Disusun oleh :
Saphira Ayu S. 22010113210057
Novitasari R. 22010113210060
Sherlyta Dewi 22010113210061
Eko Budidharmaja 22010113210092
Edward Tirtananda W. 22010113210094
Penguji :
Drg. Maria Regis Aswita
Pembimbing,
2.1 Definisi
Kista adalah rongga patologis yang umumnya berdinding jaringan ikat
dan berisi cairan kental atau semi likuid, dapat berada dalam jaringan lunak
ataupun keras seperti tulang. Rongga kista di dalam rongga mulut selalu di batasi
epitel.1 Kista radikuler adalah kista odontogenik yang terjadi pada apeks gigi
nonvital, yang mengalami peradangan. Terjadinya kista ini diakibatkan oleh
infeksi gigi, yang berkembang menjadi granuloma yang berisikan sel epitel
malassez. Kista radikuler disebut juga kista inflamasi, kista periodontal atau kista
periodontal apikal. Kista radikuler merupakan kista yang paling sering dijumpai di
rongga mulut, lebih kurang 60% sampai 75% dari seluruh kista odontogenik,
dengan frekuensi tersering di rahang atas terutama di regio anterior lebih kurang
60%, sedangkan pada rahang bawah sering terjadi di regio posterior, namun kista
ini dapat terjadi di regio mana saja di rahang.1,2
2.2 Etiologi
Insidensi terjadinya kista dari lesi periodontitis apikalis bervariasi antara
6% - 55%, sedangkan berdasarkan penelitian histopatologi insidensi kista jauh
dibawah 20%. 3,4 Secara umum pembentukan kista radikular terdiri dari tiga tahap,
yaitu tahap inisiasi, tahap pembentukan kista dan tahap pembesaran kista. Pada
tahap inisiasi, sisa-sisa sel Malassez di ligamen periodontal berproliferasi akibat
peradangan di granuloma periapikal. Granuloma periapikal tersebut merupakan
bagian mekanisme pertahanan lokal terhadap peradangan pulpa kronis agar infeksi
tidak meluas. Faktor yang memicu peradangan dan respons imun yang dapat
menyebabkan proliferasi epitel diduga adalah endotoksin bakteri yang berasal dari
pulpa yang mati. Selanjutnya pada tahap pembentukan kista sisa-sisa sel Malassez
berproliferasi pada dinding granuloma membentuk massa epitel yang makin
membesar. Kurangnya nutrisi terhadap sel-sel epitel di bagian sentral
menyebabkan kematian dan mencairnya sel tersebut sehingga terbentuk rongga
berisi cairan yang dibatasi oleh epitel. Pada tahap pembesaran kista tekanan
osmosis diduga merupakan faktor yang berperan penting. Beberapa peneliti
menyatakan bahwa eksudat protein plasma dan asam hialuronat serta produk yang
dihasilkan oleh kematian sel menyebabkan tingginya tekanan osmosis pada
dinding rongga kista yang pada akhirnya menyebabkan resorpsi tulang dan
pembesaran kista.4-6
2.3 Klasifikasi
Berdasarkan klasifikasi WHO tahun 2005, kista odontogen disub
klasifikasikan menjadi 2 jenis yaitu inflammatory cyst dan developmental cyst.
Yang termasuk inflammatory cyst adalah radicular cyst, residual cyst dan
paradental cyst, sedangkan yang termasuk developmental cyst adalah gingival
cyst of newborn, gingival cyst of adult, odontogenic grandular cyst, dentigerous
cyst, orthokeratinized odontogenic cyst, eruption cyst, lateral periodontal cyst,
calcifying odontogenic cyst dan odontogenic keratocyst.1
Kista radikuler dapat dibagi menjadi tiga tipe yaitu apikal, lateral dan
residual bergantung pada hubungan anatomis kista dengan akar dari gigi yang
bersangkutan. Kista radikuler dapat pula dibagi menjadi dua jenis yaitu, true cyst
dan pocket cyst. Pada true cyst tidak terdapat hubungan langsung dengan saluran
akar sedangan pocket cyst, kista berhubungan langsung dengan saluran akar.1
2.4 Patogenesis
Kista radikuler terdiri dari suatu kavitas yang dilapisi oleh epithelium
skuamus berasal dari sisa sel epitel Mallasez yang terdapat dalam ligament
periodontal. Teori pembentukan kista menyatakan bahwa perubahan inflamatori
periradikuler menyebabkan epithelium tumbuh dalam suatu massa sel, bagian
pusat kehilangan sumber nutrisi dan jaringan peripheral. Perubahan ini
menyebabkan nekrosis di pusat, suatu kavitas terbentuk dan kista terbentuk. Pulpa
nekrosis menyebabkan aktifnya sel-sel inflamasi periapikal yang akan
memberikan respon imun baik imun non spesifik maupun spesifik, termasuk
aktifitas PMN dan Makrofag, reaksi sitotoksis, kompleks imun, IgG, IgM, dan
IgE. Factor pencetusnya belum diketahui secara pasti. Endotoksin bakteri dan
sitokin dari sel-sel inflamasi dan factor pertumbuhan epidermal terbukti sebagai
salah satu pencetus proliferasi epitel. Proliferasi epitel ini akan terus berlanjut
selama masih terdapat factor yang menstimulasi. Jaringan pulpa berhubungan
debfab jaringan periapeks dan jaringan periodonsium disekitarnya. Pertemuan
jaringan pulpa dan jaringan periapikal terjadi di foramen apikal atau di muara
kanal tambahan. Hubungan ini disebut juga sebagai kompleks pulpa-periodontal.
Melalui kompleks inilah keadaan kedua jaringan tersebut dapat slaing
mempengaruhi dalam dua arah. Kelainan yang terjadi pada jaringan dapat saling
mempengaruhi dua arah. Kelainan yang terjadi pada jaringan pulpa dapat memicu
perubahan pada jaringan periapeks, demikian pula sebaliknya.1
Penyakit periapeks yang timbuk akibat berlanjutnya proses peradangan
janringan pulpa dikenal sebagai lesi periapeks odontogen. Lesi periapeks
odontogen ini pada umumnya berhubungan dengan pulpa nekrosis. Penyakit
periapeks atau yang dikenal juga dengan periodontitis apikalis merupakan
kelainan yang terjadi akibat adnaya penyakit pulpa yang berlanjyt akibat karies
maupun trauma. Periodontitis apikalis mempunyai fungsi protektif yang
mencegah penyebaran radang kea rah periapeksdan jaringan pendukung
disekitarnya. Reaksi pertahanan oleh jaringan periapeks merupakan reaksi
pertahanan kedua setelah pulpa gagal melokalisasi kerusakan yang disebabkan
oleh bakteri di dalam saluran akar.1
Reaksi respon jaringan periapeks terhadap invasi bakteri dari pulpa
meliputi beberapa fase. Pada fase awal ditandai dengan karakter inflamasi akut
dan meluas dengan cepat. Ditandai dengan resopsi tulang alveolar yang
memberikan tempat bagi lesi jaringan lunak pada ujung apeks. Setelah fase akut
selesai tejadi proses respon penyeimbang oleh jaringan periodontal. Invasi bakteri
akan terus berlanjut dan jaringan periapeks akan terus berusaha untuk melakukan
perbaikan jaringan. Iritasi bakteri yang terus menerus mengakibatkan jaringan
periapeks tidak mampu melakukakn reaksi pertahanan sehingga terjadi reaksi
kronis yang dapat berlangsung selama beberapa tahun. Bila inflamasi menjadi
kronis, terjadi proliferasi sisa jaringan epitel pembentuk email hingga mencapai
ukuran tertentu. Disamping itu, sel-sel pusat mengalami degenerasi hidrofik dan
membentuk massa cair yang disebut likuifaksi. Massa cair ini dikelilingi selapis
epitel dari jaringan di sekitar sel-sel pusat yang akan terus membesar karena
mengeluarkan eksudat jaringan hingga diameternya mencapai lebih dari 2 cm.
Massa inilah yang dikenal sebagai Kista Radikuler.1
2.5 Diagnosis
Pada pemeriksaan klinis, hanya kista yang agak besar yang menimbulkan
benjolan intra oral. Mukosa di atasnya berwarna normal. Kista yang lebih besar
dapat menyebabkan pembengkakan ekstra oral bahkan asimetri wajah. Bila
dinding kista telah mendesak korteks tulang, pada palpasi dapat terjadi pingpong
ball phenomenon. Apabila telah menembus korteks tulang, kista tampak berwarna
kebiruan dan teraba lunak bahkan dapat terjadi fraktur patologis. Anestesi atau
parestesi pada bibir dapat terjadi bila kista menekan saraf sensoris perifer yang
berdekatan. Bila terinfeksi bisa timbul rasa sakit dan terbentuk fistula tempat
keluarnya pus atau cairan kista. Maloklusi dapat ditemukan karena perubahan
letak dan kegoyangan gigi.1
Secara radiologis, kista radikular yang kecil atau sedang memperlihatkan
gambaran radiolusen berbentuk bulat atau oval dengan batas radioopak yang jelas.
Batas radioopak ini bersatu dengan lamina dura gigi penyebab. Pada kista yang
terinfeksi batas radioopak ini menjadi difus sehingga tidak terlalu jelas terlihat.
Kista yang besar akan memperlihatkan gambaran radiolusen yang tidak teratur
dan sering melibatkan struktur lain seperti sinus maksilaris dan kanalis
mandibularis. Pada defek yang luas dibutuhkan bone graft sebagai perawatan
yang ideal.3,5,7
Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan punksi aspirasi. Dari
pemeriksaan tersebut didapat cairan berwarna bening kekuningan, dengan kilau
kolesterol yang tampak seperti kristal. Pada kista yang terinfeksi dapat ditemukan
pus. Pada pemeriksaan mikroskopis dinding kista tampak serat kolagen dan
jaringan ikat jarang yang berbatasan dengan lapisan epitel skuamosa yang
hiperplastik, lekosit PMN, sel mast, sisa epitel odontogenik, dan keping
kolesterol.3,5,8
2.6 Terapi
Para klinisi selama ini berpegang pada prinsip perawatan kista bahwa
kista yang besar memerlukan perawatan bedah dan ekstraksi gigi penyebab.
Beberapa penulis menyebutkan bahwa pada kista yang kecil (ukuran < 3 cm),
biasanya dilakukakn enukleasi in toto, sedangkan pada kista yang besar (> 3 cm)
biasanya dilakukakan marsupialisasi. Enukleasi saja dapat dilakukan pada kista
radicular yang kecil melalui soket gigi. Gigi penyebab dan yang terlibat dapat
dirawat endodontik, apikoektomi dan retrograde filling, atau diekstraksi.
Enukleasi tanpa kuretase dapat menyebabkan terjadinya kista residual, demikian
pula ekstraksi gigi non vital yang sudah mengandung granuloma. Granuloma yang
tertinggal dapat pula menyebabkan kista residual. Marsupialisasi dapat dilakukan
bila ada kemungkinan tertembusnya sinus maksilaris, hidung atau kanalis
mandibularis, juga pada pasien lanjut usia. Kelemahan teknik itu adalah
kemungkinan rekurensi akibat tertinggalnya sebagian dinding kista yang juga
dapat menimbulkan kista residual. Kay dan Kramer (dikutip dari Laskin 3)
melaporkan kasus karsinoma sel skuamosa yang berasal dari dinding epitel kista
residual. Dengan demikian marsupialisasi bukan merupakan terapi pilihan untuk
kista.1
BAB 3
Laporan Kasus
3.2.2 Obyektif
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis (GCS: E4M6V5=15)
Status Gizi : Berat badan = 62 Kg, Tinggi badan =160 cm, Kesan gizi:
Cukup
Tanda Vital : TD : 120/80 mmHg
N : 82 x/ menit, reguler, isi dan tegangan cukup.
RR : 20 x/ menit
T : Afebris
Intra Oral
Mukosa pipi kanan : Tidak ditemukan kelainan
Mukosa pipi kiri : Tidak ditemukan kelainan
Mukosa palatum, durum-mole : Tidak ditemukan kelainan
Mukosa dasar mulut/lidah : Tidak ditemukan kelainan
Mukosa pharynx : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan periodontal : Tidak ditemukan kelainan
Ginggiva RA : Edema (-), hiperemi (-)
Ginggiva RB : Edema (-), hiperemi (-)
Karang gigi : Kalkulus (+) pada gigi 3.1, 3.2, 4.1, 4.2,
4.6, 4.7,
Status lokalis :
Regio mandibula dextra
Inspeksi : tampak benjolan sebesar bola bekel, di regio 4.4 – 4.7, warna
seperti kulit sekitar.
Palpasi : teraba benjolan dengan diameter 6 cm, konsistensi kenyal,
fluktuasi (+), permukaan rata, tidak berbenjol-benjol, tidak nyeri
tekan, krepitasi (-).
Status Dental :
Inspeksi : cavitas (+) pada gigi 4.5, sisa akar gigi 3.6
Ditemukan kalkulus (+) pada gigi 3.1, 3.2, 4.1, 4.2, 4.6, 4.7
Benjolan pada regio 4.4 – 4.7
Sondasi : Profunda, nyeri (-)
Palpasi : Nyeri (-), mobilitas (-)
Perkusi : Nyeri (-)
Pressure : Nyeri (-)
Karies gigi (+), abses periapikal (-), impaksi gigi (-), Massa kistik besar di
mandibula kanan, gangren radix 3.6
Kesan: Massa kistik besar di mandibula kanan, gangren radix 3.6
3.7 Terapi
Pro Bedah mulut : Enuklease kista
Ekstraksi gigi 3.6
BAB 4
Pembahasan
Pada kasus ini pasien didiagnosis dengan suspek kista radikuler regio 4.4
- 4.7. Dari anamnesis pasien mengeluh muncul benjolan pada pipi kanan ±1 tahun
yang lalu, benjolan tidak nyeri, tidak panas, tidak mudah berdarah, tidak nyeri
tekan, tidak pernah mengecil. Pasien masih dapat mengunyah makanan. Tidak ada
riwayat kesemutan pada wajah dan tidak ada riwayat demam. Benjolan ini muncul
setetlah kurang lebih setahun sebelumnya pasien pernah mengalami sakit gigi
pada gigi 4.5.
Hal ini sesuai dengan patofisiologi dari kista radikuler yaitu terjadinya
peradangan pulpa nonvital ke arah periapikal gigi. Sisa-sisa epitel mallasez yang
ada berproliferasi secara ekstensif sehingga membentuk suatu massa sel, lalu
bagian pusat kehilangan sumber nutrisi dari tepi massa sehingga terjadi nekrosis
dan terbentuk kavitas atau kista.
Dari pemeriksaan ekstra oral didapatkan adanya asimetri wajah karena
adanya benjolan pada mandibula sebelah kanan. Dari pemeriksaan intra oral
didapatkan benjolan pada mukosa ginggiva sebelah kanan bawah pada regio gigi
4.4 - 4.7 dengan diameter 5 cm, warna seperti mukosa sekitar, tumor (+), kalor (-),
dolor (-), palpasi : batas tegas, keras, fluktuasi (+) permukaan rata, tidak berbenjol
benjol, nyeri tekan (-).
Terjadi fluktuasi (+) karena kista berisi sel-sel malasez yang terletak di
pusat kista mengalami degenerasi hidrofik dan membentuk massa cair yang
disebut likuifaksi. Massa cair ini dikelilingi selapis epitel dari jaringan di sekitar
sel-sel pusat yang akan terus membesar karena mengeluarkan eksudat jaringan.
Apabila dilakukan punksi aspirasi, diharapkan didapat cairan berwarna
bening kekuningan, dengan kilau kolesterol yang tampak seperti kristal. Apabila
kista terinfeksi dapat ditemukan pus.
Dari pemeriksaan penunjang X Foto Panoramik didapatkan adanya
Karies gigi (+) pada gigi 4.5 dan massa radiolusen besar di mandibula kanan pada
sekitar radix gigi 4.4 – 4.6.
Kista yang besar memerlukan perawatan bedah dan ekstraksi gigi
penyebab. Beberapa penulis menyebutkan bahwa pada kista yang kecil (ukuran <
3 cm), biasanya dilakukan enukleasi in toto, sedangkan pada kista yang besar (> 3
cm) biasanya dilakukan marsupialisasi. Enukleasi saja dapat dilakukan pada kista
radicular yang kecil melalui soket gigi. Gigi penyebab dan yang terlibat dapat
dirawat endodontik, apikoektomi dan retrograde filling, atau diekstraksi.
Enukleasi tanpa kuretase dapat menyebabkan terjadinya kista residual, demikian
pula ekstraksi gigi non vital yang sudah mengandung granuloma. Granuloma yang
tertinggal dapat pula menyebabkan kista residual.
Prognosis pada kasus ini pada umumnya baik, tetapi tergantung pada
ketuntasan pengangkatan kista yang dilakukan, tertinggalnya sebagian dinding
kista dapat menimbulkan kista residual.
BAB 5
Kesimpulan