Anda di halaman 1dari 4

Patofisiologi skizofrenia

Pada skizofrenia terdapat penurunan aliran darah dan ambilan glukosa, terutama
di korteks prefrontalis, dan pada pasien tipe II (negativisme) terdapat penurunan
sejumlah neuron (penurunan jumlah substansia grisea). Selain itu, migrasi neuron
abnormal selama perkembangan otak secara patofisologis sangat bermakna.
Atrofi penonjolan dendrit dari sel piramidal telah ditemukan pda korteks
prefrontalis dan girus singulata. Penonjolan dedrit mengandung sinaps
glutaminergik, sehingga transmisi glutamineriknya terganggu. Selain itu, pada area
yang terkena, pembentukan GABA dan atau jumlah neuron GABAnergik tampaknya
berkurang sehingga penghambatan sel piramidal menjadi berkurang.
Makna patofisologis khusus dikaitkan dengan dopamin. Availabilitas dopamin
atau agonis dopamin yang berlebihan dapat menimbulkan gejala skizofrenia.
Penghambatan pada reseptor dopamin-D2 telak sukses digunakan dalam
penatalaksanaan skizofrenia.. Di sisi lain, penurunan reseptor D2 yang ditemukan
pada korteks prefrontalis dan penurunan reseptor D 1 dan D2 berkaitan dengan gejala
negatif skizofrenia., seperti kurangnya emosi. Penurunan reseptor dopamin mungkin
terjadi akibat pelepasan dopamin mungkin terjadi akibat pelepasan dopamin yang
meningkat dan ini tidak memiliki efek patogenetik.
Dopamin berperan sebagai transmiter melalui beberapa jalur (Silbernagl , 2003):
a. Jalur dopaminergik ke sistem limbik (mesolimbik)
b. Jalur dopaminergik ke korteks (sistem mesokorteks) mungkin penting dalam
perkembangan skizofrenia
c. Pada sistem tubuloinfundibular, dopamin mengatur pelepasan hormon
hipofisis (terutama pelepasan prolaktin)
d. Dopamin mengatur aktivitas motorik pada sitem nigrostriatum
Serotonin mungkin juga berperan dalam menimbulkan gejala skizofrenia. Kerja
serotonis yang berlebihan dapat menimbulkan halusinasi dan banyak obat
antipsikotik akan menghambat eseptor 5-HT2A.

Silbernagl, Stefan, Florian Lang. 2010. Color atlas of Patophysiology 2 nd ed. New Tork: Thieme

Pathophysiology
Both anatomic and neurotransmitter system abnormalities have been implicated in the
pathophysiology of schizophrenia.

Anatomic abnormalities
Neuroimaging studies in patients with schizophrenia show abnormalities such as enlargement of the
ventricles, decreased brain volume in medial temporal areas, and changes in the hippocampus. [6, 7,
8]
These findings are of interest more for research purposes than for clinical application.

Interest has also focused on the various connections within the brain rather than on localization in a
single part of the brain. Magnetic resonance imaging (MRI) studies show anatomic abnormalities in a
network of neocortical and limbic regions and interconnecting white matter tracts. [9] A meta-analysis of
studies using diffusion tensor imaging (DTI) to examine white matter found that 2 networks of white-
matter tracts are reduced in schizophrenia.[10]

In the Edinburgh High-Risk Study, brain imaging showed reductions in whole-brain volume and in left
and right prefrontal and temporal lobe volumes in 17 of 146 people who were at high genetic risk for
schizophrenia. The changes in prefrontal lobes were associated with increasing severity of psychotic
symptoms.[11]

In a meta-analysis of 27 longitudinal MRI studies comparing schizophrenic patients with control


subjects, Olabi et al found that schizophrenia was associated with structural brain abnormalities that
progressed over time. The abnormalities identified included loss of whole-brain volume in both gray
and white matter and increases in lateral ventricular volume. [12]

Neurotransmitter system abnormalities


Abnormalities of the dopaminergic system are thought to exist in schizophrenia; however, there is little
direct evidence to support this belief. The first clearly effective antipsychotic drugs, chlorpromazine
and reserpine, were structurally different from each other, but they shared antidopaminergic
properties. Drugs that diminish the firing rates of mesolimbic dopamine D2 neurons are antipsychotic,
and drugs that stimulate these neurons (eg, amphetamines) exacerbate psychotic symptoms.

Hypodopaminergic activity in the mesocortical system, leading to negative symptoms, and


hyperdopaminergic activity in the mesolimbic system, leading to positive symptoms, may coexist.
(Negative and positive symptoms are defined below; see Presentation.) Moreover, the newer
antipsychotic drugs block both dopamine D2 and 5-hydroxytryptamine (5-HT) receptors.

Clozapine, perhaps the most effective antipsychotic agent, is a particularly weak dopamine D2
antagonist. Thus, other neurotransmitter systems, such as norepinephrine, serotonin, and gamma-
aminobutyric acid (GABA), are undoubtedly involved. Some research focuses on the N -methyl-D-
aspartate (NMDA) subclass of glutamate receptors because NMDA antagonists, such as
phencyclidine and ketamine, can lead to psychotic symptoms in healthy subjects. [13]

Inflammation and immune function


Immune system function is disturbed in schizophrenia.[14] Overactivation of the immune system (eg,
from prenatal infection or postnatal stress) may result in overexpression of inflammatory cytokines
and subsequent alteration of brain structure and function. For example, schizophrenic patients have
elevated levels of proinflammatory cytokines that activate the kynurenine pathway, by which
tryptophan is metabolized into kynurenic and quinolinic acids; these acids regulate NMDA receptor
activity and may also be involved in dopamine regulation.

Insulin resistance and metabolic disturbances, which are common in the schizophrenic population,
have also been linked to inflammation. Thus, inflammation might be related to both the
psychopathology of schizophrenia and to metabolic disturbances seen in patients with schizophrenia.
[15]

Schizophrenia
 Author: Frances R Frankenburg, MD; Chief Editor: Eduardo Dunayevich, MD
. 2013. http://emedicine.medscape.com/article/288259-overview#aw2aab6b2b3aa

2.1 Etiologi dan Patofisiologi Gangguan Bipolar


Etiologi dari gangguan bipolar memang belum dapat diketahui secara pasti, dan tidak
ada penanda biologis (biological marker) yang objektif yang berhubungan secara pasti
dengan keadaan penyakit ini.
Faktor penyebab dapat secara buatan dibagi menjadi faktor biologis, faktor genetik,
dan faktor psikososial. Dan faktor ini kemungkinan berinteraksi diantara mereka sendiri. Dari
amin biogenik, norepinefrin dan serotonin merupakan neurotransmiter yang paling berperan
dalam patofisiologi gangguan mood. Korelasi antara regulasi turun (down regulation)
reseptor adrenergik-beta dan respon antidepresan klinik kemungkinan merupakan bagian
yang menyatakan adanya peranan langsung sistem noradrenergik dalam depresi. Penurunan
serotonin dapat mencetuskan depresi, dan beberapa pasien bunuh diri memiliki konsentrasi
metabolit serotonin didalam cairan serebrospinal yang rendah. Dopamin juga telah
diperkirakan memiliki peranan dalam depresi. Data menyatakan bahwa aktivitas dopamine
mungkin menurun pada depresi dan meningkat pada mania. 4
Akhir-akhir ini, penelitian mengarah pada keterlibatan genetik. Pemikiran tersebut
muncul berawal dari ditemukannya 50% penderita bipolar yang memiliki riwayat penyakit
yang sama dalam keluarga. Keturunan pertama dari seseorang yang menderita gangguan
bipolar berisiko menderita gangguan serupa sebesar 7 kali. Bahkan risiko pada anak kembar
sangat tinggi terutama pada kembar monozigot (40-80%), sedangkan kembar dizigot lebih
rendah, yakni 10-20%. 3
Faktor psikososial yang berperan adalah peristiwa kehidupan dan stress
lingkungan,faktor kepribadian pramorbid, faktor psikoanalitik dan psikodinamika, ketidak
berdayaan dan teori kognitif. Stres yang menyertai episode pertama menyebabkan perubahan
biologi otak yang bertahan lama. Perubahan tersebut dapat menyebabkan perubahan keadaan
fungsional berbagai neurotransmitter dan sistem pemberi signal intraneuronal. Stresor
lingkunga yang paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah kehilangan
pasangan. Secara manusiaapapun pola kepribadiannya dapat menjadi depresi dalam keadaan
yang tepat’ tetapi tipe kepribadian tertentu (mis histeris, obsesif-kompulsif) mungkin berada
dalam risiko yang lebih besar untuk mengalami depresi daripada tipe kepribadian antisocial,
paranoid, dan lainnya. 3,4

Anda mungkin juga menyukai