Anda di halaman 1dari 37

Jurnal Penanganan Pasca Panen

PENYEBAB DAN PENCEGAHAN BROWNING PADA


LANGSAT
(Lansium domesticum)

Oleh :
Nunung Hairunnisya, STP
Pengawas Mutu Hasil Pertanian Pertama

Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan


Kota Pontianak
2014
PENYEBAB DAN PENCEGAHAN BROWNING PADA
LANGSAT (Lansium domesticum)

Oleh :

Nunung Hairunnisya, STP

Pengawas Mutu Hasil Pertanian Pertama


Abstrak

Lansium domesticum atau yang dikenal dengan


nama Langsat merupakan salah satu jenis buah tropis yang
banyak ditumbuh di Kalimantan Barat, pada tahun 2013
Kota Pontianak mampu menghasilkan langsat sebanyak 608
ton. Namun sering kali nilai ekonomis buah tersebut menjadi
menurun akibat browning pada permukaan kulit. Penyebab
terjadinya browning pada permukaan kulit dapat disebabkan
oleh berbagai hal seperti akibat penentuan umur panen yang
kurang tepat, perlakuan yang kurang baik saat proses
transportasi, reaksi enzimatis dan mikroorganisme.

Pencegahan browning pada permukaan kulit


dapat diatasi melalui (1) penanganan pasca panen yang
baik; (2) penggunaan suhu rendah untuk memperpanjang
umur simpan; (3) penggunaan bahan kimia sebagai
desinfektan (4) penggunaan bahan kimia sebagai
penghambat respirasi (5) penggunaan ozon dan (6)
pengolahan buah langsat menjadi produk olahan sebagai
cara mempertahankan niai ekonomis.

Keyword : Lansium domesticum, langsat, browning

i
Daftar Isi

Hal
Abstrak …………………………………………………….. i
A. Lansium domesticum ………………………………. 1
B. Penyebab Browning
1. Penentuan umur panen yang kurang tepat …. 5
2. Penanganan pasca panen yang kurang baik 7
3. Reaksi enzimatis ……………………………….. 9
4. Mikroorganisme ………………………………… 11
C. Pencegahan Browning
1. Penanganan pasca panen yang baik ……… 13
2. Penggunaan suhu rendah untuk
memperpanjang umur simpan ………………... 18
3 Penggunaan bahan kimia sebagai cairan
desinfektan ……………………………………… 20
4. Penggunaan bahan kimia sebagai
penghambat respirasi …………………………. 22
5. Penggunaan Ozon (O3) sebagai desinfektan
dan penghambat pematangan buah ………… 23
6. Pengolahan langsat menjadi produk olahan
sebagai cara untuk mempertahankan nilai
ekonomis ………………………………………... 25
D. Kesimpulan …………………………………………... 27

ii
Daftar Tabel

Hal
Tabel 1 Unsur dalam 100 gram daging buah langsat .. 3

iii
Daftar Gambar

Hal
Gambar 1 Langsat (Lansium domesticum) …………… 2
Gambar 2 Reaksi browning pada langsat …………….. 5
Gambar 3 Pengemasan sederhana …………………… 8
Gambar 4 Reaksi enzimatis oleh PPO ………………… 11
Gambar 5 Reaksi respirasi pasca panen ……………… 20
Gambar 6 Reaksi ozon menguraikan etilen …………... 24

iv
PENYEBAB DAN PENCEGAHAN BROWNING PADA
LANGSAT
(Lansium domesticum)

A. Lansium domesticum
Lansium domesticum merupakan salah satu
jenis buah tropis yang banyak tumbuh di dataran rendah
dengan tinggi 750 meter dari permukaan laut. Kondisi
geografis Indonesia merupakan salah satu kondisi
pertumbuhan ideal bagi langsat dengan suhu rata-rata
22-35°C dan curah hujan rata-rata 2000-3500 mm per
tahun (Lim, 2012).
Lansium domesticum termasuk kedalam family
Meliaceae, dikenal dengan banyak nama internasional
diantaranya dokong, duku-langsat, longkong, langsat,
lansones, dan lanzone di Indonesia seperti saat di
Makasar dikenal dengan nama Lasa, di Pulau Jawa
dikenal dengan nama Duku, sedangkan di Aceh,
Lampung dan Kalimantan Lansium domesticum lebih
dikenal dengan nama langsat. Secara internasional
langsat memiliki beberapa nama diantaranya dokong
atau lokong (Lim, 2012).
Secara morfologi buah langsat berbetuk bulat
dengan diameter 2 – 3 cm, dengan lapisan pericarp

1
setebal 2-3 mm yang berwarna kuning menjelang
matang membungkus daging buah yang terdiri dari
82,9% diantaranya adalah air dengan warna putih
transparan dan memiliki rasa manis yang menyegarkan.
Berikut merupakan gambar daging langsat dengan warna
putih transparan :

Gambar 1. Langsat (Lansium dimesticum)


Dalam 100 gram daging buah langsat memiliki
kandungan sebanyak 82,9% merupakan air dengan
jumlah vitamin C sebanyak 46 mg, daging buah langsat
juga mengandung vitamin A sejumlah 15 IU, B1 sejumlah
0,08 mg dan B2 sejumlah 0,02 mg. Tidak hanya vitamin,
buah langsat juga memiliki mineral berupa Ca sejumlah 5
mg, P sejumlah 35 mg dan Fe sejumlah 0,7 mg. Berikut
diuraikan sebanyak 14 unsur yang terkandung dalam 100
gram daging buah langsat yang ditunjukkan pada Tabel
1, yaitu :

2
Tabel 1. Unsur dalam 100 gram daging buah langsat
No Kandungan Jumlah
1 Energi 66 cal
2 Air 82,9 %
3 Protein 0,9 g
4 Lemak 0,1 g
5 Karbohidrat 15,3 g
6 Serat 0,3 g
7 Ca 5 mg
8 P 35 mg
9 Fe 0,7 mg
10 Vitamin A 15 I.U
11 Vitamin B1 0,08 mg
12 Vitamin B2 0,02 mg
13 Niacin 0,1 mg
14 Vitamin C 46 mg
Sumber : Ministry of Public Health Thailand (1987)
dalam Lim (2012)
Lebih dari 40 senyawa volatile teridentifikasi
pada daging buah langsat diantaranya 1,3,5-trioxane
(33,8%), (E)-2-hexenal (23,8%), α-calacorene (6,9%), α-
cubebene (5,4%), isoledene (4,7%) dan copaene (4%)
(Laohakunjit et al, 2007; Lim, 2012).
Selain bernutrisi dan memiliki rasa yang manis
menyegarkan, buah langsat juga digunakan untuk
berbagai macam keperluan diantaranya dalam industri
kosmetik dan farmasi. Dalam Tilaar et al (2007)
dinyatakan bahwa ekstrak buah langsat memiliki
kemampuan sebagai antioksidan, dalam dunia kosmetik

3
ekstrak buah langsat digunakan sebagai bahan untuk
produk perawatan kulit sebagai depigmentation dan
pelembab, sehingga membuat kulit terlihat lebih cerah.
Untuk keperluan farmasi ekstrak kulit buah langsat dapat
digunakan sebagai obat anti nyamuk hal ini dinyatakan
dalam Mirnawaty et al (2012) bahwa pada konsentrasi
kulit langsat sebanyak 25% merupakan konsentrasi yang
paling efektif sebagai obat anti nyamuk terhadap nyamuk
Aedes aegypti.
Pada tahun 2013 Kota Pontianak mampu
menghasilkan langsat sebesar 608 Ton. Besarnya jumlah
produksi buah langsat untuk di Kota Pontianak tidak
diimbangi dengan adanya usaha pengolahan hasil
sehingga nilai ekonomis buah langsat mudah mengalami
penurunan dikarenakan masa simpan yang relatif
pendek. Abdullah et al (2009) menyatakan Lansium
domesticum merupakan buah yang mudah rusak dan
berjamur setelah disimpan selama 4 hari pada suhu
ruang.
Selama masa simpan yang relative pendek
setelah panen permukaan buah langsat akan muncul
bintik-bintik coklat yang dikenal dengan reaksi
pencoklatan atau browning mengakibatkan turunnya nilai
ekonomis. Browning yang terdapat disekitar permukaan

4
buah langsat semakin lama akan semakin meluas
sehingga mengakibatkan kebusukan buah.

Browning pada
permukaan kulit
langsat

Gambar 2. Reaksi browning pada langsat


Browning dapat disebabkan berbagai hal seperti
memar akibat umur panen buah yang terlalu tua,
perlakuan pasca panen yang kurang baik, proses
enzimatis dan serangan mikroorganisme. Berikut akan
diuraikan lebih lanjut mengenai penyebab browning pada
buah langsat serta pencegahannya

B. Penyebab Browning
1) Penentuan umur panen yang kurang tepat
Tahap pematangan buah langsat ditunjukkan
dengan adanya perubahan warna kulit buah hal ini
sesuai dengan Sapii et al (1998) bahwa buah yang
berwarna mulai hijau kekuningan atau yang disebut fruit
yellowing (FY) merupakan tahap awal pematangan buah
dokong (Lansium domesticum).

5
Dalam Sapii et al (1998) juga menyatakan
bahwa buah dokong yang dipanen bertahap yaitu 4,7,11,
14 dan 17 hari setelah mencapai tahap FY kemudian
perubahan warna dan komposisi diamati. Perubahan
warna yang diamati secara fisik menunjukkan bahwa
buah berwarna kuning gelap pada saat dipanen umur 11
hari setelah tahap FY yang ditandai dengan
meningkatnya jumlah gula menjadi 10,8% dan TSS
(Total Soluble Solid) menjadi 18,6°Brix, serta uji rasa
secara organoleptik menujukkan rasa manis lebih
dominan dari rasa asam. Pada usia panen 14 hari
setelah tahap FY kadar gula tidak berbeda jauh dengan
yang dipanen pada 11 hari setelah tahap FY yaitu 10%
dengan TSS 18,4°Brix, namun pada usia panen 14 hari
setelah tahap FY kulit buah mulai menunjukkan warna
coklat kekuningan.
Tahap kematangan terbaik untuk dipanen
tergandung pada tingkat penerimaan konsumen dan
kebutuhan pasar. Pada usia 4 hingga 7 hari setelah
tahap FY buah dokong sudah layak untuk dikonsumsi,
namun usia panen 11 hari setelah tahap FY merupakan
usia panen terbaik. Buah yang dipanen diatas usia 11
hari akan cepat mengalami penurunan mutu (Sapii et al,
1998). Hal tersebut menunjukkan bahwa umur panen

6
memegang peranan yang cukup penting untuk
menentukan mutu dan umur simpan suatu komoditas
pertanian.
2) Penanganan panen dan pasca panen yang kurang
baik
Saat panen hingga proses transportasi buah
langsat mengalami berbagai perlakuan mekanis, seperti
saat panen biasanya buah langsat petik dalam bentuk
dompol yang kemudian buah akan dipisahkan hingga
membentuk seperti butiran. Pada proses pemisahan itu
sendiri buah langsat sudah mulai mengalami kerusakan
saat buah ditarik dari ranting biasanya ada kulit buah
yang terkoyak sehingga buah mudah menjadi busuk hal
tersebut ditambah dengan proses pemanenan yang
kurang higienis mulai dari petugas panen, wadah hingga
lingkungan sekitar. Luka pada permukaan buah langsat
dapat menjadi cara yang efektif bagi mikroorganisme
pembusuk untuk mempercepat proses pembusukan.
Getaran selama proses transportasi
menyebabkan memar pada produk buah dan sayuran,
terutama pada buah dengan pericarp yang lunak.
Kerusakan mekanis saat transportasi darat termasuk
lecet dan memar mengurangi mutu produk sehingga
transportasi darat dapat menjadi masalah. Tahun 2006 di

7
Jepang kerusakan buah dan sayuran segar selama
transportasi dan distribusi yaitu buah 17% dan sayuran
10% (Shikawa et al, 2009).
Pengemasan buah langsat yang banyak
digunakan dengan cara dimasukkan kedalam wadah
berupa keranjang rotan yang merupakan metode
pengemasan yang murah dan mudah namun sering kali
terjadi pergesekan antar buah langsat itu sendiri
sehingga menyebabkan permukaan buah mengalami
memar, luka hingga busuk sebab di dalam wadah
keranjang rotan tersebut buah dalam kondisi ditumpuk
tanpa lapisan pelindung seperti pada Gambar 3.

Gambar 3. Pengemasan sederhana


Transportasi darat menggunakan mobil bak
terbuka merupakan jenis transportasi yang paling banyak
digunakan mengingat biaya melalui transportasi darat
merupakan yang paling murah, selama proses

8
transportasi berlangsung kerusakan terhadap buah
langsat meningkat akibat kondisi jalan yang kurang baik,
seperti bergelombang, lubang hingga belum terlapis
aspal sehingga saat transportasi buah mengalami
banyak goncangan. Goncangan tersebut dapat
menyebabkan kulit buah langsat menjadi memar, luka
hingga hancur, tentunya hal tersebut dapat menurunkan
nilai ekonomis buah langsat.
Higienitas pada proses panen juga patut
diperhitungkan, seperti penggunaan sarung tangan pada
saat proses panen, wadah pengumpulan langsat yang
bersih, tidak bersentuhan langsung dengan tanah dan
tidak melakukan aktifitas lainnya seperti merokok dan
makan minum saat proses panen.
3) Reaksi enzimatis
Reaksi pencoklatan atau browning sering terjadi
pada buah-buahan seperti pisang, peach, pear, salak,
pala, apel bahkan pada langsat. Buah yang memar juga
mengalami reaksi pencoklatan. Salah satu pencoklatan
tersebut disebabkan oleh reaksi enzimatis.
Dalam Winarno (2002) disebutkan bahwa
pencoklatan enzimatik terjadi pada buah-buahan yang
banyak mengandung substrat senyawa fenolik. Ada
banyak sekali senyawa fenolik yang dapat bertindak

9
sebagai substrat dalam proses pencoklatan enzimatis
pada buah-buahan dan sayuran. Senyawa fenolik
dengan jenis ortodihidrokdi atau trihidroksi yang saling
berdekatan merupakan substrat yang baik untuk proses
pencoklatan. Proses pencoklatan enzimatik memerlukan
adanya enzim fenol oksidase dan oksigen yang harus
berhubungan dengan substrat tersebut. Enzim-enzim
yang dapat mengkatalisa oksidasi dalam proses
pencoklatan dikenal dengan berbagai nama yaitu fenol
oksidase, polifenol oksidase (PPO), fenolase atau
polifenolase masing-masing bekerja secara spesifik
untuk substrat tertentu.
Pencoklatan pada buah langsat dapat
disebabkan oleh rekasi pencoklatan enzimatis akibat
enzim fenolase yang merubah senyawa fenol dengan
adanya oksigen menjadi melanin yang berwarna coklat
(Millati dkk, 2005).
PPO (EC.1.14.18.1) merupakan enzim yang
memiliki gugus Cu, sehingga dapat mengkatalisa
pengikatan molekul oksigen dalam posisi ortho
membentuk gugus hidroksil pada cincin aromatik yang
diikuti dengan proses oksidasi diphenol menjadi quinone
(Kaviya, 2012). Hal tersebut diperkuat oleh dalam

10
Quieroz et al (2008) yang menggambarkan rekasi
enzimatis oleh PPO :

Gambar 4. Reaksi enzimatis oleh PPO


Queiroz et al (2008)
4) Mikroorganisme

Buah merupakan salah satu hasil pertanian yang


mudah mengalami kerusakan salah satunya akibat
mikroorganisme seperi jamur, bakteri dan kapang.
Selayaknya sifat alami buah-buahan yang mengandung
nutrisi sehingga sangat mudah diserang oleh
mikroorganisme yang sebagian besar adalah bakteri dan
jamur. Kerusakan akibat bakteri dan jamur ini dapat
disebabkan dari air pencucian, kontak dengan peralatan
panen atau terinfeksi secara alami sebelum dipanen,
tentunya hal ini juga dipaparkan dalam Eni et al (2010)
bahwa buah dan sayuran sangat mudah terpapar oleh
kotaminasi akibat kontak dengan tanah, debu, air, saat
proses panen atau pada saat pasca panen.

11
Eni et al (2010) menyatakan bahwa dari 3
sampel buah yaitu apel, nenas dan semangka dan 7
sampel sayuran yaitu wortel, kubis, timun, cabe hijau,
selada, kacang kapri, buncis dan daun bawang yang
diambil dari Kota Sango Ota, Nigeria terindikasi bahwa
ketiga sampel buah-buahan terkontaminasi oleh
Salmonella spp dan Staphylococcus aureus bahkan buah
nenas terindikasi terkontaminasi Escherichia coli.
Sedangkan untuk sampel sayuran wortel dan kubis
terkontaminasi oleh Staphylococcus aureus, untuk timun
dan cabe hijau terkontaminasi Staphylococcus spp, untuk
selada dan buncis terkontaminasi Klebsiella spp, dan
untuk daun bawang terkontaminasi Pseudomonas dan
Staphylococcus spp.
Adanya kehadiran bakteri dan jamur pada buah
dan sayuran selain dapat membahayakan kesehatan
manusia juga dapat menjadi penyebab kerusakan buah
dan sayuran, hal ini selaras dalam Chandy (2000) bahwa
beberapa contoh pathogen penyebab kerusakan
terhadap umbi-umbian berupa jamur Alternaria, Botrytis,
Diplodia, Monilinia, Phomopsis, Rhizopus, Pencillium,
Fusarium, dan bakteri Ervinia, Pseudomonas dan lain-
lain. Kelembaban yang tinggi juga diduga sebagai
pemicu tumbuhnya mikrooganisme pada buah.

12
C. Pencegahan
Proses browning pada permukaan buah langsat
dapat dicegah melalui beberapa cara diantaranya yaitu :
1. Penanganan panen dan pasca panen yang baik
Penanganan panen dan pasca panen yang baik
memegang peranan yang cukup penting dalam
mempertahankan nilai jual suatu produk. Penanganan
panen dan pasca panen yang baik dituangkan dalam
bentuk Pedoman Panen, Pascapanen dan Pengelolaan
Bangsal Pascapanen Hortikultura yang Baik dalam
Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
73/Permentan/OT.140/7/72013. Beberapa kegiatan
panen antara lain pemungutan hasil, pewadahan,
bongkar muat dari kebun ke lapang/tempat
pengumpulan, pengumpulan di lapang/tempat
pengumpulan dan perlakuan khusus sesuai dengan
karakteristik produk.
a. Indikator pemungutan hasil yang baik adalah :
 Tersedia produk sesuai dengan indeks kematangan
yang telah ditetapkan;
 Tersedia alat bantu untuk menentukan indeks
kematangan yang sesuai dengan karakteristik
produk;
 Tersedia alat/mesin dalam kondisi terbaik;

13
 Tersedia bahan pembersih yang aman;
 Tersedia wadah yang bersih.
b. Indikator pewadahan yang baik adalah
 Tersedia wadah sesuai kapasitasnya;
 Tersedia hasil pemetikan/pemotongan/ pemungutan
dalam wadah penampung.
c. Indikator bongkat muat yang baik adalah
 Tersedia wadah penampung yang bersih/bebas dari
kotoran;
 Tidak terdapat produk yang rusak.
d. Indikator pengumpulan di lapang/tempat pengumpulan
yang baik adalah :
 Tersedia lokasi lapang/tempat pengumpulan yang
aman, bersih dan jauh dari sumber gangguan dan
pencemaran;
 Tersedia lapang/tempat pengumpulan yang beratap,
beralas, berbatas, mempunyai tempat
penampungan sampah/limbah yang tertutup, serta
terjamin kebersihannya;
 Tersedia lahan/lambing larangan, peringatan dan
petunjuk.
e. Indikator perlakuan khusus sesuai dengan karakteristik
produk yang baik adalah :

14
 Adanya aliran udara yang cukup untuk produk yang
perlu diangin-anginkan terlebuh dahulu (curing);
 Tersedia alat/bahan pendingin yang cukup dan
berfungsi baik untuk menampung produk yang
membutuhkan suhu dan/atau kelembapan tertentu;
 Terlaksana hal-hal lain yang diperlukan seperti
pembuangan getah (delatexing) dan perompesan
(trimming).

Tidak hanya proses panen yang baik perlu


diperhatian namun penanganan pasca panen yang baik
pun wajib untuk dilaksanakan. Dalam Peraturan Menteri
Pertanian Republik Indonesia Nomor
73/Permentan/OT.140/7/72013 prinsip dasar
penanganan pasca panen merupakan rangkaian
kegiatan setelah panen yang dilakukan dalam tahapan
dan waktu sesingkat mungkin untuk menghantarkan
produk hortikultura dari lahan produksi ke tangan
konsumen dalam keadaan segar dan baik. Rangkaian
kegiatan pasca panen tersebut adalah bongkar muat,
penyejukan, penyembuhan luka, perompesan, perbaikan
warna, penyortiran, pembersihan, pengeringan,
pengkelasan, perlakuan, pengemasan, pelabelan,
penyimpanan, pengangkutan/distribusi.

15
Beberapa kegiatan yang biasa digunakan pada
penanganan pasca panen buah langsat meliputi bongkar
muat, perompesan, penyortiran, pembersihan,
pengemasan, penyimpanan dan pengangkutandistribusi.
Berikut akan diuraikan indikator kegiatan penanganan
pasca panen yang baik, yaitu :
a. Indikator bongkar muat yang baik adalah :
 Tersedia timbangan/alat ukur yang terkalibrasi;
 Tersedia alat angkat yang bersih dan bebas
kontaminan;
 Tersedia naungan untuk tempat bongkar muat;
 Tidak terdapat produk yang rusak
b. Indikator perompesan yang baik adalah
 Tersedia alat perompesan yang bersih dan sesuai;
 Tersedia kelengkapan petugas;
 Tersedia petugas yang kompeten.
c. Indikator penyortiran yang baik adalah
 Tersedia tempat sortasi yang bersih;
 Tersedia petugas yang baik dan terampil.
d. Indikator pembersihan yang baik adalah
 Tersedia panduan pembersihan;
 Tersedia alat dan bahan pembersih/bahan
tambahan yang memenuhi standar baku mutu;
 Tersedia catatan penggunaan bahan pembersih;

16
 Tersedia perlengkapan kerja memenuhi standar
keselamatan kerja.
e. Indikator pengemasan yang baik adalah
 Tersedia pedoman pengemasan;
 Tersedia pedoman penyiapan produk yang akaan
dikemas sesuai dengan karateristiknya;
 Terdapat penanda atau lambing yang memberikan
larangan, peringatan dan petunjuk;
 Tersedia tempat penyimpanan bahan pengawet
tambahan yang aman (apabila digunakan);
 Tersedia catatan proses kemasan;
 Tersedia perlengkapan kerja yang memenuhi
standar keselamatan kerja;
 Tersedia catatan kesehatan pekerja;
 Tersedia sampel produk yang dikemas.
f. Indikator penyimpanan yang baik adalah
 Tersedia pedoman penyimpanan;
 Tersedia ruang penyimpanan sesuai karakter
produk;
 Tersedia alat ukur suhu dan kelembapan;
 Tersedia alat ukur komposisi atmosfer dan data
logging (apabila dikerjakan);
 Tersedia catatan keluar/masuk produk hortikultura
dan lokasi penyimpanannya;

17
 Tersedia catatan suhu, kelembapan dan komposisi
atmosfer serta data logging (apabila dikerjakan)
g. Indikator pengangkutan/distribusi yang baik adalah
 Tersedia pedoman/instruksi kerja pengangkutan;
 Tersedia alat pengangkutan yang spesifik sesuai
karakteristik produk;
 Tersedia alat pengangkutan dengan pengaturan
suhu, kelembapan dan komposisi atmosfer serta
data logging (bagi produk yang memerlukan rantai
pendingin);
 Tersedia alat pengangkut yang berfungsi baik;
 Tersedia catatan pengangkutan;
 Tersedia catatan data suhu, kelembapan dan
komposisi atmosfer serta data logging (apabila
diperlukan)
2. Penggunaan suhu rendah untuk memperpanjang
umur simpan
Penyimpanan pada suhu dingin tertujuan untuk
mengurangi aktivitas respirasi dan metabolism; proses
penuaan karena adanya proses pematangan; pelunakan
dan perubahan warna serta tekstur; kehilangan air dan
pelayuan; kerusakan karena aktivitas mikroba (bakteri,
kapang, khamir); proses pertumbuhan yang tidak

18
dikehendaki, misalnya pertunasan (Setyabudi, 1994;
Anonim, 2010).
Pendinginan adalah cara yang efektif untuk
menunda kerusakan pada buah-buahan. Dalam Anonim
(2014b) disebutkan bahwa buah langsat dapat disimpan
selama 2-4 minggu pada suhu penyimpanan 11-14°C
atau 52-58°F dengan kelebapan 85-90%. Anonim
(2014a) menyebutkan bahwa salah satu fungsi
pendinginan adalah untuk mengontrol laju respirasi.
Semakin tinggi suhu penyimpanan maka semakin tinggi
laju respirasi.
Zamorano et al (1994) dalam penelitiannya pada
buah alpukat yang disimpan pada suhu rendah
menyebutkan bahwa efek utama pada penyimpanan
suhu rendah adalah memperlambat terjadinya akumulasi
mRNA ripening-specific, sehingga memperlambat
pematangan buah.
Faktor utama yang memiliki kontribusi kerusakan
selama proses pasca panen disebabkan oleh respirasi,
yang mengkonversi gula atau pati menjadi energy
dengan bantuan O2 sebagai substrat sehingga
mempercepat proses pematangan. Masa simpan
berbanding lurus dengan tingkat kematangan dan
berbanding terbalik dengan laju respirasi (Day, 1990;

19
Devanesan et al, 2011). Berikut diuraikan proses
respirasi pasca panen pada Gambar 5.

Gambar 5. Reaksi respirasi pasca panen


Anonim (2014b)
3. Penggunaan bahan kimia sebagai cairan
desinfektan.
Klorin diketahui digunakan oleh sebagai besar
industri buah dan sayuran segar untuk menekan
pertumbuhan mikroorganisme pathogen pada buah dan

20
sayur segar, namun dari berbagai penelitian
menunjukkan bahwa klorin memiliki keterbatasan untuk
membunuh bakteri pada permukaan buah dan sayur
(Bott, 1991; Cena, 1998; Graham, 1997; Rice et al.,
1982; Sapers, 1998; Xu, 1999).
Penggunaan klorin sebagai larutan pembersih
dikhawatirkan akan membentuk suatu reaksi kimia
dengan residu pestisida yang terdapat pada permukaan
buah dan sayuran sehingga membentuk senyawa baru
yang bersifat racun bagi manusia. Atas reaksi dari
masyarakat tentang keamanan pangan maka pada tahun
1997 Presiden dan Kongres USA memprakarsai
munculnya “The President’s Food Safety Initiative”
dengan tujuan untuk meningkatkan keamanan pangan
dan lingkungan. Salah satu sasarannya yaitu untuk
meningkatkan keamanan pangan melalui identifikasi
penggantian larutan pembersih yang umumnya
digunakan dengan larutan pembersih yang limbahnya
dapat di daur ulang kembali (Xu, 1999).
Tidak hanya klorin, hidrogen peroksida juga
dikenal sebagai cairan pencuci yang bersifat
antimikrobia. Perlakuan dengan menggunakan uap
hidrogen peroksida pada buah dan sayur dapat menekan
jumlah mikrobia. Menurut Sappers and Simmons (1998)

21
dalam Anonim (2014a) bahwa melon yang dipaparkan
uap hidrogen peroksida pada konsentrasi 3 mg/L selama
60 menit sangat efektif untuk mengurangi mikrobia dan
mencegah kerusakan melon yang simpan selama 4
minggu pada suhu 2°C.
Dalam Bachmann and Earles (2000) juga
disebutkan bahwa penggunaan hidrogen peroksida pada
konsentrasi ≤5% efektif menghambat kerusakan pasca
panen. Hidrogen peroksida memiliki urutan toksisitas
yang paling rendah namun secara umum dikenal dapat
merusak lingkungan.
4. Penggunaan bahan kimia sebagai penghambat
respirasi
Kalsium dikenal dapat menghambat proses
pematangan buah sehingga memperpanjang masa
simpan suatu buah. Menurut Karmer et al (1988);
Ramadani et al (2013) menyebutkan bahwa mekanisme
kerja Ca dalam menghambat proses pematangan
berkaitan dengan penyusunan komponen dinding sel dan
enzim yang berperan dalam proses pematangan buah.
Pada penelitian Ramadani et al (2013)
disebutkan bahwa perlakuan perendaman buah papaya
pada konsentrai CaCl 2 sebanyak 6% selama 60 menit
menghasilkan menghasilkan penundaan kematangan

22
buah papaya paling lama. Pada saat proses pematangan
buah proses transpirasi akan berjalan lebih cepat
sehingga akan mempercepat pula proses menurunnya
kadar air suatu buah. Menurut Glen and Pooviah (1989);
Ramadani et al (2013) bahwa ion kalsium dapat
menyebabkan pengikatan kalsium dengan asam pektat
membentuk Ca-pektat pada dinding sel sehingga
mengurangi laju respirasi dan transpirasi.
Dalam Rumajauw (2010) disebutkan bahwa
perlakuan dengan menggunakan kalsium klorida (CaCl 2)
dengan konsentrasi 6% dengan penguapan dapat
menghambat laju respirasi dan laju penurunan berat
buah, sedangkan dengan perlakuan perendaman pada
larutan CaCl2 selama 30 menit tidak cocok untuk
diterapkan pada buang langsat karena akan memicu
pertumbuhan jamur sehingga masa simpannya lebih
pendek.
5. Penggunaan Ozon (O3) sebagai desinfektan dan
penghambat pematangan buah
Pemaparan dengan ozon diketahui dapat
memperpanjang umur simpan buah-buahan. Ozon telah
digunakan selama beberapa decade di berbagai Negara
hakan US Food and Drug Administration (FDA) telah
mengkategorikan ozon sebagai perlakuan dengan

23
substansi yang aman atau dikenal dengan Generally
Recognized as Safe (GRAS). Ozon pada konsentrasi
rendah dengan waktu pemaparan yang relative pendek
efektif dalam membunuh bakteri, jamur, khamir, spora
bahkan virus (Yanuriati et al, 2007). Hal tersebut
diperkuat oleh Langlais et al (1991); Sapers (1998); Xu
(1999) disebutkan bahwa penggunaan ozon dapat
membunuh bakeri seperti Escherichia coli, Listeria, dan
bakteri pathogen lainnya lebih cepat dibanding
penggunaan desinfektan seperti klorin dan bahan kimia
lainnya.
Penggunaan ozon pada penanganan pasca
panen buah-buahan dapat memperpanjang umur simpan
buah, tersebut menurut Rice et al (1982); Xu (1999)
disebutkan bahwa ozon sangat efektif menguraikan etilen
pada buah melalui rekasi kimia berikut :

Gambar 6. Reaksi ozon menguraikan etilen


Menurut Skog and Chu (2001); Smilanick (2003)
bahwa ozon pada konsentrasi 0,4 ppm efektif mencegah
terjadinya akumulasi pada buah apel dan pir saat
penyimpanan pada suhu ruang. Dalam Yuniarti et al
(2007) disebutkan bahwa pemaparan ozon pada

24
Lansium demesticum selama 40 detik dengan masa
penyimpanan selama 6 hari atau 9 hari setelah dipanen
tidak menunjukkan adanya bintik-bintik hitam pada
permukaan buah. Hal tersebut disebabkan etilen pada
permukaan buah langsat telah terurai sehingga
memperlambat proses pematangan berlebihan.
6. Pengolahan langsat menjadi produk olahan
sebagai cara untuk mempertahankan nilai
ekonomis
Langsat merupakan buah yang memiliki peluang
baik untuk dikalengkan, tidak hanya karena langsat
termasuk buah yang sangat mudah rusak namun
dikarenakan tingginya persentase proporsi yang dapat
dikonsumsi yaitu sebesar 65% jika dibandingkan dengan
buah-buahan tropis musiman lainnya (Leong, 1982;
Mohamed and Leong, 1987). Besarnya proporsi yang
dapat dikonsumsi ditunjang dengan rasa yang
menyegarkan sehingga berbagai penelitian bertujuan
untuk mengolah buah langsat menjadi produk yang
memiliki nilai ekonomis tinggi salah satunya adalah
dalam bentuk minuman sari langsat.
Beberapa penelitian mengenai minuman sari
langsat mengungkapkan permasalahan yang serupa
yaitu terjadinya penurunan mutu yang ditandai dengan

25
terjadinya browning, hal tersebut diperkuat dalam
Mohamed and Leong (1987) bahwa browning terjadi
dengan cepat saat setelah kulit buah lepas dan daging
buah terpapar udara hal ini mengindikasikan bahwa
adanya keterlibatan enzim PPO.
Untuk mengatasi hal tersebut maka beberapa
penelitian menguji berbagai perlakuan untuk pengolahan
minuman sari langsat, salah satunya adalah Hasimah
and Hasanah (2007) menyatakan bahwa minuman sari
langsat yang diberi perlakuan dengan penambahan 0,2%
metabisulfit dan dipanaskan pada suhu 90°C dalam 3
menit dinilai mampu untuk menghambat proses browning
baik secara enzimatik maupun non enzimatik secara
efektif selama 8 bulan masa simpan.
Pada penelitian Mohamed and Leong (1987)
mengenai pengolahan minuman sari langsat dalam
kemasan kaleng, hasil terbaik diperoleh dengan
pemanasan pada suhu 98°C selama 5 menit dan
penambahan 0,024% cysteine HCl yang disimpan
selama 150 hari pada suhu 0-4°C menghasilkan
minuman sari langsat sesuai dengan warna aslinya
dengan aroma langsat yang baik namun memiliki rasa
sedikit asam tersebut sebagai akibat dari penambahan
asam.

26
Abdullah et al (2009) menguraikan bahwa
dikarenakan pendeknya masa simpan Lansium
domesticum, selain dikonsumsi secara langsung,
Lansium domesticum dapat diolah menjadi produk yang
memiliki nilai ekonomi yang tinggi berupa selai yaitu
melalui penambahan pectin, gula dan sari buah lemon

D. Kesimpulan
Secara umum buah merupakan produk hasil
pertanian yang sangat mudah mengalami kerusakan,
untuk buah langsat masalah yang banyak di temui
adalah terjadinya reaksi pencoklatan atau browning yang
mengakibatkan menurunnya mutu buah langsat.
Browning pada buah langsat dapat disebabkan
beberapa hal seperti penentuan umur panen yang
kurang tepat, penanganan pasca panen yang kurang
baik, reaksi enzimatis dan mikroorganisme. Namun
reaksi browning tersebut dapat dicegah melalui
penanganan pasca panen yang baik, penggunaan suhu
rendah, penggunaan bahan kimia sebagai cairan
desinfektan, penghambat respirasi dan penggunaan
ozon. Tidak hanya penggunaan bahan kimiawi namun
pengolahan buah langsat menjadi minuman sari buah
dan selai dapat juga menjadi salah satu alternatif untuk
mempertahankan nilai jual buah langsat.

27
Daftar Pustaka

Abdullah, N.B., Aziz, S.A.A., Shahril, Z and Bachok, S. 2009.


Quality and nutritional properties of Lansium
domesticum Corr jam. Laporan Akhir Penyelidikan.
Universiti Teknologi MARA. Malaysia.

Anonim. 2010. Teknologi penanganan pascapanen buah


untuk pasar. Balai Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Kementerian Pertanian Republik
Indonesia.

Anonim. 2013. Peraturan Menteri Pertanian Republik


Indonesia Nomor 73/Permentan/OT.140/7/2013
tentang Pedoman Panen, Pascapanen dan
Pengelolaan Bangsal Pascapanen Hortikultura
Yang Baik. Kementerian Pertanian Republik
Indonesia.

Anonim. 2014a. Introduction to post-harvest technologies


of fruit and vegetables. www.unido.org. Di unduh
April 2014.

Anonim. 2014b. Section 7: Storage of horticultural crops.


www.fao.org. Di unduh April 2014.

Bachmann, J and Earles, R. 2000. Postharvest handling of


Fruits and vegetables. ATTRA. www.wnc.edu. Di
Unduh April 2014.

Chandy, K.T. 2000. Post-harvest loss of fruits and


vegetables booklet. No 74. Post-harvest
Techniques. PSTHTS-3.

28
Devanesan, J.N., Karuppiah, A and Abirami, C.V.K. 2011.
Effect of storage temperature, O 2 concentrations
and variety on respiration of mangoes. Journal of
Agrobiology. Volume 28 (2). 119-128.

Eni, A.O., Oluwawemitan, I.A and Solomon, O.U. 2010.


Microbial quality of fruit and vegetables sold in
Sango Ota, Nigeria. African Journal of Food
Science. Volume 4 (5).

Hasimah, H.A and Hasanah, M.Y.R. 2007. Effect of


processing treatment on the colour of dokong
(Lansium domesticum Corr) juice. Jurnal Tropical
Agricultural and Food Science. Volume 35 (2). 281-
286.

Ishikawa, Y., Kitazawa, H and Shiina, T. 2009. Vibration


and Shock Analysis of Fruit and Vegetables
Transport – Cherry transport from Yamagata to
Taipei. JARQ. Volume 43(2). 129-135.

Kaviya, R., Jacob, R.S., Sasrika, R., Deepika, P., Nagajothi,


N and Stephen, V.R. 2012. Comparative studies on
the inhibitors of banana peel polyphenol oxidase
(PPO). Departement of Biotechlogopy. Kumaraguru
College of Technology. Coimbatore.

Lim, T.K. Edible medical and non-medical plants.


Springer. Volume 3 Fruit. 269-277.

Millati, T dan Udiantoro. 2005. Pencegahan reaksi


pencoklatan pada kulit buah langsat dengan
berbagai jenis dan konsentrasi zat penghambat.
Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian. Universitas
Lambung Mangkurat. Kalimantan Selatan.

29
Mirnawaty, Supriadi dan Jaya, B. 2012. Uji efektivitas
ekstrak kulit langsat (Lansium domesticum)
sebagai anti nyamuk elektrik terhadap nyamuk
Aedes aegypti. Jurnal Akademika Kimia. Volume
1(4). 147-152.

Mohamed, S and Leong, S.H. 1987. Prevention of


browning in canned langsat (Lansium
domesticum). Pertanika. Volume 10(2).145-149.

Queiroz, C., Lopes, M.L., Fialho, E and Valente-Mesquita,


V.L. 2008. Polyphenol oxidase : characteristics
and mechanisms of browning control. Food
Review International. Volume 24. 361-375.

Ramadani, M., Linda, R dan Mukarlina. 2013. Penggunaan


larutan kalsium klorida (CaCl2) dalam menunda
pematangan. Jurnal Protobiont. Volume 2 (3). 161-
166.

Rumajauw, A.P.P. 2010. Kajian penggunaan kalsium


klorida (CaCl2) terhadap umur simpan buah duku
(Lansium domesticum Corr) segar. Skripsi.
Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian.
Universitas Manokwari. Papua.

Sapii, A.T., Yunus, N., Pauziah, M and Tham., S.L. 1998.


Changes in fruit colour and composition of
dokong (Lansium domesticum Corr) during
maturation. Jurnal Tropical Agricultural and Food
Science. Volume 26 (2). 127-133.

Smilanick, J.L. 2003. Use of ozone in storage and packing


facilities. Washington Tree Fruit Postharvest
Conference.

30
Tilaar, M., Wih, W.L., Ranti, A.S., Wasitaatmadja, S.M.,
Suryaningsih., Junardy, F.D and Maily. 2007.
Review of lansium domesticum Correa and its
use in cosmetics. Boletin Latinoamericano y del
Caribe de Plantas Medicinates y Aromaticas. Volume
7 (4). 183-189.

Winarno, F.G. 2002. Kimia pangan dan gizi. PT Gramedia


Pustaka Utama. Jakarta.

Xu, L. 1999. Use of ozone to improve the safety of fresh


fruits and vegetables. Food Technology. Volume 53
(10). 58-62.

Yanuriati, A., Parwiyanti., Prabawati and Yulianingsih. 2007.


Inhibition of duku (Lansium domesticum)
spoilage using ozone. Proceeding of International
Seminal Current Issue and Challenges in Fodd
Safety. 287-297.

31

Anda mungkin juga menyukai