Program Kesehatan Reproduksi Pel Integratif Di YanDas PDF
Program Kesehatan Reproduksi Pel Integratif Di YanDas PDF
Komitmen Indonesia dalam Konperensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (ICPD)
di Kairo pada tahun 1994 telah ditindaklanjuti dengan Lokakaryanya Nasional Kesehatan Reproduksi di
Jakarta pada tahun 1996. Beberapa kesepakatan telah disetujui dalam forum yang melibatkan sektor
terkait, universitas, LSM, organisasi profesi dan agen donor, serta pihak terkait lainnya. Diantaranya,
telah disepakati paket pelayanan kesehatan reproduksi prioritas, yang kemudian disebut sebagai paket
Priayana Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE).
Buku Program Kesehatan Reproduksi dan Pelayanan Integratif di Tingkat Pelayanan Dasar ini
merupakan penjabaran dari kesepakatan yang telah dirintis pada Lokakarya tersebut. Komponen
Program Kesehatan Reproduksi sebetulnya bukan program-program baru, sehingga upaya yang
dilakukan hendaknya dapat melanjutkan upaya yang telah dirintis sebelumnya. Namun demikian, dalam
mengelola program dan memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perlu diperhatikan adanya
perubahan paradigma yang sangat berarti, seperti yang disepakati dalam ICPD.
Dalam kesepakatan global itu, fokus perhatian ditunjukan kepada pelayanan yang mengutamakan
kesehatan dan hak reproduksi perorangan, baik bagi laki-laki maupun perempuan sepanjang siklus
hidupnya. Hal ini berpengaruh besar dalam pengembangan program dan pelayanan kesehatan
reproduksi. Satu diantaranya adalah dengan penerapan pelayanan integratif, yang memungkinkan klien
memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi yang terpadu sesuai dengan kebutuhannya, pada satu kali
pelayanan. Hal ini dapat dilakukan dengan memasukkan aspek pelayanan kesehatan reproduksi yang
satu ke dalam yang lainnya.
Buku ini diharapkan dapat dipakai sebagai acuan tentang kebijaksanaan sektor kesehatan dalam
Program Kesehatan Reproduksi dan pelaksanaannya di lapangan. Buku ini ditunjukan kepada para
pengelola program sebagai bahan acuan dalam mengembangkan program dan pelayanan kesehatan
reproduksi. Dalam semangat desentralisasi dewsa ini, setiap pengelola wilayah dapat secara kreatif
mengembangkan program yang sesuai dengan masalah dan kebutuhan setempat, dengan tetap
mengacu kepada kebijaksanaan nasional.
Kepada pihak-pihak yang telah menyusun dan memungkinkan terbitnya buku ini disampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih. Selanjutnya, saran untuk penyempurnaan buku pedoman ini
akan sangat dihargai.
Direktur Jendral
iii
DAFTAR ISI
` Halaman
KATA PENGANTAR
BAB I : PENDAHULUAN 1
Kebijaksnaan Umum………………………………………………………………………………. 13
Terget ……………………………………………………………………………………………………. 13
BAB VI : PENUTUP 27
Lampiran
v
I.PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kesehatan Reproduksi mendapat perhatian khusus secara global sejak diangkatnya materi tersebut
dalam Konperensi Internasional tentang Kependidikan dan Pembangunan (International Conference
on Population and Development, ICPD), di Kairo, Mesir, pada tahun 1994. Sekitar 180 negara
berpartisipasi dalam Konferensi tersebut. Hal penting dalam Konferensi tersebut adalah
disepakatinya perubahan pradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan pembangunan
dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas/keluarga bencana menjadi
pendekatan yang terfokus pada kesehatan reproduksi. Perubahan paradigma ini menempatkan
manusia menjadi subyek, berbda dari sebelumnya yang menempatkan manusia sebagai obyek.
ICPD tahun 1994 tersebut bertegas dalam Konferensi Sedunia IV tentang Wanita pada tahun 1995 di
Beijing, Cina, ICPD + 5, di Haque, pada tahun 1999, dan Beijing + 5, di New York, pada tahun 2000. Di
tingkat internasional tersebut telah disepakati definisi kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan
sejahtera fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau
kecacatan dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem
1
reproduksi, serta fungsi dan prosesnya. Karenanya setiap individu mempunyai hak untuk mengatur
jumlah keluarganya, kapan mempunyai anak, dan memperoleh penjelasan yang lengkap tentang
cara-cara kontrasepsi, sehingga dapat memilih cara yang tepat dan disukai. Selain itu, hak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi lainnya, seperti pelayanan atenatal, persalinan, nifas
dan pelayanan bagi bayi baru lahir, kesehatan remaja dan lain-lain, perlu dijamin.
Indonesia sebagai salah satu negara yang berpartisipasi dalam kesepakatan global tersebut telah
menindak lanjuti dengan mengadakan Lokakarya Nasional Kesehatan Reproduksi pada bulan Mei
1996 di Jakarta yang melibatkan seluruh sektor terkait, LSM termasuk organisasi wanita, organisasi
profesi, universitas dan NGO serta lembaga donor. Dalam Lokakarya tersebut telah disepakati
beberapa hal, yaitu:
1. Definisi Kesehatan Reproduksi mengacu kepada kesepakatan ICPD, seperti tersebut di atas.
Keluarga Berencana
Berbagai aspek kesehatan reproduksi lain, misalnya kanker serviks, mutilasi genital, fistula,
dll.
2
Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir
Keluarga Berencana
Selain itu disepakati pula Paket Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif (PKRK), yang
terdiri atas PKRE ditambah dengan Kesehatan Reproduksi pada Usia Lanjut.
4. Identifikasi Peran tiap sektor dan pihak terkait dalam upaya Kesehatan Reproduksi sesuai
dengan mandat institusi masing-masing perlu dilaksanakan secara integratif dan sinergis.
Perlu dibentuk Komisi Kesehatan Reproduksi sebagai Wadah koordinasi dalam upaya
kesehatan reproduksi yang terintegrasi antara instansi pemerintah, non-pemerintah dan
swasta.
Penerapan Paket Pelayanan Kesehatan reproduksi (PKRE dan PKRK) dilaksanakan melalui
pendekatan integrasi fungsional dan dilakukan secara bertahap.
Keterlibatan dan tanggung jawab pria serta anggota keluarga lainnya diperlukan untuk
mencapai kemitrasejajaran pria dan wanita dalam konteks kesehatan reproduki.
Data kesehatan reproduksi berwawasan jender (disagregasi data menurut jenis kelamin
dan umur) perlu dikumpulkan secara rutin dengan keterlibatan berbagai pihak terkait.
Sebagai tindak lanjut dari rekomendasi Lokakarya Nasional Kesehatan Reproduksi melalui pertemuan
terhadap lintas program dan sektor, tercapai kesepakatan untuk membentuk Komisi Kesehatan
Reproduksi. Melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 433/MENKES/SK/V/1998 tentang
Komisi Kesehatan Reproduksi dibentuklah Komisi tesebut yang terdiri atas empat Kelompok Kerja
(Pokja) sebagai berikut:
3
1. Pokja Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir
Hal yang berkaitan dengan pencegahan dan penanggulanganISR, termasuk PMS, HIV/AIDS dibahas
dalam semua Pokja, khususnya Pokja 1 dan 2. Selain itu, secara khusus masalah tersebut dibahas
secara khusus dalam Komisi Penanggulangan AIDS (KPA).
Dalam Mencari bentuk pelayanan integratif kesehatan reproduksi disepakati untuk lebih
berorientasi kepada kebutuhan klien. Adanya perbedaan sasaran dalam tiap komponen kesehatan
reproduksi dan perbedaan masalah pada tiap klien, menuntut adanya pelayanan yang
komprehensif, namun spesifik, dan sesuai dengan kebutuhan klien. Dengan demikian setiap
komponen program kesehatan reproduksi perlu memasukkan unsur komponen kesehatan
reproduksi lainnya untuk mendukung terciptanya pelayanan kesehatan reproduksi yang integratif
pada klien dan sesuai dengan kebutuhan klien.
3. Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau.
Berdasarkan visi dan misi tersebut, maka upaya kesehatan reproduksi yang dikembangkan akan
menekankan pentingnya aspek promotif dan preventif dalam rangka mendukung pencapaian
Indonesia Sehat 2010. Selain itu dalam era disentralisasi dewasa ini, penerapan upaya kesehatan
reproduksi diarahkan untuk mengatasi masalah kesehatan reproduksi setempat.
4
II. ANALISIS SITUASI KESEHATAN REPRODUKSI
Keadaan kesehatan reproduksi di Indonesia dewasa ini masih belum seperti yang diharapkan. Bila
dibandingkan dengan keadaan di negara ASEAN lainnya, Indonesia masih tertinggal dalam banyak
aspek kesehatanrepeproduksi. Di bawah ini keadaan dan masalah beberapa komponen kesehatan
reproduksi yang dapat memberikan gambaran umum tentang keadaan kesehatan reproduksi.
Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih sangat tinggi bila dibandingkan dengan negara-
negara sedang berkembang ASEAN lainnya. Pada tahun 1994 (SDKI) AKI di Indonesia adalah 390
per 100.000 kelahiran hidup. Penurunan AKI tersebut sangat lambat, yaitu menjadi 373 per
100.000 pada tahun 1995 (SKRT), sementara pada tahun 2000 ditargetkan menjadi 225 per
100.000 kelahiran hidup. Ada beberapa yang cukup antara AKI di Jawa-Bali dan luar Jawa-Bali
(SKRT 1995), MISALNYA DI Provinsi Jawa Tengah 248, Nusa Tenggara Timur 554, Maluku 796 dan
Papua 1025 per 100.000 kelahiran hidup. Hal ini mencerminkan adanya perbedaan dalam segi
geografis, demografis, akses dan kualitas pelayanan kesehatan serta sumber daya manusia.
Penyebab utama kematian ibu masih tetap perdarahan, sepsis dan eklamsia, di samping partus
lama dan abortus terkomplikasi. Perdarahan postpartum di banyak wilayah merupakan
penyebab kematian ibu terbesar, diperkiraan mencapai sekitar 40-50%.
Dalam rangka mempercepat penurunan AKI, sejak tahun 1989/1990 dimulai Program
Pendidikan Bidan bagi para lulusan Sekolah Pendidikan Keperawatan (SPK) selama 1 tahun.
Lulusan sekolah bidan tersebut kemudian ditempatkan di desa. Sejak itu sampai tahun 1996
telah dihasilkan lebih dari 54.000 bidan, sehingga hampir semua desa di Indonesia mempunyai
bidan. Bidan di desa yang semula direkrut sebagai pegawai negeri ini sejak tahun 1994
dipekerjakan berdasarkan kontrak selama 3 tahun,yang dapat diperpanjang selama 3 tahun
kedua. Pada tahun 2000, perpanjangan untuk 3 tahun ketiga mulai dilaksanakan, sambil
menunggu kesiapan bidan untuk mampu berpraktek secara mandiri atau kesiapan daerah untuk
mengangkat bidan sebagai tenaga daerah.
5
Keberadaan bidan di desa tampak memberikan kontribusi nyata terhadap cakupan pelayanan
kebidanan besar. Misalnya, cakupan akses pelayanan atenatal (K1) meningkat dari 74% pada
tahun 1993 menjadi 89% pada tahun 1997. Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan
meningkat dari 39,6% pada tahun 1993 menjadi 59,8% pada tahun 1997 dan sekitar 66% pada
tahun 1999, walaupun sekitar 70% persalinan tetap berlangsung di rumah.
Namun, masalah kematian ibu merupakan masalah yang kompleks, yang diwarnai oleh derajat
kesehatan, termasuk status kesehatan reproduksi dan status gizi ibu sebelum dan selama
kehamilan. Prevalensi anemia pada ibu hamil masih sekitar 50%, sementara prevalensi kurang
energi kronis masih lebih dari 30%. Sekitar 60% ibu hamil dalam keadaan yang mempunyai satu
atau lebih keadaan “4 terlalu” ( terlalu muda: kurang dari 20 tahun;tua; lebih dari 35 tahun;
sering: jarak antar-anak kurang dari2 tahun; banyak: lebih dari 3 anak). Prevalensi infeksi saluran
reproduksi diperkirakan juga cukup tinggi, karena rendahnya higiene perorangan dan
pemaparan terhadap PMS yang meningkat.
Kejadian kematian ibu juga berkaitan erat dengan masalah sosiobudaya, ekonomi, tradisi dan
kepercayaan masyarakat. Hal ini melatarbelakangi kematian ibu yang mengalami komplikasi
obstetric, yaitu dalam bentuk “3 terlambat”. 1) terlambat mengenali tanda bahaya dan
mengambil keputusan di tingkat keluarga, 2) terlambat mencapai tempat pelayanan kesehatan
dan 3) terlambat mendapat penanganan medis yang memadai di tempat pelayanan kesehatan.
Kejadian komplikasi obstetric terdapat pada sekitar 20% dari seluruh ibu hamil, namun dewasa
ini kasus komplikasi obstetric yang tertangani masih kurang dari 10% dari seluruh ibu hamil,yang
berarti kurang dari 50& dari perkiraan kasus. Target penanganan kasus komplikasi obstetric
yang ditetapkan untuk tahun 2005 adalah minimal 12% dari seluruh ibu hamil ( atau 60% dari
total kasus komplikasi obstetric).
Permasalahan kesehatan ibu tersebut merupakan refleksi dari masalah yang berkaitan dengan
kesehatan bayi baru lahir.Angka
6
Kematian bayi (AKB) di Indonesia (SDKI, 1997) masih di atas Negara-negara seperti Malaysia,
Thailand, Filipina dan Vietnam, yaitu 52 per 1000 kelahiran hidup. Walaupun demikian AKB
tersebut sudah menurun dari 74 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1991 dan 66 per 1000
kelahiran pada tahun 1994. Sekitar 40% kematian bayi terjadi pada bulan pertama
kehidupannya. Penyebab kematian pada masa perintal/neonatal pada umumnya
berkaitanndengan kesehatan ibu selama hamil, kesehatan janin selama di dalam kandungan dan
proses pertolongan persalinan yang diterima ibu atau bayi, yaitu asfiksia, hipotermia karea
prematuritas/BBLR, trauma persalinan dan tetanus neonatorum.
2. Keluarga Berencana
Program Keluarga berencana (KB) di Indonesia termasuk yang dianggap berhasil di tingkat
internasional. Hal ini terlihat dari kontribusinya terhadap penurunan pertumbuhan penduduk,
sebagai akibat dari penurunan angka kesuburan total (total fertility rate, TFR). Menurut SDKI,
TFR pada kurun waktu 1967-1970 menurun dari5,6 menjadi hamper setengahnya dalam 25
tahun, yaitu 2.8 pada periode 1995-1997.
Cakupan pelayanan KB (contraceptive prevalence rate, CPR) pada tahun 1987 adalah 48%, yang
meningkat menjadi 57% pada tahun 1997. dari proporsi tersebut 95% menggunakan cara
kontrasepsi modern, yang terdiri dari suntikan KB 21%, pil 15%, IUD 8%, implant 6%, tubektomi
3%, vasektomi 0.1% dan kondom 1%.Dari data ini terlihat bahwa partisipasi pria dalam berKB
masih sangat rendah, yaitu kurang dari 2%.
Besarnya proporsi peserta KB yang menggunakan suntikan dan KB pada masyarakat yang tingkat
sosioekonominya belum memadai memberikan risiko drop out KB yang cukup berarti. Proporsi
drop out peserta KB (discontinuation rate) menurut SDKI 1997 adalah 24%. Alasan penghentian
antara lain adalah 10% karna efek samping/alas an kesehatan, 6% karena ingin hamil dan 3%
karena kegagalan.
Data SDKI 1997 menunjukan pula bahwa perempuan berstatus kawin yang tidak ingin punya
anak lagi atau ingin menjarangkan kelahiran berikutnya tetapi tidak menggunakan cara
kontrasepsi
7
(unmet need) masih cukup tinggi yaitu 9%, yang terdiri dari 4% berkeinginan memjarangkan
kelahiran dan 5% ingin membatasi kelahiran. Angka ini sudah menurun dibandingkan dengan
tahun 1994 sebesar 11% dan pada tahun 1991 sebesar 13%. Penyebab masih tingginya angka
ini, antara lain kualitas informasi dan pelayanan KB, serta missed opportunity pelayanan KB pada
pasca-persalinan.
Namun, seperti dikemukakan di atas, sekitar 65% ibu hamil mempuinyai satu atau lebih keadaan
“4 terlalu” (terlalu muda, tua, sering dan banyak). Hal ini menunjukkan bahwa masih jauh lebih
banyak terjadi kehamilan yang perlu dihindari, walaupunangka unmet need hanya 9%, yang juga
sekaligusmenunjukkan bahwa kesadaran berKB pada pasangan yang paling membutuhkan
pelayanan KB (karena umur istri terlalu muda/tua, masih mempunyai anak kurang dari 2 tahun,
atau mempunyai anak lebih dari 3) belum mantap.
Jenis ISR dibagi menjadi 3 kategori : (1) Penyakit Menular Seksual (PMS) meliputi infeksi klamida,
gonore, trikomoniasis, sifilis, ulkus mole, herpes kelamin, dan infeksi human immunodeficiency
virus (HIV); (2) Infeksi endgen karena prertumbuhan berlebihan kuman yang biasanya ada di
saluran reproduksi wanita normal, seperti vaginosis bacterial dan kandidiasis vulvovaginal; (3)
Infeksi iatrogenik, yaitu infeksi yang terjadi karena dilakukannya tindakan medis.
Dan berbagai penelitian terbatas diketahui angka prevalensi ISR di Indonesia cukup tinggi,
misalnya penelitian pada 312 wanita klien KB di Jakarta Utara (1997): angka prevalensi ISR
24,7% dengan infeksi klamida yang tertinggi, yaitu 10.3%, kemudian trikomoniasi 5,4%, dan
gonore 0,3%. Penelitian lain di Surabaya pada 599 wanita hamil didapatkan infeksi vius herpes
simpleks sebesar 9,9%, klamida 8,2%, trikomoniasis 4,8%,gonore 0.8% dan sifilis 0,7%. Suatu
survey di 3 puskesmas di Surabaya (1999) pada 195 wanita pengunjung KIA/BP diperoleh
proporsi tertinggi infeksi trikomoniasis 6,2%, kemudian sifilis 4,6%, dan klamidia 3,6%.
8
Jumlah Kumulatif penderita HIV/AIDS yang dilaporkan sakit sampai juni 2001 mencapai 2150
kasus, dengan jumlah kasus HIV 1572 dan jumlah kumulatif kasus AIDS sebanyak 578, termasuk
yang telah meninggal 241 orang. Dari penderita AIDS tersebut,457 kasus (79,1%) adalah pria dan
131 wanita. Dari segi usia penderita AIDS: 20-29 tahun (37.7%);30-39 tahun (34%) dan 40-49
tahun (12,5%).Pada tahun 2000, urutan jumlah kasus terbanyak sebagai berikut: Jakarta (362),
Irja (312),Riau (115) dan Jawa Timur (103). Namun Urutan Angka Prevalensi HIV/AIDS tertinggi
secara berturut-turut adalah Irja (4,85), Jakarta (1.33), Bali (0.76) dan Riau (0.32) per 100.000
penduduk. Penularan terutama melalui hubungan seksual (70%), yaitu 57% bersifat
heteroseksual dan 15% homoseksual, sedangkan 18% melalui penggunaan alat suntik (pada
penderita ketergantungan narkotika). Jumlah penderita HIV/AIDS yang sebenarnya diperkirakan
100 kali lipat dari jumlah yang dilaporkan.
Upaya pencegahan dan penanggulangan ISR di tingkat pelayanan dasar masih jauh dari yang
diharapkan. Upaya tersebut baru dilaksanakan secara terbatas di beberapa provinsi, berupa
upaya pencegahan dan penanggulangan PMS dengan pendekatan sindrom melalui pelayanan
KIA/KB. Hambatan sosiobudaya sering mengakibatkan ketidak-tuntasan dalam pengobatannya,
sehingga menimbulkan komplikasi ISR yang serius seperti kemandulan, keguguran, dan
kecacatan pada janin.
Masalah kesehatan reproduksi remaja selain berdampak secara fisik, juga dapat berpengaruh
terhadap kesehatan mental dan emosi, keadaan ekonomi dan kesejahteraan social dalam jangka
panjang. Dampak jangka panjang tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap remaja itu
sendiri, tetapi juga terhadap keluarga, masyarakat dan bangsa pada akhirnya. Permasalahan
prioritas kesehatan reproduksi pada remaja dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Kehamilan tak dikehendaki, yang seringkali menjurus kepada aborsi yang tidak aman dan
komplikasinya,
Kehamilan dan persalinan usia muda yang menambah risiko kesakitan dan kematian ibu dan
bayi,
9
Masalah PMS, termasuk infeksi HIV/AIDS
Tindak kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual dan transaksi seks
komersial.
Kehamilan remaja kuran dari 20 tahun memberi resiko kematian ibu dan bayi 2-4 kali lebih tinggi
dibandingkan kehamilan pada ibu berusia 20-35 tahun. Beberapapenelitian dalam skala kecil tentang
remaja memberikan gambaran tentang prilaku reproduksi kelompok populasi berumur 10-19 tahun yag
belum menikah. Pusat PenelitianKesehatan UI mengadakan penelitian di Manado dan Bitung (1997), dan
menunjukan bahwa 6% dari 400 pelajar SMU puteri dan 20% dari 400 pelajar SMU putera pernah
melakukan hubungan seksual. Survei Depkes (1995/1996) pada remaja usia 13-19 tahun di Jawa Barat
(1189) dan di Bali (922) mendapatkan 7% dan 5% remaja puteri di Jawa Barat dan Bali mengakui pernah
terlambat haid atau hamil. Di Yogyakarya, menurut data sekunder tahun 1996/1997, dari 10.981
pengunjung klinik KB ditemukan 19,3% yang datang dengan kehamilan tidak dikehendaki dan telah
melakukan hubungan seksual tindakan pengangguran disengaja sendiri secara tidak aman. Sekitar 2%
diantaranya berusia dibawah 22 tahun. Dari data PKBI Sumbar tahun 1997 ditemukan bahwa remaja
yang telah melakukan hubungan seksual sebelum mengakui kebanyakan melakukannya melakukannya
pertama kali pada usia antara 15-18 tahun.
Keadaan di atas diperburuk oleh kenyataan bahwa derajat kesehatan fisik remaja belum optimal. Sekitar
35% remaja puteri menderita anemia dan sebagian diantaranya juga menderita kurang energi kronis
(KEK). Hal ini menunjukan ketidaksiapan remaja puteri secara fisik untuk menghadapi kehamilan di
kemudian hari.
Keadaan merisaukan lainnya yang sulit dipisahkan dari kesehatan reproduksi remaja adalah
meningkatnya masalah ketergantungan napza (narkotika, psikhotropika dan zat adiktif lainnya, termasuk
merokok) pada remaja. Ketergantungan napza ini sering diikuti dengan hubungan seksual diluar nikah,
dengan berganti-ganti pasangan, sehingga meningkatkan resiko penularan PMS, termasuk HIV/AIDS,
sementara pemakaian alat suntik secara bergantian juga menimbulkan risiko tersebut.
Informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi remaja dewasa ini belum memadai, dan kebanyakan
baru ditangani oleh lembaga
10
Swadaya masyarakat di kota-kota besar. Fasilitas kesehatan di tingkat pelayanan dasar belum banyak
menyediakan pelayanan tersebut, sehingga remaja belum mendapat bekal pengetahuanyang cukup
untuk menjalani perilaku reproduksi sehat. Mereka belum sepenuhnya mengetahui cara melakukan
kegiatan promotif dan preventif dalam kesehatan reproduksi remaja.
Masalah kesehatan reproduksi lainnya masih banyak ditemukan, misalnya masalah kesehatan usia
lanjut, aborsi, kanker leher rahim dan payudara, infertilitas, ketimpangan jender,kekerasan
perempuan, dll. Namun data yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut masih sulit
diperoleh.Keterbatasan data ini bukan berarti bahwa aspek kesehatan reprduksi tersebut tidak
bermasalah
Masalah kesehatan usia lanjut semakin meningkat bersamaan dengan bertambahnya presentase
penduduk usia lanjut. Masalah prioritas pada kelompok ini antara lain meliputi gangguan pada masa
menopause, osteoporisis, kanker prostate, dan penyakit kerdiovaskular serta penyakit degeneratif,
yang dapat berpengaruh terhadap organ reproduksi. Di samping itu, kekurangan gizi dan gangguan
otot serta sendi sering memperburuk keadaan tersebut.
Aborsi merupakan isu controversial, karena dalamkesepakatan pada ICPD 1994 di Kairo, dan
konferensi internasional lain yang menindaklanjutinya,hak reproduksi antara lain meliputi hak untuk
mendapatkan pelayanan aborsi yang aman. Menurut perundangan yang berlaku saat ini, tindakan
aborsi diluar indikasimedis adalah legal. Sebagai akibatnya, wanita dengan kehamilan yang tidk
diinginkan akibat kegagalan KB, pemerkosaan, atau karena alasan ekonomi, dan kehamilan diluar
nikah, cenderung mencari pertolongan aborsi yang tidak aman, sehingga sering mengakibatkan aborsi
yang komplikasi, Aborsi terkomplikasi ini diperkirakan memjadi penyebab dari 15% kematian ibu.
Kanker leher rahim merupakan kanker tersering yang ditemukan pada wanita usia subur. Kebanyakan
kasus disebabkan oleh infeksi virus human papilloma virus (HPV). Kanker ini bila ditemukan pada
stadium dini mempunyai prognosis yang cukup
11
Baik. Namun, upaya skrining di kalangan wanita usia subur biasa dewasa ini terbatas, dan belum
mencapai kalangan yang tingkat sosioekonominya rendah. Metodeskrining dengan pap smear cukup
mahal dan memerlukan teknologi yang canggih. Dewasa ini sekarang dikembangkan metode inspeksi
visual dengan menggunakan asam cuka.
Kejadian kanker payudara menempati urutan kedua setelah kanker leher rahim. Jenis kanker ini juga
mempunyai prognosis yang cukup baik bila ditemukan pada stadium dini. Deteksi kanker ini bias
dilakukan sendiri dengan metode periksa payudara sendiri (SADARI).
Berbagai masalah kesehatan reproduksi dilatarbelakangi oleh ketimpangan jender. Beberapa contoh
misalnya keputusan untuk mencari pelayanan kasehatan bagi perempuan seringkali berada ditangan
suami atau mertua. Demikian pula tanggung jawab untuk berKB sering dibebankan kepada
perempuan. Perempuan berada dipihak yang lemah ketika menuntut hubungan seksual yang aman
dengan paangannya. Adaemikian pula pada hubungan seksual diluar nikah, pihak perempuan selalu
dipersalahkan dan dituntut untuk menanggung segala akibatnya.
Kekerasan berbasis jender antara lain timbul dalam bentuk kekerasan terhadap perempuan (KtP). KtP
yang sering ditemukan adalah kekeran dalam rumah tangga (KDRT), yang seringkali terjadi antara
suami-isteri atau pasangan yang mempunyai hubungan dekat. Masalah KDRT ini dikatakan seperti
“wabah yang tersembunyi”, kaerna prevalensinya diduga cukup besar namun tidak mengemuka.
Penderita biasanya cenderung menyembunyikannya, karena dipandang sebagai aib keluarga. Efeknya
mungkin fatal, atau non-fatal, yang meliputi gangguan system dean fungsi reproduki, di samping
gangguan psikhis dan mental yang cukup berat.
12
III. KEBIJAKSANAAN, STRATEGI DAN KEGIATAN POKOK
Kebijaksanaan umum yang diterapkan dalam kesehatan reproduksi mengikuti paradigma baru, yaitu
sebagai berikut.
Strategi yang diterapkan dalam melaksanakan kebijakan umum tersebut sebagai berikut.
1. Meningkatkan upaya advokasi dan komitmen politis di tiap tingkat administrasi untuk
menciptakan suasana yang mendukung dalam pelaksanaan program kesehatan reproduksi.
2. Menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi terpadu yang merata dan sesuai dengan
kewenangan di tiap tingkat pelayanan.
4. Mengenbangkan upaya kesehatan reproduksi dengan prioritas sesuai dengan masalah spesifik
daerah, minimal meliputi paket PKRE, sebagai bagian dari proses desentralisasi.
5. Menerapkan program keshatan reproduksi melalui keterlibatan program, sector dan pihak
terkait, termasuk organisasi profesi, agen donor, LSM dan masyarakat.
6. Meningkatkan kesetaraan dan keadilan jender, termasuk meningkatkan hak perempuan dalam
kesehatan reproduksi.
7. Meningkatkan penelitian dan pengumpulan data berwawasan jender yang berkaitan dengan
kesehatan reproduksi dalam rangka mendukung kebijaksanaan program dan peningkatan kualitas
pelayanan.
Penurunan AKI dari 373 (1997) menjadi 150 per 100.000 kelahiran hidup.
13
Penurunan AKB dari 52 (1997) menjadi 25 per 1000 kelahiran hidup.
Peningkatan cakupan akses pelayanan atenatal (K1) dari 89% (tahun 1998) menjadi 95%.
Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dari 60% (tahun 1998) menjadi 90%.
Cakupan pelayanan nifas bagi ibu dan bayi baru lahir 90%.
2. Keluarga Berencana
Penurunan prevalensi kehamilan “4 terlalu” menjadi 50% dari angka pada tahun 1997.
3. Penanggulangan PMS/HIV-AIDS
Prevalensi gonore dikalangan kelompok berprilaku risiko tinggi menjadi kurang dari 10%.
Prevalensi infeksi HIV dikalangan kelompok berperilaku risiko tinggi menjadi kurang dari 1%
4. Kesehatan Remaja
Cakupan pelayanan kesehatan remaja melalui jalur sekolah 85%, dan melalui jalur luar
sekolah minimal 20%.
Strategi oprerasional yang diterapkan dalam mencapai target tersebut sebagai berikut.
14
Kesepakatan dan dukungan politis dalam pelaksanaan upaya kesehatan reproduksi.
2. Upaya kesehatan reproduksi didaerah dikembangkan untuk memngatasi masalah setempat dan
disesuaikan dengan kebutuhan, namun minimal mencakup paket PKRE.
3. Mengembangkan standar pelayanan tiap jenis pelayanan kesehatan reproduksi yang secara
relevan menampung aspek kesehatan reproduksi lainnya.
5. Upaya kesehatan reproduksi diterapkan dengan pendekatan kesetaraan dan keadilan jender.
7. Optimalisasi keterlibatan secara aktif pihak-pihak terkait, misalnya: sector terkait, organisasi
profesi, agen donor, LSM dan masyarakat dalam upaya peningkatan kesehatan reproduksi,
termasuk penelitian pendukungnya.
Kegiatan pokok yang perlu dilakukan sebagai penjabaran strategi di atas dapat dikategorikan dalam
tiga kelompok sebagai berikut.
Agar pelayanan kesehatan reproduksi bersifat responsive terhadap kebutuhan klien, maka
setiap pelayanan yang diberikan perlu
15
Bersifat integrative. Dengan demikian, pelayanan kesehatan reproduksi yang dibutuhkan seorang
klien perlu menampung aspek pelayanan kesehatan reproduksi lainnya yang relevan, dengan
tetap mengikuti standar pelayanan yang berlaku bagi masing –masing jenis pelayanan. Beberapa
contoh keterpaduan pelayanan sebagai berikut, yang secara skematis juga digambarkan pada
Bagan Alur Pelayanan seperti pada Lampiran
Pelayanan atenatal, persalinan dan nifas memasukkan unsur pelayanan pencegahan dan
penanggulangan PMS serta melakukan motifasi klien untuk pelayanan KB dan
memberikan pelayanan KB postpartum. Dalam pertolongan persalinan dan penanganan
bayi baru lahir perlu diperhatikan pencegahan umum terhadap infeksi.
b. Pelayanan KB
Pelayanan kesehatan reproduksi remaja yang bersifat promotif dan preventif terfokus
pada pelayanan KIE/konseling, yang memasukkan materi-materi Family Life Education
(a.I. meliputi komponen di atas) dan Life Skill Education.
16
Pelayanan kesehatan reproduksi remaja memperhatikan aspek fisik, termasuk
kesehatan dan gizi, agar remaja – khususnya rwemaja putri-dapat dipersiapkan menjadi
calon ibu yang sehat.
Pelayanan kesehatan reproduksi remaja secara khusus bagi remaja bermasalah dengan
memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan masalahnya, misalnya kehamilan
diluar nikah, kehamilan remaja, remaja dengan ketergantungan napza, dll.
Pelayanan kesehatan reproduksi usia lanjut lebih ditekankan untuk meningkatkan kualitas
hidup pada usia lanjut. Selain upaya promotif dan preventif, pengembangan upaya
kesehatan reproduksi usia lanjut juga ditujukan untuk mengatasi masalah yang sering
ditemukan pada usia lanjut, misalnya masalah menopause/andropouse dan pencegahan
osteoporosis serta penyakit degeneratif lainnya.
Kegiatan pendukung meliputi berbagai kegiatan untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan
program dan pelayanan kesehatan reproduksi.
a. Penanganan masalah social yang berkaitan erat dengan kesehatan reproduksi antara lain:
Kegiatan untuk mengatasi masalah ini dilaksanakan secara lintas program dan lintas sektor,
khususnya Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Bentuk kegiatan yang dapat
dilakukan oleh sektor kesehatan antara lain:
17
Meningkatkan peran serta laki-laki dalam kesehatan reproduksi.
Menangani kasus kekerasan terhadap prerempuan, baik dalam aspek medis, maupun
KIE/konseling dalam mengatasi masalah klien untuk mendapatkan pelayanan lainnya.
Kegiatan advokasi dan mobilisasi sosial diperlukan untuk pemantapan dan perluasan
komitmenserta dukungan politis dalam upaya mengatasi masalah kesehatan reproduksi.
Instansi pemerintah yang banyak bergerak dalamaspek ini ditingkat nasional a.I. BKKBN dan
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Contoh kegiatan advokasi dan
mobilisasisosial antara lain adalah Gerakan Sayang Ibu (GSI).
Dalam penanganan masalah kesehatan reproduksi diperlukan koordinasi lintas sektor dan
lintas program. Untuk itu di tingkat nasional dicunakan forum Komisi Kesehatan Reproduksi
dan forum-forum lain yang bersifat fungsional.
d. Pemberdayaan masyarakat.
f. Peningkatan ketrampilan.
Dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan reproduksi antara lain diperlukan
kegiatan untuk meningkatkan ketrampilan. Kegiatan ini diupayakan agar terlaksana secara
terpadu, efektif dan efisien.
18
IV. PELAKSANAAN PELAYANAN KESEHATAN
REPRODUKSI ESENSIAL
Baik PKRE maupun PKRK sebenarnya merupakan sekumpulan pelayanan yang telah ada, baghkan
sebagian telah lama dilaksanakan dan telah jauh berkembang, seperti pelayanan kesehatan ibu dan bayi
baru lahir dan pelayanan KB. Di samping itu ada pelayanan yang relative baru atau masih dalam tahap
pengembangan, seperti pelayanan kesehatan reproduksi remaja, pelayanan pencegahan dan
penanggulangan PMS, termasuk HIV/AIDS dan pelayanan kesehatan reproduksi usia lanjut. Selain itu
karakteristik sasaran dan masalah dari tiap komponen pelayanan kesehatan reproduksi sangat berbeda,
sehingga memerlukan pendekatan yang berbeda pula dalam pengelolanya.
Hal yang baru dan perlu diperhatikan dalam implementasi PKRE adalah pelaksanaan paradigma
baru,seperti dikemukakan dalam kebijaksanaan kesehatan reproduksi, yaitu: 1) mengutamakan
kepentingan klien dengan memperhatikan hak reproduksi, kesetaraan dan keadilan jender, 2)
menggunakan pendekatan siklus kehidupan dalam menangani masalah kesehatan reproduksi, 3)
memperluas jangkauan pelayanan kesehatan reproduksi secara proaktif dan 4) meningkatkan kualitas
hidup masyarakat melalui pelayanan kesehatan reproduksi berkualitas.
19
C. KARAKTERISTIK SASARAN DAN MASALAH TIAP
KOMPONEN PKRE
Seperti dikemukakan diatas, karakteristik sasaran dan masalah tiap komponen PKRE berbeda-beda.
Di bawah ini gambaran umum tentang kompleksnya masalah yang saling terkait antar-komponen PKRE
tersebut.
Perilaku hidup sehat selama kehamilan masih kurang diperhatikan, a.I. kebutuhan gizi,
istirahat,pemeriksaan kehamilan, perawatan diri, pertolongan persalinan oleh nakes;
Sekitar 20% ibu akan mengalami komplikasi obstetri yang dapat mengancam jiwa ibu dan/atau
janin, yang kebanyakan tak dapat diramalkan sebelumnya dan pada umumnya terjadi sekitar
persalinan;
Kesadaran akan kemungkinan timbulnya dan pengenalan akan komplikasi kehamilan masih
rendah; sehingga bila terjadi komplikasi yang memerlukan pertolongan cepat, keluarga tidak
siap.
Keadaan ibu hamil, bersalin dan nifas di tingkat nasional dewasa ini adalah bahwa lebih dri 85%
telah memeriksakan kehamilannya paling sedikit satu kali selama kehamilannya, nmun hanya
sekitar 65% yang persalinannya ditolong oleh tenaga kesehatan. Kondisi kesehatan ketika memasuki
kehamilan belum belum separti yang diharapkan, yaitu 65% hamil pada usia terlalu muda (<20
tahun), terlalu tua (>35% tahun), terlalu sering hamil (jarak <2 tahun) dan terlalu banyak anak (>3
anak): lebih dikenal dengan keadaan “4 terlalu”. Akibatnya, banyak ibu yang tidak menginginkan
kehamilannya yang melakukan upaya aborsi yang tidk aman. Sekitar 50% menangani anemia dan
lebih dari 30% menderita kurang energi kronis (KEK). Lebih buruk lagi adalah kenyataan bahwa
kurang dari 10% prkiraan kasus yang mengalami komplikasi persalinan mendapat pelayanan
obstetri yang mampu
20
Menyelamatkan kehidupan ibu dan/atau janinnya, sehingga tidaklah mengharankan bahwa AKI
masih sekitar 375 per 100.000 kelahiran hidup dan 40% kematian bayi terjadi pada bulan pertama
kehidupannya. Kesenjangan antar-kalangan sosial cukup lebar, sehingga angka-angka tersebut jauh
lebih buruk di lingkungan keluarga miskin dan keluarga tertinggal.
Masalah tersebut masih dilatarbelakangi oleh keadaan soaial, tingkat pendidikan yng rendah,
marjinalisasi perempuan akibat ketidaksetaraan dan ketidakadilan jender, yang juga mengarah
kepada kekerasan terhadap perempuan dan perlakuan yang merendahkan derajat perempuan.
Semuanya itu menunjang terjadinya keadaan “3 terlambat”, yaitu terlambat mengenali tanda
bahaya dan mengambil keputusan di tingkat keluarga, terlambat mendapat pelayanan medis yang
memdai di tempat pelayanan kesehatan.
2. Keluarga Berencana
Sekitar 57% pasangan usia subur (PUS) telah berKB, yaitu 36% menggunakan metode suntikan
(21%) dan pil (15%), yang memberikan tingkat drop out tertinggi. IUD yang tingkat drop outnya lebih
rendah, penggunaannya hanya 8%, sedangkan implant –yang dalam masa krisis ekonomi dirasakan
terlalu mahal – 6%. Tingkat drop out keseluruhan mencapai 24%.
Partisipasi pria dalam berKB sangat rendah (kurang dari 2%). Hal ini lebih nyata dari perbandingan
antara MOP dan MOW (0,1 dan 3%), karena MOP jauh lebih mudah dilaksanakan dan lebih kecil
risikonya dibandingkan MOW . Dari gambaran ini tampak bahwa perempuan mendapat beban
tambahan untuk pengaturan fertilitasnya, di samping beban yang menjadi kodrat kewanitaannya
seperti haid, hamil, m4elahirkan dan menyusui.
Seperti dikemukakan di atas, sekitar 65% kehamilan disertai satu atau lebih keadaan “4 terlalu”
(terlalu muda, tua, sering, dan banyak). Hal ini menunjukan bahwa masih jauh lebih banyak terjadi
kehamilan yang perlu dihindari, walaupun angka unmet
21
Need hanya 9%, yang juga sekaligus menunjukan bahwa kesadaran berKB pada pasangan yang
paling membutuhkan KB pada pasangan yang paling membutuhkan KB belum cukup mantap.
Akibatnya, masih banyak ditemukan kehamilan yang tidak diinginkan dan mengarah kepada
tindakan aborsi yang tidak aman.
Penderita PMS kebanyakan dari kelompok umur 20-40 tahun, walaupun ada penderitaan pada usia
yang lebih muda atau tua. Prwevalensi PMS tinggi pada kelompok dengan berisiko, yang berganti-
ganti pasangan seksual, yang sering dikaitkan dengan profesi tertentu, misalnya pekerja seks
komersial, supir truk, pelaut, dsb.
PMS merupakan penyakit yang telah lama dikenal, namun sejak pertengahan tahun 198-an
mendapat perhatian besar karena munculnya pandemi HIV/AIDS, yng belum dapat disembuhkan
dan akan berakhir dengan kematian. Seseorang yang menderita PMS mempunyai risiko empat kali
lebih besar untuk tertulari HIV/AIDS. Metoda diagnosis HIV/AIDS yang sangat mahal menuntut
program untuk menggunakan PMS sebagai predictor terhadap risiko penularan HIV/AIDS. Selain
itu, penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik, terutama pada penderita ketergantungan napza dan
antara ibu dan janin/bayi baru lahir makin merisaukan, sehingga perlu perhatian pula.
Perwempuan berada pada pihak yang lemah ketika menuntut hubungan seksual yang aman. Hal ini
dilatarbelakangi oleh dominasi pria atau subordinasi wanita di masyarakat. Sebagai akibatnya,
banyak wanita berisiko tinggi terhadap penularan PMS, bila pasangannya mempunyai partner
seksual ganda.
Pelayanan pencegahan dan penanggulangan PMS di tingkat pelayanan dasar dewasa ini baru
dalam tahap pengembangan, yaitu dengan menggunakan pendekatan sindrom melalui pelayanan
KIA/KB dan kewaspadaan umum dalam pencegahan infeksi. Kendala yang ditemukan dalam upaya
tersebut antara lain:
22
Terbatasnya kemampuan pelaksana pelayanan ditingkat dasar,
Hambatan sosiobudaya yang sering mengakibatkan pengobatan hanya sepihak saja, karena
isteri tidak berani mengajak suaminya berobat, dan ketidak-tuntasan dalam pengobatan.
Masa remaja merupakan masa yang penuh pencarian identitas dalam proses menuju
kedewasaan.
Terjadi berbagai perubahan fisik dan psikis, yang sering membingungkan remaja.
Lebih mudah berkomunikasi dengan sebayanya atau pihak yang dapat memahami
kebutuhan remaja.
Pengetahuan tentanh kesehatan reproduksi remaja relative rendah, namun klejadian KEK
dan anemia relative masih tinggi, yaitu sekitar 25% dan 35%, yang mrnggambarkan
ketidaksiapan remaja puteri secara fisik untuk menghadapi kehamilan dikemudian hari.
Kehamilan tak dikehendaki, yang seringkali menjurus kepada aborsi yang tidak aman
dan komplikasinya,
Penularan PMS, termasuk HIV/AIDS, yang sering terkait dengan ketergantungan napza
dan hubungan seksual bebas,
Tindak kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual dan transaksi seks
komersial.
Dalam menangani masalah kesehatan reproduksi remaja, tak dapat dipisahkan dari penanganan
kesehatan remja segara utuh, karena masalah-masalah diatas biasanya diawali oleh sikap dan
perilaku yang tidak sehat.
23
D. PELAKSANAAN PKRE PADA TIAP PELAYANAN
Dalam penerapannya, PKRE dilaksanakan di tiap tingkat pelayanan, sesuai dengan kewenangan tiap
tingkat. Pada table di bawah ini dapat dilihat PKRE minimal di tiap tingkat pelayanan kesehatan.
24
Komponen Pelayanan di Tingkat Desa Pelayanan di Tingkat Pelayanan di Tingkat
PKRE Puskesmas Rujukan Primer
Untuk memperjelas keterpaduan antar-pelayanan tersebut dapat dilihat contoh Bagan Alur Pelayanan
seperti pada lampiran
25
V.PEMANTAUAN DAN EVALUASI
Pelaksanaan program dan pelayanan kesehatan reproduksi perlu dipantau dan dievaluasi secra
berkala. Banyak indicator yang dapat digunakan dalam memantau kemajuan program kesehatan
reproduksi, namun pelu dipilih beberapa indicator yang dipandang strategis dalam menggambarkan
keadaan. Di bawah ini adalah contoh beberapa indicator strategis yang dapat digunakan, secara
komposit, untuk memantau kemajuan program kesehatan reproduksi (esensial) sebagai berikut.
2. Keluarga Berencana:
Pemantauan pelayanan kesehatan reproduksi bersifat lebih teknis dan sangat terkait dengan kualitas
pelayanan. Pemantauannya dilaksanakan melalui supervisi teknis, dengan membandingkan pelaksanaan
pelayanan terhadap standar pelayanan yang berlaku. Kesenjangan antara keduanya dijadikan masukan
untuk penyusunan rencna spesifik dalam upaya peningkatan pelayanan.
26
VI. PENUTUP
Sejak ICPD 1994 berbagai penyesuaian dan pergeseran pendekatan, serta pengembangan program
perlu dilakukan di aiandonesia. Sejalan dengan era desentralisasi, seyogianya daerah dapat
menerjemahkan dan mengembangkan upaya kesehatan reproduksi sesuai dengan prioritas masalah
di pripinsi masing-masing, namun minimal meliputi paket pelayanan kesehatan reproduksi esensial.
Implementasi PKRE perlu dilaksanakan secara pragmatis, karena selalu ada keterbatasan berbagai
sumber sementara upaya yang dilakukan sebenarnya bukan hal yang sama sekali baru. Namun
perubahan pendekatan yang dihembuskan sejak ICPD 1994 hendaknya tetap dapat ditangkap
esensinya, karena pada akhirnya bertujuan mulia, yaitu untukj meningkatkan kualitas hidup
manusia, khususnya dalam aspek kesehatan reproduksi.
Msalah kesehatan reproduksi merupakan masalah yang kompleks dan memerlukan penanganan
secara lintas program, lintas sektor dan lintas disiplin ilmu dengan memperhatikan kesetaraan dan
keadilan jender. Berbagai masalah kesehatan reproduksi berkaitan erat dengan isu tersebut dan hak
reroduksi bagi wanita. Keterkaitan yang erat antara masalah kesehatan reproduksi dengan masalah
di luar ruang lingkup bidang kesehatan ini menuntut adanya upaya koordinasi yang intensif.
27
BAGAN ALUR PELAYANAN ANTENATAL
ANA MNESIS
I dentitas
Stat us ke s
- Riwayat pen y, yang pernah diderita
- Riwayat pen y. yang sedang diderita
K eluh an sela ma kehamilan
PEMERIKSAAN FISIK :
Umum : TB, BB, TD, jantun g, paru, kon jun gtiva
ben gka k pa da tangan/waja h, re fleks lu tut
Kehamilan :
- TFU, DJJ
- P ayud ara
- Vu lva :a.I. tan da PMS
Lab oratoriu m : Hb, Urin e
PELAYAN AN :
TTD
TT
Nasehat & Konselin g (sesua i umur keh amilan)
28
BAGAN ALUR PELAYANAN ANTENATAL
A NAMN ESIS :
Keluhan :
- Perkembangan keluhan y.I
- Adakah keluhan baru
Perawatan diri :
- Makanan yang dikonsumsi - Higiene diri (kebersihan, gigi & OR)
- Istirahat & K erja - K tp, PMS
Adanya t anda bahaya :
- Perdarahan, per vaginam
- Pusing hebat & bengkak pada wajah/tangan
- Janin t idak bergerak
Upaya pencegahan :
- TTD
- Suntik TT
Umur kehamilan menurut perkiraan Ibu
Hal-hal yang ingin ditanyakan
PEMERIKSAAN FISIK :
Umum : TB, BB, TD, konjungtiva bengkak
pada tangan/ wajah, refleks lutut
Kehamilan :
- TFU, DJJ - Vulva :a.I. tanda PMS
- Payudara - Leopold I-IV
Laboratorium : Hb, Urine at as indikasi
PELAYANAN :
TTD
TT
Nasehat & Konseling (sesuai umur kehamilan)
29
BAGAN ALUR PELAYANAN PERSALINAN
ANAMNESIS : (pa da Kead aan mend esak anamne sis dapat dilakukan
be rsama den gan pemeriksaan fisik
Identitas (bila belum pe rnah datang)
Pemeriksaan ke hamilan yang pernah d ila kukan dan o leh siapa
Riwayat keh amilan yang dan p ersalinan yang lalu
Riwayat keh amilan sekarang
Riwayat kesehatan Ibu
Adanya tanda-tanda persalinan (HIS, ketuba n dan show)
Adanya tanda-tanda komplikasi persa lin an
PEMERIKSAAN FISIK :
Umum : TD, Konjungtiva, b engka k pada ta ngan/wajah, refleks lutut
Abdom en : TFU, DJJ, Le opold I-IV, jan tung, paru
Inspe ksi Vulva :
- Ada/t idak ada perdarahan per vaginam. Bila ada perdarahan
pervagnam pe meriksaan d alam h arus dilakukan di kamar
ope rasi sehingga perlu diujuk
- Tand a-tn da PMS
Pemeriksaan dalam (bila tida k ada perdara hn per vag inam)
KONSELING
Perawatan ibu
Perawatan ba yi baru lahir
Ta nda bahaya pada ibu da n pada bayi ba ru lahir
KB p ost partum
30
BAGAN ALUR PELAYANAN NIFAS
KUNJUNGAN NIFAS
IBU IBU
31
BA GA N ALUR PELAYANA N KB
KLIEN
AN AMNESIS : AN AMNESIS :
Identitas Statu s metode KB sekarang
Metode KB yang d iiginkan/yang pernah Tujua n datang & keluhan yang ada
dipakai Status kesehatan
Status kesehatan : - Riwayat penyakit yang pernah
diderita
- Riwayat penyakit yang pernah diderita
- Penyakit yang sedang diderita
- Penyakit yang sedang diderita
Status kes. Reproduksi
Status Kespro :
- Hamil/tidak hamil, Paska
- Hamil/tidak hamil, paska-keguguran
Keguguran
- 4 “terlalu” - 4 “terlalu”
- resiko penularan PMS - resiko penularan PMS
- Ktp - Ktp
PELAYANAN KONTRASEPS I:
Informasi mengenai hasil PELAYANAN KONTRASEPSI:
pem eri ksaan Informasi mengenai hasil
Kel ayakan metode yang dipilih pemeriksaan
dikai tkan dengan kondisi kesehatan Pemberian/pelayanan ulang
calon akseptor Pelayanan penanganan keluhan/
Pem berian pel ayanan + penjel asan di rujuk
tindakan yang dilakukan
32
BAGAN ALUR PELAYANAN KESEHATAN REMAJA
KONTAK REMAJA
ANAMNESISI
Id entitas
Apa ya ng sud ah dke tahui te ntang kes. reproduksi re maja :
- Perubah an fisik & psikis
- Masalah yang m ungkin timbul
- Cara mengha dapi m asalah
Apa ya ng sud ah diketahui ttg prilaku hidup sehat bagi rema ja
- Pem elihara an ke sehatan diri (gizi, hygiene)
- Hal - hal ya ng perlu d ihindari : nap za, termasuk rokok dan minuman keras ;
se rta pe rgau lan be bas
- Hubunga n antara laki-laki & perempu an
Apa ya ng sud ah diketahui tentang p ersiapa n berkeluarga
- ke hamilan
- KB
- PMS/HIV/AI DS
M asalah yang dihadapi
- Fisik
- Psikis
- Kekerasan
- Pergaulan antara laki-laki & p erem puan
PELAYANAN KONSELING
Keseha ta n Reproduksi Re maja
Perilaku hidup sehat bagi remaja
Persiapa n berkeluarga
Konseling untuk mengatasi ma salah ya ng dih adapi bila tidak d apat
ditangani dirujuk ke fasilitas ke sehatan yang sesuai
33
BAGAN ALUR PELAYANAN KESEHATAN REMAJA
ANAMNESIS
Identitas
Kapan melakukan hubungan seksual
Resiko penularan PMS
Perkiraan umur kehamilan
Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT)
Keluhan yang dirasakan
Riwayat KtP
Dukungan keluarga/orang terdekat
Sikap penderita terhadap kehamilan saat ini
PEMERIKSAAN FISIK
Umum :
- Penilaian umum fisik & psikis
Pemeriksaan fisik kehamilan (sama dengan Bagan Alur Pelayanan Antenatal)
Bila perlu dilakukan test kehamilan
PELAYANAN KONSELING
Sama dengan Bagan Alur Pelayanan Antenatal
Konseling yang berkaitan dengan kehamilan di luar nikah
- Anjuran untuk mempertahankan kehamilan
- Membantu mengatasi masalah yang timbul akibat kehamilannya
Percobaan pengguguran kandungan
Pengaturan kelangsungan pendidikan
Hubungan dengan pasangan seksual
Hubungan dengan keluarga
Persiapan menjadi orang tua
34
KETERANGAN
TD = Tekanan Darah
BB = Berat Badan
KB = Keluarga Berencana
35
Catatan :
35