Hanevi Djasri1
Pendahuluan
Berbagai negara memiliki agenda kebijakan pelayanan kesehatan untuk menyeimbangkan
mutu pelayanan dengan biaya pelayanan. Salah satuny adalah dengan menerapkan sistem
pembayaran pelayanan kesehatan berdasarkan case mix / diagnostic related group (DRG).
Definisi sederhana dari DRG adalah pengelompokan suatu penyakit atau tindakan dengan
karakteristik pasien dan atau komplikasi tertentu dalam satu kelompok karena
menggunakan sumber daya yang sama baik jenis dan jumlahnya dalam memberikan
pelayanan.
Hal tersebut didorong antara lain karena meningkatnya permintaan berbagai pihak akan
penggunaan tehnologi yang tepat (termasuk tidak berlebih), pelayanan yang lebih
terkoordinasi, komunikasi yang lebih baik antara tenaga kesehatan dengan pasien,
meningkatnya pertanyaan dari masyarakat tentang profesionalisme dan kompentasi dari
tenaga kesehatan, serta meningkatnya tuntutan malpraktek atas kelalaian medis.
Penyebab masalah-masalah tersebut dapat dilacak dari bervariasinya proses dan hasil dari
sebuah pelayanan terhadap suatu kasus dan kondisi yang sama/mirip, sebagai contoh sering
terlihat berbagai pendekatan/tindakan yang berbeda dalam menangani suatu kasus, dan
juga ketidak jelasan rencana pulang dari seorang pasien yang dirawat. Hal tersebut
menunjukan tidak terdapatnya sistem perencanaan pelayanan kesehatan yang baku
sehingga memungkinkan terjadinya variasi yang dapat dihindari bahkan kesalahan vital
dalam proses pelayanan.
Untuk mengatasi hal tersebut banyak sarana pelayanan kesehatan (terutama RS) menyusun
strategi untuk mengurangi pemakaian sumber daya dengan tetap mempertahankan bahkan
meningkatkan mutu pelayanan antara lain. Berbagai inisiatif telah diperkenalkan selama 20
tahun terakhir untuk meningkatkan efektifitas pelayanan klinik, inisiatif penting antara lain
melalui penyusunan pedoman klinik (clinical guidelines) dan audit klinik (yang juga telah
diperkenalkan oleh PMPK FK-UGM sejak 5 tahun terakhir di Indonesia), namun inisiatif
tersebut belum cukup.
Pedoman klinik yang disusun melalui review literatur, critical appraisal, konsultasi
multidisplin dan penyusunan rekomendasi berdasarkan level of evidance, cukup banyak
membutuhkan sumber daya dan waktu, namun karena tidak cukup perhatian dan dukungan
yang diberikan untuk menerapkan pedoman tersebut kedalam praktek sehari-hari maka
efektifitas dari pedoman klinik tidak terlalu baik.
Begitu juga dengan audit klinik yang sering tidak dapat mendorong perbaikan yang berarti
karena sulitnya mengidentifikasi dan menentukan justifikasi mengapa terjadi sebuah
penyimpangan/variasi pada praktek sehari hari, atau apabila dapat diidentifikasi maka
kegiatan perbaikan yang diusulkan melalui audit klinik sulit dibakukan.
Melihat ini maka diperlukan alat lain yakni clinical pathway. Clinical patways adalah salah
satu alat manajemen penyakit yang banyak dipakai dan telah berkembang pesat dalam 10
1
Divisi Manajemen Mutu, Pusat Kebijakan dan Management Kesehatan (PKMK) FK-UGM.
tahun terakhir ini, terutama sejak banyaknya laporan penelitian (meski masih
diperdebatkan) yang menunjukan bahwa clinical pathway memiliki potensi dalam
mengurangi variasi pelayanan yang tidak perlu sehingga dapat meningkatkan outcome klinik
dan juga penghematan pemakaian sumber daya (baca: biaya). Di Indonesia, clinical pathway
kembali dibicarakan setelah pemerintah/Depkes menunjukan komitmennya untuk
menerapkan casemix/DRG’s.
Referensi
1. Coffey, Richards, Remmert et al, An introduction to critical paths. Quality Management
Health Care 1992
2. Guinane, Carole. S., Clinical Care Pathway: tools and methods for designing,
implementing, and analysing efficient care practices, Mosby, 1997
3. Campbell, et al, Integrated care pathway, BMJ, Vol 316, 1998
4. Swage, Thoreya, Clinical governance, BH, 2000
5. Cheah, Development and implementation of a clinical pathway programmme in acute
care general hospital in Singapore, International journal for quality in health care 2000,
vol 12 no 5