Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rumah sakit adalah sarana pelayanan kesehatan yang dibutuhkan ketika


seseorang sakit dan membutuhkan bantuan dengan tujuan untuk menyelamatkan
kondisi pasien. Keselamatan pasien di rumah sakit melibatkan partisipasi dari semua
petugas kesehatan, terutama perawat. Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan
yang mempunyai jumlah cukup dominan di rumah sakit yaitu sebesar 50 sampai 60%
dari jumlah tenaga kesehatan yang ada. Pelayanan asuhan keperawatan yang
diberikan kepada pasien merupakan pelayanan yang terintegrasi dari pelayanan
kesehatan yang lainnya dan memiliki peran yang cukup penting bagi terwujudnya
kesehatan dan keselamatan pasien. Perawat adalah pejabat eksekutif kesehatan
dengan waktu kerja tertinggi yang memberikan 24 jam pelayanan terus menerus serta
harus berkolaborasi dengan tim kesehatan lain dan oleh karena itu lah hal tersebut
dapat menyebabkan atau berisiko terjadinya Insiden Keselamatan Pasien. Selain itu,
perawat memiliki peran yang paling dominan dalam mencegah terjadinya kesalahan
dalam pengobatan, termasuk pelaporan insiden, mendidik diri sendiri dan orang lain.
Budaya organisasi adalah pedoman tidak tertulis tentang aturan, standar
perilaku baik diterima atau tidak oleh setiap karyawan dalam organisasi. Budaya
keselamatan pasien adalah pola terpadu perilaku individu dan organisasi dalam
memberikan pelayanan yang aman dan bebas dari cedera. Budaya keselamatan adalah
output dari individu dan kelompok terhadap nilai-nilai, sikap, kompetensi, dan pola
dan kebiasaan yang mencerminkan komitmen dan gaya dan kemampuan organisasi
dan manajemen keselamatan kesehatan. Budaya keselamatan pasien merupakan suatu
hal yang penting karena membangun budaya keselamatan pasien merupakan suatu
cara untuk membangun program keselamatan pasien secara keseluruhan, karena
apabila kita lebih fokus pada budaya keselamatan pasien maka akan lebih
menghasilkan hasil keselamatan yang lebih apabila dibandingkan hanya menfokuskan
pada programnya saja.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu Corporate Culture dan Pelayanan Perawatan Pasien dalam Rumah
Sakit?
2. ….
3. Bagaimana hubungan Corporate Culture dengan Pelayanan Pasien dalam
Rumah Sakit

1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa itu Corporate Culture dan Pelayanan Pasien dalam Rumah
Sakit
2.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Corporate Culture dan Pelayanan Perawatan Pasien dalam Rumah Sakit

A. Pengertian Corporate Culture


Corporate Culture ( Budaya Organisasi) adalah pola nilai-nilai dan keyakinan
bersama yang membantu individu memahami fungsi organisasi dan dengan demikian
menyediakan mereka norma-norma perilaku dalam organisasi (Deshpande dan
Webster 1989, ppp.4).
Schein dalam Tjahjono (2003) mendefinisikan budaya organisasi sebagi suatu
pola dari asumsi-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh
suatu kelompok tertentu dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau
menganggulangi masalah-masalah yang timbul sebagai akibat adaptasi eksternal dan
integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup baik, sehingga perlu diajarkan
kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami,
memimikirkan dan merasakan berkenaan dengan masalah-masalah tersebut.
David (2004) menyatakan bahwa : “Budaya organisasi adalah pola tingkah
laku yang dikembangkan oleh suatu organisasi yang dipelajarinya ketika menghadapi
masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal, yang telah terbukti cukup baik.
untuk disahkan dan diajarkan kepada anggota baru sebagai cara untuk menyadari,
berpikir dan merasa
Menurut Sule dan Saefullah (2005) : “Budaya organisasi merupakan nilai-
nilai dan norma yang dianut dan dijalankan oleh sebuah organisasi terkait dengan
lingkungan di mana organisasi tersebut menjalan kegiatannya“.
B. Pengertian Pelayanan Perawatan Pasien dalam Rumah Sakit

Menurut Kotler (2002) definisi pelayanan adalah setiap tindakan atau kegiatan
yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak
nyata dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Produksinya dapat dikaitkan
atau tidak dikaitkan pada satu produk fisik. Kotler juga mengatakan bahwa pelayanan
merupakan perilaku produsen dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan
konsumen demi tercapainya kepuasan pada konsumen itu sendiri, perilaku tersebut
dapat terjadi pada saat, sebelum dan sesudah terjadinya transaksi. Pada umumnya
pelayanan yang bertaraf tinggi akan menghasilkan kepuasan yang tinggi serta
pembelian ulang yang lebih sering.
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan
bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan,
berbentuk pelayanan bio-psiko-sosial-spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada
individu, keluarga dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh
proses kehidupan (Lokakarya Nasional PPNI, 1983 dalam Kusnanto, 2004).
Pelayanan keperawatan (nursing service) adalah upaya untuk membantu
individu baik sakit maupun sehat, dari lahir sampai meninggal dalam bentuk
peningkatan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki (pasien) sehingga individu
tersebut secara optimal melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri. (Handerson,
1966 dalam Ali, 2002).
Dapat disimpulkan yang dimaksud dengan keperawatan dan pelayanan
keperawatan adalah bantuan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada individu,
keluarga dan masyarakat dalam bentuk pelayanan bio, psiko, sosial dan spiritual
dengan menggunakan ilmu dan kiat keperawatan baik sakit maupun sehat agar
menjadi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain dalam merawat dirinya sendiri
2.2 Fungsi Corporate Culture dan Pelayanan Perawatan Pasien dalam
Rumah Sakit
A. Fungsi Corporate Culture
Corporate Culture dibuat berdasarkan nilai-nilai yang diyakini benar oleh
segenap anggota perusahaan dan selaras dengan Visi dan Misi perusahaan
tersebut. Fungsi Corporate Culture antara lain adalah sebagai perekat sosial dalam
mempersatukan anggota untuk mencapai tujuan perusahaan berupa ketentuan dan
atau nilai-nilai yang harus diterapkan dan dilakukan oleh para anggota perusahaan.
Manfaat Corporate Culture bagi perusahaan antara lain adalah dapat menciptakan
SDM yang memiliki integritas, pengetahuan, keahlian/ketrampilan maupun sikap,
perilaku dan moral yang baik sehingga mampu mendorong tercapainya Visi dan Misi.
Sedangkan bagi karyawan, Corporate Culture akan menjadi acuan/pedoman
berperilaku dalam melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawab dalam
pelaksanaan tugas sehari-hari sehingga mampu berperan memberikan kontribusi
optimal terhadap pencapaian Visi dan Misi perusahaan.
Menurut Ndraha (2003) budaya mempunyai beberapa fungsi, diantaranya:
1. Sebagai identitas dan citra suatu masyarakat
2. Sebagai pengikat suatu masyarakat
3. Sebagai sumber inspirasi, kebanggaan, dan sumber daya
4. Sebagai kekuatan penggerak
5. Sebagai kemampuan untuk membentuk nilai tambah
6. Sebagai pola perilaku
7. Sebagai warisan
8. Sebagai substitusi (pengganti) formalisasi.
9. Sebagai mekanisme adapatasi terhadap perubahan
10. Sebagai proses yang menjadikan bangsa kongruen dengan negara sehingga
terbentuk nation-state.
Menurut Kreitner dan Kinicki (2003) budaya organisasi mempunyai 4 (empat)
fungsi yaitu:
1. Memberikan identitas kepada karyawannya
2. Memudahkan komitmen kolektif
3. Memberikan stabilitas sistem sosial
4. Membentuk perilaku dengan membantu manajer merasakan
keberadaannya.

Menurut Robbins (1996, dalam Rastodio, 2009 ), fungsi budaya organisasi


terdiri dari :

1. Budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dan


yang lain.
2. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih
luas daripada kepentingan diri individual seseorang.
4. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan
organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk
dilakukan oleh karyawan.
5. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu
dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.

Budaya organisasi menurut Noe dan Mondy (1996, dalam rastodio, 2009)
berfungsi untuk:

1. Memberikan sense of identity kepada para anggota organisasi untuk


memahami visi, misi, serta menjadi bagian integral dari organisasi.

b. Menghasilkan dan meningkatkan komitmen terhadap misi organisasi


c. Memberikan arah dan memperkuat standar perilaku untuk mengendalikan pelaku
organisasi agar melaksanakan tugas dantanggung jawabnya secara efektif dan efisien
untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang telah disepakati bersama.

B. Fungsi Pelayanan Perawatan Pasien dalam Rumah Sakit


Pelayanan Perawatan Pasien dalam Rumah Sakit memiliki fungsi yaitu:

1. Promotif (memelihara dan meningkatkan kesehatan), hal ini diperlukan


misalnya dalam peningkatan gizi, perbaikan sanitasi lingkungan.
2. Preventif (pencegahan terhadap orang yang berisiko terhadap
penyakit), terdiri dari :
o Preventif Primer
Terdiri dari program pendidikan, seperti imunisasi,penyediaan
nutrisi yang baik, dan kesegaran fisik.
o Preventif Sekunder
Terdiri dari pengobatan penyakit pada tahap dini untuk
membatasi kecacatan dengan cara mengindari akibat yang timbul
dari perkembangan penyakit tersebut.
o Preventif tersier.
o Pembuatan diagnosa ditunjukan untuk melaksanakan tindakan
rehabilitasi, pembuatan diagnosa dan pengobatan.
3. Kuratif (penyembuhan penyakit).
4. Rehabilitasi (pemulihan), usaha pemulihan seseorang untuk mencapai
fungsi normal atau mendekati normal setelah mengalami sakit fisik
atau mental , cedera atau penyalahgunaan.
2.3 Karakteristik Budaya Organisasi dalam Pelayanan Perawatan Pasien
dalam Rumah sakit
Pertama, asumsi karyawan tentang keterkaitan lingkungan organisasi yang
menunjukkan bahwa organisasi mereka didominasi dan sangat dipengaruhi oleh
beberapa pihak eksternal, yaitu pemilik saham, Departemen Kesehatan sebagai
pembina teknis, dan masyarakat pengguna jasa kesehatan sebagai konsumen. Peran
masyarakat kini begitu dirasakan sejak RS menjadi institusi yang harus mampu
menghidupi dirinya sendiri tanpa mengandalkan subsidi lagi dari PTPN XI. Pada
situasi seperti ini, karyawan menyadari betul fungsi yang harus dimainkan ketika
berhadapan dengan konsumen, yaitu mereka harus memberikan pelayanan terbaik
kepada pasien dan keluarganya, serta para pengunjung lainnya.

Nilai-nilai yang sudah ditanamkan kepada tenaga kesehatan dalam memberikan


pelayanan kepada pasien tadi dapat terungkap dari pandangan mereka bahwa justru
pasien orang terpenting dalam pekerjaan mereka. Pasien adalah raja yang mana
semua karyawan bergantung padanya bukan pasien yang bergantung pada karyawan.
Pasien bukanlah pengganggu pekerjaan karyawan namun merekalah tujuan karyawan
bekerja. Karyawan bekerja bukan untuk menolong pasien, namun keberadaan
pasienlah yang menolong karyawan karena pasien tersebut telah memberikan peluang
kepada karyawan untuk memberikan pelayanan. Oleh karena itu jika terdapat
perselisihan antara karyawan dan pasien maka karyawan haruslah mengalah karena
tidak ada yang pernah menang dalam berselisih dengan konsumen. Dengan melihat
nilai yang ditanamkan pada setiap karyawan tersebut maka dapat dijelaskan tentang
berlakunya asumsi fungsi pelayanan dalam Rumah Sakit.

Kedua, tentang pandangan karyawan mengenai bagaimana sesuatu itu dipandang


sebagai fakta atau tidak (kriteria realitas) dan bagaimana sesuatu itu ditentukan
sebagai benar atau tidak (kriteria kebenaran). Kriteria realitas yang dominant berlaku
di Rumah Sakit adalah realitas sosial yang berarti bahwa sesuatu itu dapat diterima
sebagai fakta bila sesuai dengan kebiasaan yang telah ada atau opini umum yang
berkembang di lingkungan Rumah Sakit. Sementara itu, karyawan Rumah Sakit juga
berpandangan dominan bahwa kebenaran lebih ditentukan oleh rasionalitas. Dengan
kata lain, sesuatu itu dapat dipandang sebagai benar bergantung pada rasioanalitas
kolektif di lingkungan Rumah sakit dan bila telah ditentukan melalui proses yang
dapat diterima dalam saluran organisasi.

Ketiga, tentang pandangan karyawan berkenaan dengan hakikat sifat dasar


manusia. Sebagian besar karyawan rupanya berasumsi bahwa manusia atau teman
sekerja mereka itu memiliki sifat yang pada dasarnya baik, yaitu rajin bekerja, sangat
memperhatikan waktu kerja (masuk dan pulang kerja tepat waktu), siap membantu
pekerjaan rekan-rekan lainnya. Namun demikian mereka juga berpandangan bahwa
sifat ini tidak selamanya berlaku konsisten. Akan ada selalu godaan atau kondisi yang
dapat mengubah sifat manusia. Mereka percaya betul bahwa tidak ada sifat yang
kekal, sifat baik dapat saja berubah menjadi buruk, begitu pula sifat buruk bisa
berubah menjadi baik.

Keempat, mengenai asumsi karyawan tentang hakikat aktivitas manusia yang


menunjukkan bahwa aktivitas manusia itu harmoni atau selaras dengan aktivitas
organisasi. Tidak hanya aktivitas manusia saja yang mampu menentukan keberhasilan
organisasi. Namun mereka juga menolak bahwa aktivitas organisasi semata yang
menentukan keberhasilan organisasi karena mereka memandang bahwa aktivitasnya
juga memberikan kontribusi atas keberhasilan organisasi. Pada intinya, mereka
memandang bahwa aktivitasnya yang meliputi curahan waktu, tenaga, dan pikiran
harus selaras dengan aktivitas organisasi secara keseluruhan yang berupa kinerja
sumber daya manusia, keuangan, aktiva tetap, infra dan supra struktur organisasi.

Kelima, berkenaan dengan asumsi hakikat hubungan manusia yang hasilnya


menunjukkan bahwa hubungan antar karyawan lebih bersifat kekeluargaan.
Kekeluargaan tidak dipahami sebagai nepotisme atau usaha keluarga, namun
kekeluargaan dipahami sebagai hubungan antar inidividu dalam suatu kelompok kerja
sebagai suatu kerja sama kelompok yang lebih berorientasi pada konsensus dan
kesejahteraan kelompok. Dalam suatu kelompok kerja seorang karyawan terkadang
tidak hanya menjalankan tugas hanya pada bidang tugas yang tertera secara formal
karena ia harus siap membantu bidang tugas yang lain yang dapat ditanganinya.
Seorang perawat di unit bedah dengan tugas khusus sterilisasi tidak hanya menangani
tugasnya saja. Ia harus siap membantu karyawan lainnya untuk juga menangani
instrumen dan pulih sadar. Semua pekerjaan itu dilakukan sebagai suatu kerja sama
kolektif dalam mencapai efektivitas organisasi. Hubungan antar karyawan tidak
sebatas hubungan kerja, sering kali mereka jauh lebih terikat secara pribadi dan saling
mengerti tentang karakteristik pribadi lainnya. Terlihat dalam suasana saling
membantu tidak hanya dalam konteks kerja tetapi juga di luar pekerjaan.
2.3 Hubungan Corporate Culture dengan Pelayanan Perawatan Pasien
dalam Rumah Sakit
Budaya organisasi terbentuk dari karakteristik individu sebagai objek dan
subjek, jika suatu instruksi sukar terlaksana atau program tertentu gagal, yang
dijadikan penyebab adalah budaya (Ndraha, 2003). Budaya organisasi yang kuat
memberikan pemahaman yang jelas kepada karyawan tentang cara meneyelesaikan
urusan dalam organisasi nya dan memberikan stabilitas pada organisasi (Robbins,
2011). Nilai-nilai budaya yang dianut perawat tersebut diadaptasi dari nilai-nilai
Potter dan Perry (2005) dimana terdapat tujuh nilai esensial yang meliputi nilai
altruisme, persamaan, estetika, kebebasan, harga diri manusia, keadilan dan
kebenaran.
Ciri-ciri budaya organisasi yang kuat adalah mempunyai kebersamaan,
komitmen, loyalitas, adanya pedoman bertingkah laku dan dilaksanakan oleh anggota
organisasi adanya penghargaan, adanya ritual dan memiliki jaringan cultural. Budaya
organisasi yang kuat mendorong partisipasi dan keterlibatan perawat untuk ikut
membuat keputusan yang mempengaruhi kinerja organisasi secara positif. Budaya
baik mencerminkan tipe budaya yang positif yang merupakan budaya yang
konstruktif yang mendorong semua anggota berinteraksi dengan yang lain dan
melakukan pendekatan tugas dengan cara proaktif yang akan membantu mereka
memenuhi kebutuhan kepuasan mereka. Budaya konstruktif dilandaskan pada
pencapaian, pengaktualisasian diri, penguatan humanism dan norma keanggotaan.
Budaya organisasi yang baik terjadi karena adanya dukungan manajemen di
rumah sakit yang mendorong perawat untuk berinovasi dan mengupdate hal-hal baru
yang berkaitan dengan pelayanan keperawatan. Sistem pengarahan dari pimpinan
kepada bawahan yang terjalin dengan baik dan terbuka. Adanya nilai integras yang
tinggi dari masing-masing perawat dalam melaksanakan pelayanan yang turut
berpedoman pada nilai-nilai dasar budaya rumah sakit. Budaya organisasi yang baik
tidak lepas dari nilai-nilai yang dianut oleh perawatitu sendiri seperti nilai altruistic,
keadilan, kebenaran, nilai menghargai, martabat manusia, nilai persamaan, yang
menunjang perawat sehingga terbentuk budaya organisasi yang baik. Budaya
organisasi yang kurang juga masih cukup banyak hal ini disebabkan karena msih
kurangnya nilai-nilai organisasi yang diyakini perawat. Budaya organisasi
menunjukkan persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi
(Robbins,2011). Budaya organisasi terbentuk dari karakteristik individu sebagai
objek dan subjek, jika suatu instruksi sukar terlaksana atau program tertentu gagal,
yang dijadikan penyebab adalah budaya (Ndraha, 2003). Sehingga dapat dikatakan
bahwa jika keselamatan pasien sulit dilaksanakan dan banyak terjadi insiden
keselamatan pasien maka penyebabnya adalah budaya. Sleutel dalam Marquis &
Huston (2010) menjelaskan bahwa budaya organisasi berhubungan dengan perilaku
manusia dalam organisasi dan bagaimana organisasi mempengaruhi anggota
kelompok. Budaya membentuk persepsi, sikap, dan keyakinan serta mempengaruhi
bagaimana anggota organisasi melakukan pendekatan dan melaksanakan peran serta
tanggung jawabnya. Budaya organisasi yang efektif perlu diciptakan karena sangat
penting dalam organisasi untuk menghadapi masalah keselamatan pasien.
Faktor budaya organisasi di rumah sakit yang mempengaruhi perilaku perawat
yang menjalankan pelayanan secara langsung kepada pasien berhubungan erat dengan
dalam visi misi rumah sakit dan nilai-nilai dasar dan budaya kerja yang sudah
ditanamkan dalam rumah sakit sebagai dasar bagi perawat dalam melaksanakan
pekerjaan. Dengan budaya yang telah ada membuktikan bahwa budaya tersebut
mampu mempengaruhi perawat dalam berperilaku dalam melaksanakan keselamatan
pasien
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Corporate Culture ( Budaya Organisasi) adalah pola nilai-nilai dan keyakinan
bersama yang membantu individu memahami fungsi organisasi dan dengan
demikian menyediakan mereka norma-norma perilaku dalam organisasi
(Deshpande dan Webster 1989, ppp.4).
Pelayanan keperawatan (nursing service) adalah upaya untuk membantu
individu baik sakit maupun sehat, dari lahir sampai meninggal dalam bentuk
peningkatan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki (pasien) sehingga
individu tersebut secara optimal melakukan kegiatan sehari-hari secara
mandiri. (Handerson, 1966 dalam Ali, 2002).
Corporate Culture memiliki hubungan yang signifikan dengan Pelayanan
Perawatan Pasien dalam Rumah Sakit yaitu dengan budaya yang telah ada
membuktikan bahwa budaya tersebut mampu mempengaruhi perawat dalam
berperilaku dalam melaksanakan keselamatan pasien

3.2 Saran
Beberapa saran yang dapat disampaikan kepada pihak bidang keperawatan
dan manajemen rumah sakit dapat menggunakan hasil penelitian sebagai tolak
ukur untuk meningkatkan sasaran pencapaian keselamatan pasien. Upaya
peningkatan perilaku keselamatan pasien akan lebih optimal dengan
memanfaatkan kelebihan yang dimiliki perawat yakni nilai-nilai budaya
organisasi seperti inovatif, perhatian pada hal-hal rinci, orientasi terhadap
hasil memiliki nilai altruistik, estetika, dan nilai keadilan dan kebenaran yang
tinggi untuk mematuhi kebijakan keselamatan pasien. Selain itu, perlu adanya
penyegaran kembali mengenai keselamatan pasien guna meningkatakan
profesionalisme yang masih kurang pada perawat.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai