Pneumonia merupakan penyakit yang sering terjadi pada masa kanak- kanak,
namun lebih sering terjadi pada masa bayi dan masa kanak-kanak awal. Secara
klinis, pneumonia dapat terjadi sebagai penyakit primer atau sebagai komplikasi
dari penyakit lain (Wong, Donna L. 2013). Sedangkan menurut Nelson (2014),
pneumonia adalah inflamasi pada parenkim paru dengan konsolidasi ruang alveolar.
Istilah infeksi respriratori bawah seringkali digunakan untuk mencakup penyakit
bronkitis, bronkolitis, pneumonia atau kombinasi dari ketiganya. Gangguan pada
sistem imunitas tubuh pasien dapat meningkatkan resiko terjadinya pneumonia.
2. Klasifikasi Pneumonia
Berdasarkan pedoman MTBS 2008 dalam Susilaningrum (2013), pneumonia dapat
diklasifikasikan secara sederhana berdasarkan dengan gejala yang ada. Klasifikasi ini
bukan diagnosis medis, melainkan bertujuan untuk membantu petugas kesehatan yang
berada di lapangan untuk menentukan tindakan yang perlu diambil, sehingga anak tidak
terlambat mendapatkan penanganan. Klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut :
a. Pneumonia berat atau penyakit sangat berat, apabila terdapat gejala sebagai berikut :
1) Ada tanda bahaya umum, seperti anak tidak bisa minum atau menyusu, selalu
memuntahkan semuanya, kejang atau anak letargis / tidak sadar.
2) Terdapat tarikan dinding dada ke dalam.
3) Terdapat stridor (suara nafas bunyi “grok-grok” saat inspirasi).
b. Pneumonia, apabila terdapat gejala nafas cepat. Batasan nafas cepat adalah :
1) Anak usia 2-12 bulan apabila frekuensi nafas 50 kali per menit atau lebih
2) Anak usia 12 bulan sampai 5 tahun apabila frekuensi nafas 40 kali per menit atau lebih.
c. Batuk bukan pneumonia, apabila tidak ada tanda-tanda pneumonia atau penyakit
sangat berat.
Klasifikasi berdasarkan Reeves (2001) dalam Sari (2013) adalah sebagai berikut :
a. Community Acquired Pneumonia dimulai sebagai penyakit pernafasan umum dan bisa
berkembang menjadi pneumonia. Pneumonia Streptococal merupakan organisme
penyebab umum. Tipe pneumonia ini biasanya menimpa kalangan anak-anak atau
kalangan orang tua.
b. Hospital Acquired Pneumonia dikenal sebagai pneumonia nosokomial. Organisme
seperti ini aeruginisa pseudomonas. Klibseilla atau aureus stapilo-coccus, merupakan
bakteri umum penyebab hospital acquired pneumonia.
c. Lobar dan Bronkopneumonia dikategorikan berdasarkan lokasi anatomi infeksi.
Sekarang ini pneumonia diklasifikasikan menurut osganisme, bukan hanya menurut
lokasi anatominya saja.
d. Pneumonia viral, bakterial dan fungi dikategorikan berdasarkan pada agen
penyebabnya, kultur sensifitas dilakukan untuk mengidentifikasikan organisme
perusak.
3. Etiologi
a. Bakteri
Pneumonia bakteri biasanya didapatkan pada usia lanjut. Osganisme gram positif
seperti : Steptococcus pneumonia, S. aerous, dan streptococcus pyogenesis. Bakteri
gram negatif seperti Haemophilus influenza, klebsiella pneumonia dan P.
Aeruginosa.
b. Virus
Disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui transmisi droplet.
Cytomegalovirus dalam hal ini dikenal sebagai penyebab utama pneumonia virus.
c. Jamur
Infeksi yang disebabkan jamur seperti histopiasmosis menyebar melalui
penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya ditemukan pada kotoran
burung, tanah serta kompos.
d. Protozoa
Menimbulkan terjadinya Pneumocystis carinii pneumonia (CPC). biasanya
menjangkiti pasien yang mengalami immunosupresi. (Reeves, 2001 dalam Sari,
2013)
Etiologi Infeksi Saluran Pernapasan Akut lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan
jamur. Bakteri penyebabnya antar lain dari genus streptokokus, stafilokokus,
pnemokokus, hemofilus, bordetella dan korinebacterium. Virus penyebabnya antara
lain golongan mikovirus, adenovirus, koronavirus, pikornavirus, mikroplasma dan
herpervirus. Bakteri dan virus yang paling sering menjadi penyebab ISPA
diantaranya bakteri stafilokokus dan sterptokokus serta virus influenza yang di
udara bebas akan masuk dan menempel pada saluran pernapasan bagian atas yaitu
tenggorokan dan hidung (Sari, 2013).
Biasanya bakteri dan virus tersebut menyerang anak-anak usia di bawah 2 tahun
yang kekebalan tubuhnya lemah atau belum sempurna. Peralihan musim kemarau
ke musim hujan juga menimbulkan resiko serangan ISPA. Beberapa faktor lain
yang diperkirakan berkontribusi terhadap kejadian ISPA pada anak adalah
rendahnya asupan antioksidan, status gizi kurang, dan buruknya sanitasi lingkungan
(Sari, 2013).
4. Faktor Resiko
Menurut Dewi (2011), faktor resiko meningkatkan resiko penularan pneumokokus
diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Anak berusia di bawah lima tahun (balita).
b. Anak ada di tempat penitipan anak / playgroup, sehingga ia dapat tertular oleh
penderita batuk lain.
c. Anak tinggal di lingkungan polusi dan lingkungan perokok.
d. Bayi lahir prematur.
e. Bayi tidak mendapatkan ASI atau mendapat ASI tetapi tidak memadai, kurang gizi,
imunisasi tidak lengkap.
f. Anak tinggal di hunian padat atau di lingkungan yang tidak sehat.
g. Sedang terjadi pergantian cuaca, sehingga menyebabkan terhirupnya asap / debu
secara berulang-ulang.
h. Sedang terjadi musim hujan.
i. Anak merupakan penderita penyakit kronis seperti asma, HIV, penyakit gangguan
darah, jantung dan sistem imunologi.
Menurut Dewi (2011), keadaan semakin parah jika ditemui gejala berikut :
a. Anak batuk pilek dan tidak mau makan.
b. Nafasnya sesak.
c. Nafasnya cepat.
5. Patofisiologi
a. Virus pernafasan, Streptococus pneumoniae, atau Mycoplasma pneumoniae
menginvasi saluran nafas bawah, baik melalui saluran nafas atas atau aliran darah.
b. Pneumonia viral biasanya menyebabkan reaksi inflamasi yang terbatas pada dinding
alveolar.
c. Pada pneumonia bakterial, mukus yang statis terjadi sebagai akibat dari
pembengkakan vaskular. Debris sel berkumpul dalam ruang alveolar. Ekspansi
yang sedikit berlebihan dengan udara yang terjebak mengikuti. Inflamasi alveoli
menyebabkan atelektasis, sehingga pertukaran gas menjadi terganggu.
d. Infeksi bakteri sekunder sering kali terjadi setelah pneumonia viral atau aspirasi dan
memerlukan penanganan antibiotik.
(Kyle, Terri. 2015)
Faktor Resiko : Etiologi :
a. Anak balita a. Bakteri
b. Berada di penitipan anak b. Virus
c. Tinggal dilingkungan polusi dan perokok c. Jamur
6. WOC d. Prematur d. Protozoa
e. Tidak mendapat ASI memadai
f. Imunisasi tidak lengkap
g. Kepadatan tempat tinggal
h. Kurang gizi
i. Penderita penyakit kronis
Fatique
MK : Intoleransi aktivitas
Gambar 2.1 WOC Pneumonia
Pneumonia virus lebih sering berasosiasi dengan batuk, mengi, atau stidor dan gejala
demam lebih tidak menonjol dibanding pneumonia bakterial. Pneumonia bakterial
secara tipikal berasosiasi dengan demam tinggi, menggigil, batul, dispneu dan pada
auskultasi ditemukan adanya tanda konsolidasi paru. Pneumonia atipikal pada bayi
kecil ditandai oleh gejala yang khas seperti takipneu, batuk, ronki kering (crackles)
pada pemeriksaan auskultasi dan seringkali ditemukan bersamaan dengan timbulnya
konjungtivitis chlamydial. Gejala klinis lainnya yang dapat ditemukan adalah distres
pernafasan termasuk nafas cuping hidung, retraksi interkosta dan subkosta, dan
merintih (grunting). Semua jenis pneumonia memiliki ronki kering yang terlokalisir
dan penurunan suara respiratori. Adanya efusi pleura dapat menyebabkan bunyi
pekak pada pemeriksaan perkusi (Nelson, 2014).
Tanda dan gejala yang mungkin bisa terjadi menurut (Suriadi & Yuliani. 2010)
antara lain :
a. Serangan akut dan membahayakan
b. Demam tinggi (pneumonia virus bagian bawah)
c. Batuk
d. Rales (ronki)
e. Wheezing
f. Sakit kepala, malaise, myalgia (pada anak)
8. Pencegahan
Menurut Wong, Donna. L (2013), penggunaan vaksin polisakarida pneumokokus
dianjurkan pada individu tertentu, seperti anak-anak yang berusia lebih dari 2 tahun
yang berisiko menderita infeksi pneumokokus atau berisiko menderita penyakit
serius. Bayi atau anak yang menderita pneumonia kambuhan harus dievaluasi lebih
lanjut untuk adanya fibrosis kistik.
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit ISPA pada anak
menurut Sari (2013) antara lain :
a. Mengusahakan agar anak memperoleh gizi yang baik, diantaranya dengan cara
memberikan makanan kepada anak yang mengandung cukup gizi.
b. Memberikan imunisasi yang lengkap kepada anak agar daya tahan tubuh terhadap
penyakit baik.
c. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan agar tetap bersih.
d. Mencegah anak berhubungan dengan klien ISPA. Salah satu cara adalah memakai
penutup hidung dan mulut bila kontak langsung dengan anggota keluarga atau orang
yang sedang menderita penyakit ISPA.
Sedangkan merurut Dewi (2011), perawatan balita di rumah adalah sebagai berikut :
1) Tingkatkan pemberian makanan bergizi dan selalu berikan ASI.
2) Bila badan anak panas, kompres dengan air hangat. Jangan dipakaikan selimut tebal.
3) Jika anak panas, beri minum obat paracetamol.
4) Jika batuk, beri obat batuk tradisional campuran 1/4 sendok teh jeruk nipis ditambah
2/3 sendok teh kecap atau madu dan diberikan 3-4 kali sehari.
5) Jika hidung tersumbat karena pilek, bersihkan lubang hidung dengan sapu tangan
bersih.
6) Beri minum lebih banyak daripada biasanya.