Anda di halaman 1dari 65

2007

PENATALAKSANAAN
PENYAKIT JANTUNG
BAWAAN TANPA
BEDAH

HEALTH TECHNOLOGY ASSESSMENT INDONESIA


DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
PANEL AHLI

Dr. dr. Mulyadi M. Djer, Sp.A (K)


Divisi Kardiologi, IKA, FK UI/ RSUPN Cipto Mangunkusumo
Jakarta
dr. Sukman Tulus Putra, Sp.A (K), FACC, FESC
Divisi Kardiologi, IKA, FK UI/ RSUPN Cipto Mangunkusumo
Jakarta
dr. Anna Ulfa, Sp.JP (K)
Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Nasional RS Harapan Kita
Jakarta

dr. Poppy S. Roebiono, Sp.JP (K)


Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Nasional RS Harapan Kita
Jakarta

dr. Mahrus A. Rahman, Sp.A(K)


Bagian IKA, FK UNAIR/RS Soetomo
Surabaya
dr. Noormanto, Sp.A(K)
Bagian IKA, FK UGM/RS Sardjito
Yogyakarta
dr. Jusuf Rachmat, Sp.BTKV (K)
Divisi Bedah Thoraks dan Kardiovaskular, Departemen Ilmu Bedah FKUI/RSCM
Jakarta

dr. Ratna Farida, Sp.An (K)


Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI/RSCM
Jakarta

dr. M. Ali, Sp.A


Bagian IKA, FK USU/RS Dr Pirngadi
Medan
dr. Ria Nova, Sp.A(K)
Bagian IKA, FK UNSRI/RSMH
Palembang

UNIT PENGKAJIAN TEKNOLOGI KESEHATAN


Prof.Dr. dr. Sudigdo Sastroasmoro, Sp. A (K)
Ketua
dr. Ratna Rosita, MPHM
Anggota
dr. Santoso Soeroso, Sp.A (K), MARS
Anggota
dr. Suginarti, M. Kes
Anggota
dr.Diar Wahyu Indriarti, MARS
Anggota
dr. Titiek Resmisari
Anggota
dr. Aini Bachruddin Bactiar
Anggota
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan jantung yang paling
sering ditemukan pada bayi dan anak. Kelainan ini ditemukan sekitar 8 dari tiap 1000
kelahiran hidup, dengan sepertiga diantaranya bermanifestasi sebagai kondisi kritis
pada tahun pertama kehidupan dan 50% dari kegawatan pada bulan pertama
kehidupan berakhir dengan kematian.1,2 Di Indonesia, dengan populasi 220 juta
penduduk dan angka kelahiran hidup 2,27%, diperkirakan terdapat sekitar 40.000
penderita PJB baru tiap tahun.3
Dampak PJB terhadap angka kematian bayi dan anak cukup tinggi, oleh
karena itu dibutuhkan tata laksana PJB yang sangat cepat, tepat dan spesifik.
Sebelum era intervensi non-bedah berkembang, semua jenis PJB ditata laksana
dengan tindakan bedah/operasi. Dengan berkembangnya teknologi melalui teknik
kateterisasi dan intervensi, sebagian dari PJB dapat ditata laksana tanpa operasi.4,5
Kelebihan tindakan intervensi non-bedah dibandingkan dengan bedah adalah pasien
terbebas dari komplikasi operasi, bebas dari penggunaan mesin jantung-paru, waktu
penyembuhan lebih cepat, lamanya masa perawatan di rumah sakit menjadi lebih
singkat, dan secara kosmetik lebih baik karena tidak ada jaringan parut bekas
operasi di dada. Penggunaan mesin jantung-paru untuk bedah jantung terbuka
berisiko menyebabkan gangguan tumbuh kembang anak di kemudian hari. Di
samping itu, mengingat sumber daya dan fasilitas bedah jantung yang masih
terbatas di negara berkembang, seyogyanya tata laksana PJB jenis tertentu tanpa
operasi menjadi pilihan utama. Laporan dari berbagai negara menyatakan bahwa
penanganan PJB tanpa bedah cukup baik dan pilihan teknologi ini dapat menjadi
alternatif terapi dengan keamanan dan tingkat efikasi yang tinggi.6,7

1.2 Permasalahan
Di Indonesia, dengan penduduk sekitar 220 juta dan estimasi 40.000 kasus
PJB baru per tahun, hanya sekitar 2% kasus yang tertangani dengan memadai,
merupakan angka terendah di antara negara regional lainnya. Fasilitas dan
ketersediaan sumber daya manusia masih menjadi masalah besar karena dengan
kebutuhan 440 ahli kardiologi anak, baru 20 orang yang mampu disediakan.
Mengacu pada Standar Internasional, Indonesia seharusnya membutuhkan 46
senter kardiologi anak. Namun, hingga kini baru ada 4 senter saja yang aktif
melakukan intervensi kardiologi anak, yaitu Pusat Jantung Nasional/RS Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita dan RS. Dr. Cipto Mangunkusumo keduanya di
Jakarta, RS Dr.Soetomo Surabaya, dan RS Dr. Sardjito Yogyakarta.8
Prosedur intervensi dan kateterisasi pediatrik dilakukan oleh dokter ahli yang
mempunyai kompetensi melalui pelatihan khusus mengacu pada modul yang
disusun dan disahkan oleh kolegium terkait.
Permasalahan lain adalah masalah biaya yaitu prosedur intervensi non-
bedah yang masih relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tindakan operasi. Namun
pada pembedahan, biaya tersebut belum mengikutsertakan biaya tidak langsung
akibat masa rawat pasca-operasi yang lebih panjang, terganggunya aktivitas
orangtua ditambah dengan efek psikologis pasien dan keluarganya.8

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Membuat assessment/penilaian berdasarkan kedokteran berbasis bukti (Evidence-
based medicine) dalam tata laksana penyakit jantung bawaan.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Terwujudnya kajian ilmiah berdasarkan kedokteran berbasis bukti (Evidence-
based medicine) tentang tatalaksana penyakit jantung bawaan tanpa bedah.
2. Terwujudnya rekomendasi dalam menetapkan kebijakan program yang
berkenaan dengan tatalaksana penyakit jantung bawaan tanpa bedah.
BAB II
METODOLOGI PENILAIAN

2.1. Strategi Penelusuran Kepustakaan


Penelusuran literatur dilakukan secara manual dan melalui kepustakaan elektronik:
New England Journal of Medicine, Bombay Hospital Journal, Journal of Paediatric,
American Journal of Medicine, Korean Journal of Medicine, European Heart Journal,
Journal of the American College of Cardiology, American Heart Association, Archives
of Disease in Childhood, Statistics Indonesia, Pakistan Journal of Medicine, Images
in Paediatric Cardiology, Hong Kong Journal of Paediatrics dan The Journal of
Invasive Cardiology, dalam 20 tahun terakhir (1989-2007).
Kata kunci yang digunakan: Interventional cardiology, catheterization, transcatheter
closure, Amplatzer duct occluder dan Amplatzer septal occluder.

2.2. Level of evidence dan Derajat Rekomendasi


Setiap literatur yang diperoleh dilakukan penilaian kritis (critical appraisal)
berdasarkan kaidah evidence-based medicine, kemudian ditentukan levelnya.
Rekomendasi yang ditetapkan akan ditentukan tingkat rekomendasinya. Level of
evidence dan tingkat rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish
Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan kriteria yang ditetapkan US
Agency for Health Care Policy and Research.

Level of evidence
Ia. Meta-analisis randomized controlled trials
Ib. Minimal satu randomized controlled trials
IIa. Minimal satu non-randomized controlled trials
IIb. Studi kohort dan / atau studi kasus control
IIIa. Studi cross-sectional
IIIb. Seri kasus dan laporan kasus
IV. Konsensus dan pendapat ahli
Derajat Rekomendasi
A. Evidence yang termasuk dalam level Ia atau Ib
B. Evidence yang termasuk dalam level IIa atau IIb
C. Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb, atau IV
2.3 Ruang Lingkup
Kajian kardiologi intervensi non-bedah ini dibatasi pada penanganan 3 (tiga)
penyakit jantung bawaan yang cukup tinggi prevalensinya yaitu duktus arteriosus
persisten (DAP), defek septum atrium (DSA) dan defek septum ventrikel (DSV).
BAB III
TATA LAKSANA PENYAKIT JANTUNG BAWAAN TANPA BEDAH

3.1 Penyakit Jantung Bawaan


Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan jantung yang didapat
sejak lahir dan sudah terjadi ketika bayi masih dalam kandungan. Pada akhir
kehamilan 7 minggu, pembentukan jantung janin sudah lengkap, sehingga kelainan
pembentukan jantung terjadi pada trimester awal kehamilan. Faktor-faktor penyebab
PJB yang dianggap berpotensi di antaranya adalah infeksi virus pada ibu hamil
(misalnya : campak Jerman atau rubella), obat-obatan atau jamu-jamuan, dan
alkohol. Faktor keturunan atau kelainan genetik dapat juga menjadi penyebab
meskipun jarang, dan belum banyak diketahui. Misalnya, sindroma Down
(Mongolism) yang acapkali disertai dengan berbagai macam kelainan bawaan
termasuk PJB. Ibu yang merokok juga dilaporkan berbahaya bagi kehamilannya,
karena berpengaruh terhadap pertumbuhan janin dalam kandungan sehingga
berakibat bayi lahir prematur, cacat bawaan atau meninggal dalam kandungan.9,10
PJB merupakan kelainan bawaan yang paling sering terjadi (30% dari seluruh
kelainan bawaan), dan paling sering menimbulkan kematian khususnya pada
neonatus. Berdasarkan penampilan fisik, PJB secara garis besar dibagi atas dua
kelompok, yakni PJB tidak biru (asianosis) dan PJB biru (sianosis). Berdasarkan
kelainan anatomis, PJB secara garis besar dibagi atas 3 kelompok,yakni:9
1) Adanya penyempitan (stenosis) atau bahkan pembuntuan (obstruksi) pada bagian
tertentu jantung, yakni: katup atau salah satu bagian pembuluh darah di luar
jantung. Pada PJB kompleks dengan penyempitan yang berat, aliran darah ke
bagian tubuh setelah area penyempitan akan sangat menurun, bahkan terhenti
sama sekali pada pembuntuan total (atresia).
A. Stenosis (Penyempitan) Katup Pulmonal.
Terjadi kelebihan beban tekanan (pressure overload) pada jantung kanan,
yang pada akhirnya mengakibatkan gagal jantung kanan. Pada kondisi ini,
jantung tak mampu memompakan darah sesuai kebutuhan tubuh dan sesuai
jumlah darah yang kembali ke jantung, sehingga terjadilah bendungan
sistemik. Gejala klinisnya adalah: pembengkakan kelopak mata, tungkai,
pembesaran hati dan penimbunan cairan di rongga perut. Tindakan yang
dapat dilakukan antara lain adalah pelebaran katup pulmonalis dengan
kateter balon (balloon pulmonary valvuloplasty = BPV) melalui kateterisasi.
B. Stenosis (Penyempitan) Katup Aorta.
Terjadi kelebihan beban tekanan pada ventrikel kiri, yang pada akhirnya
mengakibatkan gagal jantung kiri. Kondisi ini ditandai oleh: sesak, batuk,
kadang-kadang dahak berdarah (akibat pecahnya pembuluh darah halus
yang bertekanan tinggi di paru). Penanganan yang dapat dilakukan antara
lain pelebaran katup dengan kateter balon (balloon aortic valvuloplasty =
BAV) melalui kateterisasi.
C. Atresia Katup Pulmonal.
Pada kasus ini katup pulmonal sama sekali buntu, sehingga tak ada
aliran darah dari jantung ke paru. Pasien hanya dapat bertahan hidup bila
duktus arteriosus tetap terbuka (yang mengalirkan darah dari aorta ke
pembuluh darah paru). Biasanya pembuluh ini akan menutup pada minggu
pertama kehidupan bayi, dan bila penutupan terjadi akan berakibat fatal.
Untuk mempertahankan duktus arteriosus tetap terbuka, diperlukan obat
prostaglandin E-1. Namun obat ini sifatnya hanya sementara, dan harus
segera diikuti dengan tindakan selanjutnya membuka katup pulmonal baik
secara bedah maupun non-bedah dengan membuat lubang (perforasi) pada
katup yang buntu tersebut yang dilanjutkan melebarkan lubang yang
terbentuk dengan kateter balon. Sedangkan atresia katup pulmonal dengan
DSV harus dilanjutkan dengan tindakan bedah memasang saluran antara
arteri subklavia dan arteri pulmonalis kanan atau kiri (prosedur Ballock-
Taussig shunt) atau mempertahankan agar DAP tetap terbuka dengan
memasang stent di DAP.
D. Koarktasio Aorta.
Pada kasus ini pembuluh darah aorta mengalami penyempitan. Bila
penyempitannya berat, maka sirkulasi darah ke organ tubuh di rongga perut
(ginjal, usus dll), serta tungkai bawah sangat berkurang, dan kondisi pasien
memburuk. Seperti halnya pada atresia katup pulmonal, pada koartasio aorta
yang berat, prostaglandin E-1 perlu diberikan untuk mempertahankan
pembukaan duktus arteriosus. Untuk selanjutnya, tindakan pelebaran dapat
dilakukan secara bedah atau non bedah dengan kateter balon.

2) Adanya lubang pada sekat pembatas antara kedua serambi atau bilik jantung
(septum), sehingga terjadi pirau (shunt) dari satu sisi ruang jantung ke ruang sisi
lainnya. Karena tekanan darah di ruang jantung sisi kiri lebih tinggi dibanding sisi
kanan, maka aliran pirau yang terjadi adalah dari kiri ke kanan. Akibatnya, aliran
darah ke paru berlebihan/banjir (contoh: DSA = defek septum atrium/lubang di
sekat serambi , DSV = defek septum ventrikel/lubang di sekat bilik). Pirau ini juga
bisa terjadi bila pembuluh darah yang menghubungkan aorta dan pembuluh
pulmonal tetap terbuka (DAP= duktus arteriosus persisten). Karena darah
mengalir dari sirkulasi darah bersih ke sirkulasi darah kotor, maka penampilan
pasien tidak biru (asianosis). Namun beban volume yang berlebihan pada
jantung kiri atau kanan akibat pirau yang besar dapat menimbulkan gagal jantung
kiri maupun kanan. Tanda-tanda gagal jantung kiri adalah: debaran jantung
kencang, cepat lelah, sesak napas, pada bayi sulit menyusu, pertumbuhan
terganggu, sering menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Dalam
kondisi seperti tersebut di atas, perlu diberikan obat-obatan untuk mengurangi
beban volume pada jantung, yakni obat diuretik (memperlancar kencing) dan
obat vasodilator (pelebar pembuluh darah).
A. Defek septum atrium (DSA)
Lubang DSA kini dapat ditutup dengan tindakan non bedah , yakni
memasang alat penyumbat yang dimasukkan melalui kateter dari pembuluh
darah vena di lipat paha. Alat penyumbat tersebut antara lain adalah
Amplatzer Septal Occluder (ASO). Namun pada sebagian kasus, DSA
sekundum, DSA tipe sinus venosus atau DSA primum, tak dapat ditangani
dengan metode ini, dan memerlukan pembedahan.
B. Defek Septum Ventrikel (DSV)
Pada DSV tertentu seperti DSV perimembran dan muskular, defek dapat
ditutup dengan tindakan non-bedah dengan memasang alat penyumbat
antara lain Amplatzer Membranous/Muscular VSD Occluder (AVO) yang
dimasukkan melalui kateter dari pembuluh darah vena di lipat paha. Namun
pada jenis Sub-Arterial Doubly Commited (SADC) tetap diperlukan
pembedahan.
C. Duktus arteriosus persisten (DAP)
DAP juga dapat ditutup dengan tindakan non bedah menggunakan
penyumbat Amplatzer duct occluder (ADO) atau okluder janin lain. Bila DAP
sangat besar atau DAP pada neonatus atau bayi kecil dibawah 6 kg, tindakan
bedah masih merupakan pilihan utama. DAP pada bayi prematur dapat
dirangsang penutupannya dengan menggunakan obat anti-postaglandin
seperti indometasin atau ibuprofen.

3) Pembuluh darah utama jantung keluar dari ruang jantung dalam posisi
tertukar (pembuluh darah aorta keluar dari bilik kanan sedangkan pembuluh
darah pulmonal/paru keluar dari bilik kiri). Kelainan ini disebut transposisi arteri
besar (TGA = transposition of the great arteries) dan ditemukan dua sirkulasi
darah yang paralel. Untuk kelangsungan hidup bayi dengan PJB jenis ini
diperlukan percampuran darah antara jantung kiri dan kanan, yang mana akan
diperoleh melalui DAP, DSA atau DSV. Pada jenis yang tidak disertai DSV saat
usia neonatus perlu diberikan obat prostaglandin E-1 untuk mempertahankan
duktus arteriosus tetap terbuka. Namun obat ini sifatnya hanya sementara, dan
harus segera diikuti dengan tindakan pembuatan lubang di sekat serambi secara
non bedah dengan balon. Tindakan ini disebut balloon atrial septostomy (BAS).

Di samping kelainan anatomi jantung, PJB juga dapat menyangkut kelainan


pada sistem konduksi jantung. Pacu jantung yang lemah atau adanya blok pada
sistem konduksi jantung, berakibat denyut jantung/nadi yang pelan, sehingga tak
mencukupi kebutuhan sirkulasi tubuh. Untuk itu perlu pemasangan alat pacu jantung
(pacemaker) permanen. Pada anak yang sudah cukup besar pemasangan pacu
jantung permanen ini dapat dilakukan tanpa bedah dengan menanam batere di
bawah kulit di bahu kiri atau kanan dan memasukkan elektroda ke dalam serambi
atau bilik jantung kanan melalui vena subklavia kiri atau kanan. Tetapi pada bayi
masih diperlukan pembedahan dengan menempelkan elektroda epikardial di
permukaan jantung dan menanam baterenya di bawah kulit di daerah subsifoid.9

3.2 Kardiologi Intervensi


3.2.1 Sejarah
Selama lebih dari 10 tahun telah terjadi perkembangan yang amat drastis dan
spektakuler di bidang kardiologi anak, yakni berkembangnya kateterisasi jantung
terapeutik di berbagai pusat jantung anak dunia. Berbagai teknik dan alat diagnostik
invasif dan non-invasif untuk mengobati PJB telah ditemukan, seperti balloon
valvuloplasty, balloon atrial septostomy (BAS), stent, coil dan device closure untuk
kelainan jantung duktus arteriosus persisten (DAP), defek septum atrium (DSA), dan
defek septum ventrikel (DSV). Dapat dibayangkan pada masa dua dekade lalu,
seorang anak penderita DAP, DSA atau DSV untuk pengobatannya tidak ada pilihan
kecuali operasi, baik operasi jantung terbuka atau tertutup. Namun, saat ini sebagian
besar PJB tidak memerlukan prosedur operasi lagi. Dengan prosedur seperti
kateterisasi jantung biasa, suatu alat (devices) dapat dipasang untuk menutup
kebocoran (defek) tersebut dengan tingkat keberhasilan yang dapat dikatakan sama
dengan operasi jantung, namun dengan risiko jauh lebih ringan.8
Perkembangan kardiologi intervensi non-bedah diawali oleh Rubio-Alvarez
pada tahun 1953 yang melakukan insisi katup pulmonal dengan menggunakan wire
yang diletakkan di ujung kateter. Selanjutnya pada tahun 1966, William Rashkind
mengembangkan penggunaan septostomi dengan menggunakan balon pada
neonatus dengan kelainan transposisi arteri besar. Setahun kemudian Porstman
untuk pertama kalinya menutup duktus arteriosus persisten (DAP) dengan
menggunakan Ivalon plug. Akhir-akhir ini untuk DAP yang besar banyak dipakai ADO
dan untuk yang kecil dengan coil. Perkembangan yang lebih dramatis adalah pada
tahun 1974 ketika King dan Mills untuk pertama kalinya berhasil melakukan teknik
penutupan defek septum atrium (DSA). Pada tahun yang sama Andreas Gruentzig
mengembangkan angioplasti pembuluh darah koroner yang menjadi tonggak
maraknya penggunaan kardiologi intervensi non-bedah untuk terapi penyakit jantung.
Saat ini bahkan terapi transkateter mampu menggeser bedah jantung terbuka bagi
PJB non-kompleks. Sedangkan untuk kelainan yang lebih kompleks, bedah masih
merupakan pilihan.4
Di Indonesia, kardiologi intervensi non-bedah pada anak dimulai pada tahun
1989 berupa pelebaran katup mitral dengan balon yang dilakukan di Pusat Jantung
Nasional Harapan Kita Jakarta. Tahun 1998 teknik penutupan DAP dengan coil telah
mulai dilakukan di RS Jantung Harapan Kita yang selanjutnya pada tahun 2002
untuk DAP yang besar ditutup dengan alat ADO dan DSA dengan alat ASO.
Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) RSCM Jakarta mulai melaksanakan teknik ini
pada awal tahun 2002, diikuti oleh RS Dr. Soetomo Surabaya, RS Dr. Sardjito
Yogyakarta dan RS M Hoesin Palembang. Dengan adanya Program Pendidikan
Dokter Spesialis (PPDS) 2 Kardiologi Anak FKUI/RSCM di Jakarta yang telah
diakreditasi oleh Kolegium IDAI Indonesia, perkembangan bidang intervensi ini dapat
dikatakan cukup cepat dan menggembirakan.6,8 Intervensi non bedah untuk menutup
DSV dimulai pertama kali di PJT RSCM pada tahun 2004 disupervisi oleh
intervensionist dari Institut Jantung Negara, Malaysia. Sejak itu, 15 kasus DSV pada
anak berhasil ditutup di senter ini, 3 kasus DSV di Pusat Jantung Nasional Harapan
Kita, dan 1 kasus di RS Husada Utama, Surabaya. Prosedur-prosedur intervensi
non-bedah ini cukup memberikan harapan bagi masa depan anak-anak di Indonesia
penyandang PJB khususnya DAP, DSA dan DSV.8

3.2.2 Prosedur Kardiologi Intervensi Non-Bedah11


3.2.2.1 Dilatasi
Prosedur ini merupakan tindakan membuka atau melebarkan katup atau pembuluh
darah, seperti pada:
Balloon atrial septostomy
Balloon valve dilatation
Pulmonary valve dilatation critical pulmonic stenosis in the newborn
Aortic valve dilatation
Critical aortic stenosis in the newborn
Angioplasti koarktasio aorta
Mitral valve dilatation
Dilation of branch pulmonary artery stenosis
Dilation of systemic vein stenosis
Pulmonary vein dilation

3.2.2.2 Oklusi
Prosedur ini merupakan tindakan untuk menutup lubang atau pembuluh darah,
seperti pada:
Defek septum atrium
Defek septum ventrikel
Duktus arteriosus persisten

3.2.2.3 Kardiologi intervensi pediatrik pada penyakit jantung bawaan kompleks


Pulmonary valve perforation in pulmonary atresia with intact IVS
Intravascular stents in congenital heart disease
Closure of abnormal vascular communications: embolization therapy
Stenting of the PDA in duct dependent circulations
Transcatheter replacement of pulmonary valve

3.2.3 PJB yang dapat ditatalaksana dengan kardiologi intervensi non-bedah


Pada kajian ini pembahasan dibatasi pada tatalaksana kardiologi intervensi non-
bedah pada tiga PJB yang cukup tinggi prevalensnya yaitu duktus arteriosus
persisten (DAP), defek septum atrium (DSA), dan defek septum ventrikel (DSV).
Ketiganya akan dibahas secara rinci satu per satu.

3.2.3.1 Duktus Arteriosus Persisten (DAP)


DAP merupakan PJB non-sianotik yang relatif sering ditemukan. Secara
embriologis selama dalam kehidupan intrauterin semua janin memiliki pembuluh
darah ini, namun pada bayi normal pembuluh darah ini akan menutup secara
spontan umumnya dalam waktu 24 jam sampai 7 hari setelah lahir.12,13
Penutupan duktus arteriosus terjadi dalam dua fase, yaitu fase pertama,
terjadi konstriksi otot pada duktus tersebut beberapa jam setelah lahir dikarenakan
menurunnya kadar prostaglandin dan meningkatnya kadar oksigen dalam darah
sesaat setelah lahir.12 Fase kedua, dilanjutkan dengan involusi tunika intima dan
pelipatan tunika media duktus yang terjadi beberapa hari atau minggu setelah lahir
sehingga terjadi penutupan anatomi duktus.12,13 Duktus arteriosus persisten (DAP)
masih mungkin normal pada bayi baru lahir karena biasanya duktus arteriosus akan
menutup secara spontan pada hari keempat.13 Penyebab pasti DAP hingga kini
masih belum diketahui. Tidak terjadinya penutupan duktus arteriosus dapat
mengakibatkan gangguan hemodinamik yang cukup signifikan karena meningkatkan
beban volume di jantung kiri yang dikhawatirkan akan mengakibatkan gagal jantung.
Insiden DAP merupakan 2% - 15% kasus PJB.14,15,16
Pada bayi prematur 10-70% biasanya menderita DAP akibat kadar
prostaglandin yang masih tinggi dalam darah.17,18 Umumnya DAP pada bayi prematur
dapat diberi terapi awal dengan obat anti-prostaglandin, namun jika gagal dan bayi
dalam keadaan gagal jantung yang sulit diatasi dengan obat anti-gagal jantung, perlu
tindakan bedah ligasi DAP. Obat yang biasanya digunakan untuk merangsang
penutupan DAP pada bayi prematur adalah indometasin ataupun ibuprofen.17
Sebelum intervensi kardiologi non-bedah berkembang, DAP yang tidak
memberi respons dengan terapi medikamentosa ditangani dengan mengikat duktus
tersebut melalui sayatan di punggung kiri (dibawah ketiak kiri) tanpa menggunakan
mesin pintas jantung-paru. Sekarang dengan kemajuan teknologi, DAP dapat ditutup
di kamar kateterisasi tanpa operasi dengan menggunakan alat yang dimasukkan
melalui kateter dari vena femoralis.19,20
Kasus DAP, dilaporkan antara 28-88% disertai kelainan jantung bawaan yang
lain (PJB kompleks) ataupun kelainan bawaan non-jantung, dan 8-11% penderita
DAP memiliki kelainan kromosom.21,22 DAP tidak dapat diidentifikasi saat ibu
memeriksakan janinnya pada waktu ANC dengan menggunakan Ultrasonografi atau
Ekokardiografi untuk fetus/janin karena pembuluh ini normal pada janin dalam
kandungan. Diagnosis DAP dapat ditegakkan setelah lahir dengan bantuan
pemeriksaan ekokardiografi 2-dimensi dan Doppler berwarna. DAP dapat terlihat
dengan ditemukan aliran kontinyu di arteri pulmonalis. Lesi/kelainan lain di dalam
jantung juga dapat terdeteksi oleh pemeriksaan ini. Dengan pemeriksaan Doppler
berwarna dapat dideteksi aliran abnormal yang sangat kecil pada arteri pulmonalis,
walaupun tidak terdeteksi secara klinis, yang biasanya di sebut “silent ductus”.23
24
Gambar 1. Anatomi Jantung Normal dan Duktus arteriosus persisten.

Langkah diagnostik 25
1. Anamnesis
Gambaran klinis pada DAP tergantung besarnya pintasan dari kiri ke kanan.
Bila ukuran defeknya kecil, umumnya asimtomatik, dan bila ukuran defek
besar biasanya terdapat gejala gagal jantung kiri berupa sesak napas, sulit
minum, berat badan sulit naik, ISPA berulang, ateletaksis, dan tanda gagal
jantung kongestif lanjut.
2. Pemeriksaan fisik
DAP kecil tidak terdapat gejala, biasanya laju nadi dan tekanan darah
normal, pada auskultasi terdengar bising kontinyu di sela iga 2 -3
parasternal kiri yang menjalar ke bawah klavikula kiri.
DAP sedang, gejala terlihat pada umur 2–5 bulan, yaitu : masalah minum;
ISPA berulang; namun berat badan normal.
DAP besar, gejalanya: takikardi dan dispnea sejak minggu pertama lahir.
Sering dijumpai hiperaktifitas prekordium, thrill sistolik pada bagian kiri
atas tepi sternum, dan tekanan nadi lebar dan kuat.
3. Pemeriksaan penunjang
EKG: pada DAP kecil dan sedang, EKG dapat normal atau menunjukkan
tanda hipertrofi ventrikel kiri (left ventricle hypertrophy = LVH), sedangkan
pada DAP besar dapat menunjukkan tanda LVH atau hipertrofi kedua
ventrikel kiri dan kanan (biventricular hypertrophy = BVH).
Foto Rontgen Toraks : pada DAP kecil, foto Rontgen toraks masih
normal, sedangkan pada DAP sedang sampai besar akan tampak
kardiomegali, pembesaran atrium kiri, ventrikel kiri dan aorta asendens,
serta gambaran peningkatan vaskular paru (plethora).
Ekokardiografi : dapat mengukur besar duktus, dimensi atrium kiri dan
ventrikel kiri. Makin besar pirau, makin besar dimensi atrium kiri dan
ventrikel kiri.
Medikamentosa 25
1. Pada neonatus kurang bulan atau cukup bulan dapat diberi Indometasin,
dosis 0,2 mg/kgBB pada hari pertama, selanjutnya 0,1 mg/kg mulai hari ke-2
sampai hari ke-7. Dosis ibuprofen adalah 10 mg/kg pada hari pertama,
selanjutnya 5 mg/kg pada hari ke-2 dan ke-3. Efek obat akan optimal bila
pemberian dilakukan sebelum usia 10 hari.
2. DAP sedang dan besar disertai gagal jantung, diberi diuretik, kalau perlu
ditambah digitalis atau inotropik yang sesuai. Pada neonatus dan bayi
dengan berat badan kurang dari 6 kg, bila gagal jantung tidak teratasi dengan
medikamentosa, dianjurkan operasi ligasi. Pada bayi dengan berat badan
lebih atau sama dengan 6 kg dan anak ataupun dewasa, DAP dapat ditutup
dengan memasang alat transkateter.
3. Walaupun DAP kecil dan tidak memberikan keluhan, tetap harus ditutup baik
secara bedah ataupun non bedah dengan memasang alat karena mudah
terjadi endokarditis infektif.
4. Pada DAP yang besar dengan hipertensi pulmonal yang sudah lanjut
sehingga terjadi aliran pirau dari kanan ke kiri dan sudah terjadi penyakit
vaskular paru, maka DAP tidak dianjurkan ditutup.
5. Profilaksis terhadap endokarditis bakterial subakut perlu diberikan bila ada
tindakan seperti cabut gigi, sirkumsisi atau tindakan bedah minor lainnya.
Algoritma Tata Laksana Duktus Arteriosus Persisten 25

DAP

Neonatus / Bayi Anak / Dewasa

Gagal Jantung (+) Gagal Jantung (-) HP (+) HP (-)

Prematur Cukup bulan LR R L

Medikamentosa Medikamentosa Hiperoksia


Indometacin Dekongestif

Reaktif Nonreaktif
Berhasil Gagal Gagal Berhasil

Berat ≥ 6 kg

Menutup Operasi
spontan ligasi
Transcatheter Closure Konservatif

Alat Yang Digunakan untuk menutup DAP


1. Amplatzer ductal occluder
Amplatzer duct occluder (ADO) merupakan alat yang saat ini secara luas
digunakan untuk menutup DAP dan sudah mendapat rekomendasi dari Food and
Drugs Administration (FDA) Amerika Serikat. ADO (AGA Medical Corporation,
Golden Valley, MN) terbuat dari anyaman kawat nitinol dengan diameter 0,0004-
0,0005 inci, berbentuk seperti jamur. ADO terdiri dari lempeng berbentuk cakram
yang datar dan badan utama yang berbentuk silinder serta di dalamnya terdapat
lapisan dakron yang terbuat dari polyester (Gambar 2). Retention disc ukurannya 4
mm lebih besar dari badan utama, strukturnya mirip dengan kerucut. Untuk
memasukkan alat ke lokasi DAP di dalam jantung, diperlukan delivery system yang
terdiri dari delivery sheath (sheath Mullin panjang), loading catheter, cable yang
terbuat dari kawat metal dengan sistem mur di ujungnya, plastic versa untuk melepas
alat dari cable. Ukuran ADO yang akan dipasang biasanya dipilih berdasarkan
diameter dari pulmonary end DAP (bagian DAP yang terkecil yang membentuk
bagian atas kerucutnya) pada angiografi ditambah sekurang-kurangnya 2mm lebih
besar dari diameter terkecil dari ukuran tersebut. Ukuran ADO dipakai menggunakan
dua angka berdasarkan diameter aortic dan pulmonary pada alat tersebut. Ukuran
standar ADO tersebut adalah 6/4, 8/6, 10/8, 12/10, 14/12, dan 16/14 mm, yaitu
angka awal (pembilang) merupakan ukuran dari aortic end dan angka terakhir
(penyebut) adalah ukuran dari pulmonary end pada alat yang berbentuk kerucut
tersebut. Alat ini panjangnya 7 mm.26

Gambar 2. Kiri. Amplatzer Duct Occluder setelah dikeluarkan dari bungkusnya. Alat ini berbentuk
kerucut dengan pulmonary end pada dasar gambar. Terdapat female end pada screw-system untuk
melekatkan alat tersebut ke delivery cable pada bagian sisi pulmonary end alat tersebut. Tengah.
Amplatzer Duct Occluder yang berada di antara jari operator (dokter ahli). Kanan. Terlihat bagian
27
pulmonary end dari alat tersebut.

2. Gianturco coil
Terbuat dari stainlessteel dan mengandung dakron. Alat ini disimpan dalam
casing. Jika alat ini keluar dari casing, akan membentuk spiral yang terdiri dari 2
sampai 5 loop. Gianturco coil, digunakan untuk menutup DAP kecil, yaitu ukurannya
kurang dari 3 mm. Untuk menutup DAP, kadang-kadang diperlukan lebih dari satu
coil. Ada 2 ukuran coil yang sering digunakan untuk menutup DAP adalah ukuran 5
cm X 8 mm (casing merah) dan 5 cm X 5 mm (casing biru). Harga coil relatif murah.
Kekurangannya adalah tidak bisa dikontrol atau ditarik kembali setelah lepas dari
casing dan mudah mengalami embolisasi (terlepas ke dalam arteri pulmonalis atau
aorta).

Gambar 3. Gianturco coil


3. Detachable coil
Coil ini terbuat dari bahan yang sama dengan Gianturco coil. Perbedaannya,
pada detachable coil, alat terhubung dengan tangkai pendorong dengan sistem mur.
Alat ini dapat dikontrol dan ditarik kembali sebelum dilepaskan dari tangkai
pendorong.

Gambar 4. Detachable coil


4. Nit-occluder
Terbuat dari stainlessteel, membentuk lingkaran kontinu dari besar ke kecil,
seperti bentuk obat anti-nyamuk bakar. Alat ini tidak megandung dakron. Nit-occluder
dapat digunakan untuk menutup DAP kecil-sedang (kurang dari 3,5 sampai 4 mm).
Karena tidak mengandung dakron, pembentukan trombus lebih lambat dibandingkan
dengan ADO dan Gianturco coil. Harga Nit-occluder lebih murah dari ADO.

Gambar 5. Nit-occluder
Prosedur pemasangan Amplatzer Duct Occluder 28
1. Pasien dibaringkan di meja kateterisasi, dan kamera X-Ray (mesin
angiografi) akan digunakan selama prosedur berlangsung.
2. Seorang asisten memonitor rekaman jantung melalui EKG. Selama
pemasangan EKG, elektroda-elektroda ditempatkan di permukaan kulit di
atas jantung dan di tempat lain pada ekstremitas atas dan bawah.
Pemasangan EKG membantu mengevaluasi antara tekanan nadi, irama
jantung per menit, dan aliran impuls listrik pada otot jantung. Prosedur ini
berlangsung selama 1-2 jam.
3. Pemasangan kateter ini membutuhkan anestesia umum ataupun lokal. Pada
anak besar atau dewasa, pemasangan ADO dapat dilakukan dengan
anestesi lokal.
Gambar 6. Tempat insisi pada pemasangan initial kateter
28
pada Amplatzer Duct Occluder

4. Akses vena atau arteri didapat dengan menggunakan abbocath nomor 22


dengan teknik Seldinger. Sheath dimasukkan masing-masing ke dalam vena
dan arteri femoralis. Dokter akan memasukkan kateter melalui sheath ini
untuk didorong sampai melewati DAP dan ujungnya berada di aorta
desenden. Pilihan lain untuk memasukkan sheath adalah di lengan (arteri
atau vena brakialis). Insisi kecil dibuat di lengan (Gambar 6). Dokter akan
melakukan pemasangan Amplatzer duct occluder, dengan panduan
angiografi untuk melihat duktus arteriosus persisten.
5. Akan diukur tekanan dan kadar oksigen di semua serambi, bilik jantung dan
pembuluh darah utama yang dapat dimasuki kateter. Kemudian berdasarkan
tekanan dan kadar oksigen terebut akan dikalkulasi rasio aliran darah ke paru
dan sistemik (Qp/Qs), mengukur resistensi paru.
6. Dilakukan angiografi di aorta desendens untuk memvisualisasi dan mengukur
diameter DAP.
7. Ukuran Amplatzer duct occluder yang akan dipasang adalah 2 mm lebih
besar dari diameter segmen terkecil DAP.
8. ADO mula-mula dipasangkan pada ujung kabel pengirim (delivery cable),
kemudian dimasukkan ke dalam loader catheter dan selanjutnya ke dalam
delivery sheath (atau kateter Mullin panjang). Cable didorong terus sampai
piringan (disk) proksimal ADO melewati DAP dan dikeluarkan/dikembangkan
di aorta desendens (Gambar 6 dan 7).
28
Gambar 7. DAP occluder dimasukkan melewati DAP kemudian ditarik kembali.

9. Delivery sheath bersama cable ditarik secara bersama-sama sampai ada


tahanan, berarti badan distal ADO sudah berada tepat di dalam ampula DAP
(Gambar 8)

28
Gambar 8. Delivery sheath bersama cable ditarik secara bersama-sama.

10. Bagian distal ADO dikembangkan dengan menarik delivery sheath (tanpa
menarik cable), sehingga ADO mengembang sendiri di dalam DAP begitu
ADO terlepas dari delivery sheath (Gambar 9).
11. Setelah diyakini posisi ADO duduk baik di dalam ampula DAP pada
visualisasi angiografi aorta desendens, maka ADO dilepaskan dari delivery
cable.
12. Saat tindakan di kamar kateterisasi diberikan antibiotika profilaksis injeksi
intravena amoksilin 50 mg/kgBB dan saat di ruang perawatan 8 jam
kemudian diberikan lagi 25 mg/kgBB.
28
Gambar 9. Diagram tempat ADO diletakkan

Setelah prosedur pemasangan Amplatzer duct occluder selesai, tekanan


darah pasien diukur secara teratur dan fungsi jantung pasien dimonitor melalui EKG
secara teratur. Perawat akan memeriksa Amplatzer duct occluder yang sudah
dipasang dengan mengukur tekanan nadi pada tangan dan kaki. Setelah pulih dari
pengaruh obat anestesi dan istirahat yang cukup, pasien harus mampu berdiri dan
duduk seperti biasa.
Pasien dipulangkan pada hari yang sama atau keesokan harinya dari rumah
sakit. Sebelum meninggalkan rumah sakit, dilakukan pemeriksaan transthoracal
echocardiography untuk memastikan posisi Amplatzer duct occluder dalam keadaan
stabil dan baik. Prosedur pemasangan Amplatzer duct occluder membutuhkan waktu
pemulihan yang lebih cepat dibanding pembedahan jantung.
Sebelum meninggalkan rumah sakit, dokter akan memberikan petunjuk
kepada pasien apa yang harus dilakukan dan obat yang dibawa pulang. Aspirin tidak
perlu diberikan. Antibiotik diberikan untuk mencegah endokarditis. Pasien dianjurkan
tetap memeriksakan diri ke dokter secara teratur.

Komplikasi setelah pemasangan transcatheter closure pada duktus arteriosus


persisten
Untuk mengevaluasi hasil prosedur dalam jangka pendek dan jangka panjang
serta komplikasi pemasangan transkateter pada DAP, pada bulan Oktober 1999 dan
Desember 2005, 117 pasien (34 laki-laki dan 83 perempuan) diteliti di Korea setelah
pemasangan percutaneous closure pada DAP dengan diameter minimum lebih dari
3mm. Observasi dilakukan pada hari ke 1 dan bulan ke 1, 3, 6, 12 setelah penutupan
dengan transkateter. Median umur pasien yang ikut serta 11 tahun (berkisar antara
0,6-68 tahun), median berat badan adalah 30 kg (berkisar antara 6-74 kg), dan
median diameter DAP adalah 4 mm (berkisar antara 3-8 mm). Penutupan dengan
transkateter ini berhasil dilakukan pada 114 pasien (97,4%), dengan alat yang
berbeda-beda, di antaranya ADO, Nit-Occlud coil, and Cook detachable coil. Median
waktu yang dibutuhkan untuk fluoroskopi pada penutupan DAP adalah 16 menit
(berkisar antara 3-40 menit), nilai median tekanan arteri pulmonalis adalah 26 mmHg
(berkisar antara 13-66 mmHg), dan nilai median rasio Qp/Qs (rasio arteri pulmonalis/
aliran sistemik) adalah 1,9 (berkisar antara 1,1– 4,8). Komplikasi mayor terdapat
pada 4 pasien (3,4 %). Dua orang pasien menunjukkan komplikasi yaitu hemolisis,
dan endokarditis didapatkan pada 1 pasien. Komplikasi minor didapatkan pada 6
pasien.29
Di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta, sejak November 1998
sampai September 2008 telah dilakukan tindakan penutupan DAP transkateter pada
264 pasien dengan alat yang berbeda-beda.30 Detachable coils dicoba dipasang
pada 30 pasien dengan median usia 7 tahun (0,9 – 24 tahun) dan diameter segmen
terkecil DAP 3 mm (1.3 – 5 mm), ADO pada 218 pasien dengan median usia 5 tahun
(0,6 – 41 tahun) dan diameter segmen terkecil DAP 5 mm (2 – 16 mm), serta Nitt-
occluder pada 13 pasien dengan median usia 6 tahun (0,6 – 14 tahun) dan diameter
segmen terkecil DAP 2,7 mm (1,4 – 3,6 mm). Pemasangan coil berhasil dilakukan
pada 25 pasien (83%) dimana 4 pasien diantaranya dipasang 2 buah coils.
Komplikasi migrasi/embolisasi ke arteri pulmonalis kiri terjadi pada 2 (7%) pasien dan
hemolisis pada 3 (12%) pasien. Penutupan komplit segera setelah pemasangan coil
ditemukan pada 15 (60%) pasien, dalam 24 jam setelah pemasangan pada 7 (28%)
pasien dan tetap ditemukan sisa pirau dalam observasi setelah 1 tahun pada 3
(12%) pasien. Sedangkan pada dari 216 (97%) pasien yang berhasil dipasang ADO,
komplikasi embolisasi ADO ke aorta desendens terjadi pada 1 (0,4%) pasien dan ke
arteri pulmonalis kanan 2 (0,8%) pasien. Penutupan komplit segera setelah
pemasangan ditemukan pada 186 (84%), dalam waktu 24 jam bertambah 29 (13%)
pasien dan hanya 1 (0,4%) pasien yang setelah observasi 1 tahun masih terdapat
sisa pirau melalui sela-sela ADO. Pemasangan Nitt-occluder berhasil dilakukan pada
11 (85%) pasien, tidak ditemukan komplikasi dan tidak satupun ditemukan
penutupan komplit segera setelah pemasangan. Penutupan komplit baru ditemukan
pada 9 (82%) pasien 24 jam setelah pemasangan dan sisanya pada observasi 1 – 6
bulan setelah pemasangan. Disimpulkan bahwa penutupan DAP dengan coil harus
dilakukan dengan hati-hati sedangkan ADO ternyata lebih aman dan hasilnya juga
lebih baik.
Pada sebuah penelitian eksperimental, menunjukkan bahwa penutupan
dengan ADO akan memperbaiki gejala dan tanda klinis gagal jantung akibat DAP,
memperbaiki dimensi jantung dan ruang jantung, memperbaiki faal diastolik ventrikel
kiri serta tidak dijumpai adanya gangguan faal sistolik.31
Adanya laporan tentang efek samping nikel, berawal dari ditemukannya
kasus keracunan nikel pada pekerja pabrik nikel yang menghirup partikel nikel.
Bahkan ditemukan kasus keracunan hingga kematian pada seseorang yang
makan/minum makanan/minuman yang mengandung nikel atau yang dimasak
dengan peralatan yang terbuat dari nikel. Karena ADO mengandung nikel dan
titanium, maka dipertanyakan efek samping mengenai pemakaian ADO. Penelitian
eksperimental yang dilakukan oleh Djer (Nopember 2006 - Februari 2008) terhadap
23 kasus, menunjukkan bahwa pasca penutupan DAP dengan ADO, tidak terdapat
peningkatan kadar nikel darah serta tidak ditemukan gejala dan tanda toksik nikel.
Komplikasi Mayor :
Hemolisis 2
Endokarditis 1
Terbentuknya embolus setelah operasi 1
Kejadian total 4 (3.4%)
Komplikasi Minor :
Penyempitan pada arteri pulmonalis kiri 4
Penyempitan pada aorta descenden 2
Kejadian total 6 (5.1%)

3.2.3.2 Defek septum atrium (DSA)


Defek septum atrium (DSA) merupakan bentuk PJB yang juga sering
ditemukan dengan insidens sekitar 7% dari seluruh PJB. DSA terjadi akibat sesuatu
hal yang mempengaruhi pembentukan sekat atrium jantung yang terjadi dalam
rentang waktu 8 minggu kehamilan.32 Gangguan hemodinamik yang terjadi pada
DSA disebabkan oleh pirau kiri ke kanan akibat adanya defek (lubang) pada dinding
atrium jantung. Akibatnya, darah dari atrium kiri yang seharusnya masuk ke ventrikel
kiri, akan masuk ke atrium kanan dan akhirnya ke ventrikel kanan. Jika lubangnya
cukup besar, dapat meningkatkan beban volume di jantung kanan, di samping juga
meningkatkan beban volume di jantung kiri.33 Terdapat tiga jenis DSA, yaitu : DSA
sekundum (50-70%), DSA primum (30%) dan DSA tipe sinus venosus (10%).34 DSA
sekundum merupakan tipe DSA yang paling sering ditemukan dan dapat ditangani
dengan transkateter. Tatalaksana pilihan terkini untuk DSA yang secara luas sudah
diterima di hampir seluruh negara adalah penutupan DSA transkateter menggunakan
Amplatzer septal occluder (ASO) dengan angka mortalitas kurang dari 1%.35

Defek septum atrium (DSA) umumnya ringan karena tidak mengakibatkan


pirau kiri ke kanan yang bermakna yang merupakan faktor risiko terjadinya penyakit
vaskular paru (pulmonary vascular disease). DSA yang signifikan dapat
mengakibatkan volume overload pada jantung kanan sehingga terjadi gagal jantung
kanan. Pada usia dewasa, DSA besar merupakan faktor predisposisi terjadinya
gagal jantung dan aritmia. Selain itu pasien dengan DSA juga memiliki risiko lebih
tinggi untuk mengalami emboli dan trombosis vena dalam. Karena alasan-alasan
tersebut DSA umumnya ditutup saat masa kanak-kanak, idealnya sebelum usia
sekolah. Selain itu, seiring pertumbuhan, ukuran DSA cenderung meningkat sesuai
dengan peningkatan massa tubuh. Oleh karena itu, DSA pada orang dewasa lebih
besar daripada DSA pada anak kecil, tetapi batas defek terkait dengan struktur lain
seperti vena pulmonal dan katup mitral yang juga menjadi lebih besar. Meskipun
beberapa ahli menyarankan penutupan DSA dilakukan sesegera mungkin dengan
alasan bahwa beban jantung kanan akan meningkat seiring dengan pertambahan
usia, lebih disarankan jika memungkinkan untuk menunggu hingga anak sedikitnya
berusia 5 tahun atau memiliki berat badan lebih dari 20 kg.36 Pada defek kurang dari
3 mm yang didiagnosis sebelum usia 3 bulan, penutupan secara spontan terjadi
pada hampir 100% pasien pada usia 11/2 tahun. Defek ukuran 3 sampai 8 mm
menutup pada usia 11/2 tahun pada 80% pasien, dan defek lebih besar dari 8 mm
jarang menutup spontan.

24
Gambar 10. Defek Septum Atrium (DSA)
Langkah diagnostik25
1. Anamnesis
Sebagian besar anak yang mengalami DSA tidak menimbulkan gejala klinis
dan tampak sehat. Pada umumnya gejala baru timbul pada usia dekade 2
dan 3 dimana sudah terjadi peningkatan tekanan vaskular paru sehingga PJB
jenis ini kadang baru terdiagnosa pada usia dewasa. Namun, jika DSA-nya
cukup besar, sebagian besar darah akan masuk ke jantung bagian kanan,
lalu ke atrium kanan, ventrikel kanan, dan kemudian ke paru sehingga terjadi
gagal jantung kanan. Beberapa gejala yang mungkin timbul adalah: anak
mudah lelah, lemas, berkeringat, pernapasan menjadi cepat, napas pendek-
pendek, pertumbuhannya akan terganggu. Gejala ini dapat menyerupai
gangguan medis lain atau masalah jantung lainnya sehingga sering tidak
terdiagnosis.32
2. Pada pemeriksaan fisis didapatkan:
Anak tampak kurus, berat badan kurang dari persentil ke-10
Pada auskultasi, bunyi jantung 2 (S2) terpisah lebar yang menetap pada
saat inspirasi maupun ekspirasi disertai bising ejeksi sistolik di daerah
pulmonal. Pada pirau dari kiri ke kanan besar dapat terdengar bising mid-
diastolik pada tepi kiri sternum bagian bawah.34
3. Pemeriksaan penunjang
Elektrokardiografi : deviasi sumbu QRS ke kanan (+ 90º sampai 180º),
hipertrofi ventrikel kanan, blok cabang berkas kanan (RBBB) dengan pola
rsR’ pada V1.
Foto Rontgen toraks: kardiomegali dengan pembesaran atrium kanan dan
ventrikel kanan. Arteri pulmonalis tampak menonjol disertai tanda
peningkatan vaskular paru.
Ekokardiografi dapat menentukan lokasi dan besarnya defek, dimensi
atrium kanan, ventrikel kanan dan dilatasi arteri pulmonalis. Dengan
Doppler berwarna dapat dilihat aliran/pirau.
Algoritma Tata Laksana Defek Septum Atrium34

DSA Sekundum

Pirau kecil Pirau Besar

Observasi Bayi Anak/Dewasa

HP(-) HP(+)
Evaluasi pada Gagal Gagal
Umur 5-8 th Jantung (-) Jantung (+)

PVD(-) PVD(+)
Medikamentosa
Kateterisasi

Hiperoksia
FR < 2 FR ≥ 2 Berhasil Gagal
Reaktif Non-
Berat ≥ 10 kg reaktif
Operasi
Konservatif

Transcatheter Closure Konservatif

Sampai 5 tahun yang lalu, semua DSA hanya dapat ditangani dengan
operasi/ bedah jantung terbuka. Operasi penutupan DSA, baik dengan jahitan
langsung ataupun tidak langsung menggunakan patch sudah dilakukan lebih dari 40
tahun, pertama kali dilakukan tahun 1953 oleh dr. Gibbson di Amerika Serikat,
menyusul ditemukannya mesin pintasan jantung-paru (cardio-pulmonary bypass)
setahun sebelumnya.37 Tindakan operasi ini sendiri, bila dilakukan pada saat yang
tepat (tidak terlambat) memberikan hasil yang baik, dengan risiko minimal (angka
kematian operasi 0-1%, angka kesakitan rendah). Murphy JG, et.al melaporkan
survival (ketahanan hidup) pasca-operasi mencapai 98% dalam pemantauan 27
tahun setelah tindakan bedah, pada penderita yang menjalani operasi di usia kurang
dari 11 tahun. Semakin tua usia saat dioperasi maka angka ketahanan hidupnya
akan semakin menurun, berkaitan dengan sudah terjadinya komplikasi seperti
peningkatan tekanan pada pembuluh darah paru.38,39,40,41 Namun demikian, tindakan
operasi tetap memerlukan masa pemulihan dan perawatan di rumah sakit yang
cukup lama, dengan trauma bedah (luka operasi) dan trauma psikis serta relatif
kurang nyaman bagi penderita maupun keluarganya. Hal ini memacu para ilmuwan
untuk menemukan alternatif baru penutupan DSA dengan tindakan intervensi non-
bedah (tanpa operasi), dalam hal ini, alat yang pernah diteliti antara lain Straflex
device, Helex device dan yang terakhir Amplatzer septal occluder. Beberapa alat
tersebut sebelumnya telah menjalani percobaan klinis, di bawah ini akan dibahas
satu per satu berdasarkan urutan alfabet seperti di bawah ini.
 Amplatzer septal occluder (ASO).
ASO merupakan alat dengan cakram ganda yang dapat mengembang sendiri (self
expandable), terbuat dari kawat nitinol berdiameter 0,004-0,0075 inci yang
teranyam kuat menjadi dua cakram dengan pinggang penghubung 3-4 mm. Di
dalamnya terdapat lapisan dakron terbuat dari benang polyester yang dapat
merangsang trombosis sehingga lubang/hubungan antara atrium kiri dan kanan
akan tertutup sempurna. Diameter pusat lempeng berkisar dari 4-40 mm dengan
tebal 1-2 mm. Lempeng atrium kanan dan kiri adalah 12-16 mm dan lebih besar 8-
10 mm dari pusat lempeng. Tergantung pada ASO yang akan digunakan, ASO
dimasukkan ke dalam delivery sheath yang berukuran 6-12 French dengan
menggunakan delivery cable yang terhubung ke pusat lempeng atrium kanan ASO
dengan sistem mur mikro. Tindakan pemasangan ASO telah mendapat
persetujuan dari American Food and Drug Administration (FDA) pada bulan
Desember 2001. Di Indonesia, tindakan ASO mulai dilakukan pada tahun 2002. Di
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita selama periode September 2002 –
September 2008 telah dilakukan pemasangan ASO pada 177 pasien DSA, terdiri
dari 46 pasien laki-laki dan 131 perempuan, usia antara 2 – 59 tahun. Implantasi
ASO berhasil dilakukan pada 154 (87%) pasien. Komplikasi embolisasi terjadi pada
7 (6%) pasien, 3 di antaranya berhasil dikeluarkan dengan kateter pengait
sedangkan sisanya diambil saat dilakukan operasi penutupan DSA. Tidak
ditemukan kematian pada prosedur ini.42 Di PJT RSCM sejak tahun 2002, telah
dilakukan penutupan DSA pada 76 kasus. Pasien terdiri dari 53 perempuan dan
23 laki-laki dengan berat badan berkisar antara 8 sampai 75 kg, dengan rata-rata
20 kg. Angka kematian juga dilaporkan nol. Tindakan ini juga sudah dilakukan di
RS Dr. Soetomo Surabaya.
Gambar 11. Penutupan DSA dengan pemasangan ASO (Courtessy of dr. Poppy S. Roebiono,
SpJP(K))

Gambar 12. Amplatzer septal occluder

Intervensi non-bedah pada DSA menunjukkan hasil yang baik, angka


kesakitan peri-prosedural yang minimal, dapat mengurangi kejadian aritmia atrium
dan dapat digunakan pada DSA berdiameter sampai dengan 34 mm. Keuntungan
lain adalah risiko infeksi pasca-tindakan yang minimal dan masa pemulihan-
perawatan di rumah sakit yang lebih singkat, trauma bedah minimal serta secara
subyektif dirasakan lebih nyaman bagi penderita dan keluarga karena tidak
memerlukan tindakan bedah jantung terbuka.43
Kendala yang masih muncul adalah besarnya biaya yang diperlukan karena
harga alat ASO yang relatif mahal, dan belum adanya jaminan pembiayaan
kesehatan yang memadai di negara kita. Vida VL, et.al melaporkan bahwa biaya
pemasangan ASO di negara berkembang masih lebih tinggi dibandingkan dengan
biaya penutupan DSA dengan tindakan bedah konvensional.44
Kriteria pasien DSA yang akan dilakukan pemasangan ASO, antara lain :45
1. DSA sekundum
2. Diameter kurang atau sama dengan 34 mm
3. Flow ratio lebih atau sama dengan 1,5 atau terdapat tanda-tanda beban
volume pada ventrikel kanan
4. Mempunyai rim posterior minimal 5 mm dari vena pulmonalis kanan
5. Defek tunggal dan tanpa kelainan jantung lainnya yang memerlukan
intervensi bedah
6. Muara vena pulmonalis normal ke atrium kiri
7. Hipertensi pulmonal dengan resistensi vaskuler paru (Pulmonary Artery
Resistance Index = PARI) kurang dari 7 - 8 Wood Unit
8. Bila ada gagal jantung, fungsi ventrikel (EF) harus lebih dari 30%.

 Atrial septal defect occlusion (ASDOS).46


Satu lagi alat yang sedang menunggu persetujuan FDA untuk menjalani percobaan
IDE (Investigational Device Exemption) adalah atrial septal defect occlusion
(ASDOS). Alat berbentuk payung ganda ini terbuat dari nitinol dan poliuretan. Agar
dapat dimasukkan, diperlukan akses arteri dan vena secara bersama-sama. Alat ini
telah digunakan secara klinis, dan hasilnya pada fase awal cukup menjanjikan.

Gambar 13. Atrial septal defect occlusion

 Button Device.46
Pada tahun 1990, Sideris et al melaporkan penggunaan alat baru ”button device”
untuk penutupan DSA. Alat ini memiliki tiga komponen: occluder, counteroccluder,
dan loading wire. Occluder-nya adalah busa poliurethane berbentuk bujur sangkar
yang ditopang oleh dua diagonal, kawat berselubung teflon dengan diameter 0,018
inci. Kawat berbentuk X jika sedang tidak terlipat, dan bila terlipat ketika dalam
posisi masuk letaknya akan hampir sejajar. Laporan mengenai keberhasilan alat ini
masih terbatas. Selain itu alat ini belum menjalani percobaan klinis dari IDE dan
juga belum mendapat persetujuan dari FDA.
Gambar 14. Button device

 Guardian angel/angel wings.46


Untuk mengatasi keterbatasan Clamshell dan Button Device, Das et al
mengembangkan alat angel wings, yakni lempeng ganda yang saling terhubung di
tengah, terbuat dari bahan seperti dakron dan nitinol yang sangat elastis. Alat yang
baru, yakni Guardian angel, bentuknya hampir seluruhnya bulat. Setelah
dimasukkan, alat ini akan tetap melekat pada delivery catheter melalui tethers. Hal
ini memungkinkan alat untuk mengembang bebas dan dianggap sesuai dengan
posisi anatominya. Setelah melalui tahap ini, alat dapat dipasang dengan gerakan
yang berlawanan secara perlahan dan dapat diangkat atau diatur posisinya. Jika
posisinya telah sesuai, alat dapat dilepaskan. Diharapkan alat ini akan segera
menjalani percobaan klinis di Amerika Serikat.

Gambar 15. Guardian Angel

 Helex septal occluder.46


Alat ini terdiri dari dua cakram yang dilapisi oleh membran politetrafluoroetilen
(e-PTFE). Cakramnya dipertahankan dalam bentuk bulat oleh kawat nitinol dengan
diameter 0,012 inci. Alat ini telah dicoba pada hewan dengan hasil yang begitu
baik. Penelitian pada skala internasional dimulai sejak tahun 2000 dan hasilnya
sudah dipresentasikan di dalam pertemuan-pertemuan. Angka keberhasilan
menutup total sebesar 94% setelah satu bulan. Percobaan klinis telah dimulai di
Amerika Serikat pada tahun 2001.
Gambar 16. Helex septal cccluder

 Starflex/Bard clamshell/cardioseal.46
Bard clamshell (USCI, Billerica, Massachusetts) septal occluder device, yang
diperkenalkan oleh Lock et al., merupakan modifikasi dari double umbrella device
yang dipergunakan pada DAP oleh Rashkind dan juga merupakan pendahulu
beberapa alat yang sekarang sedang menjalani percobaan klinis. Alat ini memiliki
dua bujur sangkar ganda berbentuk payung poliester yang saling berhadapan dan
ditopang oleh empat lengan yang meluas dari tengah ke samping. Alat ini telah
digunakan oleh sekitar 800 pasien dan menunjukkan hasil yang baik. Namun, pada
penggunaannya terdapat komplikasi berupa patah pada lengan alat yang cukup
signifikan sehingga menyebabkan residual shunts, embolisasi lanjut atau
pembentukan massa fibrotik kecil di dinding atrium kiri pada 1-2% kasus. Oleh
karena itu, alat ini ditarik dari peredaran. Alat baru yang dinamakan Cardioseal di
desain ulang untuk menurunkan komplikasi di atas. Kerangka yang menyusunnya
terdiri atas MP35N logam campuran yang secara radial menyebar ke 4 lengan
penopangnya, dengan 2 engsel pada masing-masing lengan untuk mengurangi
kelemahan pada logam. Pada percobaan klinis, insidens patah lengan dan residual
shunts berkurang, tetapi tidak dapat dihilangkan. Modifikasi alat yang lebih baru
yang diberi nama Starflex mulai dikenalkan. Alat ini mampu menutup DSA hingga
diameter 25 mm. Saat ini, Starflex sedang menjalani percobaan di beberapa
senter.
Gambar 17. Starflex

 Transcatheter patch closure.46


Pada tahun 1999 Sideris et al., menjabarkan berbagai modalitas untuk menutup
DSA tanpa memakai kawat ataupun jahitan. Balon yang sudah dimodifikasi
digunakan untuk memasukkan bahan patch yang dapat menyerap melewati DSA.
Balon kemudian mengembang untuk mempertahankan patch dalam posisi
melewati DSA selama beberapa waktu untuk memungkinkan fiksasi patch di
pinggir (rim) DSA. Lamanya bergantung pada bahan patch yang dapat terserap.
Patch dikaitkan ke jahitan yang dapat diangkat yang difiksasi di daerah paha.
Tingkat stabilitas patch dapat dilihat melalui pemeriksaan transesophageal
echocardiogram; jika stabil, jahitan dapat dilepas. Jika tidak stabil, patch dapat
dilepaskan kembali dan diganti dengan patch lain dan difiksasi dalam waktu yang
lebih lama. Teknik ini belum dicoba pada banyak pasien dan belum dipakai di
Amerika Serikat.

Gambar 18. Transcatheter patch closure

Secara anatomi, DSA primum dan DSA tipe sinus venosus dengan anomali
drainase vena pulmonalis tidak cocok untuk penutupan dengan transkateter.
Untungnya, sebagian besar DSA sekundum dapat ditutup dengan Amplatzer septal
occluder (ASO). DSA yang paling ideal untuk dilakukan penutupan dengan
transkateter menggunakan ASO adalah bila diameter lubangnya kurang dari 20 mm
dan memiliki batas yang tegas terhadap katup mitral, dasar aorta dan orifisium vena
cava serta sinus koronarius agar mampu menunjang pinggang atrium.36
Prosedur Penutupan DSA Transkateter
Penutupan DSA transkateter pada anak dan orang dewasa dilakukan dengan
anestesia umum menggunakan transesophageal echocardiography (TEE)
intraprosedural sebagai penuntun di laboratorium kateterisasi. Sebagai alternatif TEE
adalah penggunaan intracardiac echocardiography yang memiliki keuntungan tidak
memerlukan anestesia umum selain memberikan gambaran lebih superior dan
terutama daerah infero-posterior. Namun demikian, karena pemakaian probe
intrakardiak bersifat disposable, biayanya menjadi lebih mahal. Pendekatan yang
dilakukan selalu melalui vena femoralis dan jarang sekali ditemukan kesulitan dalam
melewati DSA dengan berbagai tipe kateter. Prosedur angiografi atrium kiri tidak
rutin dilakukan karena berdasarkan pengalaman hanya menambahkan sedikit
gambaran detail anatomi yang diberikan oleh TEE intraprosedural.36
 Peran transesophageal echocardiography (TEE)
TEE merupakan pemeriksaan yang penting dan dengan pemeriksaan ini
memungkinkan dilakukan penilaian yang menyeluruh dan akurat pada morfologi
DSA tanpa mengganggu sterilitas lapangan operasi atau mengganggu
fluoroskopi. Tepi septum dapat divisualisasi dengan jelas dan jarak dari tepi
defek ke vena pulmonal kanan, vena kava inferior dan superior, sinus koronaria
serta katup mitral dapat dengan mudah diukur. Variasi septum atrium seperti
fenestrasi dan aneurisma yang mungkin tidak terlihat dengan pemeriksaan
transthoracic echocardiography terutama pada pasien dewasa dapat
diidentifikasi dengan baik oleh TEE. Fenestrasi di septum atrium menyulitkan
prosedur jika pengukuran dilakukan secara kurang hati-hati karena dilakukan
melalui defek yang lebih kecil. Jadi jika terdapat fenestrasi, masuknya guide wire,
balon pengukur serta delivery sheet harus dilakukan melalui defek mayor.
Setelah alat dimasukkan, pemeriksaan TEE digunakan untuk menilai posisi alat,
hubungannya dengan daerah sekitar dan stabilitasnya. Sisa pirau (residual
shunts) juga paling baik diperlihatkan melalui TEE. Sisa pirau yang terjadi setelah
penutupan harus diperiksa dengan colour Doppler echocardiograhy dan berikut
ini adalah pengklasifikasiannya :
- trivial : diameter kurang dari 1 mm
- kecil : diameter 1-2 mm
- sedang : diameter 3-4 mm
- besar : diameter lebih dari 4 mm.43
Agar alat yang dimasukkan dapat optimal, secara rutin pemasukan alat
dilakukan dibawah anestesia umum dengan penuntun transesophageal
echocardiography. Penilaian menyeluruh mengenai defek, tepi sekitar dan
struktur jantung yang tersisa dilakukan sebelum kateter dimasukkan. Kateterisasi
jantung kiri dan kanan secara rutin dilakukan dan kemudian dilakukan penilaian
derajat aliran pirau kiri ke kanan. Heparin diberikan secara rutin kepada semua
pasien. Angiografi dilakukan pada vena pulmonal kanan atas pada posisi
hepatoklavikular untuk menilai letak dan ukuran defek. Pengukuran defek dengan
balon untuk memperoleh diameter DSA saat teregang dilakukan dengan
menggunakan balon pengukur yang ditiup sampai terlihat pinggang dan tidak
terlihat pirau lagi pada TEE. Ukuran ASO yang dipilih adalah hasil pengukuran
diameter defek saat teregang ditambah 2 – 4 mm. Diberikan terapi antibiotik
profilaksis injeksi intravena amoksilin (50 mg/kgBB) menjelang penutupan serta 8
dan 16 jam setelah penutupan. Di senter lain, semua pasien diberikan asam
asetilsalisilat (ASA) 5mg/kg sebelum prosedur dilakukan. Selain rekomendasi
untuk terapi profilaksis endokarditis infektif, diberikan ASA selama enam bulan
setelah pemasangan alat.47
Hal lain yang juga penting adalah memilih ukuran ASO yang sesuai
dengan ukuran defek. Ukuran ASO yang terlalu besar menyebabkan penonjolan
yang hebat (mushrooming) pada diskus yang mengalami retensi ke dalam
atrium. Ukuran alat yang terlalu kecil dapat menyebabkan pintasan yang
menetap atau bahkan embolisasi.48
Komplikasi
Jenis dan tingkat komplikasi berbeda-beda pada masing-masing alat. Komplikasi
mayor meliputi semua kejadian yang menyebabkan hal berikut ini: (1) kematian; (2)
dekompensasi hemodinamik yang mengancam nyawa sehingga memerlukan terapi
segera; (3) memerlukan intervensi bedah; dan (4) menimbulkan lesi fungsional atau
anatomik yang bersifat permanen dan signifikan akibat tindakan kateterisasi.
Sedangkan komplikasi minor didefinisikan sebagai kejadian sementara dan dapat
diatasi dengan terapi spesifik. Berikut ini tabel yang memperlihatkan tingkat dan jenis
komplikasi pada masing-masing alat yang dilaporkan oleh beberapa peneliti.
Tabel 1. Komplikasi yang dilaporkan oleh beberapa peneliti.

Reference Device Total # of Major Device Surgery CV PM PE Other


Patients Complications Embolization

Walsh et Sideris 33 1 1 0 1
al. (4)
ASO 39 1 1 1 0
Sievert et ASDOS 154 11 2 11 0 5 2 infectious
al. (5) endocarditis,
2 thrombus
formation
Carminati CS 79 3 3 2 0
et al. (6)
SF 38 1 1 1 0
Berger et ASO 61 1 1 1 0
al. (7)
Chan et ASO 100 0 0 1 transient
al. (8) ST elevation,
1 transient
AB block, 1
presumed
deep vein
thrombosis, 1
presumed
TIA
Waight et ASO 77 3 2 0 1
al. (9)
Hijazi et ASO 18 1 1 0
al. (10)

AB = atrioventricular block; ASO = Amplatzer septal occluder; CS = CardioSEAL; CV = electrical


cardioversion; PE = pericardial effusion; PM = pacemaker; SF = STARFlex; TIA = transient ischemic
attack.

Penelitian yang dilakukan oleh Massimo Chessa et al. pada tahun 1996-2001
menemukan insidens komplikasi sebanyak 8,6 %. Malposisi/embolisasi merupakan
komplikasi yang paling sering ditemukan yakni sebesar 3,5 %. Aritmia merupakan
komplikasi tersering kedua (2,6%). Komplikasi lain adalah pembentukan trombus di
diskus atrium kiri yang terjadi segera setelah prosedur dilakukan. Untuk menghindari
komplikasi ini kebijakan yang dilakukan adalah memberikan anti-agregasi trombosit
oral yang diberikan 1 hari sebelum prosedur. Komplikasi lainnya (diseksi vena iliaka
kanan, hematoma pada lipat paha, perdarahan retrofaring) berkaitan dengan
kesalahan manajemen selama prosedur.49
Analisis perbandingan pembedahan dengan kardiologi intervensi non-bedah
 Faktor Prosedur
Perbandingan aspek prosedur pada semua pasien diperlihatkan pada Tabel
2. Anak yang mengalami penutupan dengan transkateter menjalani anestesia
yang lebih singkat, lama rawat inap yang lebih singkat, tidak memerlukan
perawatan di ICU, pemakaian analgesia yang lebih singkat dan nyeri pasca
tindakan yang lebih ringan daripada pasien yang mengalami pembedahan. Enam
anak yang berada dalam kelompok operasi memerlukan transfusi darah untuk
bypass kardiopulmonal primer. Produk-produk darah jarang diperlukan oleh
pasien yang menjalani penutupan dengan transkateter.
Tabel. 2 Karakteristik pasien yang menjalani pembedahan dengan
transkateter.

Device Surgical p
closure closure Value

Number 43 19
Anaesthetic time (min) 92 170 <0.01
(70– (147–
115) 180)
ICU stay (hours) 0 20 (18– –
21)
Hospital stay (hours) 29 88 (78– <0.01
(28– 112)
30)
Post-procedure pain score 1.2 4.9 <0.001
(0.4– (3.1–
3.0) 7.7)
Analgesia after 48 hours 0/43 13/19 <0.001
(68%)

ICU, intensive care unit.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Zhong-Dong DU et al., pada tahun


1998-2000 dengan metode non-RCT disimpulkan bahwa angka keberhasilan
dengan prosedur transkateter adalah 95,7% dan dengan pembedahan 100%.
Komplikasi yang ditimbulkan pada penggunaan transkateter sebesar 7,2% dan
pada pembedahan 24%. Pada kedua prosedur angka mortalitas sebesar 0%.
Lamanya rawat inap pada pemakaian transkatter 1,0 (SB 0,3) hari, sedangkan
pada pembedahan 3,4 (SB 1,2) hari. Secara statistik angkanya tidak jauh
berbeda antara penggunaan transkateter dengan pembedahan. Faktor yang
penting bagi penutupan dengan transkateter adalah pada pemilihan pasien.
Penutupan DSA melalui transkateter dengan menggunakan ASO merupakan
metode yang aman dan efektif dibandingkan dengan pembedahan.10 Selain itu,
pada studi yang dilakukan oleh Fischer G, et al pada tahun 1997-1998,
dilaporkan bahwa angka keberhasilan penutupan DSA dengan ASO adalah
sebesar 83%.48
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ross Hasseling et al., melaporkan
keluaran yang sukses berkaitan dengan perbaikan DSA dengan operasi pada
anak-anak. Selama pemantauan 21-33 tahun tidak ditemukan episode gagal
jantung, stroke, hipertensi pulmonal, dan kematian kardiovaskular. Terdapat
sedikit kekhawatiran berkaitan dengan aritmia yang terjadi setelah perbaikan dan
dilatasi atrium kanan, tetapi hal ini tidak menyebabkan morbiditas yang signifikan.
Penutupan dengan transkateter merupakan metode yang aman dan efektif serta
berkaitan dengan berkurangnya morbiditas, lama rawat yang lebih singkat dan
biaya yang lebih sedikit. Namun pemantauan jangka panjangnya belum
diketahui.50
 Waktu pemulihan
Pada penelitian yang dilakukan oleh Thomson et al., rata-rata pasien yang
mengalami transkateter dirawat selama satu hari (kisaran 1-2 hari) dan untuk
yang mengalami pembedahan enam hari (kisaran 4-20 hari). Pasien dapat
kembali ke aktivitas normal rata-rata setelah dua minggu pada kelompok
Amplatzer dan pada pembedahan rata-rata 5,5 minggu.
 Efektifitas
Pemeriksaan echocardiography yang dilakukan 3 bulan setelah prosedur
memperlihatkan bahwa terdapat sedikit residual shunts pada pasien yang
mengalami transkateter (angka penutupan yang sempurna 91 %). Pada
kelompok pasien yang mengalami pembedahan tidak ada residual shunts.
 Kenyamanan
Orangtua yang anaknya mengalami pembedahan mengkhawatirkan
mengenai prosedur yang invasif, efek bypass kardiopulmonal, dan jaringan parut
yang ditimbulkan. Sedangkan orangtua yang anaknya menjalani tindakan
transkateter mengkhawatirkan kemungkinan lepasnya alat serta keamanan alat
dalam jangka panjang.
 Biaya keluarga
Ayah yang anaknya menjalani penutupan melalui pembedahan rata-rata
mengambil cuti empat hari kerja, sementara pada anak yang menjalani
penutupan dengan transkateter hanya mengambil cuti satu hari kerja. Tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam jumlah hari yang ditinggalkan pada ibu.
 Biaya Rumah Sakit
Gambar 17 menunjukkan rata-rata biaya rumah sakit yang disederhanakan
antara penutupan dengan pembedahan dengan transkateter. Biaya tindakan
(ruang operasi+anestesi+alat) lebih rendah pada yang dilakukan pembedahan
daripada dengan transkateter. Namun demikian, kebutuhan untuk perawatan
intensif dan perawatan inap yang lebih lama menyebabkan biaya perawat,
petugas laboratorium, dan farmasi menjadi lebih besar, dan secara total di
Australia menyebabkan biaya pembedahan menjadi sedikit lebih besar (Aus
$12969 vs. $11845).51 Di Inggris, biaya rata-rata adalah £ 5375 untuk kelompok
Amplatzer dan pada kelompok pembedahan £ 5412. Perbedaan biaya terutama
adalah untuk penyediaan alat (rata-rata Amplatzer £ 2974 vs. pembedahan £
408) dan lama perawatan inap (rata-rata Amplatzer £ 300 v pembedahan £
2410).52

Gambar 17. Perbandingan biaya penutupan DSA. Meliputi biaya ruang operasi, laboratorium,
anestesi, and Amplatzer septal occluder.

Protokol untuk pemantauan lanjut


Semua pasien menjalani pemeriksaan klinis, elektrokardiografi, foto Rontgen
dada 2 proyeksi, serta pemeriksaan ekokardiografi transtorakal sebelum pulang dari
rumah sakit. Prosedur yang sama dilakukan setiap 1, 6 dan 12 bulan setelah
implantasi. Aspirin dosis 5 mg/kg BB yang diberikan setiap hari direkomendasikan
selama 6 bulan setelah implantasi.49 Di negara maju, tindakan dengan transkateter
telah mengungguli tindakan dengan pembedahan. Namun di negara berkembang,
masalah biaya masih menjadi kendala berkembangnya teknologi transkateter.

3.2.3.3 Defek Septum Ventrikel (DSV)


Defek septum ventrikel (DSV) merupakan salah satu bentuk PJB yang paling
sering ditemukan ditandai adanya defek atau lubang pada sekat/dinding yang
memisahkan ventrikel kiri dan kanan.53
DSV merupakan 30% dari PJB yang ditemukan.54 Meskipun defek yang kecil
dapat menutup sendiri secara spontan, defek yang lebih besar biasanya
menyebabkan gagal jantung kiri dan hipertensi pulmonalis.55,56 Hasil pembedahan
DSV tipe muskular apikal biasanya kurang optimal karena kesulitan dalam melihat
lokasi dan besar defek, di samping juga memberikan gejala sisa, dan disfungsi
ventrikel kiri.57
Porstmann dkk. melaporkan penutupan transkateter yang pertama dilakukan
pada DAP tahun 1967, berbagai macam teknik intervensi telah dilakukan untuk
menutup defek intra-kardiak seperti DSA,58,59,60 foramen ovale persisten,61
fenestrated fontan62, dan defek lain yang berhasil ditutup. DSV merupakan salah
satu defek yang dapat ditutup dengan sebuah alat sejak 10 tahun yang lalu, namun
penggunaannya secara luas terbatas dari alat penutup DSV sebelumnya, karena
beberapa sebab yang di antaranya adalah penggunaan kateter delivery yang
berdiameter besar, ketidakmampuan mereposisi dan tingginya rasio residual shunt.
Hal ini disebabkan alat tersebut belum benar-benar dibuat untuk menutup
DSV.63,64,65,66
Pada saat ini, dengan adanya penemuan alat baru dan teknik penutupan
yang lebih baik, penutupan pada DSV memiliki angka keberhasilan yang semakin
membaik.67,68,69
Gambar 19. Alat yang digunakan untuk penutupan transkateter pada DSV. A, Rashkind
70
Double Umbrella; B, Sideris Bottoned Device; C dan D, Clamshell Device.

Berdasarkan data yang tersedia, lebih dari 150 pasien dengan DSV dilakukan
penutupan transkateter dengan menggunakan Rashkind double umbrella,71,72 The
Bard clamshell,67The Button device,68The Amplatzer septal occluder, Amplatzer duct
occluder or Amplatzer muscular VSD Occluder73,74 atau The Gianturco coils.75
DSV sering ditemukan sebagai defek tersendiri (20%) atau dapat merupakan
bagian dari PJB kompleks; seperti tetralogi Fallot dan transposisi arteri besar. DSV
merupakan lesi yang paling sering ditemukan pada kelainan kromosom. Gangguan
hemodinamik yang terjadi pada DSV disebabkan akibat pirau kiri ke kanan melalui
defek (lubang) pada sekat/dinding ventrikel.76
Secara anatomis DSV diklasifikasikan sesuai dengan letak defeknya, yaitu :
1) DSV perimembran, 2) muskular dan 3) sub-arterial doubly committed.76
Berdasarkan fisiologi, klasifikasi DSV adalah sebagai berikut: 1) DSV defek
kecil dengan resistensi vaskular paru normal, 2) DSV defek sedang dengan
resistensi vaskular paru bervariasi, 3) DSV defek besar dengan peningkatan
resistensi vaskular paru ringan sampai sedang, 4) DSV besar dengan resistensi
vaskular paru tinggi. Sebelum kardiologi intervensi non-bedah berkembang,
sebagian besar DSV ditata laksana dengan pembedahan, namun risikonya lebih
tinggi karena harus menggunakan mesin pintasan jantung-paru. Komplikasi yang
dapat terjadi sama dengan pada penutupan DSA, ditambah dengan kemungkinan
terjadinya blok atrioventrikular total, kerusakan katup aorta, atau sumbatan pada
aliran alur keluar ventrikel kiri.76

24
Gambar 20. Defek Septum Ventrikel.

Langkah Diagnostik76
A. Anamnesis
1. DSV kecil umumnya menimbulkan gejala yang ringan, atau tanpa gejala
(asimtomatik). Umumnya pasien dirujuk karena ditemukannya bising jantung
(murmur) secara kebetulan. Anak tampak sehat. Pada auskultasi S1 dan S2
normal, teraba thrill, bising pansistolik derajat IV/6 dengan punktum
maksimum di interkostal 3-4 pada garis parasternal kiri.
2. DSV sedang dapat menimbulkan gejala yang ringan berupa takipnea dan
takikardia ringan. Bayi sering mengalami kesulitan minum dan makan, dan
sering mengalami ISPA. Pada pemeriksaan fisis ditemukan takipnea, retraksi
interkostal atau suprasternal. Pertambahan berat badan sangat lambat.
Ditemukan thrill. S1 dan S2 normal, ditemukan bising pansistolik intensitas
keras di interkostal 3-4 parasternalis kiri. Bising mid-diastolik sering
ditemukan di apeks.
3. DSV besar, gejala timbul setelah 3-4 minggu. Terlihat gejala dan tanda gagal
jantung kiri. Bayi mengalami takikardia, takipnea, hepatomegali. Pasien
tampak sesak, tidak biru, gagal tumbuh, banyak keringat dan sering
mengalami ISPA berulang. Bising pansistolik akan terdengar bernada rendah
dan tidak terlokalisasi.

B. Pemeriksaan Penunjang76
1. Elektrokardiografi (EKG)
Pada DSV kecil, gambaran EKG normal. Pada DSV besar akan ditemukan
LVH atau BVH.
2. Foto Rontgen toraks
Tidak spesifik. Pada defek kecil, ukuran jantung normal dengan
corakan vaskular paru normal. Pada DSV sedang, terdapat
kardiomegali dan peningkatan corakan vaskular paru dan tampak
penonjolan segmen pulmonal.
Pada DSV besar, terdapat kardiomegali, peningkatan corakan
vaskular paru dan pembesaran ventrikel kanan.
3. Ekokardiografi
Dengan pemeriksaan ekokardiografi 2-dimensi dan Doppler berwarna dapat
ditentukan besar defek, arah pirau, dimensi ruang jantung dan fungsi
ventrikel.
4. Kateterisasi jantung
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada DSV besar untuk menilai besarnya
pirau dari kiri ke kanan (QP/QS) dan tingginya resistensi vaskular paru agar
dapat ditentukan apakah masih bisa ditutup atau tidak.Saat ini kateterisasi
pada DSV lebih ditujukan pada tindakan penutupan transkateter.

Medikamentosa76
1. DSV kecil tanpa gejala tidak perlu terapi.
2. Pada gagal jantung diberikan diuretik misalnya furosemid 1-2 mg/kgBB/hari,
vasodilator misalnya kaptopril 0,5 – 1 mg/kgBB/kali tiap 8 jam. Kalau perlu
dapat ditambahkan digoksin 0,01 mg/kg/hari. Pemberian makanan berkalori
tinggi dilakukan dengan frekuensi sering secara oral/enteral (melalui NGT).
Anemia diperbaiki dengan preparat besi.
3. Menjaga kebersihan mulut dan pemberian antibiotik profilaksis terhadap
infeksi endokarditis.
4. Penutupan DSV dapat dikerjakan dengan intervensi non-bedah
menggunakan Amplatzer VSD occluder atau dengan tindakan bedah.

Indikasi dan waktu penutupan DSV76


Pada bayi dengan DSV defek besar yang mengalami gagal jantung serta
retardasi pertumbuhan, dan kegagalan terapi medikamentosa, dilakukan
operasi secepatnya sebelum terjadi penyakit vaskular paru.
Indikasi penutupan DSV baik dengan cara intervensi non-bedah ataupun
bedah adalah bila QP/QS lebih dari 2.
Bayi atau anak dengan DSV besar dan hipertensi pulmonalis harus dilakukan
kateterisasi untuk menilai tingginya resistensi vaskular paru dan responsnya
terhadap pemberian oksigen 100%. Penutupan DSV cara bedah ataupun
non-bedah dilakukan apabila resistensi vaskular paru dibawah 7 Wood Unit.
Bila resistensi vaskular paru lebih dari 7 Wood Unit dan setelah diberikan oksigen
100% tetap lebih dari 7 Wood Unit, maka tindakan penutupan DSV tidak dianjurkan
lagi.
DSV

Gagal Jantung(+) Gagal jantung (-)

Medikamentosa Prolap Stenos HP Menutup Mengecil


Katup Infundi spontan
Aorta bulum

Kath
PVD(-) PVD(+)

Gagal Berhasil Kateteri- Kateterisasi FR < 2 FR ≥ 2


sasi

Reaktif Non-
reaktif
Evaluasi dalam
6 bulan
Konservatif

Transcatheter closure atau bedah


76
Algoritma tata laksana Defek Septum Ventrikel

Alat Yang Digunakan


Alat yang digunakan untuk menutup DSV (Amplatzer VSD Occluder – AVO)
terdiri dari Amplatzer muscular VSD occluder untuk DSV muskular, dan alat yang
digunakan untuk menutup DSV perimembran adalah Amplatzer Membranous VSD
Occluder. ASO juga dapat digunakan untuk menutup DSV tipe muskular jika letak
defek jauh dari katup aorta. AVO untuk menutup DSV perimembran, sisi kirinya
asimetrik. Pada bagian atasnya, lempeng ini berjarak 0,5 mm dari pinggangnya, dan
pada bagian bawah berjarak 5 mm dari pinggang alat. AVO juga dibentuk dari nitinol
(55% nikel; 45% titanium) berdiameter 0,004-0,0075 inci yang berbentuk wire mesh
yang telah dijalin menjadi 2 buah lempeng pipih. Terdapat lekukan pinggang yang
menyatukan kedua lempeng tersebut untuk mengatasi ketebalan septum atrium.
Nitinol memiliki kemampuan menjadi super-elastik dan juga shape memory (mampu
kembali kebentuk aslinya). Kemampuan tersebut membuatnya dapat dimasukkan
kedalam sheath atau kateter dan langsung kembali mengembang sesuai bentuk
aslinya saat dilepaskan dari sheath. Nitinol juga telah terbukti biokompatibilitasnya.
Ukuran alat ini ditentukan oleh diameter pinggangnya dan tersedia dalam kisaran 4
mm – 16 mm (1 mm dapat membesar hingga 20 mm; 2 mm dapat membesar hingga
40 mm). Kedua lempeng AVO akan mengembang secara radial menjauhi pusat
pinggangnya untuk menjamin posisi menempel yang tepat. Terdapat lapisan dakron
dari polyester yang terjahit kuat ke tiap lempeng dan terhubung pula dengan
pinggang alat dengan tujuan meningkatkan sifat trombogenisitas alat. Untuk
memasukkan AVO ke lokasi DSV, diperlukan delivery system yang agak berbeda
dengan delivery system untuk ADO atau ASO. Delivery system pada AVO terdiri dari
delivery sheath, delivery cable, pusher catheter, loading catheter, tutup atau valve
dan plastic versa. Pusher catheter yang hanya ada pada delivery system AVO
bertujuan untuk mempertahankan agar AVO tidak berputar selama prosedur, karena
sisi apeks yang panjangnya 5 mm harus tetap menghadap ke apeks selama berada
dalam ventrikel kiri.77

Gambar 21. Amplatzer yang digunakan untuk penutupan transkateter pada DSV. A,
Amplatzer septal occluder; B, Amplatzer PDA occluder; C, Amplatzer muscular VSD
occluder; D, new concentric Amplatzer VSD occluder; E and F, new eccentric Amplatzer
VSD occluders.

Teknik Pemasangan Alat78


Pemasangan Ampaltzer membranous VSD Occluder pada DSV tipe perimembran

Prosedur ekokardiografi trans-torasik


Prosedur ini penting untuk menentukan ukuran DSV. Ukuran DSV ditentukan pada 2
diameter atau aksis. Diameter ini diukur dengan ekokardiografi 2-dimensi, bukan dari
lebar Doppler berwarna. Pada pandangan parasternal sumbu panjang diukur minor
axis = a, dan pada pandangan parasternal sumbu pendek diukur major axis = b.
Ukuran AVO yang akan digunakan yaitu akar dari a dikali b.

Prosedur pemasangan TEE yaitu :


1. Lokasi : mid-esofagus 4 ruang jantung (frontal), dan aksis basal sumbu
pendek.
2. Catat semua kelainan yang ditemukan
3. Ukur fungsi jantung dan ukuran ruangan-ruangan jantung
4. Evaluasi bagian jantung seperti otot papilaris dan korda tendinea dari katup
mitral
5. Periksa adanya regurgitasi pada katup atrioventrikular
6. Ukur besar defek pada waktu diastolik akhir
Melakukan kateterisasi jantung dengan anestesi umum
1. Pertahankan waktu pembekuan darah aktif > 250 selama kateterisasi
2. Evaluasi hemodinamik termasuk oksimetri dan tekanan darah yang diukur
pada vena dan arteri femoralis
3. Ukur besar defek dan jarak ke katup aorta melalui TEE dan angiografi kiri

Pertahankan arteriovenous loop agar tetap stabil


1. Memasukkan kateter Judkin Right (JR) 4F bersama dengan Terumo
guide
wire atau koroner wire ke dalam ventrikel kiri (Gambar 22)

Gambar 22
2. Cari DSV dan dorong Terumo wire masuk ke dalam DSV dan
menyeberang ke ventrikel kanan lalu dorong masuk ke arteri pulmonalis
atau masuk ke atrium kanan lalu ke vena kava superior. Setelah kateter
JR masuk ke dalam ventrikel kanan, Terumo guide wire dapat juga diganti
dengan soft J tipped Amplatzer noodlewire 0,035 inchi untuk kemudian di
dorong ke atrium kanan untuk akhirnya ke vena kava superior atau ke
arteri pulmonal (Gambar 23).
Gambar 23

3. Dorong keluar Amplatzer noodlewire di vena kava superior agar mudah di-
snare (Gambar 24).

Gambar 24
4. Masukkan kateter MP 2 melalui sheath yang ada di vena femoralis
bersama dengan Amplatz snare masuk ke vena kava superior, alat snare
dibuka dengan mendorongnya keluar dari kateter. Kemudian ujung
noodlewire di snare, lalu ditarik sampai keluar dari vena femoralis.
5. Masukkan dilator ke dalam delivery sheath dan pastikan dengan terkunci
dengan baik
6. Masukkan delivery sheath bersama dilator menyusuri noodlewire dari
vena femoralis ke atrium kanan sampai bertemu dengan kateter JR.
7. Gerakkan sistem tersebut sebagai satu kesatuan sampai ujung dilator
mencapai aorta asenden (Kissing catheter technique) (Gambar 25)

Gambar 25
8. Tarik dilator sampai sedikit di bawah ujung delivery sheath.
9. Pelan-pelan tarik kembali delivery sheath sampai ujungnya setinggi katup
aorta.
10. Dorong Amplatzer noodlewire dari kateter JR sehingga terbentuk loop
yang masuk ke ventrikel kiri, kemudian delivery sheath didorong sehingga
ujungya masuk menyusuri loop tadi, masuk ke ventrikel kiri (Gambar 26)

Gambar 26
11. Tarik Amplatzer noodlewire keluar melalui vena atau arteri femoralis

Penempatan alat
1. Pilih alat yang sama ukuranya dengan ukuran DSV
2. Masukkan delivery cable ke dalam pusher catheter, lalu masukkan ke
dalam loading catheter yang sudah dipasang katup hemostasis.
3. Pasangkan AVO pada ujung delivery cable.
4. Putar AVO ke kiri agar marker pengunci pada AVO masuk ke dalam
marker yang ada pada pusher catheter.
5. Pasang plastic versa, tarik kabel kuat-kuat, lalu plastic versa dikunci.
6. Loading AVO ke dalam loading catheter dengan menarik pusher catheter.
Waktu me-loading AVO, sebaiknya dilakukan di dalam garam larutan
NaCl 0,9%.
7. Flush catheter dengan normal salin untuk membuang gumpalan udara di
dalam AVO.
8. Masukkan loading catheter ke dalam delivery sheath, dorong pusher
catheter sampai ujung distal AVO membuka di apeks ventrikel kiri.
9. Tarik delivery system secara bersaman sampai lempeng kiri menyentuh
septum.
10. Buka bagian proksimal AVO dengan menarik delivery sheath tanpa
menarik pusher catheter (Gambar 27)
Gambar 27
11. Periksa ulang posisi lempeng ventrikel kiri. Pita penanda sebaiknya
diarahkan ke apeks ventrikel kiri
12. Gunakan ekokardiografi transesofagus untuk mengevaluasi pintasan sisa
atau insufisiensi katup
13. Jalankan angiogram ventrikel kiri dan aortogram untuk melihat posisi dan
mengevaluasi pintasan
14. Buka pengunci pin versa, kemudian mundurkan posisi pin versa beberapa
sentimeter, lalu kunci kembali
15. Dorong pin versa agar AVO terlepas dari pusher catheter.
16. Lepaskan AVO dari delivery cable dengan memutar pin vise berlawanan
arah dengan jarum jam
17. Ulangi angiografi ventrikel kiri
18. Buat angiografi di aorta asenden untuk mengevaluasi regurgitasi pada
katup aorta

Pemasangan Amplatzer Muscular VSD Occluder (AMVO) untuk DSV tipe muskular78
Pemasangannya menggunakan teknik kateter (pendekatan melalui sisi kanan atau
kiri). Pendekatannya tergantung pada lokasi dari DSV tipe muskular. Umumnya
defek pada bagian atas septum dapat dilakukan pendekatan melalui vena femoralis,
sedangkan defek rendah lebih mudah ditutup dengan cara pendekatan transjugular.
Teknik kateter harus dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum dan
ekokardiografi transesofagus.

Tahap-tahapnya :
1. Vena femoralis kanan atau vena jugularis dan arteri femoralis kiri ditusuk
dengan cara yang biasa menggunakan abbocath no 22, kemudian dilakukan
pemasangan sheath. Setelah itu dimasukkan kateter dan dilakukan evaluasi
hemodinamik termasuk oksimetri dan tekanan di tiap ruang jantung.
2. Defek diperlihatkan pada ekokardiografi, dan jarak defek ke apeks dan katup
aorta diukur. Ukuran defek yang diukur dengan alat ekokardiografi dilaporkan
sama baiknya dengan ventrikulogram kiri.
3. Kateter JR 4 F dimasukkan melalui arteri femoralis kiri, melewati katup aorta
dan DSV masuk ke ventrikel kanan.
4. Ke dalam kateter tadi dimasukkan Terumo guidewire 220 cm lalu
dimanipulasi sehingga guidewire masuk ke arteri pulmonalis. (Gambar 28).

Gambar 28
5. Dari vena femoralis kanan, kateter MP2 bersama dengan alat snare
dimasukkan untuk menarik guidewire keluar dari sheath melalui vena
femoralis kanan. Teknik ini membentuk arterio-venous continuous access
wire (Gambar 29).

Gambar 29
6. Delivery sheath dengan dilatornya dimasukkan melewati akses vena
menyusuri guidewire untuk masuk melewati DSV dan masuk ke dalam
ventrikel kiri. Medium kontras disuntikkan untuk memastikan bahwa ujung
sheath dalam posisi yang benar di dekat apeks ventrikel kiri.
7. AMVO dipasang pada delivery cable, kemudian di-loading ke dalam loading
catheter dalam cairan garam fisiologis (NaCl 0,9%). Loading catheter
dimasukkan ke dalam delivery sheath, kemudian didorong sampai ujung
distal AMVO membuka di ventrikel kiri. Delivery sheath beserta kabel ditarik
sampai lempeng kiri AMVO menyentuh septum. Untuk membuka bagian
proksimal AMVO, delivery sheath ditarik tanpa menarik delivery cable,
sehingga AMVO membuka di dalam DSV (Gambar 30).

Gambar 30
8. Bila ekokardiografi sudah memperlihatkan alat dalam posisi yang benar, alat
dilepaskan dari delivery cable. Jika tidak memuaskan, alat dapat dimasukkan
kembali ke dalam sheath-nya dan dapat diganti dengan ukuran yang lebih
besar atau kecil.

Gambar 31. Angiogram pada anak umur 9 bulan, dengan berat badan 8,4 kg selama
penutupan dengan transkateter pada DSV tipe muskular menggunakan Amplatzerâ
muscular VSD occluder, A, angiogram ventrikel kiri pada ke 4 ruangan jantung
menunjukkan 7,2 mm DSV tipe mid-muskular (panah). B, gambar a7 Fr Cook Sheath dari
vena jugularis interna kanan pada DSV dengan sebuah exchange guide wire
menunjukkan sebuah arterio-venous loop dari vena jugularis keluar menuju arteri
femoralis. C, gambar ini menunjukkan mengantar alat tersebut (panah) keluar dari bagian
distal selubung selama menarik alat dari vena jugularis.
LV disc dimasukkan kedalam ventrikel kiri. D, angiogram pada ventrikel kiri selama posisi
LV Disc telah diletakkan pada tempatnya. E, gambar alat yang telah dikeluarkan dari
kateter (panah). F, angiogram pada ventrikel kiri setelah alat dipasang dan tidak ada
residual shunt.
Gambar 32. Angiogram Ventrikel kiri pada ke 4 ruangan jantung pada DSV tipe mid-
muskular dengan diameter 6,3 mm pada anak umur 13 tahun, dengan berat badan 40 kg
(DSV tipe muskular didapat) setelah pembedahan untuk memperbaiki hypertrophic
cardiomyopathy diikuti dengan Operasi Kono setelah 5 tahun. Rasio Qp/Qs = 2,3 : 1 dan
tekanan sistolik A.pulmonalis 55 mmHg. B, gambar arterio-venous wire loop yang masuk
melalui A.femoralis menuju DSV dan keluar melalui V. Jugularis interna kanan. C, gambar
Amplatzer MVSD dengan diameter 10mm yang dikeluarkan dari kateternya (selubung),
dimana kateter delivery masih di posisinya. D, angiogram pada ventrikel kiri setelah
lempeng ventrikel kiri diletakkan (panah) pada ventrikel kiri. E, gambar penempatan
lempeng ventrikel kanan (panah). F, angiogram pada ventrikel kiri untuk melihat alat
sudah diletakkan pada posisinya. G, gambar setelah alat dikeluarkan dari kateternya
(panah). H, angiogram pada ventrikel kiri 10 menit setelah alat pada posisinya dan
minimal foaming hilang setelah beberapa hari dan tekanan A. Pulmonalis turun menjadi
38 mmHg.

Isu Sekitar Penutupan DSV Tipe Perimembran


Penutupan DSV perimembran merupakan tindakan intervensi non-bedah
yang relatif cukup sulit dan menantang (challenging). Hal ini disebabkan posisi DSV
yang relatif sulit dijangkau, jalur kateter yang rumit dan adanya struktur penting di
sekitar DSV seperti sistem konduksi, katup aorta dan katup trikuspid yang dapat
rusak jika dikerjakan secara tidak hati-hati. Hingga kini salah satu kekhawatiran yang
ditakutkan pada penutupan DSV perimembran adalah blok atrio-ventrikular (AV)
komplit. Sebenarnya kejadian blok AV komplit pada tindakan intervensi non-bedah
dan bedah hampir sama yaitu di bawah 2%. Perbedaannya, blok komplit AV pasca-
penutupan DSV secara bedah timbul segera sebelum pasien dipulangkan dari rumah
sakit sehingga dapat segera dilakukan tindakan pemasangan pacu jantung
permanen. Sebaliknya, blok komplit AV pasca-penutupan DSV dengan Amplatzer,
terjadi lambat setelah pasien dipulangkan. Tindakannya adalah sama yaitu dengan
pemasangan pacu jantung permanen. Dari berbagai data yang berasal dari
beberapa negara di Eropa, Australia dan Asia menyatakan bahwa tindakan
penutupan DSV dengan AVO cukup aman. Pengalaman melakukan penutupan DSV
pada 14 kasus di RSCM hasilnya cukup baik, dan pada pemantauan sampai dengan
4 tahun pasca-pemasangan tidak ditemukan blok AV komplit.
Isu ke-2 yaitu mengenai rekomendasi FDA. Hingga saat ini, FDA belum
mengeluarkan rekomendasi untuk tindakan penutupan DSV perimembran dengan
AVO. Namun demikian bukti-bukti dari data yang berasal dari beberapa negara di
Eropa, Australia dan Asia sudah cukup menyatakan bahwa penutupan DSV
perimembran dengan AMVO cukup aman. Rekomendasi FDA sebenarnya tidak bisa
dipakai sebagai tolok ukur untuk memulai suatu prosedur baru, karena sistem yang
digunakan FDA berlaku mundur. Penggunaan sistem baru, termasuk AVO yang
sebenarnya adalah produksi Amerika sendiri belum boleh digunakan di sana, tapi di
negara lain di luar Amerika mereka pakai. Nanti setelah data keamanannya dinilai
cukup, baru keluar rekomendasi dari FDA. Hal ini terjadi pada pemakaian ADO pada
DAP dan ASO pada DSA hingga akhirnya rekomendasi FDA keluar. Pada
pertemuan terakhir bulan Mei 2008 di Jeju, Korea, tindakan penutupan DSV dengan
AVO masih tetap boleh dikerjakan sambil memantau kemungkinan adanya efek
samping, termasuk blok AV komplit.
BAB IV
DISKUSI

Penatalaksanaan penyakit jantung bawaan (PJB) yang dapat ditata laksana


dengan tindakan intervensi non-bedah adalah untuk kelainan PJB yang tidak
kompleks. Sedangkan untuk kelainan yang kompleks, terapi dengan pembedahan
masih merupakan pilihan. Pada kajian ini, ruang lingkup pembahasan dibatasi untuk
tiga PJB yang sering ditemukan yaitu, duktus arteriosus persisten (DAP), defek
septum atrium (DSA) dan defek septum ventrikel (DSV).
Menurut panduan yang dibuat AGA Medical Coorperation, perusahaan yang
memproduksi Amplatzer Occluder, dokter yang boleh memasang Amplatzer ini
adalah dokter yang pernah mendapatkan pelatihan khusus (trained doctor). Untuk
keamanan pasien (patient safety), intervensionist harus memberitahu dokter bedah
jantung untuk mengantisipasi kemungkinan ada masalah atau komplikasi yang
mungkin timbul berkaitan dengan tindakan intervensi non-bedah ini.
Diagnosis DAP ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang. Pada dasarnya DAP masih normal ditemukan pada bayi
baru lahir dan umumnya akan menutup secara spontan pada hari keempat.13 Oleh
karena itu, pada algoritma tata laksana DAP, dapat dilihat bahwa tindakan intervensi
non-bedah hanya dilakukan pada bayi yang tidak memiliki gejala gagal jantung dan
setelah diberikan terapi medikamentosa menunjukkan perbaikan, kemudian pada
umur >12 bulan atau berat badan >6 kg baru dilakukan tindakan intervensi. Tindakan
pembedahan dilakukan bila terapi medikamentosa gagal memberikan perbaikan.
Setelah prosedur intervensi non-bedah selesai dilakukan pasien dapat
langsung dipulangkan pada hari yang sama atau keesokan harinya yang mana kal ini
tidak mungkin dilakukan pada intervensi bedah. Selain prosedur, lama perawatan
dan waktu pemulihan yang lebih singkat, risiko dan komplikasi yang lebih kecil, pada
prosedur intervensi non-bedah ini juga tidak akan ditemukan luka parut bekas
sayatan di dadanya. Sayangnya di Indonesia prosedur non-bedah ini relatif lebih
mahal dari pada prosedur bedah.
Pada kasus DSA, jenis DSA yang paling sering ditemukan adalah DSA
sekundum dan pilihan terkini yang secara luas sudah diterima di hampir seluruh
negara adalah penutupan dengan tindakan transkateter. Gambaran klinis DSA
tergantung pada besarnya defek. Pada defek yang kecil, sebagian besar tidak
menimbulkan gejala klinis dan anak tampak sehat. Keluhan baru timbul pada usia
dekade ke-2 dan ke-3 setelah terjadi peningkatan tekanan vaskular paru.
DSA umumnya idealnya dianjurkan ditutup saat usia pra sekolah (3 – 4
tahun). Meskipun beberapa ahli menyarankan penutupan DSA dilakukan sesegera
mungkin dengan alasan bahwa beban jantung kanan akan meningkat seiring dengan
pertambahan usia, lebih disarankan jika memungkinkan untuk menunggu hingga
anak sedikitnya berusia 3 – 4 tahun. Selain itu, seiring pertumbuhan ukuran DSA
cenderung meningkat sesuai dengan peningkatan massa tubuh.
Segera setelah dilakukan prosedur penutupan DSA secara non bedah,
dianjurkan agar pasien tetap dievaluasi dengan pemeriksaan klinis,
elektrokardiografi, foto Rontgen toraks, serta pemeriksaan ekokardiografi
transtorasik. Prosedur yang sama dilakukan setiap 1, 6 dan 12 bulan setelah
implantasi. Direkomendasikan pemberian ASA dosis 5 mg/kg BB setiap hari selama
6 bulan setelah implantasi.
Seperti penutupan DAP trans kateter, penutupan DSA cara non-bedah ini
lebih efektif, aman dan menguntungkan bagi pasien. Kendalanya di Indonesia adalah
biaya tindakan penutupan DSA secara non-bedah dengan pemasangan ASO yang
lebih mahal dibandingkan dengan prosedur bedah.
DSV merupakan 30% dari PJB yang ditemukan. Meskipun defek yang kecil
dapat menutup sendiri secara spontan, defek yang lebih besar biasanya
menyebabkan gagal jantung kiri dan hipertensi pulmonalis. Pada saat ini, dengan
adanya penemuan alat baru dan teknik penutupan yang lebih baik, penutupan pada
DSV memiliki angka keberhasilan yang semakin membaik.
Diagnosis pada DSV ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis
dan pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis pada DSV juga bergantung pada
ukuran defek. Penutupan DSV perimembran merupakan tindakan intervensi yang
relatif cukup sulit dan menantang (challenging). Hal ini disebabkan karena posisi
DSV yang relatif sulit dijangkau, jalur kateter yang rumit dan adanya struktur penting
di sekitar DSV seperti sistem konduksi, katup aorta dan katup trikuspid yang dapat
rusak jika dikerjakan secara tidak hati-hati. Hingga kini salah satu kekhawatiran yang
ditakutkan pada penutupan DSV perimembran adalah blok AV komplit. Sebenarnya
kejadian blok AV komplit pada tindakan intervensi non-bedah dan bedah hampir
sama yaitu di bawah 2%. Perbedaannya, AV blok komplit pasca-penutupan DSV
secara bedah timbul segera sebelum pasien dipulangkan dari rumah sakit sehingga
dapat segera dilakukan tindakan pemasangan pacu jantung permanen. Sebaliknya,
AV blok komplit pasca-penutupan DSV dengan transkateter, terjadi lambat setelah
pasien dipulangkan. Dari berbagai data yang berasal dari beberapa negara di Eropa,
Australia dan Asia menyatakan bahwa tindakan penutupan DSV dengan transkateter
cukup aman.
Tindakan penutupan DSV secara non-bedah dengan pemasangan AVO di
Indonesia belum banyak dilakukan. Selain karena prosedurnya yang cukup sulit juga
biaya yang cukup tinggi hampir 2 kali biaya secara bedah.
BAB V
ANALISIS BIAYA

5. 1 Cost-effectiveness dari sisi medis


 Faktor prosedur :
Keuntungan dari prosedur penutupan dengan transkateter pada DAP, DSA,
DSV adalah: penggunaan anestesia yang lebih singkat, durasi rawat inap
yang lebih singkat, tidak memerlukan perawatan ICU, pemakaian analgesia
yang lebih singkat dan nyeri pasca tindakan yang lebih ringan daripada
pasien yang mengalami pembedahan; produk-produk darah juga jarang
diperlukan.
 Efektivitas
Angka keberhasilan dengan prosedur transkateter adalah 95,7% dan dengan
pembedahan 100%. Pemeriksaan echocardiography yang dilakukan 3 bulan
setelah prosedur memperlihatkan bahwa terdapat sedikit residual shunts
pada pasien yang mengalami transkateter (angka penutupan yang sempurna
91 %). Pada kelompok pasien yang mengalami pembedahan tidak ada
residual shunts.
 Komplikasi lebih rendah daripada bedah
Komplikasi yang ditimbulkan pada penggunaan intervensi transkateter
sebesar 7,2% dan pada pembedahan 24%. Pada kedua prosedur angka
mortalitas sebesar 0%.
 Waktu pemulihan juga singkat
Rata-rata pasien yang mengalami transkateter dirawat selama satu hari
(kisaran 1-2 hari) dan untuk yang mengalami pembedahan enam hari
(kisaran 4-20 hari). Pasien dapat kembali ke aktivitas normal rata-rata setelah
dua minggu pada kelompok transkateter dan pada pembedahan rata-rata 5,5
minggu.
 Kenyamanan
Orangtua yang anaknya mengalami pembedahan mengkhawatirkan
mengenai prosedur yang invasif, efek bypass kardiopulmonal, dan jaringan
parut yang ditimbulkan. Sedangkan orangtua yang anaknya menjalani
tindakan transkateter mengkhawatirkan kemungkinan lepasnya alat serta
keamanan alat dalam jangka panjang.
5.2 Cost-effectiveness dari sisi ekonomi
Tabel Perbandingan Biaya

Terdapat perbedaan biaya antara beberapa senter, baik untuk tindakan intervensi
non-bedah ataupun bedah. Tabel di bawah ini menunjukkan perbedaan biaya antara
RSCM dan RS Jantung Harapan Kita.

Jenis Biaya Bedah Biaya Non-Bedah Biaya Bedah Biaya Non-Bedah


Tindakan (RSCM) (Rp) RSCM (Rp) RSJ-HK (Rp) RSJ-HK (Rp)
Tinda Lama Tindak Lama Tindak Lama Tindak Lama
kan Perawat an Perawatan an Perawatan an Perawatan
an (2 Hari) (6 Hari) (2 Hari)
(6 Hari)
DAP 19,4 jt 1,1 jt 36,0 jt 0,4 jt 12 jt 800 rb 24,9 jt 400 rb
DSA 46,0 jt 2,0 jt 52,6 jt 1,1 jt 28,5 jt 1,2 jt 44 jt 400 rb
DSV 53,8 jt 1,8 jt 69,3 jt 1,1 jt 35 jt 1,2 jt 44 jt 400 rb
BAB VI
REKOMENDASI

Pada prosedur invasif seperti pada kebanyakan tindakan di bidang kardiologi,


penelitian menggunakan randomisasi (randomized control trial) tidak etis, karena
menyebabkan subyek terpajan dengan prosedur-prosedur invasif. Oleh karena itu,
dalam literatur sulit mendapatkan literatur dengan level of evidence Ia atau Ib,
dengan demikian hampir tidak pernah mendapatkan rekomendasi A.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, direkomendasikan hal-hal berikut ini :
1. Penatalaksanaan penyakit jantung bawaan (PJB) yang dapat ditata laksana
dengan tindakan intervensi non-bedah adalah untuk kelainan PJB yang tidak
kompleks. Pada keadaan tersebut, tindakan intervensi merupakan terapi
pilihan antara lain karena dapat terbebas dari komplikasi operasi yang
ditimbulkan. [Rekomendasi B]
2. Pada PJB dengan kelainan yang kompleks, terapi dengan pembedahan
masih merupakan pilihan, terapi intervensi non bedah hanya sebagai
tindakan paliatif. [Rekomendasi B]
3. Tindakan pemasangan Amplatzer dilakukan oleh dokter yang mempunyai
kompetensi yang telah mendapatkan pelatihan (trained doctor) khusus
mengacu pada modul yang disusun dan disahkan oleh kolegium terkait.
[Rekomendasi B]
4. Untuk keamanan pasien (patient safety), dokter kardiologi memberitahu
dokter bedah jantung untuk mengantisipasi jika ada masalah atau komplikasi
yang mungkin timbul berkaitan dengan tindakan intervensi non-bedah ini.
[Rekomendasi B]
5. Biaya langsung tindakan intervensi saat ini lebih tinggi, namun mengingat
keterbatasan SDM dokter bedah jantung dan fasilitasnya, tindakan intervensi
non- bedah perlu mendapatkan prioritas. [Rekomendasi C]
DAFTAR PUSTAKA

1 Rosenthal G. Prevalence of congenital heart disease. In: Garson A, Bricker JT,


Fisher DJ, Neish SR. The science and practice of pediatric cardiology. 2nd ed.
Baltimore: Williams & Wilkins; 1998. h. 1083-105.
2 Ho KK, Anderson KM, Kennel WB, Grossman W, Levy D. Survival after the onset
of congestive heart failure in framingham heart study subjects. Circulation
1993;88:107-15.
3 Statistik Indonesia. Available in : http://www.datastatistik-indonesia.com. Last
updated January 4th 2007. Cited at August 2nd 2007.
4 Mullins CE. History of pediatric international catheterization: pediatric therapeutic
cardiac catheterization. Pediatric Cardiol 1998; 19: 3-7.
5 Kato H. Foreword: Catheter interventional treatment for pediatric heart disease-a
new therapeutic strategy. Pediatr Int 2001; 43:527-8.
6 Djer MM. Interventional Pediatric Cardiology in Indonesia, a multicenter
experience. Dipresentasikan pada Konika XIII;2005 Juli 4-7; Bandung, Indonesia.
7 Andrews RE, Tulloh RMR. Interventional cardiac catheterization in congenital
heart disease. Arch Dis Child 2004; 89:1168-73.
8 Putra ST. Kemajuan di bidang kardiologi intervensional. Dalam: 50 Tahun Ikatan
Dokter Anak Indonesia: Untuk Mereka Kita Bekerja. Balai Penerbit IDAI; 2005. h.
105-8.
9 Heartkids Victoria Incorporated, Family Support Group. Frequently Asked
Questions. Department of Cardiology, Royal Children’s Hospital Website,
Melbourne, 2000.
10 American Heart Association. Family Health: Children and Heart Disease, How A
Cardiologist Diagnoses Heart Defects. American Heart Association Website,
USA, 2000.
11 Dalvi B. Interventional cardiology. Bombay Hospital Journal. Available at :
http://www.bhj.org/journal/2006_4803_july/html/int_card_416_428.html. Last
th
updated 27 Juli 2007. Cited at August 19 2007.
12 Ravishankar C, Nafday S, Green RS, Kamenir S, Lorber R, Stacewicz-
Sapuntzakis M, Bridges ND, Holzman IR, Gelb BD. A trial of vitamin A therapy to
facilitate ductal closure in premature infants. J Pediatr, Vol. 143, pp 644-8, 2003.
13 Buyse ML. Birth Defects Encyclopedia, pp 548-549, Blackwell Scientific
Publications, Cambridge, MA, 1990.
14 Becker SM, Al Halees Z, Molina C, Paterson RM. Consanguinity and congenital
heart disease in Saudi Arabia. Am J Med Genet 2001;99:8-13.
15 Botto LD, Correa A, Erickson JD. Racial and temporal variations in the
prevalence of heart defects. Pediatrics 2001a;107:e32.
16 Borgmann S, Luhmer I, Arslan-Kirchner M, Kallfelz HC, Schmidtke J. A search for
chromosome 22q11.2 deletions in a series of 176 consecutively catheterized
patients with congenital heart disease: no evidence for deletions in nonsyndromic
patients. Eur J Pediatr 1999;158:958-63.
17 Van Overmeire B, Chemtob S. The pharmacology closure of the patent ductus
arteriosus. Seminars in Fetal & Neonatal Medicine, Vo. 10, pp 177-184, 2005.
18 De Felice C, Mazzieri S, Pellegrino M, Del Pasqua A, Toti P, Bagnoli F, Rosati E,
Latini G. Skin reflectance changes in preterm infants with patent ductus
arteriosus. Early Human Development 2004:78:45-51.
19 O’Donnell C, Neutze JM, Skinner JR, Wilson NJ. Transcatheter patent ductus
arteriosus occlusion: evolution of techniques and results from the 1990s. J
Pediatr Child Health 2001; 37:451-6.
20 Faella HJ, Hijazi ZM. Closure of the patent ductus arteriosus with the amplatzer
DAP occluder: immediate results of the international clinical trial. Cathet
Cardiovasc Intervent 2000; 51:50-4.
21 Ferencz C, Loffredo CA, Correa-Villasenor A, Wilson PD, eds. Patent arterial
duct. I: Genetic and Environmental Risk Factors of Major Cardiovascular
Malformations: The Baltimore-Washington Infant Study 1981-1989. Armonk, NY:
Fuytura Publishing Co., Inc; 1997: pp. 285-99.
22 Stoll C, Alembik Y, Dott B, Roth PM, De Geeter B. Evaluation of prenatal
diagnosis of congenital heart disease. Prenat Diagn 1993;13:453-61.
23 McMillan JA, Feigin RD, DeAngelis CD, Jr. Jones MD. Patent Ductus Arteriosus.
Chapter 273. Oski’s Pediatrics, Principles and Practice. Fourth Edition. Lippincott
William and Wilkins. A Wolters Kluwer Business. 2006; h. 1578-82.
24 Types of congenital heart defects. Available at :
http://www.nhlbi.nih.gov/health/dci/Diseases/chd/ chd_types.html. Cited at August
10th 2007.
25 Duktus Arteriosus Persisten dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
Edisi I. 2004; h:138.
26 Boehm W, Emmel M, Sreeram N. The Amplatzer duct occluder for DAP closure :
indications, technique of implantation and clinical outcome. Images Paediatr
Cardiol 2007;31: 16 – 26.
27 The Amplatzer duct occluder for DAP closure: indications, technique of
implantation and clinical outcome. Available at :
www.impaedcard.com/issue/issue31/boehmw/boehmw.htm. Last updated 2007.
Cited at August 6th 2007.
28 How Your Doctor Will Implant the Duct Occluder. Available at :
www.amplatzer.com/products/DAP_devices/implanting_duct_occluder.html. Last
updated 2007. Cited at August 5th 2007.
29 Jang GY, Son CS, Lee JY, Kim SJ. Complication after Transcatheter Closure of
Patent Ductus Arteriosus. Korean Med J 2007;22: 484-90.
30 Roebiono P, Harimurti GM, Rahayoe AU, and Sakidjan I. Transcatheter closure
of Patent Ductus Arteriosus. 10-year experience at the National Cardiovascular
Center Harapan Kita, Jakarta, Indonesia. Presented at 17th ASEAN Congress of
Cardiology, Hanoi, Vietnam. ASEAN Heart Journal 2008; 17, Suppl: p73
31 Djer MM. Pengaruh Penutupan Duktus Arteriosus Persisten Transkateter
Menggunakan Amplatzer Duct Occluder pada kadar nikel darah dan efek
toksiknya serta pola perubahan dimensi dan faal ventrikel kiri. Ringkasan
Disertasi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Juni 2008.
32 Anonymous. Atrial Septal Defect (ASD). Available in :
www.childrens.com/cardiology/diagnoses/atrial_septal_defect.cfm. Last updated
2006. Cited at September 4th 2007.
33 Latiff HA, Alwi M, Samion H, Kandavello G. Transcatheter closure of the defects
within the oval fossa using the Amplatzer septal occluder. Cardiol Young 2002;
12:224-8.
34 Defek Septum Atrium dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I.
2004; h:133-4.
35 Allen HD, et al. Pediatric Therapeutic Cardiac Catheterization. AHA Scienticic
Treatment. Circulation. 1998;97:609-625.
36 Harper RW, Mottram PM, McGaw DJ. Closure of secundum Atrial Septal Defects
With the Amplatzer Septal Occluder Device : Techniques and Problems.
Catheterization and Cardiovascular Interventions 57:508-24 (2002).
37 Swan L,Gatzoulis MA.Closure of atrial septal defects: is the debate overEur Heart
J 2003;24:130-2.
38 Murphy JG, Gersh BJ, McGoon MD, Mair DD, Porter CJ, Ilstrup DM et al. Long-
term outcome after surgical repair of isolated atrial septal defect: follow up at 27-
32 years. N Engl J Med 1990;323:1645-50.
39 Shah D, Azhar M, Oakley CM, Cleland JG, Nihoyannopoulus P. Natural history of
secundum atrial septal defect in adults after medical or surgical treatment: a
historical prospective study. Br Heart J 1994;71:224-7.
40 Konstantinides S, Geibel A, Olschewski M, Gornandt L, Roskamm H, Spillner G
et al. A comparison of surgical and medical therapy for atrial septal defect in
adults. N Engl J Med 1995;333:469-73.
41 Jemielity M, Dyszkiewicz W, Paluszkiewicz, Perek B, Buczkowski P, Ponizynski
A. Do patients over 40 years of age benefit from surgical closure of atrial septal
defects? Heart 2001;85:300-3.
42 Harimurti GM, Rahajoe AU, Roebiono P, and Sakidjan I. Closing secundum atrial
septal defect with Amplatzer septal occlude: Six years experience at the National
Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta, Indonesia. Presented at 17th
ASEAN Congress of Cardiology, Hanoi, Vietnam.ASEAN Heart Journal 2008;17,
Suppl: p74-5.
43 Chan KC, Godman MJ, Walsh K, Wilson N, et al. Transcatheter closure of atrial
septal defect and interatrial communications with a new self expanding nitinol
double disc device ( Amplatzer septal occluder ) : multicentre UK experience.
Heart 1999;82: 300-6.
44 Vida VL, Barnoya J, O?fConnel M, Leon-Wyss J, Larrazabal LA, Castaneda AR.
Surgical versus percutaneous occlusion of ostium secundum atrial septal
defects: results and cost-effective considerations in a low-income country. J Am
Coll Cardiol 2006;47:326-31.
45 Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI. Standar pelayanan
medik rs jantung dan pembuluh darah harapan kita. Jakarta: Pusat Jantung
Nasional Harapan Kita 2003.
46 Ebeid MR. Interventional Pediatric Cardiology : Percutaneous Catheter Closure of
Secundum Atrial Septal Defects: A Review. The Journal of Invasive Cardiology.
Volume 14 – Issue 1 (January) – January 2002 – Pages: 25 – 31.
47 Cardoso CO, Filho RIR, Machado PR, Francois LMG, Horowitz ESK, Leite RS.
Effectiveness of the Amplatzer device for Transcatheter Closure of an Ostium
secundum Atrial Septal Defect. Arq Bras Cardiol 2007; 88(4) : 338-42.
48 Fischer G, Kramer HH, Stieh J, Harding P, Jung O. Transcatheter closure of
secundum atrial septal defects with the new self-centering Amplatzer Septal
Occluder. European Heart Journal (1999) 20, 541 –9.
49 Chessa M, Carminati M, Butera G, Bini RM, Drago M, Rosti L, et al. Early and
late complications associated with transcatheter occlusion of secundum atrial
septal defect. J Am Coll Cardiol, 2002; 39:1061-5.
50 Swan L, Gatzoulis MA. Closure of atrial septal defects: is the debate over?
European Heart Journal (2003) 24, 130-2.
51 Hughes ML, Maskell G, Goh TH and Wilkinson JL. Prospective comparison of
costs and short term health outcomes of surgical versus device closure of atrial
septal defect in children. Heart 2002;88:67-70.
52 Thomson JDR, Aburawi EH, Watterson KG, Doorn CV, Gibbs JL. Surgical and
transcatheter (Amplatzer) closure of atrial septal defects: a prospective
comparison of result and cost. Heart 2002;87:466-9.
53 Ventricular septal defect. MedlinePlus Medical Encyclopedia. Diunduh dari
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/imagepages/18095.htm tanggal 10
Agustus 2007.
54 Lewis DA, Loffredo CA, Corre-Villasenor A, Wilson PD, Martin GR. Descriptive
epidemiology of membranous and muscular ventricular septal defects I the
Baltimore-Washington infant study. Cardiol Young 1996;6:281-90.
55 Roguin N, Du ZD, Barak M, Nasser N, Hershkowitz S, Milgram E. High
prevalence of muscular ventricular septal defects in neonates. J Am Coll Cardiol
1995 15;26:1545-8.
56 Shirali GS, Smith EO, Geva T. Quantiation of echocardiographic predictors of
outcome in infant with isolated ventricular septal defect. Am Heart J
1995;130:1228-35.
57 Kirklin JW, Barrat-Boyes BG, eds. Cardiac Surgery.2nd ed. New York, NY :
Churchill Livingstone, 1993:749-824.
58 Rome JJ, Keane JF, Perry SB, Spevak PJ, Lock JE. Double-umbrella closure of
atrial septal defects: initial clinical applications. Circulation 1990;82:751-8.
59 Rao PS, Berger F, Rey C, Haddad J, Meier B, Walsh KP, Chandar JS, Lloyd TR,
de Lezo JS, Zamora R, Sideris EB. Results of transvenous occlusion of
secundum atrial septal defects with the fourth generation buttoned device:
comparison with first, second and third generation devices. International Buttoned
Device Trial Group. J Am Coll Cardiol 2000;36(2):583-92.
60 Masura J, Gavora P, Formanek A, Hijazi ZM. Transcatheter closure of secundum
atrial septal defects using the new self-centering Amplatzer septal occluder: initial
human experience. Cathet Cardiovasc Diagn 1997;42:388-93.
61 Windecker S, Wahl A, Chatterjee T, Garachemani A, Eberli RF, Seiler C, Meier B.
Percutaneous Closure of patent foramen ovale in patients with paradoxical
embolism: long-term risk of recurrent thromboembolic events. Circulation
2000;101(8):893-8.
62 Bridges ND, Lock JE, Castaneda AR. Baffle fenestration with subsequent
transcatheter closure. Circulation 1990;82:1681-5.
63 Lock JE, Block PC, McKay RG, Baim DS, Keane JF. Transcatheter closure of
ventricular septal defects. Circulation 1988;78:361-8.
64 Bridges ND, Perry SB, Keane JE, et al. Preoperative transcatheter closure of
congenital muscular ventricular septal defects. N Engl J Med 1991;324:1312-7.
65 O'Laughlin MP, Mullins CE. Transcatheter occlusion of ventricular septal defect.
Cathet Cardiovasc Diagn 1989;17:175-9.
66 Preminger TJ, Sanders SP, van der Velde ME, Castaneda AR, Lock JE.
"Intramural" residual interventricular defects after repair of conotruncal
malformations. Circulation 1994;89(1):236-42.
67 van der Velde ME, Sanders SP, Keane JF, Perry SB, Lock JE. Transesophageal
echocardiographic guidance of transcatheter ventricular septal defect closure. J
Am Coll Cardiol 1994;23:1660-5.
68 Rigby ML, Redington AN. Primary transcatheter umbrella closure of
perimembranous ventricular septal defect. Br Heart J 1995;73(6):585-6.
69 Vogel M, Rigby ML, Shore D. Perforation of the right aortic valve cusp:
complication of ventricular septal defect closure with a modified Rashkind
umbrella. Pediatr Cardiol 1996;17(6):416-8.
70 Du ZD, Hijazi ZM. Transcatheter Closure of Ventricular Septal Defect. Diunduh
dari : http://www.bcbsnc.com/services/medical-policy/pdf/ . tanggal : 1 September
2007.
71 Amin Z, Berry JM, Foker JE, et al. Intraoperative closure of muscular ventricular
septal defect in a canine model and applicability of the technique in a baby. J
Thorac Cardiovasc Surg 1998; 115: 1374-6.
72 Janorkar S, Goh T, Wilkinson J. Transcatheter closure of ventricular septal
defects using the Rashkind device: initial experience. Catheter Cardiovasc Interv
1999;46:43-8.
73 Rodes J, Piechaud JF, Ouaknine R, Hulin S, Cohen L, Magnier S, Lecompte Y,
Lefevre T. Transcatheter closure of apical ventricular muscular septal defect
combined with arterial switch operation in a newborn infant. Catheter Cardiovasc
Interv 2000;49:173-6.
74 Hijazi ZM, Hakim F, Al-Fadley F, et al. Transcatheter closure of single muscular
ventricular septal defects using the Amplatzer Muscular VSD Occluder: Initial
results and technical considerations. Cathet Cardiovasc Interv 2000;49:167-172.
75 Latiff HA, Alwi M, Kandhavel G, et al. Transcatheter closure of multiple muscular
ventricular septal defects using Gianturco coils. Ann Thorac Surg 1999; 68: 1400-
1.
76 Defek Septum Ventrikel dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi
I. 2004; h:132.
77 Hijazi ZM. Catheter Closure of Atrial Septal and Ventricular Septal defects Using
The Amplatzer Devices. Heart, Lung and Circulation 2003; 12. pS63-
S72(supplement).
78 AGA Medical Corporation. Implanting the Membranous VSD Occluder. 2007.

Anda mungkin juga menyukai