Oleh :
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah–Nya karena penulis telah selesai mengikuti Koasistensi di UPTD
Rumah Sakit Hewan Sumatra Barat dan telah selesai menyusun laporan Koasistensi
tepat waktu.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh dosen Pembimbing
lapangan drh. Idham fahmi sebagai coordinator mahasiswa magang di UPTD Rumah
Sakit Hewan Sumatra Barat. Tak lupa pula penulis mengucapkan terimakasih kepada
drh. nurhayati selaku kepala UPTD Rumah Sakit Hewan Sumatra Barat, dan dokter
yang bertugas di Rumah Sakit Hewan Sumatra Barat drh. Idham, drh. Hanif, drh.
Isra, drh. Tine, drh. Vira dan drh. Betty, serta kepada staf dan karyawan yang telah
mengizinkan penulis menimba ilmu dan mendapat pengalaman baru selama
Koasistensi.
Laporan ini disusun sebagai syarat Mata Kuliah Koasistensi Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Penulis menyadari dalam penyusunan
laporan ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik
dan saran untuk memperbaiki laporan ini. Semoga Bermanfaat.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 2
Manfaat 2
BAB IV PENUTUP 17
DAFTAR PUSTAKA 18
PENDAHULUAN
Latar belakang
Kegagalan birahi atau anestrus pada ternak sapi merupakan gejala utama dari
banyak faktor lain yang mempengaruhi siklus birahi. Hipofungsi ovarium sering
merupakan penyebab infertilitas pada induk sapi. Gangguan reproduksi ini umumnya
terjadi pada sapi induk sesudah partus atau inseminasi atau perkawinan secara
menghambat laju perkembangan populasi ternak. Ditinjau dari kondisi pakan yang
hormon gonadotropin terutama FSH sehingga terjadi anestrus atau birahi tenang
(silent heat) dan estrus yang tidak disertai ovulasi. Pada keadaan hipofungsi, ovarium
berukuran normal, namun permukaannya licin sewaktu dipalpasi per rektal yang
artinya tidak ada folikel dominant yang siap untuk ovulasi. Kondisi semacam ini
menandakan bahwa pada ovarium tidak ada aktivitas pertumbuhan folikel apalagi
corpus luteum. Untuk mengatasi kondisi ovarium seperti ini maka dapat dilakukan
balik negatifnya terhadap hipothalamus yang bersifat sementara dan setelah efek
hambatan hilang, maka akan terjadi sekresi FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan
LH (Luteinizing Hormone) dalam jumlah yang lebih banyak dari biasanya disebut
Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu adanya suatu penanganan oleh dokter
normal kembali.
Tujuan
Manfaat
sapi, dan
Definisi
Hipofungsi ovarium atau ovarium yang kurang aktif adalah suatu keadaan
jumlah yang cukup. Keadaan ini sering terjadi pada sapi dara menjelang pubertas dan
sapi dewasa post partus atau setelah inseminasi tapi tidak terjadi konsepsi (BALIVET
Bukit tinggi 2014). Ovarium yang mengalami hipofungsi memiliki permukaan yang
licin karena tidak terjadi pertumbuhan folikel dan corpus luteum, meski memiliki
stress lingkungan dan defisiensi hormon (Herry 2015) sehingga terjadi gangguan
hormonal. Manajemen pakan yang buruk dimana pemberian pakan dalam jumlah
yang tidak sesuai mengakibatkan nutrisi yang diabsorpsi ke dalam tubuh ternak tidak
memadai dengan nutrisi yang dibutuhkan oleh penggunaan energi harian. Hal ini
secara keseluruhan maka dalam pemberian pakan sehari-hari, dibutuhkan nutrisi yang
menunjang saluran reproduksi seperti protein, vitamin A, dan mineral seperti fosfor,
Selain itu, lingkungan yang tidak mendukung memicu timbulnya stres pada
ternak sehingga fisiologis tubuh berubah. Sebagai contoh, ternak yang diletakkan
pada kandang sempit, dengan ventilasi udara yang tidak baik dan sanitasi yang buruk
hormonal. Defisiensi hormon dapat terjadi ketika kelenjar endokrin tidak dapat
organ tubuh tidak dapat bekerja dengan optimal. Dalam hal ini, hormone yang
interval yang lebih panjang (Deden 2000) sehingga secara ekonomis merugikan
oleh beberapa faktor yang dijelaskan diatas dapat menyebabkan penurunan sekresi
luteinizing hormone (LH) yang disekresi dari pituitary dan perjalanan melalui darah
yang berasal dari hipotalamus untuk sinyal pembebasan mereka dari hipofisis. FSH
terutama oleh gonad dan diatur oleh dua jenis hormon gonadotrofik yang
dihasilkan oleh adenohipofise. Sintesis dan fungsi hormon reproduksi berbeda, tetapi
Gejala klinis
terlihat gejala estrus (anestrus) atau menampakkan silent heat dalam jangka waktu
yang lama karena estrogen yang berperan dalam gejala birahi dihasilkan dalam
jumlah sedikit dimana belum mencapai batas threshold. Selain itu, ternak betina tidak
terlihat bunting setelah dilakukan inseminasi buatan (IB) berulang kali (Deden 2000).
Ovulasi pada ternak tersebut bisa jadi tertunda (Ruiqing dan Xinli 2009) karena
gangguan hormon FSH dan LH sehingga tidak terdapat folikel yang cukup matang
permukaannya teraba licin ketika dilakukan palpasi perektal (Herry 2015). Penyataan
Herry (2015) dapat didukung oleh Lo´pez-Gatius et al. (2001) yang menyatakan
dilakukan dua kali pemeriksaan dalam jedah waktu 7 hari, dan tidak ditemukan CL
Gejala utama yang terlihat pada hipofungsi ovarium adalah anestrus yang
endometrium. Kondisi ini juga terjadi pada sistik ovari, kebuntingan, korpus luteum
Terapi
Proestrus
Proestrus dimulai dengan regresi corpus luteum dan merosotnya progesteron serta
melanjut sampai terjadinya fase estrus selama 1-3 hari (Anonim, 2003a ). Akibat
dan FSH. FSH menyebabkan maturasi akhir folikel yang tumbuh. Folikel yang
tumbuh menghasilkan estrogen oleh sel-sel granulosa dan sel theka interna. Fase ini
dianggap sebagai fase penumpukan. Dalam fase ini folikel ovarium dengan ovumnya
yang menempel membesar terutama karena meningkatnya cairan folikel yang berisi
cairan estrogenik. Estrogen yang diserap dari folikel ke dalam aliran darah
Estrus
Estrus didefinisikan sebagai periode waktu ketika betina resepsif terhadap jantan
dan akan membiarkan untuk dikawini (Anonim, 2003a). Relatif sedikit folikel primer
Banyak lapisan sel ditambahkan ke lapisan sel yang mengelilingi telur dalam folikel
primer dan bentuk rongga sentral. Folikel dan rongga dalam folikel tumbuh lebih
besar dan telur menjadi melekat pada batang sel pada sisi folikel berlawanan situs
masa depan ovulasi. Sebagai folikel terus tumbuh lebih besar, lapisan luar folikel
menjadi lebih tipis. Folikel ini matang dan disebut folikel de Graaf. Lapisan luar
pecah folikel pada waktu yang tepat dan telur dan isi rongga folikel dilepaskan.
Perkembangan folikel terjadi dalam konser dengan fungsi reproduksi dan perilaku
lain sehingga mendekati waktu ovulasi rahim siap untuk menerima baik telur dari
Menurut Frandson (1993), fase estrus ditandai dengan sapi yang berusaha dinaiki
oleh sapi pejantan, keluarnya cairan bening dari vulva dan peningkatan sirkulasi
sehingga tampak merah. Lama estrus pada sapi sekitar 12-24 jam (Putro, 2008).
Estrus pada sapi biasanya berlangsung selama 12 – 18 jam. Variasi terlihat antar
individu selama siklus estrus, pada sapi-sapi di lingkungan panas mempunyai periode
estrus yang lebih pendek sekitar 10-12 jam (Anonim, 2003a). Selama atau segera
setelah periode ini, terjadilah ovulasi. Ini terjadi dengan penurunan tingkat FSH
dalam darah dan penaikan tingkat LH. Sesaat sebelum ovulasi, folikel membesar dan
turgid serta ovum yang ada di situ mengalami pemasakan. Estrus berakhir kira-kira
pada saat pecahnya folikel ovari atau terjadinya ovulasi (Frandson, 1993).
Metestrus
diferensiasi dengan tindakan hormon hipofisis. Proses ini disebut luteinisasi dan
menimbulkan struktur ovarium kedua, lutea corpora (pl. Korpus luteum). Struktur ini
sering disebut hanya sebagai CL dan memiliki fungsi penting mensekresi hormon
progesterone (Whittier, 2015). Metestrus adalah fase pasca ovulasi di mana corpus
LTH (Luteotropik Hormon) yang disekresi oleh adenohipofisis. Selama periode ini
terdapat penurunan estrogen dan penaikan progesteron yang dibentuk oleh ovari
2015). Selama meteestrus, rongga yang ditinggalkan oleh pemecahan folikel mulai
terisi dengan darah. Darah membentuk struktur yang disebut korpus hemoragikum.
Setelah sekitar 5 hari, korpus hemoragikum mulai berubah menjadi jaringan luteal,
menghasilkan korpus luteum atau CL. Fase ini sebagian besar berada dibawah
pengaruh progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum (Guyton, 1994). Pada masa
ini terjadi ovulasi, kurang lebih 10-12 jam sesudah estrus, kira-kira 24 sampai 48 jam
sesudah birahi. Metestrus terjadi 2-4 hari pada siklus estrus (Anonim, 2003a).
Diestrus
Diestrus adalah periode terakhir dan terlama pada siklus berahi, korpus luteum
menjadi matang dan pengaruh progesteron terhadap saluran reproduksi menjadi nyata
(Marawali, dkk.,2001). Pada sapi dimulai kira-kira sampai hari ke-5 siklus, ketika
suatu peningkatan progesteron dalam darah dapat dideteksi pertama kali, dan berakhir
dengan regresi corpus luteum pada hari 16 dan 17 (Anonim, 2003a). CL berfungsi
penuh dari Hari 5 Hari 15 siklus dan kemudian mulai mundur jika wanita tidak hamil.
Regresi CL dan tidak lagi mengeluarkan progesteron sebagai folikel siklus estrus
sebagai corpus albican dan tetap terlihat di ovarium selama beberapa siklus
Lapangan yang dilakukan di Kabupaten Solok pada hari selasa tanggal 28 november
2017. Berikut sedikit data yang dikumpulkan untuk menunjang diagnosa bahwa tenak
Keadaan sapi
Habitus : normal
BCS :3
Jumlah anak :-
ditemukan bahwa serviks dalam keadaan normal, uterus memiliki konsistensi yang
baik (tidak kaku), akan tetapi ovarium tidak menunjukkan adanya perkembangan
folikel dan corpus luteum. Saat perabaan ovarium, jika ditemukan adanya
perkembangan folikel akan terasa seperti butiran pasir dan adanya lubang-lubang
untuk mengetahui ada tidaknya corpus luteum pada ovarium dapat dirasakan jika
adanya tonjolan yang agak keras pada bagian ujung tonjolan tersebut.
Hipofungsi ovari adalah keadaan dimana tidak terjadi pertumbuhan folikel
dan corpus luteum pada ovarium ditandai dengan permukaan ovarium yang licin.
memproduksi FSH (follicle stimulating hormone) dalam jumlah yang cukup untuk
yang mengalami hipofungsi ovarium tidak menunjukkan gejala estrus lebih dari 60
hari setelah melahirkan (Hafez, 2000 ; Opsomer et al., 2000). Dalam kasus ini tidak
ditemukan adanya perkembangan folikel pada ovarium, oleh sebab itu dinyatakan
adalah sekitar kandang terlihat kotor. Selain itu, pakan yang diberikan kepada sapi
memang tidak tentu, tergantung kesediaan pakan di lapangan. Hal ini diperparah
dengan tidak diberikannya vitamin atau suplemen untuk sapi. Jika dilihat dari
keadaan lingkungan sekitar, hipofungsi ovari dapat disebabkan mutu pakan yang
rendah.
adalah dengan pemberian sediaan obat berupa hormon reproduksi untuk menstimulasi
pertumbuhan folikel pada ovarium. Dalam kasus ini sapi diberikan obat Fertagyl™
dengan kandungan Gonaderolin 0.1 mg disetiap ml yang diberikan sebanyak 5 ml
Hormon (LH).
kesehatan ternak dan juga menjaga kesehatan reproduksi sapi. Vitamin A mencegah
terjadinya kelahiran pedet yang lemah dan retensio plasenta. Vitamin D membantu
mencegah siklus estrus yang tidak teratur. Vitamin E dibutuhkan untuk memelihara
system pemeliharaan berupa pemberian asupan nutrisi yang baik untuk memperbaiki
Kesimpulan
tersebut mengalami corpus luteum persisten (CLP). Hal ini terjadi akibat masa sapih
yang terlalu panjang sehingga kadar progesterone tinggi dalam darah dan ternak tidak
estrus setelah melahirkan. Terapi yang diberikan yaitu dengan memberikan preparat
sehingga menekan progesterone dalam darah agar hipofisa dapat melepas FSH
Saran
menguatkan diagnose. Selain itu, perlu dilakukan pencegahan dengan cara menjaga
nutrisi pakan, menjaga calving interval dan masa sapih yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Deden S. 2000. Teknik Masage Ovari dan Penggunaan Potahormon pada Kasus
Hipofungsi Ovarium Sapi Perah Di Kabupaten Bogor. [Skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Hafez SE. 2000. Reproduction in Farm Animals 7th Edition. Philadelphia (US) : Lea
and Febiger.
Herry AH. 2015. Pemberantasan Kasus Kemajiran Pada Ternak Menuju Kemandirian
Dibidang Kesehatan Reproduksi Hewan Dan Ketahanan Pangan Di Indonesia.
Makalah. Dalam: Pidato Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Airlangga, 25 April.
Lukman AS, Wulan CP dan Dian R. 2007. Petunjuk Teknis Penanganan Gangguan
Reproduksi Pada Sapi Potong. Grati Pasuruan (ID): Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan.
Opsomer, G., Y. T. Grohn, J. Hertl., M. Coryn., H. Deluyker., A. Kruif. 2000. Risk
factors for post partum ovarian dysfunction in high producing cows in
Belgium: a field study. Theriogenology. 53: 841–857.
Ruiqing L dan Xinli G. 2009. Treating infertile milk cows by traditional chinese
medicine. J Agr Sci. 1(1): 82-85.
Salman A. 2013. Status reproduksi ternak sapi dan kerbau betina di Jawa Tengah. Di
dalam: Prosiding Penyidikan Penyakit Hewan: Rapat Teknis dan Pertemuan
Ilmiah Kesehatan Hewan Tahun 2013. Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID):
Kementerian Pertanian.