nutr.
2000;130:1067S-1073S.
27. Danbolt NC. Glutamate uptake. Prog Neurobiol. 2001;65(1):1-105.

55
28. Lipovac MN, Holland T, Poleksic A, Killian C, Lajtha A. The possible
role of glutamate uptake in metaphitinducted seizures. Neurochem Res.
2003;28(5):723-31.
29. Suarez I, Bodega G, Fernandez B. Glutamine synthase in brain : effect of
ammonia. Neurochem Int. 2002;41(2-3):132-42.
30. Siregar JH. Pengaruh pemberian vitamin C terhadap jumlah sel Leydig dan
jumlah sperma mencit jantan dewasa yang dipapari monosodium
glutamate [thesis]. Universitas Sumatera Utara. 2009.
31. Setiati S. Radikal bebas, antioksidan, dan proses menua. Jurnal
Kedokteran dan Farmasi. 2003;6:366-369.
32. Halliwell B, Gutteridge JMC. Free radical in biology and medicine. 4th
edition. Oxford University Press: New York; 2000.
33. Iryani D, Soejono SK. Kadar testosteron darah dan gambaran histologik
sel-sel leydig tikus putih (rattus norvegicus) jantan dewasa setelah
pemberian monosodium glutamat peroral [dissertation]. Universitas
Gadjah Mada: 2003.
34. Nair AB, Jacob S. A simple practice guide for dose conversion between
animals and human. J Basic Clin Pharm. 2016;7(2):27-31.
35. Wongkar J. Efek pemberian anabolik steroid injeksi dosis rendah dan
tinggi terhadap gambaran morfologi testis wistar [skripsi]. Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi: 2014.
36. Hargono FR. Gambaran histopatologik testis mencit yang diberi kedelai
dan paparan dengan asap rokok [skripsi]. Fakultas Kedokteran Universitas
Sam Ratulangi: 2013.
37. Gong SL, Xia FQ, Wei J, Li XY, Sun TH, Lu Z, et al. Harmful effects of
MSG on function of hypothalamus–pituitary–target gland system. Biomed
Environ Sci. 1995;8:310–7.
38. Giovambattista A, Suescun M, Nessralla C, Franca L, Spinedi E, Calandra
R. Modulatory effects of leptin on leydig cell function of normal and
hyperleptinemic rats. Neuroendocrinology. 2003;78:270–9.
39. Pakarainen T, Zhang F, Makela S, Poutanen M, Huhtaniemi I.
Testosterone replacement therapy induces spermatogenesis and partially
restores fertility in luteinizing hormone receptor knockout mice.
Endocrinology. 2005;146:596–606.
40. Wang R, Yeh S, Tzeng C, Chang C. Androgen receptor roles in
spermatogenesis and fertility: lessons from testicular cell-specific
androgen receptor knockout mice. Endocrinol Rev. 2009;30:119–32.

56
41. Sugeng SI, Tiono H, Anandaputri VN. Pengaruh pasta tomat (Solanum
lycopersicum) terhadap diameter tubulus semineferus mencit (Mus
musculus) galur DDYyang terpajan asap rokok berfilter. Jurnal Kedokteran
Maranatha. 2010;10:47-54.
42. Anindita K, Sutyarso. Pengaruh pemberian vitamin C terhadap berat testis,
jumlah sel leydig, dan diameter tubulus semineferus mencit (Mus
musculus) jantan dewasa yang diinduksi monosodium glutamate [skripsi].
Universitas Lampung: 2008.
43. Suryadi E, Iryani D, Suryono SK. Perubahan sel-sel Leydig tikus putih
jantan dewasa setelah pemberian monosodium glutamat oral. Jurnal
Anatomi Indonesia. 2007;1:120-32.
44. Gill S, Mueller R, Mcguire P, Pulido O. Potential target sites in peripheral
tissues for excitatory neurotransmission and excitotoxicity. Toxicol Pathol.
2000;28:277–84.
45. Takarada T, Hinoi E, Balcar V, Taniura H, Yoneda Y. Possible expression
of functional glutamate transporters in the rat testis. J Endocrinol.
2004;181:233–44.
46. Nayanatara A, Vinodini N, Damadar G, Ahemed B, Ramaswamy C,
Shabarinath M, et al. Role of ascorbic acid in monosodium glutamate
mediated effect on testicular weight sperm morphology and sperm count in
rat testis. J Chin Clin Med. 2008;3:1–5.
47. Vinodini NA, Nayanatara A, Damodar G, Damodar B, Ramaswamy CR,
Shabarinath,et al. Effect of monosodium induced oxidative damage on rat
testis. J Clin Med. 2010;3:370–3.
48. Moreno G, Perello M, Gaillardand RC, Spine E. Orexin a stimulates
hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis function, but not food intake in
the absence of full hypothalamic NPYergic activity. Endocrine.
2005;26:99–106.
49. Farmobi E, Onyema O. Monosodium glutamate-induced oxidative damage
and genotoxicity in the rat modulatory role of vitamin C, vitamin E and
quercetin. Hum Exp Toxicol. 2006;25:251–9.
50. Pavlovic V, Kocic D, Sokolovic D, Jevtovic-Stoimenov. Effect of
monosodium glutamate on oxidative stress and apoptosis in rat thymus. J
Mol Cell Biochem. 2007;303:161–6.

57
LAMPIRAN

FOTO HASIL PENELITIAN SEDIAAN TESTIS WISTAR :

K1 P1

58
K2 P2

59
RIWAYAT HIDUP

Ririen Sylvia Sagita Bilondatu lahir di Gorontalo,

19 Desember 1995. Penulis beragama Islam. Saat ini

penulis bertempat tinggal di Perumahan Helsa Permai no.

A12, Kelurahan Malalayang II, Kecamatan Malalayang,

Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara. Ayah penulis

bernama Usman Male Bilondatu dan Ibu bernama Nurmin

Lestari Henok. Penulis mempunyai 2 orang kakak bernama Ronald Bilondatu dan

Reymond Bilondatu, dan mempunyai 2 orang adik bernama Rizky Bilondatu dan

Alfarezky Setyawan Usman. Pendidikan yang ditempuh penulis yaitu bersekolah

di TK Putra I dan tamat pada tahun 2001, kemudian melanjutkan pendidikan di

SDN 2 Tilamuta dan tamat pada tahun 2007. Penulis kemudian melanjutkan

pendidikan di SMPN 4 Tilamuta dan tamat pada tahun 2010. Setelah itu

melanjutkan pendidikan di SMAN 1 Tilamuta dan tamat pada tahun 2013. Penulis

melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi dan diterima di Fakultas

Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado tahun 2013 melalui jalur

SNMPTN dengan Nomor Induk Mahasiswa 13011101075. Penulis telah selesai

mengikuti KKT Angkatan Ke-112 Posko Bunia, Kecamatan Bintauna, Kabupaten

Bolaang Mongondow Utara.

60

Anda mungkin juga menyukai