Anda di halaman 1dari 22

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kentang adalah salah satu tanaman hortikultura yang ditanam oleh petani di
dataran tinggi. Kentang juga merupakan salah satu tanaman pangan dunia dan
berpotensi besar untuk menunjang program diversifikasi pangan di Indonesia.
Salah satu varietas kentang yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah
varietas granola. Menurut Sahat et al. (1998) budidaya kentang granola
diperkirakan 85 – 90 % dari seluruh luasan lahan kentang di Indonesia.

Umbi mikro kentang adalah miniatur benih kentang yang dihasilkan melalui
teknik kultur jaringan tanaman (Saha et al., 2013). Umbi mikro ini bebas hama,
bebas patogen, dan sangat potensial untuk menjadi bibit unggul (Badoni and
Chauhan, 2010).

Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan komoditas pertanian holtikultura


penting di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tercatat penurunan
produksi kentang di Indonesia. produksi kentang nasional tahun 2016 turun
dibandingkan tahun 2015 menjadi 1.213.038 ton dari 1.219.269 ton. Usaha
peningkatan produksi kentang perlu dilakukan untuk memenuhi permintaan pasar
(Ditjen Hortikultura, 2017). Menurut Wattimena et al., (2003) salah satu
penghambat utama produksi kentang Indonesia adalah kurangnya bibit kentang
yang bermutu seperti benih kentang, bibit umbi kentang, bibit umbi hasil in vitro
dengan harga yang wajar. Wattimena (2000) menyatakan bahwa penggunaan
umbi mikro sebagai salah satu propagul kentang memiliki beberapa keuntungan
yaitu akan menghasilkan propagul yang bebas penyakit, menghasilkan tanaman
yang seragam dan umur panen yang sama dengan propagul umbi biasa, kebutuhan
umbi mikro hanya 4 – 5 kg per ha dibandingkan dengan umbi biasa yang
memerlukan 1 – 2 ton per ha, mudah dalam penyimpanan dan transportasi serta
mudah memenuhi persyaratan karantina untuk lalulintas propagul baik dalam
negeri maupun luar negeri.
Varietas kentang yang umum dibudidayakan di Indonesia adalah varietas
granola. Keunggulan varietas granola yaitu memiliki produktivitas sebesar 16 –
17 ton/ ha. Umbi kentang varietas granola berbentuk bulat lonjong dengan ukuran
umbi yang kecil (diameter 5 – 6 cm). Memiliki daya adaptasi pada rentang suhu
dan ketinggian yang luas. Memiliki kelemahan kurang tahan terhadap penyakit
layu bakteri dan busuk daun. Satu tanaman dapat menghasilkan 10 – 15 umbi
dengan masa dormansi umbi 3 – 5 bulan (Setiawati dkk., 2007; Ulfa, 2015).
Propagul umbi mikro diperoleh dengan perbanyakan secara in vitro. Aplikasi
teknik kultur in vitro melalui pembiakan mikro dapat menghasilkan bibit dalam
jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat, tidak tergantung pada iklim dan
musim serta biaya penyediaan bibit relatif lebih murah dibandingkan bibit impor.

Dari urain di atas, maka penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui


optimalisasi media terhadap induksi umbi mikro kentang (Solanum tuberosum L.)
dengan pemberian BAP dan beberapa jenis auksin.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah penelitian ini adalah :
1. Adakah pengaruh penambahan BAP dan beberapa jenis auksin terhadap
induksi umbi mikro kentang (Solanum tuberosum L.).

2.1 Tujuan

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh penambahan BAP dan


beberapa jenis auksin terhadap terhadap induksi umbi mikro kentang
(Solanum tuberosum L.).
1.4 Manfaat

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan referensi dan studi bagi pihak-pihak yang membutuhkan


2. Bahan masukan dan bahan pertimbangan bagi peneliti lainnya yang
berhubungan dengan penelitian ini.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Botani Tanaman Kentang

Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu dikotil yang
bersifat semusim, termasuk family Solanaceae. Dan memiliki umbi kentang yang
dapat dimakan. Tanaman kentang berbentuk semak atau herba. Batangnya berada
diatas permukaan tanah, ada yang berwarna hijau, kemerah-merahan, atau ungu
tua. (Setiadi,2009).

Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) mempunyai sistematika sebagai


berikut :

Divisi :Spermatophyta

Subdivisi :Angiospermae

Kelas :Dicotylodonae

Family :Tubiflorae

Genus :Solanum

Species :Tuberosum L.

(Prasojo,,1984)

Saat ini yang ditanam secara luas oleh para petani adalah varietas Granola
dan sudah tersedia bibit bebas penyakit dari keturunan program kultur jaringan
(tissue cultur). Varietas – varietas lainnya yang juga ditanam oleh sebagian petani
adalah varietas Diaman, Atlantik (benih impor) dan Herta (Soelarso, 1997).

2.2 Morfologi Tanaman Kentang

Batang tanaman kentang yang berada di atas permukaan tanah berwarna


hijau polos, hijau kemerahan, atau ungu tua. Penampang lintang batang berbentuk
bulat atau bersudut. Batang yang bersudut dapat bersayap atau tidak bersayap.
Pada batang yang bersayap, sayapnya dapat lebar (> 0,5 cm) atau sempit (< 0,5
cm) dan tepi sayap dapat lurus atau bergelombang (Ashandhi, 1989).
Daun tanaman kentang merupakan daun majemuk yang terdiri atas tangkai
daun utama (rachis), anak daun primer (pinnae), dan anak daun sekunder
(folioles) yang tumbuh pada tangkai daun utama di antara anak daun primer.
Bagian rachis di bawah pasangan daun primer yang terbawah disebut petiol
(Setiadi, 2009).
Bentuk umbi kentang ditentukan dengan meletakkan umbi pada
permukaan bawahnya. Pada kentang budidaya atau komersial dikenal beberapa
bentuk umbi yang merupakan salah satu ciri suatu varietas, yaitu bulat, oval atau
bulat panjang seperti ginjal, oblong atau lonjong dan obovate atau seperti bola
lampu terbalik (Soelarso, 1997).
Menurut Cutter dalam Harris (1978) umbi kentang terbentuk sebagai
pembesaran bagian ujung stolon dan 75-85 % dari total berat kering yang
diproduksi tanaman terakumulasi didalamnya. Stolon adalah tunas lateral yang
tumbuh menjulur secara diageotropik dengan buku memanjang dan melengkung
bagian ujungnya.
2.3 Pengertian Kultur Jaringan

Kultur jaringan adalah serangkain kegiatan yang dilakukan untuk membuat


bagi tanaman (akar, tunas, jaringan tumbuh tanaman) tumbuh menjadi tanaman
utuh (sempurna) dikondisi invitro (didalam gelas). Kultur jaringan merupakan
suatu netode dari tanaman seperti sekelompok sel atau jaringan yang ditumbuhkan
dengan kondisi aseptik, sehingga bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak
diri tumbuh menjadi tanaman lengkap kembali. Kultur jaringan adalah salah suatu
cara perbanyakan tanaman secara vegetatif.

Kultur jaringan adalah merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara


mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan
bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan
zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang menembus cahaya sehingga
bagian tanaman dapat memperbanyaj diri dan bergenerasi menjadi tanaman
lengkap. Prinsip utama dalam teknik kultur jaringan adalah perbanyakan tanaman
dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang
dilakukan ditempat steril.

Berbeda dengan teknik perbanyakan tumbuhan secara konvensional, teknik


kultur jaringan dilakukan dalam kondisi aseptik didalam botol kuultur jaringan
medium atau kondisi tertentu. Karena itu teknik ini sering kali disebut kultur in
vitro. Dikatakan in vitro ( bahasa latin), berarti’’didalam kaca’’karena jaringan
tersebut dibiakkan di dalam botol kultur jaringan medium dan kondisi tertentu.

Teori dasar dari kultur in vitro adalah tetipotensi. Teori ini mempercayai
bahwa setiap bagian tanaman dapat berkembang biak karena seluruh bagian
tanaman terdiri atas jaringan-jaringan hidup. Oleh karena itu, semua organisme
baru yang berhasil ditumbuhkan memiliki sifat yang sama persis dengan
induknya.

Tujuan kegiatan kultur jaringan adalah perbanyakan masal tanaman yang


biasanya sangat lambat dengan metode konvensional dalam jumlah yang besar
dalam waktu yang singkat, selain itu diperoleh tanaman yang bebas virus,
membantu pemuliaan tanaman untuk mempercepat pencapain tujuan penelitian
pada tanaman yang biasa di perbanyak secara vegetatif.

Kelebihan kultur jaringan adalah :

1. Dapat memperbanyak tanaman tertentu yang sangat sulit dan lambat


diperbanyak secara konvensional.
2. Dalam waktu singkat dapat menghasilkan jumlah bibit yang lebih besar.
3. Perbanyakannya tidak membutuhkan tempat yang luas.
4. Dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa mengenal musim.
5. Bibit yang dihasilkan lebih sehat dan dapat memanipulasi genetik dan
biaya pengangkutan bibit murah.

Kelemahan teknik kultur jaringan adalah :

1. Dibutuhkan biaya yang relatif lebih besar untuk pengadaan laboratorium.


2. Dibutuhkan keahlian khusus untuk mmengerjakannya dan tanaman yang
dihasilkan kerusakan kecil dengan kondisi aseptik,

Terbiasa di lingkungan hidup dengan kelembaban tinggi dan relatif stabil


sehingga perlu perlakuan khusus setelah aklimatisasi dan perlu
penyesuaian lagi untuk kelingkungan eksternal.

2.4 Induksi Umbi Mikro Kentang secara In Vitro

Saat ini perbanyakan dan pelestarian tanaman banyak dilakukan secara in


vitro. Metode ini selain dapat dilakukan dengan bahan tanam yang sedikit, juga
dapat menghasilkan tanaman yang bebas penyakit. Pada kentang, penyimpanan
plasma nutfah kentang dan penyediaan bibit kentang bebas virus dilakukan bukan
dengan kultur tunas melainkan dengan umbi mikro (Widyastuti 2000). Produksi
umbi mikro didahului dengan produksi tunas mikro selama 4 minggu kemudian
dilanjutkan dengan induksi umbi mikro selama 8 minggu. Umbi mikro diinduksi
dari tunas mikro kentang dengan menggunakan media yang mempunyai kadar
gula yang tinggi (sukrosa 80 gl-1) dan zat pengatur 4 tumbuh (Karjadi dan
Bukhory 2007). Dalam induksi umbi mikro secara in vitro, Gopal

et al. (2004) menyatakan bahwa produksi umbi mikro secara in vitro baik secara
kualitas maupun kuantitas dipengaruhi oleh suhu, komposisi media tumbuh serta
kualitas dari pertumbuhan planlet yang akan diinduksi umbi mikro. Konsentrasi
gula yang tinggi dapat merangsang terbentuknya umbi (Gibson 2005),
meningkatkan jumlah umbi, dan mempertahankan ukuran umbi meskipun
lingkungan dalam keadaan suboptimum (Dobranszki et al. 2008).
2.5 Teknik Kultur Jaringan Pada Kentang

Tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur


jaringan adalah :

1. Pemilihan dan Penyiapan Tanaman Induk Sumber Eksplan


Sebelum melakukan kultur jaringan pada suatu tanaman kentang, kegiatan
yang pertama harus dilakukan adalah memilih bahan induk yang akan
diperbanyak. Tanaman tersebut harus jelas jenis, spesies, dan varietasnya
serta harus sehat dan bebas dari hama penyakit. Tanaman kentang indukan
sumber eksplan tersebut harus dikondisikan dan dipersiapkan secara khusus
di rumah kaca atau green haouse agar eksplan yang akan di kulturkan sehat
dan dapt tumbuh baik serta bebas dari kontaminan pada waktu dikulturkan
secara in-vitro.
2. Inisiasi Kultur
Inisiasi adalah pengambiilan eksplan dari bagian tanaman yang akan
dikulturkan. Bagian tanaman yang sering digunakan untuk kegiatan kultur
jaringan pada tanaman kentang adalah bagian tunas. Tujuan utama propagasi
secara in-vitro tahap ini adalah pembuatan kultur dari eksplan yang bebas
mikroorganisme serta inisiasi pertumbuhan baru (Wetherell, 1976) tahap ini
mengusahakan kultur yang aseptik atauu aksenik. Aseptiik berarti bebas dari
mikroorganisme maupun penyakit, sedangkan aksenik berarti bebas
mikroorganisme yang tidak diinginkan. Dalam tahap ini juga diharapkan
bahwa eksplan yang dikulturkan akan menginisiasi pertumbuhan baru,
sehingga akan memungkinkan diakukannya pemilihan bagian tanaman yang
tumbuhnya palinng kuat, untuk perbanyakan pada kultur tahap selanjutnya
(Wetherell, 1976).
Masalah yang sering dihadapi pada kultur tahap ini adalah terjadinya
pencokelatan atau penghitaman bagian eksplan. Hal ini disebabkan oleh
senyawa fenol yang timbul akibat stres mekanik yang timbul akibat pelukaan
pada waktu proses isolasi eksplan dari tanaman induk. Senyawa fenol
tersebut bersifat toksik menghambat pertumbuhan atau bahkan dapat
mematikan jaringan eksplant.
3. Sterilisasi
Sterilisasi adalah suatu kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan di
tempat yang steril, yaitu laminar air flow (LAF) dan menggunakan alat-alat
yang juga steril. Sterilisasi juga dilakukan terhadap peralatan, yaitu
menggunakan etanol yang disemprotkan secara rata pada perlatana yang
digunakan. Teknisi yang melakukan kultur jaringan juga harus steril.
2.6 Zat Pengatur Tumbuh
Konsep Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) diawali dari konsep hormon. Hormon
tanaman atau fitohormon adalah senyawa-senyawa organik tanaman yang dalam
konsentrasi rendah mempengaruhi proses-proses fisiologis. Proses proses
fisiologis terutama mengenai proses pertumbuhan, diferensiasi dan perkembangan
tanaman. Proses-proses lain seperti pengenalan tanaman, pembukaan stomata,
translokasi dan serapan hara dipengaruhi oleh hormon tanaman. Dengan
berkembangnya pengetahuan biokimia dan industri kimia banyak ditemukan
senyawa-senyawa yang mempunyai fisiologis serupa dengan hormon tanaman.
Senyawa ini dikenal dengan nama ZPT (Zat Pengatur Tumbuh).

2.7 BAP (Benzil Amino Purine)

Sitokinin sintetik yang umum digunakan dalam kegiatan kultur jaringan


adalah : kinetin, BAP, PBA, TDZ. Pengaruh dari sitokinin untuk memacu
pembentukan tunas aksilar dan tunas adventif, memacu pembelaan sel, sitokinin
bahan panas, sehingga bisa ditambahkan sebelum di auto claf.
Penggunaan BAP paada penelitian kentang sebelumnya adalah B0 =
kontrol,B1=BAP 0,5 ppm, B2 = BAP 1 ppm, B3 = BAP 1,5 ppm, B4 = 2 ppm,
B5 = 3 ppm. Pertumbuhan tunas yang terbaik ditunjukkan oleh pelaksana B1
koonsentrasi BAP 0,5 ppm, konsentrasi tersebut sesuai dengan penelitian Molla
et.al. (2011) menunjukkan kebutuhan sitokinin yang dibutuhkan oleh tanaman
kentang untuk pertumbuhan tunas. Sedangkan perlakuan B0 tanpa penambahan
zat pengatur tumbuh BAP menunjukkan pertumbuhan tunas paling sedikit
dikarenakan media MS tanpa BAP sehingga kebutuhan sitokinin tanaman kentang
tidak tercukupi mengakibatkan tunas yang terbentuk lebih lambat dan sedikit
dibandingkan perlakuan dengan penambahan BAP. Peningkatan konsentrasi
hingga titik tertentu akan menghambat pembentukan tunas, seperti yang
ditunjukkan oleh perlakuan B5 dengan penambahan BAP sebesar 3 ppm. Jumlah
tunas yang dihasilkan ini mencerminkan prolifelasi atau tingkat multiplikasi suatu
kultur.
2.8 AUKSIN

Istilah auksin (dari bahasa yunani auxein “meningkat) pertama kali


digunakan oleh Frits Went, seorang mahasiswa pasca sarjana dinegeri belanda
pada tahun 1926, yang menemukan bahwa sesuatu senyawa yang belum dapat
dicirikan mungkin penyebab kebengkokan koleoptil oat kearah cahaya. Fenomena
pembengkokan ini yang disebut fototropisme.senyawa yang ditemukan Went
didapati cukup banyaak di ujing koleopati (Salisbury dan ross, 1992).

Auksin yang ditemukan Went kini diketahui sebagai asam indolasetat


(IAA) dan beberapa ahli fisiologi masih menyamakan IAA dengan auksin.
Namun, tumbuhan mengandung tiga senyawa lain yang strukturnya mirip dengan
IAA dan menyebabkan banyak respons yang sama dengan IAA ketiga senyawa
tersebut dianggap sebagai hormone auksin. Salah satunya adalah asam 4-
kloroindolasetat (4-klorosetatIAA), yang ditemukan pada biji muda berbagai jenis
kacang-kacang (Engvild, 1986). Yang lainnya, asam fenilasetat (PPA) ditemukan
pada banyak jenis tumbuhan dan sering lebih banyak jumlahnya padipada IAA,
walaupun kurang aktif dalam menimbulkan respons khas IAA (Weightman dan
Lighty, 1982; Leuba dan Le tomeau, 1990). Yang ketiga asam indolbutirat (IBA)
yang ditemukan belakangan. Semula diduga hanya merupakan auksin tiruan yang
aktif namun ternyata ditemukan pada ujung daun jagung dan berbagai jenis
tumbuhan dikotil (Schneider dkk, 1985; Epstein dkk, 1989) sehingga barang kali
zat tersebut tersebar luas pada dunia tumbuhan.

1. IAA (Indole Acetic Acid)


Secara kimia, IAA mirip dengna asam amino triptofan (walaupun
sering 1000 kali lebih encer) dan barangkali memang disintesis dan
triptofan. Ada dua mekanisme sintesis yang dikenal dan keduanya meliputi
pengusiran gugus asam amino dan gugus karboksil akhir dari cincin
samping triptofan (Sembdner dkk, 1980; Cohen dan Bialek, 1984;
Reinecke dan bandurski, 1987). Lintasan yang lebih banyak terjadi pada
sebagian besar spesies barangkali mencangkup tahapan berikut: gugus
amino bergabung dengan sebuah asam amino a-keto melalui reaksi
transaminase menjadi asam indolpiruvant, kemudian dekarboksilasi
indopiruvat membentuk indolasetaldehid; akirnya indolasetaldehid
dioksidasi menjadi IAA terdapat di jaringan muda, seperti meristem tajuk,
serta daun dan buah yan gsedang tumbuh, Disemua jaringan ini kandungan
auksin juga paling tinggi yang menunjukkan bahwa IAA memang
disintesis dibagian tersebut (Salibury dan ross, 1992).
Hal yang mengherankan mengenai kumpulan IAA sebagai
hormone ialah caranya diangkut dari satu organ atau jaringan ke organ
atau jaringan yang lain. Berlainan dengan pergerakan gula, ion dan linarut
tertentu lainnya, IAA biasanya tidak dipindahkan melalui tabung tipis
floem atau melalui xylem, tapi terutama melalui sel parenkima yang
bersinggungan dengan bekas pembuluh (Jacobs, 1979; Aloni, 1987b)
dalam Salisbury dan ross,1992).
Iaa terdapat diakar, pada kosentrasi yang hampir sama dengan
bagian tumbuhan lainnya. Seperti pertama kali dikemukakan pada tahun
1930an, pemberian auksin memacu pemanjangan potongan akar atau
bahkan akar utuh pada banyak spesies, tapi hanya pada kosentrasi yang
sangat rendah (10‾7 sampai 10-13 M, bergantung pada spesies dan umur
akar). Pada kosentrasi yang lebih tinggi (tapi masih cukup rendah antara 1
sampai 10 M), pemanjangan hampir selalu terlambat. Diperkirakan, sel
akar umumnya mengandung cukup atau hampir cukup auksin untuk
memanjang secara normal. Memang banyak potongan akar belum tumbuh
selama beberapa hari atau beberapa minggu in vitro tanpa penambahan
aiksin, yang menandakan bahwa kebutuhan akan hormone ini sudah
terpenuhi dan hasil sintesisi sendiri (Salisbury dan ross, 1992).
2. IBA (Indole Butyric Acid)
Zat pengatu tumbuh yang sering digunakan untuk merangsang
pertumbuhan adalah indolebutyric acid (IBA), indoleacetic acid (IAA) dan
napthaleneacetic acid (NAA). IBA dan NAA lebih efektif dari pada IAA,
sebab keduanya ebih stabil digunakan dalam penyetekan. IBA dan NAA
lebih stabil terhadap oksidase dan cahaya (Zaerr dan Mapes,
1982).menurut Salisbury dan Ross (1992, NAA lebih efektif dari IAA
karena NAA tidak dapat dirusak oleh IAA oksidase atau enzim lainnya,
sehingga bertahan lebih lama. Sedangkan IBA lazim digunakan untuk
memacu perakaran dibandingkan dengan NA atau auksin lainnya.
Menurut Ponganan (2004) menjelaskan bahwa NAA dan IBA
mempunyai sifat translokasi yang lambat dan persisitensi tinggi serta
aktivitas yang rendah sehingga selang perakaran cukup besar. Selain itu
dalam penelitian ini juga ddigunakan IAA untuk mengujian. Menurut
Wattimena (1991) menjelaskan bahwa IAA merupakan salah satu
hormone tumbuh yang berperan untuk memacu pertumbuhan sepanjang
sumbu longitudinal. Hal spesifik yang terlihat berupa peningkatan
pembesaran sel yang langsung ke segala arah secara isodiametric.

3. NAA (Napthanleneaacetic Acid)


NAA adalah hormon sintetis pada tanaman dari golongan auksin
dan merupakan bahan dalam perakaran produk hortikultura untuk
perbanyakan tanaman secara komersial; NAA adalah agen perakaran
damndigunakan untuk perbanyakan vegetatif tanaman dari batang dan
pemotongan daun . Hal ini juga digunakan untuk kultur jaringan tanaman,
hormon NAA tidak terbentuk secara alami dan sama seperti semua auksin
yang merupakan racun bagi tanaman pada konsentrasi tertinggi, di
Amerika Serikat dibawah Federal Insektisida, fingisida dan undang-
undang Rodenticide (FIFRA), produk yang mengandung NAA
memerlukan pendaftaran dengan Badan Perlindungan Lingkungan (EPA)
sebagai pestisida (Morikawa, 2004).
NAA secara luas di gunakan di bidang pertanian untuk berbagai
tujuan. Hal ini dianggap hanya sedikit beracun tetapi ketika pada
konsentrasi yang lebih tinggi dapat menjadi racun bagi hewan. Hal ini
terlihat ketika diuji pada tikus melaui konsumsi oral 1000-5900 mg/kg
(Tomlin, 2006).
NAA telah terbukti untuk meningkatkan pembentukan serat
selulosa pada tanaman ketika di kombinasikan dengan hormon tumbuhan
lain yang di sebut asa giberelat. Karena dalam golongan auksin itu juga
telah di pahami untuk mencegah pematangan buah sebelum waktunya dan
penipisan buah-buahan dari batang. Hal ini diterapkan setelah
penyerbukan bunga. Peningkatan jumlah sebenarnya dapat memiliki efek
negetif dan menyebabkan hambatan pertumbuhan untuk pengembangan
tanaman. NAA telah digunakan pada banyak tanaman yang berbeda
termasuk apel, jeruk, kentang dan berbagai buah-buahan tergantung
lainnya. Dalam rangka untuk mendapatkan efek yang di inginkan harus
diterapkan dalam konsentrasi mulai 20-100 ug/mL (Navalon, 1997).
BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum mata kuliah Kultur Jaringan Tanaman Lanjutan dengan judul
praktikum “PENGARUH PEMBERIAN BAP DAN BEBERAPA JENIS
AUKSIN TERHADAP INDUKSI UMBI MIKRO KENTANG VARIETAS
GRANOLA (Solanum tuberosum L) SECARA IN-VITRO” yang akan
dilaksanakan pada tanggal 05 Maret 2018 – selesai di Laboratorium Kultur
Jaringan Tanaman Politeknik Negeri Jember.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian


3.2.2. Bahan Pembuatan Media Pertumbuhan
Bahan yang digunakan adalah media Murashige dan Skoog dengan
kosentrasi separuhnya (1/2 MS) yang terdiri dari: NH4NO3, KNO3, CaCl2,
2H2O, MgSO4, 7H2O, KH2PO4, KI, H3BO3, MnSO4, 4H2O, ZnSO4, 7H2O,
NaM0O4, 2H2O, CoCl2, 6H2O, CuSO4, 5H2O, FeSO4, 7H2O, Na2EDTA,
2H2O, Thiamin-HCL, Myo-inositol, Asam Nikotianat (Niasin), Pirodoksin-HCL,
Gula, Agar-agar, Glisin, dan Aquadest.

3.2.3. Bahan Sterilisasi


Bahan yang digunakan untuk mensterilisasi adalah detergen, Alkohol 96%,
alkohol 70%, pembersih lantai, air, formalin 5% dan formalin 1%

3.2.4. Bahan Zat Pengatur Tumbuh


6-Benzyl Amino Purine (BAP), Indole Butyric Acid (IBA), α-Naphthalene
Acitic Acid (NAA) dan Indole-3-Acetic Acid (IAA) .

3.2.5. Alat-Alat Yang Digunakan


Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah Autoklaf, Laminar Air Flow
Cabinet (LAFC), pH-meter, Kompor Gas, Botol Kultur, Beacker Gelas 100 cc,
Beacker Gelas 500 cc, Beacker Gelas 1000 cc, Labu Takar 100 cc, Labu Takar
500 cc, Labu Takar 1000 cc, Pipet Tetes,pol pipet, Hand Sprayer, Botol
pensterilan 500 cc, Corong, Rak Pertumbuhan, Oven Sterilisasi, Timbangan
Analitik, Gelas Ukur, Erlenmeyer, Cawan Petri, Tabung reaksi, Hot Plate dengan
pengaduk magnetic, AC, Alumunium Foil, Kulkas, Batang Pengaduk, pisau
scalpel, Pinset, Spatula, Lampu Bunsen, Kertas Label, sikat, cuter, seler,
Kalkulator, Alat Tulis, dan lain-lain.

3.3 Pelaksanaan Penelitian


3.3.1 Sterilisasi Ruangan
Sterilisasi ruang dilaksanakan sebelum semua kegiatan praktikum dimulai.
Kegiatan ini dilakukan secara berkala dan terus menerus untuk menjaga sterilisasi
ruangan kegiatan dalam kultur jaringan. Kegiatan ini dapat berupa 1. menyapu
bersih lantai dan dinding ruang dengan sapu yang bersih, 2. Pel lantai dengan
larutan desinfektan (alkohol 70%, formalin 1%), 3. Semprot dinding ruang
dengan alkohol 95-70% , 4. Di dalam sterilisisasi ruangan, untuk semua ruangan
kultur jaringan di bersihakan dan di gunakan alkohol 70% dan di semprot dengan
formalin 5% ke seluruh ruangan tersebut.
3.3.2 Sterilisasi Botol
Botol kultur yang digunakan terlebih dahulu dibersihkan dengan menggunakan
cuter label label yang menempel , setelah itu cuci bersih dengan menggunakan
deterjen kemudian dibilas dengan menggunakan air yang mengalir, lalu ditiriskan.
Kemudian botol-botol tersebut disterilkan dengan menggunakan oven.
sebagai alat bantu sterilisasi menggunakan suhu 160 ᵒC selama 2 jam, sebagai
alat bantu pengeringan menggunakan suhu 50 ᵒC selama kurang lebih 12 jam

3.3.3 Sterilisasi LAF (laminar Air Flow)


Laminar Air Flow (LAF) disterilkan dengan dengan alcohol 70% dengan
cara menyemprotkan permukaan bagian dalam laminar dengan tisu pengelapan
sejajar dari arah dalam ke arah luar dan kemudian di UV selama ± 60 menit.
3.3.4 Sterilisasi Petridis, Disetingset, Dan Tutup Botol
Alat alat tersebut dicuci bersih dengan menggunakan deterjen, lalu
dibersihkan dengan menggunakan air yang mengalir dan ditiriskan, Setelah itu
bungkus dengan plastik dan diselear. Alat alat tersebut kemudian seterilisasikan
pada autoklav dengan suu 121ᵒC selama 30 menit.
3.3.5 Pembuatan Larutan Stock MS dan ZPT
1. Pembuatan larutan stock satu bahan kimia (Larutan Stock A, B, C, H)
a. Menghitung larutan stok setiap bahan kimia untuk pembuatan stok 500 ml
b. Menimbang bahan kimia
c. Mengambil beaker glass ukuran 500 ml dan memberi label bahan
kimianya
d. Memasukkan bahan kimia sesuai label
e. Menambahkan aquades 400 ml dan menggojok sampai larut.
f. Apabila sudah larut, tambahkan aquades sampai 500 ml
g. Memasukkan larutan pada botol reagen/stok dan memberi label

2. Pembuatan larutan stock dua bahan kimia (Larutan Stock D)


a. Menghitung larutan stok tiap bahan kimia untuk pembuatan stok 500 ml
b. Menimbang bahan kimia
c. Mengambil 2 beaker glass ukuran 250 ml dan memberi label

500 ml

250 ml 250 ml
MgSO4 KH2PO4

d. Masukkan larutan bahan kimia sesuai label


e. Menambahkan aquades 200 ml setiap beker glass dan melarutkan dengan
cara digojok
f. Mencampur bahan kimia yang sudah larut
g. Menambahkan aquades sampai 500 ml
h. Memasukkan ke botol reagen/botol stok dan memberi label

3. Pembuatan larutan stock dua bahan kimia (Larutan Stock E)


a. Menghitung larutan stok tiap bahan kimia untuk pembuatan stok 500 ml
b. Menimbang bahan kimia
c. Mengambil 2 beaker glass ukuran 250 ml dan memberi label

250 ml

125 ml 125 ml
Na2EDTA FeSO4.7H2O

d. Masukkan larutan bahan kimia sesuai label


e. Menambahkan aquades 250 ml disetiap beaker glass
f. FeSO4.7H2O digojok secara manual
g. Meletakkan Na2EDTA diatas hot plate stirer di atur pada suhu 60 oC,
h. Apabila suhu Na2EDTA mencapai 60 oC, memasukkan FeSO4.7H2O
kedalam Na2EDTA sedikit demi sedikit
i. Awal Na2EDTA warna putih dicampur FeSO4.7H2O perlahan warnanhya
kuning keruh ditunggu warnannya menjadi kuning
j. Apabila sudah tercampur semua, memasukkan ke botol reagen, botol
reagen dilapisi alumunium foil dan memberi label

keterangan:
 Stok E berhasil dibuat apabila warnanya kuning bening dan gagal
apabila warnanya kuning keruh / coklat keruh
 Botol stok E dialapisi aluminium foil atau kantong kresek hitam atau
bahan yang kedap udara

4. Pembuatan larutan stok empat bahan kimia (Larutan Stock G)


a. Menghitung kebutuhan dasar bahan kimia
b. Menimbang bahan kimia
c. Mengambil 4 beaker glass ukuran 250 ml dan memberi label
d. Masukkan larutan bahan kimia sesuai label
e. Menambahkan aquades sebanyak 50 ml pada masing-masing beaker glass
f. Menggojok sampai larut
g. Apabila sudah larut masukkan ke botol reagen tambahkan aquades sampai
250 ml dan beri label

5. Pembuatan larutan stok tujuh bahan kimia (Larutan Stock F)


a. Menghitung kebutuhan dasar bahan kimia
b. Menimbang bahan kimia
c. Mengambil 4 beaker glass ukuran 250 ml dan memberi labe
d. Masukkan larutan bahan kimia sesuai label
e. Memasukkan aquades ke masing masing beaker glass sebanyak 30 ml dan
gojok sampai larut
f. Memasukkan larutan yang ada SO4nya kedalam botol reagen terlebih
dahulu, setelah itu memasukkan larutan yang lainnya
g. Menambahkan aquades sebanyak 40 ml
h. Memberi label

6. Pembuatan larutan stok ZPT


a. Siapkan alat dan bahan
b. Menghitung kebutuhan bahan ZPT
c. Larutkan dengan zat pelarut sampai volume yang ditentukan
d. Letakkan pada botol reagen dan beri label
3.3.6 Pembuatan Media penanaman
1. Menyiapkan alat dan bahan
2. Menghitung kebutuhan dalam pembuatan media (300 ml media setiap
perlakuan)
3. Menimbang agar – agar sebanyak 7 gram/ 1 liter media
4. Menimbang gula pasir sebanyak 30 gram/ 1 liter media
5. Memasukkan gula pasir dan menambahkan 100 ml aquadest ke dalam
beaker glass dan mengaduknya hingga larut (sebanyak 4buah).
6. Mempipet larutan stock A – H sesuai kebutuhan dengan pipet masing –
masing dan memasukkan ke dalam erlenmeyer ukuran 450 ml
7. Mempipet BAP serta memasukkan ke dalam erlenmeyer
8. Mencampurkan larutan gula dengan larutan stock dan larutan ZPT (3ppm
BAP + 0,25 ppm NAA untuk perlakuan A1, 3ppm BAP + 0,25 ppm IAA
untuk perlakuan A2 dan 3ppm BAP + 0,25 ppm IBA untuk perlakuan A3 )
di dalam erlenmeyer menggunakan stier plate
9. Tambahkan aquades maksimal mencapai 200 ml kedalam erlemeyer
10. Mengukur pH di atas stier plate dan mengaduknya dengan magnetig stire.
Jika pH kurang dari 5,80 ditambahkan NaOH/KOH dan jika lebih dari 5,80
ditambahkan HCl
11. Tambahkan agar agar dan beri aquades sampai volume 300 ml
12. Memasak media di dalam panci diatas kompor dan mengaduknya hingga
mendidih.
13. Menuangkan media ke dalam gelas ukur ukuran 25 ml , dan
memasukkannya ke dalam botol kultur steril
14. Menutup mulut botol kultur menggunakan alumunium foil dan merekatkan
dengan karet gelang, hingga benar – benar rapat dan beri label
15. Menata rapi di keranjang autoclave dan Masukkan keranjang kedalam
autoclave
16. Cek air di dalam autoclave
17. Mensterilisasi media menggunakan autoclave (suhu 121°C, tekanan 17,5
psi) selama 30 menit
18. Mengambil dari autoclave dan menyimpan di rak penyimpanan dengan rapi
dan teratur.

3.3.7 Proses penanaman eksplan


1) Menyiapkan alat dan bahan
2) Menyemprotkan alkohol 97 % ke alat dan bahan
3) Masukan kedalam LAF yang telah diseterilkan
4) Menseterilkan alat alat dengan api bunsen
5) Melakukan pemotongan eksplan kentang menurut ruas nya
6) Melakukan penanaman eksplan kedalam media.
7) Tutup botol dan sealer serta tambahkan tanggal penanaman pada label
8) Simpan pada ruang inkubasi

3.4 Metode Penelitian


Metode penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu
factor. Perlakuan yang dicobakan adalah faktor penambahan 3 jenis ZPT Auxin
yang terdiri atas tiga taraf sebagai berikut :
A1:1/2 MS + 3 ppm BAP + 0,25 ppm NAA
A2: 1/2 MS + 3 ppm BAP + 0,25 ppm IAA
A3: 1/2 MS + 3 ppm BAP + 0,25 ppm IBA
Setiap perlakuan diulang sebanyak 10 kali, sehingga terdapat 4 unit perlakuan,
dan setiap perlakuan terdapat dua botol kultur setiap botol kultur ditanam 5
eksplan, dengan demikian terdapat 10 x 4 = 40 botol kultur yang dicobakan.
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diamati maka
diakhir penelitian disusun Daftar Sidik Ragam (DSR). Terhadap perlakuan yang
berpengaruh nyata dilakukan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5 % dan 1 %
(Hanafiah,2003).
3.5 Parameter yang diamati
1. Umur terbentuknya tunas (hari)
Dihitung umur terbentuknya tunas pertama kali muncul, berdasarkan umurnya
terbentuknya tunas setiap hari sejak diinokulasi sampai tumbuh tunas dari stek
tunas tanaman kentang.
2. Jumlah Tunas
Dihitung jumlah tunas yang tumbuh dari setiap explant. Pengamatan dimulai
dari 1 mst sampai akhir penelitian dengan interval waktu 2 hari sekali.
3. Jumlah umbi mikro
Dihitung jumlah umbi mikro yang tumbuh dari setiap explant. Pengamatan
dimulai dari 1 mst sampai akhir penelitian dengan interval waktu 2 hari sekali.
4. Jumlah Buku
Jumla tunas yang tumbuh dari setiap satu botol kultur. Pengamatan dimulai
dari 1 mst sampai akhir penelitian dengan interval waktu 2 hari sekali.
5. Tinggi Planlet (cm)
Pengukuran tinggi tanaman atau planlet (cm) dilakukan dari pangkal batang
tempat keluarnya akar sampai ujung daun tertinggi dengan menggunakan kertas
milimeter, pengukuran dilakukan pada akhir penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
 Asandhi, A.A., Sastrosiswojo, 1989. Budidaya Kentang, Badan
Penelitian Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian
Hortikultura. Lembang.
 Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura, 2017
(http://www.pertanian.go.id/Indikator/tabel-2-prod-lspn-prodvitas-
horti.pdf). Diakses pada 18 maret 2018.
 Setiadi, 1993. Kentang Varietas dan Pembudidayaan. Swadaya, Jakarta
 Sahat, S., Kusuma, and C. Enrique. 1998. Evaluation of 39 Potato
Clones and Culture, In Java, Indonesia 1995 – 1998. Research
Institute of Vegetables. Lembang. Bandung.
 Salisbury, dan Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan. ITB Press. Bandung.
 Wattimena, Kristian S., 2006. Materi Kuliah Dasar Teknologi Grafis
dan Cetak, STIKOM, Surabaya.
 Widyastuti N. 2000. Pelestarian tanaman pangan melalui teknik kultur
in vitro. J Teknologi Lingkungan.1(3):206-211.
PENGARUH PEMBERIAN BAP DAN BEBERAPA JENIS
AUKSIN TERHADAP INDUKSI UMBI MIKRO KENTANG
VARIETAS GRANOLA
( Solanum tuberosum L) SECARA IN-VITRO

PROPOSAL MINIRISET

Oleh
1. Bagus Achmad Alvianto (A31160098)
2. Naqyatus Salaviah (A31160112)
3. Clara Fajarsyah Putri (A31160528)

PRODUKSI TANAMAN HORTIKULTURA


JURUSAN PRODUKSI PERTANIAN
POLITEKNIK NEGERI JEMBER

Anda mungkin juga menyukai