Anda di halaman 1dari 16

1

PERUBAHAN YANG TERJADI PADA ORGAN


REPRODUKSI SAPI SELAMA SIKLUS ESTRUS

Oleh :

I Komang Barda Bagaskara Putra 1209005094


I Dewa Gede Crisna Ari Handika 1209005099
I Nyoman Trisna Bayu 1209005107
I Gede Abijana Satya Dhika 1209005116

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena karunia-Nya,


kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknologi Reproduksi Lanjutan.
Makalah ini membahas tentang keadaan korpus luteum dan folikel
pada ovarium sapi selama siklus estrus yang meliputi mekanisme siklus
estrus, hormon yang berperan pada siklus estrus dan lama terjadinya siklus
estrus. Penulisan Makalah ini tidak lepas dari bimbingan serta dukungan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami ucapkan
terima kasih kepada semua pihak atas dukungan, bantuan, serta
kerjasamanya hingga terselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih perlu perbaikan untuk
menjadi lebih sempurna. Oleh karena itu, kami mengharap saran dan kritik
yang membangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Denpasar, 26 September 2016

Penulis
3

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................1
KATA PENGANTAR ..............................................................................................2
DAFTAR ISI ..............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 4
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................. 5
1.3. Tujuan .................................................................................................... 5
1.4. Manfaat................................................................................................... 6
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Siklus Estrus pada Sapi .......................................................................... 7
2.2. Peranan Hormon dalam Siklus Estrus ....................................................10
2.3. Periode Siklus Estrus pada Sapi ..............................................................12
2.4. Perubahan-perubahan yang Terjadi Selama Siklus Estrus .....................12
BAB III PENUTUP ...................................................................................................14
3.1. Kesimpulan .............................................................................................14
3.2. Saran ........................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................15
4

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Terdapat sebuah pertanyaan mengenai asal usul mengapa terjadi


birahi atau estrus. Akal budi manusia berusaha untuk menerangkan
bagaimana aktivitas birahi itu bisa terjadi. Pertama, adanya unsur-unsur
yang terdapat dalam tubuh berupa alat-alat reproduksi beserta kelenjar-
kelenjar hormon dengan pusatnya di otak. Kedua, rangsangan dari luar
tubuh yang ditangkap oleh panca indera. Rangsangan dari luar akan
tertangkap apabila alat dalam tubuh telah siap dan masak untuk aktifitas
seksual. Karena panca indera merupakan alat komunikasi yang umum,
maka harus ada pusat penerima yang berfungsi untuk membedakan
rangsangan mana yang harus disalurkan ke seksual, serta rangsangan mana
yang harus disalurkan ke pusat yang lain yang bukan seksual (Macmillan
dan Burke, 1996).
Pusat yang mengintegrasikan semua bentuk rangsangan itu adalah
hipotalamus, dan hipotalamus pulalah yang menyalurkan pesan- pesan dari
indera itu ke pusat-pusat yang lain. Pusat-pusat tersebut terutama ke
hipopisa dan beberapa pusat motoris dan korteks di otak (Herdis dkk, 1999).
Rangsangan dari luar untuk betina-betina di daerah tropik belum
jelas diketahui, tetapi dugaan kuat adalah berasal dari kondisi sekitar dan
adanya pejantan dekat betina tersebut. Sedang betina-betina di daerah iklim
dingin rangsangan itu dapat berupa perubahan panjang pendeknya hari.
Tetapi kesemuanya itu harus mendapat dukungan oleh adanya persiapan alat
reproduksi dalam tubuh. Bila alat reproduksi dalam tubuh belum siap, maka
rangsangan itu tidak mendapat respon. Jika alat reproduksi telah siap
maka respon yang pertama adalah terbentuknya hormon seks yaitu
hormon-hormon yang berasal dari gonad (testosteron, estrogen dan
progesteron). Jika hormon-hormon seks telah beredar dalam darah,
terjadilah gejala birahi (Jalaluddin, 2014).
5

Murtidjo (1993), menyatakan estrus sapi betina merupakan


pengetahuan yang harus dikuasai sehingga pelaksanaan perkawinan sapi
sanggup menghasilkan tingkat kebuntingan yang tinggi. Tanda tanda sapi
sedang estrus gelisah, kalau diikat berusaha melepaskan diri, keadaan lepas
berusaha menaiki kawannya dan diam bila dinaiki, melengu, ekor diangkat
sedikit keatas, keluar lender dari vagina, vulva merah dan sedikit
membengkak, bila diraba terasa hangat, nafsu makan menurun serta bila
diraba disekitar kemaluannya akan menurunkan pinggulnya (Toelihere,
1993).
Sapi betina pada umumnya memiliki waktu tertentu di mana ia mau
dan bersedia menerima pejantan untuk aktifitas kopulasi. Waktu tersebut
dikenal sebagai masa birahi (estrus). Estrus datang secara siklis atau
periodik, berlangsung selama waktu tertentu tergantung pada jenis
hewannya. Interval antara timbulnya satu periode birahi ke permulaan
periode birahi berikutnya dikenal sebagai satu siklus birahi. Interval-
interval ini disertai suatu seri perubahan-perubahan morfologi dan fisiologi
pada organ reproduksi betina (Jalaluddin, 2014).

1.2 Rumusan Masalah


Dari uraian di atas, terdapat permasalahan pokok yang dapat
diidentifikasi yaitu :
1) Bagaimana fase siklus estrus pada sapi?
2) Apa saja hormon yang berperan dalam siklus estrus?
3) Berapa lama terjadinya siklus estrus pada sapi?
4) Apa saja perubahan-perubahan yang terjadi selama siklus estrus pada
sapi?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, terdapat tujuan yang
akan dibahas yaitu :
1) Untuk mengetahui fase siklus estrus pada sapi.
2) Untuk mengetahui hormon yang berperan dalam siklus estrus.
6

3) Untuk mengetahui periode terjadinya siklus estrus pada sapi.


4) Untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi selama siklus estrus
pada sapi.

1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diambil dari pembuatan paper ini adalah
supaya mahasiswa mampu memahami dan mengetahui perkembangan
teknologi reproduksi khususnya dalam siklus estrus pada sapi.
7

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Siklus Estrus pada Sapi


Estrus yang dikenal dengan istilah birahi yakni suatu hasrat dari
makluk hidup untuk kawin, baik pada jantan maupun betina. Pada ternak
betina tanda-tanda estrus merupakan indikasi bahwa ternak tersebut minta
kawin. Siklus estrus dibagi menjadi beberapa fase yang dapat dibedakan
dengan jelas yang disebut proestrus, estrus, metestrus dan diestrus (Parera
dkk, 2011).
Pada sapi pubertas bervariasi tergantung bangsa dan tingkat nutrisi.
Sapi-sapi Holstein memperlihatkan birahi pertama pada umur rata-rata 37
minggu apabila tingkat nutrisinya baik dan 49 minggu bila nutrisinya
sedang, 72 minggu bila tingkat nutrisinya rendah. Periode estrus pada sapi
dapat dinyatakan saat dimana sapi betina tetap siap sedia dinaiki oleh betina
lain atau pejantan. Periode itu rata-rata 18 jam, kisaran normalnya 12-24
jam. Ovulasi normalnya terjadi kira-kira 10-15 jam setelah berakhirnya
estrus. Konsepsi masih dapat terjadi pada sapi yang dikawinkan mulai dari
34 jam sebelum ovulasi sampai menjelang 14 jam setelah ovulasi. Untuk
kepentingan IB, sapi-sapi yang nampak birahi pada pagi hari, sebaiknya
diinseminasi siang itu juga dan sapi yang nampak birahi sore, hendaknya
dikawinkan besok pagi hari (Claude dkk, 2011).
Perdarahan pada vulva sering terjadi pada heifer dan sapi dewasa 1-
3 hari setelah berakhirnya estrus. Fenomena tersebut disebut perdarahan
metestrus dan apabila perkawinan dilakukan pada saat tersebut konsepsi
jarang terjadi (Sugeng, 1992).
Interval antara timbulnya satu periode berahi ke permulaan periode
berikutnya disebut sebagai suatu siklus berahi. Siklus berahi pada dasarnya
dibagi menjadi 4 fase atau periode yaitu ; proestrus, estrus, metestrus, dan
diestrus (Marawali, dkk., 2001; Sonjaya, 2005). Periode-periode ini di
dalam satu pola yang berurutan dan siklik.
8

a. Proestrus
Proestrus adalah fase sebelum estrus yaitu periode pada saat folikel
de graaf tumbuh di bawah pengaruh FSH dan menghasilkan sejumlah
estradiol yang semakin bertambah (Marawali, dkk, 2001). Pada
pemeriksaan perektal, sapi-sapi yang proestrus terlihat dengan ciri-ciri
tonus uteri meningkat, tegang, dan teraba melingkar. Servik mengalami
relaksasi gradual dan makin banyak mucus yang tebal. Vulva
membengkak, keluar leleran jernih transparan. Ovarium pada fase ini
akan teraba corpus albikan yang berasal dari korpus luteum yang
mengalami atropi, mengecil dan diganti oleh masa yang menyerupai
tenunan pengikat. Corpus albikan ini teraba sangat keras dan kecil. Pada
fase ini juga akan teraba folikel de graaf yang tumbuh cepat oleh
pengaruh FSH, mulai matang dan akan mencapai puncaknya pada fase
estrus dan akhirnya folikel tersebut akan mengovulasikan sebuah ovum
pada waktu 10-15 jam sesudah akhir estrus (Bearden,1984).

b. Estrus
Estrus adalah periode yang ditandai dengan penerimaan pejantan
oleh hewan betina untuk berkopulasi. Pada umumnya memperlihatkan
tanda-tanda gelisah, nafsu makan turun atau hilang sama sekali,
menghampiri pejantan dan tidak lari bila pejantan menungganginya.
Menurut Frandson (1992), fase estrus ditandai dengan sapi yang
berusaha dinaiki oleh sapi pejantan, keluarnya cairan bening dari vulva
dan peningkatan sirkulasi sehingga tampak merah. Pada saat itu,
keseimbangan hormon hipofisa bergeser dari FSH ke LH yang
mengakibatkan peningkatan LH, hormon ini akan membantu terjadinya
ovulasi dan pembentukan korpus luteum yang terlihat pada masa
sesudah estrus. Proses ovulasi akan diulang kembali secara teratur setiap
jangka waktu yang tetap yaitu satu siklus birahi. Pengamatan birahi pada
ternak sebaiknya dilakukan dua kali, yaitu pagi dan sore sehingga
adanya birahi dapat teramati dan tidak terlewatkan (Salisbury dan
Vandenmark, 1978).
9

c. Metestrus
Menjelang pertengahan sampai akhir metestrus, uterus menjadi agak
lunak karena pengendoran otot uterus. Kontraksi uterus intermitten.
Folikel sudah mengalami ovulasi. Ovarium akan teraba cekung karena
folikel mengalami ovulasi dan terbentuk korpus luteum baru dengan
konsitensi menyerupai jantung. Tiga ekor sapi dalam fase metestrus
awal, dimana korpus luteum belum terbentuk dan pada ovarium akan
teraba ada cekungan bekas ovum yang sudah diovulasikan dari folikel
yang sudah matang. Pada fase ini sekresi mukus vagina berkurang dan
epithel karunkula uterus hiperemis (Bearden, 1984).

d. Diestrus
Diestrus adalah periode terakhir dan terlama pada siklus berahi,
korpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron terhadap
saluran reproduksi menjadi nyata (Marawali, dkk, 2001). Pada sapi
dimulai kira-kira hari ke-5 siklus, ketika suatu peningkatan konsentrasi
progesteron dalam dalam darah dan dapat dideteksi pertama kali, dan
berakhir dengan regresi corpus luteum pada hari 16 dan 17. Pada fase ini
ovarium didominasi oleh korpus luteum yang teraba dengan bentuk
permukaan yang tidak rata, menonjol keluar serta konsistensinya agak
keras dari korpus luteum pada fase metestrus. Uterus pada fase ini dalam
keadaan relak dan servik dalam kondisi mengalami kontriksi. Fase
diestrus biasanya diikuti pertumbuhan folikel pertama tapi akhirnya
mengalami atresia sedangkan pertumbuhan folikel kedua nantinya akan
mengalami ovulasi. (Bearden, 1984).
Keuntungan siklus estrus pada ternak adalah sebagai berikut (Ismaya,
1998):
1) Memudahkan dan efisiensi deteksi birahi.
2) Memudahkan dalam pelaksanaan kawin buatan.
3) Memudahkan tata laksana pemberian pakan ternak bunting.
4) Memudahkan tatalaksana kelahiran dan pemeliharaan anak.
5) Memudahkan tatalaksana penggemukan anak jantan.
6) Memudahkan tatalaksana pemibibitan.
10

2.2 Peranan Hormon dalam Siklus Estrus


Jenis-jenis hormon yang berperan secara langsung dalam siklus
birahi adalah hormon-hormon gonadotropin (FSH, LH dan LTH), estrogen
dan progesteron. Kadar hormon reproduksi seperti estrogen dan progesteron
berperan dalam menentukan siklus estrus pada seekor ternak betina.
Terdapat juga suatu zat yang berpengaruh dalam hal ini adalah
prostaglandin. Siklus birahi dimulai dari saat tercapainya pubertas dan
secara normal akan berlangsung periodik dalam interval waktu tertentu
(Pemayun dkk, 2012).
Siklus birahi dimulai dengan adanya sekresi FSH dari adenohipopisa
yang merangsang terjadinya perkembangan folikel ovarium dimulai dari
folikel primer. Folikel primer yang berkembang dapat berjumlah lebih dari
satu dan menjadi matang semua, sehingga pada saat ovulasi dapat
menghasilkan lebih dari satu ova (telur) (Junqueira, 1998).
Bersamaan dengan sekresi FSH, dalam jumlah kecil disekresikan
pula LH dari adenohipopisa. Secara bersama-sama kedua macam hormon
ini akan menyebabkan pematangan folikel (perlu diketahui LH equivalent
dengan ICSH pada hewan jantan) (Bearden, 1984).
Selama perkembangan folikel, sel-sel granulosa penyusun folikel
(sel theca interna) akan mulai mensintesis dan mensekresikan hormon
kelamin betina yaitu estrogen (estradiol). Estrogen akan berpengaruh pada
perangsangan perkembangan kelenjar mammae (susu), menyebabkan
perkembangan lapisan myometrium dan endometrium uterus yang
kemudian menjadi kelenjar susu dan mengalami vaskularisasi yang
ekstensif. Dinding vagina mengalami penandukan dan kelenjar mammae
mulai membesar (pada manusia peristiwa ini sedikit sekali diketahui)
(Bearden, 1984).
Peningkatan konsentrasi estrogen dalam peredaran darah
merangsang pelepasan LH secara besar-besaran dari adenohipopisa (surge
of LH-positive feedback). LH dalam jumlah cukup besar diperlukan pada
saat-saat akhir pematangan folikel de graaf dan saat ovulasi yaitu pecahnya
folikel dan keluarnya ovum. Saat terjadinya ovulasi berbeda-beda pada
11

setiap jenis hewan. Pada manusia ovulasi biasa terjadi sekitar pertengahan
siklus menstruasinya (Isnaeni, 2006).
LH selain berperan pada ovulasi juga merangsang pertumbuhan sel-
sel lutein (luteinasi) dari sel-sel folikel (granulosa) yang telah mengalami
ovulasi. Pertumbuhan sel-sel lutein akan menyebabkan terbentuknya corpus
luteum (Isnaeni, 2006).
Corpus luteum akan mensintesis dan mensekresikan hormon
progesteron. Pelepasan progesteron dipengaruhi oleh hormon luteotropin
(LTH/Prolaktin) yang dihasilkan oleh adenohipopisa. Salah satu pengaruh
dari progesteron adalah meningkatkan pengaruh negatif feedback estrogen
terhadap sekresi FSH oleh adenohipopisa. Apabila kebuntingan tidak
terjadi, corpus luteum akan mengalami regresi. Regresi CL tidak disebabkan
oleh berkurangnya sekresi luteotropic hormone dari pituitary (LH dan
prolaktin), tetapi oleh aktifitas faktor luteolitic yaitu prostaglandin F2 alpha
(PGF2 alpha). Pada hewan mamalia domestikasi, uterus memiliki peranan
penting dalam produksi PGF2 alpha. Kadar yang tinggi dari PGF2 alpha
pada vena uterin diketahui terjadi selama regresi sel-sel lutein berlangsung.
Dengan degenerasi dari corpus luteum, maka hambatan pada sekresi
gonadotropin FSH dan LH telah tiada sehingga hormon-hormon tersebut
kembali disekresikan dan mulailah siklus baru dimana peningkatan kadar
FSH dan LH menyebabkan perkembangan folikel lain. Degenerasi corpus
luteum juga bisa disebabkan oleh adanya penyuntikan prostaglandin (CL
pecah) (Bearden, 1984).
Perlu dicatat bahwa disamping negatif feedback terhadap hipopisa,
progesterone memiliki aksi positive feedback pada kelenjar uterus dan
mammae. Fungsi tersebut sebagai persiapan apabila terjadi kebuntingan.
Ketika kadar progesteron turun (bila konsepsi dan fertilisasi tidak
terjadi), dinding uterus yang telah rimbun oleh adanya perkembangan
endometrium akan mengalami keruntuhan dan kelenjar mammae mengecil
kembali. Dinding uterus yang runtuh, pada manusia ditandai oleh
keluarnya darah saat menstruasi (Isnaeni, 2006).
12

2.3 Periode Siklus Estrus pada Sapi


Tabel 2.1 Karakteristik dari periode siklus estrus pada sapi
Periode Hari Gejala utama
Estrus 1 Gejala tingkah laku
estrus
Metestrus 2–4 Ovulasi, pembekuan
corpus luteum
Diestrus 5 – 16 Corpus luteum berfungsi
Proestrus 17 – 21 Pertumbuhan folikel
yang cepat
(Bearden, 1984)

2.4 Perubahan-perubahan yang Terjadi Selama Siklus Estrus


Selama siklus estrus, terjadi perubahan-perubahan baik yang tampak
dari luar maupun yang tidak tampak dari luar. Perubahan-perubahan yang
tampak dari luar biasanya digunakan untuk penentuan saat terjadinya estrus.
Perubahan yang tidak tampak dari luar karena terjadi pada alat-alat
reproduksi bagian dalam sehingga sukar digunakan untuk penentuan ada
tidak nya estrus. Perubahan-perubahan tersebut semuanya bersifat sambung
menyambung satu sama lain, sehingga akhirnya bertemu kembali pada
permulaannya.
Perubahan-perubahan luar yang tampak sewaktu proestrus
merupakan fase persiapan, biasanya pendek terjadi perubahan tingkah laku
(biasanya sedikit gelisah dan memperdengarkan suara-suara tertentu atau
malah diam saja). Pada alat kelamin luar mulai tampak tanda-tanda
peningkatan jumlah peredaran darah. Pada fase ini hewan belum mau
menerima pejantan untuk kopulasi tetapi kemungkinan tingkah laku birahi
sudah mulai tampak.
Estrus merupakan fase terpenting dalam siklus birahi oleh karena
pada fase inilah hewan betina mau dan bersedia menerima pejantan untuk
berkopulasi (Parera dkk, 2011). Perubahan-perubahan dalam alat
reproduksi selama siklus birahi dapatlah disarikan pada Tabel 2.2.
13

Tabel 2.2 Perubahan-perubahan Organ Reproduksi selama Siklus Birahi

Fase Perubahan Organ Reproduksi


Proestrus  Pada ovarium terjadi pertumbuhan folikel dari folikel
primer s/d folikel sekunder(2-3 hari sebelum estrus).
 Pada tuba fallopii dan uterus terjadi peningkatan
vaskularisasi
 Kelenjar endometrium tumbuh memanjang
 Servix merelax dan dalam lumen servix mulai
memproduksi lender
 Kelenjar-kelenjar lender
Estrus  Pada ovarium pertumbuhan folikel telah menjadi
masak dan dinding folikel menjadi tipis dan menonjol
keluar dari permukaan ovarium karena isi folikel telah
mencapai maksimal. Terjadinya ovulasi tinggal
menunggu saat saja (tergantung spesiesnya).
Matestrus  Pada ovarium terjadi pembentukan korpus
haemorhagicum dibekas tempat folikel de graaf yang
baru selesai melepaskan ovum. Pada fase ini ovum
biasanya sudah berada pada tuba fallopii.
 Kelenjar endometrium semakin mamanjang dan
dibeberapa tempat berkelok-kelok.
 Servix telah menutup dan kelenjarnya telah berubah
sifat produknya dari cair menjadi kental (untuk sumbat
lumen servix).
Diestrus  Pada saat awal diestrus kelenjar endometrium masih
tumbuh terus tetapi pada pertengahan diestrus apabila
tidak terjadi kebuntingan maka kelenjar tersebut akan
mengalami degenerasi menjadi seperti keadaan semula.
 Pada fase ini corpus luteum telah menjadi matang dan
pengaruh hormon progesteron menjadi sangat nyata.
 Pada keadaan kebuntingan tak terjadi, corpus luteum
akan mengalami degenerasi sehingga mengakibatkan
hormon progesteron turun (sampai tinggal sedikit) dan
selanjutnya terjadi pertumbuhan kembali sel-sel folikel
ovarium dan akhirnya kembali ke proestrus
(Salisbury dan Vandemark, 1985)
14

BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
- Siklus estrus pada sapi dibagi menjadi beberapa fase yang dapat
dibedakan dengan jelas yang disebut proestrus, estrus, metestrus dan
diestrus.
- Jenis-jenis hormon yang berperan secara langsung dalam siklus
estrus adalah hormon-hormon gonadotropin (FSH, LH dan LTH),
estrogen dan progesteron.
- Periode siklus estrus pada sapi dimulai dari fase estrus sampai
proestrus berlangsung selama ± 21 hari.
- Selama siklus estrus, terjadi perubahan-perubahan baik yang tampak
dari luar maupun yang tidak tampak dari luar. Perubahan-perubahan
yang tampak dari luar biasanya digunakan untuk penentuan saat
terjadinya estrus. Perubahan yang tidak tampak dari luar karena
terjadi pada alat-alat reproduksi bagian dalam sehingga sukar
digunakan untuk penentuan ada tidak nya estrus.

4.2. Saran
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
pembuatan makalah ini sehingga di butuhkan saran yang membangun dari
pembaca agar makalah ini dapat di gunakan sebagai refrensi bagi pembaca.
15

DAFTAR PUSTAKA

Bearden, H.J. and Fuquay. 1984. Applied Animal Reproduction. Reston


Publishing Company Inc. Reston. Virginia.

Claude, Mona Airin; Prabowo, Purwono Putro; Astuti, Pudji; Baliarti,


Endang; Sunaryanto, Didik Yulianto. 2011. Level Hormon
Triiodothyronine dan Thyroksin Saat Estrus Dan Ovulasi Pada Sapi
Bali. J. Sains Vet. Vol. 29 No. 1.

Herdis, Maman Surachman, Kusuma, Ida, dan Suhana, Epih R. 1999.


Peningkatan Efisiensi Reproduksi Sapi Melalui Penerapan
Teknologi Penyerentakan Berahi. Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi Jakarta. WARTAZOA Vol. 9 No. 1.

Ismaya. 1998. Inseminasi Buatan pada Ternak. Bagian Program Studi


Produksi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.

Isnaeni, Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius.

Jalaluddin, Muhamad. 2014. Morfometri dan Karakteristik Histologi


Ovarium Sapi Aceh Selama Siklus Estrus. Jurnal Medika
Veterinaria. Vol. 8 No. 1

Junqueira, L.C. dan Carneiro, J. 1998. Histologi Dasar. Ed ke-8. Jakarta.


EGC.

Macmillan, K.L. and Cr. Burke. 1996. Effect of estrous cycle control on
reproductive efficiency. J. Anim. Sci. 42:307-436.

Marawali, A., M.T. Hine, Burhanuddin, H.L.L. Belli. 2001. Dasar-dasar


ilmu reproduksi ternak. Departemen pendidikan nasional direktorat
pendidikan tinggi badan kerjasama perguruan tinggi negeri
Indonesia timur. Jakarta.

Murtidjo, B.A. 1993. Beternak Sapi Potong. Kanisius, Yogyakarta.

Parera, Feronica; Demianus, F. Souhoka; Jeffri, E.M. Serpara. 2011.


Kemampuan Peternak Sapi Bali Di Kecamatan Teon Nila Serua
Dalam Mendeteksi Estrus Dan Menentukan Waktu Kawin.
Agrinimal Vol. 1 No. 2, Hal. 84-87.
16

Partodiaharjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. PT. Mutiara Sumber


Widya. Jakarta Lopez, H., L. D. Satter, and M. C. Wiltbank. 2004.
Relationship between level of milk production and estrous behavior
of lactating dairy cows. Anim. Reprod. Sci. 89:209–223.

Pemayun, Tjok Gede Oka; Arimbawa, I Wayan Putra; Trilaksana, I Gusti


Ngurah Bagus. 2012. Gambaran Hormon Progesteron Sapi Bali
selama Satu Siklus Estrus. Indonesia Medicus Veterinus 1(3):330-
336.

Peter AT, Levine H, Drost M, bergfelt DR. 2009. Compilation of classical


and contemporary terminology used to describe morphological
aspects of ovarian dynamics in cattle. Theriogenology. 71:1343-
1357.

Salisbury, R.E. dan W.L. Vandemark. 1985. Fisiologi Reproduksi Dan


Inseminasi Buatan Pada Sapi. Edisi terjemahan oleh R. Djanuar.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sonjaya, H. 2005. Materi Mata Kuliah Ilmu Reproduksi Ternak. Fakultas


Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Sugeng, Y.B. 1992. Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta.

Toelihere, M.R. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa. Bandung.

Anda mungkin juga menyukai