Anda di halaman 1dari 9

KPD

A. Definisi
Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban
sebelum terjadinya persalinan. Ketuban pecah dini dapat terjadi pada atau setelah usia
gestasi 37 minggu dan disebut KPD aterm atau premature rupture of membranes
(PROM) dan sebelum usia gestasi 37 minggu atau KPD preterm atau preterm
premature rupture of membranes (PPROM) (Cunningham et al., 2013; POGI, 2016).
B. Etiologi
Ketuban pecah dini berhubungan dengan beberapa komplikasi kehamilan
(yaitu, kehamilan yang disebabkan hipertensi), terutama dalam kondisi yang
meningkatkan distensi uterus (misal janin multipel, dan hidramnion) atau tekanan
(misal trauma tumpul uterus, dan penggunaan kokain), atau membatasi ekspansi
(misal malformasi uterus). Ini juga terkait dengan serviks inkompeten, dan
amniosentesis (Pedro, 2013).
Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa bukti infeksi
dalam waktu 12 jam ketuban pecah dini menunjukkan adanya infeksi asenden,
sedangkan bukti infeksi setelah 72 jam menunjukkan infeksi yang dihasilkan dari
ketuban pecah dini. Beberapa faktor yang menyebabkan infeksi berasal dari endogen
(yaitu, pada chorion-desidual interphase), sedangkan yang lain mungkin eksogen
(yaitu, produk bakteri) (Pedro, 2013).
C. Epidemiologi
Insiden PROM adalah 9,8%. Insiden PROM secara signifikan tinggi di
primigravida (37%). Insiden maksimumnya adalah antara 20-25 tahun (43%).
PPROM terjadi pada terjadi pada sekitar 2-3% dari semua kehamilan tunggal dan
7,4% dari kehamilan kembar. Kejadian KPD preterm berhubungan dengan
peningkatan morbiditas dan mortalitas maternal maupun perinatal. Sekitar 1/3 dari
perempuan yang mengalami KPD preterm akan mengalami infeksi yang berpotensi
berat, bahkan fetus/neonatus akan berada pada risiko morbiditas dan mortalitas terkait
KPD preterm yang lebih besar dibanding ibunya, hingga 47,9% bayi mengalami
kematian. Dari 100 kasus, 22 janin mengalami kematian perinatal 14,6%; 32 janin
menderita asfiksia, dan tersisa 46 janin normal (Kiranmaie, 2016; POGI, 2016;
Caughey, 2008).
Persalinan prematur dengan potensi masalah yang muncul, infeksi perinatal,
dan kompresi tali pusat in utero merupakan komplikasi yang umum terjadi. Insiden
PROM yang dapat secara signifikan mempengaruhi ibu dan janin dapat dikurangi
dengan skrining dini, antenatal care yang memadai, perbaikan kondisi umum ibu dan
pengobatan komplikasi yang terkait (Kiranmaie, 2016; POGI, 2016).
D. Klasifikasi
a. KPD preterm
Ketuban pecah dini preterm adalah pecah ketuban yang terbukti dengan
vaginal pooling, tes nitrazin dan, tes fern atau IGFBP-1 (+) pada usia <37 minggu
sebelum onset persalinan. KPD sangat preterm adalah pecah ketuban saat umur
kehamilan ibu antara 24 sampai kurang dari 34 minggu, sedangkan KPD preterm
saat umur kehamilan ibu antara 34 minggu sampai kurang 37 minggu. Definisi
preterm bervariasi pada berbagai kepustakaan, namun yang paling diterima dan
tersering digunakan adalah persalinan kurang dari 37 minggu (POGI, 2016).
b. KPD pada kehamilan aterm
Ketuban pecah dini/ premature rupture of membranes (PROM) adalah
pecahnya ketuban sebelum waktunya yang terbukti dengan vaginal pooling, tes
nitrazin dan tes fern (+), IGFBP-1 (+) pada usia kehamilan ≥ 37 minggu (POGI,
2016).
PROM dibagi menjadi dua (Gahwagi, 2015):
a. Early PROM
Ketuban pecah dini yang kejadiannya kurang dari 12 jam
b. Prolonged PROM
Ketuban pecah dini yang kejadiannya lebih dari sama dengan dari 12 jam
E. Faktor Risiko
Etiologi dan Faktor Risiko (Cunningham et al., 2013; POGI, 2016):
a. Infeksi intrauterine
b. Riwayat infeksi menular seksual
c. Riwayat persalinan prematur
d. Perdarahan pervaginam
e. Distensi uterus (kehamilan multipel, polihidramnion)
f. Serviks pendek (<25 mm)
g. Status sosioekonomi rendah
h. Defisiensi nutrisi
i. Merokok
j. Trauma
F. Patogenesis dan Patofisiologi
Pathogenesis PROM terkait erat dengan peningkatan apoptosis komponen seluler
kulit ketuban dan peningkatan protease di ketuban dan kulit ketuban. Kekuatan kulit
ketuban dipengaruhi oleh matriks ekstraseluler dan kolagen amniotic (tipe I dan tipe
III) yang diproduksi oleh sel mesenkim. Matriks metalloproteinase (MMP) adalah
enzim yang berperan dalam degradasi kolagen, terdiri atas MMP-1, MMP-2, MMP-3
dan MMP-9. Protein ini dihambat oleh tissue inhibitors of matrix metalloproteinase
(TIMPs). Karena itu, peningkatan MMP dan penurunan TIMPs yang mempengaruhi
kekuatan kulit ketuban adalah dasar pathogenesis ketuban pecah dini (Cunningham et
al., 2013).
Infeksi adalah penyebab paling sering terjadinya PROM. Pada saat terjadi infeksi
bakteri, endotoksin bakteri atau TNF-alfa yang dihasilkan oleh mikroorganisme lain
akan memicu pelepasan fetal fibronectin (fFN) oleh sel epitel kulit ketuban. Molekul
fFN akan berikatan dengan Toll-like receptor (TLR) 4 yang akan memicu aktifnya
kaskade pembentukan prostaglandin E (PGE2) dan peningkatan aktivitas MMP-1,
MMP-2, dan MMP-9. Proses ini terus berlanjut dan disertai dengan penurunan TIMPs
sehingga akan menginduksi apoptosis, degradasi kolagen sehingga berujung pada
lemahnya kulit ketuban (Cunningham et al., 2013).

Gambar 4.4 Patogeneis KPD (Joseph, 2014)


G. Penegakan diagnosis
Penilaian awal dari ibu hamil yang datang dengan keluhan ketuban pecah dini
meliputi 3 hal, yaitu konfirmasi diagnosis, konfirmasi usia kehamilan, dan penilaian
kesejahteraan maternal dan fetal (POGI, 2016).
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Dari anamnesis perlu diketahui waktu dan kuantitas dari cairan yang keluar,
usia kehamilan, taksiaran persalinan, riwayat KPD sebelumnya, dan faktor-
faktor risiko lainnya. Pemeriksaan dalam dengan vaginal toucher perlu dihindari
untuk mengurangi risiko infeksi. Jika memang sangat diperlukan, dapat
dilakukan pemeriksaan inspekulo untuk melihat kondisi servikovaginal dan
sekaligus mengambil sampel untuk kultur cairan vagina. Pemeriksaan spekulum
steril digunakan untuk menilai adanya servisitis, prolaps tali pusat, atau prolaps
bagian terbawah janin (pada presentasi bukan kepala), menilai dilatasi dan
pendataran serviks, mendapatkan sampel dan diagnosis KPD secara visual
(Cunningham, 2013).
Jika cairan amnion jelas terlihat mengalir dari serviks, tidak diperlukan lagi
pemeriksaan lainnya untuk mengkonfirmasi diagnosis. Jika diagnosis tidak
dapat dikonfirmasi, dapat dilakukan tes pH dari forniks posterior vagina (pH
cairan amnion biasanya 7,1-7,3 sedangkan pH sekret vagina 4,5-6).
b. Pemeriksaan USG
Pemeriksaan USG dapat berguna untuk melengkapi diagnosis untuk
menilai indeks cairan amnion. Jika didapatkan volume cairan amnion atau
indeks cairan amnion yang berkurang tanpa adanya abnormalitas ginjal janin
dan tidak adanya pertumbuhan janin terhambat maka kecurigaan akan ketuban
pecah dini sangat besar, walaupun normalnya volume cairan amnion tidak
menyingkirkan diagnosis (POGI, 2016).
c. Pemeriksaan Laboratorium
Jika diagnosis KPD masih belum jelas setelah menjalani pemeriksaan
fisik, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan yaitu (Mercer, 2003; POGI, 2016):
1) Nitrazine test, yaitu sebuah pemeriksaan dengan menggunakan kertas lakmus
yang dimasukkan ke dalam vagina. Jika pH dalam vagina naik (basa), lakmus
merah akan berubah menjadi biru, maka nitrazine test positif. Nitrazine test
bias positif palsu jika terdapat darah, semen, antiseptik alkalis atau adanya
bacterial vaginosis. Kadar pH vagina perempuan hamil sekitar 4,5, dan jika
ada cairan ketuban akan naik menjadi 7,1 – 7,3.
2) Uji fern, yaitu dengan cara mengambil mucus serviks dan dikeringkan di
gelas objek untuk selanjutnya diamati dengan mikroskop pembesaran rendah.
Adanya gambaran seperti daun pakis menunjukkan uji fern positif. Uji ini
digunakan sebagai uji konfirmasi nitrazine test. Sampel diambil di fornix
posterior atau fornix lateral untuk menghindari mucus serviks, yang juga
mungkin memberikan hasil positif palsu

Gambar 4.5 hasil uji fern


H. Tatalaksana
Komplikasi perinatal berubah secara signifkan seiring dengan meningkatnya
usia kehamilan. Terdapat beberapa konsensus dasar mengenai manajemen dasar
PPROM. Yaitu: 1) Usia kehamilan harus ditetapkan atas dasar riwayat klinis (HPHT
dan pemeriksaan USG; 2) Ibu dengan PROM harus dievaluasi untuk kemungkinan
adanya kemajuan persalinan, korioamnionitis, solusio plasenta dan infeksi
intrauterine; 3) Ibu dengan infeksi HSV atau HIV tidak boleh diterapi secara
konservatif. 4) Profilaksis terhadap infeksi streptokokus grup B direkomendasikan
pada gravida dengan persalinan preterm, kecuali sudah didapatkan hasil kultur
negatif. 5) Jika terapi ekspektatif atau konserfatif akan dilakukan, sebaiknya pasien
dirujuk ke Rumah Sakit dengan fasilitas yang mencukupi. Terdapat dua manajemen
dalam penatalaksanaan KPD, yaitu manajemen aktif dan konserfatif. Manajemen
konserfatif adalah penanganan dengan pendekatan tanpa intervensi, sementara
manajemen aktif melibatkan klinisi untuk lebih aktif mengintervensi persalinan
(Cunningham et al., 2013, POGI, 2016).
Pasien diurigai KPD

Penilaian KPD
Anamnesia, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang

Transfer pasien
Berikan tokolitik jika diperlukan selama transportasi

Cari adanya infeksi intra uteri, solusia plasenta, Lahirkan dg


gangguan kesejahteraan janin cepat &tepat

Management berdasarkan usia gestasi

<24 minggu 24-34 minggu 34-37 minggu >37 minggu

Manajemen Jika maturasi fetud Berikan antibiotic untuk


Konseling pasien dan
ekspektasi/ rawat inap terdokumentasi, profilaksis sreptokokus
keluarga tentang
survival, pertimbangkan group B jika diperlukan
direkomendasikan induksi/ lakukan
diskusi dg neonatolog manajemen
Berikan magnesium
ekspektatif Lahirkan (biasanya dg
jika persalinan <24 jam
induksi persalinan
Berdasarkan pilihan: Pertimbangkan
- Induksi persalinan Berikan kortikosteroid pemberian
- Manajemen kortikosteroid
ekspektatif/
resusitasi (rawat)
- Manajemen Berikan antibiotik
ekspektatif/ tidak
diresusitasi Konsul alhli fetomaternal jika HSV, HIV atau hepatitis C

- Evaluasi px selama Pengawasan dengan –NST harian


24-48jam, berikan USG periodik untuk menialai cairan amnion
antibiotik
- Pulangkan dengan
instruksi monitor Nilai maturitas fetus dengan perhitungan badan
suhu harian amellar dari cairan amnion, usahakan mendapat
- USG fetal tiap specimen pada gestasi 32 minggu dan proses
minggu persalinan jika maturasi (+) atau pada 34 minggu
- Pemberian
kortikosteroid tidak
direkomendasikan

Jika fetal viable dan


tim neonatologi
memutuskan
resusitasi, rawat px

Gambar 4.6 Algoritma penatalaksanaan KPD (POGI, 2016)

a. Ketuban Pecah Dini usia kehamilan <24 minggu


Pada usia kehamilan kurang dari 24 minggu dengan KPD preterm
didapatkan bahwa morbiditas minor neonatus seperti hiperbilirubinemia dan
takipnea transien lebih besar apabila ibu melahirkan pada usia tersebut dibanding
pada kelompok usia lahir 36 minggu. Morbiditas mayor seperti sindroma distress
pernapasan dan perdarahan intraventrikular tidak secara signifikan berbeda (level
of evidence III). Pada saat ini, penelitian menunjukkan bahwa mempertahankan
kehamilan adalah pilihan yang lebih baik. (Lieman JM 2005).
b. Ketuban Pecah Dini usia kehamilan 24 - 34 minggu
Pada usia kehamilan antara 30-34 minggu, persalinan lebih baik daripada
mempertahankan kehamilan dalam menurunkan insiden korioamnionitis secara
signifikan (p<0.05, level of evidence Ib). Tetapi tidak ada perbedaan signifikan
berdasarkan morbiditas neonatus. Pada saat ini, penelitian menunjukkan bahwa
persalinan lebih baik dibanding mempertahankan kehamilan.
c. Ketuban Pecah Dini usia kehamilan 34-38 minggu
Pada usia kehamilan lebih dari 34 minggu, mempertahankan kehamilan
akan meningkatkan resiko korioamnionitis dan sepsis (level of evidence Ib).
Tidak ada perbedaan signifikan terhadap kejadian respiratory distress syndrome.
Pada saat ini, penelitian menunjukkan bahwa mempertahankan kehamilan lebih
buruk dibanding melakukan persalinan
Antibiotik profilaksis disarankan pada kejadian KPD preterm, namun dapat
dipertimbangkan digunakan bila KPD memanjang (> 24 jam). Pemberian co-
amoxiclav pada prenatal dapat menyebabkan neonatal necrotizing enterocolitis
sehingga antibiotik ini tidak disarankan. Pemberian eritromisin atau penisilin adalah
pilihan terbaik. Pemberian co-amoxiclav pada prenatal dapat menyebabkan neonatal
necrotizing enterocolitis sehingga antibiotik ini tidak disarankan. Pemberian
eritromisin atau penisilin adalah pilihan terbaik (POGI, 2016).
Pada kehamilan >= 37 minggu, lebih dipilih induksi awal. Meskipun
demikian, jika pasien memilih manajemen ekspektatif harus dihargai. Lamanya waktu
manajemen ekspektatif perlu didiskusikan dengan pasien dan keputusan dibuat
berdasarkan keadaan per individu. Induksi persalinan dengan prostaglandin
pervaginam berhubungan dengan peningkatan risiko korioamnionitis dan infeksi
neonatal bila dibandingkan dengan induksi oksitosin. Sehingga, oksitosin lebih dipilih
dibandingkan dengan prostaglandin pervaginam untuk induksi persalinan pada kasus
KPD. Pemberian kortikosteroid antenatal pada wanita dengan KPD preterm telah
dibuktikan manfaatnya. Kortikosteroid antenatal dapat menurunkan risiko respiratory
distress syndrome, perdarahan intraventrikkular, dan enterokolitis nekrotikan, dan
mungkin dapat menurunkan kematian neonates. Tokolisis pada kejadian KPD preterm
tidak direkomendasikan (levels of evidence Ib) (POGI, 2016).

I. Komplikasi
a. Komplikasi ibu
Komplikasi pada ibu yang terjadi biasanya berupa infeksi intrauterin.
Infeksi tersebut dapat berupa endomiometritis, maupun korioamnionitis yang
berujung pada sepsis. Pada sebuah penelitian, didapatkan 6,8% ibu hamil dengan
KPD mengalami endomiometritis purpural, 1,2% mengalami sepsis, namun tidak
ada yang meninggal dunia (POGI, 2016).
b. Komplikasi janin
Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi adalah persalinan lebih
awal. Periode laten adalah masa dari pecahnya selaput amnion sampai persalinan.
Sebuah studi besar pada pasien aterm menunjukkan bahwa 95% pasien akan
mengalami persalinan dalam 1 hari sesudah kejadian KPD. Sedangkan analisis
terhadap studi yang mengevaluasi pasien dengan preterm dengan sebanyak 22%
memiliki periode laten 4 minggu. Bila KPD terjadi sangat cepat, neonatus yang
lahir hidup dapat mengalami sekuele seperti malpresentasi, kompresi tali pusat,
oligohidramnion, necrotizing enterocolitis, gangguan neurologi, perdarahan
intraventrikel, dan sindrom distress pernapasan (Medina, 2006; POGI, 2016).
J. Prognosis
Prognosis KPD ditentukan oleh cara penatalaksanaan dan komplikasi -
komplikasi dari kehamilan (Mochtar, 2011). Prognosis untuk janin tergantung
pada:
a. Maturitas janin: bayi yang beratnya di bawah 2500 gram mempunyai
prognosis yang lebih jelek dibanding bayi lebih besar.
b. Presentasi: presentasi bokong menunjukkan prognosis yang jelek,
khususnya kalau bayinya premature.
c. Infeksi intrauterin meningkat mortalitas janin.

Semakin lama kehamilan berlangsung dengan ketuban pecah , semakin tinggi insiden
infeksi.

Anda mungkin juga menyukai