PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asuhan paska keguguran merupakan strategi untuk menurunkan kematian dan kesakitan
karena komplikasi yang diakibatkan oleh aborsi yang tidak aman dan aborsi spontan.
WHO melaporkan bahwa sekitar 13% dari kematian yang berhubungan dengan
kehamilan diseluruh dunia diakibatkan oleh aborsi yang tidak aman. Dibeberapa negara,
kematian akibat aborsi yang tidak aman mencapai 45% dari seluruh kematian maternal.
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah aborsi inkomplit, sepsis, perdarahan dan
cedera intra-abdominal, masalah kesehatan jangka panjang meliputi inflamasi pelvic
kronis, sumbatan tuba dan infertilitas sEkunder. Aborsi spontan atau keguguran dapat
menyebabkan terjadinya komplikasi sehingga membutuhkan pertolongan
kegawatdaruratan untuk menyelamatkan jiwa. Dalam merencanakan asuhan paska
keguguran, kebutuhan dan persepsi masyarakat harus menjadi pertimbangan, termasuk
pilihan terhadap tipe dan gender pemberi pelayanan paska keguguran, kondisi, situasi,
lokasi pelayanan serta protokol pelayanan paska keguguran. Demikian pula pada krisis
kesehatan.
Pada hakikatnya beberapa negara di dunia mengizinkan aborsi yang aman dan legal
dengan indikasi tertentu yang ditetapkan dengan peraturan di masing-masing negara. Begitu
pula dengan Indonesia, sejak berlakunya UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan maka
aborsi dapat dilakukan dengan indikasi-indikasi yang telah ditentukan (Keguguran
Provokatus Medicinalis).
Indikasi keguguran provokatus medicinalis tertuang dalam 3 (tiga) Pasal dalam
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu Pasal 75, Pasal 76 dan Pasal
77.
Pada prinsipnya Indonesia melarang tindakan aborsi. Namun terdapat pengecualian
terhadap larangan tersebut berdasarkan:
a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat
bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di
luar kandungan atau
b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan.
Tindakan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat
perkosaan hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling pratindakan dan diakhiri dengan
konseling paska tindakan yang dilakukan serta asuhan paska keguguran oleh tenaga
kesehatan.
2. Penilaian Klinis
Penyedia layanan harus melakukan penilaian klinis yang menyeluruh meliputi:
riwayat kesehatan reproduksi yang teliti (termasuk riwayat kekerasan seksual), pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya bila tersedia dan penilaian psikososial. Perempuan
yang datang untuk perawatan aborsi yang tidak lengkap atau komplikasi aborsi (perawatan
paska aborsi) harus dilakukan penilaian dengan hati-hati sekali, karena mungkin mengalami
komplikasi yang mengancam keselamatan jiwa. Oleh sebab itu harus dilakukan rujukan
segera kerumah sakit PONEK apabila perempuan tersebut tidak dapat ditangani puskesmas
setempat, namun sebelum melakukan rujukan kondisi pasien harus stabil.
3. Penatalaksanaan
Metode yang aman, efektif dan dapat diterima dalam pengosongan uterus atau
Asuhan Paska Keguguran pada Krisis Kesehatan adalah:
a. Aspirasi Vakum Electric (AVE) atau Aspirasi Vakum Manual (AVM)
b. Dilatasi dan kuretase
2. Mengatasi komplikasi
Walaupun jarang terjadi, komplikasi dapat terjadi dalam pengosongan uterus dan harus
ditangani secepatnya oleh petugas yang mempunyai keterampilan. Komplikasi yang serius
sangat jarang terjadi tetapi penting untuk tenaga kesehatan mengikuti perkembangan klien
karena ada saja risiko yang dapat terjadi seperti infeki atau perdarahan. Pastikan klien
mempunyai akses ke fasilitas gawat darurat selama masa paska keguguran. Jika klien
membutuhkan perawatan yang melebihi kemampuan fasilitas dimana ia dirawat maka
stabilkan kondisinya sebelum ia dipindahkan ke pelayanan rujukan yang lebih tinggi.
UNFPA dan WHO. 2008. Buku pedoman, RH Kit Antar Lembaga dalam Situasi Krisis.
Jakarta: UNFPA dan WHO.