Pengertian (definisi) K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) umumnya terbagi menjadi 3 (tiga) versi di antaranya
ialah pengertian K3 menurut Filosofi, Keilmuan serta menurut standar OHSAS 18001:2007.
Berikut adalah pengertian dan definisi K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) tersebut :
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan
kesempurnaan jasmani maupun rohani tenaga kerja khususnya dan manusia pada umumnya serta hasil karya dan
budaya menuju masyarakat adil dan makmur.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah semua Ilmu dan Penerapannya untuk mencegah
terjadinya kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja (PAK) , kebakaran, peledakan dan pencemaran lingkungan.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah semua kondisi dan faktor yang dapat berdampak pada keselamatan
dan kesehatan kerja tenaga kerja maupun orang lain (kontraktor, pemasok, pengunjung dan tamu) di tempat kerja.
Penerapan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja ) memiliki beberapa dasar hukum pelaksanaan. Di antaranya
ialah Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, Permenaker No 5 Tahun 1996 tentang Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Permenaker No 4 Tahun 1987 tentang Panitia Pembina
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) . Rangkuman dasar-dasar hukum tersebut antara lain :
Setiap perusahaan yang memperkerjakan 100 (seratus) tenaga kerja atau lebih dan atau yang mengandung
potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan produksi yang dapat
mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran, pencemaran lingkungan dan penyakit akibat kerja
(PAK).
Permenaker No 4 Tahun 1987 Tentang Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) :
1. Tempat kerja dimana pengusaha atau pengurus memperkerjakan 100 (seratus) orang atau lebih.
2. Tempat kerja dimana pengusaha memperkerjakan kurang dari 100 (seratus) orang tetapi menggunakan
bahan, proses dan instalasi yang memiliki resiko besar akan terjadinya peledakan, kebakaran, keracunan
dan pencemaran radioaktif.
Penerapan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja ) memiliki beberapa tujuan dalam pelaksanaannya berdasarkan
Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Di dalamnya terdapat 3 (tiga) tujuan utama dalam
Penerapan K3 berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja yaitu antara lain :
1. Melindungi dan menjamin keselamatan setiap tenaga kerja dan orang lain di tempat kerja.
2. Menjamin setiap sumber produksi dapat digunakan secara aman dan efisien.
Dari penjabaran tujuan penerapan K3 di tempat kerja berdasarkan Undang-Undang nomor 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja di atas terdapat harmoni mengenai penerapan K3 di tempat kerja antara Pengusaha, Tenaga
Kerja dan Pemerintah/Negara. Sehingga di masa yang akan datang, baik dalam waktu dekat ataupun nanti,
penerapan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) di Indonesia dapat dilaksanakan secara nasional menyeluruh
dari Sabang sampai Meraoke. Seluruh masyarakat Indonesia sadar dan paham betul mengenai pentingnya K3
sehingga dapat melaksanakannya dalam kegiatan sehari-hari baik di tempat kerja maupun di lingkungan tempat
tinggal.
Pengertian (definisi) bahaya (hazard) ialah semua sumber, situasi ataupun aktivitas yang berpotensi menimbulkan
cedera (kecelakaan kerja ) dan atau penyakit akibat kerja (PAK) - definisi berdasarkan OHSAS 18001:2007.
Secara umum terdapat 5 (lima) faktor bahaya K3 di tempat kerja, antara lain : faktor bahaya biologi(s), faktor
bahaya kimia, faktor bahaya fisik/mekanik, faktor bahaya biomekanik serta faktor bahaya sosial-psikologis. Tabel di
bawah merupakan daftar singkat bahaya dari faktor-faktor bahaya di atas :
1. Jamur.
2. Virus.
4. Tanaman.
5. Binatang.
1. Bahan/Material/Cairan/Gas/Debu/Uap Berbahaya.
2. Beracun.
3. Reaktif.
4. Radioaktif.
Faktor Bahaya Kimia
5. Mudah Meledak.
6. Mudah Terbakar/Menyala.
7. Iritan.
8. Korosif.
2. Konstruksi (Infrastruktur).
3. Mesin/Alat/Kendaraan/Alat Berat.
5. Tekanan.
6. Kebisingan.
7. Suhu.
8. Cahaya.
9. Listrik.
10. Getaran.
11. Radiasi.
1. Gerakan Berulang.
2. Postur/Posisi Kerja.
Faktor Bahaya Biomekanik
3. Pengangkutan Manual.
1. Stress.
2. Kekerasan.
3. Pelecehan.
Faktor Bahaya Sosial-Psikologis
4. Pengucilan.
5. Intimidasi.
6. Emosi Negatif.
Pengertian (definisi) resiko K3 (risk) ialah potensi kerugian yang bisa diakibatkan apabila berkontak dengan
suatu bahaya ataupun terhadap kegagalan suatu fungsi.
Penilaian Resiko merupakan hasil kali antara nilai frekuensi dengan nilai keparahan suatu resiko. Untuk menentukan
kagori suatu resiko apakah itu rendah, sedang, tinggi ataupun ekstrim dapat menggunakan metode matriks resiko
seperti pada tabel matriks resiko di bawah :
Tabel di bawah merupakan contoh parameter keseringan dari tabel matriks resiko di atas :
Sangat Jarang Terjadi 1X dalam masa lebih dari 1 tahun Probabilitas 1 dari 1.000.000 jam kerja orang lebih
Jarang Bisa terjadi 1X dalam setahun Probabilitas 1 dari 1.000.000 jam kerja orang
Sedang Bisa terjadi 1X dalam sebulan Probabilitas 1 dari 100.000 jam kerja orang
Sering Bisa terjadi 1X dalam seminggu Probabilitas 1 dari 1000 jam kerja orang
Sangat Sering Terjadi hampir setiap hari Probabilitas 1 dari 100 jam kerja orang
Tabel di bawah merupakan contoh parameter keparahan dari tabel matriks resiko :
Kategori
Contoh Parameter I Contoh Parameter II
Keparahan
Tidak terdapat cedera/penyakit, tenaga kerja dapat langsung Total kerugian kecelakaan kerja kurang dari Rp.
Sangat Ringan
bekerja kembali 1.000.000
Sedang Mendapat P3K atau tindakan medis, tidak ada hilang jam kerja Total kerugian kecelakaan kerja antara Rp.
Kategori
Contoh Parameter I Contoh Parameter II
Keparahan
Memerlukan tindakan medis lanjut/rujukan, cacat sementara, Total kerugian kecelakaan kerja antara Rp.
Parah
terdapat jam kerja hilang 1X24 jam 5.000.000 – Rp. 10.000.000
Cacat Permanen, Kematian, terdapat jam kerja hilang lebih dari Total kerugian kecelakaan kerja lebih dari Rp.
Sangat Parah
1X24 jam 10.000.000
Tabel di bawah merupakan representasi kategori resiko yang dihasilkan dari penilaian matriks resiko :
Renda
Perlu Aturan/Prosedur/Rambu
h
Dari representasi di atas, maka dapat kita tentukan langkah pengendalian resiko yang paling tepat berdasarkan 5
(lima) hirarki pengendalian resiko/bahaya K3.
Resiko/bahaya yang sudah diidentifikasi dan dilakukan penilaian memerlukan langkah pengendalian untuk
menurunkan tingkat resiko/bahaya-nya menuju ke titik yang aman.
Pengendalian Resiko/Bahaya dengan cara eliminasi memiliki tingkat keefektifan, kehandalan dan proteksi tertinggi
di antara pengendalian lainnya. Dan pada urutan hierarki setelahnya, tingkat keefektifan, kehandalan dan proteksi
menurun seperti diilustrasikan pada gambar di bawah :
Pengendalian resiko merupakan suatu hierarki (dilakukan berurutan sampai dengan tingkat resiko/bahaya
berkurang menuju titik yang aman). Hierarki pengendalian tersebut antara lain ialah eliminasi, substitusi,
perancangan, administrasi dan alat pelindung diri (APD) yang terdapat pada tabel di bawah :
Dalam standar OHSAS 18001:2007 dijabarkan beberapa definisi (pengertian) mengenai Insiden, Kecelakaan Kerja
dan juga Nearmiss (hampir celaka). Ketiga istilah di atas memiliki pengertian, arti dan definisi berbeda
sebagaimana hal berikut di bawah :
Pengertian (Definisi) Insiden ialah kejadian yang berkaitan dengan pekerjaan dimana cedera, penyakit akibat kerja
(PAK) ataupun kefatalan (kematian) dapat terjadi. Termasuk insiden ialah keadaan darurat.
Pengertian (Definisi) Kecelakaan Kerja ialah insiden yang menimbulkan cedera, penyakit akibat kerja (PAK)
ataupun kefatalan (kematian).
Pengertian (Definisi) Nearmiss ialah insiden yang tidak menimbulkan cedera, penyakit akibat kerja (PAK) ataupun
kefatalan (kematian).
Pengertian (Definisi) Keadaan Darurat ialah keadaan sulit yang tidak diduga (terduga) yang memerlukan
penanganan segera supaya tidak terjadi kecelakaan/kefatalan.
Investigasi (Penyebab) Kecelakaan Kerja | Efek Domino Kecelakaan Kerja (H.W. Heinrich)
Menurut teori domino effect kecelakaan kerja H.W Heinrich, kecelakaan terjadi melalui hubungan mata-rantai
sebab-akibat dari beberapa faktor penyebab kecelakaan kerja yang saling berhubungan sehingga
menimbulkan kecelakaan kerja (cedera ataupun penyakit akibat kerja / PAK) serta beberapa kerugian lainnya.
Terdapat faktor-faktor penyebab kecelakaan kerja antara lain : penyebab langsung kecelakaan kerja, penyebab
tidak langsung kecelakaan kerja dan penyebab dasar kecelakaan kerja.
Termasuk dalam faktor penyebab langsung kecelakaan kerja ialah kondisi tidak aman/ berbahaya (unsafe condition)
dan tindakan tidak aman/berbahaya ( unsafe action). Kondisi tidak aman, beberapa contohnya antara lain : tidak
dipasang (terpasangnya) pengaman ( safeguard) pada bagian mesin yang berputar, tajam ataupun panas, terdapat
instalasi kabel listrik yang kurang standar (isolasi terkelupas, tidak rapi), alat kerja/mesin/kendaraan yang kurang
layak pakai, tidak terdapat label pada kemasan bahan (material) berbahaya, dsj. Termasuk dalam tindakan tidak
aman antara lain : kecerobohan, meninggalkan prosedur kerja, tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) ,
bekerja tanpa perintah, mengabaikan instruksi kerja, tidak mematuhi rambu-rambu di tempat kerja, tidak
melaporkan adanya kerusakan alat/mesin ataupun APD, tidak mengurus izin kerjaberbahaya sebelum memulai
pekerjaan dengan resiko/bahaya tinggi.
Termasuk dalam faktor penyebab tidak langsung kecelakaan kerja ialah faktor pekerjaan dan faktor pribadi.
Termasuk dalam faktor pekerjaan antara lain : pekerjaan tidak sesuai dengan tenaga kerja, pekerjaan tidak sesuai
sesuai dengan kondisi sebenarnya, pekerjaan beresiko tinggi namun belum ada upaya pengendalian di dalamnya,
beban kerja yang tidak sesuai, dsj. Termasuk dalam faktor pribadi antara lain : mental/kepribadian tenaga kerja
tidak sesuai dengan pekerjaan, konflik, stress, keahlian yang tidak sesuai, dsj.
Termasuk dalam faktor penyebab dasar kecelakaan kerja ialah lemahnya manajemen dan pengendaliannya,
kurangnya sarana dan prasarana, kurangnya sumber daya, kurangnya komitmen, dsb.
Menurut teori efek domino H.W Heinrich juga bahwa kontribusi terbesar penyebab kasus kecelakaan kerja adalah
berasal dari faktor kelalaian manusia yaitu sebesar 88%. Sedangkan 10% lainnya adalah dari faktor ketidaklayakan
properti/aset/barang dan 2% faktor lain-lain. Gambar di bawah ialah ilustrasi dari teori domino effect kecelakaan
kerja H.W. Heinrich.
Kerugian kecelakaan kerja diilustrasikan sebagaimana gunung es di permukaan laut dimana es yang terlihat di
permukaan laut lebih kecil dari pada ukuran es sesungguhnya secara keseluruhan. Begitu pula kerugian
pada kecelakaan kerja kerugian yang "tampak/terlihat" lebih kecil dari pada kerugian keseluruhan.
Dalam hal ini kerugian yang "tampak" ialah terkait dengan biaya langsung untuk
penanganan/perawatan/pengobatan korban kecelakaan kerja tanpa memperhatikan kerugian-kerugian lainnya
yang bisa jadi berlipat-lipat jumlahnya daripada biaya langsung untuk korban kecelakaan kerja. Kerugian
kecelakaan kerja yang sesungguhnya ialah jumlah kerugian untuk korban kecelakaan kerja ditambahkan dengan
kerugian-kerugian lainnya (material/non-material) yang diakibatkan oleh kecelakaan kerja tersebut. Kerugian-
kerugian (biaya-biaya) tersebut antara lain :
1. Kerusakan Bangunan
Piramida Kecelakaan Kerja menggambarkan statistik urutan (rangkaian) kejadian yang terjadi menuju 1 (satu)
kecelakaan fatal (kematian/cacat permanen). Lebih jelasnya dapat dijabarkan dalam teori piramida kecelakaan
kerja sebagai berikut :
Setiap terdapat 1 (satu) kejadian kecelakaan fatal (kematian/cacat permanen) maka di dalam 1 (satu) kejadian fatal
tersebut terdapat 10 (sepuluh) kejadian kecelakaan ringan dan 30 (tiga puluh) kejadian kecelakaan yang
menimbulkan kerusakan aset/properti/alat/bahan serta 600 (enam ratus) kejadian nearmiss (hampir celaka)
sebelum terjadi 1 (satu) kejadian kecelakaan fatal tersebut. Piramida kecelakaan kerja tersebut menggambarkan
bahwa untuk (guna) mencegah kecelakaan fatal di tempat kerja, maka harus terdapat upaya untuk menghilangkan
(mengurangi) kejadian-kejadian nearmissdi tempat kerja sehingga probabilitas menuju kejadian kecelakaan fatal
dan kejadian-kejadian lain sebelum menuju adanya 1 (satu) kejadian fatal dapat dikurangi (tidak ada). Ilustrasi
piramida kecelakaan kerja sebagaimana gambar di bawah :
Terjadinya kecelakaan kerja merupakan suatu bentuk kerugian baik bagi korban kecelakaan kerja maupun
Perusahaan/Organisasi. Upaya pencegahan kecelakaan kerja diperlukan untuk menghindari kerugian-
kerugian yang timbul serta untuk meningkatkan kinerja keselamatan kerja di tempat kerja.
Berdasarkan teori domino effect penyebab kecelakaan kerja (H.W. Heinrich), maka dapat dirancang berbagai
upaya untuk mencegah kecelakaan kerja di tempat kerja, antara lain :
o Pengembangan Sumber Daya ataupun Teknologi yang berkaitan dengan peningkatan penerapan
K3 di tempat kerja.
o Penghargaan dan Sanksi terhadap penerapan K3 di tempat kerja kepada tenaga kerja.
Pengertian (Definisi), Contoh, Penyebab dan Pencegahan Penyakit Akibat Kerja (PAK)
Pengertian (definisi) Penyakit Akibat Kerja (PAK) ialah gangguan kesehatan baik jasmani maupun rohani yang
ditimbulkan ataupun diperparah oleh aktivitas kerja ataupun kondisi lain yang berhubungan dengan pekerjaan.
Beberapa contoh penyakit akibat kerja (PAK) antara lain : silicosis(karena paparan debu silica), asbestosis (karena
paparan debu asbes), low back pain (karena pengangkutan manual), white finger syndrom (karena getaran
mekanis pada alat kerja), dsb.
Beberapa faktor penyebab penyakit akibat kerja (PAK) antara lain : Biologi (Bakteri, Virus Jamur, Binatang,
Tanaman) ; Kimia (Bahan Beracun dan Berbahaya/Radioaktif), Fisik (Tekanan, Suhu, Kebisingan,
Cahaya), Biomekanik (Postur, Gerakan Berulang, Pengangkutan Manual), Psikologi (Stress, dsb).
3. Pelayanan Kesehatan.
4. Penyedian Sarana dan Prasarana serta perbaikan tempat kerja yang lebih aman, sehat dan ergonomis.
Keadaan Darurat didefinisikan sebagai keadaan sulit yang tidak diduga yang memerlukan penanganan segera
supaya tidak terjadi kecelakaan/kefatalan.
Definisi Unit Tanggap Darurat ialah unit kerja yang dibentuk secara khusus untuk menanggulangi keadaaan darurat
di tempat kerja.
Unit kerja tersebut dibentuk dengan tujuan untuk memenuhi persyaratan OHSAS 18001:2007 klausul
4.4.7 Emergency Preparedness and Response (Persiapan Tanggap Darurat). Bagian dari perencanaan untuk
memenuhi klausul OHSAS 18001:2007 4.4.7 tersebut antara lain :
1. Kebakaran yang tidak mampu dipadamkan Regu Pemadam Kebakaran Perusahaan dalam waktu singkat.
3. Kebocoran gas/cairan/bahan material berbahaya lainnya dalam sekala besar dan tidak bisa diatasi dalam
waktu singkat.
4. Bencana alam di lingkungan Perusahaan (Banjir, Gempa Bumi, Angin Ribut, Gunung Meletus, dsb).
2. Melaksanakan latihan tanggap darurat bersama serta melibatkan seluruh karyawan secara berkala.
2. Mengajukan anggaran dana yang berkaitan dengan sarana dan prasarana tanggap darurat
Perusahaan.
Ketua 3. Mengundang partisipasi seluruh karyawan untuk melangsungkan latihan tanggap darurat di
lingkungan Perusahaan.
2. Melakukan pemantauan kebutuhan dan perawatan sarana dan prasarana tanggap darurat
Perusahaan.
Wakil
3. Melaksanakan kerja sama dengan pihak terkait yang berkaitan dengan tanggap darurat
Perusahaan.
3. Melaporkan adanya korban tertinggal, terjebak ataupun teruka kepada Regu P3K, Koordinator
maupun wakil Unit Tanggap Darurat.
3. Melaporkan kepada Koordinator ataupun wakil Unit Tanggap Darurat bilamana terdapat korban
yang memerlukan tindakan medis lanjut pihak ke tiga di luar Perusahaan.
Peran Wewenang dan Tanggung Jawab
Pengertian (Definisi) Api ialah suatu reaksi kimia (oksidasi) cepat yang terbentuk dari 3 (tiga) unsur yaitu panas,
oksigen dan bahan mudah terbakar yang menghasilkan panas dan cahaya.
Ilustrasi 3 (tiga) unsur api dapat dilihat sebagaimana Sedangkan pengertian (definisi) Kebakaran ialah
pada gambar segitiga api berikut. nyala api baik kecil maupun besar pada tempat,
situasi dan waktu yang tidak dikehendaki yang
bersifat merugikan dan pada umumnya sulit untuk
dikendalikan.
Kejadian kebakaran pada umumnya menimbulkan banyak kerugian baik itu korban jiwa maupun kerugian harta
benda. Hal tersebut dikarenakan pada umumnya kebakaran sulit untuk dikendalikan (dipadamkan). Untuk
menghindari kerugian yang dimaksud, maka perlu kita kenali sifat-sifat terjadinya (tahap-tahap) kebakaran tersebut.
o Reaksi 3 (tiga) unsur api (panas, oksigen dan bahan mudah terbakar).
o Dapat padam dengan sendirinya apabila api tidak dapat mencapai tahap kebakaran selanjutnya.
o Dapat terjadi flashover (ikut menyalanya bahan mudah terbakar lain di sekitar api karena panas
tinggi).
o Berpotensi menimbulkan korban terjebak, terluka ataupun kematian bagi petugas pemadam.
o Nyala api paling panas dan yang paling berbahaya bagi siapa saja yang terperangkap di dalamnya.
o Tahap kebakaran yang memakan waktu paling lama di antara tahap-tahap kebakaran lainnya.
o Penurunan kadar O2 (oksigen) atau bahan mudah terbakar secara signifikan yang menyebabkan
padamnya api (kebakaran).
o Terdapatnya bahan mudah terbakar yang belum menyala berpotensi menimbulkan nyala api baru
secara.
o Berpotensi menimbulkan backdraft (ledakan yang terjadi akibat masuknya pasokan oksigen secara
tiba-tiba dari kebakaran ruang tertutup yang dibuka mendadak saat kebakaran berlangsung).
Gambar di bawah mengilustrasikan tahap-tahap kebakaran dari muncul api sampai kebakaran reda (padam):
Untuk dapat memadamkan api (kebakaran) terdapat beberapa metode/cara berdasarkan teori terbentuknya api
(segitiga api) yaitu diantaranya ialah dengan metode pendinginan, isolasi, dilusi, pemisahan bahan mudah terbakar
dan pemutusan rantai reaksi api.
2. Isolasi
o Menutup permukaan benda yang terbakar untuk menghalangi unsur O2 menyalakan api.
3. Dilusi
o Memutus rantai reaksi api dengan menggunakan bahan tertentu untuk mengikat radikal bebas
pemicu rantai reaksi api.
o Menggunakan bahan dasar Halon (Penggunaan Halon sekarang dilarang karena menimbulkan efek
rumah kaca).
Kebakaran diklasifikan (dikelompokkan) berdasarkan sumber penyebab api yang muncul dalam kejadian
kebakaran. Klasifikasi (kelas) kebakaran secara umum merujuk pada klasifikasiInternasional yaitu klasifikasi (kelas)
kebakaran menurut NFPA (National Fire Protection Association) Amerika.
Sumber terakhir sampai dengan artikel ini disusun, NFPA membagi klasifikasi (kelas) kebakaran menjadi 6 (enam)
kelas yaitu : Kebakaran Kelas A, Kebakaran Kelas B, Kebakaran Kelas C, Kebakaran Kelas D, Kebakaran Kelas E
dan Kebakaran Kelas K.
Klasifikasi (kelas) kebakaran berguna untuk menentukan media pemadam efektif untuk memadamkan
api/kebakaran menurut sumber api/kebakaran tersebut, serta berguna untuk menentukan tingkat keamanan jenis
suatu media pemadam sebagai media pemadam suatu kelas kebakaran berdasarkan sumber api/kebakarannya.
Klasifikasi (kelas) kebakaran berdasarkan NFPA berikut dengan media pemadam efektifnya antara lain :
Kelas Kebakaran Pemadam
Padat Non Logam Air, Uap Air, Pasir, Busa, CO2, Serbuk Kimia Kering, Cairan
Kimia
Gas/Uap/Cairan
CO2, Serbuk Kimia Kering, Busa
Arus Pendek
Logam
Kelas Kebakaran Pemadam
Radioaktif
Tata Cara Penggunaan APAR (Alat Pemadam Api Ringan) / Tabung Pemadam Kebakaran
Pengertian (Definisi) APAR (Alat Pemadam Api Ringan) ialah alat yang ringan serta mudah dilayani untuk satu
orang gunamemadamkan api/kebakaran pada mula terjadi kebakaran (definisi berdasarkan Permenakertrans RI No
4/MEN/1980 tentang Syarat-syarat Pemasangan dan Pemeliharaan Alat Pemadam Api Ringan).
Tata cara (Prosedur) penggunaan APAR (Alat Pemadam Api Ringan) / Tabung Pemadam Kebakaran :
1. Perhatikan arah angin (usahakan badan/muka menghadap searah dengan arah angin) supaya media
pemadam benar-benar efektif menuju ke pusat api dan jilatan api tidak mengenai tubuh petugas pemadam.
2. Perhatikan sumber kebakaran dan gunakan jenis APAR yang sesuai dengan klasifikasi sumber kebakaran .
Pengertian (Definisi) Alat Pelindung Diri (APD) ialah kelengkapan wajib yang digunakan saat bekerja sesuai
dengan bahaya dan resiko kerja untuk menjaga keselamatan tenaga kerja itu sendiri maupun orang lain di tempat
kerja.
Pengertian / Definisi LOTO (Lockout Tagout) ialah suatu prosedur untuk menjamin mesin/alat berbahaya secara
tepat telah dimatikan dan tidak akan menyala kembali selama pekerjaan berbahaya ataupun pekerjaan perbaikan /
perawatan sedang berlangsung sampai dengan pekerjaan tersebut telah selesai.
Izin Kerja diperlukan khusus untuk pekerjaan non-rutin yang mengandung bahaya/resiko K3 tinggi. Tujuan dari izin
kerja ialah untuk memantau seluruh potensi bahaya dari area/situasi/aktivitas operasional di tempat kerja serta untuk
memastikan segala area/situasi/aktivitas pekerjaan berbahaya/beresiko tinggi sudah terdapat pengendalian sehingga
aman untuk dilangsungkan perkerjaan bersangkutan.
Pengurusan izin kerja dilaksanakan oleh tenaga kerja bersangkutan (ataupun kontraktor, pemasok, tamu, dsj) dengan
petugas/pengawas K3 serta Kepala/Manajer Area bersangkutan.
6. Izin Kerja Pekerjaan dengan Alat Berat ( Crane, Excavator, Backhoe, Shovel, dsj).
Pengertian (definisi) 5R (5S) ialah suatu cara (metode) untuk mengatur/mengelola tempat kerjamenjadi tempat kerja
yang lebih baik secara berkelanjutan.
2. Meningkatkan kenyamanan karena tempat kerja selalu bersih dan menjadi luas/lapang.
3. Mengurangi bahaya di tempat kerja karena kualitas tempat kerja yang bagus/baik.
Budaya 5R (5S) saat ini sudah banyak diterapkan pada banyak perusahaan (organisasi), terbukti melalui penerapkan
budaya 5R (5S) tersebut banyak perusahaan-perusahaan yang tumbuh berkembang menjadi perusahaan maju dan
berdaya saing tinggi. Budaya 5R (5S) merupakan investasi awal bagi sebuah perusahaan untuk menuju kesuksesan
berkelanjutan.
Terdapat 5 (lima) langkah dalam penerapan 5R (5S) di tempat kerja yaitu : Ringkas, Rapi Resik, Rawat dan Rajin.
1. Ringkas
o Memilah barang yang sudah rusak dan barang yang masih dapat digunakan.
o Memilah barang yang harus dibuang atau tidak.
2. Rapi
o Pengaturan (pengendalian) visual supaya peralatan/barang mudah ditemukan, teratur dan selalu pada
tempatnya.
3. Resik
4. Rawat
5. Rajin
Pengendalian Visual merupakan bentuk penerapan 5R langkah R yang ke-2 (dua) yaitu "Rapi". Langkah ini dilakukan
dengan cara menata / mengurutkan peralatan/barang berdasarkan alur proses kerja dan juga menata /mengurutkan
peralatan/barang berdasarkan keseringan penggunaan serta pengaturan/pengendalian (manajemen) secara visual
peralatan/barang di tempat kerja dengan label/tanda dengan maksud/tujuan barang ataupun peralatan lebih cepat dan
mudah ditemukan sehingga tercapai keteraturan di tempat kerja.
Manfaat dari pengaturan (pengendalian) visual ialah supaya orang ataupun orang lain (tamu/pengunjung) di tempat
kerja dapat dengan mudah mengetahui (memahami) situasi tempat/area kerja secara langsung bahkan tanpa harus
menanyakan kepada petugas/orang lain yang bekerja di tempat kerja.
Pengendalian visual dapat dilakukan dengan memberi tanda/nama/label pada lantai kerja, peralatan, laci/rak, kotak
penyimpanan, dsj. Untuk lebih memudahkan penerapannya, maka dapat ditambahkan sistem kode warna dalam
mengorganisir tanda/nama/label tempat kerja.
Berikut adalah contoh label dan kode warna sebagai pengaturan (pengendalian) visual dalam mengorganisir tempat
kerja :
Label Keterangan
1. Produk Jadi.
2. Sarana Umum.
1. Barang/Bahan Baku.
2. Sarana P3K.
3. Sarana Keselamatan.
Sarana Darurat & Evakuasi.
4. Jalur Pejalan Kaki.
3. Tanda Berhenti.
1. Rak/Lemari.
Label Keterangan
2. Meja.
3. Perlengkapan/Peralatan/Mesin.
1. Mesin/Alat Berbahaya.
Label (tanda) dan Kode Warna Perpipaan secara umum merujuk pada standar ANSI A13.1-2007 (American National
Standards Institute) dimana terdapat 6 (enam) kode warna dan label (tanda) perpipaan yang diatur sebagaimana tabel
di bawah berikut:
Label Keterangan
2. Air Boiler.
3. Air Pendingin.
4. Air Lainnya.
1. Gas Bertekanan.
1. Bahan Beracun.
2. Bahan Korosif.
¾ inch – 1 ¼
8 inch ½ inch
inch
Untuk pipa dengan ukuran kurang dari 3/4 inch direkomendasikan untuk membuat tanda yang mudah dilihat secara permanen.
Label (tanda) wajib mudah dilihat dan terdapat di setiap belokan pipa, sambungan pipa, juga pipa yang melewati
dinding. Penempatan label (tanda) dipasang setiap interval 7 meter - 15 meter.
Label (tanda/simbol) transportasi bahan/material berbahaya/B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) secara umum
merujuk pada U.S Department of Transportation (DOT) atau Departement Transportasi Amerika Serikat. Label (plakat)
secara umum dipasang pada kendaraan pengangkut juga pada kemasan paket baik itu transportasi darat, udara dan
laut ataupun transportasi khusus lainnya.
Secara umum terdapat 9 (sembilan) klasifikasi bahan/material berbahaya/B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) antara
lain :
Plakat Kelas
Kelas 2 – Gas :
3. 2.3–Gas Beracun.
Kelas 5 – Oksidator :
1. 5.1–Oksidator.
2. 5.2–Oksidator Organik.
Plakat Kelas
Kelas 6 – Beracun :
1. 6.1–Bahan Beracun.
2. 6.2–Menyebabkan Infeksi.
Kelas 7 – Radioaktif
Kelas 8 – Korosif
Kumpulan rambu-rambu K3 : rambu-rambu peringatan bahaya K3 di tempat kerja yang bermanfaat sebagai
manajemen visual di tempat kerja.
3 Kewajiban Pengusaha (Pengurus) Terhadap Penerapan K3 (Keselamatan dan Kesehatan
Kerja)
Kewajiban Pengusaha (Pengurus) Terhadap Penerapan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja ) di tempat
kerja tertuang dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pasal 14 yang mana terdapat 3
(tiga) kewajiban pengusaha (pengurus) terhadap penerapan K3 antara lain :
1. Menulis dan memasang semua syarat keselamatan kerja yang diwajibkan pada tempat-tempat yang mudah
dilihat dan terbaca menurut petunjuk pegawai pengawas atau Ahli K3 di tempat kerja yang dipimpinnya.
2. Memasang semua gambar keselamatan kerja yang diwajibkan dan semua bahan pembinaan lainnya pada
tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca menurut petunjuk pegawai pengawas atau Ahli K3 di tempat
kerja yang dipimpinnya.
3. Menyediakan (APD) Alat Pelindung Diri yang diwajibkan pada tenaga kerja yang dipimpin maupun orang lain
yang memasuki tempat kerja disertai petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut pegawai pengawas atau Ahli
K3 di tempat kerja yang dipimpinnya.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di tempat kerja merupakan tanggung-jawab bersama-sama. Dengan saling
menunaikan kewajiban di tempat kerja, maka diharapkan penerapan K3 di tempat kerja dapat berjalan dengan baik.
Perusahaan dan tenaga kerja sama-sama memiliki kewajiban terhadap penerapan K3 di tempat kerja.
Kewajiban Tenaga Kerja Terhadap Penerapan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja ) di tempat kerja tertuang
dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pasal 12dimana terdapat 5 (lima) kewajiban
utama tenaga kerja dalam penerapan K3 di tempat kerja, antara lain :
1. Memberi keterangan yang benar apabila diminta pegawai pengawas / keselamatan kerja.
5. Menyatakan keberatan kerja dimana syarat K3 dan APD yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal
khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas yang dapat dipertanggungjawabkan.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di tempat kerja merupakan tanggung-jawab bersama. Dengan saling
menunaikan kewajiban di tempat kerja, maka diharapkan penerapan K3 dapat dilaksanakan dengan baik. Perusahaan
dan tenaga kerja sama-sama memiliki kewajiban terhadap penerapan K3 di tempat kerja.
Syarat-syarat Penerapan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja ) di tempat kerja tertuang dalam Undang-Undang No
1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pasal 3 (tiga). Pada pasal tersebut disebutkan 18 (delapan belas) syarat
penerapan keselamatan kerja di tempat kerja di antaranya sebagai berikut :
7. Mencegah & mengendalikan timbulnya penyebaran suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, radiasi,
kebisingan & getaran.
13. Keserasian tenaga kerja, peralatan, lingkungan, cara & proses kerja.
14. Mengamankan & memperlancar pengangkutan manusia, binatang, tanaman & barang.
16. Mengamankan & memperlancar bongkar muat, perlakuan & penyimpanan barang
18. Menyesuaikan & menyempurnakan keselamatan pekerjaan yang resikonya bertambah tinggi.
Pengertian Kesehatan Kerja menurut joint ILO/WHO Committee 1995 ialah penyelenggaraan dan pemeliharaan
derajat setinggi-tingginya dari kesehatan fisik, mental dan sosial tenaga kerja di semua pekerjaan, pencegahan
gangguan kesehatan tenaga kerja yang disebabkan kondisi kerjanya, perlindungan tenaga kerja terhadap resiko
faktor-faktor yang mengganggu kesehatan, penempatan dan pemeliharaan tenaga kerja di lingkungan kerja sesuai
kemampuan fisik dan psikologisnya, dan sebagai kesimpulan ialah penyesuaian pekerjaan kepada manusia dan
manusia kepada pekerjaannya.
1. Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pasal 3 (tiga) dan pasal 8 (delapan).
2. Peraturan Menteri Perburuhan no 7 Tahun 1964 tentang Syarat-Syarat Kesehatan, Kebersihan serta
Penerangan di Tempat Kerja.
3. Permenaker No 2 Tahun 1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam Penyelenggaraan
Keselamatan Kerja.
6. Permenaker No 1 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Pemeliharaan Kesehatan Bagi Tenaga Kerja dengan
Manfaat Lebih Baik dari Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar Jamsostek.
7. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 333 Tahun 1989 tentang Diagnosa dan Pelaporan Penyakit Akibat Kerja.
8. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No 1 Tahun 1979 tentang Pengadaan Kantin dan Ruang Makan.
9. Surat Edaran Dirjen Binawas tentang Perusahan Catering Yang Mengelola Makanan Bagi Tenaga Kerja.
o Tenaga (dokter pemeriksa kesehatan tenaga kerja, dokter Perusahaan dan paramedis Perusahaan).
o Khusus (secara khusus terhadap tenaga kerja tertentu berdasarkan tingkat resiko yang diterima).
o Purna Bakti (dilakukan tiga bulan sebelum memasuki masa pensiun).
o Kantin (50-200 tenga kerja wajib menyediakan ruang makan, lebih dari 200 tenaga kerja wajib
menyediakan kantin Perusahaan).
o Prinsip Ergonomi:
Efisiensi Kerja.
o Beban Kerja :
Kelelahan.
6. Pelaksanaan Pelaporan (Pelayanan Kesehatan Kerja, Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dan Penyakit
Akibat Kerja)