Anda di halaman 1dari 15

SJAMSUL BAHRI dan T.

SYAFRIATI: Mewaspadai Munculnya Beberapa Penyakit Hewan Menular Stategis di Indonesia

MEWASPADAI MUNCULNYA BEBERAPA PENYAKIT HEWAN


MENULAR STRATEGIS DI INDONESIA TERKAIT DENGAN
PEMANASAN GLOBAL DAN PERUBAHAN IKLIM

SJAMSUL BAHRI1 dan T. SYAFRIATI2


1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Raya Pajajaran Kav. E 59, Bogor 16151
2
Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114

(Makalah diterima15 Januari 2011 – 15 Maret 2011)

ABSTRAK

Dampak dari pemanasan global dan perubahan iklim akan menimbulkan gangguan musim, terjadinya banjir di satu tempat
dan kekeringan di tempat lain, perubahan suhu dan kelembaban udara. Keadaan ini dapat memicu perubahan kehidupan biologis
berbagai agen patogen (virus, bakteria, parasiter, dan lain sebagainya), berbagai spesies hewan dan berbagai vektor sebagai
hospes antara yang berperan dalam menularkan penyakit ke berbagai spesies hewan. Dalam keadaan seperti ini dapat memicu
berbagai penyakit hewan baru (emerging disease), atau penyakit yang sudah lama dapat muncul kembali (re-emerging disease).
Tulisan ini mengulas tentang dampak pemanasan global dan perubahan iklim terhadap kemungkinan munculnya beberapa
penyakit hewan tertentu di Indonesia seperti penyakit bluetongue (BT) dan penyakit zoonosis seperti Nipah, Japanese
encephalitis (JE), West Nile (WN) dan Rift Valley fever (RVF). Perubahan iklim seperti meningkatnya suhu bumi dan curah
hujan dapat memicu terjadinya ledakan populasi berbagai spesies vektor terutama yang berperan sebagai vektor virus Arbo
seperti penyakit BT, JE, WN dan RVF, selain itu meningkatnya transportasi hewan dan migrasi burung antar negara atau wilayah
yang disebabkan perubahan sistem ekologi membuka peluang menyebarnya penyakit. Oleh karena itu, kewaspadaan terhadap
muncul dan mewabahnya penyakit BT, JE, WN dan RVF di Indonesia perlu ditingkatkan dengan melakukan surveilans dan
deteksi dini terhadap penyakit tersebut. Sedangkan kemungkinan munculnya penyakit Nipah di Indonesia juga perlu diwaspadai
karena keberadaan agen patogen dengan hewan reservoarnya (kalong Pteropus vampyrus) dan ternak babi sebagai hospes yang
berperan sebagai pelipatganda virus. Penyakit lain seperti leptospirosis, anthrax dan penyakit avian influenza (H5N1) juga
mempunyai potensi untuk menyebar lebih luas terkait dengan perubahan iklim terutama dengan meningkatnya curuh hujan di
Indonesia.
Kata kunci: Pemanasan global, perubahan iklim, penyakit zoonosis

ABSTRACT

ANTICIPATING THE EMERGING OF SOME STRATEGICAL INFECTIOUS ANIMAL DISEASES IN INDONESIA


RELATED TO THE EFFECT OF GLOBAL WARMING AND CLIMATE CHANGE

The effect of global warming and climate change is changing the season, included flooding in one area and very dry in
other area, changing the temperature and humidity. These changes will trigger changing of the life of biological agent (virus,
bacteria, parasites and so on), variety of animal species, variety of vectors as reservoir host of animal with the role of transmitting
the disease to other animal species, This condition will trigger the new animal disease (emerging disease) or old disease will be
re-emerged (re-emerging diseases). This paper will discuss the effect of global warming and climate change on animal diseases
in Indonesia such as Bluetongue (BT), Nipah, Japanese encephalitis (JE), West Nile (WN), and Rift Valley fever (RVF). The
climate changes such as increasing the earth temperature and rainfall will cause extremely increase of vector population for BT,
JE, WN and RVF. In addition, animal transportation and bird migration from one country to others or region will cause changing
of ecological system and will open the chance to distribute the diseases. Hence, anticipation on those disease outbreaks should be
taken by conducting the surveilance and early detection to those diseases. The possibility of entering Nipah disease in Indonesia
should be anticipated because the avaibility of Nipah virus and the reservoir host (Pteropus spp) and also pigs as amplifier host in
the surrounding area. Other diseases such as, leptospirosis, anthrax and avian influenza (H5N1) are also have a wider potential to
distributing the disease related to the climate change in Indonesia.
Key words: Global warming, climate change, zoonotic disease

25
WARTAZOA Vol. 21 No. 1 Th. 2011

PENDAHULUAN PRINSIP TERJADINYA PENYAKIT HEWAN

Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan Penyakit hewan dapat dikategorikan sebagai


perekonomian suatu negara, maka setiap negara penyakit yang terjadi pada hewan baik yang
berlomba-lomba untuk semaksimal mungkin disebabkan oleh agen patogen atau agen infeksius
mengeksploitasi sumberdaya alam, baik yang terdapat (seperti virus, bakteria dan parasiter) maupun
di negaranya maupun yang ada di negara lain. Hal disebabkan oleh penyebab lain selain agen infeksius
demikian memang terbukti mampu membangun (seperti senyawa beracun atau gangguan metabolisme).
perekonomian global yang dikenal dengan istilah black Penyakit hewan ada yang hanya dapat menular dari
economy dimana sektor pertambangan yang antara lain hewan ke hewan saja seperti penyakit Septichaemia
terdiri dari bahan bakar fosil, mineral, tambang emas epizootica (SE) yaitu penyakit ngorok yang disebabkan
sempat menjadi komoditas perdagangan utama. oleh bakteria Pasteurella multocida atau penyakit yang
Demikian juga dengan hasil hutan yang memicu dapat menular dari hewan ke manusia atau yang
terjadinya deforestasi menjadi komoditas andalan dikenal sebagai penyakit zoonosis. Di Indonesia
Negara berkembang yang memiliki sumberdaya penyakit SE bersifat endemis, banyak menyerang
tersebut. ternak sapi dan kerbau di berbagai provinsi (NATALIA
Masyarakat dunia mulai menyadari bahwa dan PRIADI, 2006). Penyakit ini penularannya secara
eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya alam langsung dari hewan ke hewan lainnya melalui kontak
tersebut memiliki keterkaitan dengan kejadian langsung, dan tidak dapat menular ke manusia.
fenomena alam berupa meningkatnya permukaan air Adakalanya penyakit yang hanya dapat menyerang
laut, mencairnya es di kutub, naiknya suhu permukaan hewan ini penularannya terjadi tidak secara langsung
bumi dan terjadinya perubahan iklim dunia. Fenomena dari hewan tertular ke hewan lainnya, melainkan harus
alam yang dicirikan dengan berbagai perubahan melalui hospes antara seperti lalat Tabanus sp. yang
tersebut juga dipicu oleh semakin berkembangnya berperan sebagai vektor pada kejadian penyakit surra
industri primer, industri manufaktur dan meningkatnya pada sapi, kerbau atau kuda. Penyakit surra juga
sektor transportasi global yang kesemuanya terkait merupakan penyakit endemis di Indonesia seperti yang
dengan meningkatnya emisi gas rumah kaca berupa dikemukakan oleh PARTOUTOMO (1993).
CO2, CH4 dan N2O. Gas rumah kaca ini, di atmosfir Penyakit hewan yang hanya menular diantara
akan memantulkan kembali radiasi sinar matahari infra hewan contohnya penyakit SE sedangkan penyakit
merah ke permukaan bumi sehingga panas permukaan zoonosis misalnya penyakit rabies yang ditularkan
bumi akan meningkat dan terjadilah pemanasan global anjing penderita rabies ke manusia melalui gigitan
yang salah satunya menyebabkan terjadinya perubahan anjing. Penyakit zoonosis lain yang penularannya harus
iklim. melalui vektor nyamuk diantaranya penyakit Japanese
Dampak dari pemanasan global dan perubahan encephalitis (JE) pada babi atau penyakit West Nile
iklim ini antara lain akan menimbulkan gangguan (WN) yang umumnya terdapat pada burung atau
musim, terjadinya iklim yang ekstrim, banjir di satu spesies hewan mamalia lainnya (seperti kuda),
tempat dan kekeringan di tempat lain, perubahan suhu (KOMAR, 2003; ENDY dan NISALAK, 2002;
dan kelembaban udara (EASTERLING et al., 2000). MCMICHAEL dan WOODRUFF, 2008). Bagan penularan
Keadaan ini dapat memicu perubahan kehidupan berbagai penyakit hewan dan Zoonosis disajikan pada
biologis berbagai agen patogen seperti virus, bakteria, Gambar 1.
parasiter atau kapang, berbagai spesies hewan dan Penyakit hewan akan muncul karena ada interaksi
berbagai vektor seperti nyamuk, lalat atau caplak antara spesies hewan yang peka (sebagai hospes),
sebagai hospes antara yang berperan dalam menularkan keberadaan agen patogen dan lingkungan/ habitat yang
penyakit ke berbagai spesies hewan (KAY dan mendukung. Untuk penyakit yang dalam penularannya
AASKOV, 1989; WILLCOX dan COWELL, 2005; kepada hospes memerlukan vektor yang kompeten,
MCMICHAEL dan WOODRUFF, 2008). Keadaan ini akan maka keberadaan vektor tersebut merupakan tambahan
melahirkan berbagai penyakit hewan baru (emerging persyaratan yang harus terpenuhi keberadaannya
disease) seperti kejadian penyakit West Nile di (EPSTEIN, 2001). Apabila ketiga atau keempat hal
Amerika Serikat pada tahun 1999 (BRIESE et al., 1999; tersebut terdapat pada jangkauan lokasi dan waktu
KOMAR, 2003), atau penyakit yang sudah lama tidak yang tepat maka hampir dapat dipastikan bahwa
muncul dapat muncul kembali (re-emerging disease) penyakit akan muncul. Keadaan lingkungan ini
seperti kejadian penyakit bluetongue di Mediteranian merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi
dan di Eropa (MELLOR dan WITTMANN, 2002; PURSE et kondisi spesies hewan (hospes) sehingga pada kondisi
al., 1999). Tulisan ini mengulas tentang kemungkinan tertentu bisa sebagai pemicu timbulnya penyakit atau
munculnya penyakit hewan tertentu termasuk penyakit wabah. Pengaruh perubahan lingkungan terhadap
zoonosis di Indonesia terkait dengan terjadinya perkembangbiakan agen patogen juga ikut menentukan
pemanasan global dan perubahan iklim. hal yang sama. Demikian juga dengan pengaruh

26
SJAMSUL BAHRI dan T. SYAFRIATI: Mewaspadai Munculnya Beberapa Penyakit Hewan Menular Stategis di Indonesia

perubahan lingkungan terhadap perkembangan dan manusia (domestik maupun internasional), tingginya
keberadaan vektor juga dapat memicu terjadinya populasi vektor, meningkatnya arus perdagangan
penyakit. Pada kondisi spesies hewan menjadi stres Internasional, kondisi sosial ekonomi masyarakat yang
akibat perubahan lingkungan, sementara itu lemah, meningkatnya deforestasi, terjadinya alih fungsi
perkembangan agen patogen dan vektor menjadi lebih lahan dan hilangnya biodiversiti (EPSTEIN, 2007; ZELL
cepat pada perubahan lingkungan yang sama, maka et al., 2008; GOULD dan HIGGS, 2009). Keadaan
keadaan ini akan menimbulkan efek sinergisme demikian selain berpengaruh terhadap lingkungan
terjadinya wabah penyakit hewan secara luas. secara langsung juga akan meningkatkan terjadinya
Sebaliknya bila terjadinya perubahan lingkungan yang paparan patogen kepada hospes maupun paparan vektor
justru menyebabkan agen patogen dan vektor menjadi kepada hospes, sehingga akan meningkatkan
kurang atau tidak berkembang, maka keadaan ini akan kemungkinan terjadinya penyakit hewan.
menekan kemungkinan munculnya suatu penyakit atau
wabah. Oleh karena itu, pemanasan global dan
perubahan iklim pada kondisi tertentu dapat PENGARUH PEMANASAN GLOBAL DAN
mempengaruhi keadaan lingkungan dan kejadian PERUBAHAN IKLIM TERHADAP
penyakit karena adanya interaksi antara hospes dengan KEJADIAN PENYAKIT HEWAN
agen patogen dan vektor serta lingkungan
(MCMICHAEL dan WOODRUFF, 2008). Sesungguhnya keadaan iklim terkait erat dengan
Faktor lain yang ikut menentukan kejadian timbulnya gangguan kesehatan karena dapat memicu
penyakit hewan adalah kepadatan populasi hewan timbulnya berbagai penyakit infeksi, terutama pada
maupun penduduk, tingginya frekuensi lalu lintas pemanasan yang berkepanjangan dan ketidakstabilan

Penyakit hewan yang ditularkan dari hewan ke hewan Penyakit hewan yang ditularkan dari hewan ke hewan

Penularan secara langsung Penularan tidak langsung

Hewan Hewan

Vektor
Vektor

Hewan
Hewan

Contoh pada kasus penyakit SE, Brucellosis Contoh pada kasus penyakit blue tongue, Surra

Zoonosis Zoonosis
(Penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia) (Penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia)

Penularan secara langsung Penularan secara tidak langsung

Hewan Hewan Vektor

Hewan Vektor
Hewan

Manusia Manusia

Contoh pada kasus penyakit rabies Contoh pada kasus penyakit West Nile

Gambar 1. Bagan penularan penyakit hewan dan zoonosis


Sumber: MCMICHAEL dan WOODRUFF (2008) dimodifikasi

27
WARTAZOA Vol. 21 No. 1 Th. 2011

iklim seperti cuaca yang ekstrim. Keadaan iklim seperti yang sama. Dalam hal ini Culex annulirostris
ini dapat memicu munculnya atau kemunculan kembali umumnya memerlukan waktu 12 – 13 hari dari periode
penyakit infeksius global (NICHOLLS, 1993; EPSTEIN, telur sampai dengan dewasa pada suhu 25oC, tetapi
1999; 2001). pada suhu 30oC hanya memerlukan waktu 9 hari dari
Pengaruh perubahan iklim terhadap kejadian telur sampai dengan dewasa (KAY dan AASKOV, 1989).
penyakit hewan juga dapat terjadi secara tidak langsung Pengaruh curah hujan yang sangat tinggi dapat
misalnya, terjadinya banjir sehingga agen penyakit memutus siklus hidup nyamuk karena semua larva dan
terbawa aliran banjir ke lokasi lain atau vektor penyakit pupa akan hanyut terbawa aliran air hujan, sebaliknya
yang juga sebagai reservoar menyebar ke berbagai pada curah hujan yang rendah dan terdapat genangan
lokasi lain atau pemukiman lain. Hal ini dapat air, akan berdampak positif terhadap peningkatan
menimbulkan wabah seperti penyakit leptospirosis populasi nyamuk. Populasi serangga Culicoides spp.
pada manusia dimana tikus yang bertindak sebagai sebagai vektor virus Arbo akan meningkat pada awal
reservoar, bakteri Leptospira spp. akan tersebar ke dan akhir musim hujan. Hal ini berdampak pada
pemukiman/daerah lain melalui urin tikus dan dapat peningkatan kasus infeksi virus Arbo pada ternak
menginfeksi manusia atau hewan lain sehingga terjadi (SENDOW, 2006). Dengan demikian perubahan suhu,
wabah penyakit leptospirosis (KUSMIYATI et al., 2005). curah hujan dan kelembaban dapat mempengaruhi
Beberapa penyakit yang diperantarai oleh nyamuk jarak generasi, kepadatan populasi dan dinamika
sebagai vektor biasanya peka terhadap perubahan cuaca biologik berbagai vektor (seperti nyamuk, caplak, siput
(EPSTEIN, 2001; ZELL et al., 2008). air). Pada penyakit yang penularannya memerlukan
vektor seperti ini, maka vektor ini merupakan titik
kritis yang menentukan terjadinya penularan penyakit.
Pengaruh terhadap agen patogen

Pada umumnya hampir semua agen infeksius Pengaruh terhadap hospes utama
(seperti virus, bakteria, parasiter) perkembangannya
dapat dipengaruhi oleh keadaan iklim setempat, Pemanasan global dan perubahan iklim dapat
terutama yang paling peka pada saat agen patogen berpengaruh langsung kepada spesies hewan sebagai
tersebut menjalani siklus hidupnya di luar hospes hospes utama, antara lain timbulnya stres sehingga
utamanya (MCMICHAEL dan WOONDRUFF, 2008). PATZ hewan menjadi peka terhadap infeksi suatu agen
et al. (1998) mengemukakan bahwa suhu yang lebih patogen, sehingga akan muncul gejala penyakit.
tinggi dapat mempercepat masa perbanyakan suatu Pengaruh langsung juga dapat terjadi pada hospes
agen patogen dalam kelenjar liur nyamuk, sehingga utama berupa burung yang biasa bermigrasi karena
nyamuk menjadi lebih infektif dan dapat meningkatkan mengikuti musim. Pada perubahan iklim maka migrasi
penularan. Kuman Salmonella spp. juga akan dapat dipercepat atau diperlambat sehingga apabila
berkembang lebih cepat pada suhu yang lebih panas. burung tersebut telah terinfeksi misalnya virus West
Demikian juga dengan bakteri Vibrio cholera juga akan Nile maka virus ini akan ikut menyebar ke lokasi baru.
lebih berkembangbiak pada air yang lebih hangat yang Demikian juga dengan unggas lain yang bermigrasi dan
terdapat di danau, muara dan pantai (WILLCOX dan membawa agen patogen seperti virus H5N1 dalam
COWELL, 2005), namun tidak semua organisme akan tubuhnya sebagai reservoar, dapat menularkan penyakit
memberikan respon yang sama terhadap perubahan avian influenza (AI) di lokasi yang baru (GILBERT et
iklim (SLENNING, 2010). al., 2006). Hal yang sama juga dapat terjadi pada
kalong yang pindah lokasi karena gangguan habitat
lingkungannya dengan membawa serta virus Nipah
Pengaruh terhadap vektor dalam tubuhnya yang berperan sebagai reservoar (AZIZ
et al., 1999; CHUA et al., 2000a; FIELD et al., 2007).
Perubahan iklim yang terkait dengan faktor cuaca,
curah hujan, suhu dan kelembaban dapat
mempengaruhi dinamika biologi dan populasi dari BEBERAPA PENYAKIT HEWAN YANG
vektor berupa nyamuk yang sebagian siklus hidupnya PENYEBARANNYA DIDUGA TERKAIT
berhabitat di dalam air. Suhu yang sangat ekstrim akan DENGAN PERUBAHAN IKLIM
mengurangi populasi nyamuk, misalnya larva Culex
annulirostris akan mati pada suhu di bawah 10oC dan Pada umumnya penyakit-penyakit infeksius yang
di atas 40oC (MCMICHAEL dan WOODRUFF, 2008). sangat peka terhadap perubahan iklim adalah penyakit
Tetapi pada suhu yang meningkat sampai batas tertentu yang dalam proses penularannya memerlukan vektor
dapat mengurangi waktu yang diperlukan untuk jenis serangga seperti nyamuk (EPSTEIN, 2001; ZELL et
pengembangan larva, sehingga akan lebih banyak al., 2008). Sebagaimana yang diuraikan sebelumnya
generasi nyamuk yang dihasilkan pada satuan waktu bahwa vektor tertentu seperti serangga nyamuk dalam

28
SJAMSUL BAHRI dan T. SYAFRIATI: Mewaspadai Munculnya Beberapa Penyakit Hewan Menular Stategis di Indonesia

siklus hidupnya dipengaruhi oleh perubahan suhu dan terjadinya penyakit hewan. ARZT et al. (2010) dalam
kelembaban sehingga dapat berkembang dengan pesat tulisannya mengemukakan bahwa penyakit RVF, AI
yang berpotensi menyebarkan penyakit kepada induk (HPAI) dan BT termasuk dalam kelompok penyakit di
semangnya. Selain itu perubahan iklim juga dapat bidang pertanian yang diduga akan menjadi perhatian
memicu terjadinya perubahan migrasi burung yang ikut di awal millenium ke-3 ini.
berperan dalam menyebarkan penyakit. Demikian juga Pada Tabel 1 terlihat bahwa beberapa penyakit
dengan perubahan lingkungan dapat mengakselerasi yang diduga kuat memperlihatkan keterkaitan antara

Tabel 1. Penyakit yang penyebarannya diduga memiliki keterkaitan dengan perubahan iklim

Hewan Gejala klinis Distribusi


Penyakit/ patogen Keterangan Pustaka
tertular utama geografis
Penyakit Babi, kuda, Abortus (babi), Asia, Asia Vektor arthropod, babi ENDY dan
Japanese unggas, Encephalitis Tenggara tempat perbanyakan virus, NISALAK (2002);
encephalitis ruminansia (kuda) zoonosis YAMADA et al.
(JE)/virus JE (2004)
Penyakit West Berbagai Burung: tiba- Berbagai negara Emerging, vektor KOMAR (2003);
Nile (WN)/virus burung dan tiba mati, gejala hampir seluruh arthropod, penularan dari BAKONYI et al.
WN spesies syaraf; Mamalia: dunia importasi atau migrasi (2006)
mamalia gejala syaraf burung terinfeksi,
(seperti kuda) zoonosis
Penyakit Sapi, domba, Abortus, Afrika, Wabah tdk teratur, SWANEPOEL dan
Wesselsbron kambing kematian Madagaska sporadis COETZER (2004)
(Wess)/virus neonatal, Thailand
WESS kerusakan hati,
gejala syaraf
Penyakit Murray Domba, encephalitis Australia, Papua Vektor arthropod, terkait NICHOLLS (1993);
Valley monyet New Guinea dengan curah hujan, La- BROOM et al.
encephaltiis Nina (1995)
(MVE)/virus
MVE
Penyakit Domba, sapi Demam, Afrika, eropa, Wabah di Eropa (re- WARD dan
bluetongue oedema di Australia emerging), vektor JOHNSON (1996);
(BT)/virus BT daerah muka, arthropod, penularan dari PURSE et al.
lidah kebiruan, impor domba terinfeksi (1999); MELLOR
coronitis, atau sensitif, terkait dan WITTMANN
pincang dengan perubahan iklim (2002); MEHLHOM
ENSO et al. (2007)
Penyakit Rift Domba Demam, Mesir, Saudi Penyebaran hospes yang ABD EL-RAHIM et
Valley fever abortus, Arabia, Yaman terinfeksi (melalui al. (1999);
(RVF)/Virus RVF kematian anak importasi), emerging di MADANI et al.
dan dewasa Saudi dan Yaman, vektor (2003)
artropod, zoonosis, terkait
perubahan iklim ENSO
Penyakit Babi, dan Demam tinggi, Malaysia, Emerging, terkait CHUA et al.
Nipah/Virus berbagai batuk keras, Singapura deforestasi dan perubahan (1999; 2000a);
Nipah hewan lain sesak nafas, penggunaan lahan, DANIELS et al.
gangguan zoonosis (2001); FIELD et
syaraf, kematian al. (2007)
tinggi
Penyakit Avian Unggas, Kematian tinggi, Negara ASEAN, Emerging, reasortant GILBERT et al.
Influenza terutama perdarahan sub Afrika, Timur virus, penyebaran meluas (2006)
(AI)/virus AI ayam kutan, jengger tengah, timur melalui migrasi burung,
H5N1 kebiruan, dekat, eropa unggas air, impor,
eksudat hidung Zoonosis
Penyakit Roos Hewan? ?? Queensland Endemik, vektor DONE et al.
River/Virus Roos Australia arthropod, terkait dengan (2002)
River Togaviridae perubahan iklim

?: tidak ada informasi

29
WARTAZOA Vol. 21 No. 1 Th. 2011

Tabel 2. Beberapa penyakit hewan yang perlu diwaspadai dapat muncul di Indonesia terkait dengan pemanasan global dan
perubahan iklim

Keberadaan penyakit di Indonesia


Penyakit/patogen Keterangan Pustaka
Patogen Vektor Hospes
Penyakit Ada Ada Ada Kasus pada domba Suffolk SUDANA dan MALOLE (1982);
bluetongue impor tahun 1981. Kasus klinis SENDOW et al. (1993a; b);
(BT/Virus BT pada hewan lokal belum SENDOW (2002)
pernah, isolat virus BT didapat
dari hewan ruminansia dan
vektor
Penyakit Japanese Ada Ada Ada Kasus pada manusia sporadis, POERWOSOEDARMO et al.
encephalitis (JE)/ reaktor positif antibodi pada (1996); BUHL et al. (1996);
virus JE berbagai spesies hewan di SENDOW et al. (2000; 2008b)
berbagai provinsi
Penyakit Nipah/ Ada Ada Ada Kasus klinis dan serologis pada SENDOW et al. (2004);
virus Nipah hewan (terutama babi) dan SENDOW dan ADJID (2005);
manusia belum pernah terjadi, SENDOW et al. (2008a; 2009)
antibodi thd virus Nipah positif
pada kalong di beberapa
provinsi
Penyakit West Tidak ada Ada Ada Belum ada laporan kasus, OWEN et al. (2006); BOTHA et
Nile data patogen dapat masuk melalui al. (2008)
migrasi dan importasi burung
atau melalui vektor
Penyakit Rift Tidak ada Ada Ada Belum ada laporan kasus, GOULD dan HIGGS (2009)
Valley fever data patogen dapat masuk importasi
(RVF)/virus RVF domba tertular

perubahan iklim dengan penyebaran penyakit dan menimbulkan penyakit secara klinis dan gejalanya jauh
mempunyai potensi untuk muncul dan mewabah di lebih ringan daripada di domba. Saat ini paling sedikit
Indonesia. Penyakit tersebut secara garis besar telah terdapat 24 serotipe virus BT yang diketahui di
disajikan dalam Tabel 2, sedangkan uraiannya akan dunia.
dibahas secara lebih rinci. Selain itu terdapat juga Penyebaran virus ini dimulai dari Afrika
penyakit lain yang secara tidak langsung berhubungan menyebar ke negara beriklim sedang, biasanya
dengan kejadian banjir atau kekeringan akibat adanya penyakit virus BT ini muncul pada keadaan iklim yang
perubahan iklim, yaitu penyakit leptospirosis, anthrax sesuai. Introduksi serotipe virus BT-8 terbaru telah
dan penyakit flu burung (H5N1) yang memang sudah sampai ke Eropa bagian Utara termasuk Inggris pada
ada di Indonesia. tahun 2006, bahkan sudah mencapai Norwegia pada
tahun 2009 (ARZT et al., 2010). Penyebaran penyakit
virus BT di Eropa ini terkait erat dengan ekspansi dari
BEBERAPA PENYAKIT HEWAN YANG vektornya berupa nyamuk Culicoides imicola, dimana
PERLU DIWASPADAI KEMUNCULANNYA pada saat itu telah terjadi perubahan iklim yang cukup
DI INDONESIA panas dengan kelembaban yang meningkat (ARZT et
al., 2010; PURSE et al., 2008). Di Amerika Serikat virus
Penyakit bluetongue (BT) BT serotipe-1 (virus BT-1) pertama kali dideteksi di
Lousiana pada tahun 2004 yang diduga berhubungan
Penyakit bluetongue (BT) adalah penyakit hewan dengan sebaran vektor Culicoides spp. dimana
yang disebabkan oleh virus Arbo dari genus Orbivirus penyebarannya terkait dengan perubahan iklim.
yang termasuk dalam famili Reoviridae. Berbeda Penyebaran penyakit BT juga didukung oleh faktor
dengan virus Arbo lainnya, penyakit BT ini tidak transportasi ternak yang diperdagangkan, terutama
menular ke manusia. Virus ini patogenik untuk hewan apabila terbawa ternak ruminansia yang terinfeksi virus
ruminansia domestik maupun liar. Virus ini banyak BT tetapi belum memperlihatkan gejala sakit.
menyerang domba asal Eropa yang dikembangkan Di Indonesia kasus pertama penyakit virus BT
secara komersial dan banyak didistribusikan ke Afrika, terjadi pada domba impor Suffolk asal Australia pada
Asia dan Australia. Pada sapi dan kambing jarang tahun 1981 di Jawa Barat (SUDANA dan MALOLE,

30
SJAMSUL BAHRI dan T. SYAFRIATI: Mewaspadai Munculnya Beberapa Penyakit Hewan Menular Stategis di Indonesia

1982). Pada penelitian yang dilakukan SENDOW et al. kelinci, unggas, kelelawar dan manusia. Aktivitas virus
(1993a; b) dapat diisolasi virus BT serotipe 1, 3, 6, 7, 9, secara alami akan terpelihara melalui siklus hidup
12, 16, 21 dan 23 yang berasal dari sentinel sapi di nyamuk dengan unggas dan babi adalah induk semang
Jabar dan Irian Jaya. Antibodi virus BT banyak penting tempat perbanyakan dari virus tersebut
ditemukan pada ruminansia besar maupun ruminansia (WEISSENBOCK et al., 2010). Pada saat ini virus JE
kecil karena terdapat banyak vektor yang menularkan telah tersebar hampir di banyak negara, terutama di
penyakit ini. Isolat virus BT lokal serotipe 1, 9, dan 21 Asia termasuk Indonesia (OMPUSUNGGU et al., 2008).
yang diperoleh dari sentinel di Jawa Barat dan Irian Hewan yang berperan sebagai reservoar dari virus JE
Jaya (SENDOW et al., 1993a; b) ternyata tidak patogen adalah ternak babi, sedangkan manusia dan kuda
setelah diuji pada domba merino impor dan domba merupakan target akhir dari siklus penularan atau
lokal (SENDOW, 2005). dikenal juga dengan istilah dead-end karena viraemia
SENDOW (2002) berhasil mengisolasi virus BT terjadi sangat singkat sehingga sulit untuk ditularkan
serotipe 1 dari Culicoides fulvus; virus BT serotipe 6 dari manusia ke manusia.
dari C. peregrinus, dan virus BT serotipe 21 dari C. POERWOSOEDARMO et al. (1996) melaporkan
shortii dan C. orientalis yang mana semua serangga bahwa kasus JE pada manusia di Indonesia hanya
nyamuk tersebut berasal dari wilayah Jawa Barat. terjadi secara sporadis dan hanya terdapat di kota besar.
Serotipe yang paling banyak diisolasi adalah serotipe 1 Sedangkan BUHL et al. (1996) melaporkan bahwa
dan 21 (SENDOW dan BAHRI, 2005). penyakit JE memang terdapat di Indonesia yaitu pada
Melihat perkembangan penyakit virus BT akhir- turis asal Denmark yang menunjukkan gejala klinis,
akhir ini di Eropa dan di Amerika Utara yang dikaitkan serologis, patologis anatomis dan histopatologis
dengan perubahan iklim, maka perlu kehati-hatian menunjukkan bahwa turis tersebut memang positif
terhadap kemungkinan timbulnya penyakit BT di mengidap penyakit JE. Laporan di Indonesia bahwa
Indonesia, terutama terhadap kebijakan impor domba kasus JE rendah karena belum dapat diungkapkan,
dari Eropa, Australia atau negara lain. Hal ini SENDOW et al., (2000) melaporkan hasil penelitiannya
dikarenakan agen penyakit dan vektor penyakitnya bahwa reaktor JE (antibodi terhadap JE) tertinggi pada
terdapat di Indonesia, sehingga apabila masuk domba sapi baik di Sumatera Utara (86%), Kalimantan Barat
impor yang peka apalagi membawa serotipe virus BT (62%), Sulawesi Selatan (57%), Jawa Barat (23%) dan
lain, bisa muncul wabah penyakit BT. Irian Jaya (37%). Selain sapi, ternak lainnya seperti
Metode untuk mengontrol penyakit virus BT ini kambing, babi, ayam, itik, anjing dan kuda juga positif
dimulai dengan upaya menekan terjadinya pemaparan reaktor JE. Sedangkan sampel manusia dari Kalbar,
hewan terhadap serangga (vektor) penular virus BT, NTT dan Irja juga positif reaktor JE masing-masing
penggunaan insektisida untuk memutus/mengontrol 30%, 29% dan 18%. Bila dikelompokkan berdasarkan
serangga/ siklus hidup serangga penular virus BT, spesimen asal hewan dan manusia, maka persentase
namun metode ini sepertinya sulit dilakukan. reaktor positif JE adalah sebagai berikut: sapi (51%),
Pemberian vaksin polivalen dari berbagai serotipe virus kambing (27%), babi (11%), ayam (43%), itik (44%),
BT terhadap hewan yang akan diimpor lebih tepat kuda (14%), anjing (12%), dan manusia (24%).
dibandingkan dengan cara pertama. Penelitian terbaru memperlihatkan bahwa reaktor JE
pada babi di Kalbar telah meningkat sangat pesat
mencapai 84% pada kalong Pteropus vampyrus juga
Japanese encephalitis (JE) positif reaktor JE sebesar 12% (SENDOW et al., 2008b).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berbagai
Penyakit Japanese encephalitis (JE) adalah spesies hewan dan juga manusia cukup banyak yang
penyakit radang otak yang dapat menyerang hewan telah terinfeksi virus JE di Indonesia.
maupun manusia yang disebabkan oleh virus JE dapat Pada perubahan iklim yang cenderung terjadinya
berakibat fatal pada penderita (FENNER et al., 1992; peningkatan suhu dan kelembaban di Indonesia, dapat
WEISSENBOCK et al., 2010). Penyakit JE pertama kali memicu ledakan populasi serangga nyamuk vektor JE.
ditemukan di Jepang pada tahun 1871, oleh karena itu Bila hal ini terjadi maka peluang manusia dan hewan
diberi nama Japanese encephalitis, sedangkan virusnya terinfeksi virus JE melalui gigitan nyamuk (vektor)
sendiri baru berhasil diisolasi pada tahun 1933. Virus yang telah terinfeksi virus JE akan semakin tinggi.
JE ini termasuk dalam kelompok virus Arbo dari genus Oleh karena itu, perlu diantisipasi untuk mencegah
Flaviviridae, mempunyai 5 genotipe didasarkan atas terjadinya wabah JE di Indonesia dengan cara
analisis phylogenetic dari gen E virus (SOLOMON et al., mengontrol atau mengendalikan vektor tersebut dengan
2003; WILLIAMS et al., 2000). Penyakit ini bersifat melakukan surveilans yang intensif. Sudah saatnya
zoonosis dan penularan kepada hewan maupun untuk dilakukan penelitian untuk mengungkapkan
manusia tidak secara langsung tetapi melalui gigitan penyebab dari terjadinya kasus ensefalitis pada
vektor berupa serangga nyamuk. Induk semang yang manusia. Keberadaan virus, vektor dan kondisi
dapat terinfeksi adalah babi, ternak ruminansia, kuda,

31
WARTAZOA Vol. 21 No. 1 Th. 2011

lingkungan yang kurang higienis pada masyarakat keluar bersama urin atau cairan darah dan menyebar
Indonesia di pedesaan yang juga kehidupan sosial serta menular kepada hewan lain atau manusia.
ekonominya rendah menyebabkan daya tahan tubuhnya Kejadian wabah penyakit Nipah di Malaysia
juga rendah. tersebut diduga karena dipicu oleh perubahan ekologi
dimana telah terjadi peralihan fungsi penggunaan
sebagian lahan perhutanan untuk peternakan babi dan
Penyakit Nipah perluasan perkebunan buah, sehingga banyak kalong di
sekitar perkebunan buah dan peternakan babi tersebut
Penyakit Nipah adalah penyakit viral yang (CHUA, et al., 1999). Sampai saat ini infeksi virus
disebabkan oleh virus Nipah dari genus Morbilivirus, Nipah baru ditemukan di Malaysia dan Singapura
Famili Paramyxoviridae yang menyerang ternak babi dimana kejadian di Singapura merupakan bagian dari
dan bersifat zoonosis (CHUA et al., 2000b). Penyakit kasus yang berasal dari Malaysia (CHUA et al., 2000a)
Nipah pertama kali dilaporkan di Malaysia pada tahun dan Bangladesh (HSU et al., 2004). Indonesia sebagai
1998 pada awalnya diduga penyakit Japanese negara tetangga dari Malaysia dan Singapura sudah
encephalitis (JE) karena selain gejala klinisnya mirip selayaknya perlu waspada terhadap kemungkinan
dengan gejala JE terutama bentuk ensefalitis dan gejala munculnya kejadian penyakit Nipah di Indonesia. Oleh
syaraf lainnya, juga penyakit Nipah ini merupakan karena itu berbagai penelitian telah dilakukan untuk
penyakit eksotik yang belum pernah terjadi sebelumnya mengetahui keberadaan virus ini pada kalong maupun
(CHUA et al., 1999). Hasil pemeriksaan serologis juga ternak babi yang berada diwilayah yang berdekatan
bereaksi positif (reaksi silang) dengan virus Hendra, dengan Malaysia.
sehingga penyebabnya diduga virus Hendra seperti WIDARSO et al. (2000) pernah melaporkan bahwa
yang pernah terjadi di Australia, dari hasil penelitian kasus penderita ensefalitis di Indonesia pada dua orang
lebih lanjut walaupun secara biomolekuler virus ini yang pernah bekerja di salah satu peternakan babi yang
mirip dengan virus Hendra tetapi tidak identik. Pada terkena wabah Nipah di Malaysia, positif mengandung
akhirnya diberi nama virus Nipah sesuai dengan nama antibodi terhadap virus Nipah secara serologi dimana
lokasi kejadian di desa Sungai Nipah Negeri Sembilan kedua orang tersebut ahirnya meninggal di rumah sakit
(CHUA et al., 1999, and 2000 a,b). Wabah penyakit ini Batam pada tahun 1999. Namun saat ini di Indonesia
mengejutkan bidang kesehatan manusia dan veteriner masih dinyatakan bebas Nipah pada babi. Hal ini
karena dalam waktu kurang dari satu tahun (September terlihat dari laporan SENDOW et al. (2004) bahwa hasil
1998 – April 1999), wabah penyakit ini telah pengujian terhadap 1300 serum babi yang berasal dari
menewaskan 105 orang dan sekitar 1,1 juta ekor babi beberapa daerah di Sumatra Utara, Riau, Sulawesi
dimusnahkan (CHUA et al., 1999; 2000a). Penyakit Utara dan Jawa tidak ditemukan adanya antibodi
Nipah ini termasuk penyakit baru yang sebelumnya terhadap virus Nipah. Tetapi hasil surveilen secara
belum pernah dilaporkan di dunia, sehingga pada awal serologi dengan uji ELISA terhadap sejumlah kalong
kejadiannya diduga sebagai penyakit JE karena adanya spesies Pteropus vampyrus yang berasal dari Sumatra
gejala ensefalitis dan kejadiannya juga banyak Utara, Jawa Barat dan Jawa Timur, ditemukan antibodi
menyerang ternak babi. terhadap virus Nipah (23,7% dari 156 spesimen serum
Pada kejadian penyakit Nipah di Malaysia ini kalong P. vampyrus). Hasil uji ini telah dikonfirmasi
ternyata ternak babi dan kalong merupakan dua spesies dengan menggunakan uji SN (serum netralisasi) yang
hewan yang sangat berperanan penting, dimana kalong dilakukan di AAHL (Australian Animal Health
berperan sebagai reservoar dari virus Nipah, sedangkan Laboratory) Australia (SENDOW dan ADJID, 2005;
ternak babi berperan sebagai pengganda virus yang SENDOW et al., 2008a). Dengan demikian dapat
mengamplifikasi virus Nipah sehingga siap untuk disimpulkan bahwa kalong di beberapa wilayah
ditularkan ke babi atau hewan lain atau manusia Indonesia telah terinfeksi oleh virus Nipah yang
(DANIELS et al., 2001; FIELD, 2001). Penularan virus berpotensi untuk menulari babi di wilayah tersebut.
Nipah melalui udara dan pernafasan dimana partikel Terkait dengan hasil penelitian SENDOW dan
virus Nipah terbawa keluar tubuh babi terinfeksi ADJID (2005) kemungkinan ada hubungan dengan yang
melalui batuk yang sangat keras. Penularan dapat juga dilaporkan SMITH et al. (2005) bahwa kalong P.
melalui kontak langsung dengan darah, cairan tubuh vampyrus yang ada di peninsula Malaysia dapat
atau cairan ekskresi seperti urin atau saliva, busa cairan bermigrasi ke pulau Sumatra untuk tinggal beberapa
yang keluar melalui pernafasan (SENDOW dan ADJID, minggu dan kembali lagi ke Peninsula Malaysia.
2005). Penularan melalui udara merupakan yang paling Keadaan ini memungkinkan terjadinya penularan virus
efektif karena virus antara lain menyerang dan Nipah dari kalong asal Malaysia dengan kalong yang
berkembang pada mukosa saluran pernafasan babi dan terdapat di Indonesia atau kalong yang tertangkap
menyebabkan sel mukosa rusak dan virus keluar merupakan kalong yang bermigrasi dari Malaysia.
tersekresi dalam busa cairan pernafasan atau udara OLSON et al. (2002) melaporkan bahwa beberapa
pernafasan pada waktu babi batuk keras, virus juga

32
SJAMSUL BAHRI dan T. SYAFRIATI: Mewaspadai Munculnya Beberapa Penyakit Hewan Menular Stategis di Indonesia

kalong Pteropus spp. di Indonesia terdeteksi Sahara dan Madagaskar (LANCIOTTI et al., 2002).
mengandung antibodi terhadap virus Nipah, namun Bahwa penyebaran virus WN ini dibawa oleh burung
hasil serologis pada 2740 serum ternak babi belum ada yang bermigrasi telah dibuktikan serangkaian
yang positif mengandung antibodi terhadap virus penelitian (BOTHA et al., 2008).
Nipah. Hal ini menunjukkan bahwa virus Nipah belum Virus WN ini diketahui terkait dengan nyamuk
sempat menginfeksi ternak babi di Indonesia. Oleh Culex spp. pada unggas (bersifat Ornithophilic),
karena itu, keadaan demikian harus dipertahankan dimana virus ini memperbanyak diri pada nyamuk dan
jangan sampai ada peluang ternak babi terinfeksi oleh menularkannya kepada burung setempat atau burung/
virus Nipah. Keadaan ini hanya dapat dilakukan unggas yang bermigrasi atau burung pendatang,
dengan cara menghindari lokasi peternakan babi dari sehingga dapat mempermudah menyebarkan virus WN
kehadiran kalong P. vampyrus. dengan geographis yang lebih luas. Di bidang veteriner
Untuk mencegah munculnya wabah penyakit virus WN ini termasuk jenis patogen yang cukup
Nipah di Indonesia, perlu dilakukan surveilans lebih penting, patogenitasnya pada kuda menyebabkan
lanjut terhadap kalong P. vampyrus terutama di sekitar ensefalomyelitis nonsuppuratif (WEISSENBOCK et al.,
lokasi peternakan babi, kebun buah kesukaan kalong 2010). Wabah WN pada manusia di Amerika Serikat
tersebut dan rute perjalanan kalong dari habitatnya ke juga didahului banyaknya kematian burung di kota
kebun buah tempat kalong mencari makan. Selain pada New York, juga telah menyebabkan ribuan ekor kuda
kalong, surveilans juga dilakukan pada ternak babi mati karena terinfeksi virus WN (KOMAR, 2003;
yang populasinya padat dan berdekatan dengan WEISSENBOCK et al., 2010). Bahkan virus WN juga
tanaman buah dimana kalong P. vampyrus mencari telah memperlihatkan sangat patogenik pada sejumlah
makan. Bila babi positif mengandung virus Nipah, besar unggas liar dan domestik (KOMAR, 2003).
segera lakukan pemusnahan pada kelompok ternak babi Penyakit WN semakin menjadi perhatian dunia
tersebut. Hendaknya lokasi peternakan babi tidak setelah mewabah di Amerika Serikat yang dimulai
berdekatan dengan pemukiman penduduk dan juga pada Agustus 1999 di kota New York yang
tidak berdekatan dengan sarang/habitat kalong yang menewaskan 9 orang dari 62 orang yang menunjukkan
dapat bertindak sebagai reservoar. Lahan di sekitar gejala klinis positif WN dimana penyakit menyebar
peternakan babi sebaiknya tidak ditanami tanaman dengan cepat sehingga pada tahun 2002 telah menyebar
buah yang dapat mengundang kehadiran kalong P. di 39 negara bagian AS dan menewaskan 284 orang
vampyrus. Jadi penting untuk memutus mata rantai dari 4156 orang yang positif WN (KOMAR, 2003;
penularan virus Nipah dari kalong P. vampyrus ke BRIESE et al., 1999; BANSKOWSKI dan ANDERSON,
ternak babi. Impor babi juga harus hati-hati jangan ada 2003). Pada saat yang bersamaan juga terjadi banyak
yang sudah tertular virus Nipah dan pengetatan sistem kematian burung pada ahir musim panas tahun 1999
karantina perlu dilakukan untuk mengantisipasi (BRIESE et al., 1999). Dari hasil penelitian dapat
masuknya Nipah ke Indonesia. diungkapkan bahwa strain virus WN tersebut berasal
dari Israel. Hal ini terkait dengan ditemukannya virus
WN dari burung yang ada di kebun binatang di New
Penyakit West Nile (WN) York yang diperkirakan akibat dari adanya impor
burung dari Israel atau Mesir pada tahun 1999 (GOULD
Penyakit West Nile (WN) adalah penyakit viral et al., 2003). Pada saat itu cuaca di New York antara
yang dapat menyerang hewan seperti kuda dan unggas musim semi dan musim panas di tahun 1999 dimana
yang disebabkan oleh virus Arbo dari genus Flavivirus, keadaannya panas dan lembab yang sangat cocok untuk
famili Flaviviridae dimana penyakit ini bersifat berkembangbiaknya nyamuk sehingga populasi
zoonosis (GOULD dan HIGGS, 2009). Virus WN ini nyamuk sangat tinggi dan berperan sebagai penular
pertama kali diisolasi pada tahun 1937 dari darah virus Arbo yang sangat efisien. Diduga munculnya
seorang wanita yang menderita demam di daerah West wabah virus WN di Amerika Serikat pada tahun 1999
Nile bagian utara Uganda yang kemudian diketahui sangat terkait dengan adanya perubahan iklim disertai
juga sebagai virus penyebab demam WN pada anak- dengan importasi burung dari negara tertular yang
anak di Afrika Utara dan Timur Tengah pada tahun membawa virus WN dalam tubuhnya.
1950 (HAYES, 2001). Penyakit ini kemudian menyebar Penyebaran virus WN di Amerika Serikat ini terus
ke arah Utara melalui burung yang bermigrasi sampai bergerak ke arah Selatan sehingga pada tahun 2001
ke Eropa bagian Selatan, Rusia, India dan Australia sudah terdeteksi di negara bagian Florida, kemudian di
yang dibuktikan dengan menganalisis rangkaian genom ahir tahun 2003 virus WN sudah mulai terdeteksi di
dan phylogenic tree dari virus WN yang berasal dari Meksiko dan Karibia bahkan juga telah mencapai
Amerika, Eropa, Israel, Afrika, Rusia, India dan Argentina (LORONO-PINO et al., 2003; GOULD dan
Australia sehingga diketahui asal-usul silsilah pertama HIGGS, 2009). Hal yang menarik adalah bahwa virus
dari virus WN, sedangkan asal usul silsilah kedua ini sering dapat diisolasi dari burung yang sakit
merupakan virus WN yang hanya diisolasi dari sub-

33
WARTAZOA Vol. 21 No. 1 Th. 2011

maupun sehat, sehingga burung yang bermigrasi 2000 kasus penyakit RVF terjadi di Saudi Arabia dan
dianggap sebagai sumber penularan yang pola Yaman (GOULD dan HIGGS, 2009). Selanjutnya pada
penyebarannya mengikuti rute migrasi burung tersebut. tahun 1997 terjadi lagi epizootik penyakit RVF di
Dapat dikatakan bahwa burung yang bermigrasi Mesir pada sapi dan domba dengan gejala demam
tersebut berperan sebagai kendaraan dari penyebaran tinggi, ikterus, diare berdarah dan abortus (ABD EL-
virus WN (OWEN et al., 2006). Penyebaran ke RAHIM et al., 1999). Sumber infeksi wabah penyakit
Meksiko pada Juli – Oktober 2002 juga dipastikan RVF ini berasal dari unta dan ternak ruminansia yang
melalui burung yang bermigrasi dari bagian Utara diimpor dari Sudan, dimana kejadian penyakit ini
karena antibodi virus WN dari burung yang bermigrasi diperparah dengan meningkatnya populasi nyamuk
tersebut juga positif (LORONO-PINO et al., 2003). Di sebagai vektor penyakit RVF pada musim panas di
Indonesia diduga banyak kedatangan burung migran Mesir (ABD EL-RAHIM et al., 1999). Dari kejadian ini
yang berasal dari negara Asia bagian Utara, Barat Daya timbul pertanyaan apakah tidak mungkin penyakit RVF
dan Asia Barat dan juga dari Australia, oleh karena itu ini akan sampai ke Eropa dan Asia.
perlu diwaspadai kemungkinan munculnya wabah Dari berbagai kejadian wabah penyakit RVF
penyakit WN. Apalagi vektor dan induk semang utama ternyata munculnya mengikuti tingginya curah hujan
penyakit ini terdapat di Indonesia, sehingga apabila dan biasanya ada hubungan dengan terjadinya
virus WN sempat masuk di Indonesia diduga akan genangan air di daratan yang cukup lama yang terkait
dengan cepat menyebar. erat dengan perkembangbiakan vektor (nyamuk).
Hasil penelitian yang juga cukup menarik adalah Proyek irigasi selama abad ke-20 di Afrika memicu
bahwa vektor berupa Cx. pipiens dan Cx. tarsalis di terjadinya wabah penyakit RVF karena bermunculannya
California dapat mengalihkan pola makannya dari nyamuk dalam jumlah yang sangat banyak. Hal ini juga
burung/unggas ke mamalia, hal ini terjadi apabila telah dibuktikan melalui suatu pembentukan genangan
burung tersebut bermigrasi pada akhir musim panas. air buatan di daerah epizootik di Kenya, ternyata jutaan
Oleh karena itu, kejadian epidemik penyakit WN pada larva Ae.mcintoshi menetas dan virus RVF dapat
spesies burung banyak terjadi pada awal musim panas diisolasi dari nyamuk dewasa termasuk nyamuk jantan.
dimana banyak nyamuk telah mengandung virus WN Dengan demikian penularan transovarial virus
dari menggigit unggas/burung, sedangkan epidemik memberikan suatu penjelasan yang dapat diterima akal
pada manusia banyak terjadi pada akhir musim panas (GOULD dan HIGGS, 2009).
(KILPATRICK et al., 2006 dalam GOULD dan HIGGS, GOULD dan HIGGS (2009) juga dalam tulisannya
2009). mengemukakan bahwa wabah RVF di Afrika Timur
berkaitan erat dengan tingginya curah hujan yang
terjadi selama fase musim panas dari fenomena ENSO
Penyakit Rift Valley Fever (RVF) (El Nino/Southern Oscillation). Umumnya RVF terjadi
di pedesaan dan semi-rural, bukan diperkotaan, dan
Penyakit Rift Valley Fever (RVF) adalah penyakit kejadian epizootik pada ternak terutama pada beberapa
viral yang menyerang hewan maupun manusia yang bangsa ternak yang di impor. Kejadian pada manusia
disebabkan oleh virus dari genus Phlebovirus dari biasanya terjadi pada manusia yang karena
famili Bunyaviridae. Virus ini pertama kali pekerjaannya mempunyai hubungan dengan ternak
diidentifikasi pada tahun 1931 pada kejadian epidemik tersebut, seperti penggembala ternak, pekerja kandang,
disuatu peternakan di Rift Valley di Kenya (DAUBNEY pekerja rumah potong hewan (RPH), atau tinggal
et al., 1931 yang dikutip GOULD dan HIGGS, 2009). bersama ternak tersebut sehingga terjadi infeksi melalui
Penyakit ini utamanya ditularkan kepada hewan dan kontak dengan ekskreta atau darah atau jaringan dari
manusia oleh nyamuk Aedes spp., dan dapat hewan yang terinfeksi. Penularan kepada manusia bisa
menyebabkan penyakit yang serius yang ditandai juga karena terpapar terhadap gigitan dari nyamuk
dengan tingginya kejadian keguguran dan bisa yang telah terinfeksi dengan virus RVF.
mengakibatkan kematian. Manusia bisa tertular apabila Karena penyakit RVF ini ditularkan oleh nyamuk
berada pada lokasi tersebut dan terkena gigitan nyamuk Aedes spp. sebagai vektor, maka kondisi iklim
yang mengandung virus RVF. Biasanya kasus pada merupakan pemicu timbulnya penyakit RVF. Oleh
manusia umumnya ringan tetapi pada beberapa karena itu, secara teori penyakit RVF ini
individu peka dapat menimbulkan gejala penyakit yang memungkinkan untuk tersebar sampai negara di Eropa
berat. dan Asia termasuk Indonesia. Disamping itu, selain
Penyakit RVF terus menyebar di Afrika Utara faktor perubahan iklim, faktor lain seperti perpindahan
sehingga terjadi di Mesir pada ahir tahun 1977 dimana hewan yang terinfeksi melalui perdagangan (ekspor/
terjadi epizootik yang dramatis yang menyebabkan 600 impor) atau melalui terbawanya vektor nyamuk yang
orang meninggal dan lebih dari 60.000 orang kompeten ke daerah yang bukan epidemik RVF dan
memperlihatkan gejala klinis yang berat (MEEGAN, menyebar di luar batas geografisnya. Oleh karena itu,
1979; MEEGAN et al., 1979). Kemudian pada tahun

34
SJAMSUL BAHRI dan T. SYAFRIATI: Mewaspadai Munculnya Beberapa Penyakit Hewan Menular Stategis di Indonesia

dapat diantisipasi pencegahannya melalui kontrol termasuk di lokasi peternakan unggas terutama ayam
terhadap vektornya disertai dengan melakukan kampung maupun itik yang dipelihara masyarakat
surveilans pada iklim tertentu atau pada keadaan secara tradisional sehingga keadaan lingkungan di
terjadinya perubahan iklim sebelum terjadinya penyakit sekitar kandang unggas tersebut menjadi lembab dan
sehingga penyebaran penyakit dapat dihambat. virus AI H5N1 yang masih terdapat di Indonesia akan
bertahan hidup lebih lama, sementara itu kondisi ayam
tersebut menjadi lemah. Keadaan demikian akan
Penyakit-penyakit lainnya memicu munculnya wabah penyakit flu burung. Selain
itu migrasi burung/unggas pada keadaan pemanasan
Selain kelima penyakit yang telah disebutkan di global dan perubahan iklim global juga akan terus
atas, juga ada beberapa penyakit hewan yang terjadi, dan migrasi burung/unggas liar dari China dan
kemungkinan akan sering muncul di Indonesia terkait negara Asia bagian Barat dan Utara yang masih belum
dengan meningkatnya curah hujan yaitu penyakit bebas AI akan memicu munculnya penyakit AI strain
leptospirosis, anthrax dan avian influenza H5N1. baru (hasil mutasi dari virus H5N1 yang ada). Oleh
Penyakit leptospirosis yang bersifat zoonosis dapat karena itu, hal demikian perlu diantisipasi dengan
menyebar melalui pergerakan hewan tikus yang mengembangkan vaksin AI yang sesuai dan biosekuriti
berperan sebagai reservoar. Pada keadaan banjir karena yang ketat.
curah hujan yang tinggi, maka tikus akan keluar karena
sarangnya tergenang air, dan perpindahan tikus ini akan
ikut menyebarkan Leptospira spp. melalui urin ke POTENSI BAHAYA DAN KEWASPADAAN
lingkungan sekitar, sehingga dapat menginfeksi hewan
lain maupun manusia di sekitarnya. Fenomena ini Wabah penyakit dapat menyebar dengan cepat
sering terjadi pada peristiwa banjir di daerah Jakarta antar negara diduga mengikuti migrasi burung, juga
dan beberapa kota lainnya dimana kasus leptospirosis perkembangan vektor penyakit yang berkembang pesat
pada manusia meningkat (WIDARSO dan WILFRIED, karena perubahan iklim yang panas dan lembab pada
2002; OKATINI et al., 2007). Untuk mengantisipasi musim panas (seperti penyakit WN), demikian juga
penyakit ini perlu dilakukan surveilans pada hewan penyakit yang kemunculannya hampir berbarengan dan
penular saat terjadinya banjir dan melakukan diagnosis diduga ada keterkaitan dengan perubahan iklim
dini pada manusia agar penderita bisa segera diberi (penyakit Nipah). Kedua penyakit ini (Nipah dan WN)
pertolongan. Vaksin leptospirosis juga perlu belum pernah terjadi di Indonesia, walaupun virus
dikembangkan dan disiapkan. Teknik diagnosis dan Nipah ada pada kelelawar Pteropus vampyrus tetapi
pengembangan vaksin leptospirosis telah belum pernah ada ternak babi yang terinfeksi (SENDOW
dikembangkan oleh BBALITVET (KUSMIYATI et al., et al., 2004; SENDOW dan ADJID, 2005; SENDOW et al.,
2005). 2008a).
Pada kejadian banjir juga dapat menghanyutkan Menurut WARD dan JOHNSON (1996) bahwa
spora kuman anthrax yang terdapat di lapisan tanah penyakit BT ini ada hubungannya dengan perubahan
terutama di daerah endemik anthrax sehingga sporanya iklim ENSO dimana dalam penelitiannya di
dapat berpindah tempat ke daerah yang lebih rendah Queensland Australia pada tahun 1990 – 1994 mereka
atau spora anthrax tersebut yang sebelumnya berada di melakukan pengukuran SOI (Southern Oscilliation
bagian dalam tanah akan muncul dan berada pada Index), karena perubahan iklim sehingga terjadi
lapisan permukaan tanah sehingga spora anthrax ini ledakan populasi vektor.
mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk MELLOR dan WITTMANN (2002) mengemukakan
menginfeksi hewan ternak maupun manusia (NOOR et bahwa transmisi virus BT ditentukan antara lain
al., 2001). POERWADIKARTA et al. (1996) telah dengan melimpahnya vektor nyamuk Culicoides
melaporkan bahwa petani di NTB terkena anthrax dewasa yang mampu menularkan virus BT yang
melalui aktivitas bertani di lokasi dimana terdapat disertai masuknya virus BT di daerah tersebut. Suhu
spora anthrax sehingga menginfeksi bagian terluka dari sekitar 25o – 30oC merupakan kondisi optimal untuk
tangan petani tersebut. Pada keadaan kekeringan perkembangbiakan Culicoides dan juga bagi transmisi
(musim kemarau yang berkepanjangan) spora anthrax virus BT (WITTMANN dan BAYLIS, 2000). Suhu seperti
di dalam tanah juga bisa menginfeksi hewan ternak, ini sesuai dengan keadaan di Indonesia sehingga kita
karena ternak akan memakan rumput kering sampai ke perlu mewaspadai dengan melakukan pemantauan dan
akarnya sehingga tanah di sekitarnya juga ikut surveilans. Namun demikian terjadinya wabah seperti
termakan, sehingga spora anthrax yang ada di lapisan pada penyakit BT dapat juga melalui lalu lintas ternak
tanah sekitar bisa masuk ke dalam tubuh ternak seperti domba impor dari Australia atau dari negara
(HARDJOUTOMO et al., 1995) lain atau masuknya virus BT serotipe yang lebih ganas
Pada keadaan curah hujan atau musim hujan yang (baik melalui migrasi burung atau terbawa dalam
berkepanjangan akan meningkatkan kelembaban transportasi ternak/hewan dan barang).

35
WARTAZOA Vol. 21 No. 1 Th. 2011

Terbawanya vektor nyamuk yang sudah masuk bagi kegiatan ekspor – impor dan juga
mengandung virus RVF dapat juga melalui transportasi memperkuat sistem pelayanan kesehatan hewan
seperti pada waktu kegiatan ibadah umat muslim nasional sehingga kemampuan mengenal penyakit dan
dimana lalulintas barang dan orang dari Arab Saudi ke memberikan respon cepat secara dini dapat dilakukan.
Indonesia sangat tinggi frekuensinya, demikian juga
dari Mesir dan Yaman yang telah tertular virus RVF.
DAFTAR PUSTAKA
Kewaspadaan terhadap suhu karena perubahan
iklim merupakan hal yang penting untuk melakukan
ABD EL-RAHIM, IH., U.ABD EL-HAKIM and M. HUSSEIN.
pemantauan, surveilans dan deteksi dini, terutama di 1999. An epizootic of Rift Valley fever in Egypt in
daerah endemis serta lebih diprioritaskan pada keadaan 1997. Rev. Sci. Tech. 18: 741 – 748.
iklim yang ekstrim seperti curah hujan yang tinggi dan
ARTZ, J., W.R. WHITE, B.V. THOMSEN and C.C. BROWN.
berkepanjangan atau musim kemarau yang berlangsung
2010. Agricultural diseases on the move early in the
lama seperti penyakit BT, leptospirosis, anthrax dan AI third millenium. Vet. Pathol. 47(1): 15 – 27.
H5N1. Hal lain yang penting adalah dalam memperkuat
sistem pelayanan kesehatan hewan nasional, umumnya AZIZ, J., J. OLSON, O.B. LEE, P. DANIELS, A.B. ADZHAR, M.
BUNNING, SHARIHUDDIN, H. FIELD, JOHARA and P.
sistem pelayanan kesehatan hewan di negara Asia
HOOPER.1999. Nipah virus infections of animals in
sangat lemah, sehingga kemampuan mendiagnosa Malaysia. In: Abstract Book XIth International
penyakit hewan menular secara dini diragukan Congress of Virology, International Unions of
(FORMAN et al., 2008). Microbiological Societies, Sydney, Australia. p. 38.
BAKONYI, T., E. IVANICS, K. ARDELYI, K.U RSU, E. FERENCZI,
KESIMPULAN H. WEISSENBOCK and N. NOWOTNY. 2006. Lineage 1
and 2 strains of encephalitic West Nile virus, Central
Dari uraian yang telah dikemukakan ini dapat Europe. Emerg. Infect. Dis. 12: 618 – 629.
disimpulkan bahwa terkait dengan pemanasan global BANKOWSKI, M.J AND M.S. ANDERSON. 2003. West Nile
dan perubahan iklim, paling tidak terdapat 5 (lima) Virus Infection a Review for Clinicians Laboratory
penyakit hewan menular strategis (PHMS) yang perlu Corporation of America Advance/Laboratory.
diwaspadai dapat muncul dan mewabah di Indonesia, www.advance.web.com. (31 Oktober 2003).
yaitu bluetongue, Nipah, Japanese encephalitis, West BOTHA, E.M., W. MARKOTTER, M. WOLFAARDT, J.T.
Nile dan Rift Valley fever. Hal ini dikarenakan tiga dari PAWESKA, R. SWANEPOEL, G. PALACIOS, L.H. NEL and
lima PHMS tersebut (BT, JE dan Nipah) baik agen M. VENTER. 2008. Genetic determinants of virulence
patogen, vektor dan hospesnya sudah terdapat di in pathogenic lineage 2 West Nile virus strains,
Indonesia, sehingga dikhawatirkan bahwa perubahan Emerg. Infect. Dis. 14(2): 222 – 230.
iklim dan perubahan ekologi yang terjadi akan memicu BRIESE, T., JIA.XI-YU, H. CINNIA, G.J. LEO and W.I. LIPKIN.
munculnya penyakit tersebut. Sedangkan dua PHMS 1999. Identification of a Kunjin/West Nile-like
lainnya (WN dan RVF) yang sudah menyebar di flavivirus in brains of patients with New York
berbagai negara juga mempunyai peluang masuk ke encephalitis. Lancet. 354: 1261 – 1262.
Indonesia melalui migrasi burung atau perdagangan BROOM, A.K., M.D. LINDSAY, C.A. JOHANSEN, A.E. WRIGHT
komoditas ternak internasional maupun transportasi and J.S. MACKENZIE. 1995. Two possible mechanisms
global dari negara tertular, dimana vektor dari kedua for survival and initiation of Murray Valley
penyakit tersebut diduga terdapat di Indonesia. Selain encephalitis virus activity in the Kimberley region of
itu tiga (3) penyakit lainnya (avian influenza H5N1, Western Australia. Am. J. Trop. Med. Hyg. 53: 95 –
99.
anthrax dan leptospirosis) yang memang sudah ada di
Indonesia dapat diperkirakan juga akan sering muncul BUHL, M.R., F.T. BLACK, P.L. ANDERSEN and A. LAURSEN.
seiring dengan terjadinya perubahan iklim terutama 1996. Data Japanese encephalitis in a Danish tourist
pada musim hujan yang berkepanjangan. visiting Bali for 12 days. Second. J. Infect. Dis. 28(2):
189.
Pada kesempatan ini diperlukan membangun
program surveilans terhadap berbagai penyakit hewan CHUA, K.B., S.K. LAM, C.L. KOH, P.S. HOOI, K.F. WEE, J.H.
yang mempunyai kemungkinan untuk masuk ke KONG, B.H. CHUA, Y.P. CHAN and M.C. LIM. 2000a.
Indonesia, juga harus dikuasai teknik deteksi agen Reservoar of Nipah virus identified. Proceedings of
patogen maupun uji serologi terhadap antibodi dari the International conference on emerging infectious
disease, Atlanta. USA. Session 78.
agen patogen tersebut secara dini. Dengan demikian
pencegahan dapat dilakukan apabila deteksi dini dapat CHUA, K.B., S.K. LAM, D.J. GUBBLER and T.G. KSIAZEK.
dilakukan. Untuk mengantisipasi munculnya penyakit 1999. Nipah encephalitis: tracking a killer virus. Proc.
tersebut di atas, maka pemerintah perlu memperkuat of International Union of Microbiological Society. 9-
13 Agustus 1999. Sydney. Australia. p. 37.
perkarantinaan hewan nasional di pelabuhan atau pintu

36
SJAMSUL BAHRI dan T. SYAFRIATI: Mewaspadai Munculnya Beberapa Penyakit Hewan Menular Stategis di Indonesia

CHUA, K.B., W.J. BELLINI, P.A. ROTA, B.H. HARCOURT, A. GOULD, E.A. and S. HIGGS. 2009. Impact of climate change
TAMIN, S.K. LAM, T.G. KSIAZEK, P.E. ROLLIN, S.R. and other factors on emerging arbovirus
ZAKI, W.J. SHIEH, C.S. GOLDSMITH, D.J. GUBLER, J.T. diseases.Transactions of The Royal Society of Trop.
ROECHRIG, B. EATON, A.R. GOULD, J. OLSON, H. Med. Hygiene 103: 109 – 121
FIELD, P. DANIELS, A.E. LING, C.J. PETERS, L.J.
GOULD, E.A., X. DE LAMBALLERIE, P.M. ZANOTTO and E.C.
ANDERSON and B.J. MAHY. 2000b. Nipah virus: A
recently emerging deadly Paramyxovirus. Sci. 288: HOLMES. 2003. Origins, evolution, and vector/host
1432 – 1435. coadaptations within the genus Flavivirus. Adv. Virus
Res. 59: 277 – 314.
DANIELS, P., D. MIDDLETON, C. MORRISSY, B. VAN DER HARDJOUTOMO, S., M.B. POERWADIKARTA dan E.
HEIDE, G. RUSSEL, M. BRAUN, J. MUSCHIALLI, D. MARTINDAH. 1995. Antraks pada hewan dan manusia
CARLSON and H. WESTBURRY. 2001. Experimental di Indonesia. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan
infection with Nipah virus in pigs, cats and Pteropid Veteriner. Bogor, 7-8 Nopember 1995. Puslitbang
bats: Clinical features, virus excretion and subclinical Peternakan, Bogor. hlm. 305 – 318.
infection. Proceeding Regional Seminar on Nipah
Virus infection. OIE- Department of Veterinary HAYES, C.G. 2001. West Nile Virus: Uganda, 1937, to New
Services Malaysia, Kuala Lumpur, Malaysia. P9-12 York City, 1999. Ann. N.Y. Acad. Sci. 951: 25 – 37.
April 2001. pp. 38 – 40. HSU, V.P., M.J. HOSAIN, U.D. PARASHAR, M.M. ALI, T.G.
DONE S.J., N.J. HOLBROOK and P.J. BEGGS. 2002. The Quasi- KSIAZEK, L. KUZMIN, M. NIEZYODA, C. RUPRECHT, J.
biennial oscillation and ross river virus incidence in BRESEE and R.F. BREIMAN. 2004. Nipah virus
Quensland Australia. Int. J. Biometeorol. 46(4): 202 – encephalitis reemergence, Bangladesh. Emerg. Infect.
207. Dis. 10: 2082 – 2087.
EASTERLING, D.R., G.A. MEEHL, C. PARMESAN, S.A. KAY, B.H. and J.G. AASKOV. 1989. Ross River virus
CHANGNON, T.R. KARL and L.O. MEARNS. 2000. (epidemic polyarthritis). In: The Arboviruses:
Climate extremes: Observations, modeling and Epidemiology and Ecology, Vol. 4. MONATH, T.P.
impacts. Science 289: 2068 – 2074. (Ed.). Boca Raton: CRC Press. pp. 93 – 112.
ENDY, T.P. and A. NISALAK. 2002. Japanese encephalitis KOMAR, N. 2003. West Nile virus: epidemiology and ecology
virus: ecology and epidemiology. Curr. Top. in North America. Adv. Virus Res. 61: 185 – 234.
Microbiol. Immunol. 267: 11 – 48
KUSMIYATI, N.S., S.N. MAPHILINDAWATI dan SUPAR. 2005.
EPSTEIN, P.R. 1999. Climate and health. Science 285: 347 – Leptospirosis pada hewan dan manusia di Indonesia.
348. Wartazoa 15(4): 213 – 220.
EPSTEIN, P.R. 2001. Climate change and emerging infectious LANCIOTTI, R.S., G.D. EBEL, V. DEUBEL, A.J. KERST, S.
diseases. Microbes and Infection 3: 747 – 754. MURRI, R. MEYER, M. BOWEN, N. MCKINNEY, W.E.
EPSTEIN, P.R. 2007. Chikungunya fever resurgence and MORRILL, M.B. CRABTREE, L.D. KRAMER and J.T.
global warming. Am. J. Trop. Med. Hyg. 76: 403 – ROEHRIG. 2002. Complete genome sequences and
404. phylogenetic analyses of West Nile virus strains
isolated from the United States, Europe, and the
FENNER F.J., E.P.J. GIBBS, F.A. MURPHY, R. ROTT, M.J. Middle East. Virology 298: 96 – 105.
STUDDERT and D.O. WHITE. 1992. Flaviviridae in
Veterinary Virology 2nd Edition. Academic Press, LORONO-PINO, M.A., B.J. BLITVICH, J.A. FARFAN-ALE, F.I.
New York, USA pp. 441 – 455. PUERTO, J.M. BLANCO, N.L. MARLENEE, E.P.
ROSADO-PAREDES, J.E. GARCIA-REJON, D.J. GUBLER,
FIELD, H.E. 2001. Wildlife reservoirs of Nipah and other C.H. CALISHER and B.J. BEATY. 2003. Serological
emerging diseases. Proc. of Regional Seminar on evidence of West Nile virus infection in horses,
Nipah Virus Infection. OIE-Dept. Veterinary Yucatan State, Mexico. Rev. Biomed. 14: 159 – 161.
Services, Malaysia, Kuala Lumpur, 9 – 12 April
2001. pp. 43 – 46. MADANI, T.A., Y.Y. AL-MAZROU, M.H. AL-JEFFRI, A.A.
MISHKHAS, A.M. AL-RABEAH, A.M. TURKISTANI,
FIELD, H.E. J.S. MACKENZIE and P. DASZAK. 2007. M.O. AL-SAYED, A.A. ABODAHISH, A.S. KHAN, T.G.
Henipaviruses: emerging paramyxoviruses associated KSIAZEK, and O. SHOBOKSHI. 2003. Rift Valley fever
with fruit bats. Curr. Top. Microbiol. Immunol. epidemic in Saudi Arabia: Epidemiological, clinical,
315(51): 133 – 159. and laboratory characteristics. Clin. Infect. Dis.
FORMAN, S.N. HUNGEFORD. M. YAMAKAWA. T. YANASE. H.J. 37(22): 1084 – 1092.
TSAI and Y.S. JOO. 2008. Climate Change Impacts and
MCMICHAEL, A.J. and R.E. WOODRUFF. 2008. Climate
Risk for Animal Health in Asia. Rev. Sci. Tech. Off.
change and infectious diseases. In the social ecology
Int. Epiz. 27(2): 581 – 597.
of infectious diseases 1st Edition. MEYER, K.H. and
GILBERT, M., X. XIAO, J. DOMENECH, J. LUBROTH, V. MARTIN H.F. PIZER (Eds.). 2008. London. Academic Press
and J. SLINGENBERGH. 2006. Anatidae migration in Elsevier pp. 378 – 407.
the Western Paleartic and spread of highly pathogenic
avian influenza H5N1 virus. Emerg. Infect. Dis. 12:
1650 – 1656.

37
WARTAZOA Vol. 21 No. 1 Th. 2011

MEEGAN, J.M. 1979. Rift Valley fever epizootic in Egypt: POERWOSOEDARMO, S., G.M. SIMANDJUNTAK and T.
Description of the epizootic and virological studies. SUROSO.1996. Eastern movement of JE possible
Trans. R. Soc. Trop. Med. Hyg. 73: 618 – 623. mechanism. Proc. 7th Arbovirus Research in
Australia. Gold Coast, 25th – 27th November 1996. 2nd
MEEGAN, J.M., H. HOOGSTRAAL and M.I. MOUSSA. 1979. An
Mosquito control Association of Australia
epizootic of Rift valley fever in Egypt in 1977. Vet.
Rec. 105: 124 – 125 Symposium, Gold Coast, Australia (abstract).
PURSE, B.V., H.E. BROWN, L. HARRUP, P.P.C. MERTENS and
MEHLHOM, H., V. WALLDORF, S. KLIMPEL, B. JAHN, F.
JAEGER, J. ESCHWEILER, B. HOFFMANN and M. BEER. D.J. ROGERS 2008. Invasion of bluetongue and other
2007. First occurrence of Culicoides obsoletus- orbivirus infection into Europe the role of biological
and climatic processes. Rev. Sci. Technique OIE
transmitted Bluetongue virus epidemic in Central
27(2): 427 – 442.
Europe. Parasitol. Res. 101(29): 219 – 228.
PURSE, B.V., P.S. MELLOR, D.J. ROGERS, A.R. SAMUEL, P.P.C.
MELLOR, P.S. and E.J. WITTMANN. 2002. Bluetongue virus in
MERTENS and M. BAYUS. 1999. Climate change and
the Mediteranean Basin 1998 – 2001. Vet. J. 164(27):
20 – 37. the recent emergence of bluetongue in Europe. Nat.
Rev. Microbiol. 3: 171 – 181.
NATALIA, L. dan A. PRIADI. 2006. Penyakit Septichaemia
SENDOW, I. 2002. Isolasi virus bluetongue serotipe 1,6 dan
epizootica, penelitian penyakit dan upaya
21 dari serangga nyamuk di Jawa Barat. JITV 7(4):
penanggulangannya pada sapi dan kerbau di
272 – 278.
Indonesia. Pros. Lokakarya Nasional Ketersediaan
IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Strategis. SENDOW, I. 2005. Studi patogenitas isolat lokal virus
Jakarta, 12 Juli 2006. Puslitbang Peternakan, Bogor. bluetongue pada domba lokal dan impor. JITV 10(1):
hlm. 55 – 69. 51 – 62.
NICHOLLS, N. 1993. El Nino-Southern Oscillation and vector- SENDOW, I. 2006. Sentinel ternak, model untuk mempelajari
borne disease. Lancet 342: 1284 – 1285. epidemiologi penyakit Arbovirus. J. Litbang
Pertanian. 25(1): 1 – 6.
NOOR S.M., DARMINTO dan S. HARDJOUTOMO. 2001. Kasus
antraks pada manusia dan hewan di Bogor pada awal SENDOW, I. dan R.M.A. ADJID. 2005. Penyakit Nipah dan
tahun 2001. Wartazoa 11(2): 8 – 14. situasinya di Indonesia. Wartazoa 15(2): 66 – 71.
OKATINI, M., R. PURWANA dan I.M. DJAJA. 2007. Hubungan SENDOW, I. dan S. BAHRI. 2005b. Penyakit Bluetongue pada
faktor lingkungan dan kharakteristik individu ruminansia, distribusi dan usaha pencegahannya di
terhadap kejadian penyakit Leptospirosis di Jakarta Indonesia. J. Litbang Pertanian 24(2): 56 – 62.
2003 – 2005, Makara. Kesehatan 11(1): 17 – 24.
SENDOW, I., H.E. FIELD, R.M.A. ADJID, A. RATNAWATI, A.C.
OLSON, J.G., C. RUPPRECHT, P.E. ROLLIN, S.A. UNG, M. BREED, DARMINTO, C. MORRISSY and P. DANIELS.
NIEZGODA, T. CLEMMINS, J. WALSTON and T.G. 2009. Screening for Nipah Virus Infection in West
KSIAZEK. 2002. Antibodies to Nipah-like virus in bats Kalimantan Province, Indonesia. Zoonoses Public
(Pteropus lylei) Cambodia. Emer. Infect. Dis. 8: 987 Health. 20 October 2009. pp. 1 – 5.
– 988.
SENDOW, I., R.M.A. ADJID, T. SYAFRIATI, DARMINTO, H.
OMPUSUNGGU,S., S. HILLS, M. SEMBIRING, V. MONIGAWA, N. FIELD, HUME, C. MORRISSY and P. DANIELS. 2008a.
SUSILARINI, A. WIDJAJA, A. SASMITO, A. Seroepidemiologi Nipah virus pada kalong dan ternak
SUWANDONO, E. SEDYANINGSIH and I. JACOBSON. babi di beberapa wilayah di Indonesia. J. Biologi
2008. Confirmation of Japanese encephalitis as an Indonesia 5(1): 35 – 44.
endemic human disease through sentinel surveilance
SENDOW, I., R.M.A. ADJID, A. RATNAWATI, DARMINTO,
in Indonesia. Am. J. Trop. Med. Hyg. 79: 963.
MUSTAFA, A.MANAF, H.E. FIELD, R.LUNT, P.
OWEN, J., F. MOORE, N. PANELLA, E. EDWARD, R. BRU and M. DANIELS, A. BREED and C. ANDREW. 2008b.
HUGHES. 2006. Migrating birds as dispersal vehicles Seroepidemiology of Janapese encephalitis virus
for West Nile virus. Ecohealth 3: 79 – 85. infection in bats and pigs in West Kalimantan,
Indonesia. Microbiology Indonesia 2(2): 79 – 83.
PARTOUTOMO, S. 1993. Studies on the Epidemiology of
Trypanosona Evansi in Java. Ph.D Thesis. James SENDOW, I., S. BAHRI dan A. SAROSA. 2000. Prevalensi
Cook University, North Queensland 225 p. Japanese-B- encephalitis pada berbagai spesies di
Indonesia. JITV 5(1): 46 – 52.
PATZ, J.A., K. STRZEPEK and S. LELE. 1998. Predicting key
malaria transmission factors, biting and entomological SENDOW, I., SUKARSIH, E. SOLEHA, B.J. ERASMUS dan P.W.
inoculation rates using modelled soil moisture in DANIELS. 1993a. Isolation of bluetongue virus
Kenya. Trop. Med. Int. Health 3(10): 818 – 827. serotype 21 from Culicuides spp. in Indonesia. Vet.
Microbiol. 36: 349 – 353.
POERWADIKARTA, M.B., S. HARDJOUTOMO dan S. BAHRI.
1996. Antraks di Kabupaten Ngada, Prop. Nusa SENDOW, I., E. SOLEHA, P.W. DANIELS. D. SEBAYANG, J.
Tenggara Timur 1996: Peneguhan diagnosis antraks ACHDIJATI, K. KARMA and B.J. ERASMUS. 1993b.
di laboratorium Balitvet Bogor. Rapat Teknis dan Isolation of bluetongue virus serotype 1, 21 and 23
Pertemuan Ilmiah dengan Direktorat Kesehatan from healthy sentinel cattle in Irian Jaya, Indonesia.
Hewan 20 – 21 September 1996 hlm. 1 – 11. Aust. Vet. J. 70(6): 229 – 230.

38
SJAMSUL BAHRI dan T. SYAFRIATI: Mewaspadai Munculnya Beberapa Penyakit Hewan Menular Stategis di Indonesia

SENDOW, I., T. SYAFRIATI, DARMINTO, C. MORRISSY dan P. WIDARSO, H.S. dan P. WIELFRIED. 2002. Kebijaksanaan
DANIELS. 2004. Deteksi dini infeksi virus Nipah Departemen Kesehatan dalam Penanggulangan
dengan uji Enzyme immunoassay pada babi di Leptospirosis di Indonesia. Kumpulan makalah
Indonesia. J. Mikrobiologi Indonesia 9(2): 73 – 75. Simposium Leptospirosis. Badan Penerbit Universitas
Dipenogoro.
SLENNING, B.D. 2010. Global climate change and
implications for disease emergence. Vet. Pathol. WIDARSO, H.S., T. SUROSO, W. CECILIS, B. ENDANG, dan P.
47(1): 28 – 33. WIELFRIED. 2000. Kesiagaan Kesehatan dalam
Antisipasi Penyebaran Virus Nipah di Indonesia.
SMITH, C., J. EPSTEIN, S. RAHMAN, H. FIELD, S. SHARIFAH, and
Diskusi Panel Penyakit Japanese Encephalitis (JE) di
P. DASZAK. 2005. Use of satellite telemetryto study
Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan
the movement of the Malayan flying fox (Pteropus
Peternakan – Badan Libang Pertanian, Jakarta. 16
vampyrus): Implication for conservation and public
Mei 2000.
health. Proc. of the International Wildlife Diseases
Association Conferrence, Cairn Australia, June 2005. WILLCOX, B.A. and R. COWELL. 2005. Emerging and re-
p. 168. emerging infectious diseases: Biocomplexity as in
interdiciplinary paradigm. Ecosystem Health 2: 244 –
SOLOMON T., N.H. BEASLEY, M. EKKELENKAMP, M.J.
257.
CARDOSA and A.D.T. BARRETT. 2003. Origin and
evolution of Japanese encephalitis virus in Southeast WILLIAMS, D.T., L.F. WANG, P.D. DANIELS and J.S.
Asia. J. Virol. 77: 3091 – 3098. MACKENZIE. 2000. Moleculer characterization of the
first Australia isolate of Japanese encepahalitis virus,
SUDANA, I.G. dan M. MALOLE 1982. Penyidikan penyakit
the FU strain, J. Gen. Virol. 65: 2471 – 2480.
hewan bluetongue di desa Caringin, kabupaten Bogor.
Annual report of Disease Investigation in Indonesia WITTMANN, E.J. and M. BAYLIS. 2000. Climate change:
during the periode of 1975 – 1981. Direktorat Effect on culicoides-transmitted viruses and
Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, implications for the UK. Vet. J. 160: 107 – 117.
Jakarta pp. 110 – 121.
YAMADA, M., K. NAKAMURA, M. YOSHII and KAKU. 2004.
SWANEPOEL, R. and J.A.W. COETZER, 2004. Wesselborn Nonsuppurative encephalitis in piglets after
disease. In: Infectious Diseases of Livestock. Coetzer, experimental inoculation of Japanese encephalitis
J.A.W. and R.C. Tustin (Eds). Oxford University flavivirus isolated from pigs. Vet. Pathol. 41: 62 – 67.
Press,Oxford. pp. 987 – 994.
ZELL, R., A. KRUMBHOLZ and P. WUTZLER. 2008. Impact of
WARD, M.P. and S.J. JOHNSON. 1996. Bluetongue virus and global warming on viral diseases: What is the
the Southern oscilliation index: Evidence of an evidence? Current Opinion in Biotechnology 19: 652
association. Prev. Vet. Med. 28: 57 – 68. – 660.
WEISSENBOCK, H., Z. HUBALEK, T. BAKONYI and N.
NOWOTNY. 2010. Zoonotic mosquito-borne
flaviviruses: Worldwide presence of agents with
proven pathogenicity and potential candidates of
future emerging diseases. Vet. Microbiol. 140: 271 –
280.

39

Anda mungkin juga menyukai