A. Latar Belakang
1. Dasar Hukum
a. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat 2;
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 131
ayat 1;
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJP-N)
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
f. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015–2019;
g. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 136/PMK.02/2014 tentang Petunjuk
Penyusunan dan Penelaahan RKAKN/L;
h. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74/Menkes/2008 tentang Sumber
Daya Manusia Bidang Kesehatan Kabupaten/ Kota;
i. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014 tentang Upaya
Kesehatan Anak;
j. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2014 tentang Skrining
Hipotiroid Kongenital;
k. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional III 2015–2019 tentang Akses Masyarakat
terhadap Pelayanan Kesehatan yang Berkualitas Semakin Mantap;
l. Rencana Strategi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2015-2019.
2. Gambaran Umum
Hipotiroid kongenital (HK) adalah suatu keadaan hormon tiroid yang tidak adequat pada bayi
baru lahir sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tubuh yang dapat disebabkan oleh
kelainan anatomi kelenjar tiroid, kelainan genetik, kesalahan biosintesis tiroksin serta pengaruh
lingkungan. Angka kejadian di berbagai negara bervariasi dengan kisaran antara 1 per 3000-
4000 kelahiran hidup. Sebagian besar penelitian memperlihatkan perbandingan angka kejadian laki-laki
dengan perempuan adalah 1:2. Hipotiroid kongenital merupakan salah satu penyebab retardasi mental
yang dapat dicegah bila ditemukan dan diobati sebelum usia 1 bulan.
Hormon Tiroid, Tiroksin (T4) merupakan hormon yang diproduksi oleh kelenjar tiroid (kelenjar
gondok). Pembentukannya memerlukan mikronutrien iodium. Hormon ini berfungsi untuk
mengatur produksi panas tubuh, metabolisme, pertumbuhan tulang, kerja jantung, syaraf serta
pertumbuhan dan perkembangan otak. Dengan demikian hormon ini sangat penting
peranannya pada bayi dan anak yang sedang tumbuh. Kekurangan hormon tiroid pada bayi
dan masa awal kehidupan bisa mengakibatkan hambatan pertumbuhan (cebol) dan retardasi
mental (keterbelakangan mental).
Kondisi tersebut apabila tidak segera dideteksi dan diobati, maka bayi akan mengalami
kecacatan yang sangat merugikan kehidupan berikutnya. Anak akan mengalami gangguan
pertumbuhan fisik secara keseluruhan, dan yang paling menyedihkan adalah perkembangan
mental terbelakang yang tidak bisa dipulihkan.
Tanpa pengobatan, gejala akan semakin tampak dengan bertambahnya usia. Gejala yang
muncul antara lain: lidah menjadi tebal (makrologis), suara serak, hipotoni, hernia, umbilikalis,
konstipasi, perut buncit, tangan dan kaki teraba dingin, disertai miksedema. Jika muncul gejala
klinis, berarti telah terjadi retardasi mental.
Kunci keberhasilan pengobatan anak dengan Hipotiroid Kongenital (HK) adalah deteksi dini
dan pengobatan sebelum anak berumur 1-3 bulan, sehingga deteksi dini kelainan bawaan
melalui skrining pada bayi baru lahir merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan
generasi yang lebih baik. Skrining atau uji saring pada bayi baru lahir (neonatal screening)
adalah tes yang dilakukan pada saat bayi berumur beberapa hari untuk memilah bayi yang
menderita kelainan kongenital dari bayi yang sehat. Skrining bayi baru lahir dapat mendeteksi
adanya gangguan kongenital sedini mungkin, sehingga bila ditemukan dapat segera dilakukan
intervensi secepatnya.
Telaah rekam medis tahun 1995 di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan RS Hasan Sadikin
(RSHS) terhadap 134 anak, menunjukkan bahwa lebih dari 70% penderita didiagnosis setelah
umur 1 tahun dan hanya 2,3% yang didiagnosis dibawah umur 3 bulan, akibatnya penderita
mengalami gangguan pertumbuhan (cebol) dan retardasi mental (keterbelakangan mental).
Hasil pemeriksaan sampel darah dari 166.903 bayi yang dikirim ke Laboratorium RSHS,
didapatkan 43 bayi positif mengalami HK. Maka prevalensi kejadian HK di Indonesia 1:3.881
bayi, namun sampai saat ini sedikit sekali bayi baru lahir yang mendapatkan Skrining, hanya
0,3% dari seluruh kelahiran bayi.
Untuk itu penting sekali dilakukan Skrining Bayi Baru Lahir yang salah satu diantaranya adalah
dengan melakukan Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK) pada bayi baru lahir sebelum
timbulnya gejala klinis, karena makin lama gejala makin berat. Dan untuk menyebarluaskan
pelaksanaan Skrining bayi baru lahir, khususnya SHK agar tidak terjadi keterlambatan
mengetahui dan memberikan pengobatan pada bayi sebelum berusia 2 bulan.
F. Peserta Kegiatan
Pelaksanaan kegiatan di Provinsi dalam 2 angkatan total peserta 56 Orang. Kegiatan dibagi dalam
@ angkatan 28 orang masing-masing peserta dari 13 Kabupaten/ 1 Kota sebanyak 2 Orang.
Kriteria Peserta: dokter dan bidan yang bertugas di Puskesmas terpilih maupun dokter spesialis
anak di RSUD Kabupaten/ Kota maupun penanggungjawab program kesehatan dasar di Dinas
Kesehatan Kabupaten yang belum terpapar tentang SHK.
H. Pembiayaan
Biaya penyelenggaraan “Orientasi Tenaga Kesehatan dalam Skrining Bayi Baru Lahir”
menggunakan dana DIPA APBN Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah pada Program
Kesehatan Masyarakat Tahun Anggaran 2016.