Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Fisiologi Hewan
Dosen Pengmapu : Dra. Aditya Marianti, M.Si., Drh. Wulan Christijanti, M. Si.
Disusun Oleh
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2009
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis parasit cacing yang
banyak terdapat di dalam saluran pencernaan unggas, mekanisme infeksi cacing
ke dalam tubuh unggas, dan mekanisme kerja cacing dalam organ pencernaan
unggas. Penelitian ini menggunakan ayam kampung ( Gallus domesticus ) dan
merpati ( Columba livia ) sebagai sampel yang diteliti saluran pencernaannya.
Hasil penelitian ini menemukan spesies Raillietina echinobthrida dalam saluran
pencernaan ayam kampung ( Gallus domesticus ), sedangkan pada saluran
pencernaan merpati ( Columba livia ) tidak ditemukan spesies cacing apapun.
Mekanisme infeksi cacing ke dalam tubuh unggas berkaitan erat dengan siklus
hidup jenis cacing dan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang berupa
habitat, pH, suhu, kelembaban, dan curah hujan.t Serangan Raillietina
echinobothrida menimbulkan nodul – nodul pada usus ayam.
Puji syukur ke hadirat Tuhan YME, sehingga atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Fisiologi Hewan. Proses penulisan laporan ini
tentunya tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Dra. Aditya Marianti, M.Si, selaku Ketua Jurusan Biologi FMIPA Unnes, dan
juga selaku salah satu dosen mata kuliah Fisiologi Hewan.
2. Drh. Wulan Christijanti, M.Si. selaku dosen mata kuliah Fisiologi Hewan dan
dosen pembimbing dalam pelaksanaan penelitian ini.
3. Mbak Tika, selaku penanggungjawab Laboratorium Fisiologi Hewan, terima
kasih atas waktu, tenaga, dan bimbingan yang telah diberikan.
4. Teman – teman seperjuangan, tetap semangat teman! Ilmu yang kita dapatkan
tidak akan pernah sia – sia di hari nanti.
Penulis menyadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari pembaca
sangat penulis harapkan.
A. Latar Belakang
Komoditas ternak unggas memegang peranan yang sangat penting dalam
penyediaan protein hewani di Indonesia. Pada tahun 2004 produksi daging
unggas diperkirakan mencapai 1.164,40 ribu ton akan memberi kontribusi
sebanyak 60,29 persen terhadap produksi daging secara nasional. Ayam
pedaging merupakan produsen utama daging unggas yaitu mencapai 67,04
persen disusul berturut - turut ayam kampung, ayam petelur yang sudah
diafkir dan itik sebesar 27,01; 4,04 dan 1,91 persen. Selain itu unggas juga
memberi kontribusi yang sangat berguna dalam bentuk telur. Produksi telur
pada tahun 2004 diperkirakan mencapai 666,40 ribu ton akan memberi
kontribusi sebanyak 63,38 persen dari total produksi telur secara nasional
yaitu mencapai 1051,40 ribu ton (DEPTAN, 2004).
Perkembangan dunia perunggasan di negara kita, sudah banyak
menciptakan peluang bisnis. Hal ini disebabkan karena bisnis perunggasan
bisa dijangkau masyarakat kalangan bawah, dapat dipelihara oleh masyarakat
atau peternak dengan lahan yang cukup kecil, kapital “demand power” yang
cukup kuat, menyebabkan ternak ini lebih cepat perkembangannya
dibandingkan dengan perkembangan ternak lain. Namun para peternak tidak
sedikit mengalami hambatan dan rintangan selain harga pakan yang terus naik,
obat-obatan yang cukup mahal juga adanya berbagai macam penyakit yang
sering menyerang ternak. Parasit diketahui dapat mengakibatkan menurunnya
produksi telur sebesar 15% – 30 %, bahkan dapat menghentikannya sama
sekali. Selain itu parasit dapat menghambat pertumbuhan ayam, terutama
ayam – ayam muda, menurunkan berat badan, dan bahkan menyebabkan
kematian jika serangan parasit itu hebat.
B. Rumusan Masalah
1. Parasit cacing apa sajakah yang banyak terdapat dalam saluran pencernaan
unggas ?
2. Bagaimana mekanisme infeksi cacing ke dalam tubuh unggas?
3. Bagaimana mekanisme kerja cacing dalam saluran pencernaan unggas ?
C. Tujuan
1. Mengetahui jenis – jenis parasit cacing yang banyak terdapat di dalam
saluran pencernaan unggas.
2. Mengetahui mekanisme infeksi cacing ke dalam tubuh unggas.
3. Mengetahui mekanisme kerja cacing dalam saluran pencernaan unggas
D. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan bagi masyarakat luas
mengenai macam – macam parasit cacing yang sering muncul di dalam
saluran cerna, mekanisme infeksi cacing ke dalam tubuh unggas, dan
mekanisme kerja cacing dalam organ pencernaan unggas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Nematoda
1. Heterakis gallinarum
Ciri – ciri : Panjang cacing jantan 7 – 13 mm. Panjang cacing betina 10 –
15 mm. Telur berdinding licin dan tebal, berukuran 65 – 80 x
35 – 46 mikron.
Lokasi : Cecum
Penularan : Secara langsung yaitu dengan makan telur cacing yang
infektif. Menyebabkan penyakit diare pada burung pegar (
Pheasant).
Postmortem : Ceca meradang dan dindingnya menebal. Pendarahan pada
mukosa cecum (typhlytis) noduler.
3. Trichostrongylus tenuis
Ciri – ciri : Panjang cacing jantan 5,5-9 mm. lebar pertengahan 48
mikron. Panjang cacing betina 6,5-11 mm. lebar didaerah
vulva 77-100 mm. telur berdinding tipis.
Lokasi : Cecum dan usus halus
Penularan : secara langsung yaitu melalui telur cacing yang infektif.
Menyebabkan penyakit Trichostrongylosis
Postmortem : kelihatan radang cecum yang jelas disertai anemia. Bangkai
kurus.
4. Tetrameres americana
Ciri –ciri : Panjang cacing jantan 5,0 – 5,5 mm, lebar 116 – 133 mikron.
Pada cacing betina 3,5 – 4,5 mm, lebar 3 mm. Keterangan
tenatang ukuran telurnya belum ada.
Lokasi : Proventriculus
Penularan : Secara tidak lanngsung. Memerlukan induk semang-antara
yaitu serangga – serangga orthoptera yaitu Melanoplus
femurrubrum,M. differentialis, dan Blatela germanica. Ayam
kena infeksi jika makan induk semang – antara yang
terinfeksi.
Postmortem : Proventriculus meradang. Dari luar proventriculus dapat
dilihat benda – benda berwarna gelap di dalam jaringannya.
Gambar 4. Tetrameres americana
5. Strongyloides avium
Ciri – ciri : Cacing ini panjangnya 2,2 mm. Panjang oesophagus 0,7 mm.
telur berukuran 52 – 56 x 36 – 40 mikron.
Lokasi : Usus halus dan cecum.
Penularan : Generasi yang bersifat parasitik dapat menembus kulit induik
semang, menuju trakea, lalu ke pharinx dan selanjutnya ke
usus. Infeksi melalui paruh ( per os ) juga dapat terjadi.
Postmortem : Vulva cacing betina terletak di pertengahan badannya dan
oesophagusnya panjang (seperti silinder, filariform)
Cestoda
1. Raillietina tetragona
Ciri – ciri : Panjang cacing ini sampai 25 cm. Alat penghisap cacing
berbentuk bulat panjang dan dilengkapi dengan ikat – ikat
yang kecil.
Lokasi : Usus halus ayam, ayam mutiara dan burung merpati
Penularan : Lalat rumah, Musca dometica dan semut sebagai induk
semang – antara. Menyebabkan penyakit Cestodosis pada
ayam.
Postmortem : Terdapat radang usus halus.
2. R. echinobothrida
Ciri – ciri : Panjangnya kira – kira sampai dengan 25 cm. Bentuk dan
ukurannya mirip dengan R. tetragona.
Lokasi : Usus halus ayam
Penularan : Semut sebagai induk semang – antara. Menyebabkan
penyakit cestodosis pada ayam.
Postmortem : Terdapat bungkul – bungkul pada usus halus dan jelas terlihat
bila kita lihat ususnya dari luar. Bungkul itu terdiri dari
jaringan nekrotik dan darah putih.
Gammbar 5. Bagian Kepala, Ruas yang masak, dan Kait pada Raillietina
echinobothrida
BAB III
METODE
A. Metode
Metode yang digunakan dalam penyusunan laporan ini adalah :
Penelitian
Studi Pustaka
Meletakkan cacing di antara 2 dua gelas benda kemudian mengikatnya dengan karet
Memasukkan ke dalam larutan FAA ( Formalin, Alkohol, Asam Asetat ) untuk proses fiksasi
selama 1 jam
Labelling
Tubuh pipih
bersegmen
Berwarna putih
Mempunyai
succker yang
bulat pada
scolexnya.
2 Merpati Tidak
( Columba livia ) ditemukan
- - cacing pada
saluran
pencernaannya
Gambar Hasil Pengamatan
nodul
Scoleks
Sucker
rostelum
Klasifikasi Spesies
Phylum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoda
Ordo : Davaneidea
Famili : Davaineidae
Genus : Raillietina
Spesies : Raillietina echinobothrida
http://www.msstate.edu/dept/poultry/pics/anatomy.jpg
B. Mekanisme Infeksi Cacing ke Dalam Tubuh Unggas
Mekanisme infeksi cacing ke dalam tubuh unggas berkaitan erat
dengan siklus hidup cacing tersebut. Berbagai faktor yang mempengaruhi pola
infeksi tersebut adalah populasi cacing stadium efektif di dalam inang antara,
dan pola penyebarannya, kekhasan inang / habitat serta pola makannya (
Lawson & Gemmel, 1983 ). Sedangkan kelangsungan hidup cacing stadium
efektif di alam sangat ditentukan oleh interaksi antara kondisi alam yaitu suhu,
kelembaban, dan curah hujan yang setiap jenis cacing mempunyai tingkat
ketahanan yang berbeda ( Charmichael, 1993; Ridwan et all., 1996 )
Cacing biasanya menginfestasi ke dalam tubuh ayam melalui
beberapa cara, diantaranya melalui telur cacing atau larva cacing yang
termakan oleh ayam, memakan induk semang antara ( semut ) yang
mengandung telur atau larva cacing, telur atau larva cacing yang terbawa oleh
petugas kandang / peternak melalui sepatu dan pakaian kandangnya, atau bisa
juga karena ransum atau air minum yang tercemar telur cacing. Cacing pita
merupakan cacing yang menginfeksi ayam dan memerlukan serangga sebagai
inang antaranya (Soulsby 1982). Peluang kontak ayam terhadap inang antara
yang paling potensial adalah keberadaan dan volume tinja, sedangkan kondisi
lingkungan dan manejemen peternakan merupakan faktor pendukung.
Cacing pita mempunyai bermacam – macam kisaran spesifisitas
hospes, tetapi cacing pita dewasa lebih spesifik daripada kebanyakan cacing
dewasa kelompok lain. Tiap – tiap ordo burung mempunyai cestoda sendiri
yang karakteristik. Spesifitas hospes di antara cacing – cacing ini mencapai
derajat kesempurnaan yang tinggi selama hospesnya mengalami
pengkhususan. Spesifisitas hospes di antara cestoda mencapai derajat tertinggi
pada burung ( aves ). Siklus hidup cacing pita yang juga dikenal dengan
cestoda pada unggas umumnya melewati inang perantara/vektor seperti
kepiting, kutu air, crustacea dan katak (unggas air), sedang pada unggas darat
(ayam) lebih sering menggunakan inang perantara insekta terbang (lalat,
kumbang) dan cacing tanah. Karena vektor yang berupa insekta terbang
inilah yang menjadikan cacing pita mudah tersebar secara luas. Selain itu,
telur-telur cacing pita pada umumnya mempunyai kemampuan yang hebat
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Infeksi cacing pita di dalam
tubuh unggas menyebabkan penyakit cestodosis.
Infeksi cacing saluran pencernaan pada umumnya mudah
didiagnosis melalui pemeriksaan tinja hewan yang dicurigai terinfeksi. Telur
cacing yang keluar bersama feses berkembang menjadi stadium infektif
kemudian termakan induk semang antara atau langsung masuk tubuh ayam
yang kemudian akan menuju ke tempat yang disukainya (tembolok, usus,
sekum atau organ lain) untuk berkembang sampai dewasa. Tidak demikian
dengan Cestodosis yang memiliki tingkat kesulitan tersendiri untuk
didiagnosis karena cacing pita tidak mengeluarkan telur bersama tinja.
Nekropsi merupakan cara terbaik yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis
Cestodosis. Kendala ini mengakibatkan angka prevalensi Cestodosis akan
semakin tinggi serta menyulitkan dalam menentukan strategi pengobatan
(Retnani & Hadi 2007).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kejadian
cestodosis pada ayam kampung yaitu menejemen pemberian pakan,
kebersihan dan sanitasi lingkungan di sekitar kandang, waktu pembuangan
feses dan pembersihan kandang, cuaca dan iklim, pemberian antibiotik, atau
vaksinasi ayam secara rutin.
Faktor pendukung perkembangan populasi cacing adalah suhu
lingkungan, pH lingkungan, kelembaban, curah hujan serta radiasi sinar
matahari baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempertahankan
siklus hidupnya. Untuk pertumbuhan larva cestoda dalam telur diperlukan
tanah yang lembab dan tidak membutuhkan adanya genangan air.
Mpoame & Agbede (1995) mengatakan bahwa infeksi cacing pita
secara umum sangat tinggi pada daerah dengan kondisi yang basah. Daerah
basah merupakan kondisi iklim yang baik untuk ketahanan parasit stadium
infektif dan untuk pertumbuhan populasi inang antaranya. Begitu pula dengan
Terrigino et al. (1997) mengatakan bahwa infeksi parasit pada wilayah dengan
kondisi pertanian dan iklim yang buruk akan menguntungkan untuk ketahanan
dan pertumbuhan parasit. Perbedaan yang signifikan terhadap tingginya
prevalensi parasit pada ayam terjadi antara peternakan tradisional dan
peternakan modern. Hal ini disebabkan adanya perbedaan dalam penanganan
higienis dan sanitasi lingkungan serta manejemen peternakan (tradisional dan
modern).
Faktor-faktor lingkungan seperti di atas merupakan beberapa
penyebab yang mempengaruhi tidak ditemukannya parasit cacing pada
merpati yang digunakan dalam penelitian. Merpati ini berhabitat di lingkungan
yang tidak bersentuhan langsung dengan tanah (dilapisi paving blok) dan
kebersihannya lebih terjaga. Makanan yang diperoleh berasal dari peternak
sehingga kemungkinan untuk terkena infeksi cacing sangat kecil. Habitat
merpati tidak mendukung untuk berkembangnya induk semang antara yang
menyalurkan telur cacing yang khas pada merpati, sehingga telur tidak
menemukan induk semang antara yang tepat dan tidak akan berkembang
menjadi sistiserkoid, daur hidup cacing-pun akan terputus, dan akhirnya
infeksi cacing tidak akan terjadi karena tidak ada proses infestasi. Cacing yang
spesifik pada merpati antar lain Tetrameres americana yang memerlukan
induk semang antara berupa serangga orthoptera, dan Raillietina bonini yang
memerlukan induk semang antara berupa siput. Lain halnya dengan ayam
kampung yang berhabitat di lingkungan peternakan tradisional yang kurang
terjaga kebersihannya. Meskipun makanan yang diperoleh berasal dari
peternak tetapi ayam masih mempunyai peluang besar memperoleh makanan
sendiri dari lingkungan sekitarnya. Adanya infeksi cacing Raillietina
echinobothrida dalam tubuh ayam menunjukkan bahwa lingkungan / habitat
ayam mendukung kehidupan induk semang antaranya, yaitu semut.
Kejadian infeksi alami cacing pita yang cukup tinggi, berkaitan
dengan tersedianya inang antara spesifik seperti lalat rumah, semut dan
kumbang yang berperan dalam penyebaran cacing pita. Menurut Angraeny
(2007), jumlah lalat rumah yang tinggi di area peternakan dapat menyebabkan
semakin meningkatnya kejadian Cestodosis. Gaina (2007) juga
mengungkapkan bahwa semakin tinggi jumlah inang antara spesifik cacing
pita dalam hal ini kumbang dapat menyebabkan semakin meningkatnya
kejadian Cestodosis. Untuk kasus infeksi Raillietina echinobothrida, berarti
semakin tinggi jumlah semut sebagai induk semang antara, maka kejadian
cestodosis oleh cacing pita jenis ini juga akan meningkat.
Menurut F.X Suwarta ( 1990 ) ada beberapa spesies cacing pita
yang biasa menyerang unggas dan sering ditemukan di daerah tropis, yaitu :
Davainea proglotina, Raillietina tetragona, Raillietina echionobothrida,
Raillietina cesticillus, Amoebotaenia sphenoides, dan Choanotaenia
infundibulum Menurut Herwintarti prevalensi cestodosis pada ayam kampung
di berbagai wilayah di Indonesia masih relatif tinggi hingga tahun 2001. Jenis
cacing pita yang paling tinggi menginfeksi saluran pencernaan yaitu
Raillietina echinobothrida ( 52,8 % ). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
yang kami lakukan, yang juga menemukan spesies Raillietina echinobothrida
dalam saluran pencernaan unggas yang dipilih (usus ayam kampung ).
Tidak semua cacing pita unggas bersifat patogen. Gejala klinis
dapat terlihat pada ayam muda yang menderita infeksi berat (Suwarti 1990).
Ayam muda lebih peka terhadap infeksi cacing pita dibandingkan ayam
dewasa. Akibat infeksi cacing pita pada usus akan terlihat adanya enteritis
baik akut maupun kronis yang tergantung dari derajat infeksinya. Terjadinya
peradangan pada bagian serosa disebabkan tertanamnya skoleks cacing
menempal pada mukosa usus. Raillietina paling sering ditemukan dan
merupakan cacing pita yang dominan menginfeksi ternak ayam (Retnani &
Hadi 2007). Jenis cacing Choanotaenia infundibulum, Amoebotaenia cuneata,
Metroliasthes lucida dan Fimbriaria fasciolaris kurang patogen.
Davainea proglottina adalah cacing pita dengan patogenitas yang
sangat berbahaya pada ayam (Kusumamihardja 1992). Cacing jenis ini paling
patogen karena bagian skoleksnya melakukan penetrasi ke dalam mukosa
duodenum dan menyebabkan terjadinya enteritis hemoragis yang berat. Selain
itu, cacing ini juga dapat menimbulkan gejala klinis kekurusan, berat badan
menurun, bulu kering dan rontok serta nafas menjadi sesak pada ayam.
Raillietina echinobothrida dan Raillietina tetragona tingkat
patogenitasnya berada di bawah Davainea proglottina. Dua jenis cacing ini
menancapkan skoleksnya tidak terlalu dalam pada mukosa usus seperti cacing
Davainea proglottina (Kusumamihardja 1992).
Setiap spesies cacing pita memiliki inang antara yang spesifik dan
berbeda-beda. Keberadaan inang antara yang beraneka ragam dengan populasi
yang tinggi di lingkungan peternakan akan menyebabkan semakin
meningkatnya kejadian Cestodosis pada peternakan ayam baik ayam kampung
maupun ayam ras. Manfaat pengetahuan jenis-jenis cacing pita adalah untuk
mengetahui apakah cacing pita yang ditemukan dalam saluran pencernaan
ayam bersifat patogen atau tidak. Hal tersebut bertujuan sebagai petunjuk
dalam tindakan pengendalian terhadap induk semang antara sebagai sumber
infeksi.
Sisterkoid
Skolek
Semut
Proglotid gravid
A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat diambil kesimpulan yaitu :
1. Pada saluran pencernaan ayam kampung ( Gallus domesticus )
ditemukan cacing Raillietina echinobothrida sedangkan pada saluran
pencernaan merpati ( Columba livia ) tidak ditemukan parasit cacing
apapun.
2. Raillietina echinobothrida memerlukan induk semang antara, yaitu
semut untuk masuk ke dalam tubuh hospes definitif ( Gallus
domesticus).
3. Raillietiena echinobothrida dapat ditemukan pada usus ( illium,
jejunum, duodenum dan bahkan kolon ) serta mempunyai kait untuk
menempel pada mukosa usus.
B. SARAN
1. Pengetahuan mengenai berbagai macam parasit cacing pada saluran
pencernaan unggas sangat diperlukan untuk mengetahui jenis cacing
yang patogen, sehingga dapat diketahui cara pencegahannya sebelum
terjadi infeksi.
2. Dalam melakukan penelitian yang berhubungan dengan parasit
sebaiknya praktikan menggunakan pelindung tangan ( sarung tangan )
karena setiap segmen / proglotida pada parasit tersebut ( dalam hal ini
cacing ) bisa saja merupakan proglotida gravid dan dikhawatirkan akan
masuk ke dalam tubuh praktikan melalui telur yang menempel pada
kuku / tangan yang tidak terjaga kebersihannya.
GLOSARIUM
merpati
Ayam
Keadaan organ unggas