Anda di halaman 1dari 8

AXIOLOGI (FILSAFAT NILAI)

7:55 PM Diposkan oleh Sahrotul Fitria

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perilaku manusia sangat behubungan dengan nilai. Semua yang dikerjakan dapat
menghasilkan suatu yang bernilai. Pada pembahasan Aksiologi ini, maka manusia akan
berfikir “apakah yang saya lakukan ini pantas atau tidak?” atau muncul pertanyaan “apakah
benda itu bernilai karena kita menilainya, ataukah kita menilainya karena benda itu
bernilai?”. Untuk lebih jelasnya, maka kami akan berusaha membahas dalam makalah ini.

B. Rumusan masalah

1. Apa pengertian Aksiologi?


2. Bagaimanakah konsepnya tentang nilai?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Aksiologi

Kata aksiologi barasal dari bahasa Inggris “axiology”; dari kata Yunani “axios” yang
artinya layak; pantas; nilai, dan “logos” artinya ilmu; studi mengenai. Dari pengertian
menurut bahasa tersebut, ada beberapa pengertian secara istilah sperti yang disebutkan di
bawah ini:

1. Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai. Maksud dari analisis ini ialah membatasi arti, ciri-
ciri, asal, tipe, kriteria dan status epistimologis dari nilai-nilai itu.
2. Aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu studi yang
menyangkut segala yang bernilai.
3. Aksiologi adalah studi filosofis tentang hakikat nilai-nilai. Pertanyaan mengenai hakikat nilai
ini dapat dijawab dengan tiga macam cara:

a. Orang dapat mengatakan bahwa a) nilai sepenuhnya berhakikat subyektif. Ditinjau dari sudut
pandangan ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai
pelaku. Pengikut teori idealisme subyektif (positivisme logis, emotivisme, analisis linguistik
dalam etika) menganggap nilai sebagai sebuah fenomen kasadaran dan memandang nilai
sebagai pengungkapan perasaan psikologis, sikap subyektif manusia kepada obyek yang
dinilainya.
b. Dapat pula orang mengatakan b) nilai-nilai merupakan kenyataan, namun tidak terdapat
dalam ruang waktu. Nilai-nilai merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui
akal.
c. Akhirnya orang dapat mengatakan bahwa c) nilai-nilai merupakan unsur-unsur obyektif yang
menyusun kenyataan.[1]
Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu
sistem seperti politik, social dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan,
rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat
terwujud.
Nilai merupakan tema baru dalam filsafat: aksiologi, cabang filsafat yang
mempelajarinya, muncul pertama kalinya pada paroh kedua abad ke-19. Aksiologi ialah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan
kefilsafatan. Di dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan
masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi
bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan
estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.[2]

B. Konsep Tentang Nilai

Konsep nilai merupakan komplemen dan sekaligus lawan konsep fakta. Kita memang
hanya mengetahui fakta, tetapi mesti mencari nilai. Karena apapun, sikap apapun, ideal mana
saja, maksud apa saja, maksud manapun, atau tujuan mana saja pasti mempunyai nilai, maka
nilai mesti merupakan objek preferensi atau penilaian kepentingan. Dalam sejarah filsafat
telah muncul sejumlah nilai.
Teori umum tentang nilai bermula dari perdebatan antara Alexius Meinong dengan
Cristian von Ehrenfels pada tahun 1890-an berkaitan dengan sumber nilai. Meinong
memandang bahwa sumber nilai adalah perasaan (feeling), atau perkiraan atau kemungkinan
adanya kesenangan terhadap suatu obyek. Ehrenfels (juga Spinoza) melihat bahwa sumber
nilai adalah hasrat/keinginan (disire). Suatu obyek menyatu dengan nilai melalui keinginan
aktual atau yang memungkinkan, artinya suatu obyek memiliki nilai karena ia menarik.
Menurut kedua pendapat tersebut, nilai adalah milik obyek itu sendiri-obyektivisme
aksiologis.[3]
1. Persoalan Aksiologis Dalam Kehidupan Sehari-hari
Diskusi pada umumnya menunjukkan sikap aksiologi yang ekstrim. Bila dua orang
tidak sependapat mengenai makanan atau minuman yang menyenangkan atau tidak, dan
mereka gagal untuksaling meyakinkan, diskusi pada umumnya berakhir dengan pernyataan
dari salah satu di antara kedua belah pihak bahwa dia menyenangi atau tidak menyenangi hal
itu, dan tidak seorang pun yang dapat meyakinkan lawan bicaranya. Jika terdapat persoalan
dalam sebuah diskusi di antara dua orang terpelajar, maka akan teringat peribahasa latin yang
sering diucapakan: “selera tidak dapat diperdebatkan” (de gustibus non disputandum). Orang
yang mendukung tesis de gustibus non disputandum ingin menunjukkan satu ciri khas nilai,
yaitu sifat yang mendalam dan langsung dari penilaian.
Konflik ini merupakan yang sangat menggelitik bagi aksiologi kontemporer.
Sebenarnya, hal itu lahir bersama aksiologi itu sendiri dan sejarah teori nilai dapat ditulis,
dengan memandang persoalan ini sebagai sumber dan dengan mensketsakan berbagai
penyelesaian yang telah dikemukakan dalam rangka menyelesaikannya. Meskipun maknanya
mungkin berbeda, persoalan tersebut telah muncul pada Plato; shakespeare yang
menempatkannya dalam Troilus and Cresida (II,2) dan Spinoza memilih salah satu alternatif
di dalam Etika-nya (III, prop.IX).[4]
2. Nilai itu Obyektif atau Subyektif?
Inti persoalan tersebut dapat dinyatakan dengan pertanyaan berikut: apakah obyek
itu memiliki nilai karena kita mendambakannya, atau apakah kita mendambakannya karena
obyek tersebut memiliki nilai? Apakah hasrat, kenikmatan atau perhatian yang memberikan
nilai kepada suatu obyek, ataukah sebaliknya, kita mengalami preferensi ini karena kenyataan
bahwa obyek tersebut memiliki nilai yang mendahului dan asing bagi reaksi psikologis badan
organis kita? Atau, jika orang lebih menyukai terminologi yang lebih teknis dan tradisional:
apakah nilai itu obyektif atau subyektif?
Dengan pengajuan pertanyaan seperti itu, sebelumnya diperlukan penjelasan istilah
untuk menghindarkan diri agar tidak terjebak ke dalam disputatio de nominem. Nilai
itu “obyektif” jika ia tidak tergantung pada subyek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya
nilai itu “subyektif” jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi
subyek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis
ataupun fisis.[5]
a) Obyektivisme atau Realisme Aksiologi
Nilai, norma, ideal dan sebagainya merupakan unsur atau berada dalam obyek atau
berada pada realitas obyektif (kata Alexander); atau ia dianggap berasal dari suatu obyek
melalui ketertarikan (kata Spinoza). Penetapan sebuah nilai memiliki makna, yakni benar atau
salah, meskipun nilai itu tidak dapat diverifikasi, yakni tidak dapat dijelaskan melalui suatu
istilah tertentu. Nilai berada dalam suatu obyek seperti halnya warna atau suhu. Nilai
terletak dalam realitas. Bahwa nilai-nilai – seperti kebaikan, kebenaran, keindahan - ada
dalam dunia nyata dan dapat ditemukan sebagai entitas-entitas, kualitas-kualitas, atau
hubungan-hubungan seperti meja, merah.
Juga pandangan bahwa niali-nilai adalah obyektif, dalam arti bahwa nilai-nilai itu
dapat didukung oleh argumentasi cermat dan rasional konsisten sebagai yang
terbaik dalam situasi itu. Pendukung obyektivisme aksiologis mencakup Plato, Aristoteles,
St. Thomas Aquinas, Maritain, Rotce, Urban, Bosanquet, Whitehead, Joad, Spauling,
Alexander, dan lain-lain.[6]
b) Subyektivisme Aksiologis
Teori-teori berkaitan dengan pandangan ini mereduksi penentuan nilai-nilai, seperti
kebaikan, kebenaran, keindahan ke dalam statmen yang berkaitan dengan
sikap mental terhadap suatu obyek atau situasi. Penentuan nilai sejalan dengan pernyataan
setuju atau tidak. Nilai memiliki realitas hanya sebagai suatu keadaan pikiran
terhadap suatu obyek.
Subyektivisme aksiologis cenderung mengabsahkan teori etika yang disebut
hedonisme, sebuah teori yang menyatakan kebahagiaan sebagai kriteria nilai, dan naturalisme
yang meyakini bahwa suatu nilai dapat direduksi ke dalam suatu pernyataan psikologis. Nilai
tergantung dengan pengalaman manusia tentangnya; nilai tidak memiliki realitas yang
independen (relativisme aksiologis). Yang termasuk pendukung subyektivisme aksiologis
adalah Hume, Perry, Prall, Parker, Santayana, Sartre, dan lain-lain.[7] Suatu nilai dikatakan
absolute atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau dan
akan berlaku serta abasah sepanjang masa, serta akan berlaku bagi siapapun tanpa
memperhatikan ras, maupun kelas social. Dipihak lain ada yang beranggapan bahwa semua
nilai relative sesuai dengan keinginan atau harapan manusia.[8]
3. Relasionisme Aksiologis
Nilai tidak bersifat privat (subyektif), tetapi bersifat publik, meskipun tidak bersifat
obyektif dalam arti tidak terlepas dari berbagai kepentingan. Penganjur relasionisme
aksiologis di antaranya Dewey, Pepper, Ducasse, Lepley, dan lain-lain.[9]
4. Nominalisme atau Skeptisisme (Emotivisme Aksiologis)
Teori-teori yang didasarkan pada pandangan ini mengatakan bahwa penentuan nilai
adalah ekspresi emosi atau usaha untuk membujuk. Yang semuanya tidak faktual. Ilmu
tentang nilai – aksiologi – adalah mustahil. Ajaran G. E. Moore tentang kebahagiaan yang
tidak dapat dijelaskan. Tetapi kebaikan mungkin saja secara faktual diletakkan pada suatu
tindakan atau suatu obyek, walaupun bersifat intuitif dan tidak dapat diverifikasi.
I. A. Richard membedakan antara makna faktual dan makna emotif. Catatan sejarah
menyebutkan asal mula emotivisme, yaitu berasal dari logika positivisme: bahwa nilai adalah
sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dan bersifat emotif, meski memiliki makna secara faktual.
Nilai sama sekali tidak dapat digambarkan sebagai keadaan suatu subyek, obyek ataupun
sebagai hubungan. Pendukung emotivisme antara lain: Nietzsche, Ayer, Russel, Stevenson,
Schlick, Carnap, dan lain-lain.[10]
5. Nilai dan Kebaikan
Sebelum masa Rudolf H. Lotze (1817-1881) para filsuf hanya kadang-kadang saja
membicarakan tentang nilai. Sehubungan dengan nilai, sesungguhnya filsafat selalu bergelut
dengannya, tetapi di bawah aspek baik dan kebaikannya (bonum et bonitas). Filsafat nilai
pada zaman modern (Max Scheler) yang bermula dari Lotze membuat pembedaan tajam
antara nilai dan kebaikan. Karena nilai-nilai dalam arti ini dipikirkan sebagai ide-ide dari
dunia lain yang dapat diperkenalkan kepada dunia nyata dengan peralatan manusia,
pandangan ini pantas dinamakan teori “idealisme nilai”. Lawan idealisme
nilai adalah realisme nilai atau lebih baik, metafisika nilai, yang mengatasi pemisahan nilai
dari yang ada (al-mawjud).[11]
6. Nilai dan Persepsi
Ciri khusus dari persepsi-nilai kita tergantung pada sifat hakiki nilai itu sendiri. Kalau
nilai terpisah dari eksistensi, nilai sama sekali tidak dapat dimasuki oleh akal manusiawi yang
tertuju pada eksistensi. Karena nilai itu menampakkan dirinya hanya kepada perasaan
emosional, akibatnya terdapat sejenis irasionalisme-nilai. Lawan irasionalisme-nilai
adalah rasionalisme-nilai yang mereduksikan ciri khusus nilai pada eksistensinya saja. Di
antara kedua ekstrim ini terdapat hal seperti persepsi intelektual terhadap nilai. Karena
persepsi-nilai intelektual selalu dikondisikan oleh emosi dan hasrat.[12]
Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan tingkatan/hierarki nilai :
1. Kaum Idealis
Mereka berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual lebih tinggi
daripada nilai non spiritual (nilai material).
2. Kaum Realis
Mereka menempatkan nilai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab membantu
manusia menemukan realitas objektif, hukum-hukum alam dan aturan berfikir logis.
3. Kaum Pragmatis
Menurut mereka, suatu aktifitas dikatakan baik seperti yang lainnya, apabila memuaskan
kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai instrumental. Mereka sangat sensitive terhadap
nilai-nilai yang menghargai masyarakat.[13]
Macam-macam nilai:
1. Nilai Instrumental, mempunyai beberapa pengertian:
a. Nilai yang dimiliki suatu hal dalam menghasilkan akibat-akibat atau hasil-hasil yang
diinginkan.
b. Suatu nilai yang dikenakan pada sesuatu yang digunakan sebagai alat memperoleh sesuatu
yang diinginkan atau dapat diinginkan.[14]
2. Nilai Utilitarian, beberapa pengertian:
a. Nilai yang dipunyai oleh suatu hal yang berguna bagi pemenuhan sebuah tujuan.
b. Nilai yang dimiliki suatu hal dalam memajukan kebaikan terbesar dari jumlah besar.[15]

“Relativisme Kultural”
Teori relativisme kultural berpendapat bahwa Kebudayaan yang berbeda
mempunyai kode moral yang berbeda. Setiap kode moral dari suatu masyarakat
menentukan apa yang benar dari masyarakat tersebut. hal ini membuat tidak
adanya kebenaran universal dalam etika, dan sekaligus membuat tidak adanya
kebenaran moral yang berlaku untuk semua zaman. Kebenaran sebuah perilaku
akan dinilai secara subjektif, berkaitan dengan kebudayaan tertentu. Misalnya,
bahwa orang Callatia (salah satu suku bangsa india) biasanya memakan jenazah
orang tuanya ketika meninggal. Sedangkan orang yunani tidak melakukan hal
tersebut, mereka membakar jenazah orang tua yang meninggal dan menganggap
api pembakaran itu sebagai cara alami dan yang cocok untuk istirahat mereka.
Tentu hal ini akan menggambarkan bahwa apa yang dianggap benar oleh satu
kelompok mungkin justru dianggap kurang tepat bagi anggota dari kelompok lain,
dan sebaliknya. Dari sinilah kemudian relativisme kultural menganggap bahwa
gagasan mengenai kebenaran universal hanyalah mitos dan adat istiadat dari
berbagai masyarakat yang berbeda adalah sebuah kenyataan.

Namun apa yang menjadi dasar pemikiran oleh teori relativisme kultural tidaklah
menjadi sebuah kebenaran yang mutlak. Karena teori ini akan masih
menimbulkan persinggungan dan pertanyaan sebagai bentuk pemikiran yang
logis. Hal ini kemudian memunculkan berbagai kritikan terhadap teori ini.
Diantaranya, kritik yang menganggap bahwa sebuah kekeliruan mendasar dalam
argumentasi perbedaan kultural adalah argumentasi itu mencoba menarik
kesimpulan substantif mengenai suatu pokok (moralitas) dari sekedar fakta bahwa
orang tidak mempunyai pandangan yang sama mengenai hal tersebut. misalnya
sebagain dari kita pernah menganggap bahwa bumi itudatar, sedangkan beberapa
yang lainnya percaya bahwa bumi (secara kasar) membentuk bola. Dari fakta
bahwa mereka berbeda pandangan , tidak lantas kemudian membuat ‘kebenaran
objektif’ dalam ilmu bumi menjadi tidak ada. Karena seharusnya ada standar
objektif yang dapat digunakan untuk menilai sesuatu kode masyarakat secara
lebih baik dari yang lain.
BAB III
KESIMPULAN

Filsafat nilai atau aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang
nilai atau suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai. Di samping itu aksiologi
berhubungan dengan etika dan estetika, baik nilai itu sesuatu yang bersifat subyektif maupun
obyektif. Tujuan nilai adalah untuk mengetahui apakah sesuatu itu baik atau buruk, suka atau
tidak suka, senang atau tidak senang dan lain sebagainya. Sehingga dengan mengetahui nilai
maka tercapailah apa yang menjadi tujuan manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Faruk, Filsafat Umum, Ponorogo: STAIN PO Press, 2009.

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2002.

Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana,
1996.

Risieri Frondizi, Filsafat Nilai, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Uyoh Sadulloh, op cit.

[1] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2002), 33-34.


[2] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1996), 327.
[3] Ahmad Faruk, Filsafat Umum (Ponorogo: STAIN PO Press, 2009), 104.
[4] Risieri Frondizi, Filsafat Nilai (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 16-19.
[5] Risieri Frondizi, Filsafat Nilai, 19-20.
[6] Ahmad Faruk, Filsafat Umum, 105.
[7] Ahmad Faruk, Filsafat Umum, 105-106.
[8] Uyoh Sadulloh, op cit. 36.
[9] Ibid, 106.
[10] Ibid, 107.
[11] Ahmad Faruq, Filsafat Umum,107-108.
[12] Ibid, 109.
[13] Uyoh Sadulloh, op cit. 39-40.
[14] Ahmad Faruq, Filsafat Umum, 110.
[15] Ibid, 110-111.

http://kalidanastiti-space.blogspot.com/2013/12/axiologi-filsafat-nilai.html

Anda mungkin juga menyukai