Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH KO-ASISTENSI MAGANG

RUMAH SAKIT HEWAN SUMBAR


LAPORAN KASUS LAPANGAN : HIPOFUNGSI OVARIUM
PADA SAPI

Oleh :

AKMAL SAFRIJAL SA, S.KH


1702101020011
Dibawah bimbingan :
DRH. IDHAM FAHMI

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah–Nya karena penulis telah selesai mengikuti Koasistensi di UPTD
Rumah Sakit Hewan Sumatra Barat dan telah selesai menyusun laporan Koasistensi
tepat waktu.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh dosen Pembimbing
lapangan drh. Idham fahmi sebagai coordinator mahasiswa magang di UPTD Rumah
Sakit Hewan Sumatra Barat. Tak lupa pula penulis mengucapkan terimakasih kepada
drh. nurhayati selaku kepala UPTD Rumah Sakit Hewan Sumatra Barat, dan dokter
yang bertugas di Rumah Sakit Hewan Sumatra Barat drh. Idham, drh. Hanif, drh.
Isra, drh. Tine, drh. Vira dan drh. Betty, serta kepada staf dan karyawan yang telah
mengizinkan penulis menimba ilmu dan mendapat pengalaman baru selama
Koasistensi.
Laporan ini disusun sebagai syarat Mata Kuliah Koasistensi Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Penulis menyadari dalam penyusunan
laporan ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik
dan saran untuk memperbaiki laporan ini. Semoga Bermanfaat.

Padang, 3 Desember 2017

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 2
Manfaat 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4


Definisi 4
Penyebab 5
Gejala klinis 7
Diferential diagnosa 8
Terapi 8
Siklus estrus secara normal 9

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 12


Keadaan hewan 12
Pemeriksaan secara palpasi rektal 13
Pengobatan dan pencegahan 14

BAB IV PENUTUP 17

DAFTAR PUSTAKA 18
PENDAHULUAN

Latar belakang

Kegagalan birahi atau anestrus pada ternak sapi merupakan gejala utama dari

banyak faktor lain yang mempengaruhi siklus birahi. Hipofungsi ovarium sering

merupakan penyebab infertilitas pada induk sapi. Gangguan reproduksi ini umumnya

terjadi pada sapi induk sesudah partus atau inseminasi atau perkawinan secara

berulang tanpa terjadi konsepsi.

Kegagalan reproduksi merupakan salah satu faktor utama yang dapat

menghambat laju perkembangan populasi ternak. Ditinjau dari kondisi pakan yang

buruk, maka hipofungsi ovarium mungkin adalah penyebab utama kegagalan

reproduksi sapi potong, khususnya yang terjadi pada sistem pemeliharaan

penggembalaan atau ekstensif yang kekurangan pakan.

Hipofungsi ovarium pada sapi periode postpartum disebabkan oleh

kekurangan dan ketidakseimbangan hormonal yang dicirikan oleh rendahnya kadar

hormon gonadotropin terutama FSH sehingga terjadi anestrus atau birahi tenang

(silent heat) dan estrus yang tidak disertai ovulasi. Pada keadaan hipofungsi, ovarium

berukuran normal, namun permukaannya licin sewaktu dipalpasi per rektal yang

artinya tidak ada folikel dominant yang siap untuk ovulasi. Kondisi semacam ini

menandakan bahwa pada ovarium tidak ada aktivitas pertumbuhan folikel apalagi

corpus luteum. Untuk mengatasi kondisi ovarium seperti ini maka dapat dilakukan

melalui penyuntikan hormon gonadotropin. Namun penggunaan preparat ini tidak


ekonomis untuk ternak potong yang digembalakan karena memerlukan biaya yang

relatif mahal sehingga sebagai penggantinya dapat dipakai hormon progesteron.

Dasar fisiologik dari penggunaan progesteron adalah melalui reaksi umpan

balik negatifnya terhadap hipothalamus yang bersifat sementara dan setelah efek

hambatan hilang, maka akan terjadi sekresi FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan

LH (Luteinizing Hormone) dalam jumlah yang lebih banyak dari biasanya disebut

dengan LH surge. Dengan demikian akan terjadi proses pertumbuhan dan

pematangan folikel menjadi follikel de graaf sehingga terjadi ovulasi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu adanya suatu penanganan oleh dokter

hewan untuk menghindari terjadinya hipofungsi ovarium pada sapi-sapi

betina. Penanganan secara hormonal dilakukan melalui penyuntikan hormon

reproduksi sehingga aktivitas reproduksinya dapat bangkit dan kemudian berjalan

normal kembali.

Tujuan

Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini yaitu :

1. Mengetahui penyebab terjadinya hipofungsi ovarium pada sapi, dan

2. Mengetahui cara penanganan hipofungsi ovarium pada sapi

Manfaat

Adapun manfaat dari penulisan karya ilmiah ini yaitu :


1. Memberikan informasi tentang penyebab terjadinya hipofungsi ovarium pada

sapi, dan

2. Memberikan informasi tentang cara penanganan hipofungsi ovarium pada sapi


TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Hipofungsi ovarium atau ovarium yang kurang aktif adalah suatu keadaan

dimana tidak terjadinya perkembangan yang dapat menyebabkan terjadinya kasus

anestrus. Perkembangan folikel yang menurun diakibatkan oleh gagalnya kelenjar

hipofise anterior untuk mensekresikan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dalam

jumlah yang cukup. Keadaan ini sering terjadi pada sapi dara menjelang pubertas dan

sapi dewasa post partus atau setelah inseminasi tapi tidak terjadi konsepsi (BALIVET

Bukit tinggi 2014). Ovarium yang mengalami hipofungsi memiliki permukaan yang

licin karena tidak terjadi pertumbuhan folikel dan corpus luteum, meski memiliki

ukuran yang normal.

Gambar 1. Ovarium normal dan hipofungsi ovarium (Disnakkeswan 2014).


Penyebab

Hipofungsi ovarium dapat diakibatkan oleh manajemen pakan yang buruk,

stress lingkungan dan defisiensi hormon (Herry 2015) sehingga terjadi gangguan

hormonal. Manajemen pakan yang buruk dimana pemberian pakan dalam jumlah

yang tidak sesuai mengakibatkan nutrisi yang diabsorpsi ke dalam tubuh ternak tidak

memadai dengan nutrisi yang dibutuhkan oleh penggunaan energi harian. Hal ini

menyebabkan kondisi tubuh ternak memburuk sehingga mengganggu fungsi tubuh

secara keseluruhan maka dalam pemberian pakan sehari-hari, dibutuhkan nutrisi yang

menunjang saluran reproduksi seperti protein, vitamin A, dan mineral seperti fosfor,

yodium, dan tembaga (Lukman dkk., 2007).

Selain itu, lingkungan yang tidak mendukung memicu timbulnya stres pada

ternak sehingga fisiologis tubuh berubah. Sebagai contoh, ternak yang diletakkan

pada kandang sempit, dengan ventilasi udara yang tidak baik dan sanitasi yang buruk

akan lebih mudah mengalami stres dibandingkan ternak yang ditempatkan di

lingkungan yang nyaman.

Tingkat stres yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya gangguan siklus

hormonal. Defisiensi hormon dapat terjadi ketika kelenjar endokrin tidak dapat

mensekresikan hormon dalam jumlah yang cukup sehingga fungsi-fungsi normal

organ tubuh tidak dapat bekerja dengan optimal. Dalam hal ini, hormone yang

disekresi di hipotalamus, hipofisa anterior, dan ovarium sehingga terjadinya


hipofungsi ovarium. Akibat dari faktor-faktor tersebut, efisiensi reproduksi

terganggu sehingga produktivitas menurun. Kejadian ini menyebabkan calving

interval yang lebih panjang (Deden 2000) sehingga secara ekonomis merugikan

peternak. Menurut Herry (2015), terganggunya kerja hipotalamus hipofise-ovarium

oleh beberapa faktor yang dijelaskan diatas dapat menyebabkan penurunan sekresi

Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH), diikuti dengan penurunan Follicle

Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH). Kekurangan sekresi

hormone gonadotropin mengakibatkan folikel tidak bertumbuh sehingga tidak terjadi

ovulasi. Tidak terjadinya ovulasi menyebabkan tidak tumbuhnya CL di ovarium.

Produksi hormon ovarium berada di bawah pengaruh langsung hormon

gonadotropic dihasilkan oleh hipofisis anterior. Follicle merangsang (FSH) dan

luteinizing hormone (LH) yang disekresi dari pituitary dan perjalanan melalui darah

ke ovarium. FSH dan LH dimediasi oleh releasing hormone gonadotropic (GnRH)

yang berasal dari hipotalamus untuk sinyal pembebasan mereka dari hipofisis. FSH

merangsang pertumbuhan, perkembangan dan fungsi folikel, sementara LH

menyebabkan folikel pecah selama ovulasi dan menyebabkan perkembangan

selanjutnya korpus luteum (Whittier, 2015). Sintesa hormon steroid diproduksi

terutama oleh gonad dan diatur oleh dua jenis hormon gonadotrofik yang

dihasilkan oleh adenohipofise. Sintesis dan fungsi hormon reproduksi berbeda, tetapi

saling berhubungan dan mempengaruhi. Anwar (2005) menyatakan Hipothamalus

mengeluarkan GnRH dengan proses sekresinya setiap 90-120 menit melalui


aliran portal hipot halamohipofisial. Setelah sampai di hipofise anterior, GnRH

akan mengikat sel gonadotrop dan merangsang pengeluaran FSH (Follicle

Stimulating Hormone) dan LH (Lutheinizing Hormone). Waktu paruh LH kurang

lebih 30 menit sedangkan FSH sekitar 3jam.

Gejala klinis

Menurut Herry (2015), ternak yang mengalami hipofungsi ovarium tidak

terlihat gejala estrus (anestrus) atau menampakkan silent heat dalam jangka waktu

yang lama karena estrogen yang berperan dalam gejala birahi dihasilkan dalam

jumlah sedikit dimana belum mencapai batas threshold. Selain itu, ternak betina tidak

terlihat bunting setelah dilakukan inseminasi buatan (IB) berulang kali (Deden 2000).

Ovulasi pada ternak tersebut bisa jadi tertunda (Ruiqing dan Xinli 2009) karena

gangguan hormon FSH dan LH sehingga tidak terdapat folikel yang cukup matang

untuk diovulasikan. Ovarium yang mengalami hipofungsi berukuran normal, tetapi

permukaannya teraba licin ketika dilakukan palpasi perektal (Herry 2015). Penyataan

Herry (2015) dapat didukung oleh Lo´pez-Gatius et al. (2001) yang menyatakan

bahwa ovari yang mengalami hipofungsi berukuran minimal 8-15 mm ketika

dilakukan dua kali pemeriksaan dalam jedah waktu 7 hari, dan tidak ditemukan CL

atau kista serta tanda estrus.


Diferensial Diagnosa

Gejala utama yang terlihat pada hipofungsi ovarium adalah anestrus yang

berkepanjangan. Fase anestrus pada siklus estrus normalnya terjadi selama 1 – 6

bulan. Ditandai dengan inaktivitas ovarium, involusi uterus dan perbaikan

endometrium. Kondisi ini juga terjadi pada sistik ovari, kebuntingan, korpus luteum

persisten, mumifikasi, hipoplasia ovari, pyometra dan endometritis subklinis (Hafez

2000 ; Syarifudin 2015).

Terapi

Pemberian agonis GnRH seperti lutrelin, fertirelin, deslorelin, leuprolide, dan

buserelin untuk menginduksi estrus (Kutzler 2005). Hormon2 tersebut berfungsi

merangsang pelepasan gonadotropin FSH dan LH dari hipofisa anterior sehingga

terjadi pertumbuhan dan perkembangan folikel. Pertumbuhan dan perkembangan

folikel menghasilkan estrogen sehingga sapi menunjukkan tanda2 birahi (Suartini et

al 2013). Perbaikan manajemen pemeliharaan ternak juga diperlukan di samping

terapi hormone (Pemayun 2009).

Siklus estrus secara normal

Proestrus
Proestrus dimulai dengan regresi corpus luteum dan merosotnya progesteron serta

melanjut sampai terjadinya fase estrus selama 1-3 hari (Anonim, 2003a ). Akibat

kehilangan hambatan progesteron, GnRH meningkat dan menyebabkan stimulasi LH

dan FSH. FSH menyebabkan maturasi akhir folikel yang tumbuh. Folikel yang

tumbuh menghasilkan estrogen oleh sel-sel granulosa dan sel theka interna. Fase ini

dianggap sebagai fase penumpukan. Dalam fase ini folikel ovarium dengan ovumnya

yang menempel membesar terutama karena meningkatnya cairan folikel yang berisi

cairan estrogenik. Estrogen yang diserap dari folikel ke dalam aliran darah

merangsang peningkatan vaskularisasi dan pertumbuhan sel genital dalam persiapan

untuk birahi dan kebuntingan yang terjadi (Frandson, 1993).

Estrus

Estrus didefinisikan sebagai periode waktu ketika betina resepsif terhadap jantan

dan akan membiarkan untuk dikawini (Anonim, 2003a). Relatif sedikit folikel primer

yang pengembangan yang lengkap melakukannya melalui serangkaian tahapan.

Banyak lapisan sel ditambahkan ke lapisan sel yang mengelilingi telur dalam folikel

primer dan bentuk rongga sentral. Folikel dan rongga dalam folikel tumbuh lebih

besar dan telur menjadi melekat pada batang sel pada sisi folikel berlawanan situs

masa depan ovulasi. Sebagai folikel terus tumbuh lebih besar, lapisan luar folikel

menjadi lebih tipis. Folikel ini matang dan disebut folikel de Graaf. Lapisan luar

pecah folikel pada waktu yang tepat dan telur dan isi rongga folikel dilepaskan.

Perkembangan folikel terjadi dalam konser dengan fungsi reproduksi dan perilaku
lain sehingga mendekati waktu ovulasi rahim siap untuk menerima baik telur dari

betina dan sperma dari sapi jantan (Whittier, 2015).

Menurut Frandson (1993), fase estrus ditandai dengan sapi yang berusaha dinaiki

oleh sapi pejantan, keluarnya cairan bening dari vulva dan peningkatan sirkulasi

sehingga tampak merah. Lama estrus pada sapi sekitar 12-24 jam (Putro, 2008).

Estrus pada sapi biasanya berlangsung selama 12 – 18 jam. Variasi terlihat antar

individu selama siklus estrus, pada sapi-sapi di lingkungan panas mempunyai periode

estrus yang lebih pendek sekitar 10-12 jam (Anonim, 2003a). Selama atau segera

setelah periode ini, terjadilah ovulasi. Ini terjadi dengan penurunan tingkat FSH

dalam darah dan penaikan tingkat LH. Sesaat sebelum ovulasi, folikel membesar dan

turgid serta ovum yang ada di situ mengalami pemasakan. Estrus berakhir kira-kira

pada saat pecahnya folikel ovari atau terjadinya ovulasi (Frandson, 1993).

Metestrus

Setelah ovulasi, sel-sel yang berkembang dalam folikel mengalami proses

diferensiasi dengan tindakan hormon hipofisis. Proses ini disebut luteinisasi dan

menimbulkan struktur ovarium kedua, lutea corpora (pl. Korpus luteum). Struktur ini

sering disebut hanya sebagai CL dan memiliki fungsi penting mensekresi hormon

progesterone (Whittier, 2015). Metestrus adalah fase pasca ovulasi di mana corpus

luteum berfungsi. Panjangnya metestrus dapat tergantung pada panjangnya

LTH (Luteotropik Hormon) yang disekresi oleh adenohipofisis. Selama periode ini

terdapat penurunan estrogen dan penaikan progesteron yang dibentuk oleh ovari

(Frandson, 1993). Struktur pembekuan darah-jenis yang dikenal sebagai bentuk


corpus hemorrhagicum dalam rongga yang ditinggalkan oleh folikel pecah dan

berubah menjadi CL pada hari ke 5 dari siklus (hari 0 = estrus) (Whittier,

2015). Selama meteestrus, rongga yang ditinggalkan oleh pemecahan folikel mulai

terisi dengan darah. Darah membentuk struktur yang disebut korpus hemoragikum.

Setelah sekitar 5 hari, korpus hemoragikum mulai berubah menjadi jaringan luteal,

menghasilkan korpus luteum atau CL. Fase ini sebagian besar berada dibawah

pengaruh progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum (Guyton, 1994). Pada masa

ini terjadi ovulasi, kurang lebih 10-12 jam sesudah estrus, kira-kira 24 sampai 48 jam

sesudah birahi. Metestrus terjadi 2-4 hari pada siklus estrus (Anonim, 2003a).

Diestrus

Diestrus adalah periode terakhir dan terlama pada siklus berahi, korpus luteum

menjadi matang dan pengaruh progesteron terhadap saluran reproduksi menjadi nyata

(Marawali, dkk.,2001). Pada sapi dimulai kira-kira sampai hari ke-5 siklus, ketika

suatu peningkatan progesteron dalam darah dapat dideteksi pertama kali, dan berakhir

dengan regresi corpus luteum pada hari 16 dan 17 (Anonim, 2003a). CL berfungsi

penuh dari Hari 5 Hari 15 siklus dan kemudian mulai mundur jika wanita tidak hamil.

Regresi CL dan tidak lagi mengeluarkan progesteron sebagai folikel siklus estrus

berikutnya mulai berkembang. Sebagai CL regresi lebih lanjut, menjadi dikenal

sebagai corpus albican dan tetap terlihat di ovarium selama beberapa siklus

berikutnya (Whittier, 2015).


HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyusunan karya ilmiah ini sendiri berdasarkan hasil kegiatan Kerja

Lapangan yang dilakukan di Kabupaten Solok pada hari selasa tanggal 28 november

2017. Berikut sedikit data yang dikumpulkan untuk menunjang diagnosa bahwa tenak

terkait mengalami hipofungsi ovarium.

Keadaan sapi

Pemilik : Pak Usman

Umur : 1,5 tahun

Sinyalemen : warna bulu merah bata, bertanduk agak panjang

Tempramen : sedikit ganas

Habitus : normal

BCS :3

Jumlah anak :-

Terakhir diinseminasi : belum pernah diinseminasi

Gejala lain : belum pernah estrus


Gambar 1. Sapi terindikasi mengalami hipofungsi ovarium

Pemeriksaan secara palpasi rektal

Pada pemeriksaan secara palpasi perektal saat perabaan organ reproduksi

ditemukan bahwa serviks dalam keadaan normal, uterus memiliki konsistensi yang

baik (tidak kaku), akan tetapi ovarium tidak menunjukkan adanya perkembangan

folikel dan corpus luteum. Saat perabaan ovarium, jika ditemukan adanya

perkembangan folikel akan terasa seperti butiran pasir dan adanya lubang-lubang

kecil yang mengindikasikan adanya folikel yang sedang berkembang. Sedangkan

untuk mengetahui ada tidaknya corpus luteum pada ovarium dapat dirasakan jika

adanya tonjolan yang agak keras pada bagian ujung tonjolan tersebut.
Hipofungsi ovari adalah keadaan dimana tidak terjadi pertumbuhan folikel

dan corpus luteum pada ovarium ditandai dengan permukaan ovarium yang licin.

Hipofungsi ovari terjadi karena gagalnya kelenjar hipofise anterior untuk

memproduksi FSH (follicle stimulating hormone) dalam jumlah yang cukup untuk

pertumbuhan dan pembentukan folikel di ovarium (Toliehere, 1997). Umumnya sapi

yang mengalami hipofungsi ovarium tidak menunjukkan gejala estrus lebih dari 60

hari setelah melahirkan (Hafez, 2000 ; Opsomer et al., 2000). Dalam kasus ini tidak

ditemukan adanya perkembangan folikel pada ovarium, oleh sebab itu dinyatakan

bahwa sapi tersebut mengalami hipofungsi ovarium.

Pengamatan kasus di lapangan pada sapi yang mengalami hipofungsi ovari

adalah sekitar kandang terlihat kotor. Selain itu, pakan yang diberikan kepada sapi

memang tidak tentu, tergantung kesediaan pakan di lapangan. Hal ini diperparah

dengan tidak diberikannya vitamin atau suplemen untuk sapi. Jika dilihat dari

keadaan lingkungan sekitar, hipofungsi ovari dapat disebabkan mutu pakan yang

rendah.

Pengobatan dan pencegahan

Pengobatan yang diberikan pada sapi yang mengalami hipofungsi ovarium

adalah dengan pemberian sediaan obat berupa hormon reproduksi untuk menstimulasi

pertumbuhan folikel pada ovarium. Dalam kasus ini sapi diberikan obat Fertagyl™
dengan kandungan Gonaderolin 0.1 mg disetiap ml yang diberikan sebanyak 5 ml

melalui injeksi intra muskular. Kandungan gonaderolin yang terkandung didalam

fertagyl bekerja seperti Gonadotropin Realising Hormone (GnRH) yang berfungsi

untuk menstimulasi pelepasam Folikel Stimulating Hormone (FSH) atau Luteinizing

Hormon (LH).

Gambar 2. Fertagyl yang digunakan untuk pengobatan

Selain itu terapi vitamin A, D, dan E juga diberikan untuk menunjang

kesehatan ternak dan juga menjaga kesehatan reproduksi sapi. Vitamin A mencegah

terjadinya kelahiran pedet yang lemah dan retensio plasenta. Vitamin D membantu

mencegah siklus estrus yang tidak teratur. Vitamin E dibutuhkan untuk memelihara

reproduksi normal (Susanti, 2013).


Gambar 3. Vitamin tambahan yang digunakan

Pencegahan pada kasus hipofungsi ovarium ini adalah dengan memperbaikin

system pemeliharaan berupa pemberian asupan nutrisi yang baik untuk memperbaiki

metabolisme tubuh sehingga tidak menyebabkan gangguan hormonal yang dapat

menyebabkan hipofungsi ovarium.


PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan, dapat disimpulkan bahwa sapi

tersebut mengalami corpus luteum persisten (CLP). Hal ini terjadi akibat masa sapih

yang terlalu panjang sehingga kadar progesterone tinggi dalam darah dan ternak tidak

estrus setelah melahirkan. Terapi yang diberikan yaitu dengan memberikan preparat

hormone Prostaglandin (PGF2alpha) yang berfungsi untuk melisiskan corpus luteum

sehingga menekan progesterone dalam darah agar hipofisa dapat melepas FSH

sehingga perkembangan folikel dapat terjadi.

Saran

Diharapkan adanya pemeriksaan kadar progesterone dalam darah untuk

menguatkan diagnose. Selain itu, perlu dilakukan pencegahan dengan cara menjaga

nutrisi pakan, menjaga calving interval dan masa sapih yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA

[BALIVET] Balai Veteriner Bukittinggi. 2014. Laporan Pelaksanaan Kegiatan :


Penanggulangan Penyakit Gangguan Reproduksi Pada Sapi Potong.
Kementrian Pertanian Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan.
No. 530/2014.

[DISNAKKESWAN] Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa


Tengah. 2014. Penanganan Hipofungsi Ovaria pada Ternak Sapi. [Internet].
[diakses 2 desember 2017]. Tersedia pada:
http://disnakkeswan.jatengprov.go.id/berita-penanganan-hipofungsi-ovaria
pada-ternak-sapi-.html.

Anwar, Ruswana. 2005. Sintesis, Fungsi Dan Interpretasi Pemeriksaan Hormon


Reproduksi. Disampaikan pada pertemuan Fertilitas Endokrinologi
Reproduksi bagian Obstetri dan Ginekologi RSHS/FKUP Bandung.

Deden S. 2000. Teknik Masage Ovari dan Penggunaan Potahormon pada Kasus
Hipofungsi Ovarium Sapi Perah Di Kabupaten Bogor. [Skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.

Hafez ESE. 2000. Anatomy of Male Reproduction. “In Reproduction in Farm


Animals”. 7thed. Lippincott William & Wilkins. Philadelphia.

Hafez SE. 2000. Reproduction in Farm Animals 7th Edition. Philadelphia (US) : Lea
and Febiger.

Herry AH. 2015. Pemberantasan Kasus Kemajiran Pada Ternak Menuju Kemandirian
Dibidang Kesehatan Reproduksi Hewan Dan Ketahanan Pangan Di Indonesia.
Makalah. Dalam: Pidato Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Airlangga, 25 April.

Lo´pez-Gatius F, Santolaria P, Ya´niz J, Rutllant J dan Lo´pez- Be´ jar M. 2001.


Persistent ovarian follicles in dairy cows: a therapeutic approach.
Theriogenology. 56: 649–659.

Lukman AS, Wulan CP dan Dian R. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan Gangguan
Reproduksi Pada Sapi Potong. Grati Pasuruan (ID): Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan.
Opsomer, G., Y. T. Grohn, J. Hertl., M. Coryn., H. Deluyker., A. Kruif. 2000. Risk
factors for post partum ovarian dysfunction in high producing cows in
Belgium: a field study. Theriogenology. 53: 841–857.

Ruiqing L dan Xinli G. 2009. Treating infertile milk cows by traditional chinese
medicine. J Agr Sci. 1(1): 82-85.

Salman A. 2013. Status reproduksi ternak sapi dan kerbau betina di Jawa Tengah. Di
dalam: Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan: Rapat Teknis dan Pertemuan
Ilmiah Kesehatan Hewan Tahun 2013. Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID):
Kementerian Pertanian.

Syarifuddin, N. 2005. Laporan Kegiatan Aplikasi Teknologi Reproduksi Ternak dan


Kesehatan Ternak pada Program Pendayagunaan dan Pengembangan Iptek
Nuklir Bidang Peternakan Di Daerah Kalimantan Selatan Tahun 2005.
Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru.

Whittier, J. C. 2015. Reproductive Anatomy and Physiology of the Cow. University


Of Missoury

Anda mungkin juga menyukai