Anda di halaman 1dari 112

ANALISIS KELEMBAGAAN SASI DALAM PENGELOLAAN

PERIKANAN TANGKAP DI KECAMATAN SERAM TIMUR

ABDULAH SOFYAUN

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP


DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Kelembagaan Sasi
dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap di Kecamatan Seram Timur adalah karya
saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari
atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di
bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2012

Abdulah Sofyaun

C44080091
ABSTRAK

ABDULAH SOFYAUN, C44080091. Analisis Kelembagaan Sasi dalam


Pengelolaan Perikanan Tangkap di Kecamatan Seram Timur. Dibimbing oleh
AKHMAD SOLIHIN dan DARMAWAN.

Kebijakan perikanan berdasarkan doktrin milik bersama telah menyebabkan


konflik antara masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan, sehingga
kearifan lokal perlu dikembangkan untuk mencegah konflik yang terjadi. Bentuk
kearifan lokal bagi masyarakat Maluku dikenal dengan istilah sasi. Sasi
merupakan bentuk pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat lokal.
Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan sejarah pengelolaan sasi di Kecamatan
Seram Timur khususnya Desa Keffing dan Desa Kway. Menganalisis sistem
kelembagaan sasi dalam pengelolaan perikanan di Desa Keffing dan Desa Kway.
Menganalisis penguatan kelembagaan sasi dalam mewujudkan pengelolaan
perikanan berkelanjutan di era otonomi daerah. Metode penelitian yang digunakan
yaitu metode triangulasi dengan jenis penelitian studi kasus. Metode pengambilan
sampel yang digunakan yaitu metode purposive sampling dan snowball sampling.
Analisis data yang digunakan yaitu analisis kualitatif, analisis komparatif, analisis
SWOT dan analisis QSPM. Hasil penelitian menunjukan bahwa sejarah sasi di
Desa Keffing dan Desa Kway telah ada sejak zaman dahulu sebagai komitmen
bersama para nenek moyang mereka untuk menjaga sumberdaya alam dan
lingkungan dimana mereka tinggal. Komitmen tersebut berdasarkan pemikiran
bahwa kehidupan nenek moyang sangat bergantung pada sumberdaya alam di
sekitar mereka, sehingga perlu mengatur agar tidak terjadi konflik dalam
pemanfaatan sumberdaya alam. Sistem kelembagaan sasi di Desa Keffing dan
Desa Kway berasal dari pengelompokan masyarakat berdasarkan faam atau marga
dan pengelompokan masyarakat soa. Penguatan terhadap kelembagaan sasi di
Desa Keffing dilakukan dengan cara melakukan diskusi antara kewang dengan
masyarakat. Sedangkan untuk Desa Kway penguatan dilakukan melalui diskusi
dengan masyarakat dan melakukan doa bersama sebagai penghormatan terhadap
leluhur mereka

Kata kunci: penguatan kelembagaan, pengelolaan perikanan, sasi, sistem


kelembagaan
ABSTRACT

ABDULAH SOFYAUN, C44080091. Institutional Analysis of Sasi in Capture


Fisheries Management in East Seram District. Supervised by AKHMAD
SOLIHIN and DARMAWAN.

Fisheries policy based doctrine on common property has led conflict between
societies in the utilization of marine resources, thus local wisdom need to be
developed to prevent conflicts. One of local wisdom of Maluku is known as sasi.
Sasi was a form of resources management based on local society. This research
aims to present the history of sasi management in East Seram District, especially
Keffing and Kway village. Analyze the institutional system of sasi in the fisheries
management in Keffing and Kway village. Analyze the strengthening institutional
system of sasi in order to create a sustainable fishery management in the era of
regional autonomy. Method used in this research was by using triangulation
method with study case research type. Sampling method used was purposive
sampling and snowball sampling method. Data analysis that used was qualitative
analysis, comparative analysis, SWOT analysis, and QSPM analysis. Result
showed that the history of sasi in Keffing and Kway village was existed since
ancient time, as a mutual commitment of the ancestors to preserve the
environment and natural resources where they lived. This commitment was based
on the thought of how the ancestors was very dependant to the natural resources
around them, thus a regulation was needed to prevent conflict in the utilization.
Institutional system of sasi in Keffing and Kway village was originated from the
society grouping based on faam or clan and society grouping based soa. The
strengthening of sasi institutional in Keffing village was done by doing discussion
between kewang and the society. While for the Kway Village, the strengthening
was done by doing discussion with the society and doin prayer together to honor
their ancestors.

Keywords: institution strengthening, fisheries management, sasi, institutional


system
© Hak Cipta IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar
IPB.

Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis


dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
ANALISIS KELEMBAGAAN SASI DALAM PENGELOLAAN
PERIKANAN TANGKAP DI KECAMATAN SERAM TIMUR

ABDULAH SOFYAUN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP


DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul Skripsi : Analisis Kelembagaan Sasi dalam Pengelolaan Perikanan
Tangkap di Kecamatan Seram Timur
Nama : Abdulah Sofyaun

NIM : C44080091

Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Akhmad Solihin, S.Pi, MH Dr. Ir. Darmawan, MAMA

NIP. 19790403 200701 1 001 NIP.19630306 198903 1 007

Diketahui

Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc.


NIP. 19621223 198703 1 001

Tanggal ujian: 09 November 2012 Tanggal lulus:


PRAKATA

Skripsi merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih dalam penelitian yang
dilaksanakan di Kecamatan Seram Timur pada bulan Februari 2012 ini adalah
Analisis Kelembagaan Sasi dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap di Kecamatan
Seram Timur.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:


1) Akhmad Solihin, S.Pi, MH dan Dr. Ir Darmawan, MAMA sebagai dosen
pembimbing yang telah memberikan banyak masukan untuk kelancaran
penulisan skripsi ini;
2) Bupati Kabupaten Seram Bagian Timur yang telah memberikan kepercayakan
kepada penulis untuk melanjutkan studi melalui program Beasiswa Utusan
Daerah (BUD) di Institut Pertanian Bogor. Kepala Adat Desa Keffing dan Desa
Kway yang telah memberikan banyak bantuan kepada penulis dalam proses
pengambilan data;
3) Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc. atas kesediaanya sebagai penguji dan Prof.
Dr. Ir Mulyono S. Baskoro M.Sc sebagai Komisi Pendidikan Departemen PSP
atas sarannya terhadap skripsi ini;
4) Kedua orang tua (Jabar Sofyaun dan Salawatia Kocal) serta keluarga, dan yang
telah memberikan motivasi, semangat dan doa dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini;
5) Teman-teman PSP 45, dan dan teman-teman Kos ABIMANYU (Abang
Jhusmy, Sidik, Alan dan Anca) yang membantu dalam penyelesaian penulisan
skripsi ini; dan
6) Pihak terkait yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, November 2012

Abdulah Sofyaun
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Tum, Kecamatan Werinama,


Kabupaten Seram Bagian Timur pada tanggal 23 Mei
1988 dari Bapak Djabar Sofyaun dan Ibu Salawatia
Kocal. Penulis merupakan putra kedua dari tiga
bersaudara.

Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Seram Timur pada tahun 2007. Pada Tahun yang
sama penulis diberi kesempatan melanjutkan pendidikan program sarjana di
Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) pada
Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Islam


(HMI) Cabang Bogor, Komisariat Perikanan dan Ilmu Kelautan pada tahun 2009.
Pada tahun 2012 penulis aktif di Organisasi Persatuan Mahasiswa Maluku
(PERMAMA) Bogor.

Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul “Analisis


Kelembagaan Sasi dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap di Kecamatan Seram
Timur” dibawah bimbingan Akhmad Solihin, S.Pi, MH dan Dr. Ir Darmawan,
MAMA untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi
Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan.
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii


DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiv
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 4
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 6
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Kelembagaan ............................................................................. 7
2.1.1 Ciri-ciri Kelembagaan ................................................................... 8
2.1.2 Tugas dan Wewenang Lembaga Adat ........................................... 10
2.2 Hukum adat .............................................................................................. 11
2.3 Sasi .......................................................................................................... 14
2.3.1 Definisi sasi ................................................................................... 14
2.3.2 Sejarah sasi ..................................................................................... 15
2.3.3 Peranan sasi .................................................................................. 17
2.4 Pengelolaan Perikanan Tangkap ............................................................... 17
2.4.1 Definisi Perikanan Tangkap ........................................................... 17
2.4.2 Pengelolaan Perikanan ................................................................... 18
1) Pengelolaan sentralistis ............................................................... 19
2) Pengelolaan berbasis masyarakat ................................................ 19
3) Ko-manajemen ............................................................................ 20
2.5 Dasar Hukum ............................................................................................. 23
2.5.1 Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan .................. 23
2.5.2 Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau- pulau Kecil ........................................... 23
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................. 25
3.2 Metode Penelitian ..................................................................................... 25

3.3 Metode Pengambilan Sampel ................................................................... 26


3.4 Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 26
3.5 Analisis Data ............................................................................................ 27
3.5.1 Analisis kualitatif .......................................................................... 27
3.5.2 Analisis kelembagaan...................................................................... 27
3.5.3 Analisis SWOT .............................................................................. 28
3.5.4 Analisis matriks perencanaan strategi kualitatif ............................. 32
4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Letak Geografis ......................................................................................... 34
4.2 Kependudukan............................................................................................ 37
4.3 Keadaan Umum Perikanan Tangkap .......................................................... 37
4.3.1 Perkembangan produksi dan nilai produksi ..................................... 37
4.3.2 Perkembangan alat penangkapan ikan ............................................. 38
4.3.3 Perkembangan armada penangkapan ikan ....................................... 38
4.3.4 Perkembangan rumah tangga perikanan .......................................... 38
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Sistem Kelembagaan Sasi ......................................................................... 39
5.1.1 Sasi Desa Keffing ............................................................................. 42
1) Batas pengelolaan wilayah ........................................................... 46
2) Sistem aturan ................................................................................ 46
3) Sistem sanksi ................................................................................ 49
4) Legalitas ........................................................................................ 50
5) Otoritas sasi ................................................................................. 51
5.1.2 Sasi Desa Kway ................................................................................ 51
1) Batas pengelolaan wilayah ........................................................... 54
2) Sistem aturan ................................................................................ 55
3) Sistem sanksi ................................................................................ 57
4) Legalitas ........................................................................................ 58
5) Otoritas sasi ................................................................................. 59
5.2 Penguatan Kelembagaan Sasi ................................................................... 60
5.2.1 Kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam
kelembagaan sasi ............................................................................. 61
1) Identifikasi tingkat pengelolaan dan masalah dalam
kelembagaan sasi di Desa Keffing ............................................... 61
2) Identifikasi tingkat pengelolaan dan masalah dalam
kelembagaan sasi di Desa Kway ................................................. 66
5.2.2 Matriks IFES dan EFES ................................................................... 71
5.2.3 Matriks perencanaan strategi kualitatif ............................................ 80
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan.............................................................................................. 86
6.2 Saran ......................................................................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 88
LAMPIRAN ................................................................................................... 92
DAFTAR TABEL

Halaman

1 Faktor internal dan eksternal ......................................................................... 29


2 Faktor strategi internal .................................................................................. 30
3 Faktor strategi eksternal ................................................................................ 31
4 Tabel SWOT ................................................................................................. 32
5 Faktor penunjang produksi perikanan .......................................................... 37
6 Produksi perikanan berdasarkan wilayah perairan ……………………... 37
7 Sistem kekerabatan masyarakat Desa Keffing dan Desa Kway
berdasarkan faam/marga dan persekutuan teritorial geneologis (soa) ........ 39
8 Fungsi dan tanggungjawab steakholder pada sistem pemerintahan adat
di Desa Keffing dan Desa Kway .................................................................. 41
9 Sanksi dan denda kelembagaan sasi di Desa Keffing ................................... 49
10 Sanksi dan denda kelembagaan sasi di Desa Kway ...................................... 57
11 Perbandingan sistem kelembagaan sasi di Desa Keffing dan
Desa Kway ................................................................................................... 60
12 Matriks internal factor evaluation di Desa Keffing ...................................... 71
13 Matriks eksternal factor evaluation di Desa Keffing .................................... 72
14 Matriks SWOT kelembagaan sasi di Desa Keffing ...................................... 74
15 Matriks internal factor evaluation di Desa Kway ....................................... 76
16 Matriks eksternal factor evaluation di Desa Kway ...................................... 77
17 Matriks SWOT kelembagaan sasi di Desa Kway ......................................... 78
18 Matrik QSPM kelembagaan sasi di Desa Keffing ....................................... 80
19 Matrik QSPM kelembagaan sasi di Desa Kway .......................................... 83
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Prinsip-prinsip desain hak ulayat .............................................................. 13
2 Latar belakang kearifan lokal ..................................................................... ... 16
3 Peta lokasi penelitian ..................................................................................... 25
4 Diagram analisis SWOT ............................................................................... 28
5 Pulau Geser, Kecamatan Seram Timur ......................................................... 34
6 Desa Keffing, Kecamatan Seram Timur ....................................................... 35
7 Desa Kway, Kecamatan Seram Timur .......................................................... 36
8 Aliran Komunikasi dalam kelembagaan sasi di Desa Keffing dan
Desa Kway ..................................................................................................... 40
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Produksi perikanan berdasarkan jenis ikan ................................................ 93
2 Jumlah rumah tangga perikanan................................................................. 93
3 Jumlah armada penangkapan ikan ............................................................. 94
4 Jumlah alat penangkapan ikan ................................................................... 95
5 Nilai produksi perikanan per Kecamatan .................................................. 96
1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Implementasi otonomi daerah di wilayah laut merupakan bagian dari proses
penciptaan demokrasi dan keadilan ekonomi di daerah. Hal ini dituangkan dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
digantikan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yang intinya mengatur
tentang kewenangan pemerintah pusat dan daerah di wilayah laut yakni 12 mil
untuk daerah provinsi dan 4 mil kabupaten/kota, serta mengakui keberadaan nilai-
nilai lokal yang terdapat diberbagai pelosok daerah pesisir. Meskipun otonomi
daerah menimbulkan kontroversi dikalangan para ahli lingkungan, termasuk
kekhawatiran terjadinya kerusakan di lingkungan kelautan dan perikanan, namun
kegiatan perikanan yang bertanggung jawab (responsible fisheries) dapat
diwujudkan dalam nuansa sistem pemerintahan yang terdesentralisasi. Keyakinan
tersebut dilandasi oleh adanya kearifan lokal yang mengatur tentang pengelolaan
perikanan di wilayah pesisir. Menurut Solihin (2002) pemberlakuan aturan lokal
dalam pengelolaan perikanan dapat meminimalkan berbagai konflik yang
sebelumnya kerap terjadi. Pertama, hilangnya konflik internal antara masyarakat
nelayan lokal yang disebabkan oleh pelanggaran zona tangkapan. Kedua,
berkurangnya konflik antara nelayan lokal dan luar yang menggunakan alat
tangkap yang sifatnya merusak seperti potasium sianida, dinamit dan bahan
beracun lainnya.
Secara historis aturan adat (pranata sosial) ini tersebar luas di beberapa
wilayah pesisir Indonesia, seperti di Nanggroe Aceh Darussalam (Panglima Laot),
Lampung (Rumpon), Bali dan Lombok (Awig-awig), Maluku (Sasi), dan beberapa
di kawasan Indonesia Timur, seperti Sulawesi dan Papua dinamakan Hak Ulayat
Laut (HUL). Latar belakang berdirinya hukum adat dilandasi oleh dua faktor
antara lain; pertama, adanya masyarakat yang mendiami wilayah tersebut.
Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur
(secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai,
ideologi, ekonomi, politik, budaya dan wilayah sendiri (Sarasehan Masyarakat
Adat Nusantara 1999). Pemahaman tentang masyarakat dalam hukum adat sangat
dibutuhkan untuk melihat peran serta masyarakat dalam penerapan aturan hukum
adat, serta mengetahui apakah peraturan yang dibuat oleh hukum adat dapat
diterima seluruh masyarakat atau hanya sekelompok orang yang
mengatasnamakan seluruh masyarakat yang mendiami wilayah tersebut.
Keterlibatan masyarakat dalam hukum adat sangat dibutuhkan untuk menjaga
keberlangsungan hukum adat agar tetap eksis dalam pengelolaan sumberdaya
alam. Selain itu, keberadaan masyarakat dapat menjadi salah satu kekuatan bagi
hukum adat untuk menerapkan peraturan serta sanksi yang tegas kepada
masyarakat yang melanggar.
Kedua, adanya pengakuan dari Pemerintah terhadap kearifan lokal dalam
mengelola sumberdaya perikanan secara tradisional. Perubahan paradigma
pembangunan nasional melalui kebijakan pengelolaan perikanan berbasis otonomi
daerah memberikan ruang bagi hukum adat untuk mengelola sumberdaya
perikanan secara tradisional. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 18 Undang-
undang No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pengusahaan perairan
pesisir atau PWP3 dapat diberikan kepada; (a) orang perseorangan warga negara
Indonesia; (b) badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau
(c) masyarakat adat. Hal ini dimaksud agar dihargainya hak masyarakat adat/lokal
dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil seperti Sasi,
Mane’e, Panglima laot dan Awig-awig, serta memberikan ruang bagi masyarakat
untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Selain itu, perhatian
terhadap hak-hak kepemilikan (property rights) dalam sistem pengelolaan
perikanan di perairan umum dan kajian pola interaksi antar pemangku
kepentingan (stakeholders) di wilayah tersebut, serta dampaknya terhadap
komunitas rumah tangga perikanan sudah saatnya menjadi perhatian. Kemudian
tatanan kelembagaan sosial tradisional yang hidup di lingkungan masyarakat
perikanan bisa dikembangkan dan diakui keberadaannya dalam sistem hukum dan
aturan-aturan (rules) sistem pengelolaan wilayah perairan umum (Suhana 2008).
Dasar pemikiran masyarakat tentang hukum adat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, salah satu diantaranya yaitu demografi penduduk. Hal tersebut dilihat dari
kondisi masyarakat yang mendiami sutau wilayah, dimana pada awalnya
masyarakat menyebar secara homogen namun seiring dengan perkembangan
zaman kondisi masyarakat menjadi heterogen. Perubahan pola hidup masyarakat
dari homogen menjadi heterogen akan mempengaruhi tingkat pengetahuan
masyarakat terhadap nilai-nilai lokal yang berlaku sejak nenek moyang di zaman
dahulu. Hal tersebut terjadi akibat pengaruh budaya dari masyarakat luar yang
mendiami wilayah tersebut menyebabkan pemahaman masyarakat tentang
kearifan lokal perlahan-lahan menjadi berkurang. Hal mendasar yang perlu
dipahami dalam hukum adat yaitu apakah nenek moyang pada zaman dahulu
membentuk hukum adat berdasarkan pemikiran tentang konservasi atau hanya
untuk optimasi pemanfaatan sumberdaya alam dalam mencukupi kebutuhan hidup
mereka.
Proses adaptasi masyarakat nelayan terhadap lingkungan sekitar
mengakibatkan kajian hak ulayat laut hanya dikaitkan dengan permasalahan di
seputar aspek ekologi. Padahal praktek hak ulayat laut berkaitan juga dengan
proses dalam dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya dan teknologi. Sehingga
untuk memahami konsep hak ulayat laut secara utuh dengan masalah yang begitu
kompleks harus dikaji secara menyeluruh (Wahyono et al 2000).
Untuk mengatasi kerusakan sumberdaya kelautan dan perikanan, maka
penguatan lembaga adat/kearifan lokal di Indonesia harus menjadi perhatian
utama dalam membuat rancangan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan
dan perikanan yang berkelanjutan. Hadirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 yang digantikan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 membawa
perubahan sistem pemerintahan Indonesia dari sistem pemerintahan sentralistis
menjadi desentralisasi, sehingga membuka peluang untuk menciptakan
pembangunan berkelanjutan dengan cara merevitalisasi kearifan lokal yang ada.
Hal ini dikarenakan terbukanya pintu partisipasi masyarakat dalam menyusun
suatu rancangan kebijakan hingga pengawasan pelaksanaan (Solihin 2004).
Upaya mengatur akses pemanfaatan sumberdaya perikanan di Seram Timur
diatur berdasarkan kesepakatan masyarakat adat secara bersama. Akses memanen
atau mengambil hasil perikanan laut diatur dan disepakati bersama oleh
masyarakat mengandung unsur–unsur larangan mengambil hasil perikanan laut
pada jangka waktu tertentu. Maksud pengaturan tersebut adalah agar pemanenan
hasil perikanan laut dilakukan pada waktu yang tepat. Bentuk aturan ini bagi
masyarakat Maluku dikenal dengan istilah adat sasi (Wattimena dan Papilaya
2005). Menurut Novaczek dan Harkes (1998), daerah laut yang diatur oleh sasi
memiliki kondisi ekologi yang lebih baik dibandingkan dengan daerah laut yang
tidak di-sasi (seperti kondisi terumbu karang yang rusak). Oleh sebab itu,
keberadaan kearifan lokal diharapkan mampu mewujudkan pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan.

1.2 Rumusan masalah


Kebijakan perikanan di Seram Timur didasarkan pada doktrin milik bersama
seperti tidak adanya batasan siapa, kapan, dimana dan bagaimana kegiatan
penangkapan ikan yang seharusnya dilakukan telah menyebabkan wilayah
perairan di Seram Timur, Kabupaten Seram Bagian Timur menjadi ajang bagi
pihak tertentu untuk berloma-lomba memanfaatkan sumberdaya perikanan tanpa
adanya batasan sehingga dapat mengancam keberlangsungan ekologi sumberdaya
perikanan di wilayah pesisir Seram Timur.
Kurangnya fungsi kontrol Pemerintah Seram Timur terhadap wilayah
pesisir, dimanfaatkan oleh nelayan luar untuk mengeksploitasi sumberdaya
perikanan secara berlebihan sehingga menimbulkan konflik antara nelayan lokal
dan nelayan luar. Konflik tersebut terjadi akibat perebutan zona tangkapan. Hal ini
disebabkan oleh ketidakjelasan Pemerintah Daerah Seram BagianTimur dalam
pembagian zona tangkapan baik untuk wilayah adat, nelayan lokal sehingga
adanya kecemburuan sosial antara nelayan lokal dan nelayan luar yang berhujung
pada konflik. Konflik di wilayah pesisir terjadi akibat posisi nelayan lokal sangat
lemah dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan, karena hanya menggunakan
alat tangkap tradisional. Sedangkan nelayan luar dilengkapi dengan peralatan
penangkapan ikan yang lebih moderen dibandingkan masyarakat lokal.
Akibat dari ketidakjelasan tersebut, pengelolaan perikanan tangkap di
Kecamatan Seram Timur dinilai gagal memberikan sanksi hukum kepada nelayan
luar (asing) yang telah melakukan eksploitasi sumberdaya perikanan secara
berlebihan tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan dari sumberdaya itu
sendiri. Selain itu gagal dalam memberikan perlindungan hukum khususnya
kepada para nelayan lokal di daerah pesisir maupun bagi sumberdaya perikanan
itu sendiri. Sehingga sistem penguatan terhadap lembaga adat sangat penting
untuk dilakukan dengan harapan dapat memberikan perlindungan terhadap
pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayah pesisir Seram Timur. Penguatan
perlu dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki pengetahuan masyarakat lokal
tentang pengelolaan sumberdaya perikanan yang mengendepankan aspek
berkelanjutan dari sumberdaya tersebut. Untuk dapat melakukan penguatan
tersebut, maka perlu diketahui bagaimana sistem pengelolaan sasi yang ada. Oleh
sebab itu penelitian dengan satuan kasus ”Analisis Kelembagaan Sasi dalam
Pengelolaan Perikanan Tangkap di Kecamatan Seram Timur” diharapkan dapat
menjadi solusi bagi masyarakat pesisir Seram Timur untuk mengelola sumberdaya
perikanan secara tradisional dengan pengetahuan lokal yang dimiliki tanpa
campur tangan pihak luar.
Berdasarkan uraian permasalahan diatas, maka pertanyaan penelitian yang akan
dikaji dalam penelitian ini yaitu:
1) Bagaimana sejarah pengelolaan sasi di Kecamatan Seram Timur khususnya
Desa Keffing dan Desa Kway;
2) Bagaimana sistem kelembagaan sasi dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan di wilayah Desa Keffing dan Desa Kway Kecamatan Seram Timur;
dan
3) Bagaimana sistem penguatan terhadap lembaga adat sasi dalam pengelolaan
sumberdaya ikan di Desa Keffing dan Desa Kway Kecamatan Seram Timur.

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk:
1) Identifikasi dan deskripsi sejarah pengelolaan sasi di Kecamatan Seram
Timur khususnya Desa Keffing dan Desa Kway;
2) Menganalisis sistem kelembagaan sasi dalam pengelolaan perikanan di
Kecamatan Seram Timur khususnya Desa Keffing dan Desa Kway; dan
3) Merumuskan strategi penguatan kelembagaan sasi dalam mewujudkan
pengelolaan perikanan berkelanjutan di era otonomi daerah.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1) Memberikan informasi tentang sejarah pengelolaan sasi, sistem pengelolaan
sasi dan sistem penguatan kelembagaan sasi dalam mengatur pemanfaatan
sumberdaya perikanan di Kecamatan Seram Timur; dan
2) Masukan bagi pihak terkait mengenai pentingnya kelembagaan sasi dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan, serta upaya membangun peran serta
masyarakat dalam perlindungan dan pelestarian sumberdaya perikanan yang
berkelanjutan di daerah pesisir.
2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kelembagaan


Kelembagaan secara umum merupakan aturan formal (hukum, kontrak,
sistem politik, organisasi, pasar dan lain-lain) serta informal (norma, tradisi,
sistem nilai, agama dan tren sosial) yang memfasilitasi kordinasi dan hubungan
antar individu maupun kelompok (Kherallah dan Kirsten 2001). Kelembagaan
merupakan aturan didalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi.
Kelembagaan memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka
dengan harapan setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan
yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan. Ostrom (1985),
mengartikan kelembagaan sebagai aturan dan rambu – rambu sebagai panduan
yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur
hubungan yang saling mengikat. Penataan kelembagaan dapat ditentukan
beberapa unsur yaitu: aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan
sumberdaya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakkan hukum atau aturan
itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan
kewenangan organisasi. North (1990), mengartikan kelembagaan sebagai aturan
main dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh faktor – faktor
ekonomi, sosial dan politik. Menurut Uphoff (1986), kelembagaan merupakan
suatu himpunan atau tatanan norma – norma dan tingkah laku yang berlaku dalam
suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai
bersama.
Menurut Schmid dan Pakpahan (1989), kelembagaan adalah seperangkat
ketentuan yang mengatur hubungan antar orang yang mendefinisihkan hak -hak
mereka. Kelembagaan berhubungan dengan hak – hak orang lain, hak – hak
istimewah yang diberikan, serta tanggung jawab yang mereka lakukan.
Kelembagaan juga dapat diartikan sebagai instrumen yang mengatur hubungan
antar orang atau kelompok masyarakat melalui hak dan kewajiban dalam
kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya. Kelembagaan mempunyai peran
penting dalam masyarakat untuk mengurangi ketidakpastian dengan menyusun
struktur yang stabil bagi hubungan manusia. Kelembagaan merupakan gugus
kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan
aktifitasnya.

2.1.1 Ciri – Ciri Kelembagaan


Suatu kelembagaan dicirikan oleh tiga kompenon utama yaitu; (1) hak – hak
kepemilikan (property rights) berupa hak atas benda, materi maupun non materi;
(2) batas yurisdiksi (jurisdictional boundary); dan (3) aturan representasi ( rules of
representation) (Shaffer dan Schmid dalam Pakpahan 1989). Dengan demikian
perubahan kelembagaan dicirikan oleh perubahan satu atau lebih unsur – unsur
kelembagaan.
Hak – hak kepemilikan (property rights) mengandung pengertian tentang
hak dan kewajiban yang didefinisikan dan diatur oleh hukum adat dan tradisi atau
konsensus yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dalam hal
kepentingannya terhadap sumberdaya, situasi atau kondisi. Pernyataan terhadap
hak milik memerlukan pengesahan dari masyarakat dimana ia berada. Implikasi
dari hal tersebut adalah; (i) hak seseorang adalah kewajiban orang lain; (ii) hak
yang dicerminkan oleh kepemilikan (owner ship) adalah sumber kekuatan untuk
akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Property rights individu atas suatu asset
terdiri atas hak atau kekuasaan untuk mengkonsumsi, mendapatkan dan
melakukan hak – haknya atas asset (Barzel dalam Basuni 2003).
Batas yurisdiksi (jurisdictional boundary) menentukan siapa dan apa yang
tercakup dalam suatu masyarakat. Konsep batas yurisdiksi berarti batas wilayah
kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau mengandung
makna kedua – duanya sehingga mengandung makna bagaimana batas yurisdiksi
berperan dalam mengatur lokasi sumberdaya. Perubahan batas yurisdiksi di
pengaruhi oleh empat faktor antara lain:
1) Perasaan sebagai suatu masyarakat (sense of community). Perasaan sebagai
suatu masyarakat menentukan siapa yang termasuk dalam masyarakat dan yang
tidak. Hal ini berkaitan dengan konsep jarak sosial yang menentukan komitmen
yang dimiliki oleh suatu masyarakat terhadap suatu kebijaksanaan;
2) Eksternalitas, merupakan dampak yang diterima pihak tertentu akibat tindakan
pihak lain. Perubahan atas batas yurisdiksi akan merubah struktur eksternalitas
yang akhirnya merubah siapa menanggung apa;
3) Homogenitas, berkaitan dengan preferensi masyarakat yang merefleksikan
permintaan terhadap barang dan jasa; dan
4) Skala ekonomi, menunjukan situasi dimana biaya per satuan terus menurun
apabila output di tingkatkan. Batas yurisdiksi yang sesuai akan menghasilkan
ongkos per satuan yang lebih rendah di bandingkan dengan alternatif
batas yurisdiksi lainnya.
Aturan representasi (rules of representation) merupakan perangkat aturan
yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan organisasi. Proses
pengambilan keputasan dalam organisasi, terdapat dua jenis ongkos yang
mendasari keputusan yaitu; (i) ongkos membuat keputusan sebagai produk dari
partisipasi dalam membuat keputusan; dan (ii) ongkos eksternal yang ditanggung
oleh seseorang atau sebuah organisasi sebagai akibat keputusan organisasi
tersebut. Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam
proses pengambilan keputusan. Konsep ini menentukan jenis keputusan yang
dibuat, sehingga aturan representasi menentukan alokasi dan distribusi
sumberdaya.
Menurut Gillin dan Gilin (1954) dalam Sugianto (2002), ciri-ciri umum
suatu lembaga sosial yaitu:
1) Lembaga sosial merupakan tradisi tertulis dan tidak tertulis yang merumuskan
tujuan, tata tertib dan lain-lain;
2) Lembaga sosial merupakan suatu pola- pola pemikiran dan perikelakuan yang
terwujud melaui aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya;
3) Lembaga sosial merupakan suatu tingkatan kekekalan tertentu, umunya lama
dan melalui proses yang panjang;
4) Setiap lembaga sosial memiliki satu atau beberapa tujuan;
5) Setiapa lembaga sosial mempunyai alat atau perlengkapan yang digunakan
untuk mencapai tujuan tersebut; dan
6) Setiap lembaga sosial mempunyai lambang, simbol yang khas yang
menggambarakan fungsi dan tujuan.
Secara empiris lembaga sosial (local) yang berkembang di masyarakat dapat
bersifat formal dan informal. Ciri-ciri lembaga sosial formal yang bersifat formal
yaitu terbentuk atas campur tangan pihak luar (pemerintah), ada dasar hukum
untuk membentuk lembaga secara legal, pengurus dipilih atas pertimbangan
kebutuhan dan masa kepengurusannya jelas, struktur bersifat formal dan mudah
dipengaruhi oleh pihak luar. Ciri-ciri lembaga yang bersifat informal adalah
terbentuk atas kehendak masyarakat yang bersangkutan, manajemennya lemah,
dinamika aktifitas tidak teratur, terbentuk atas norma dan nilai yang
dikembangkan atas dasar trust, pengurus dipilih lembaga bersifat monoton, dan
menolak campur tangan pihak luar (Sugianto 2002).

2.1.2 Tugas dan Wewenang Lembaga Adat


Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 3 Tahun
1997 tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan
Lembaga Adat,bahwa tugas lembaga adat yaitu:
1) Menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada pemerintah serta
menyelesaikan perselisihan yang menyangkut hukum adat, adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat;
2) Memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat dan
kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya daerah serta
memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan, pelaksanaan
pembagunan dan pembinaan masyarakat; dan
3) Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta objektif antara
kepala adat/pemangku adat/tetua adat dan pimpinan atau pemuka adat dengan
aparat pemerintah di daerah.
Hak dan wewenang lembaga adat tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri (Permendagri) No.3 Tahun 1997, Pasal 6 angka 1 tentang hak dan
wewenang lembaga adat yaitu:
1) Mewakili masyarakat adat ke luar yakni dalam hal menyangkut kepentingan
dan mempengaruhi adat;
2) Mengelola hak-hak adat dan/atau harta kekayaan adat untuk meningkatkan
kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah hidup yang lebih layak dan lebih
baik; dan
3) Menyelesaikan perselisihan menyangkut perkara adat istiadat dan kebiasaan-
kebiasaan masyarakat sepanjang penyelesaian itu tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.2 Hukum Adat
Menurut Wignjodipoero (1967) adat adalah pencerminan daripada
kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan jiwa bangsa yang
bersangkutan dari abad ke-abad dan adat adalah endapan kesusilaan dalam
masyarakat bahwa kaidah-kaidah adat berupa kaidah kesusilaan yang
kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu. Sedangkan
Soekanto (2001) berpendapat bahwa hukum adat merupakan bagian dari adat
istiadat, maka dapat dikatakan bahwa hukum adat merupakan konkritisasi
daripada kesadaran hukum, khusus pada masyarakat dengan struktur sosial dan
kebudayaan sederhanan.
Wignjodipoero (1967) mengutip pengertian tentang hukum adat dari
beberapa pakar hukum, yaitu:
1) Prof. Dr. Supomo, SH: Hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis di alam
peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang
meskipun tidak ditetapkan oleh orang yang berwajib, tapi ditaati dan didukung
oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan tersebut
mempunyai kekuatan hokum;
2) Dr. Sukanto: Hukum adat sebagai kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak
dikitabkan, tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai sangksi, dan
mempunyai akibat hukum;
3) Mr. J.H.P. Bellefroid: Hukum adat sebagai peraturan hidup meskipun tidak
diundangkan oleh penguasa tetapi tetapi masih dihormati dan ditaati oleh
rakyat dengan keyakinan bahwa peratutan tersebut berlaku sebagai hukum;
4) Mr. B. Terhaar Bzn: Hukum adat sebagai keseluruhan peraturan yang
menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti
luas) yang mempunyai wibawa, serta pengaruh dan dalam pelaksanaannya
berlaku serta-merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati. Fungsionaris
meliputi : Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif).
Hukum adat memiliki dua unsur yaitu; (1) unsur kenyataan, bahwa adat itu
dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat; dan (2) unsur psikologis,
bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, artinya adat mempunyai kekuatan
hukum (Wignjodipoero 1967). Oleh karena itu, unsur inilah yang menghubungkan
adanya kewajiban hukum (opinioyuris necessitates). Wignjodipoero (1967),
menjelaskan bahwa didalam kehidupan masyarakat hukum adat, umumnya
terdapat tiga bentuk hukum adat, yaitu:
1) Hukum yang tidak tertulis (jus non scriptum) merupakan bagian yang
terbesar;
2) Hukum yang tertulis (jus scriptum) hanya sebagian kecil saja, misalnya
peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh raja-raja atau sultan;
3) Uraian dalam hukum secara tertulis lazimnya uraian ini adalah suatu hasil
penelitian yang dibukukan.
Menurut Depatemen Kelautan dan Perikanan (2001) mengartikan hak ulayat
sebagai kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum
adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para
warganya untuk mengambil dari sumberdaya alam, termasuk tanah dalam wilayah
tersebut bagi kelangsungan hidupnya dan kehidupan yang timbul dari kehidupan
secara lahiriah dan batiniah, terun-temurun, serta tidak terputus antara masyarakat
hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Hak ulayat laut (HUL) mempunyai variabel-variabel pokok dalam
kajiannya, yaitu (Wahyono et al 2000):
1) Wilayah
Pengaturan di wilayah laut tidak terbatas pada pembatasan luas wilayah, tetapi
juga ekslusivitas wilayah, sumberdaya laut, teknologi yang digunakan, tingkat
eksploitasi dan batasan-batasan yang bersifat temporal;
2) Unit sosial pemilik hak (right holding unit)
Unit pemegang hak (right holding unit) beragam mulai dari sifatnya yang
individual, kelompok, kekerabatan, komunitas desa hingga negara; dan
3) Legalitas (legality) beserta pelaksanaannya (enforcement)
Dasar hukum mengenai berlakunya hak ulayat laut berupa aturan tertulis dan
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan masyarakat (tidak menurut hukum
formal), seperti sistem kepercayaan.
Sementara sebagai aturan lokal, hak ulayat laut dalam bahasa inggris yaitu
see tenure merupakan seperangkat aturan atau praktik pengelolaan manajemen
wilayah laut dan sumberdaya yang terkandung didalamnya.perangkat aturan hak
ulayat laut ini menyangkut siapa yang memiliki hak atas suatu wilayah, jenis
sumberdaya yang boleh ditangkap dan teknik mengeksploitasi sumberdaya yang
diperbolehkan sesuai dengan sumberdaya yang ada diwilayah laut (Wahyono et al
2000). Dengan demikian, hak ulayat laut tidak hanya bermakna “hak bersama”,
melainkan semua esensi pada “otonomi” dan “kedaulatan” dari persekutuan
(politik) hidup yang bersangkutan atas suatu teritorial (wilayah) tertentu (Fauzi
2000). Prinsip-prinsip desain hak ulayat menurut Ruddle (1993), dapat dilihat
pada (Gambar 1) berikut:

6 main types exist:


Secular leader
Religious leader
Authority Right holder
Leadership Community elders
Elected committec
Hilred administrators
S
Sanctions e
c
Rights u
4 main kinds:
Social DESIGN l
Main kinds: a
Economic PRINCIPLES r
Physical Primary (or birthright)
Secondary
Supernatural l
Exclusion
Sharing e
Tranfer and loan a
Nested (right within rights) d
Monitoring e
Rules r
Accountability
& Enforcement R
Main kinds are those to define: e
Monitors Sea territory of community l
Enforcers Eligibility of entrants i
Inter-community access g
Use behavior i
o
u
s
Gambar 1 Prinsip-prinsip desain hak ulayat
l
e
Prinsip-prinsip desain hak ulayat menurut Ruddle (1993), yaitu: a
d
1) Otoritas atau kepemimpinan (authority or leadership); sistem manajemen e
sumberdaya alam berbasis masyarakat telah ada sebelumnya, memiliki fungsi r
R
kontrol dan kewenangan secara tradisional yang bervariasi sesuai dengan i
g
organisasi sosial; h
t

h
o
l
d
e
r
2) Hak (rights); sistem manajemen pemanfaatan sumberdaya diatur berdasarkan
hak milik atas pemanfaatan sumberda alam. Klaim terhadap sumberdaya
dilindungi oleh praktek hukum adat. Hak-hak tersebut mendefinisihkan
penggunaan yang sah dipandang secara eksklusif untuk menentukan siapa
yang berhak atas wilayah dan sumberdaya tersebut;
3) Aturan (rules); menentukan bagaimana hak kepemilikan diatur dan tindakan
yang diperlukan serta dilarang untuk memanfaatkan sumberdaya alam pada
waktu tertentu;
4) Pemantauan (monitoring); pemantauan dilakukan untuk melihat tingkat
kepatuhan masyarakat terhadap aturan yang ditetapkan dan menjatuhkan
sanksi pada pelanggar; dan
5) Sanksi (sanction); sanksi diberikan kepada yang melanggar atau mengabaikan
aturan lokal yang mengatur tentang pemanfaatan sumberdaya alam.

2.3 Sasi
2.3.1 Definisi sasi
Sasi merupakan bentuk aturan pengelolan sumberdaya alam berbasis
masyarakat yang telah dilakukan oleh masyarakat pedesaan di Maluku. Sasi
merupakan kearifan tradisional yang hadir dalam sosok peraturan adat yang
mempertahankan nilai-nilai lama dalam menjaga kelestarian lingkungan yang
sudah berkembang sejak abad XVII. Istilah sasi berasal dari kata sanksi (witness)
mengandung pengertian tentang larangan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu
tanpa izin dalam jangka waktu tertentu, yang secara ekonomis bermanfaat bagi
masyarakat (Biley and Zerner 1992). Sedangkan menurut Kissya (1993) sasi
adalah larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya
pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati.
Sasi sebenarnya tidak tergolong kepada katagori kata yang mempunyai
watak larangan atau suruhan yang bersifat langgeng dan menetap, namun istilah
tersebut hanya menekankan pada suatu larangan yang temporal (Fadlun 2006).
Dengan demikian sasi memiliki dimensi temporal dan lambang (atribut) yang
bersama-sama membuat institusi sasi mengikat.
Menurut Pattinama dan Pattipelony (2003), sasi merupakan tradisi
masyarakat yang memiliki nilai hukum yang substantif yaitu larangan untuk tidak
mengambil hasil laut maupun hasil hutan sampai pada waktu tertentu. Sasi dapat
memiliki nilai hukum, karena memiliki norma dan aturan yang berhubungan
dengan cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat yang memuat unsur etika dan
norma. Nilai-nilai hukum yang substansial dalam sistem sasi sebagai inti dari
hukum adat tersebut sebagai berikut; (a) penggunaan hak seseorang secara tepat
menurut waktu yang ditentukan; (b) mencegah timbulnya sengketa antara sesama
negeri; (c) pemeliharaan dan pelestarian alam demi peningkatan kesejahteraan
bersama; (d) kewajiban untuk memanjakan hasil laut dan darat; dan (e)
mengurangi timbulnya kejahatan berupa pencurian sumberdaya alam.

2.3.2 Sejarah sasi


Menurut sejarahnya sasi di Maluku telah ada sejak dahulu kala (sejak abad
XVII) dan merupakan komitmen bersama baik oleh masyarakat maupun tokoh
adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Hal ini didasarkan atas kesadaran bahwa
tanpa lingkungan mereka tidak dapat hidup dengan layak, sehingga sasi harus
dipertahankan dari generasi ke generasi berikutnya. Dalam pemeliharaan
sumberdaya alam terdapat aturan-aturan yang berlaku baik secara tertulis maupun
tidak tertulis, yang dikenal dengan “ Hukum Sasi”. Hukum sasi adalah suatu
sistem hukum lokal yang berisikan larangan dan keharusan untuk mengambil
potensi sumberdaya alam untuk jangka waktu tertentu (Pattinama dan Pattipelony
2003).
Menurut Wahyono (2000), masyarakat Maluku mempunyai kearifan lokal
dalam mengelola sumberdaya alam agar memberikan manfaat secara
berkesinambungan (sustainable) bagi seluruh masyarakat sekitarnya. Semua
kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya alam, baik darat maupun laut saling
terkait yang diatur dalam hukum adat. Sasi diberlakukan karena sumberdaya alam
di pulau-pulau kecil sangat terbatas, sementara kebutuhan anggota masyarakat
terus meningkat. Jadi dapat dikatakan bahwa antara jumlah penduduk dengan
ketersediaan sumberdaya alam tidak seimbang, sehingga lahirlah pemikiran
bahwa sumberdaya alam yang terbatas tersebut harus dikelola secara arif dan
bijaksana demi kepentingan bersama. Tujuan utama menata sasi adalah untuk
menjaga keseimbangan antara alam, manusia dan dunia spiritual, dimana
pelanggaran atas pelaksanaan sasi akan memperoleh sanksi berdasarka dunia
spiritual dan sanksi masyarakat (Lakollo 1988).
Ketentuan hukum adat tentang sasi memuat tiga hal. Pertama adalah sasi
memuat unsur larangan memanfaatkan sumberdaya alam dalam jangka waktu
untuk memberi kesempatam kepada flora dan fauna untuk memperbaharui
dirinya, memelihara mutu dan memperbanyak populasi sumberdaya alam tersebut.
Kedua, ketentuan sasi tidak hanya mencakup lingkungan alam tetapi juga
lingkungan sosial dan lingkungan buatan manusia. Ketiga, ketentuan sasi ini di
tentukan oleh masyarakat pendiri dari bawah, atas prakarsa masyarakat sendiri
(Kissya 1993).

 Kepercayaan spiritual
Kehidupan masyarakat
 Perilaku masyarakat yang teratur dan menjaga
ketersedian sumberdaya
 Pertambahan penduduk

Gambar 2 Latar Belakang Kearifan lokal (sasi)


Pelaksanaan sasi diawali oleh lembaga kewang yang merupakan lembaga
adat yang terdiri atas perwakilan masing-masing soa. Lembaga adat dipimpin oleh
seorang kepala kewang yang diangkat menurut warisan dari datuk-datuk
berdasarkan keturunan. Para kewang inilah yang berkewajiban mengamankan
peraturan-peraturan sasi, mengadakan rapat sasi dan menjatuhkan sanksi kepada
masyarakat yang melanggar.
Pelaksanaan sasi dimulai dengan dilakukannya rapat kewang untuk
menentukan sumberdaya alam yang akan disasi. Lewat rapat kewang ditetapkan
sumberdaya atau wilayah yang tertutup dari kegiatan eksploitasi, hal ini disebut
dengan istilah tutup sasi. Artinya, selama tutup sasi tak diperkenankan
seorangpun untuk mengambil atau merusak habitat sumberdaya itu, sampai waktu
yang kemudian diperbolehkan kembali (masa buka sasi). Hasil rapat kewang
kemudian disampaikan kepada semua penduduk negeri, lengkap dengan peraturan
dan sanksinya bagi yang melanggar. Hal ini selalu dilakukan untuk tetap
mengingatkan masyarakat tentang budaya sasi dan setelah itu, tanda sasi
dipasang. Umumnya tanda tersebut berupa janur yang pemasangannya
disesuaikan dengan jenis sumberdaya yang disasi (Pattinama dan Pattipelony
2003).

2.3.3 Peranan sasi


Peranan sasi adalah sebagai wadah pengamanan terhadap sumberdaya alam
dan lingkungan, mendidik dan membentuk sikap serta perilaku masyarakat yang
merupakan upaya untuk memelihara tata krama hidup bermasyarakat termasuk
upaya pemerataan dan pembagian pendapatan dari sumberdaya alam kepada
seluruh masyarakat. Oleh karena itu sasi mempunyai peran sebagai nilai budaya
masyarakat, maka perlu menjaga kelestarian. Selain itu kelembagaan sasi juga
memiliki peran untuk memberikan kesempatan kepada mahluk hidup (sumber
daya alam) terntu untuk memperbaharui dirinya dan berkembang biak,
memelihara mutu dan memperbanyak populasi sumberdaya alam tersebut
Pattinama dan Patipelony 2003).
Batasan lain yang secara eksplisit yang memuat konsep pelestarian tentang
keberadaan lembaga adat sasi adalah seperti yang dikemukakan oleh Kissya
(1993) bahwa sasi pada hakekatnya merupakan suatu upaya untuk memelihara
tata krama hidup bermasyarakat, termasuk upayah kearah pemerataan pembagian
atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga atau
penduduk setempat. Untuk itu keberadaan sasi sangat membantu masyarakat
untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya yang ada wilayah pesisir secara
optimal agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir.

2.4 Pengelolaan Perikanan Tangkap


2.4.1 Definisi Perikanan Tangkap
Menurut Undang-undang No. 45 Tahun 2009 merupakan perubahan atas
Undang-undang No. 31 Tahun 2004 menyebutkan bahwa perikanan adalah semua
kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan
dan lingkungan mulai dari pra-produksi, produksi, pengelolaan sampai dengan
pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
Menurut Monintja (1989) menjelaskan bahwa komponen utama perikanan
tangkap adalah unit penangkapan ikan, terdiri dari: (1) perahu atau kapal; (2) alat
tangkap; dan (3) nelayan. Menurut Diniah (2008) mengemukakan bahwa
perikanan tangkap merupakan suatu kegiatan ekonomi dalam memanfaatkan
sumberdaya alam, khususnya penangkapan dan pengumpulan berbagai jenis biota
yang ada di lingkungan perairan. Dalam pelaksanaan kegiatan di bidang
penangkapan, dihadapkan pada karakteristik khusus yang tidak di miliki oleh
sistem eksploitasi sumberdaya pertanian lainnya. Beberapa karakteristik khusus
tersebut yaitu: (1) sumberdaya pada umumnya tidak terlihat (invisible); (2)
merupakan milik bersama (common property); (3) eksploitasisumberdaya
memiliki resiko yang sangat tinggi (high risk); dan (4) produk sangat mudah rusak
( higly perishable).
Karakteristik - karakteristik tersebut memyebabkan sulitnya pemanfaatan
sumberdaya ikan dibandingkan dengan sumberdaya lainnya. Perangkat ilmu
perikanan sangat dibutuhkan untuk memungkinkan pemanfaatan sumberya
tersebut meliputi aspek-aspek biologi, teknologi sosial, dan ekonomi (Monintja
1989).

2.4.2 Pengelolaan Perikanan


Pengelolaan perikanan berkaitan dengan tugas yang kompleks bertujuan
untuk menjamin adanya hasil dari sumberdaya alam yang optimal bagi
masyarakat di daerah dan negara yang diperoleh melaui pemanfaatan sumberdaya
perikanan secara berkelanjutan. Praktek open acces yang selama ini berjalan,
banyak menimbulkan masalah yaitu kerusakan sumberdaya hayati laut,
pencemaran, over-exploitation dan konflik antar nelayan. Hal ini diakibatkan
ketidakpastian pemilikan atas sumberdaya, serta tidak ada batasan siapa, kapan,
dimana, dan bagaimana kegiatan perikanan dilakukan (Satria 2001). Upaya untuk
mengelola sumberdaya perikanan sangat penting untuk dilakukan dalam
mengantisipasi terjadinya masalah-masalah, baik ekologi maupun sosial ekonomi
di wilayah pesisir dan laut sangat penting untuk dilakukan.
Berdasarkan Undang – undang No. 45 Tahun 2009 perubahan atas Undang –
undang No. 31 Tahun 2004 menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan adalah
semua upaya termasuk proses yang berintergrasi dalam pengumpulan informasi,
analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan
implementsi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan dibidang
perikanan yang dikelolah oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk
kelangsungan produktivitas hayati dan tujuan yang telah ditetapkan. Pengelolaan
sumberdaya perikanan untuk tiap masing-masing daerah berbeda, sehingga untuk
membuat suatu kebijakan atau memilih model pengelolaaan sumberdaya
perikanan harsu melihat kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat
setempat. Artinya, setiap kebijakan yang akan ditetapkan dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan tersebut tudak bias di generalisasi pada semua daerah. Hal
ini dikarenakan heterogennya budaya masyarakat Indonesia, kondisi geografis dan
karakteristik sumberdaya (Anggraini 2002).

1) Pengelolaan Sentralistis
Menurut Nikijuluw (2002), pengelolaan sentralistis (Government
Centralized Management) adalah rezim pengelolaan sumberdaya dengan
pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan wewenang dalam memanfaatkan
sumberdaya, sehingga pemerintah mempunyai hak akses, hak memanfaatkan, hak
mengatur, hak ekslusif dan hak mengalihkan. Model pengelolaan sentralistis
berlangsung sejak era orde lama hingga orde baru. Implikasi dari model ini adalah
munculnya berbagai konflik yang sangat kompleks di masyarakat. Hal ini
dikarenakan model ini bersifat top-down, sehingga menempatkan masyarakat
nelayan sebagai objek sasaran kebijakan, akibatnya masyarakat kurang peduli
terhadap kebijakan yang dibuat. Selain itu, model ini mengabaikan pluralisme
hukum yang berlaku sudah lama di masyarakat, seperti hak ulayat laut yang ada di
beberapa daerah masyarakat pesisir (Dahuri 1999).
Selain itu Fathullah (2000), mengemukakan bahwa akibat dari sentralistik
aturan hukum dan pemonopolian aparat penegak hukum adalah terciptanya krisis
kepercayaan terhadap hukum formal oleh masyarakat. Hal ini di karenakan sikap
pemerintah pusat yang melupakan nilai dan harga diri masyarakat adat atau
daerah. Selain itu, pembangkangan terhadap hukum formal di sebabkan oleh
lemahnya penegakan hukum dan mahalnya biaya pengawasan dalam pelaksanaan
suatu aturan hukum serta terjadinya praktek-praktek kolusi antara oknum aparat
dengan nelayan dalam melakukan praktek penangkapan ikan secara illegal.
2) Pengelolaan Berbasis Masyarakat
Pengelolaan perikanan berbasis masyarakat merupakan suatu proses
pemberian wewenang, tanggungjawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk
mengelola sumberdaya perikanannya sendiri dengan memperhatikan kebutuhan,
keinginan, tujuan dan aspirasinya (Nikijuluw 2000). Dengan model ini,
masyarakat ikut bertanggung jawab dalam menjalankan kebijakan pengelolaan
sumberdaya perikanan karena masyarakat dilibatkan dalam pembuatan
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi. Partispasi masyarakat
tersebut merupakan wujud kepentingan terhadap kelangsungan sumberdaya
perianan sebagai mata pencaharian hidup sehari-hari (Satria 2002b).
Dengan demikian pengelolaan perikanan berbasis masyarakat lebih efektif
dan efisien karena proses pengambilan keputusan dilakukan oleh masyarakat
lokal, sehingga dapat mengakomodir setiap aspirasi masyarakat serta pembuat
kebijakan lebih memahami kondisi daerahnya (Satria 2002a). Kelemahan dari
model ini adalah tidak mampu mengatasi masalah-masalah diluar komunitas,
berlaku hanya pada daerah tertentu, sangat rentan terhadap perubahan-perubahan
eksternal, sulit mencapai skala ekonomi tingginya biaya institusionalisasinya.
Pengelolaan perikanan berbasis masyarakat dapat dibentuk melalui
(Nikijuluw 2002):
(1) Pemerintah beserta masyarakat mengakui praktek-praktek pengelolaan
sumberdaya perikanan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat secara
turun temurun dan merupakan adat atau budaya yang dianut selam ini;
(2) Pemerintah dan masyarakat kembali atau merevitalisasi adat dan budaya
masyarakat dalam mengelola perikanan; dan
(3) Pemerintah memeberikan tanggungjawab dan wewenang sepenuhnya kepada
masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.

3) Ko-Manajemen
Menurut Nikijuluw (2002), Ko-manajemen perikanan adalah rezim
derivative yang dari rezim pengelolaan sumberdaya perikanan yang berbasis
masyarakat (PSPBM) dan rezim pengelolaan sumberdaya perikanan oleh
pemerintah. Ko-manajemen perikanan dapat didefinisikan sebagai pembagian atau
pendistribusian tanggungjawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat
lokal dalam mengelola sumberdaya perikanan.
Ditegaskan pula oleh Carter (1996) bahwa sesungguhnya konsep
pengelolaan sumberdaya alam yang berakar pada masyarakat (CBM) memiliki
beberapa dimensi positif yaitu (1) mampu mendorong pemerataan (equity) dalam
pengelolaan sumberdaya alam; (2) mampu merefleksikan kebutuhan-kebutuhan
masyarakat lokal yang spesifik; (3) mampu meningkatkan manfaat lokal bagi
seluruh anggota masyarakat yang ada; (4) mampu meningkatkan efisiensi secara
ekonomi maupun teknis; (5) responsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial
dan lingkungan lokal; (6) mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen; dan (7)
masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan. Pomeroy and
Williams (1994) menyatakan bahwa penerapan Co-Management akan berbeda-
beda dan tergantung pada kondisi spesifik lokasi, maka Co-management
hendaknya tidak dipandang sebagai strategi tunggal untuk menyelesaikan seluruh
problem dari pengelolaan perikanan atau sumberdaya. Tetapi lebih dipandang
sebagai alternatif pengelolaan yang sesuai untuk situasi dan lokasi tertentu.
Beberapa kunci kesuksesan dari model Co-Management menurut (Pomeroy and
Williams 1994) adalah sebagai berikut:
(1) Batas-batas wilayah yang jelas terdefinisi; Batas-batas fisik dari suatu
kawasan yang akan dikelola harus dapat ditetapkan dan diketahui secara
pasti oleh masyarakat. Dalam hal ini, peranan pemerintah daerah dalam
menentukan zoning dan sekaligus melegalisasinya menjadi sangat penting.
Batas-batas wilayah tersebut harus berdasarkan pada sebuah ekosistem
sehingga sumberdaya alam tersebut dapat lebih mudah untuk diamati dan
dipahami;

(2) Kejelasan keanggotaan; Segenap pelaku atau rumahtangga masyarakat


yang berhak memanfaatkan sumberdaya alam di sebuah kawasan dan
berpartisipasi dalam pengelolaan daerah tersebut harus dapat diketahui dan
didefinisikan dengan jelas. Jumlah rumahtangga tersebut tidak boleh terlalu
banyak sehingga proses komunikasi dan musyawarah yang dilakukan
menjadi lebih efektif;
(3) Keterikatan dalam kelompok; Kelompok masyarakat yang terlibat
hendaknya tinggal secara tetap di dekat wilayah pengelolaan. Dalam
konteks ini, maka kebersamaan masyarakat akan kelihatan baik dalam hal
etnik, agama, persamaan alat penangkapan dan lain-lain;

(4) Manfaat harus lebih besar dari biaya; Setiap individu masyarakat di
sebuah kawasan pengelolaan mempunyai harapan bahwa manfaat yang
diperoleh dari partisipasi mereka dalam Co-Management akan lebih besar
dibanding biaya yang dikeluarkan;

(5) Pengelolaan yang sederhana; Dalam model Co-Management, salah satu


kunci kesuksesan adalah penerapan peraturan pengelolaan yang sederhana
dan tidak birokratis. Proses monitoring dan penegakan hukum dapat
dilakukan oleh masyarakat sendiri;

(6) Legalisasi dari pengelolaan; Masyarakat lokal yang terlibat dalam


pengelolaan membutuhkan pengakuan legal dari Pemerintah Daerah,
sehingga hak dan kewajibannya dapat terdefinisikan dengan jelas dan secara
hukum terlindungi;

(7) Kerjasama dan kepemimpinan dalam masyarakat; Kunci sukses yang


lain adalah adanya individu maupun sebuah kelompok inti yang bersedia
melakukan upaya semaksimal mungkin demi berjalannya proses Co-
Management ini. Upaya tersebut termasuk adanya kepemimpinan yang
diterima oleh semua pihak khususnya di dalam kalangan masyarakat lokal
tersebut;

(8) Desentralisasi dan pendelegasian wewenang; Pemerintah Daerah sebagai


bagian dari tripatriat pengelolaan dengan model Co-Management ini perlu
memberikan desentralisasi proses administrasi dan pendelegasian tanggung
jawab pengelolaan kepada kelompok masyarakat yang terlibat; dan

(9) Koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat; Sebuah lembaga


koordinasi (badan koordinasi pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
berbasis pada masyarakat) yang berada di luar kelompok masyarakat yang
terlibat dan beranggotakan wakil dari masyarakat lokal dan wakil
pemerintah merupakan hal yang penting pula dibentuk dalam rangka
memonitor penyusunan pengelolaan lokal dan pemecahan konflik.
Tujuan utama Ko-manajemen adalah pengelolaan perikanan yang lebih
tepat, efisien, adil dan merata. Tujuan sekundernya adalah (1) mewujudkan
pembangunan berbasis masyarakat; (2) mewujudkan proses pengambilan
keputusan secara desentralisasi, sehingga dapat memberikan hasil yang lebih
efektif, dan (3) sebagai mekanisme untuk mencapai visi dan tujuan nelayan lokal
serta mengurangi konflik antar nelayan melalui proses demokrasi partisipatif.

2.5 Dasar Hukum


2.5.1 Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Aturan mengenai pengelolaan perikanan secara umum maupun pengelolaan
perikanan berbasis kearifan lokal diatur dalam Bab IV, Pasal 6 ayat (1) Undang –
undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan menyebutkan bahwa “pengelolaan perikanan
dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk
tercapainya manfaat hasil yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya
kelestarian sumberdaya ikan”. Dalam Pasal 6 ayat (2), ditambahkan bahwa
pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan
ikan harus mempertimbangkan hukum adat atau kearifan lokal serta
memperhatikan peran masyarakat dalam pengelolaan perikanan”.
Kegiatan perikanan yang bertanggung jawab merupakan bentuk pengelolaan
perikanan yang mengendepankan aspek lingkungan dan kelestarian sumberdaya
alam serta memberi ruang kepada hukum adat/kearifan lokal untuk mengelola
sumberdaya alam secara tradisional sehingga dapat meminimalisir kerusakan
sumberdaya perikanan dan ekologi di wilayah pesisir. Selain itu, membagun peran
serta masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam pengelolaan perikanan serta
perlindungan terhadap sumberdaya alam di wilayah pesisir sesuai dengan amanat
Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 2004.
2.5.2 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Berdasarkan Pasal 1 angka 18 Undang-undang No. 27 Tahun 2007 bahwa
hak pengusahaan perairan pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas
bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan,
serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-
pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan
permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. Sedangkan dalam Pasal 18
Undang-undang No. 27 Tahun 2007 bahwa HP-3 dapat diberikan kepada; (a)
orang perseorangan warga negara Indonesia; (b) badan hukum yang didirikan
berdasarkan hokum Indonesia; atau (c) masyarakat adat. Hal ini dimaksud agar
dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan
pulau-pulau kecil seperti Sasi, Mane’e, Panglima laot dan Awig-awig, serta
memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan
sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Berdasarkan Pasal 21 angka 4 Undang-undang No 27 Tahun 2007 bahwa
pemegang HP-3 mempunyai kewajiban untuk; (a) memberdayakan masyarakat
sekitar lokasi kegiatan; (b) mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak
adat/masyarakat lokal; (c) memperhatikan hak masyarakat untuk mendapat akses
ke sempadan pantai dan muara sungai; dan (d) melakukan rehabilitasi terhadap
sumberdaya yang mengalami kerusakan di lokasi HP-3.
3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012. Tempat
penelitian dan pengumpulan data dilakukan pada dua tempat yaitu Desa Keffing
dan Desa Kway, Kecamatan Seram Timur, Kabupaten Seram Bagian Timur,
Provinsi Maluku. Lokasi penelitian dapat dilihat pada (gambar 3) berikut:

Gambar 3 Peta lokasi penelitian di Kecamatan Seram Timur

3.2 Metode Penelitian


Metode penelitian yang digunakan yaitu metode triangulasi dengan jenis
penelitian studi kasus. Metode triangulasi adalah kombinasi tiga metode yaitu
pengamatan, wawancara dan analisis dokumen (Sitorus 1998). Kelebihan dari
metode ini adalah saling menutupi kelemahan antara satu metode dengan metode
lainnya, sehingga hasil yang diharapkan lebih valid. Sebagai satuan kasusnya
adalah “Peran lembaga adat sasi dalam pengelolaan perikanan tangkap di
Kecamatan Seram timur, Kabupaten Seram Bagian Timur”. Tujuan studi kasus
adalah memberikan gambaran tentang latar belakang, sifat-sifat dan karakter dari
suatu keadaan yang ada pada waktu penelitian dilakukan. Pada pendekatan ini,
peneliti akan mengambarkan tentang sejarah sasi, sistem pengelolaan sasi dan
sistem penguatan kelembagaan sasi di Desa Keffing dan Desa Kway

3.3 Metode Pengambilan Sampel


Informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini berasal dari berbagai
elemen, yaitu tokoh adat dan masyarakat yang mampu berkomunikasi dengan baik
serta dinas perikanan daerah setempat. Metode pengambilan sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode purposive sampling dan snowball
sampling. Metode purposive sampling yaitu metode pengambilan sampel yang
belum diketahui jumlah responden, sehingga penentuan responden ditentukan
secara subjektif oleh peneliti sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun dengan
metode snowball sampling yaitu penentuan responden selanjutnya didapat dari
hasil pemberitahuan responden yang telah diwawancara sebelumnya. Jumlah
responden yang diambil di Desa Keffing terdiri dari 15 orang, lima orang berasal
dari bagian kelembagaan sasi yaitu (kepala adat, soa Keffing dan soa Kasongat,
kepala kewang dan marinyo) serta sepuluh orang lain dari masyarakat setempat.
Jumlah responden di Desa Kway yaitu 17 orang, tujuh orang berasal dari
perwakilan kelembagaan sasi (kepal adat, soa Kway, soa Kellu, soa Kilbaroa dan
soa Kilfura, Kepala kewang dan Marinyo) serta sepuluh orang lainnya berasal dari
masyarakat.

3.4 Metode Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data utama dan data
tambahan. Data utama terdiri dari data primer dan data sekunder, serta data
tambahan berupa letak geografis lokasi penelitian, keadaan umum masyarakat dan
kondisi perikanan di Kecamatan Seram Timur. Data primer diperoleh melalui
hasil wawancara responden yaitu tokoh adat, masyarakat nelayan melalui
kuisioner yang telah disediakan.
Data primer yang di kumpulkan dalam penelitian ini adalah
1) Aspek hukum
a) Dasar hukum kelembagaan adat sasi;dan
b) Aturan kelembagaan adat sasi dalam pengelolaan perikanan
2) Aspek kelembagaan
a) Sejarah lahirnya kelembagaan sasi;
b) Sistem pengelolaan sasi; dan
c) Strategi penguatan kelembagaan sasi.
Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu dokumen tertulis
berupa dasar hukum pengelolaan perikanan berbasis kelembagaan adat sasi
melalui studi literatur di perpustakaan, serta Dinas Kelautan dan Perikanan
setempat.

3.5 Analisis Data


3.5.1 Analisis kualitatif
Analisis kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang
berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan
masalah manusia. Tujuan utama penelitian yang menggunakan pendekatan
kualitatif ialah mengembangkan pengertian, konsep-konsep, yang pada akhirnya
menjadi teori, tahap ini dikenal sebagai “grounded theory research”. Pada
pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks tentang sistem
kekerabatan masyarakat di Desa Keffing dan Desa Kway yaitu; (1) sistem
pengelompokan masyarakat berdasarkan faam/marga; dan (2) sistem
pengelompokan masyarakat berdasarkan soa.

3.5.2 Analisis Kelembagaan


Analisis kelembagaan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
analisis komparatif (comparative approach). Hal ini dilakukan untuk
membandingkan aturan hukum suatu daerah dengan daerah lain mengenai hal
yang sama. Dalam hal ini adalah perbandingan aturan hukum di desa Keffing dan
Desa Kway. Perbandingan tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan dan
membandingkan latar belakang terjadinya putusan atas perkara dalam bidang yang
sama dari daerah tersebut, kemudian digunakan sebagai rekomendasi bagi
penyusunan atau perubahan aturan hukum yang berlaku di daerah tersebut. Aturan
hukum kelembagaan yang dianalisis dalam penelitian ini, yaitu (a) sejarah sasi;(b)
batas wilayah; (c) sistem aturan; (d) sistem sanksi; (e) legalitas; dan (f) otoritas
sasi.

3.5.3 Analisisis SWOT


Analisis SWOT (strengths weaknesses opportunities threat) merupakan alat
untuk menyusun suatu strategi dalam mengembangkan suatu kegiatan. Analisis
SWOT dilakukan berdasarkan asumsi bahwa suatu strategi yang efektif
memaksimalkan kekuatan dan peluang, serta meminimalkan kelemahan dan
ancaman. Selain itu analisis SWOT juga digunakan untuk memperoleh hubungan
antar faktor eksternal dan faktor internal. Penggunaan analisis SWOT dapat
mengidentifikasi kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) dari faktor
internal, bigitu pula peluang (opportunity) dan ancaman (threat) dari faktor
eksternal (Rangkuti 2001).

Peluang
Kuadran 4 Kuadaran 1
Mendukung Strategi Mendukung Strategi

Turn Around Agresif

Kelemahan Kekuatan

Kuadran 3 Kuadran 2
Mendukung Strategi Mendukung Strategi

Defensif Diversifikasi

Ancaman

Gambar 4 Diagram Analisis SWOT (Rangkuti 2001).


Kuadran 1) Bagian ini merupakan situasi yang sangat menguntungkan, dimana
lembaga adat memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat
memanfaatkan peluang yang ada untuk pengambilan keputusan;
Kuadran 2) Meskipun menghadapi berbagai ancaman, lembaga adat ini masih
memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan
adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka
panjang dengan cara strategi diversifikasi;
Kuadran 3) Pada kuadran ini lembaga adat mendapat ancaman dalam
melaksanakan kebijakan, sehingga dapat melemahkan posisi
lembaga adat dalam pengambilan keputusan; dan
Kuadran 4) Lembaga adat membuat suatu kebijakan dengan mempertimbangkan
seberapa besar peluang yang di peroleh untuk menutupi kelemahan
yang terjadi dalam pengambilan keputusan mengenai suatu masalah.
Penentuan kebijakan alternatif dianalisis menggunakan SWOT. Tahap
pertama dalam analisis ini adalah pembuatan tabel internal (kekuatan dan
kelemahan) dan eksternal (ancaman dan peluang) yang mempengaruhi
pengembangan lembaga adat dalam pengelolaan perikanan.
1) Strategi SO: Strategi ini memanfaatkan seluruh kekuatan untuk menghasilkan
peluang sebesar-besarnya;
2) Strategi ST: Strategi ini memanfaatkan kekuatan yang dimiliki untuk untuk
mengatasi ancaman;
3) Strategi WO: Strategi ini bertujuan untuk memanfatkan peluang untuk
meminimalkan kelemahan yang ada; dan
4) Strategi WT: Strategi yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan
kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
Tabel 1 Faktor Internal dan Eksternal

Faktor internal Faktor eksternal

Kekuatan Ancaman
……………. …………..

Kelemahan Peluang
…………….. ..………….

Sumber: Rangkuti (2005)

Tahap kedua yaitu pembuatan matriks Faktor Strategi Internal (IFAS) dan
Eksternal (EFAS). Pembuatan matriks dilakukan sebagai berikut (Rangkuti 2005):
1) Pada kolom satu diisi faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan
matriks (matriks internal) serta peluang dan ancaman (matriks eksternal);
2) Beri bobot pada masing-masing faktor pada kolom 2, dimulai dari 0,0 (tidak
penting) hingga 1,0 (sangat penting);
3) Pada kolom ketiga diisi rating dari masing-masing faktor, dimulai dari 4
(pengaruhnya sangat besar) sampai 1 (pengaruhnya sangat kecil). Untuk
ancaman dan kelemahan adalah sebaliknya. Apabila ancaman dan kelemahan
sangat besar, maka diberi nilai 1 sedangkan apabila ancaman dan
kelemahannya sangat kecil nilainya 4;
4) Pada kolom 4 diisi perkalian antara bobot dengan ranting; dan
5) Jumlah total skor yang didapat dari kolom 4.
Nilai total akan menunjukkan bagaimana reaksi suatu organisasi terhadap
faktor internal dan eksternal dengan perhitungan dimulai dari 1- 4.
Kriteria penilaian adalah sebagai berikut:
1) Pengambilan kebijakan yang akan diambil sangat sulit dilakukan karena faktor
internal dan eksternal yang sangat tidak mendukung;
2) Pengambilan kebijakan sulit dilakukan karena masih banyak faktor yang
belum mendukung dalam penentuan kebijakan;
3) Pengambilan kebijakan lebih mudah dilakukan karena banyaknya faktor
pendukung dalam pengambilan kebijakan meskipun masih ada faktor yang
kurang mendukung;
4) Pengambilan kebijakan sangat baik untuk dilakukan karena faktor internal dan
eksternal sangat mesndukung dalam pengambilan keputusan untuk
menentukan kebijakan yang diambil.
Tabel 2 Faktor Strategi Internal (IFAS)
Faktor Internal Bobot Rating Bobot x Rating

1. Kekuatan (hal .. point 2 (hal... pint 3 (perkalian antara


IFAS) IFAS) bobot dengan
rating)

…………

…………
2. Kelemahan

…………..

…………..

Sumber: Rangkuti (2005)

Tabel 3 Faktor Strategi Eksternal (EFAS)

Faktor Internal Bobot Rating Bobot x Rating

1. Peluang (contoh ; 0,2) (contoh: 3) (contoh: 0,2 X 3


= 0,6)

…………

…………

2. Ancaman

…………..

…………..

Sumber: Rangkuti (2005)

Faktor-faktor yang dimasukkan dalam matriks IFE dan EFE yaitu, faktor
yang memiliki jumlah nilai berkisar antara 1,0 yang terendah hingga 4,0 yang
tertinggi dan 2,5 sebagai rata-rata. Total nilai terbobot yang jauh di bawah 2,5
merupakan ciri organisasi yang lemah secara internal. Sedangkan jumlah yang
jauh di atas 2,5 menunjukkan posisi organisasi kuat secara internal. Tahap ketiga
adalah analisis data yang dilakukan dengan pembuatan tabel strategi SWOT.
Tahap ketiga adalah analisis data yang dilakukan dengan pembuatan tabel strategi
SWOT (strengths weaknesses opportunities threat). Kriteria analisis SWOT
menurut David (2003) yaitu 1,0 - 1,99 berada pada kriteria lemah, 2,0 - 2,99
berada pada kriteria sedang dan 3,0 - 4,0 berada pada kriteria tinggi.
Tabel 4 Tabel SWOT
IFAS Strenghs (S) Weaknesses (W)

EFAS ………….. ……………….


………….. ……………….

Oportunities (O) Strategi SO Strategi WO


……………… (Strategi yang (Strategi yang
menggunakan kekuatan meminimalkan kelemahan
untuk memanfaatkan untuk memanfaatkan
peluang) peluang

Threats (T) Strategi ST Strategi WT


……………… (Strategi yang (Strategi yang
menggunakan kekuatan meminimalkan kelemahan
untuk mengatasi untuk menghindari
ancaman) ancaman)

Sumber: Rangkuti (2005)

Strategi-strategi yang dihasilkan merupakan suatu langkah yang dapat


dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan
terbaik yang dapat dilaksanakan. Matriks internal-eksternal (IE) didasarkan pada
dua dimensi kunci, yaitu total nilai IFE dan EFE yang diberi bobot. Sumbu X
adalah total nilai IFE yang diberi bobot dan sumbu Y adalah total nilai EFE yang
diberi bobot.

3.5.4 Analisis Matriks Perencanaan Strategis Kualitatif (QSPM)


Matriks Quantitative Strategic Planning Management (QSPM) digunakan
untuk membuat perangkat strategi dengan memperoleh daftar prioritas yang ada.
QSPM merupakan suatu alat yang membuat para perencana strategi dapat menilai
secara objektif strategi alternatif berdasarkan faktor-faktor keberhasilan kritis
eksternal dan internal yang telah diketahui terlebih dahulu. Matriks QSPM
menentukan daya tarik relatif dari berbagai strategi yang dipaparkan sampai
seberapa jauh faktor-faktor keberhasilan kritis eksternal dan internal kunci
dimanfaatkan atau ditingkatkan. Daya tarik relatif dari masing-masing strategi
dihitung dengan menentukan dampak kumulatif dari masing-masing faktor
keberhasilan kritis eksternal dan internal. Setiap jumlah rangkaian strategi
alternatif dapat diikutkan dalam QSPM dan setiap jumlah strategi dapat menyusun
suatu rangkaian strategi tertentu. Namun, hanya strategi dari suatu rangkaian 30
tertentu yang dapat dinilai relatif terhadap satu sama lain. Pengembangan QSPM
membuat kemungkinan kecil faktor-faktor kunci terabaikan atau diberi bobot
secara tidak sesuai. Meskipun dalam mengembangkan QSPM membutuhkan
sejumlah keputusan subjektif, hal ini dapat membuat beberapa keputusan kecil
sepanjang proses akan meningkatkan kemungkinan keputusan strategis akhir yang
baik untuk organisasi (David 2003).
Langkah-langkah dalam membuat matriks QSPM adalah sebagai berikut :
1) Buatlah daftar peluang/ancaman eksternal kunci dan kekuatan/kelemahan
internal kunci di kolom kiri QSPM;
2) Berilah bobot pada setiap faktor internal dan eksternal kunci;
3) Periksalah matriks-matriks pencocokan dan kenalilah strategi-strategi
alternatif yang harus dipertimbangkan untuk diterapkan;
4) Tentukan nilai daya tarik (AS). Cakupan daya tarik adalah : 1 = tidak
menarik; 2 = agak menarik; 3 = wajar menarik; 4 = sangat menarik;
5) Hitunglah nilai total daya tarik (WS). Total nilai daya trik didefinisikan
sebagai hasil mengalikan bobot dengan daya tarik di masing-masing baris;
dan
6) Hitunglah jumlah total nilai daya tarik. Jumlahkan total nilai daya tarik di
masing-masing kolom strategi QSPM, jumlah total nilai daya tarik
mengungkapkan strategi yang paling menarik (David 2003).
4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Letak Geografis


Kabupaten Seram Bagian Timur memiliki luas wilayah 20.656.894 Km2
terdiri dari luas lautan 14,877.771 Km2 dan daratan 5,779.123 Km2 . Dengan luas
wilayah yang sebagian besar didominasi oleh wilayah laut memiliki karakteristik
tersendiri. Terdapat titik-titik pada wilayah tertentu memiliki palung-palung laut
yang terbentang cukup luas. Kabupaten Seram Bagian Timur memiliki beberapa
Kecamatan yaitu Kecamatan Bula, Kecamatan Pulau Gorom, Kecamatan
Werinama, Kecamatan Siwalalat, Kecamatan Tutuk Tolu, Kecamatan Kilmury,
Kecamatan Wakate dan Kecamatan Seram Timur yang merupakan tempat
penelitian dilakukan. Lokasi penelitian di Kecamatan Seram Timur dapat dilihat
pada (Gambar 5) berikut:

Gambar 5 Pulau Geser, Kecamatan Seram Timur.

Kecamatan Seram Timur memiliki luas wilayah 29,567 ha, terletak pada
130,51º BT – 132,5º BB dan 3,3º LS – 5 LSº. Batas wilayah Kecamatan Seram
Timur yaitu sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pulau Gorom, sebelah
barat berbatasan dengan Kecamatan Kilmuri dan sebelah utara berbatasan dengan
Kecamatan Tutuk Tolu, serta sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan
Banda. Jumlah kepala keluarga Kecamatan Seram Timur yaitu 40,32 kk, dengan
jumlah penduduk yang mendiami Kecamatan Seram Timur mencapai 18,160
orang terdiri dari 8,706 orang penduduk laki-laki dan 9,454 orang penduduk
perempuan. Kecamatan Seram Timur memiliki Desa induk yang berjumlah 9
Desa, dan negeri administratif berjumlah 27 negeri. Tempat yang menjadi lokasi
penelitian di Kecamatan Seram Timur diantaranya yaitu Desa Keffing dan Desa
Kway.

4.2 Kependudukan
Desa keffing terletak di daerah pesisir Kepulauan Seram Bagian Timur,
tepatnya di Kecamatan Seram Timur, yang diapit oleh dua pulau yang saling
berdekatan yaitu Pulau Seram dan Pulau Geser. Dimana, batas wilayah Desa
Keffing yaitu sebelah barat berbatasan dengan Desa Kellu, sebelah timur
berbatasan dengan Desa Kway sedangkan sebelah utara berbatasan dengan Desa
Kwaos. Jumlah penduduk tetap yang mendiami Desa Keffing hingga saat ini yaitu
berjumlah 517 orang, terdiri dari 215 orang penduduk perempuan dan 302 orang
penduduk laki-laki. Lokasi penelitian di Desa Keffing dapat dilihat pada (Gambar
6) berikut:

Gambar 6 Desa Keffing, Kecamatan Seram Timur

Sedangkan Desa kway terletak di daerah pesisir kepulauan seram bagian


timur, tepatnya di Kecamatan Seram Timur, yang diapit oleh dua pulau yang
saling berdekatan yaitu pulau Seram dan pulau Geser. Batas wilayah Desa Kway
yaitu sebelah barat berbatasan dengan Desa Keffing, sebelah timur berbatasan
dengan Desa Geser sedangkan sebelah utara berbatasan dengan Desa Kwaos.
Jumlah penduduk di Desa Kway yaitu 473 orang, terdiri dari 248 orang laki-laki
dan 225 orang perempuan. Lokasi penelitian di Desa Keffing dapat dilihat pada
(Gambar 7) berikut:
Gambar 7 Desa Kway, Kecamatan Seram Timur.

Wilayah pesisir di Desa Keffing dan Desa Kway sangat strategis untuk
pengembangan kegiatan perikanan karena memiliki karakteristik sumberdaya
perikanan yang memiliki nilai jual yang sangat tinggi seperti Ikan karang,
Teripang dan Lola sehingga memerlukan perhatian khusus dari masyarakat di
sekitar wilayah pesisir Desa Keffing dan Desa Kway maupun pemerintah
Kabupaten Seram Bagian Timur dalam memelihara dan menjamin kelestarian
sumberdaya yang ada di wilayah pesisir sehingga dapat dimanfaatkan secara
berkelanjutan, karena masyarakat Desa Keffing dan Desa Kway sangat tergantung
kepada sumberdaya perikanan yang berada di wilayah pesisir untuk mencukupi
kebutuhan hidup mereka. Dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan,
masyarakat di Desa Keffing dan Desa Kway menggunakan alat tangkap seperti
Gillnet, Bubu, Sero dan Purse seine yang digunakan khusus untuk menangkap
ikan julung-julung (Hemirhampus far) pada saat musimnya tiba. Hasil tangkapan
yang diperoleh, sebagian dijual ke pengusaha yang membeli dan sisanya diolah
secara tradisional oleh masyarakat di wilayah pesisir Desa Keffing dan Desa
Kway untuk dijual kepada masyarakat setempat. Mayoritas penduduk di Desa
Keffing dan Desa Kway bekerja sebagai nelayan, baik nelayan tetap, nelayan
sambilan utama maupun nelayan sambilan sebagian. Dengan adanya sumberdaya
perikanan tersebut, masyarakat di Desa Keffing dan Desa Kway dapat
memanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari sehingga dapat memperhankan hidup
mereka sampai saat ini.
4.3 Keadaan Umum Perikanan Tangkap
4.3.1 Perkembangan Produksi dan Nilai Produksi
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Seram Bagian
Timur, perkembangan produksi perikanan pada tahun 2009 yaitu sebesar 13.669
ton dan pada tahun 2010 produksi perikanan sebesar 20.395 ton, mengalami
peningkatan 6.726 ton. Sedangkan nilai produksi perikanan pada tahun 2009
sebesar Rp 58.026.200.000 serta nilai produksi perikanan pada tahun 2010 sebesar
Rp 152.472.435.000 dimana terjadi peningkatan sebesar Rp 94.446.235.000
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Seram Bagian
Timur tahun 2010, Potensi sumberdaya perikanan yang dimiliki yaitu sebesar
43.136,87 ton/tahun, dimana potensi perikanan budidaya sebesar 500 ton/tahun
dan potensi tangkap sebesar 42,636.87 ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang
diperbolehkan yaitu 17,054.69 ton/ tahun. Potensi sumberdaya hayati perikanan
dimaksud terdiri dari pelagis, demersal dan biota laut lainnya yang perlu
dieksploitasi secara optimal. Dilihat dari besarnya potensi yang tersedia maka
untuk tahun 2010 telah dimanfaatkan sebesar 20.395 ton. Dalam melakukan
eksploitasi potensi sumberdaya perikanan, maka faktor-faktor penunjang produksi
sangat berpengaruh terhadap produksi perikanan dapat dilihat pada tabel dibawah
berikut antara Tahun 2009-2010.

Tabel 5 Faktor penunjang produksi perikanan


Faktor penunjang produksi, Produks dan Nilai produksi
Armada Alat
No Tahun Produksi
penangkapan tangkap Nilai produksi
(jumlah)
(jumlah) (jumlah)
1 2009 3.998 3.405 13.669 58.026.200.000
2 2010 4.269 3.862 20.395 152.472.435.000

Produksi perikanan berdasarkan wilayah perairan di Kabupaten Seram Bagian


Timur pada Tahun 2009 - 2010 dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Produksi perikanan berdasarkan wilayah perairan
Penangkapan Perairan Budidaya Budidaya
No Tahun Jumlah
laut umum air tawar laut
1 2009 13.652 - - 16.83 13.669
2 2010 20.33 - - 65 20.395
4.3.2 Perkembangan Alat Penangkapan Ikan
Berdasarkan data statistik Dinas Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Seram
Bagian Timur, perkembangan alat penangkapan ikan menurut Jenis dan per kecamatan
Tahun 2007 – 2010 yaitu pukat pantai berjumlah 173 unit, pukat cincin 79 unit, jaring
insang hanyut 441 unit, jaring insang lingkar 311 unit, jaring insang tetap 82 unit, bagan
perahu 15 unit, rawai tetap 871 unit, pancing tonda 480 unit, pancing ulur 1000 unit dan
pancing cumi 77 unit. Lebih spesifik tentang perkembangan alat penangkapan ikan di
Kecamatan Seram Timur, Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku
dapat dilihat pada lampiran 4, halaman 95.

4.3.3 Perkembangan Armada Penangkapan Ikan


Jumlah armada penangkapan di Kabupaten Seram Bagian Timur
berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan pada tahun 2009 sebesar 3.998
buah/unit, sedangkan pada tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 4.269
buah/unit. Sedangkan jumlah armada penangkapan ikan berdasarkan jenis yaitu
perahu tanpa motor dan motor tempel di Kabupaten Seram Bagian Timur sampai
Tahun 2010. Perahu tanpa motor (kecil 574 unit, sedang 178 unit, besar 65 unit
dan jukung 2395 unit), sedangkan motor tempel (yamaha 196 unit dan katinting
793 unit). Untuk mengetahui lebih spesifik tentang perkembangan armada
penangkapan ikan di Kabupaten Seram Bagian Timur dapat dilihat pada lampiran
3, halaman 94.

4.3.4 Perkembangan Rumah Tangga Perikanan (RTP)


Rumah tangga perikanan (RTP) berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(BPS) Kabupaten Seram Bagian Timur pada tahun 2009 tercatat sebanyak 8.094
orang mengalami kenaikan pada tahun 2010 sebanyak 8.678 orang. Kenaikan ini
terjadi pada sektor penangkapan sebesar 6.678 orang dan sektor budidaya laut
sebesar 48.17 0rang. Jumlah rumah tangga perikanan diklasifikasikan menjadi
rumah tangga perikanan tangkap berjumlah 5191 orang, budidaya laut 346 orang,
sedangkan rumah tangga perikanan tambak dan kolam belum ada. Untuk lebih
spesifik tentang perkembangan rumah tangga perikanan di Kabupaten Seram
Bagian Timur dapat dilihat pada lampiran 2, halaman 94.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Sistem Kelembagaan Sasi


Dalam mengkaji kelembagaan yang berhubungan dengan sistem penguasaan
sumberdaya, maka terlebih dahulu memahami sistem kemasyarakatan (Bokar
2006). Kehidupan sosial kemasyarakatan di kedua lokasi penelitian terdapat dua
sistem kekerabatan masyarakat yaitu: (1) pengelompokan masyarakat berdasarkan
faam/marga; dan (2) pengelompokan masyarakat berdasarkan soa. Sistem
pengelompokan masyarakat berdasarkan faam/marga menurut Silaya (2005),
merupakan kelompok kekerabatan masyarakat yang terdiri dari beberapa rumah
tangga dengan memakai nama keluarga pihak laki-laki berupa marga yang sama
didalam suatu negeri. Sedangkan soa merupakan suatu persekutuan teritorial
geneologis (seketurunan) yang terdiri dari kelompok masyarakat. Kelompok
masyarakat tersebut didalamnya terdiri dari seketurunan dan terdiri dari beberapa
faam/marga didalam negeri. Berdasarkan hasil penelitian, di Desa Kefing terdapat
dua marga, sedangkan di Desa Kway terdapat empat marga. Pengelompokan
masing-masing faam/marga di kedua desa masing-masing dapat dilihat pada
Tabel 7 berikut:
Tabel 7 Sistem kekerabatan masyarakat berdasarkan faam/marga dan persekutuan
teritorial geneologis (soa) di Desa Keffing dan Desa Kway

Desa Faam/marga
Keffing Rumonin, dan Rumakat
Kway Rumalolas, Kelibia, Kastela, dan Kilwouw
Pengelompokan masyarakat (soa)
Keffing Soa Keffing Soa Kasongat
Rumonin Rumakat
Kway Soa Kway Soa kellu Soa Kilbaroa Soa Kilfura
Rumalolas Kelibia Kastela Kilwouw

Berdasarkan sistem kekerabatan masyarakat pada tiap-tiap faam/marga


tersebut, kemudian digolongkan berdasarkan persekutuan geneologis (soa). Secara
adat untuk kedua desa tersebut memiliki sistem pengelompokan masyarakat.
Sistem pengelompokan masyarakat pada kedua desa masing-masing, yaitu Desa
Keffing terdiri dari dua soa yaitu soa Keffing dan soa Kasongat. Sedangkan Desa
Kway terdiri dari empat soa yaitu soa Kway, soa Kellu, soa Kilbaroa dan soa
Kilfura. Sedangkan sistem pengelompokan masyarakat berdasarkan persekutuan
territorial geneologis (soa) yaitu Desa Keffing terdiri dari dua soa antara lain: soa
Keffing memiliki satu marga yaitu marga Rumonin, sedangkan soa Kasongat
memiliki satu marga yaitu marga Rumakat. Desa Kway terdiri dari empat soa,
yaitu soa Kway memiliki marga Rumalolas, soa Kellu memiliki marga Kelibia,
soa Kilbaroa memiliki marga Kastela, dan soa Kilfura memiliki marga Kilwouw.
Hirarki dari sistem pemerintahan adat di Desa Keffing dan Desa Kway dapat
disajikan pada (gambar 8) berikut:

Kepala adat (raja) Saniri negeri

Sekretaris/juru tulis

Kepala soa

Kepala kewang

Marinyo

Masyarakat (faam/marga)

Gambar 8 Aliran komunikasi dalam kelembagaan sasi di Desa Keffing dan Desa
Kway
Tabel 8 Fungsi dan tanggungjawab steakholder pada sistem pemerintahan adat di
Desa Keffing dan Desa Kway

No Stekholder Fungsi/Tanggungjawab
1 Kepala Adat (raja) Melaksanakan tugas memimpin desa, dan di
bantu oleh saniri negeri. Kepala adat berfungsi
sebagai raja sekaligus kepala pemerintahan.

2 Kepala soa Merupakan persekutuan dari suatu negeri yang


didalamnya terdiri dari perwakilan beberapa
marga. Fungsinya sebagai pembantu raja dalam
melaksanakan tugas pemerintahan negeri dan
menyelenggaran musyawarah.

3 Kepala kewang Menjaga dan mengawasi lingkungan diwilayah


pesisir pantai pada desa masing-masing.
Melakukan pengontrolan di pesisir pantai agar
mencegah masyarakat untuk tidak merusak
sumberdaya perikanan di wilayah pesisir.
4 Marinyo Bertugas menyampaikan berita dari raja ke staf
pemerintahan yang lain, dan kepada masyarakat
secara umum.

5 Saniri negeri Merupakan lembaga adat ditingkat desa yang


terdiri dari kepala adat, kepala soa, kepala
kewang dan marinyo.
6 Sekretaris/ juru tulis Berkedudukan sebagai usur staf pembantu raja
dengan tugas menjalankan administrasi
pemerintahan.

Bentuk aparatur pemerintahan adat ini menurut Siwalete (2005) merupakan


warisan sistem pemerintahan Belanda. Sistem hukum adat ditetapkan dalam
keputusan-keputusan landroad Amboina (tuan tanah Ambon) No. 14/1919 tentang
pemerintahan negeri disebutkan bahwa pemerintah negeri adalah ragent en de
kepala soa (Bupati dan kepala soa). Berdasarkan keputusan landaroad Amboina
No.14/1919 disebutkan bahwa negorij bestur (pengontrol negeri) adalah ragent en
de kepala soa, sehingga Pemerintah negeri disebut saniri rajapati yang dipimpin
oleh pemerintah. Pemerintah dalam hal ini adalah raja dan perangkat
pemerintahan negeri atau pejabat-pejabat yang menjalankan tugas dalam bidang
eksekutif.
Berlakunya Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang pemberlakukan
sistem pemerintahan desa, menyebabkan hirarki sistem pemerintahan adat tidak
dipakai dalam sistem pemerintahan negeri. Namun dalam penyelenggaraan sistem
pemerintahan desa, perangkat aparatur yang ada dalam sistem pemerintahan adat
sebagian diakomodir dalam sistem pemerintahan desa. Misalnya, posisi kepala
dusun diisi oleh kepala soa dan struktur pemerintahan negeri. Marinyo dalam
sistem pemerintahan adat dirangkap oleh juru tulis/sekretaris. Hirarki sistem
pemerintahan adat tidak terpakai secara keseluruhan dalam sistem pemerintahan
desa, namun dalam penyelenggaraan yang berkaitan dengan tradisi adat di dalam
negeri, sistem pemerintahan adat masih menjadi rujukan bagi sistem pemerintahan
desa.
Berdasarkan uraian tersebut, maka sistem kelembagaan sasi di Desa Keffing
dan Desa Kway meliputi sejarah sasi, sistem aturan, sistem sanksi, legalitas, hak
pengelolaan wilayah serta otoritas sasi. Secara lebih rinci, unsur-unsur
kelembagaan sasi tersebut akan diuraikan dibawah ini:

5.1.1 Sasi Desa Keffing


Sasi merupakan bentuk aturan pengelolaan sumberdaya alam berbasis
masyarakat adat yang telah diterapkan di Maluku. Menurut Pattinama dan
Pattipelony (2003), sasi merupakan tradisi masyarakat yang telah ada sejak (abad
XVII) memiliki nilai hukum substantif yaitu larangan untuk tidak mengambil
hasil laut maupun hasil hutan sampai waktu tertentu. Sejarah sasi di Desa Keffing
telah ada sejak zaman dahulu sebagai komitmen bersama para nenek moyang
mereka untuk menjaga lingkungan dimana mereka tinggal. Hal ini dilakukan
berdasarkan pemikiran bahwa tanpa lingkungan mereka tidak akan hidup dengan
tentram. Namun tradisi sasi yang menjadi aset lokal ini tidak diketahui secara
pasti oleh masyarakat setempat kapan diberlakukan. Penerapan sasi di Desa
Keffing didasarkan pada petua (pesan/pentuk) yang telah diwariskan secara turun-
temurun. Berdasarkan hasil wawancara sasi yang pertama kali digunakan di Desa
Keffing yaitu sasi darat dan diterapkan pada dusun kelapa. Sedangkan sasi laut
diberlakukan pada saat masyarakat beralih pekerjaan ke wilayah laut. Menurut
masyarakat tujuan pemberlakuan sasi laut untuk menjaga sumberdaya disekitar
pantai agar dapat memenuhi kebutuhan hidup setiap hari. Pemberlakuan sasi laut
telah dipahami oleh masyarakat setempat, namun pelanggaran terhadap aturan
sasi masi ada. Sasi laut di Desa Keffing dibuka jika ada permintaan dari pembeli,
masyarakat serta perayaan adat istiadat (pengangkatan raja).
Menurut kepala adat, sistem sasi di Desa Keffing dibentuk sejak munculnya
konflik antara soa di negeri tersebut. Pemicu konflik yaitu adanya kecemburuan
sosial antara masyarakat dalam pemanfaatan hasil laut. Masyarakat yang memiliki
marga yang sama dengan kepala adat mengambil hasil laut tanpa batasan, karena
masyarakat tersebut merasa kedudukannya lebih tinggi dibandingkan masyarakat
yang lain. Akibat perebutan dalam pengambilan hasil laut menyebabkan
kehidupan masyarakat di Desa Keffing menjadi tidak tentram.
Demi terwujudnya kehidupan yang tentram di masyarakat, maka perlu
dilakukan penyelesain terhadap konflik antar soa tersebut. Langkah ini
mendorong kepala adat mengajak semua soa di Desa Keffing bermusyawarah
untuk menyelesaikan konflik tersebut. Tujuan musyawarah untuk menghindari
terjadinya perpecahan antara soa di Desa Keffing. Dalam musyawarah, kepala
adat bertindak sebagai penengah untuk menghindari gesekan antara soa, dan
kedua soa sepakat untuk berdamai dengan adanya perjanjian. Hasil musyawarah
memuat tiga bentuk perjanjian yaitu; (1) perlu adanya lembaga yang mengatur
tentang pemanfaatan hasil laut, agar mencegah terjadinya konflik di masyarakat;
(2) jika terjadi konflik di masyarakat, maka setiap soa bertanggungjawab
menyelesaikan masalah dalam marga masing-masing; dan (3) pentingnya
kehidupan yang harmonis di masyarakat adat.
Istilah sasi dalam bahasa negeri Desa Keffing dikenal dengan sebutan
(ngam) yang artinya “larangan”. Larangan tersebut bertujuan untuk mengingatkan
kepada masyarakat tentang pengambilan sumberdaya alam.Sumberdaya alam
yang dilarang meliputi wilayah laut maupun di darat sampai batas waktu yang
ditentukan. Penelitian ini hanya difokuskan pada sumberdaya alam di wilayah
laut. Ada dua jenis larangan yang diterapkan yaitu (1) larangan mengambil hasil
laut sebelum waktunya; dan (2) larangan melakukan aktivitas di lokasi sasi.
Sumberdaya yang diatur pengambilanya yaitu teripang (Thyone briarcus), ikan
karang (Acanthurus sp) dan lola (Trochus sp). Perlunya pengaturan terhadap
pemanfatan hasil laut agar mencegah konflik di masyarakat. Selain itu agar
pemanfaatan hasil laut dilakukan secara adil, sehingga dapat menciptakan
kehidupan yang tentram di masyarakat.
Menurut hasil wawancara dengan kepala adat, implementasi sasi di Desa
Keffing pada awalnya dilimpahkan kepada pengurus masjid. Pengurus masjid
merupakan suatu persekutuan yang terdiri dari imam, khatib, mojeng dan marabot.
Posisi pengurus masjid di masyarakat sebagai pemuka agama. Kewenangan
pelimpahan tersebut dilakukan oleh kepala adat melalui musyawarah.
Musyawarah dihadiri oleh perwakilan kedua soa dan pengurus masjid. Kedua soa
yang hadir dalam musyawarah yaitu soa Keffing dan soa Kasongat. Musyawarah
dipimpin dan diprakarsai oleh kepala adat. Setelah kedua soa sepakat, maka
pelimpahan kewenangan secara langsung diserahkan oleh kepala adat kepada
pengurus masjid. Hasil musyawarah juga disampaikan kepada masyarakat marga
melalui marinyo maupun perwakilan kedua soa yang hadir. Menurut kepala adat,
tujuan pelimpahan kewenangan berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: (1)
mengingat adanya konflik yang terjadi di masyarakat; (2) mencegah adanya
kecemburuan sosial antara masyarakat; dan (3) pelimpahan kewenangan bersifat
sementara, sampai batas waktu yang ditentukan.
Pelaksanaan kegiatan sasi oleh pengurus masjid di Desa Keffing tidak
memiliki aturan berupa sanksi hukum. Menurut kepala adat, pelimpahan
kewenangan pengelolaan kegiatan sasi oleh pengurus masjid hanya bersifat
sementara. Tujuan pelimpahan kewenangan tersebut dimaksudkan untuk
mencegah konflik yang terjadi di masyarakat. Menurut masyarakat setempat,
pelaksanaan kegiatan sasi oleh pengurus masjid tidak berjalan dengan baik, hal ini
disebabkan pengurus masjid lebih fokus kepada kegiatan masjid sehingga
perhatian terhadap kegiatan sasi menjadi berkurang. Berkurangnya perhatian
terhadap kegiatan sasi mengakibatkan ketidakadilan dalam pemanfaatan hasil laut.
Demi mewujudkan kehidupan yang tentram di masyarakat, maka diperlukan
pengaturan terhadap pemanfaatan hasil laut. Menurut kepala adat, untuk
memutuskan hal tersebut diperlukan kordinasi antara pengurus masjid dengan
kepala adat. Kordinasi dipimpin dan diprakarsai oleh kepala adat. Tujuan
kordinasi tersebut yaitu kepala adat memberikan penjelasan kepada pengurus
masjid tentang keluhan masyarakat. Setelah melakukan dialog, pengurus masjid
bersedia untuk menyerahkan tugas tersebut kepada kepala adat.
Setelah menerima penyerahan tugas dari pengurus masjid, kepala adat
memerintahkan marinyo untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat.
Penyampain informasi oleh marinyo dilakukan dengan cara tabaos. Tabaos
merupakan penyampaian informasi dimanamarinyoberjalan mengelilingi wilayah
Desa Keffing sambil berteriak menyampaikan informasi. Tujuan dilakukan tabaos
yaitu untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai waktu dan
tempat pelaksanaan musyawarah maupun kegiatan lain. Melalui musyawarah
tersebut kedua soa menyarankan untuk membentuk suatu kelembagaan yang
dikelola oleh perwakilan dari kedua soa. Menurut masyarakat di Desa Keffing,
kelembagaan yang mengatur pengelolaan hasil laut dikenal dengan sebutan
(kewang).
Menurut kepala adat, persyaratan menjadi kepala kewang di Desa Keffing
yaitu; (1) masyarakat yang lahir dan tinggal di wilayah setempat; (2) masyarakat
yang berasal dari marga pada kedua soayaitu marga Rumonin dan marga
Rumakat; dan (3) masyarakat yang mencalonkan diri harus mengetahui sejarah
sasi.Dalam pemilihan kepala kewang, posisi kepala adat sebagai penengah
diantara kedua soa. Kepala adat berhak memutuskan siapa yang menjadi kepala
kewang sesuai kriteria yang disyaratkan. Setelah kepala kewang terpilih,
selanjutnya dilakukan perekrutan anggota kewang. Menurut kepala adat,
perekrutan anggota kewang diserahkan kepada soa masing-masing. Setiap soa
mempunyai hak untuk memutuskan siapa yang akan menjadi anggota kewang dari
marga masing-masing. Menurut masyarakat setempat, biasanya yang terpilih
menjadi anggota kewang yaitu orang yang lebih tua dalam marga. Maksud orang
yang lebih tua (sesepuh marga) yaitu dilihat dari segi usia maupun pengetahuan
tentang sasi. Posisi sesepuh marga sangat dihormati dalam keluarga maupun
setiap soa masing-masing.
Setelah terbentuknya kewang, harapan dari masyarakat setempat yaitu agar
kewang dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Kewang dapat mangatur
pemanfatan hasil laut yang adil bagi masyarakat, sehingga mencegah terjadinya
konflik.
1) Batas Pengelolaan Wilayah
Batas wilayah laut bersifat imajiner dikarenakan daerah yang luas sehingga
sulit untuk memberikan batas-batas secara jelas. Menurut Solihin (2010), batas
wilayah umumnya dilakukan dengan cara ditarik garis lurus kearah laut dari
daratan yang terluar hingga batas tepi terumbu karang. Batas wilayah merupakan
bagian penting bagi kewang dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya alam.
Penentuan batas wilayah bertujuan untuk memberikan ruang terhadap kewang
dalam pengelolaan sumberdaya alam di wilayah laut. Berdasarkan hasil
wawancara, penentuan batas wilayah kewang dilakukan melalui musyawarah yang
dipimpin dan diprakarsai oleh kepala adat. Musyawarah tersebut dihadiri oleh
kedua soa di Desa Keffing yaitu soa Keffing dan soa Kasongat. Kehadiran kedua
soa dalam musyawarah merupakan perwakilan dari marga dalam negeri tersebut.
Tujuan musyawarah tersebut yaitu, agar hasil yang diperoleh tidak merugikan
salah satu soa dalam penentuan batas wilayah sasi.
Menurut kepala adat, penentuan batas wilayah pengelolaan kewang
berdasarkan lokasi sumberdaya yang dikelola. Penentuan batas wilayah kewang
disesuaikan dengan jarak jangkauan masyarakat dalam kegiatan penangkapan
ikan. Menurut kedua soa di Desa Keffing, batas wilayah kewang yaitu wilayah
pesisir yang berjarak 500 meter diukur dari tepi pantai kearah laut dengan
panjang800 meter diukur dari jarak terluar kearah samping. Tujuan penentuan
batas wilayah untuk memudahkan kewang dalam pengawasan terhadap
sumberdaya pesisir yang dikelola.

2) Sistem Aturan
(1) Buka sasi
Buka sasi merupakan kegiatan pengambilan sumberdaya perikanan oleh
masyarakat di Desa Keffing. Sistem buka sasi di Desa Keffing dimulai dengan
upacara adat yang dihadiri oleh kepala kewang dan kedua soa. Setelah upacara
adat, para saniri negeri serta masyarakat di Desa Keffing menuju lokasi sasi.
Sebelum pengambilan sumberdaya perikanan, kepala kewang melakukan ritual
didepan lokasi sasi terlebih dahulu. Menurut kepala kewang, hal ini merupakan
bentuk penghormatan terhadap alam yang telah memelihara sumberdaya tersebut.
Setelah ritual, masyarakat dipersilahkan untuk mengambil sumberdaya laut di
lokasi sasi. Mekanisme dalam pengambilan hasil laut disesuaikan dengan jenis
sumberdaya yang diambil. Sumberdaya laut yang diatur pengambilannya oleh
kewang yaitu teripang (Thyone briarcus), ikan karang (Acanthurus sp) dan lola
Trochus sp).
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, kegiatan pengambilan
teripang (Thyone briarcus) dilakukan sesuai dengan musimnya. Waktu munculnya
teripang hanya terjadi pada musim timur. Umur sumberdaya teripang yang layak
dipanen yaitu berkisar antara lima sampai enam bulan sejak muncul. Pengambilan
teripang dilakukan pada malam hari,dikarenakan pada malam hari teripang akan
muncul dipermukaan sehingga memudahkan dalam pemanenan. Pada siang hari
teripang bersembunyi di terumbu karang sehingga sulit untuk diambil. Alat yang
digunakan berupa obor, dan wadah untuk menyimpan teripang. Pengambilan
teripang dilakukan secara serentak oleh masyarakat. Menurut kepala kewang,
jumlah masyarakat yang ikut mengambil teripang biasanya berkisar antara 30
sampai 40 orang. Jumlah tersebut bersifat tidak tetap, disesuaikan dengan jumlah
sumberdaya yang diambil. Jumlah sumberdaya yang diambil disesuaikan dengan
kebutuhan pembeli. Setelah diketahui permintaan pembeli,kepala kewang
mengatur kuota untuk setiap orang. Pembagian kuota dilakukan secara merata,
sehinga setiap orang mendapat bagian yang sama. Menurut kepala kewang,
pengambilan teripang tetap dilakukan walaupun tidak ada permintaan dari
pembeli. Jika tidak ada permintaan dari pembeli maka hasil panen akan dibagikan
kepada masyarakat. Hal ini dilakukan karena sifat sumberdaya teripang yang
muncul hanya pada musim timur. Jika tidak diambil, maka sumberdaya tersebut
akan hilang dengan sendirinya.
Menurut kepala kewang, pengambilan ikan karang (Acanthurus sp)
dilakukan jika ada permintaan dari pembeli atau kebutuhan masyarakat.
Pengambilan ikan karang dilakukan pada siang hari. Peralatan untuk pengambilan
ikan karang menggunakan perahu jukung dan jaring insang (Gillnets). Waktu
pengambilan ikan karang biasanya berkisar antar satu sampai dua tahun sejak
pemberlakukan aturan sasi. Pengambilan ikan karang diatur dengan membentuk
kelompok. Menurut kepala kewang, kelompok tersebut biasanya terdiri dari lima
kelompok. Setiap kelompok terdiri dari enam sampai tujuh orang dengan tugas
masing-masing. Biasanya empat orang bertugas melingkari ikan karang, dua
orang bertugas mendayung, dua orang menebar jaring serta dua orang lainya
memegang ujung jaring pertama ditebar. Setelah jaring mengelilingi ikan karang,
secara bersamaan mereka masuk kedalam lingkaran jaring untuk menombak ikan
yang tidak tertangkap oleh jaring. Banyaknya ikan karang yang diambil
disesuaikan dengan kebutuhan pembeli atau masyarakat.
Menurut masyarakat setempat, pengambilan lola (Trochus sp) dilakukan
pada siang hari dengan cara menyelam. Alat yang digunakan untuk menyelam
berupa alat tradisional yang berasal dari masyarakat setempat. Umur sumberdaya
lola yang layak untuk diambil yaitu minimal dua tahun. Hal ini dilakukan agar
hasil lola yang dipanen sesuai dengan permintaan pembeli. Masyarakat yang ikut
mengambil lola ditentukan oleh kelembagaan sasi dalam bentuk kelompok.
Jumlah kelompok yang ditentukan kewang yaitu 10 kelompok. Jumlah kelompok
yang dibentuk tidak tetap, disesuaikan dengan jumlah sumberdaya yang diambil.
Setiap kelompok terdiri dari dua orang, dalam pengambilan lola tidak ada
pembagian tugas antara dua orang tersebut. Jumlah sumberdaya lola yang diambil
berdasarkan permintaan pembeli, karena masyarakat Desa Keffing tidak
mengkonsumsi lola. Untuk mencegah agar pengambilan lola tidak melebihi
permintaan pembeli, setiap kelompok diberi kuota sehingga mendapat bagian
yang sama.
(2) Tutup sasi
Tutup sasi merupakan kegiatan yang menandakan berakhirnya pengambilan
sumberdaya perikanan di lokasi sasi. Kegiatan tersebut dilakukan dengan
pemasangan tanda berakhirnya waktu buka sasi. Menurut kepala kewang sebelum
tutup sasi, seluruh masyarakat dan anggota kewang membersihkan lokasi sasi.
Setelah itu, pemasangan kembali janur kuning sebagai tanda berlakunya aturan
sasi dan mengisyaratkan bahwa waktu pengambilan sumberdaya perikanan telah
selesai. Selain tanda janur kuning, kepala kewang juga menyampaikan kepada
masyarakat tentang waktu tutup sasi melalui marinyo. Selama masa tutup sasi
masyarakat dilarang melakukan aktifitas di lokasi sasi karena dapat dikenakan
sanksi oleh kewang.
3) Sistem Sanksi
Sistem sanksi merupakan suatu ketentuan yang dikenakan kepada setiap
masayarakat yang melanggar peraturan kewang dalam pemanfaatan hasil laut.
Selain itu,sistem sanksi merupakan suatu rangkaian atas penyelesaian sebagai
tindak lanjut dari pelanggaran aturan-aturan yang berlaku. Pemberian sanksi
kepada masyarakat berdasarkan tingkat pelanggaran yang dilakukan. Bagi
masyarakat yang melanggar peraturan dalam pemanenan hasil laut, diberikan
sanksi berupa bayar denda. Sanksi lain yang dikenakan yaitu membersihkan
tempat ibadah (masjid selama 1 minggu). Pembayaran denda atas pelanggaran
yang dilakukan yaitu berkisar antara Rp 15.000, hingga Rp 500.000. Jika
pelanggaran yang dilakukan termasuk dalam kategori ringan maka wajib bayar
denda antara Rp 15.000, hingga Rp 250.000. Jika pelanggaran yang dilakukan
termasuk dalam kategori berat maka wajib bayar denda antara Rp 300.000, hingga
Rp 500.000. Besarnya bayar denda tersebut ditentukan oleh kewang. Bentuk
sanksi dan denda yang diberikan kepada masyarakat yang melanggar peraturan
kelembagaan sasi (kewang) di Desa Keffing, dapat dilihat pada tabel 9 berikut:
Tabel 9 Sanksi dan denda yang diberikan kepada masyarakat yang melanggar
aturan kelembagaan sasi (kewang) di Desa Keffing

No Bentuk pelanggaran Sanksi/ denda


1 Menggunakan bahan peledak Bayar denda Rp 500.000 dan dikucilkan
dan potassium di area sasi; oleh masyarakat;

2 Pengambilan hasil laut di daerah Bayar denda Rp 300.000, dan alat


sasi sebelum waktu buka sasi; tangkapnya disita;

3 Membuang kotoran atau sampah di Bayar denda Rp 50.000 dan


daerah sasi; membersihkan tempat ibadah (Masjid
selama 3 hari);
4 Menghilangkan tanda sasi dengan Sanksi dari alam (sistem kepercayaan)
sengaja; berupa, kerasukan, dan lumpuh. selain
itu, sanksi dari masyarakat yaitu
dipermalukan didepan umum;
5 Menggunakan kendaraan laut yang Bayar denda Rp 15.000 dan
menimbulkan bunyi diarea sasi; membersihkan tempat ibadah selama 2
hari;
6 Melakukan aktivitas penangkapan di Denda Rp 30.000 membersihkan
sekitar area sasi . tempat ibadah selama 3 hari.
Sumber: Data laporan kewang Desa Keffing sampai pada Tahun 2012
Menurut kepala kewang, jika pelanggaran dilakukan sampai tiga kali maka
yang bersangkutan harus menyerahkan alat tangkap tersebut kepada kewang. Alat
tangkap tersebut dibakar dan disaksikan oleh kewang dan seluruh masyarakat.
Bentuk sanksi lain berupa bayar denda atas pelanggaran yang dilakukan juga
diberikan oleh kewang. Selain sanksi bayar denda, adapula sanksi yang bersumber
dari alam (sistem kepercayaan). Masyarakat meyakini bahwa jika melanggar
peraturan sasi, maka mereka akan dikenakan sanksi dari alam. Sanksi alam
terhadap masyarakat yang melanggar aturan sasi berupa kerasukan, dan lumpuh.
Adapula sanksi sosial dari masyarakat yaitu dipermalukan (menjadi bahan
pembicaraan) didepan umum. Menurut kepala adat, konsistensi pemberian denda
tidak memiliki aturan tertulis. Penerapan aturan tersebut hanya berdasarkan
kesepakatan bersama melalui musyawarah yang dihadiri oleh kepala adat, kepala
kewang serta perwakilan kedua soa di Desa Keffing. Musyawarah tersebut
dipimpin dan diprakarsai oleh kepala adat. Menurut Fadlun (2006), fungsi dari
aturan adat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tidak hanya bersifat agar
masyarakat patuh terhadap hukum adat, melainkan agar setiap kegiatan manusia
harus sesuai dengan daya dukung lingkungan, artinya aturan adat tersebut
mempunyai fungsi ekologi, sosial ekonomi dan politik.

4) Legalitas
Legalitas hak ulayat laut adalah sesuatu yang menjdi sumber peraturan yang
ditetapkan dalam praktek hak ulayat laut atau sumber peraturan dalam
pengelolaan wilayah laut (Wahyono et al 2000). Berdasarkan hasil wawancara,
dasar hukum terbentuknya kewang yaitu adanya kesepakatan bersama antara
kedua soa dalam pemanfaatan hasil laut di Desa Keffing. Dasar hukum kewang
didasarkan pada kebiasaan leluhur dalam pemanfaatan hasil laut. Kebiasaan
tersebut berupa larangan pengambilan hasil laut yang sampai saat ini masih
dipraktekkan. Adapula dasar hukum kewang, yaitu. Dasar hukum lainyang dianut
oleh kewang di Desa Keffing seperti sistem kepercayaan. Menurut kepala kewang,
sistem kepercayaan diyakini mampu mengarahkan masyarakat untuk tidak
melanggar aturan sasi karena memiliki sanksi yang tegas dari alam.
5) Otoritas sasi
Otoritas merupakan kekuasaan sah yang dimiliki oleh suatu kelembagaan
untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Otoritas kewang di Desa Keffing
merupakan kewenangan atas pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir.
Hal ini bertujuan agar pemanfaatan sumberdaya pesisir oleh masyarakat dilakukan
secara adil. Dalam menjalan fungsinya, kewang memiliki struktur kewenangan
dalam pengambilan keputusan, yaitu seorang pemimpin yang mempunyai peran
dalam pengelolaan kegiatan kewang. Peran kepala kewang mencakup
pengambilan keputusan, serta urusan internal maupun eksternal yang berkaitan
dengan tanggungjawab kewang.
Menurut kepala adat, pengambilan keputusan dalam kewang yaitu kepala
kewang berkordinasi dengan kepala adat. Jika pemimpin kepala kewang
berhalangan, maka kewenangan pengambilan keputusan diambil alih oleh kepala
adat. Pengambilan keputusan baik yang berkaitan dengan urusan internal maupun
eksternal oleh kewang dilakukan melalui bermusyawarah yang dihadiri oleh saniri
negeri. Musyawarah tersebut dipimpin dan diprakarsai oleh kepala adat.
Pengambilan keputusan terkait pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat
disesuaikan dengan norma dan aturan yang berlaku. Menurut masyarakat di Desa
Keffing, pembentukan kewang dilakukan berdasarkan keinginan masyarakat. Hal
ini bertujuan untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang tentram. Selain itu,
mencegah agar tidak terjadinya konflik di masyarakat akibat pemanfaatan hasil
laut.

5.1.2 Sasi Desa Kway


Sasi di Desa Kway telah ada sejak zaman dahulu sebagai komitmen bersama
para nenek moyang mereka untuk menjaga lingkungan dimana mereka tinggal.
Namun keberadaan sasi sangat sulit diketahui secara pasti oleh masyarakat
setempat kapan dimulainya. Pemahaman masyarakat di Desa Kway tentang sasi
hanya berdasarkan wasiat (amanat) yang telah diwariskan secara turun-temurun
bahwa sasi telah diterapkan oleh nenek moyang mereka. Menurut kepala adat,
sasi yang pertama kali diterapkan di Desa Kway yaitu sasi darat. Sedangkan sasi
laut muncul pada saat masyarakat beralih pekerjaan sepenuhnya di wilayah laut.
Pemberlakuan sasi laut di Desa Kway telah dipahami oleh masyarakat setempat,
namun masih saja terjadi pelanggaran terhadap aturan sasi yang diterapkan.
Faktor yang menyebabkan masyarakat melanggar aturan sasi yaitu tingkat
kebutuhan ekonomi masyarakat yang terus meningkat. Hal menarik yang
ditemukan di Desa Kway yaitu sasi laut hanya dibuka jika ada permintaan dari
pembeli atau masyarakat setempat. Permintaan buka sasi dari masyarakat untuk
keperluan sosial (perbaikan masjid, fasilitas, dan perayaan hari-hari besar umat
islam) maupun untuk kebutuhan hidup setiap hari.
Menurut kepala adat Desa Kway, pemanfaatan hasil laut berupa teripang
(Thyone briarcus) dan lola (Trochus sp) dilakukan secara bersama oleh
masyarakat sejak dahulu. Kegiatan tersebut dilakukan untuk menjaga hubungan
kekeluargaan antara marga di negeri tersebut. Semua marga di Desa Kway
berasal dari satu nenek moyang, sehingga diperlukan kehidupan yang tentram di
masyarakat. Namun, dengan bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan
adanya gesekan antar warga masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya
perikanan di Desa Kway.
Sistem sasi di Desa Kway dibentuk sejak munculnya persaingan antara
warga masyarakat dalam pemanfaatan hasil laut. Persaingan tersebut
menyebabkan munculnya konflik antara marga di Desa Kway. Pemicu konflik
yaitu adanya kecemburuan sosial antara marga dalam pemanfaatan hasil laut.
Masyarakat yang memiliki marga yang sama dengan kepala adatmerasa memiliki
kewenangan penuh terhadap eksploitasi hasil laut. Pemikiran tersebut
menyebabkan mereka bebas memanfaatkan hasil laut karena merasa kedudukanya
lebih tinggi. Demi terwujudnya kehidupan yang harmonis, maka diperlukan
penyelesaian terhadap konflik yang terjadi di masyarakat. Munculnya konflik
mendorong kepala adat mengajak warga masyarakat untuk bermusyawarah.
Tujuan dilakukan musyawarah untuk mencari solusi agar mencegah konflik yang
terjadi antarawarga masyarakat di Desa Kway. Musyawarah tersebut dipimpin dan
diprakarsai oleh kepala adat. Dalam musyawarah, semua warga masyarakat
sepakat untuk berdamai dengan beberapa perjanjian. Hasil musyawarah memuat
tiga bentuk perjanjian sebagai berikut: (1) diperlukan peraturan yang adil dalam
pengambilan hasil laut antara marga di Desa Kway; (2) jika terjadi konflik di
masyarakat, maka setiap soa bertanggungjawab menyelesaikan masalah dalam
marga masing-masing; dan (3) perlu adanya kelembagaan yang mengatur tentang
pengambilan hasil laut.
Sasi diberlakukan karena sumberdaya alam di pulau-pulau kecil sangat
terbatas, sementara kebutuhan masyarakat terus meningkat. Jadi dapat dikatakan
bahwa antara jumlah penduduk dengan sumberdaya alam tidak seimbang.
Pernyataan tersebut melahirkan pemikiran bahwa sumberdaya alam yang terbatas
harus dikelola secara arif dan bijaksana demi kepentingan bersama. Tujuan utama
menata sasi adalah untuk menjaga keseimbangan antara alam, manusia dan dunia
spiritual. Pelanggaran atas pelaksanaan sasiakan memperoleh sanksi berdasarkan
dunia spiritual dan sanksi masyarakat (dipermalukan didepan umum) (Lakollo
1988).
Istilah sasi dalam bahasa negeri di Desa Kway dikenal dengan sebutan
(matuu) yang artinya “larangan”. Bentuk larangan tersebut bertujuan untuk
mengingatkan kepada masyarakat di Desa Kway dalam pengambilan sumberdaya
alam. Ada dua macam larangan yang diterapkan yaitu (1) larangan mengambil
hasil laut sebelum waktu yang ditentukan; dan (2) larangan melakukan aktivitas
penangkapan ikan di lokasi sasi. Sumberdaya yang diatur pengambilanya oleh
kewang (kelembagaan sasi) yaitu teripang (Thyone briarcus) dan lola (Trochus
sp). Perlunya pengaturan terhadap hasil laut tersebut agar dapat dimanfaakan
secara adil dan berkelanjutan. Adanya keadilan dalam pemanfaatan hasil laut
dapat menciptakan kehidupan yang tentram di masyarakat.
Menurut kepala adat, perlu dilakukan musyawarah untuk membentuk suatu
kelembagaan. Adanya kelembagaan diyakini dapat menyelesaikan konflik yang
terjadi dimasyarakat. Pencegahan terhadap konflik dimasyarakat dilakukan
melalui pengaturan pemanfaatan hasil laut. Kepala adat memerintahkan marinyo
untuk menyampaikan informasi secara tertulis maupun lisan kepada warga
masyarakat. Penyampaian informasi oleh marinyo dikenal dengan sebutan titah.
Titah merupakan penyampaian informasi dengan cara marinyo berjalan
mengelilingi seluruh wilayah Desa Kway sambil berteriak. Tujuan titah yaitu
untuk menyampaikan informasi dari kepala adat kepada masyarakat mengenai
kegiatan kewang (musyawarah). Musyawarah tersebut dihadiri oleh kepala adat,
kepala kewang dan perwakilan dari soa masing-masing. Musyawarah dipimpin
dan diprakarsai oleh kepala adat. Setelah melakukan musyawarah, perwakilan dari
setiap soa sepakat untuk membentuk suatu kelembagaan. Bagi masyarakat di Desa
Kway, kelembagaan yang mengatur pengelolaan hasil laut dikenal dengan sebutan
(kewang).
Menurut kepala adat, persayaratan menjadi kepala kewang yaitu; (1)
masyarakat yang lahir dan tinggal di wilayah setempat; (2) masyarakat yang
berasal dari marga dari keempat soa yaitu soa Kway, soa Kellu, soa kilbaroa, dan
soa Kilfura; dan (3) masyarakat yang mencalonkan diri harus mengetahui sejarah
sasi. Pemilihan kepala kewang dipimpin dan diprakarsai oleh kepala adat. Kepala
adat berhak memutuskan siapa yang menjadi kepala kewang sesuai kriteria yang
disyaratkan. Setelah kepala kewang terpilih, selanjutnya dilakukan perekrutan
anggota kewang. Menurut kepala kewang perekrutan anggota kewang diserahkan
kepada soa masing-masing. Setiap soa berhak untuk memutuskan siapa yang akan
menjadi anggota kewang dari marga masing-masing. Menurut masyarakat
setempat, yang terpilih menjadi anggota kewang yaitu orang yang lebih tua dalam
marga. Maksud orang yang lebih tua (sesepuh marga) yaitu dilihat dari segi usia
maupun pengetahuan tentang sasi. Posisi sesepuh sangat dihormati dalam dalam
marga maupun pada tingkat soa masing-masing.
Harapan masyarakat di Desa Kway yaitu dengan terbentuknya kewang,
diharapkan dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Selain itu, memberikan
pemerataan dan keadilan kepada masyarakat dalam mengambil hasil laut.
Menciptakan kehidupan yang tentram di masyarakat, dan dapat mencegah
munculnya konflik di masyarakat.

1) Batas Pengelolaan Wilayah


Batas wilayah laut bersifat imajiner dikarenakan daerah yang luas, sehingga
sulit untuk memberikan batas-batas secara jelas. Menurut kepala adat, penentuan
batas wilayah kewang di Desa Kway dilakukan melalui musyawarah yang
dipimpin dan diprakarsai oleh kepala adat. Musyawarah dihadiri oleh keempat soa
di Desa Keffing yaitu soa Kway, soa Kellu, soa dari marga dalam negeri tersebut.
Tujuan musyawarah yaitu, agar setiap soa memberikan pendapat dalam
menentukan batas wilayah Kilbaroa dan soa Kilfura. Kehadiran keempat soa
dalam musyawarah merupakan perwakilan pengelolaan sasi, sehingga hasil yang
diperoleh tidak merugikan salah satu pihak soa dalam negeri tersebut.
Menurut kepala adat, penentuan batas wilayah kewang berdasarkan lokasi
sumberdaya perikanan yang dikelola. Penentuan batas wilayah disesuaikan
dengan jarak jangkauan masyarakat dalam kegiatan penangkapan ikan.Menurut
keempat soa, batas wilayah kewang berdasarkan hasil musyawarah yaitu wilayah
pesisir yang berjarak 400 meter diukur dari tepi pantai kearah laut dengan
mencapai 700 meter diukur dari jarak terluar kearah samping.

2) Sistem Aturan
(1) Buka sasi
Buka sasi merupakan kegiatan pengambilan hasil laut oleh masyarakat di
Desa Kway. Sistem buka sasi di Desa Kway diawali dengan upacara adat yang
dihadiri oleh pengurus kewang dan keempat soa di Desa Kway yaitu soa Kway,
soa Kellu, soa kilbaroa dan soa Kilfura. Setelah upacara adat, kepala kewang dan
masyarakat menuju ke lokasi sasi untuk mengambil hasil laut. Sebelum
penambilan hasil laut, kepala kewang melakukan ritual didepan lokasi terlebih
dahulu. Menurut kepala kewang, ritual ini dilakukan sebagai penghormatan
kepada alam yang telah memelihara sumberdaya tersebut. Setelah itu, masyarakat
dipersilahkan untuk mengambil sumberdaya laut yang ada di lokasi sasi.
Mekanisme dalam pengambilan hasil laut disesuaikan dengan jenis sumberdaya
yang diambil.
Menurut masyarakat, pengambilan teripang (Thyone briarcus) dilakukan
sesuai dengan musimnya, yaitu hanya terjadi pada musim timur. Umur
sumberdaya teripang yang layak diambil berkisar antara lima sampai enam bulan
sejak muncul. Pangambilan teripang dilakukan pada waktu malam hari. Penetapan
waktu pengambilan berdasarkan sifat teripang yang muncul dipermukaan hanya
pada malam hari. Pada siang hari teripang bersembunyi di terumbu karang
sehingga sulit untuk diambil. Alat yang digunakan berupa obor, dan wadah untuk
menyimpan hasil laut. Pengambilan teripang dilakukan secara serentak oleh
masyarakat.
Menurut kepala kewang, jumlah masyarakat yang ikut mengambil teripang
berjumlah 25 sampai 40 orang. Jumlah masyarakat disesuaikan dengan
ketersediaan hasil laut dan permintaan pembeli. Permintaan pembeli diketahui
agar kepala kewang mengatur kuota untuk setiap orang. Pembagian kuota
dilakukan secara merata, sehinga setiap orang mendapat bagian yang sama.
Menurut kepala kewang, pengambilan teripang tetap dilakukan walaupun tidak
ada permintaan pembeli. Jika tidak ada permintaan dari pembeli maka hasil panen
akan dibagikan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan sifat sumberdaya teripang
yang muncul hanya pada musim timur. Jika tidak diambil, maka sumberdaya
tersebut dengan sendirinya akan hilang.
Menurut masyarakat setempat, pengambilan lola (Trochus niloticus)
dilakukan pada siang hari dengan cara menyelam. Alat yang digunakan untuk
menyelam berupa alat tradisional yang berasal dari masyarakat setempat seperti
tombak dan alat pengumpul. Umur hasil lola yang layak untuk diambil yaitu
minimal dua tahun sejak pemberlakuan sasi. Hal ini dilakukan agar lola yang
diambil sesuai dengan ukuran permintaan pembeli. Masyarakat yang ikut
mengambil lola ditentukan oleh kewang dalam bentuk kelompok. Menurut
masyarakat di Desa Kway, jumlah kelompok yang ditentukan oleh kewang yaitu
delapan kelompok. Setiap kelompok terdiri dari dua orang, dalam pengambilan
lola tidak ada pembagian tugas antara dua orang tersebut. Setiap kelompok diberi
kuota secara merata, sehingga setiap kelompok mendapat bagian yang sama.
Pengambilan lola diatur agar jumlah yang diambil sesuai dengan permintaan
pembeli. Hasil lola yang diambil langsung diserahkan kepada kewang untuk
dijual. Kebiasaan ini muncul karena masyarakat di Desa Kway tidak
mengkonsumsi lola.
(2) Tutup sasi
Waktu tutup sasi di Desa Kway ditandai dengan pemasangan janur kuning
yang menunjukkan bahwa waktu buka sasi telah berakhir. Sebelum sasi ditutup,
seluruh masyarakat dan anggota kewang membersihkan lokasi sasi terlebih
dahulu. Pemasangan kembali janur kuning sebagai tanda berlakunnya aturan sasi
(waktu tutup sasi). Tujuan pemasangan tanda yaitu mengisyaratkan kepada
masyarakat bahwa waktu panen hasil laut telah selesai. Selain dengan tanda janur
kuning, kepala kewang menyampaikan kepada masyarakat melalui marinyo
dengan cara titah. Marinyo menginformasikan kepada masyarakat bahwa waktu
tutup sasi sudah dimulai.

3) Sistem Sanksi
Sistem sanksi merupakan suatu ketentuan yang dikenakan kepada setiap
masayarakat yang melanggar peraturan kewang (kelembagaan sasi).Sistem sanksi
merupakan suatu rangkaian atas penyelesaian sebagai tindak lanjut dari
pelanggaran aturan-aturan yang berlaku. Bentuk sanksi yang diterapkan oleh
kewang kepada masyarakat di Desa Kway berdasarkan jenis pelanggaran yang
dilakukan. Bagi masyarakat yang melanggar peraturan dalam pemanenan hasil
perikanan sebelum waktu yang ditentukan, maka diberikan sanksi berupa bayar
denda Rp 10.000, hingga Rp 600.000. Sanksi bayar denda disesuaikan dengan
jenis pelanggaran yang dilakukan. Jika pelanggaran yang dilakukan termasuk
dalam kategori ringan maka wajib bayar denda antara Rp 10.000, hingga Rp
250.000. Jika pelanggaran yang dilakukan termasuk dalam kategori berat maka
wajib bayar denda antara Rp 300.000 hingga Rp 600.000.
Menurut Uneputty (1993), sanksi moneter atau membayar sejumlah uang
karena membuat kesalahan merupakan salah satu hukuman dalam pelaksanaan
sasi. Sanksi lain yang bersifat sosial yang sesuai dengan adat setempat seperti
dipermalukan didepan umum, kerja bakti untuk desa dan mengucap janji didepan
umum agar kesalahan yang sama tidak lagi dipraktekkan. Bentuk sanksi dan
denda yang diterapkan dapat dilihat pada Tabel 10 berikut:

Tabel 10 Sanksi dan denda yang diberikan kepada masyarakat yang melanggar
aturan kelembagaan sasi (kewang) di Desa Kway

No Bentuk pelanggaran Sanksi/ denda


1 Menggunakan bahan peledak dan Bayar denda Rp 600.000 dan dijauhi oleh
potassium di area sasi; masyarakat;

2 Pengambilan hasil laut di daerah Bayar denda Rp. 200.000, dan alat
sasi sebelum waktu buka sasi; tangkapnya disita;

3 Melakukan aktifitas penangkapan Bayar denda Rp 50.000 dan


di sekitar area sasi; membersihkan tempat ibadah (Masjid
selama 2 hari);
4 Menghilangkan tanda sasi dengan Sanksi dari alam berupa, kerasukan, dan
sengaja; lumpuh. Sanksi dari masyarakat yaitu
dipermalukan di depan umum;
5 Menggunakan kendaraan laut yang Bayar denda Rp 10.000 membersihkan
menimbulkan bunyi di area sasi; tempat ibadah selama 1 hari;

6 Membuang sampah di daerah sasi. Bayar denda Rp 20.000 dan


membersihkan tempat ibadah selama 2
hari.
Sumber: Data laporan kelembagaan sasi Desa Kway sampai Tahun 2012

Jika pelanggaran menangkap ikan di daerah sasi dilakukan sampai tiga kali,
maka yang bersangkutan wajib menyerahkan alat tangkap yang digunakan kepada
kewang. Kemudian alat tangkap tersebut dibakar yang disaksikan oleh seluruh
masyarakat dan anggota kewang. Sanksi hukum lain yaitu masyarakat yang
melanggar aturan kewang diberi hukuman membersihkan tempat ibadah (masjid)
selama dua minggu. Selain sanksi tertulis, adapula sanksi yang bersumber dari
alam (sistem kepercayaan). Menurut masyarakat di Desa Kway, sanksi yang
berasal dari sistem kepercayaan dapat terjadi jika terdapat masyarakat melanggar
aturan kewang.
Menurut kepala adat, konsistensi pemberian denda tidak memiliki aturan
tertulis, tetapi hanya berdasarkan kesepakatan bersama melalui musyawarah yang
dihadiri oleh saniri negeri di Desa Kway. Musyawarah tersebut dipimpin dan
diprakarsai oleh kepala adat. Menurut Fadlun (2006), fungsi dari aturan adat
dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tidak hanya bersifat agar masyarakat
patuh terhadap hukum adat, melainkan agar setiap kegiatan manusia harus sesuai
dengan daya dukung lingkungan, artinya aturan adat tersebut mempunyai fungsi
ekologi, sosial ekonomi dan politik.

4) Legalitas
Legalitas hak ulayat laut adalah sesuatu yang menjdi sumber peraturan yang
ditetapkan dalam praktek hak ulayat laut atau sumber peraturan dalam
pengelolaan wilayah laut (Wahyono et al 2000). Legalitas merupakan keadaan
(perihal) yang sah tentang pembentukan suatu kelembagaan. Menurut kepala
adat, dasar hukum pembentukan kewang (kelembagaaan sasi) yaitu kebiasaan-
kebiasaan yang dipraktekkan oleh nenek moyang mereka dalam pemanfaatan
hasil laut. Kebiasaan tersebut berupa larangan pengambilan hasil laut yang sampai
saat ini masih dipraktekkan. Adapula dasar hukum yang dianut oleh masyarakat di
Desa Kway seperti sistem kepercayaan. Menurut masyarakat di Desa Kway,
sistem kepercayaan diyakini dapat mengarahkan masyarakat untuk tidak
malanggar aturan kelembagaan sasi. Bagi yang melanggar akan mendapatkan
sanksi dari alam berupa kerasukan dan lumpuh.

5) Otoritas sasi
Otoritas merupakan kekuasaan sah yang dimiliki oleh suatu kelembagaan
untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Menurut kepala adat, otoritas kewang di
Desa Kway berupa kewenangan dalam mengelola pemanfaatan hasil laut.
Kewenangan tersebut bertujuan agar pemanfaatan hasil laut oleh masyarakat
dilakukan secara adil. Dalam menjalan fungsinya, kewang memiliki struktur
kewenangan dalam pengambilan keputusan.Terdapat seorang pemimpin yang
mempunyai peran dalam pengelolaan kegiatan kewang. Peran kepala kewang di
Desa Kway mencakup urusan internal maupun eksternal.
Menurutu kepala adat, pengambilan keputusan dalam kewang yaitu kepala
kewang berkordinasi dengan kepala adat. Jika kepala kewang berhalangan, maka
kewenangan pengambilan keputusan diambil alih oleh kepala adat. Dalam
pengambilan keputusan, baik yang berkaitan dengan internal maupun eksternal
dilakukan oleh kepala kewang. Pengambilan keputusan dalam kewang dilakukan
melalui bermusyawarah yang dihadiri oleh para saniri negeri. Musyawarah
dipimpin dan diprakarsai oleh kepala kewang. Pengambilan keputusan terkait
pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat disesuaikan dengan aturan yang
berlaku pada kewang. Menurut masyarakat di Desa Kway, pembentukan kewang
berdasarkan keinginan masyarakat dalam negeri.pembentukan kewang bertujuan
menciptakan kehidupan yang tentram di masyarakat, dan mencegah konflik
dimasyarakat akibat pemanfaatan hasil laut yang tidak adil. Berdasarkan uraian
tersebut, maka perbandingan antara sistem kelembagaan sasi di Desa Keffing dan
Desa Kway dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Perbandingan sistem kelembagaan sasi di Desa Keffing dan Desa Kway

No Unsur-unsur Desa Keffing Desa Kway


1 Batas Bersifat imajiner, ditentukan Bersifat imajiner,
pengelolaan dengan cara menarik garis ditentukan dengan cara
wilayah lurus dari tepi pantai ke arah menarik garis lurus dari tepi
laut dengan jarak 500 meter pantai ke arah laut dengan
dan panjang ke samping 800 jarak 400 meter dan panjang
meter. ke samping 700 meter.

2 Sistem aturan Buka sasi: diawali dengan Buka sasi: diawali dengan
upacara adat, dan ritual. upacara adat. Sumberdaya
Sumberdaya yang diambil yang diambil yaitu teripang
yaitu teripang, ikan karang dan lola.
dan lola. Tutup sasi: ditandai dengan
Tutup sasi: ditandai dengan pemasangan janur kuning.
pemasangan janur kuning.
dan marinyo penyampaian
informasi kepada
masyarakat.

3 Sistem sanksi Sanksi bayar denda, dan Sanksi bayar denda, dan
sanksi dari alam serta sanksi sanksi sosial dari
sosial dari masyarakat. masyarakat.

4 Legalitas Kelembagaan sasi dibentuk Kelembagaan sasi dibentuk


berdasarkan kesepakatan melalui kebiasaan yang
bersama oleh masyarakat. telah diparaktekkan oleh
leluhur

5 Otoritas sasi Kewenangan kewang atas Kewenangan kewang atas


pemanfaatan sumberdaya pemanfaatan sumberdaya
alam di wilayah pesisir alam di wilayah pesisir
setempat. setempat.

5.2 Penguatan Kelembagaan sasi


Penguatan kelembagaan sasi (kewang) merupakan langkah kelembagaan
untuk meningkatkan peran masyarakat dalam pemeliharaan sumberdaya alam di
wilayah pesisir. Berdasarkan hasil wawancara, penguatan dilakukan sebagai cara
untuk meningkatkan hubungan kekeluargaan antara warga masyarakat, sehingga
mewujudkan kehidupan yang tentram. Penguatan kelembagaan dilakukan dengan
cara mengajak masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan
sumberdaya alam di wilayah pesisir. Adanya penguatan kelembagaan sasi,
diharapkan dapat memperkuat hubungan kekeluargaan, sehingga mencegah
terjadinya konflik di masyarakat. Strategi penguatan kelembagaan sasi dalam
pengelolaan perikanan tangkap di Desa Keffing dan Desa Kway menggunakan
Analisis SWOT. Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats)
adalah suatu analisis yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan
strategis dengan memaksimalkan kekuatan dan peluang, tetapi secara bersamaan
dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman (Rangkuti 2006).

5.2.1 Kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam kelembagaan sasi


1) Identifikasi tingkat pengelolaan dan masalah dalam kelembagaan sasi di
Desa Keffing
Identifikasi masalah dalam kelembagaan sasi dapat dilakukan dengan
menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT terdiri dari faktor internal
(kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman).

Faktor internal (kekuatan)


(1) Adanya kepala adat (Raja)
Keberadaan kepala adat di Desa Keffing memberikan kekuatan dalam
pelaksanaan kegiatan sasi. Kepala adat memeliki kekuasaan terhadap wilayah
pengelolaan kelembagaan sasi. Hal ini mengindikasikan bahwa pengambilan
keputusan harus mempertimbangkan kedudukan kepala adat. Namun, peran
kepala adat dalam kelembagaan sasi tidak maksimal. Berdasarkan uraian tersebut,
maka diberikan bobot 0,08 dari selang 0,0-1,0 dan rating 4 dari selang1-4;
(2) Adanya kepala kewang (kelembagaan sasi)
Keberadaan pemimpin dalam kelembagaan sasi memberikan kekuatan
untuk mengkordinir pelaksanaan kegiatan, baik internal maupun eksternal. Selain
itu, pemimpin mempunyai peran penting dalam pengambilan keputusan terkait
pelaksanaan kegiatan kelembagaan. Pengambilan keputusan akan menentukan
perkembangan pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayah setempat, akan
tetapi keberadaan kewang belum perkembangan yang signifikan. Berdasarkan
uraian tersebut, maka diberikan bobot 0,1 dan rating 4;
(3) Adanya peraturan dan sanksi
Peraturan dan sanksi hukum dalam suatu kelembagaan sangat diperlukan
untuk memberikan penegasan tentang pentingnya kelembagaan sasi. Penegasan
aturan sasi dilakukan agar tujuan pelestarian sumberdaya pesisir dapat berjalan
dengan baik. Mengarahkan masyarakat agar tidak melanggar aturan karena
memiliki sanksi hukum tegas. Keberadaan peraturan dan sanksi yang diterapkan
belum memberikan efek jera bagi yang melanggar. Berdasarkan uraian tersebut,
maka diberikan bobot 0,1 dan rating 4;
(4) Mempunyai batas wilayah
Batas wilayah suatu kelembagaan diperlukan untuk menentukan ruang
lingkup masyarakat dalam melakukan aktifitas. Dalam kelembagaan sasi, batas
wilayah diperlukan untuk memudahkan kelembagaan sasi dalam hal pengawasan
terhadap sumberdaya pesisir. Adanya wilayah kelembagaan sasi menentukan
tingkat keberlangsungan pengelolaan sumberdaya pesisir, sehingga tujuan
pengelolaan sumberdaya pesisir dapat memberikan hasil yang optimal.
Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan bobot 0,1 dan rating 4;
(5) Adanya pengakuan dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat
Pengakuan pemerintah terhadap kelembagaan sasi sebagai bentuk
kepercayaan pemerintah terhadap masyarakat adat. Dukungan pemerintah
memberikan penegasan bahwa masyarakat adat memiliki hak dan kewenangan
dalam pengelolaan sumberdaya pesisir yang diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi masyarakat lokal. Namun, pengakuan pemerintah tidak disertai
dengan pengawasan terhadap pelaksanaan kelembagaan sasi. Berdasarkan uraian
tersebut, diberikan bobot 0,07 dan rating 3;
(6) Struktur organisasi
Struktur organisasi dalam kelembagaan sasi diperlukan untuk meringankan
pemimpin menjalankan tugas dan fungsinya. Adanya struktur organisasi agar
kegiatan kelembagaan dilakukan secara terstruktur dan terkordinasi dengan baik,
sehingga tujuan pengelolaaan sumberdaya pesisir dapat memberikan hasil yang
optimal. Pelaksanaan kegiatan dalam kelembagaan sasi masih terdapat kelemahan
dan belum terkordinasi dengan baik. Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan
bobot 0,07 dan rating 3; dan
(7) Adanya dukungan dari soa di Desa Keffing
Dukungan soa dikedua desa merupakan bentuk keikutsertaan masyarakat
untuk mendukung kegiatan kelembagaan sasi. Masyarakat mempuyai peran
penting dalam kegiatan kelembagaan sasi. Keterlibatan masyarakat dalam
kelembagaan sasi menandakaan bahwa adanya kesadaran masyarakat terhadap
lingkungan pesisir, karena kehidupan masyarakat di wilayah pesisir sangat
bergantung kepada sumberdaya tersebut. Dukungan masyarakat belum
menunjukkan hasil yang optimal, karena pelanggaran terhadap atauran sasi masih
ada. Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan bobot 0,07 dan rating 3.

Faktor internal (kelemahan)


(1) Wilayah pengelolaan sasi terbatas
Keterbatasan wilayah pengelolaan sasi bagi masyarakat lokal di wilayah
pesisir akan memberikan dampak terhadap ruang gerak kelembagaan sasi.
Peluang masyarakat lokal dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir tidak dilakukan
sepenuhnya akan tetapi hanya berdasarkan batas wilayah yang telah ditentukan.
Keterbatasan lokasi sasi sehingga sumberdaya yang dihasilkan belum mencukupi
kebutuhan hidup masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan bobot
0,08 dari selang 0,0-1,0 dan rating 2 dari selang 1-4;

(2) Aktifitas dalam kelembagaan sasi tidak teratur


Aktifitas yang tidak teratur dalam kelembagaan sasi memberikan dampak
negatif terhadap kegiatan kelembagaan baik dalam internal maupun ekternal
sehingga tujuan pengelolan sumberdaya pesisir akan memberikan hasil yang tidak
maksimal terhadap kelembagaan sasi. Berdasarkan uraian tersebut, maka
diberikan bobot 0,07 dan rating 2;

(3) Pengurus kelembagaan sasi dipilih secara monoton


Pemilihan pengurus kelembagaan secara monoton akan memberikan
pengaruh terhadap aktifitas dalam kelembagan sasi. Masyarakat yang dipilih
belum tentu aktif dan memiliki pengetahuan tentang peran kelembagaan sasi,
sehingga pengelolaan sumberdaya pesisir tidak memberikan hasil optimal.
Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan bobot 0,07 dan rating 2;

(4) Tidak mempunyai atribut kelembagaan


Atribut kelembagaan menandakan bahwa pengakuan dari pemerintah
tehadap kelembagaan tersebut bersifat tidak formal, sehingga perhatian dari
pemerintah terhadap kegiatan kelembagaan dalam pengelolan sumberdaya pesisir
kurang maksimal. Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan bobot 0,06 dan
rating 3;
(5) Tidak mempunyai aturan tertulis
Pemberian sanksi bayar denda oleh kelembagaan sasi tidak memiliki aturan
tertulis, tetapi hanya berdasarkan kesepakatan bersama melalui musyawarah.
Tidak adanya aturan tertulis tentang pemberian sanksi dapat melemahkan posisi
kelembagaan sasi dalam pengambilan keputusan. Berdasarkan uraian tersebut,
maka diberikan bobot 0,06 dan rating 3; dan
(6) Waktu buka sasi berdasarkan kebutuhan masyarakat atau pembeli
Dalam kelembagaan sasi dikenal istilah buka sasi yang menandahkan
bahwa pengambilan sumberdaya perikanan di lokasi sasi sudah dibuka, akan
tetapi buka sasi hanya dilaksanakan jika ada pengusaha yang ingin membeli
hasilnya dan tergantung pada kebutuhan masyarakat berdasarkan kesepakatan
bersama. Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan bobot 0,08 dan rating 2.

Faktor eksternal (peluang)


(1) Mencegah konflik di masyarakat
Pembentukan kelembagaan sasi membawa dampak positif terhadap
masyarakat setempat. Kehadiran kelembagaan sasi dapat mencegah konflik
dimasyarakat yang selama ini menyebabkan kehidupan menjadi tidak harmonis.
Pencegahan terhadap konflik dimasyarakat lokal sudah berhasil, akan tetapi belum
berjalan secara maksimal. Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan bobot 0,1
dari selang 0,0-1,0 dan rating 4 dari selang 1-4;
(2) Mewujudkan keadilan dalam pemanfaatan hasil laut
Sumberdaya di wilayah pesisir merupakan hak masyarakat untuk
memanfaatkan secara bersama. Namun hak tersebut perlu diatur agar tidak
menimbulkan kecemburuan sosial dalam pemanfataan sumberdaya tersebut.
Selain itu, diperlukan pengaturan terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir agar
tidak menimbulkan konflik. Wujud keadilan yang diterapkan dalam pemanfaatan
sumberdaya pesisir telah dijalankan, namun belum memberikan hasil optimal.
Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan bobot 0,1 dan rating 4; dan
(3) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir
Pengelolaan sumberdaya pesisir oleh kelembagaan sasi diharapkan
memberikan perubahan terhadap kehidupan masayakat. Perubahan tersebut
dilakukan melalui pengaturan tentang pemanfaatan hasil laut. Pengelolan
sumberdaya pesisir oleh kelembagaan sasi diharapkan menciptakan kehidupan
yang tentram di masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat diwujudkan
melalui pemanfaatan hasil laut yang adil antara warga masyarakat. Berdasarkan
uraian tersebut, maka diberikan bobot 0,1 dan rating 3.

Faktor ekternal (ancaman)


(1) Pengaruh budaya luar terhadap masyarakat lokal
Pengaruh budaya terhadap masyarakat di wilayah pesisir menyebabkan
tingkat pemikiran masyarakat tentang tradisi sasi menjadi berkurang. Hal ini
disebabkan karena munculnya budaya luar (dansa) yang menimbulkan ancaman
terhadap budaya lokal setempat, sehingga perlu dilakukan penguatan terhadap
masyarakat lokal di wilayah pesisir. Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan
bobot 0,09 dari selang 0,0-1,0 dan rating 2 dari selang 1-4;
(2) Kurangnya perhatian Pemerintah Daerah
Kewenangan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir tidak
lepas dari dukungan pemerintah daerah. Pemerintah daerah memiliki otoritas
terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir. Namun, kurangnya perhatian
pemerintah daerah terhadap kelembagaan sasi menandakan bahwa kurangnya
kordinasi antara pemerintah daerah. Kurangnya perhatian pemerintah daerah akan
mengancam eksistensi sasi di wilayah pesisir. Berdasarkan uraian tersebut, maka
diberikan bobot 0,09 dan rating 2;
(3) Adanya pelanggaran terhadap aturan kelembagaan sasi
Munculnya pelanggaran terhadap aturan kelembagaan sasi menandakan
bahwa kurangnya kesadaran masyarakat terhadap aturan kelembagaan sasi. Hal
ini disebabkan karena pemikiran masyarakat tentang manfaat pembentukan
kelembagaan sasi masih rendah. Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan
bobot 0,12 dan rating 2;
(4) Aktifitas penangkapan yang tidak adil oleh nelayan
Kegiatan pemanfaatan sumberdaya pesisir yangtidak adil akan mengancam
terjadinya konflik. Konflik tersebut disebabkan oleh nelayan luar yang
menggunakan alat tangkap yang modern. Sedangkan masyarakat pesisir hanya
menggunakan alat tangkap tradisional. Hal ini menyebabkan kecemburuan sosial
antara masyarakat lokal dan masyarakat luar dalam kegiatan penangkapan ikan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan bobot 0,12 dan rating 3;
(5) Demografi penduduk di wilayah pesisir
Demografi penduduk di wilayah pesisir memberikan dampak positif
maupun negatif. Sisi posisitif demografi penduduk yaitu memberikanan
peningkatan terhadap jumlah penduduk yang berada di wilayah pesisir. Namun
sisi negatif dampak demografi penduduk di masyarakat pesisir akan
mempengaruhi pemikiran masyarakat lokal. Hal ini terjadi akibat pengaruh
budaya luar yang masuk sehingga nilai-nilai lokal di masyarakat lambat laun
menjadi hilang. Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan bobot 0,13 dan
rating 2; dan
(6) Adanya kegiatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan pesisir
Kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam yang merusak lingkungan di
wilayah pesisir sering terjadi. Hal ini disebabkan karena kurangnya kesadaran dari
masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Selain itu, lemahnya
penegakan hukum dari pemerintah daerah menyebabkan kondisi ekologi di
wilayah pesisir menjadi terancam. Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan
bobot 0,15 dan rating 2;
2) Identifikasi tingkat pengelolaan dan masalah dalam kelembagaan sasi di
Desa Kway
Identifikasi masalah dalam kelembagaan sasi dapat dilakukan dengan
menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT terdiri dari faktor internal
(kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman).

Faktor internal (Kekuatan)


(1) Adanya kepala kewang
Keberadaan pemimpin dalam kelembagaan sasi memberikan kekuatan
untuk mengkordinir pelaksanaan kegiatan, baik internal maupun eksternal. Selain
itu, pemimpin mempunyai peran penting dalam pengambilan keputusan.
Pengambilan keputusan oleh kewang akan menentukan perkembangan
pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayah pesisir. Berdasarkan uraian
tersebut, maka diberikan bobot 0,1 dari selang 0,0-1,0 dan rating 4 dari selang 1-4;
(2) Adanya peraturan dan sanksi
Peraturan dan sanksi hukum dalam suatu kelembagaan sangat diperlukan
untuk memberikan penegasan tentang pentingnya kelembagaan sasi. Penegasan
aturan sasi untuk menciptakan keadilan dalam pemanfaatan hasil laut.
Mengarahkan masyarakat agar tidak melanggar aturan karena memiliki sanksi
hukum tegas. Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan bobot 0,1 dan rating 4;
(3) Mempunyai batas wilayah
Batas wilayah suatu kelembagaan diperlukan untuk menentukan ruang
lingkup masyarakat dalam melakukan aktifitas. Dalam kelembagaan sasi, batas
wilayah diperlukan untuk memudahkan kelembagaan sasi dalam hal pengawasan
terhadap sumberdaya yang dikelola. Adanya wilayah menentukan tingkat
pengelolaan sumberdaya pesisir, sehingga tujuan pengelolaan sumberdaya pesisir
dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut, maka
diberikan bobot 0,1 dan rating 4;
(4) Adanya pengakuan dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat
Pengakuan pemerintah terhadap kelembagaan sasi sebagai bentuk
kepercayaan pemerintah terhadap masyarakat adat. Dukungan pemerintah
memberikan penegasan bahwa masyarakat adat memiliki hak dan kewenangan
dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, yang diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi masyarakat lokal. Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan
bobot 0,07 dan rating 2;
(5) Struktur organisasi
Struktur organisasi dalam kelembagaan sasi diperlukan untuk meringankan
pemimpin menjalankan tugas dan fungsinya. Adanya struktur organisasi agar
kegiatan kelembagan dilakukan secara terstruktur dan terkordinasi dengan baik,
sehingga tujuan pengelolaaan sumberdaya pesisir dapat memberikan hasil yang
optimal. Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan bobot 0,07 dan rating 2; dan
(6) Adanya dukungan dari masyarakat
Dukungan masyarakat di Desa Kway merupakan bentuk keikutsertaan
masyarakat untuk mendukung kegiatan kelembagaan sasi. Masyarakat mempuyai
peran penting dalam kegiatan kelembagaan sasi. Keterlibatan masyarakat
menandakaan bahwa adanya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan pesisir,
karena kehidupan masyarakat di wilayah pesisir sangat bergantung kepada
sumberdaya tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan bobot 0,08 dan
rating 3.

Faktor internal (kelemahan)


(1) Wilayah pengelolaan sasi terbatas
Keterbatasan wilayah pengelolaan sasi bagi masyarakat lokal di wilayah
pesisir akan memberikan dampak terhadap ruang gerak kelembagaan sasi,
sehingga peluang masyarakat lokal dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir tidak
dilakukan sepenuhnya akan tetapi hanya berdasarkan batas wilayah yang telah
ditentukan Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan bobot 0,09 dari selang
0,0-1,0 dan rating 2 dari selang 1-4;
(2) Aktifitas dalam kelembagaan sasi tidak teratur
Aktifitas yang tidak teratur dalam kelembagaan sasi memberikan dampak
negatif terhadap kegiatan kelembagaan baik dalam internal maupun ekternal
sehingga tujuan pengelolan sumberdaya pesisir akan memberikan hasil yang tidak
maksimal terhadap kelembagaan sasi. Berdasarkan uraian tersebut, maka
diberikan bobot 0,08 dan rating 2;
(3) Pengurus kelembagaan sasi dipilih secara monoton
Pemilihan pengurus kelembagaan secara monoton akan memberikan
pengaruh terhadap aktivitas dalam kelembagan sasi, karena masyarakat yang
dipilih belum tentu aktif dan memiliki pengetahuan tentang kelembagaan sasi
dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Berdasarkan uraian tersebut, maka
diberikan bobot 0,07 dan rating 3;
(4) Tidak mempunyai atribut kelembagaan
Atribut kelembagaan menandakan bahwa pengakuan dari pemerintah
tehadap kelembagaan tersebut bersifat tidak formal, sehingga perhatian dari
pemerintah terhadap kegiatan kelembagaan dalam pengelolan sumberdaya pesisir
kurang maksimal. Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan bobot 0,08 dan
rating 2;
(5) Tidak mempunyai aturan tertulis
Pemberian sanksi bayar denda oleh kelembagaan sasi tidak memiliki aturan
tertulis, tetapi hanya berdasarkan kesepakatan bersama melalui musyawarah.
Tidak adanya aturan tertulis tentang pemberian sanksi dapat melemahkan posisi
kelembagaan sasi dalam pengambilan keputusan. Berdasarkan uraian tersebut,
maka diberikan bobot 0,09 dan rating 2; dan
(6) Waktu buka sasi berdasarkan kebutuhan masyarakat atau pembeli
Dalam kelembagaan sasi dikenal istilah buka sasi yang menandahkan bahwa
pengambilan sumberdaya perikanan di lokasi sasi sudah dibuka, akan tetapi buka
sasi hanya dilaksanakan jika ada pengusaha yang ingin membeli hasilnya dan
tergantung pada kebutuhan masyarakat berdasarkan kesepakatan bersama.
Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan bobot 0,07 dan rating 3.

Faktor eksternal (peluang)


(1) Mencegah konflik dimasyarakat
Pembentukan kelembagaan sasi membawa dampak positif terhadap
masyarakat setempat. Kehadiran kelembagaan sasi dapat mencegah konflik
dimasyarakat yang selama ini menyebabkan kehidupan menjadi tidak harmonis.
Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan bobot 0,1 dari selang 0,0-1,0 dan
rating 4 dari selang 1-4;
(2) Mewujudkan keadilan dalam pemanfaatan hasil laut
Sumberdaya di wilayah pesisir merupakan hak masyarakat untuk
memanfaatkan secara bersama. Namun hak tersebut perlu diatur agar tidak
menimbulkan kecemburuan sosial dalam pemanfataan sumberdaya tersebut.
Selain itu, diperlukan pengaturan terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir agar
tidak menimbulkan konflik. Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan bobot
0,1 dan rating 4; dan
(3) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir
Pengelolaan sumberdaya pesisir oleh kelembagaan sasi diharapkan
memberikan perubahan terhadap kehidupan masayakat.Perubahan tersebut
dilakukan melalui pengaturan tentang pemanfaatan hasil laut.Pengelolan
sumberdaya pesisir oleh kelembagaan sasi diharapkan menciptakan kehidupan
yang tentram di masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat diwujudkan
melalui pemanfaatan hasil laut yang adil antara warga masyarakat. Berdasarkan
uraian tersebut, maka diberikan bobot 0,09 dan rating 3.

Faktor ekternal (ancaman)


(1) Kurangnya perhatian Pemerintah Daerah
Kewenangan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir tidak
lepas dari dukungan pemerintah daerah. Pemerintah daerah memiliki otoritas
terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir. Namun, kurangnya perhatian
pemerintah daerah terhadap kelembagaan sasi menandakan bahwa kurangnya
kordinasi antara pemerintah daerah dengan lembaga aday setempat. Kurangnya
perhatian pemerintah daerah akan mengancam eksistensi sasi di wilayah pesisir.
Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan bobot 0,07 dari selang 0,0-1,0 dan
rating 3 dari selang 1-4;
(2) Adanya pelanggaran terhadap aturan kelembagaan sasi
Munculnya pelanggaran terhadap aturan kelembagaan sasi menandakan
bahwa kurangnya kesadaran masyarakat terhadap aturan kelembagaan sasi. Hal
ini disebabkan karena pemikiran masyarakat tentang manfaat pembentukan
kelembagaan sasi masih rendah. Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan
bobot 0,14 dan rating 1;
(3) Aktifitas penangkapan yang tidak adil antara nelayan
Kegiatan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tidak adil akan mengancam
terjadinya konflik. Konflik tersebut disebabkan oleh nelayan luar yang
menggunakan alat tangkap yang modern. Sedangkan masyarakat pesisir hanya
menggunakan alat tangkap tradisional. Hal ini menyebabkan kecemburuan sosial
antara masyarakat lokal dan masyarakat luar dalam kegiatan penangkapan ikan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan bobot 0,15 dan rating 1;
(4) Demografi penduduk di wilayah pesisir
Demografi penduduk di wilayah pesisir memberikan dampak positif
maupun negatif. Sisi posisitif demografi penduduk yaitu memberikanan
peningkatan terhadap jumlah penduduk yang berada di wilayah pesisir. Namun
sisi negatif dampak demografi penduduk di masyarakat pesisir akan
mempengaruhi pemikiran masyarakat lokal. Hal ini terjadi akibat pengaruh
budaya luar yang masuk sehingga nilai-nilai lokal di masyarakat lambat laun
menjadi hilang. Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan bobot 0,18 dan
rating 1; dan
(5) Adanya kegiatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan pesisir
Kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam yang merusak lingkungan di
wilayah pesisir sering terjadi. Hal ini disebabkan karena kurangnya kesadaran dari
masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Selain itu, lemahnya
penegakan hukum dari pemerintah daerah menyebabkan kondisi ekologi di
wilayah pesisir menjadi terancam. Berdasarkan uraian tersebut, maka diberikan
bobot 0,17 dan rating 1.

5.2.2 Matriks IFES dan EFES


Berdasarkan faktor internal kita dapat mengetahui kondisi kelembagaan sasi
di Desa Keffing dan Desa Kway melalui internal factor evaluation (IFE). Matriks
IFE menggambarkan secara kualitatif nilai dari kekutan dan kelemahan yang ada
di kelembagaan sasi. Matriks IFE di Desa Keffing dapat dilihat pada tabel 12
berikut:
Tabel 12 Matriks Internal Facktor Evaluation (IFE) di Desa Keffing

Nilai
Kode Faktor-faktor Internal Rating Bobot
(Rating x Bobot)
Kekuatan (Strengh)
S1 Adanya kepala adat (Raja) 4 0,08 0,32
Adanya kepala kewang
S2 4 0,1 0,4
(kelembagaan sasi)
S3 Adanya peraturan dan sanksi 4 0,1 0,4
S4 Mempunyai batas wilayah 4 0,1 0,4
Adanya pengakuan dari
S5 pemerintah daerah dan 3 0,07 0,21
pemerintah pusat
S6 Struktur organisasi 3 0,07 0,21
Adanya dukungan dari soa di
S7 3 0,07 0,21
Desa Keffing
Jumlah 2,15
Nilai
Kode Faktor-faktor Internal Rating Bobot
(Rating x Bobot)
Kelemahan (Weakness)
Wilayah pengelolaan sasi
W1 2 0,08 0,16
terbatas
Aktifitas dalam kelembagaan
W2 2 0,07 0,14
sasi tidak teratur
Pengurus kelembagaan sasi
W3 3 0,06 0,18
dipilih secara monoton
Tidak mempunyai atribut
W4 3 0,06 0,18
kelembagaan
Waktu buka sasi berdasarkan
W5 kebutuhan masyarakat/ 2 0,08 0,16
pembeli
Tidak mempunyai aturan
W6 3 0,06 0,18
tertulis
Jumlah 1,00 1,00
Jumlah total 3,15
Menurut David (2003) kriteria analisis SWOT yaitu 1,0-1,99 berada pada
kriteria lemah, 2,0-2,99 berada pada kriteria sedang dan 3,0-4,0 berada pada
kriteria tinggi. Berdasarkan hasil analisis matriks faktor internal diperoleh nilai
sebesar 3,15 nilai ini berada pada kriteria tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
kondisi internal kelembagaan sasi di Desa Keffing didominasi oleh kekuatan yang
mendorong perkembangan kelembagaan sasi. Faktor eksternal berupa peluang dan
ancaman yang telah diidentifikasi, ditabulasikan kedalam matriks eksternal factor
evaluation (EFE). Matriks EFE menggambarakan secara kualitatif nilai dari
peluang dan ancaman yang berkaitan dengan pengembangan kelembagaan sasi
dapat dilihat pada tabel 13 berikut:
Tabel 13 Matriks eksternal factor evaluation (EFE) kelembagaan sasi dalam
pengelolaan perikanan tangkap di Desa Keffing
Nilai
Kode Faktor-faktor Eksternal Rating Bobot
(Rating x Bobot)
Peluang (Opportunity)
Mencegah konflik
O1 4 0,1 0,4
dimasyarakat
Mewujudakan keadilan dalam
O2 4 0,1 0,4
pemanfaatan hasil laut
Meningkatkan kesejahteraan
3 0,1 0,3
O3 masyarakat di wilayah pesisir
Jumlah 1.10
Nilai
Kode Faktor-faktor Eksternal Rating Bobot
(Bobot x Rating)
Ancaman (Threatment)
Pengaruh budaya luar
2 0,09 0,18
T1 terhadap masyarakat lokal
Kurangnya perhatian
T2 pemerintah daerah terhadap 2 0,09 0,18
kelembagaan sasi
Adanya pelanggaran terhadap
2 0,12 0,24
T3 aturan sasi
Aktivitas penangkapan ikan
T4 yang tidak adil antara nelayan 3 0,12 0,36
Demografi penduduk di
T5 wilayah pesisir akan 2 0,13 0,26
mengancam eksistensi sasi
Adanya kegiatan
T6 penangkapan ikan yang 2 0,15 0,3
merusak lingkungan pesisir
Jumlah 1,00 1,52
Jumlah total 2,62

Analisis faktor eksternal kelembagaan sasi dalam pengelolaan perikanan


tangkap di Desa Keffing menghasilkan nilai sebesar 2,62. Nilai ini berada pada
kriteri sedang yang menunjukkan faktor peluang dan ancaman berada pada
kondisi seimbang.
Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa strategi alternatif kelembagaan
sasi dalam pengelolaan perikanan tangkap di DesaKeffing yaitu:
(1) Mengembangkan kelembagaan sasi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir
(2) Memberikan sanksi yang tegas kepada masyarakat yang melanggar aturan
kelembagaan sasi;
(3) Perlu dilakukan penguatan terhadap kelembagaan sasi
(4) Demografi penduduk di wilayah persisir diatur dengan Peraturan Daerah
(PERDA);
(5) Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia; dan
(6) Perlu adanya Peraturan Daerah (PERDA) yang menguatkan (melegalkan)
kearifan lokal.
Tabel 14 Matriks SWOT kelembagaan sasi di Desa Keffing
Kekuatan Kelemahan

1.Adanya kepala 1. Wilayah pengelolaan


Internal adat/raja (S1) sasi terbatas (W1)

2.Adanya pemimpin 2. Aktivitas dalam


kelembagaan sasi(S2) kelembagaan sasi
tidak teratur (W2)
3. Adanya peraturan dan
sanksi (S3) 3.Pengurus
kelembagaan sasi
4. Mempunyai batas
dipilih secara
wilayah (S4)
monoton (W3)
5.Adanya pengakuan dari
pemerintah daerah dan 4. Tidak mempunyai
atribut kelembagaan
pemerintah pusat(S5)
(W4)
6. Memiliki Struktur 5. Waktu buka sasi
organisasi (S6) berdasarkan
kebutuhan
7. Adanya dukungan dari masyarakat /pembeli
Ekstenal Soa di Desa Keffing (W5)
(S7)
6. Tidak mempunyai
aturan tertulis (W6)
Peluang Strategi SO Strategi WO

1. Mencegah konflik 1. Mengoptimalkan 1. Mengoptimalkan


dimasyarakat (O1); kekuatan (S1, S2) (W2 dan W3) agar
untuk menerapkan (S3) (O1) sehingga (O2)
2. Mewujudkan keadilan agar dapat mencapai
dalam pemanfaatan (O1,O2, dan O3) 2. Memperbaiki (W5)
hasil laut (O2); agar mencapai (O1,
2. Menentukan (S4) agar O2, dan O3 )
3.Meningkatkan (O1) dan (O2)
kesejahteraan sehingga dapat (O3) 3. Memperbaiki (W6)
masyarakat di wilayah agar (O1) sehingga
pesisir (O3). 3. Diperlukan (S5) untuk (O2, dan O3)
(O2) sehingga (O3)
dan

4. Diperlukan (S7) untuk


(O1) sehingga (O2,O3)
Ancaman Strategi ST Strategi WT

1. Pengaruh budaya luar 1. Mengoptimalkan 1. Mengoptimalkan


terhadap masyarakat kekuatan (S1dan S2) (W1) untuk
lokal (T1) untuk menerapkan (S3) mencegah (T3, T4
agar mencegah (T3, dan T6);
2. Kurangnya perhatian T4 dan T6)
pemerintah daerah 2. Memperbaiki (W2,
terhadap kelembagaan 2. Menentukan (S4) W3 dan W5) untuk
sasi (T2) untuk menghindari mencegah ( T1, T3,
(T3, T4 dan T6) T4, T5 dan T6)
3. Adanya Pelanggaran
terhadap aturan sasi 3. Memperbaiki (W6)
3. Diperlukan (S5) untuk
(T3) untuk mencegah
meningkatkan (T2) (T3, T4 dan T6).
4. Aktivitas penangkapan
ikan yang tidak adil 4. Diperlukan (S7) untuk
antara nelayan (T4) mencegah (T1, T4, T5
5. Demografi penduduk dan T6).
di wilayah pesisir akan
mengancam eksistensi
sasi (T5)
6. Adanya kegiatan
penangkapan ikan
yang merusak
lingkungan pesisir
(T6)

Matriks IFE (internal factor evaluation) menggambarkan secara kualitatif nilai


dari kekutan dan kelemahan yang ada di kelembagaan sasi. Matriks EFE
(eksternal factor evaluation) menggambarkan secara kualitatif nilai dari peluang
dan ancaman yang ada di kelembagaan sasi. Matriks IFE di Desa Kway dapat
dilihat pada Tabel 15 berikut:
Tabel 15 Matriks Internal Facktor Evaluation (IFE) di Desa Kway

Nilai
Kode Faktor-faktor Internal Rating Bobot
(Rating x Bobot)
Kekuatan (Strengh)
S1 Adanya kapala kewang 4 0,1 0,4
S2 Adanya peraturan dan sanksi 4 0,1 0,36
S3 Mempunyai batas wilayah 4 0,1 0,36
S4 Adanya struktur organisasi 2 0,07 0,14
Adanya dukungan dari
S5 3 0,08 0,24
masyarakat
Adanya pengakuan dari
S6 pemerintah pusat 2 0,07 0,14
danpemerintah daerah
Jumlah 1,72

Nilai
Kode Faktor-faktor Internal Rating Bobot
(Rating x Bobot)
Kelemahan (Weakness)
W1 Wilayah sasi terbatas 2 0,09 0,18
Aktifitas dalam kelembagaan
2 0,08 0,16
W2 tidak teratur
pengurus kelembagaan sasi
3 0,07 0,21
W3 dipilih secara monoton
Tidak mempunyai atribut
2 0,08 0,16
W4 kelembagaan
waktu buka sasi berdasarkan
kebutuhan 3 0,07 0,21
W5 masyarakat/pembeli
Tidak mempunyai aturan
2 0,09 0,18
W6 tertulis
Jumlah 1,00 1,1
Jumlah total 2,82

Berdasarkan hasil analisis matriks faktor internal diperoleh nilai sebesar


2,82 nilai ini berada pada kriteria sedang. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh
faktor internal kekuatan dan kelemahan terhadap kelembagaan sasi di Desa Kway
berada pada kondisi seimbang.
Tabel16 Matriks eksternal factor evaluation (EFE) kelembagaan sasi dalam
pengelolaan perikanan tangkap di Desa Kway

Nilai
Kode Faktor-faktor Eksternal Rating Bobot
(Rating x Bobot)
Peluang (Opportunity)
Mencegah konflik di
O1 4 0,1 0,4
masyarakat
Mewujudkan keadilan dalam
O2 4 0,1 0,4
pemanfaatan hasil laut
Meningkat kesejahteraan
O3 3 0,09 0,27
masyarakat
Jumlah 1,07

Nilai
Kode Faktor-faktor Eksternal Rating Bobot
(Rating x Bobot)
Ancaman (Threatment)
Kurangnya perhatian
T1 pemerintah daerah terhadap 3 0,07 0,21
kearifan lokal
Adanya pelanggaran terhadap
T2 1 0,14 0,14
aturan kelembagaan sasi
Adanya kegiatan penangkapan
T3 ikan yang merusak 1 0,17 0,17
lingkungan pesisir
Demografi penduduk akan
T4 1 0,18 0,18
mengancam eksistensi sasi
Aktifitas penangkapan ikan
T5 1 0,15 0,15
yang tidak adil antara nelayan
Jumlah 1,00 0,85
Jumlah total 1,92

Analisis faktor eksternal kelembagaan sasi dalam pengelolaan perikanan


tangkap di Desa Kway menghasilkan nilai sebesar 1,92. Nilai ini berada pada
kriteria lemah yang menunjukkan ancaman terhadap kelembagaan sasi di Desa
Kway lebih besar dari pada peluang. Hal ini menunjukkan bahwa peluang untuk
mengembangkan kelembagaan sasi di Desa Kway sangat sulit untuk dilakukan.
Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa strategi alternatif kelembagaan sasi
dalam pengelolaan perikanan tangkap di Desa Kway yaitu:
(1) Perlu dilakukan penguatan terhadap kelembagaan sasi;
(2) Diperlukan dukungan dari masyarakat terhadap kelembagaan sasi
(3) Perlu adanya Peraturan Daerah (PERDA) yang menguatkan (melegalkan)
kearifan lokal;
(4) Demografi penduduk di wilayah pesisir harus diatur dengan (PERDA);
(5) Memperbaiki kualitas sumberdaya manusia di Desa Kway; dan
(6) Menerapkan aturan sanksi yang tegas kepada masyarakat yang melanggar.

Tabel 17 Matriks SWOT kelembagaan sasidi Desa Kway


Kekuatan Kelemahan

1.Adanya pemimpin 1. Wilayah pengelolaan


Internal kelembagaan sasi(S1) sasi terbatas (W1)
2.Adanya peraturan dan 2.Aktivitas dalam
sanksi (S2) kelembagaan sasi tidak
3. Mempunyai batas teratur (W2)
wilayah (S3) 3.Pengurus kelembagaan
4.Adanya pengakuan dari sasi dipilih secara
pemerintah daerah dan monoton (W3)
pemerintah pusat(S4) 4.Tidak mempunyai
atribut kelembagaan
5. Memiliki Struktur
(W4)
organisasi (S5)
5.Waktu buka sasi
6. Adanya dukungan dari berdasarkan kebutuhan
Ekstenal masyarakat (S6) masyarakat /pembeli
(W5)
6.Tidak mempunyai
aturan tertulis (W6)

Peluang Strategi SO Strategi WO

1. Mencegah konflik 1. Mengoptimalkan 1. Mengoptimalkan (W2


dimasyarakat (O1); kekuatan (S1) untuk dan W3) agar (O1)
menerapkan (S2) agar sehingga (O2)
2. Mewujudkan dapat mencapai
keadilan (O1,O2, dan O3) 2. Memperbaiki (W5)
dalampemanfaatan agar mencapai (O1,
hasil laut (O2); 2. Menentukan (S3) agar O2, dan O3 )
(O1) dan (O2)
3.Meningkatkan sehingga dapat (O3) 3. Memperbaiki (W6) agar
kesejahteraan (O1) sehingga (O2,
masyarakat di 3. Diperlukan (S4, S6) dan O3)
wilayah pesisir untuk menerapkan (S2)
(O3). sehingga (O1,O2 dan
O3)
Ancaman Strategi ST Strategi WT

1. Kurangnya 1. Mengoptimalkan 1. Mengoptimalkan (W1)


perhatian kekuatan (S1) untuk untuk mencegah (T2,
pemerintah daerah menerapkan (S2) agar T3 dan T5);
terhadap mencegah (T2, T3 dan
kelembagaan sasi T5) 2. Memperbaiki (W2,
(T1) W3 dan W6) untuk
2. Menentukan (S3) mencegah ( T1, T2,
2. Adanya untuk menghindari T3, T4 dan T5)
Pelanggaran (T2, T3 dan T5)
terhadap aturan 3. Memperbaiki
sasi (T2) (W2,W6) untuk
3. Diperlukan (S5) untuk mencegah (T2, T3 dan
3. Aktivitas meningkatkan (T2) T5).
penangkapan ikan
yang tidak adil 4. Diperlukan (S4, S6)
antara nelayan (T3) untuk mencegah (T2,
T3, T4 dan T5).
4. Demografi
penduduk di
wilayah pesisir
akan mengancam
eksistensi sasi (T4)
5. Adanya kegiatan
penangkapan ikan
yang merusak
lingkungan pesisir
(T5)
3.5.4 Matriks Perencanaan Strategis Kualitatif (QSPM)
Matriks Quantitative Strategic Planning Management (QSPM) digunakan
untuk membuat perangkat strategi dengan memperoleh daftar prioritas yang ada.
Berikut adalah strategi perencanaan strategis kelembagaan sasi di Desa Keffing
dapat dilihat pada tabel 18 berikut:
Tabel 18 Matrik QSPM kelembagaan sasi di Desa Keffing
Strategi Alternatif
Faktor Bobot
I II III IV V VI
(S) AS WS AS WS AS WS AS WS AS WS AS WS
S1 0.08 3 0.24 3 0.24 2 0.16 1 0.08 2 0.16 3 0.24
S2 0.1 4 0.4 4 0.4 4 0.4 1 0.1 3 0.3 4 0.4
S3 0.1 4 0.4 2 0.2 4 0.4 2 0.2 2 0.2 4 0.4
S4 0.1 4 0.4 2 0.2 2 0.2 3 0.3 2 0.2 2 0.2
S5 0.07 3 0.21 3 0.21 1 0.07 2 0.14 1 0.07 4 0.28
S6 0.07 2 0.14 2 0.14 1 0.07 1 0.07 1 0.07 3 0.21
S7 0.07 2 0.14 3 0.21 2 0.14 3 0.21 2 0.14 2 0.14
(W)
W1 0.08 3 0.24 4 0.32 2 0.16 3 0.24 1 0.08 2 0.16
W2 0.07 2 0.14 2 0.14 2 0.14 1 0.07 3 0.21 3 0.21
W3 0.06 1 0.06 1 0.06 1 0.06 1 0.06 2 0.12 3 0.18
W4 0.06 1 0.06 1 0.06 1 0.06 1 0.06 2 0.12 3 0.18
W5 0.08 3 0.24 2 0.16 3 0.24 2 0.16 1 0.08 1 0.08
W6 0.06 3 0.18 2 0.12 4 0.24 2 0.12 1 0.06 4 0.24
(O)
O1 0.1 4 0.4 2 0.2 4 0.4 4 0.4 4 0.4 4 0.4
O2 0.1 3 0.3 3 0.3 4 0.4 3 0.3 4 0.4 4 0.4
O3 0.1 1 0.1 1 0.1 2 0.2 1 0.1 3 0.3 2 0.2
(T)
T1 0.09 2 0.18 2 0.18 1 0.09 3 0.27 3 0.27 2 0.18
T2 0.09 1 0.09 2 0.18 2 0.18 1 0.09 2 0.18 4 0.36
T3 0.12 2 0.24 3 0.36 4 0.48 2 0.24 1 0.12 3 0.36
T4 0.12 3 0.36 1 0.12 3 0.36 3 0.36 2 0.24 3 0.36
T5 0.13 4 0.52 3 0.39 1 0.13 4 0.52 1 0.13 2 0.26
T6 0.15 1 0.15 1 0.15 4 0.6 3 0.45 1 0.15 2 0.3
Total 5.19 4.44 5.18 4.54 4.0 5.74
Prioritas II V III IV VI I
Berikut merupakan uraian singkat strategi pengembangan kelembagaan sasi
dalam pengelolaan perikanan tangkap di Desa Keffing berdasarkan matriks QSPM
berdasarkan Tabel 17, antara lain:
1) Perlu adanya Peraturan Daerah (PERDA) yang menguatkan kearifan lokal
Adanya PERDA dapat memberikan manfaat kepada pemerintah daerah
maupun masyarakat dalam pengelolaam sumberdaya alam di wilayah pesisir.
(1) Manfaat PERDA bagi pemerintah daerah yaitu mengontrol kegiatan
pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir sehingga mencegah setiap
pelanggaran yang terjadi. Meringankan tugas pemerintah daerah (Dinas
Perikanan) dalam hal pengawasan terhadap sumberdaya alam di wilayah
pesisir.
(2) Manfaat PERDA bagi masyarakat yaitu merupakan bentuk kepercayaan
pemerintah terhadap masyarakat lokal untuk mengelola sumberdaya alam
secara tradisional. Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
berperan aktif dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Melestarikan nilai-
nilai lokal di masyarakat sehingga dapat dipertahankan dalam upaya
menciptakan pengelolaan sumberdaya alam yang adil dan berkelanjutan.
2) Mengembangkan kelembagaan sasi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir
(1) Mewajibkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam kelembagaan sasi.
Adanya partisipasi memberikan manfaat kepada masyarakat maupun
kelembagaan sasi. Manfaat bagi masyarakat yaitu diberikan kesempatan
untuk ikut mengembangkan kelembagaan sasi melaui kegiatan
kelembagaan. Sedangkan manfaat bagi kelembagaan sasi yaitu adanya
partisipasi masyarakat dapat memberikan dukungan untuk
mengembangkan untuk mempertahankan nilai-nilai lokal di wilayah
pesisir;
3) Perlu dilakukan penguatan terhadap kelembagaan sasi
(1) Penguatan kelembagaan sasi bertujuan untuk meningkatkan peran
masyarakat dalam kelembagaan sasi. Penguatan kelembagaan sasi di Desa
Keffing yaitu adanya diskusi dengan msayarakat dua kali setiap bulan.
Diskusi bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat
tentang pentingnya peran masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya
pesisir. Selain itu, agar kearifan lokal dimasyarakat dapat dipertahankan
dan dikembangkan untuk masa mendatang;
4) Demografi penduduk di wilayah pesisir harus diatur dengan (PERDA)
(1) Demografi penduduk di wilayah pesisir perlu diatur agar masyarakat dapat
mentaati peraturan yang berlaku baik untuk masyarakat lokal maupun
masyarakat luar. Manfaat lain yang diperoleh yaitu menghindari
persaingan antara masyarakat lokal dan masyarakat luar dalam
pemanfaatan hasil laut. Selain itu, agar nilai-nilai lokal di masyarakat tidak
hilang akibat pengaruh budaya luar;
5) Memberikan sanksi yang tegas kepada masyarakat yang melanggar aturan
kelembagaan sasi
(1) Penerapan sanksi dapat memberikan manfaat kepada masyarakat dan
sumberdaya alam. Manfaat bagi masyarakat yaitu hilangnya konflik antar
masyarakat akibat perebutan zona tangkapan. Selain itu, hilangnya konflik
antar nelayan lokal dan nelayan luar akibat penggunaan alat tangkap yang
merusak lingkungan. Manfaat bagi sumberdaya alam yaitu terhindar dari
ancaman kerusakan sumberdaya alam akibat aktifitas penangkapan yang
merusak lingkungan pesisir. Mencegah terjadinya pencurian sumberdaya
alam diwilayah laut;
6) Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia
(1) Memberikan pelatihan-pelatihan mengenai metode operasional dan
teknologi penangkapan ikan kepada nelayan. Pelatihan diberikan oleh
Dinas Perikanan melalui UPTD Perikanan dan Kelautan kepada nelayan di
Desa Keffing guna menambah pengetahuan tentang penangkapan ikan;
(2) Pembinaan dan penyuluhan terhadap masyarakat perlu dilakukan tentang
bagaimana kegiatan penangkapan ikan yang ramah lingkungan.
Penyuluhan tersebut diberikan oleh Dinas Perikanan Kecamatan Seram
Timur dan bekerjasama dengan ahli perikanan.
Berikut adalah strategi perencanaan strategis kelembagaan sasi di Desa
Kway dapat dilihat pada tabel 19 berikut:

Tabel 19 Matrik QSPM kelembagaan sasi di Desa Kway

Strategi Alternatif
Faktor Bobot
I II III IV V VI
(S) AS WS AS WS AS WS AS WS AS WS AS WS
S1 0.1 4 0.4 2 0.2 4 0.4 2 0.2 1 0.1 3 0.3
S2 0.1 4 0.4 3 0.3 3 0.3 1 0.1 1 0.1 3 0.3
S3 0.1 3 0.3 3 0.3 2 0.2 2 0.2 2 0.2 3 0.3
S4 0.07 2 0.14 1 0.07 3 0.21 2 0.14 2 0.14 2 0.14
S5 0.08 2 0.16 1 0.08 2 0.16 1 0.08 1 0.08 1 0.08
S6 0.07 3 0.21 3 0.21 2 0.14 3 0.21 2 0.14 2 0.14
(W)
W1 0.09 2 0.18 1 0.09 2 0.18 3 0.27 1 0.09 2 0.18
W2 0.08 3 0.24 3 0.24 2 0.16 1 0.08 2 0.16 1 0.08
W3 0.07 1 0.07 2 0.14 1 0.07 1 0.07 1 0.07 2 0.14
W4 0.08 1 0.08 1 0.08 2 0.16 1 0.08 1 0.08 2 0.16
W5 0.07 2 0.14 2 0.14 1 0.07 2 0.14 2 0.14 1 0.07
W6 0.09 3 0.27 2 0.18 3 0.27 2 0.18 2 0.18 3 0.27
(O)
O1 0.1 3 0.3 3 0.3 2 0.2 2 0.2 3 0.3 3 0.3
O2 0.1 4 0.4 3 0.3 4 0.4 2 0.2 2 0.2 3 0.3
O3 0.09 2 0.18 1 0.09 3 0.27 1 0.09 1 0.09 1 0.09
(T)
T1 0.07 2 0.14 1 0.07 3 0.21 2 0.14 1 0.07 1 0.07
T2 0.14 3 0.42 3 0.42 2 0.28 1 0.14 2 0.28 3 0.42
T3 0.17 1 0.17 2 0.34 2 0.34 1 0.17 2 0.34 3 0.51
T4 0.18 2 0.36 2 0.36 1 0.18 3 0.54 2 0.36 1 0.18
T5 0.15 1 0.15 1 0.15 2 0.3 1 0.15 1 0.15 3 0.45
Total 4.71 4.06 4.5 3.38 3.27 4.48
Prioritas I IV II V VI III

Berikut merupakan uraian singkat strategi pengembangan kelembagaan sasi


dalam pengelolaan perikanan tangkap di Desa Kway berdasarkan matriks QSPM
berdasarkan Tabel 18, antara lain:
1) Perlu dilakukan penguatan terhadap kelembagaan sasi
(1) Penguatan kelembagaan sasi bertujuan untuk meningkatkan peran
masyarakat dalam kelembagaan sasi. Penguatan kelembagaan sasi di Desa
Kway yaitu adanya diskusi bersama yang dilakukan oleh kelembagaan sasi
selama dua kali dalam satu bulan. Selain itu, adanya doa bersama di
masyarakat sebagai penghormatan terhadap leluhur mereka. Tujuannya
doa bersama agar masyarakat dapat mengingat dan mempertahankan nilai-
nilai lokal yang telah dilakukan oleh nenek moyang mereka dalam
kehidupan sehari-hari.
2) Perlu adanya Peraturan Daerah (PERDA) yang menguatkan kearifan lokal
Adanya PERDA dapat memberikan manfaat kepada pemerintah daerah
maupun masyarakat dalam pengelolaam sumberdaya alam di wilayah pesisir.
(1) Manfaat PERDA bagi pemerintah daerah yaitu mengontrol kegiatan
pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir sehingga mencegah setiap
pelanggaran yang terjadi. Meringankan tugas pemerintah daerah (Dinas
Perikanan) dalam hal pengawasan terhadap sumberdaya alam di wilayah
pesisir.
(2) Manfaat bagi masyarakat dengan adanya PERDA yaitu merupakan bentuk
kepercayaan pemerintah terhadap masyarakat lokal untuk mengelola
sumberdaya alam secara tradisional. Memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk berperan aktif dalam pengelolaan sumberdaya pesisir.
Melestarikan nilai-nilai lokal di masyarakat sehingga dapat dipertahankan
dalam upaya menciptakan pengelolaan sumberdaya alam yang adil dan
berkelanjutan.
3) Menerapkan aturan sanksi yang tegas kepada masyarakat yang melanggar
(1) Penerapan sanksi dapat memberikan manfaat kepada masyarakat dan
sumberdaya alam. Manfaat bagi masyarakat yaitu hilangnya konflik antar
masyarakat akibat perebutan zona tangkapan. Selain itu, hilangnya konflik
antar nelayan lokal dan nelayan luar akibat penggunaan alat tangkap yang
merusak lingkungan. Manfaat bagi sumberdaya alam yaitu terhindar dari
ancaman kerusakan sumberdaya alam akibat aktifitas penangkapan yang
merusak lingkungan pesisir. Mencegah terjadinya pencurian sumberdaya
alam diwilayah laut;
4) Diperlukan dukungan dari masyarakat terhadap kelembagaan sasi
Dukungan masyarakat terhadap kelembagaan sasi sangat dibutuhkan baik
secara langsung maupun tidak langsung.
(1) Dukungan secara langsung yaitu masyarakat ikut terlibat dalam setiap
kegiatan kelembagaan sasi baik sebagai pengurus maupun sebagai anggota
kelembagaan. Dukungan tersebut memberikan kekuatan bagi kelembagaan
untuk menerapkan aturan yang telah ditetapkan.
(2) Dukungan secara secara tidak langsung yaitu masyarakat mematuhi dan
mentaati peraturan yang diterapakan oleh kelembagaan dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan di wilayah pesisir.
5) Demografi penduduk di wilayah pesisir harus diatur dengan (PERDA)
(1) Demografi penduduk di wilayah pesisir perlu diatur agar masyarakat dapat
mentaati peraturan yang berlaku baik untuk masyarakat lokal maupun
masyarakat luar. Manfaat lain yang diperoleh yaitu menghindari
persaingan antara masyarakat lokal dan masyarakat luar dalam
pemanfaatan hasil laut. Selain itu, agar nilai-nilai lokal di masyarakat tidak
hilang akibat pengaruh budaya luar;
6) Memperbaiki kualitas sumberdaya manusia di Desa Kway
(1) Memberikan pelatihan-pelatihan mengenai metode operasional dan
teknologi penangkapan ikan kepada nelayan. Pelatihan diberikan oleh
Dinas Perikanan melalui UPTD Perikanan dan Kelautan kepada nelayan di
Desa Keffing guna menambah pengetahuan tentang pemanfaatan
sumberdaya alam yang ramah lingkungan;
(2) Pembinaan dan penyuluhan terhadap masyarakat perlu dilakukan tentang
bagaimana kegiatan penangkapan ikan yang ramah lingkungan.
Penyuluhan tersebut diberikan oleh Dinas Perikanan Kecamatan Seram
Timur dan bekerjasama dengan ahli perikanan.
6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini antara lain:
1) Sejarah sasi di Desa Keffing dan Desa Kway telah ada sejak zaman dahulu
sebagai komitmen bersama para nenek moyang mereka untuk menjaga
sumberdaya alam dan lingkungan dimana mereka tinggal. Komitmen tersebut
berdasarkan pemikiran bahwa kehidupan nenek moyang di zaman dahulu
sangat bergantung pada sumberdaya alam di sekitar mereka. Mengingat
masyarakat lokal di Desa Keffing dan Desa Kway berasal dari satu keturunan
sehingga perlu mengatur agar tidak terjadi konflik dalam pemanfaatan
sumberdaya alam;
2) Sistem kelembagaan sasi di Desa Keffing dan Desa Kway meliputi; pertama
sejarah sasi yang telah ada sejak zaman dahulu sebagai komitmen bersama para
nenek moyang untuk menjaga lingkungan. Kedua batas wilayah berjarak 500
meter diukur dari tepi pantai kearah laut dengan panjang 800 meter kearah
samping (Desa Keffing), dan 400 meter dari tepi pantai kearah laut dengan
panjang 700 meter kearah samping (Desa Kway) . Ketiga sistem aturan terdiri
dari aturan buka sasi dan tutup sasi yang ditandai dengan pemasangan janur
kuning (tutup sasi) dan upacara adat (buka sasi). Keempat sistem sanksi terdiri
dari sanksi bayar denda, sanksi sosial dan sanksi yang bersumber dari alam
(supranatural). Kelima legalitas kelembagaan sasi berdasarkan kesepakatan
bersama dan kebiasaan para leluhur. Keenam otoritas sasi merupakan
kewenangan atas pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir; dan
3) Strategi penguatan terhadap kelembagaan sasi di Desa Keffing dan Desa Kway
yaitu adanya Peraturan Daerah (PERDA) yang menguatkan pelaksanaan
kearifan lokal, diperlukan dukungan dari masyarakat, memperbaiki kualitas
sumberdaya manusia, menerapkan peraturan dan sanksi yang tegas kepada
masyarakat yang melanggar, dan demografi penduduk di wilayah setempat
harus diatur melalui Peraturan Daerah (PERDA).
6.2 Saran
Saran dari penelitian ini, yaitu:
Perlu penguatan dari instansi pemerintah berupa penetapan Peraturan
Daerah (PERDA) yang menguatkan (melegalkan) kearifan lokal di Kecamatan
Seram Timur, khususnya Desa Keffing dan Desa Kway sehingga dapat menjadi
alternatif pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini E. 2002. Analisis Penyusunan Model Pengelolaan Sumberdaya Laut :


Tinjauan Sosiologi dan Kelembagaan di Kelurahan Pulau Panggang,
Kepulauan Seribu [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan,Institut Pertanian Bogor. 85 hlm.

[BPS Seram Bagaian Timur] Badan Pusat Statistik Seram Bagian Timur. 2010.
Laporan Tahunan Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan SBT-2010.
Maluku (ID). BPS.

Bungin B. 2007. Penelitian Kualitatif: Jakarta (ID): Prenada Media Group


Bokar. 2006. Hak Ulayat Masyarakat yang ada dalam Masyarakat Labuhanbatu
Demi Terciptanya Tertib Hukum tentang Pengusahaan Tanah.
Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Sumatra Utara.
Carter. 1996. Fisheries Co-management. Pksplipb [internet]. [diunduh 2011
September 17]. Tersedia pada http//:pksplipb.org.com.
Dahuri R. 1999. Skema Pemabangunan Perikanan Nasonal dalam Mendukung
Pengembangan Ekonomi dan Kesejahteraan Nasional. Disampaikan
pada Seminar dan Kongres Nasional HIMAPIKANI V di Bogor, 23
November 1999 (Makalah).
David FR. 2003. Manajemen strategis: Konsep-Konsep. Jakarta (ID): Indeks.
Diniah. 2008. Pengenalan Perikanan Tangkap. Departemen Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
,Institut Pertanian Bogor. 62 hlm.
Fadlun AA. 2006 Kajian Yuridis Terhadap Sasi Sebagai Model Konservasi
Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat di Maluku Tengah (Tidak
Dipublikasikan)[Tesis]. Manado (ID): Sub Program Hukum
Pemerintahan Wilayah Kepulauan, Program Studi Ilmu Hukum,
Universitas Sam Ratulangi. 120 hlm.
Fathullah. 2000 Juli 3. Otonomi Daerah dan Penguatan Hukum Masyarakat.
Kompas: halaman 10 (kolom 4-7).
Fauzi SA. 2000. Konsep dan Pengertian Sumberdaya Alam. (Paper Bahan Kuliah)
Karim M, Nugraha T, Solihin A, Suhana. 2005. Strategi Pembangunan Kelautan
dan Perikanan Indonesia. Jakarta (ID): Humaniora.
Kherallah M. and J. Kirsten. 2001. The New Institutional Economic: Applications
For Agricultural Policy Research In Developing Coutries. Internation
Food Policy Research Institute. Washington.D.C.
Kissya E. 1993. Sasi Aman Haru-ukui: Tradisi Kelola Sumberdaya Alam Lestari
di Haruku. Seri Pustaka Khasana Budaya Lokal, Yayasan Sejati.
Jakarta
Lakollo J E. 1988. Hukum Sasi di Maluku Suatu Potret Bina Mulia Lingkungan
Pedesaan yang Dicari oleh Pemerintah. Pidato Dies Natalis XXV
Unversitas Pattimura Ambon.
Monintja DR. 1989. Perikanan Tangkap di Indonesia: Suatu Pengantar. Bogor
(ID): Jurusan Pemanfataan Sumberdaya Perikanan, Fakultas
Perikanan, Institut Pertanian Bogor. 49 hlm.
Murdiyanto B. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai. Jakarta (ID):
Direktoral Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan
Perikanan. 200 hlm.
Nikijuluw VPH. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta (ID):
Pustaka Cidesindo. 254 hlm.

North DC. 1995. The new institutional economic and third world development. In:
Harris J, Hunter J and Lewis C. (eds.) . 1995. The New Institutional
Economic and Third Word Development. Pp 17-26, Routledge,
London.

Novaczek and Harkes. 1998. Sumberdaya alam dan jaminan sosial. Yogyakarta
(ID): Pustaka pelajar (anggota IKAPI)
Ostronom E. 1985. Formulating the elements of institutional analysis. Paper
presented Conference on Institutional Analisis and Development.
Washington D.C. May 21-22 1985.

Pattinama W, dan Pattipelony M. 2003. Upacara Sasi ikan Lompa di Negeri


Haruku. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. Balai Kajian dan
Nilai Tradisional; Ambon 2003.

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 3 Tahun 1997 tentang


Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat,
Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat di Daerah, Pasal
1 huruf e. Ireyogya [internet]. [diunduh 2011 November 20]. Tersedia
pada http://www.ireyogya.org/adat/peranan.htm.

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 3 Tahun 1997 tentang


Pemberdayaan danPelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat,
Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat di Daerah, Pasal
6 tentang Hak dan Wewenang Lembaga Adat. Ireyogya [internet].
[diunduh 2011 November 20]. Tersedia pada
http://www.ireyogya.org/adat/peranan.htm.

Pomeroy R S, and MJ. Williams. 1994. Fisheries Co-management and Small-scale


Fisheries: A Policy Brief. ICLARM, Manila, Philippines.
Rangkuti F. (2001). Analisis SWOT Teknik membedah Kasus Bisnis. Jakarta (ID):
PT Gramedia Pustaka Utama. hlm 18-35.

Rangkuti F. (2005). Analisis SWOT Teknik membedah Kasus Bisnis. Jakarta (ID):
PT Gramedia Pustaka Utama. hlm 19-35.
Ruddle K. External forces, change in traditional community-based fishery
management systems in the Asia-Pacific Region. MAST (Maritime
Anthropological Studies) 1993; 6 (1/2):1–37. Amsterdam: Spinhuis
Publishers.
Ruttan VW, and Hayami Y. 1984. Toward a theory of induced institutional
innovation. Journal of Development Studies. Vol 20: 22-203.
Sarasehan. 1999. Masyarakat Adat Nusantara Menggugat Posisi Masyarakat
Adat Terhadap Negara. Yogyakarta (ID): Pustaka pelajar
Satria A. 2001. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan (Fisheries
Management) (Draf Buku).
Satria A. 2002a. Menuju Desentralisasi Pengelolaan Kelautan. Jakarta (ID):
Pustaka Cidesindo.
Satria A. 2002b. Acuan Singkat Menuju Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya
Perikanan. Jakarta (ID): Pustaka Cidesindo.
Silaya TH. 2005. Kaerifan Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan [Tesis]. Studi kasus di Kecamatan Taniwel
Kabupaten Seram Bagian Barat. Yogyakarta (ID): Fakultas
Kehutanan, Universitas Gaja Madah. 123 hlm.
Solihin A. 2002. Analisis Awig-Awig dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
di Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara
Barat [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor. 82 hlm.
Solihin A. 2004 . Desentralisasi Kelautan dan Revitalisasi Kearifan Lokal”.
Suara Karya. 27 Desember, Jakarta (ID): Halaman 3
Solihin A. 2010. Konservasi Sumberdaya Ikan Berbasis Kearifan Lokal. Jakarta:
Kementrian Kelautan dan Perikanan; Direktorat Jenderal Kelautan
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dan Direktorat Konservasi dan Jenis
Ikan.106 hlm.
Suhana. 2008. Pengakuan Keberadaan Kearifan lokal Lubuk Larangan Indarung
Kabupaten Kuantan Singingi Propinsi Riau dalam Pengelolaan
Perlindungan Lingkungan Hidup. Artikel Publikasi COMMIT (Center
for Ocean development and Maritim Sivilization studies) tanggal 24
Juli 2008.
[RI] Republik Indonesia. 1999. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Jakarta (ID): RI.
[RI] Republik Indonesia. 2007. Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Jakarta (ID): RI.
[RI] Republik Indonesia. 2004. Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 45
Tahun 2009. Jakarta (ID): RI.
Uphoff N. 1986. Local Institutional Development. West Hartford. CT. Kumarian
Press
Wahyono, Laksono, Rahman P, Ratna I, Sudiyono, Surmiati A. 2000. Hak Ulayat
Laut di Kawasan Timur Indonesia. Yogyakarta (ID): Media Presindo.
Wattimena GA, and Papilaya E. 2005 April 20. Model Agroforestry di Maluku.
Ambon Expres: halaman 20, 21 dan 22.
Wignjodipoero S. 1967. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta (ID): PT
Gunung Agung .
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Produksi perikanan berdasarkan jenis ikan di Kabupaten Seram
Bagian Timur pada tahun 2005 – 2011

Jenis ikan
No Tahun Pelagis Pelagis
kecil besar Demersal Non-ikan Jumlah
1 2005 3.800,00 2.091,00 441,00 24,00 6.356
2 2006 3.816,00 2.123,00 741,00 66,00 6.746
3 2007 3.837,00 2.855,00 854,00 769,00 8.315
4 2008 4.154,00 2.967,00 923,00 316,00 8.351
5 2009 4.298,00 3.121,00 1.032,00 4.201,00 12.652
6 2010 4.333,29 815,90 3.540,32 10,19 8.7
7 2011 8.631,29 3.936,90 4.572,42 4.211,19 21.352

Lampiran 2 Jumlah rumah tangga perikanan di Kabupaten Seram Bagian Timur


pada tahun 2007 – 2010

Rumah tangga perikanan / fisheries houshold


Kecamatan
Tangkap Tambak Kolam Budidaya laut
Pulau groom 2711 - - 145
Wakate 771 - - 31
Seram timur 2037 - - 85
Tutuk tolu 306 - - -
Kilmury - - - -
Werinama 963 - - -
Siwalalat - - - -
Bula 971 - - 85
2010 7759 - - 346
2009 7369 - - 1081
2008 7405 - - 1097
2007 7925 - - 1081
Lanjutan lampiran 2
Rumah tangga perikanan / fisheries houshold
Kecamatan
Tangkap Tambak Kolam Budidaya laut
Pulau groom 1005 - - 145
Wakate 730 - - 31
Seram timur 2411 - - 85
Tutuk tolu 306 - - -
Kilmury - - - -
Werinama 382 - - -
Siwalalat - - - -
Bula 357 - - 85
2010 5191 - - 346
2009 14854 - - 598
2008 16326 - - 2194
2007 15854 - - 2162

Lampiran 3 Jumlah armada pengkapan ikan menurut jenis, ukuran per Kecamatan
di Kabupaten Seram Bagian Timur pada Tahun 2007- 2010

Perahu tanpa motor Motor tempel


Kecamatan
Jukung Kecil Sedang Besar Yamaha Katinting
Pulau
Gorom 52235 138 50 36 127 226
Wakate 350 51 61 15 17 111
Seram
Timur 1184 240 24 9 29 309
Tutuk Tolu 127 89 5 48
Kilmury
Werinama 91 34 27 10 61
Siwalalat
Bula 121 22 11 5 12 38
2010 2395 574 178 65 196 793
2009 3183 862 745 277 136 883
2008 3435 1602 1114 199 199 1119
2007 33190 1811 1320 390 141 914
Lanjutan lampiran 3
Perahu/ kapal/ motor (GT)
Kecamatan Jumlah total
1-10 11-19 20-30 35-50
Pulau Gorom 12 - - - 1125
Wakate 1 - - - 606
Seram Timur 17 - 2 - 1833
Tutuk Tolu - - - - 269
Kilmury - - - -
Werinama 2 - - - 227
Siwalalat - - - -
Bula - - - - 209
2010 32 - 2 - 4269
2009 65 - - - 6151
2008 93 - - - 8050
2007 80 - - - 7846

Lampiran 4 Jumlah Alat Penangkapan Ikan Menurut Jenis dan per Kecamatan di
Kabupaten Seram Bagian Timur Tahun 2007 – 2010

Jenis alat
Kecamatan Jaring Jaring
Pukat Pukat Jaring insang
insang insang
pantai cincin tetap
hanyut lingkar
Pulau Gorom 47 27 98 3 34
Wakate 8 16 90 27 10
Seram Timur 86 25 196 195 38
Tutuk Tolu 17 4 19 24 -
Kilmury - - - - -
Werinama 3 3 16 10 -
Siwalalat - - - - -
Bula 12 4 22 52 -
2010 173 79 141 311 82
2009 199 49 315 386 235
2008 199 53 360 934 513
2007 153 40 345 925 411
Lanjutan lampiran 4

Jenis alat
Kecamatan Pancing Pancing Pancing Pancing
Pancing lain
tonda ulur tegak cumi
Pulau
Gorom 73 203 22 - 34
Wakate 90 131 10 - 10
Seram Timur 247 446 67 77 38
Tutuk Tolu 23 77 13 - -
Kilmury - - - 1
Werinama 25 52 12 - -
Siwalalat - - - -
Bula 22 91 4 - -
2010 480 1000 128 77 68
2009 472 1129 1903 176 522
2008 273 1128 3955 139 46
2007 208 1127 3762 114 16

Lampiran 6 Nilai produksi perikanan per Kecamatan di Kabupaten Seram Bagian


Timur tahun 2009 – 2010

Produksi (ton)
Kecamatan Perikanan laut Perikanan darat Jumlah
Air Air
Tangkap Budidaya tawar laut
Seram Timur 9.554.644 - - - 9.554.644
Pulau Gorom 3.559.595 65 - - 3.559.660
Werinama 545.014 - - - 545.014
Bula 1.132.800 - - - 1.132.800
Tutuk Tolu 1.940.000 - - - 1.940.000
Wakate 3.696.191 - - - 3.696.191
Kilmury - - - - -
Siwalalat - - - - -
Total
Lanjutan lampiran 6
Produksi (ton)
Kecamatan Perikanan laut Perikanan darat Jumlah
Air Air
Tangkap Budidaya tawar laut
Seram Timur 70.917.412.500 - - - 9.554.644
Pulau Gorom 26.696.962.500 65 - - 3.559.660
Werinama 4.087.605.000 - - - 545.014
Bula 8.496.000.000 - - - 1.132.800
Tutuk Tolu 14.553.105.000 - - - 1.940.000
Wakate 27.721.350.000 - - - 3.696.191
Kilmury - - - - -
Siwalalat - - - - -
Total 152.472.435.000 388.68 152.472.823.68

Anda mungkin juga menyukai