Anda di halaman 1dari 12

Cerita Rakyat Merauke

Dalam Asuhan Nenek


Alkisah, dahulu hiduplah di daerah Asmat tujuh orang bersaudara yang telah yatim piatu. Ayah dan
ibu mereka telah lama meninggal karena suatu penyakit yang tiak dapat disembuhkan. Anak tertua
dari tujuh bersaudara itu bernama Ker. Menyusul di belakangnya, adiknya bernama Okhrobit,
kemudian Ovorirat. Anak yang keempat, kelima , dan keenam semuanya mempunyai sebuah nama,
yaitu Beirbit (Beirbit Ua, Beirbit Enga, Bierbit Uco). Dan yang paling bungsu ialah seorang anak
perempuan, yang bernama Taroat. Ketujuh orang bersaudara itu sepeninggal ayah-ibunya diasuh
oleh neneknya, bernama Yamsyaot. Nenek Yamsyaot terkenal sangat keras dalam mendidik mereka.
Mereka tinggal dengan nenek ini di suatu tempat yang terpencil, jauh dari kampung-kampung
lainnya. Nenek Yamsyaot membuat sebuah rumah yang hangat bagi cucu-cucunya. Rumah itu
terbuat dari tiang-tiang kayu dan ijuk sebagai tembok dan atapnya. Rumah tradisional ini terkenal di
seluruh Irian Jaya dengan nama Honay.

Pada suatu hari Ker araucasam atakham (bahasa Asmat, artinya, Ker bersama adik-adiknya) turun ke
sungai untuk mencari ikan. Mereka mempergunakan panah kecil untuk mendapatkan ikan-ikan. Ikan
yang banyak terdapat di sungai itu adalah ikan vet dan bupit. Tetapi ikan-ikan itu pandai
menghindar. Mereka bersembunyi ke tepi sungai, pada balik batu-batuan di balik batang-batang
kayu. Begitu asyiknya Ker dan adik-adiknya memburu ikan-ikan. Tak disadarinya anak panahnya
mengenai bagian ekor dari seekor ikan gabus yang sangat besar. Rupanya ikan yang mau dibidiknya
berlindung di balik ikan gabus raksasa itu yang mungkin dikiranya batang kayu. Anak panahyang
dilepaskan Ker mengenai pangkal ekor ikan gabus itu. Ikan itu menggelepar-gelepar kesakitan.
Keenam bersaudara itu terkejut dan heran. Mereka tidak menduga akan menemukan ikan gabus
sebesar itu. Setelah diselidiki ternyata ikan gabus itu diikat dengan seutas tali rotan pada bagian
kepalanya. Baru teringat oleh mereka bahwa sebenarnya ikan gabus itu adalah ikan yang dipelihara
Nenek Yamsyaot. Rupanya ikan gabus itu sudah lama sekali dipelihara oleh Nenek Yamsyaot.
Terbukti ikan itu sangat besar. Ikan itu dapat dimakan oleh satu keluarga besar.

Ker merasa sangat menyesal telah melukai ikan itu. Neneknya sudah dengan susah payah
memelihara ikan gabus itu. Sekarang karena ulahnya ikan itu hampir mati. Di sampng menyesal, dia
pun merasa takut kalau-kalau perbuatannya diketahui Nenek Yamsyaoat. Pasti Ker dan adik-adiknya
di hukum atau dikutuk, bahkan dapat pula dibunuh. Oleh karena itu timbullah niat di dalam hatinya
untuk membunuh ikan gabus itu. Ia akan menghabiskan ikan itu tanpa sepengetahuan nenek
Yamsyaot. Tetapi sebelum menjalankan niatnya, terlebih dahulu ia bermusyawarah dengan adik-
adiknya. Pada mulanya adik-adik Ker tidak menyetujui maksud kakaknya itu. Beberapa hari
kemudian, diadakan lagi perundingan. Akhirnya mereka sepakat untuk membunuh ikan gabus yang
besar dan gemuk itu. Dalam mengadakan musyawarah, mereka tidak mengikutsertakan si bungsu
Taraot. Taraot sangat dikasihi oleh Nenek Yamsyaot. Ia anak perempuan satu-satunya dari ketujuh
orang bersaudara itu. Setelah semua rencana ditetapkan, maka mereka menunggu saatnya Nenek
Yamsyaot pergi menokok sagu. Tempat itu jauh. Biasanya Nenek Yamsyaot pergi untuk beberapa
hari lamanya. Sekarang saat yang dinanti-nantikan telah tiba. Pagi-pagi sekali Nenek Yamsyaot telah
berangkat. Ia meninggalkan pesan kepada cucu-cucunya. "Ker, engkau anak yang paling tua dalam
keluarga ini. Nenek berharap engkau dapat menjaga adik-adikmu dan bertanggung jawab atas segala
sesuatu sepeninggal nenek. Tinggallah kalian baik-baik di rumah. Makanlah sagu yang sudah nenek
sediakan didapur."

Demikian pesan Nenek Yamsyaot kepada Ker dan saudara-saudaranya. Kemudian nenek itu berbalik
pada Taraot dan menyampaikan pesan pada gadis kecil itu. "Taraot cucuku dikatakan Ker. Tetapi
kalau engkau tidak diperhatikan dan ditinggal sendiri, ikutilah nenek ketempat menokok sagu. Nenek
akan memberi tanda (petunjuk jalan) ke tempat itu." Setelah mendengar pengaduan Taraot, Nenek
Yamsyaot lalu meraihnya agar dekat. Kemudian nenek itu menghibur cucunya. "Sudahlah Taraot.
Jangan merajuk juga. Nanti kita makan bersama-sama di sini. Nenek sudah menyediakan sagu bakar.
Juga ada udang yang enak dari kali kecil itu. Anak laki-laki selamanya tak dapat diharapkan. Padahal
nenek telah mengatakan agar mereka selalu bisa melindungimu. Ternyata mereka berbuat
sebaliknya. Ayo mari kita makan." Kemudian mereka makan dengan lahapnya. Taraot sangat lapar. Ia
makan banyak sekali. Setelah selesai makan, dalam waktu beberapa saat kemudian, kantuk mulai
menyerang Taraot. Ia terduduk dibawah pohon dan kepalanya terangguk-angguk. Melihat cucunya
terkantuk-kantuk demikian Nenek Yamsyaot merasa kasihan. lalu ia mengangkat cucunya itu,
memangkunya sambil membelai-belai kepalanya. Alangkah terkejutnya Nenek Yamsyaot tatkala
suatu benda menusuk telapak tangannya. Setelah diteliti ternyata sepotong tulang ikan. Rupanya
Taraot meletakkan tulang-tulang ikan gabus sisa makanan kakak-kakaknya itu di rambutnya. Nenek
membangunkan Taraot kemudian bertanya.

"Mengapa kau tidak minta tolong kepada kakak-kakakmu untuk mencari kutu di kepalamu ini? Coba
lihat banyak sekali tulang ikan di kepalamu. Dari mana tulang-tulang ikan ini?" "Nenek! Tadi sudah
saya katakan, mereka tidak peduli saya lagi. Tulang-tulang ikan itu adalah bekas makanan mereka
yang dilemparkan ke kepala saya." Demikian jawaban Taraot kepada neneknya. Kemudian dengan
manja ia lebih menyusupkan kepalanya lagi ke bahu neneknya. Tetapi nenek Yamsyaot mendorong
tubuh Taraot ke depan, lalu menanyakan apa sebabnya. Nenek Yamsyaot mulai merasa curiga ketika
memperhatikan tulang-tulang itu. Nalurinya mengatakan bahwa itu adalah tulang-tulang seekor ikan
gabus yang besar. Taraot lalu menceritakan bahwa kakak-kakaknya telah menangkap seekor ikan
gabus yang besar. Menurut dugaannya ikan itu adalah ikan yang dipelihara Nenek Yamsyaot. Ikan itu
telah dipotong-potong lalu dibakar. Mereka menghabiskan ikan tersebut, beserta sagunya. Mereka
tidak memberi sedikit pun kepadanya. Mendengar hal itu Nenek Yamsyaot menjadi berang lalu ia
bertanya lagi. "Apakah ikan itu yang terikat di sungai dengan seutas rotan?" "Benarlah, Nek. Saya
melihat mereka menariknya dengan rotan." Mendengar perkataan itu Nenek Yamsyaot semakin
marah. Di saat itu juga ia menuduh cucunya itu bersekongkol dengan keenam kakak-kakaknya. Ia
datang ke situ hanya untuk mengelabuhi Nenek Yamsyaot. Amarah nenek itu tak tertahankan lagi.
Taraot diangkatnya tinggi-tinggi, lalu dilemparkannya ke atas puncak pohon sagu. Taraot tersangkut
di sana. Kemudian nenek yang bengis itu menyuruh cucunya mengeluarkan suara: khar,khar, khoar.
Sejak itu Taraot, si gadis kecil yang manis itu, berubah menjadi seekor katak. Itulah cerita asal mula
adanya katak di bumi Asmat hingga saat ini.

Melarikan Diri

Taraot yang telah berubah menjadi katak berteriak-teriak dengan sedihnya. Ia memohon ampun
kepada Nenek Yamsyaot. Tetapi si nenek tidak menghiraukannya sama sekali. Sebaliknya ia
mengutuk Taraot. Nenek itu berjanji akan membunuh ke enam kakaknya bila bertemu nanti. Nenek
Yamsyaot segera bergegas. Tepung sagu yang telah diremasnya dimasukkan ke dalam kantong-
kantongnya. Lalu ia bergegas pulang ke rumahnya. Setibanya di rumah ia tidak menemukan cucu-
cucunya. Ia berusaha mencari ke sekitar tempat tinggalnya. Tetapi sia-sia belaka. Tak seorang pun
yang tampak batang hidungnya. Mereka telah melarikan diri sejauh-jauhnya sebelum itu. Karena itu
kemarahan Nenek Yamsyaot makin menjadi-jadi. "Cucu-cucu yang tak pandai berterima kasih,"
umpatnya dalam hati. Mereka telah membunuh ikan gabus satu-satunya yang dipeliharanya. Ikan itu
disayangi pula oleh Nenek Yamsyaot. Ia bertekad akan mengejar mereka sampai dapat. Ia akan
membunuh keenam anak itu. Kemudian nenek itu menyediakan tiga kantung besar. Kantung-
kantung itu diisi penuh dengan kapak-kapak batu. Ia mulai mengejar keenam cucunya itu dengan
mengikuti jejak mereka. Betapa girangnya Nenek Yamsyaot ketika menemukan jejak-jejak kaki yang
baru di sana. Nenek Yamsyaot pergi kearah hutan sagu yang terdekat. Jejak-jejak kaki itu menuju
kesana. Ia berharap akan segera menangkap mereka dan membunuhnya semua.

Ker dan adik-adiknya dari semula telah menyadari akan bahaya yang bakal dihadapinya. Oleh karena
itu mereka berusaha untuk melarikan diri. Mereka bersembunyi sebegitu rupa sehingga tidak mudah
ditemukan oleh sang nenek. Dari jauh mereka mendengar dengusan nafas Nenek Yamsyaot yang
sedang mengejar dari belakang. Makin lama makin dekat. Dan kini bunyi telapak kaki sang nenek
juga terdengar makin dekat. Ker dan adik-adiknya berhenti Mereka bersembunhi di balik semak
belukar yang lebat. Mereka berunding untuk mencari tempat persembunyian yang baik, agar tidak
ditemukan dengan mudah. Mereka memutuskan untuk bersembunyi di hutan sagu yang ada di situ.
Di sana mereka menemukan sebatang pohon sagu yang berlubang ditengahnya. Tanpa pikir panjang
Ker dan adik-adiknya cepat-cepat masuk ke dalam lubang itu. Adik terkecil yang bernama Beirbit Uco
( Beirbit bungsu) lebih dahulu masuk. Kemudian menyusul kakak-kakaknya yang lain menurut umur
masing-masing . Ker yang paling akhir masuk, sekaligus menunggui lubang yang berfungsi sebagai
pintu. namun keenam kakak beradik itu mengalami nasib sial. Karena kecilnya lubang, mereka jadi
berdesak-desakan di dalam. Beberapa saat kemudian pohon sagu itu pun roboh, karena telah kering
dan lapuk pula.

Ker dan adik-adiknya menjadi bingung dan panik. Mereka berusaha keluar dari pohon sagu itu. Lalu
cepat-cepat mereka melarikan diri ke dusun sagu yang lainnya. Tak berapa lama mereka
menemukan sebatang pohon sagu yang tak berdaun. Tetapi pohon itu masih berdiri kokoh. Mereka
lalu masuk ke dalam pohon sagu itu. Setelah berada di dalamnya, ternyata lubang pohon itu tak
cukup untuk menampung ke enam bersaudara itu. Akhirnya, karena saling mendesak, pohon itu
roboh juga seperti pohon yang pertama. Kejadian itu menyebabkan Ker dan adik-adiknya semakin
bingung dan panik. Sedang Nenek Yamsyaot semakin mendekat juga. Mereka lalu lari sekencang-
kencangnya ke arah hutan rimba yang lebat. Di sana mereka merasa agak lega. Di tempat itu
terdapat pohon-pohon kayu yang besar-besar dan tinggi-tinggi. Mereka berusaha memanjat pohon-
pohon itu, namun tidak berhasil. Beberapa pohon telah dicobanya, tetapi sia-sia. Akhirnya mereka
menemukan sebatang pohon yang besar dan bercabang sampai ke tanah. Pohon itu dalam bahasa
Asmat disebut pohon jer, sejenis pohon kayu yang biasa dibuat perahu. Mereka segera memanjat
pohon itu. Setelah sampai di atas, ternyata di sela-sela dahan pohon besar itu terdapat lubang.
Lubang itu cukup besar dan bisa dihuni oleh keenam bersaudara itu. Mereka cepat-cepat saling
mendahului untuk masuk ke dalamnya. Akan tetapi Ker menghalanginya. Oleh Ker diberitahukan
agar terlebih dahulu membaca mantera dan menggosok jimat di tepi lubang itu, agar pohon itu
menjadi kuat dan tahan terhadap kapak batu. Juga apabila ditebang dan rebah, pohon itu akan
terlempar jauh ke tengah sungai. Mantera lalu diajarkan Ker kepada adik-adiknya. Lalu mereka
bersama-sama membaca mantera dengan sebaik-baiknya.

Setelah masuk ke lubang persembunyian itu, beberapa saat kemudian mereka mendengar bunyi
tapak kaki dan dengusan nafas manusia. Ker dan salah seorang adiknya mengintip. Mereka
menjulurkan kepalanya keluar. Hal itu terlihat oleh sang nenek yang sedang melihat ke atas pohon.
Maka Nenek Yamsyaot lalu menyeringai, tertawa terbahak-bahak. Berkatalah nenek bengis itu
sambil mengejek. "Yaah, kasihan tikus-tikus kecil. Mau lari ke mana kalian. Sekarang kalian akan
kupaksa turun. Kalian akan menerima upah dari perbuatanmu yang tak tahu adat itu. Tinggal saja di
atas. Saya akan menebang pohon jer ini. Kapak-kapakku cukup banyak untuk menebang pohon ini.
Kalian akan ku bunuh, biar tidak ada lagi anak-anak yang keterlaluan seperti kalian.
Aha....ha.....ha......haaaaaaa, kasihan kamu!" Kemudian mulailah Nenek Yamsyaot menebang pohon
jer itu. Tok-tok-tok! Tok-tok-tok ! Suara kapak batu beradu dengan pohon jer bergema ke-mana-
mana di dalam hutan itu. Tetapi keenam bersaudara yang berada di atas pohon itu tidak gentar
sedikit pun. Mereka tidak menghiraukan si nenek yang sedang sibuk sendiri. Ternyata mereka
merasa aman dalam persembunyiannya. Kadang-kadang mereka mengintip ke bawah sambil berkata
dan mengejek, "Siakha, sia sakha!" (kapak batu kau patah! Kapak batu patahlah kau!) Dan benarlah,
permintaan mereka terkabul. Kapak-kapak itu banyak yang patah. Kayu jer itu menjadi keras dan
kebal. Kayu itu telah dimanterai dan digosok jimat oleh Ker dan adik-adiknya. Menjelang tengah hari,
semua kapak batu Nenek Yamsyaot habis patah. Kemudian ia lari cepat-cepat ke rumahnya dan
mengambil tiga kantung kapak lagi. Dengan kapak-kapak itu Nenek Yamsyaot yakin dapat
merobohkan pohon itu. Ia mengumpulkan seluruh tenaga dan kekuatannya, lalu mulailah
melanjutkan menebang pohon itu. Benarlah, ketika matahari mulai tergelincir ke arah barat, batang
pohon itu mulai berbunyi krak, krak,kraaak,.....Pohon jer itu pun tumbang, akhirnya.

Nenek Yamsyaot berhasil menebang pohon itu. Namun ternyata terjadi suatu hal di luar dugaannya.
Pohon itu rebah, tetapi terlempar jauh ke tengah sungai. Sang nenek tidak sanggup mencapai
mereka. Batang kayu itu dengan cepat hanyut ke hilir sungai. Ker dan adik-adiknya tetap berada di
dalam lubang batang kayu itu. Mereka merasa aman karena katu itu kini berungsi sebagai perahu.
Mereka sangat gembira. Mereka telah luput dari keganasan Nenek Yamsyaot. Sekarang mereka akan
menikmati kehidupan baru di atas air. Beberapa hari "perahu" yang mereka tumpangi hanyut.
Menghanyutkan mereka ke suatu tujuan yang mereka sendiri belum tahu. Bahkan mereka tak tahu,
kapan mereka akan menginjak daratan yang baru. Untuk menginjak tepian sungai itu saja tak dapat
mereka lakukan. Tak ada sesuatu yang dapat digunakan sebagai pengayuh atau dayung. Mereka
hanya dapat memandangi tepian sungai yang penuh dengan kembang-kembang berwarna-warna.
Mereka mendengar aneka suara burung yang merdu. Perjalanan mereka sudah sangat jauh.
Perjalanan itu sangat menarik karena pemandangan yang bervariasi. Tumbuhan-tumbuhan liar yang
lebat dengan aneka warna bunganya. Burung-burung yang lincah dengan warna bulu yang indah.

Tiba-tiba di suatu lekukan sungai, mereka dikejutkan oleh suara wanita. Wanita itu sedang bercanda
di dekat batang pohon yang mereka tumpangi. beberapa saat kemudian tampak beberapa perahu
tanpa cadik. Perahu-perahu itu meluncur menuju perahu yang mereka tumpangi. Ker dan adik-
adiknya dapat menarik kesimpulan. Wanita-wanita yang mendayung perahu-perahu itu, mungkin
berasal dari kampung kecil yang tampak pada belokan sungai sana. Belokan itu baru saja mereka
lalui. Suara wanita itu melengking tinggi. Bagaikan sekumpulan jengkerik yang sedang bernyanyi
menyambut senja. Alangkah gembiranya wanita-wanita itu. Rupanya mereka sedang mencari kayu
besar. Jadi batang kayu itu akan diseret ke tepi sungai untuk dibelah dijadikan kayu bakar. Ker dan
adik-adiknya sangat ketakutan. Hati mereka berdebar-debar. Apabila batang kayu yang mereka
tumpangi itu berhasil diseret ke darat, berarti perjalanan Ker dan adik-adiknya akan segera berakhir
di situ. Dan bila ini terjadi maka meeka akan menghalangi rombongan wanita yang bertubuh kekar
bagaikan laki-laki. Ker dan adik-adiknya mencari akal untuk menggagalkan maksud para wanita
tersebut. Mereka lalu mengintip tingkah laku para wanita itu. Ketika diperhatikan terlihat bahwa
kaki-kaki para wanita itu berbentuk sabit. Dalam bahasa Asmat di sebut jenicepes.

Pada suku Asmat ada semacam keprcayaan bahwa wanita-wanita yang berkaki seperti sabit biasanya
mempunyai tenaga yang besar dan kuat. Tetapi mereka mempunyai kelemahan lain. Mereka takut
pada beberapa binatang tertentu yang jarang diternakan. Mereka juga takut pada lebah madu yang
amat sakit apabila menyengat. Sekarang Ker dan adik-adiknya mendapat akal. Mereka bersembunyi
di dalam lubang pohon kayu itu, lalu mereka bersuara menirukan suara lebah. Ternyata Ker dan
adik-adiknya berhasil menghalau rombongan wanita itu. Ketika mendengar suara bunyi lebah
wanita-wanita itu ketakutan. Mereka membatalkan rancananya menyeret batang kayu itu ke tepi
sungai. Mereka cepat-cepat mendayung ke tepi sungai, lalu lari tunggang-langgang ke kampungnya.

Bertemu Jodoh

Ker dan adik-adiknya bersyukur telah luput dari wanita berkaki sabit. Hal itu berarti perjalanan
mereka masih berlanjut ke muara sungai. Tiba-tiba mereka dikejutkan lagi oleh sorak-sorai suara
wanita. Mereka sedang berlomba mendayung, menuju batang kayu yang ditumpangi Ker dan adik-
adiknya. Rupanya wanita-wanita itu mempunyai tujuan yang sama dengan rombongan jenicepes
tadi. Wanita-wanita itu berusaha menyeret batang kayu itu ke tepi sungai untuk dijadikan kayu
bakar. Ker dan adik-adiknya mengintip dari lubang pohon. Dilihatnya bahwa wanita-wanita itu
mempunyai cacat yang sama dengan para jenicepes yang pertama. Kaki mereka sama-sama
berbentuk sabit. Oleh karena itu Ker dan adik-adiknya mempergunakan muslihat yang sama untuk
mengusir wanita-wanita itu. Mereka memperdengarkan suara seperti lebah. Wanita-waita itu segera
menyingkir. "Perahu" Ker dan adik-adiknya dibiarkan hanyut lagi. Wanita-wanita itu takut disengat
lebah yang bersarang di dalam batang kayu itu. Ker dan adik-adiknya selamat untuk kedua kalinya.
Mereka masih sempat menikmati "palayaran" yang nyaman menuju suatu tempat yang masih belum
diketahui.

Beberapa hari kemudian mereka pun mencari muara sungai. Mereka begitu mengagumi keindahan
pantai. Mereka kagum melihat lautan yang luas. Mereka terpesona oleh ombak yang menggulung-
gulung lalu memecah di atas gosong-gosong pasir. Selama beberapa saat mereka tidak hanyut lagi.
"Perahu" mereka telah tiba di muara sungai yang tenang. Air tidak mengalir lagi. Muara sungai itu
sangat lebar. Mereka belum dapat memutuskan ke tempat mana akan turun. Mereka tetap tinggal di
atas perahu itu selama beberapa hari. Mereka menikmati keindahan pagi dan senja di muara sungai
yang lebar itu. Masing-masing merenungkan perjalanan mereka yang mengesankan. Mereka
merenungkan aneka ragam pengalaman yang telah mereka alami. Semua itu merupakan
pengalaman yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Tak terasa matahari mulai menyengat kulit
mereka. Mereka berusaha agar batang kayu yang mereka tumpangi itu dapat menepi. Mereka ingin
mencari makanan pengisi perut yang mulai lapar. Batang kayu itu berhasil dibawa ke tepi sungai. Ker
dan adik-adiknya lalu berlompatan ke darat. Kemudian mereka menuju pantai. Mereka mencari
kepiting dan bia (kerang dan siput) untuk di makan. Mereka menemukan kepiting dan bia yang
banyak di pantai.

Sesudah makan, mereka beristirahat sambil melonjorkan badan masing-masing. Upanya selama
beberapa hari mengarungi sungai mereka hanya duduk saja. Lubang di batang kayu itu tidak luas.
Mereka beristirahat sambil menikmati hembusan angin laut yang segar. Tiba-tiba mereka dikejutkan
oleh riuh sekelompok wanita. Ker dan adik-adiknya menoleh ke arah datangnya suara itu. Terlihatlah
beberapa orang wanita sedang mengayuh dua lepa-lepa menuju ke arah batang kayu mereka. Ker
dan adik-adiknya cepat bergegas masuk lagi ke lubang batang kayu itu. Mereka mengintip tingkah
laku wanita-wanita itu. Perbuatan Ker tidak terlihat oleh wanita-wanita itu. Wanita-wanita muda itu
di dalam bahasa Asmat disebut tarcepes. Mereka berdayung terus ke arah batang kayu itu dan
kemudian menariknya. Mereka gembira sekali, karena ternyata kayu itu baik sekali untuk dijadikan
kayu bakar. Ranting-rantingnya mulai dipotong. Kemudian cabang-cabang yang agak besar. Ayunan
parang dan kapak wanita-wanita tarcepes itu mengakibatkan getaran di seluruh batang kayu
tersebut. Tetapi Ker dan adik-adiknya tidak merasa gentar. Sebaliknya, mereka merasa senang. Ker
mengintip dari lubang kayu. Kemudian dengan wajah berseri-seri ia menggamit adik-adiknya untuk
turut mengintip wanita-wanita itu.

Tarcepes-tarcepes yang datang itu tidak seperti kelompok wanita yang telah ditemui sebelumnya.
Tarcepes-tarcepes itu menurut Ker dan adik-adiknya sangat istimewa. Mereka tidak mempunyai
cacat apa pun di tubuhnya. Mereka sangat cantik dan menarik hati Ker dan adik-adiknya. Tarcepes-
tarcepes itu setelah memotong ranting-ranting kayu, mereka beristitahat untuk makan. Sesudah
makan tarcepes yang paling tua menyuruh adik-adiknya pergi ke dusun sagu. Mereka disuruh
mencari ulat sebagai lauk untuk makan sore nanti. Setelah tarcepes-tarcepes itu masuk ke dusun
sagu, tinggallah tarcepes yang sulung sendirian. Setelah beristirahat sejenak ia mulai membelah kayu
bakar. Dengan rajinnya ia membelah dan mengerat-erat batang kayu itu. Tiada beberapa lama, ia
telah sampai ke dekat lubang kayu untuk mengerat pada bagian itu. Ketika akan mengayunkan
kapaknya tarcepes sulung itu sangat terkejut. Dari dalam lubang itu tiba-tiba muncul kepala
manusia. Hampir saja kapaknya jatuh mengenai lubang kayu itu. Kapak itu hampir pula mengenai
kepala manusia tersebut. Dengan gugup dan heran dia memperhatikan kepala manusia yang telah
muncul seluruhnya itu. Lalu ia bertanya. "Siapakah gerangan engkau ini hai manusia? Rupamu begitu
aneh."

Kebetulan kepala yang dilihat oleh tarcepes itu adalah kepala Ker. Dengan tersenyum dan bangga
Ker menjawab pertanyaan tarcepes itu. "Saya adalah tamu Saudara. Lebih baik kamu
memperkenalkan diri lebih dahulu, sebelum saya memperkenalkan diri." Lalu si wanita tarcepes itu
memperkenalkan dirinya. "Nama saya Tar. Saya mempunyai beberapa orang adik. Mereka sedang
mencari ulat ke dusun sagu sana. Kami akan membelah kayu ini menjadi kayu bakar." Sekarang Ker
mengetahui bahwa wanita-wanita itu pun adalah kakak beradik. Ia pura-pura tidak mengetahui
bahwa Tar tidak sendiri. "Oh, kalau begitu kamu tidak sendiri. Berapa jumlah adik-adikmu?" tanya
Ker. "Kami semua ada enam orang. Saya yang paling tua. Adik-adik saya bernama Tarop, Bini, Moti,
Naku, dan Babot," jelas Tar, si tarcepes sulung. "Nama kalian bagus-bagus. Sama bagus dengan
rupamu. Terima kasih." kata Ker sambil memandang terus kepada Tar dengan senyum yang berarti.
Ketika Tar melihat Ker memandanginya terus, ia menjadi agak marah. lalu ia berkata. "Jangan
melihat saya terus-menerus begitu. Sekarang katakan siapa namamu, lalu cepat keluar dari tempat
ini."

Adik-adik Ker yang sejak tadi mendengar pembicaraan mereka, saling berdesakan. Mereka ingin
melihat wajah Tar lebih jelas. Karena tingkah-laku mereka demikian, maka Ker terdorong keluar.
Beberapa wajah mereka terlihat oleh sendiri. Melihat Tar agak bingung, Ker berusaha
menenangkannya sambil berkata. "Sekarang kamu sudah tahu bahwa saya pun tidak sendiri. Nama
saya Ker, dan itu adalah adik-adikku." Wajah Tar berubah menjadi cerah kembali setelah tahu bahwa
adik-adik Ker semuanya laki-laki. Kemudian Tar mohon agar Ker dan adik-adiknya keluar dari lubang
kayu. Ia akan melanjutkan membelah kayu itu. Ia menyaksikan adik-adik Ker satu persatu keluar
dari lubang kayu. Alangkah girangnya hati Tar. Ia akan megajak Ker dan adik-adiknya ke rumahnya.
Sekarang tiba saatnya dia akan membuat kejutan bagi adik-adiknya. Demikian pula orang-orang
sekampungnya. Sepanjang sejarah di kampung mereka belum pernah ada laki-laki muda atau
perjaka menjadi suami seorang gadis.

Maka Ker dan adik-adiknya yang juga telah tertarik pada Tar dan adik-adiknya, pergi bersama ke
kampung Tar. Rupanya seorang adik Ker tertinggal karena tertidur. Mereka hanya berjumlah 5 (lima)
orang. Setiba di rumah, Tar menyembunyikan kelima laki-laki itu dalam gulungan tikar masing-
masing adiknya. Ia membagi kelima laki-laki itu, mulai dari Ker, untuk dirinya sendiri, kemudian yang
lainnya sesuai dengan urutan umur mereka. Hari telah petang ketika adik-adik Tar tiba di rumah.
Mereka telah kembali dari hutan sagu dengan membawa ulat-ulat sagu yang telah dikumpulkan.
Juga setiap mereka membawa satu ikat kayu yang ditinggalkan Tar di tempat membelah kayu tadi.
Setiba di rumah mereka sangat lelah. Setelah meletakkan bebannya yang terdiri dari sebungkus ulat
sagu dan seikat kayu di pinggir perapian, mereka lalu pergi ke tempat masing-masing untuk
beristirahat. Ketika tikar-tikar mereka dibuka untuk digelarkan, para tarcepes itu sangat terperanjat.
Dari gulungan tikar-tikar itu keluar seorang laki-laki. Mula-mula para tarcepes itu bingung dan
ketakutan. Tetapi setelah mendapat penjelasan dari Tar, maka mereka menjadi sangat gembira.
Kecuali adik yang bungsu yang merasa kecewa dan iri hati. Ia tidak kebagian seorang pun dari
pemuda-pemuda itu. Tarcepes bungsu itu menangis tersedu-sedu. Ia merasa seolah-olah dia sangat
terhina di dalam keluarga itu, padahal kenyataannya dialah yang paling cantik.

Semalam suntuk tarcepes bungsu yang bernama Babot itu tak dapat memejamkan matanya. Ia
berharap agar malam itu cepat bertukar siang. Ia ingin cepat-cepat pergi dari rumah itu. Keesokan
harinya ketika sinar matahari mulai turun menerangi tanah, Babot telah bangun. Ia bersiap-siap,. Ia
mengambil kapaknya lalu pergi keluar rumah. Ia hendak mencari kesibukan untuk menghilangkan
kesedihan dan kekecewaannya. Kayu bakar belum terangkat semuanya. Batang kayu pun belum
terbelah dan terpotong semuanya. Babot lalu ke tepi sungai. Ia pun tiba di batang kayu itu.
Kemudian dia mulai membelah kayu itu. Bunyi kapaknya menggema di pagi hari buta itu. Bunyi
kapak serta getaran kayu yang dibelah Babot telah membangunkan seorang adik Ker. Pemuda itu
tertidur disitu sejak kemarin. Ketika Beirbit, adik Ker membuka matanya ia melihat sekelilingnya. Ia
tiada melihat seorang pun. Mula-mula ia menyangka bahwa kakak-kakaknya bermaksud
menganiayanya. Beberapa saat Beirbit menerka ke mana gerangan kakak-kakaknya itu pergi.
Perlahan-lahan ia bangkit, lalu ia mengintip dari lubang kayu. Ia melihat seorang perempuan sedang
memotong dan membelah batang kayu. Beirbit lalu memberanikan diri keluar dari lubang kayu itu
dan dengan sopan ia menyapa Babot.

"Hai, perempuan! Mengapa sepagi ini kau telah membelah kayu? Suara kapakmu telah
membangunkan tidurku!" Beberapa saat Babot terkejut. Ia heran melihat Beirbit yang berdiri di
hadapannya. Ia berpikir, dari mana gerangan orang ini datang? Tanpa diketahuinya laki-laki itu sudah
berdiri dihadapannya. Melihat Babot agak terkejut dan bingung. Beirbit kemudian berkata lagi. "Mari
saya tolong membelah kayu itu." Setelah mendengar Beirbit berkata demikian, barulah Babot
merasa tenang. Sekarang ia merasa gembira, Beirbit adalah seorang laki-laki yang sejak kemarin
didambakannya. Tarcepes bungsu itu kini mulai tersenyum. Dia menceritakan kakak-kakaknya yang
telah beruntung. Mereka mendapat teman hidup, dan akan tinggal terus menjadi suami-istri.
Kemudian ia mohon agar Beirbit mau mengikuti dia ke rumahnya. Babot sangat bergirang hati. Hari
itu dia telah berhasil menemukan serang laki-laki yang didambakannya. Pemuda itu telah
membantunya membawa pulang kayu bakar. Setiba mereka di rumah kakak-kakak Babot dan kakak-
kakak Beirbit sangat tercengang. Mereka melihat kedua anak muda itu datang beriringan. Mereka
begitu kagum melihat pasangan muda-mudi yang serasi itu. Babot lebih cantik dari kakak-kakaknya.
Beirbit pun lebih tampan dari kakak-kakaknya. Akhirnya Ker dan saudara-saudaranya dapat hidup
bersama. Mereka memperistrikan wanita-wanita yang bersaudara. Mereka hidup berbahagia selama
bertahun-tahun. Mereka memperoleh keturunan dari perkawinan itu.

Pulang

Bertahun-tahun Ker dan adik-adiknya tinggal di daerah muara Sungai Digul bersama istrinya masing-
masing, dan telah pula memperoleh anak ada yang dua, tiga, empat, dan lima. Hidup mereka cukup
berbahagia dan saling menyayangi. Mereka berkebun di sekitar tempat tinggal mereka di samping
menangkap ikan di sungai dan berburu untuk mendapatkan makanan. Pada suatu hari keenam
keluarga itu beramai-ramai masuk ke hutan memetik buah sukun untuk dijadikan bekal bila mereka
akan pergi ke sungai atau ke laut mencari ikan. Setibanya di hutan masing-masing suami memanjat
sebatang pohon sukun. Istri-istri dan anak-anak mereka menunggu di bawah agak jauh dari pohon
sukun. Beirbit yang paling bungsu bersama istrinya Babot dan anak-anaknya terpisah dari kakak-
kakak mereka. Ketika Beirbit akan menjatuhkan buah sukun, sebelumnya ia memberi tahu istrinya
dan anak-anaknya agar berhati-hati. Mereka disuruh menjauh dari bawah pohon sukun itu. Akan
tetapi Babot tidak mendengarkan dan tidak menghiraukan peringatan suaminya. Buah sukun mulai
berjatuhan, baik dari pohon yang dipanjati Beirbit maupun dari pohon-pohon yang dipanjati kakak-
kakaknya. Beirbit makin sering menjatuhkan buah sukun. Di pohon itu banyak terdapat buah sukun
yang tua. Tiba-tiba terdengar teriakan histeris dari salah seorang anak Beirbit di bawah pohon.
Tanpa pikir panjang Beirbit langsung merosot ke bawah. Ternyata anak itu tertimpa buah sukun yang
jatuh dengan kerasnya. Buah sukun itu telah mengenai kepalanya, sehingga seketika itu juga anak
tersebut mati.

Melihat kejadian itu bukan kepalang marahnya Babot, istri Beirbit. Segala macam perkataan yang
kotor dan hina dilontarkan kepada Beirbit. Seolah-olah Beirbitlah yang bersalah dalam peristiwa itu.
Beirbit tak dapat berbuat apa-apa selain termenung dalam kesedihan dan penyesalan. Ia
mendengarkan dan menerima kata-kata istrinya. Ia begitu menyesal karena kejadian yang tak
terduga itu. Padahal sebelumnya ia sudah memperingatkan istrinya supaya menyingkir menjauh
bersama anak-anaknya dari bawah pohon sukun itu. Tetapi peringatan itu tidak dihiraukan,
sehingga mengakibatkan terjadinya peristiwa yang menyedihkan itu. Berhari-hari Beirbit menyesali
dirinya. Dia telah menyebabkan kematian anaknya sendiri. Di pihak lain istrinya selalu mengata-
ngatainya dengan perkataan-perkataan yang hina. Setiap hari Beirbit diperlakukan seperti bukan
suaminya lagi. Tak ada lagi kehormatan seorang suami pada dirinya. Lama kelamaan Beirbit sudah
tidak betah lagi untuk hidup bersama istrinya. Ia berniat untuk pergi meninggalkan Babot dengan
membawa anak-anaknya. Maksudnya itu disampaikan kepada kakak-kakaknya. Hendak ke mana,
belum diketahuinya. Diceritakan bahwa dia merasa kesal dan malu karena terus-menerus dihina
oleh istrinya. Ia diejek dan dihina sebagai manusia yang keluar dari lubang kayu.

Mendengar cerita Beirbit itu, kakak-kakaknya pun turut merasa tersinggung dan sedih. Mereka
menduga istri-istri mereka mungkin mempunyai pandangan yang sama pula dengan istri Beirbit itu.
Oleh karena itu diam-diam mereka berunding. Mereka bersepakat untuk bersama-sama pergi
meninggalkan istri-istri mereka. Mereka tak akan membiarkan adik mereka pergi seorang diri.
Persiapan untuk berangkat mulailah dikerjakan. Mereka membuat beberapa buah perahu untuk
ditumpangi dan memuat segala perlengkapan dan keperluan. Mereka membuat dayung-dayung
baru dan tokon atau galah. Pekerjaan dan persiapan itu dilaksanakan selama kurang lebih dua bulan,
pekerjaan itu tanpa diketahui istri-istri mereka. Setelah segala persiapan selesai, barulah istri-istri
mereka diberi tahu. Mereka membawa bekal berupa sagu mentah sampai beberapa "tumang".
Selama itu istri-istri mereka tidak mengetahui rencana mereka. Memang rencana itu sengaja
mereka rahasiakan. Kepada istri-istrinya itu Ker dan adik-adiknya memberitahukan bahwa mereka
akan ditinggalkan bersama anak-anaknya. Mungkin untuk selama-lamanya. Mereka terpaksa pergi
mengikuti adik kesayangan mereka yang sudah dilukai perasaannya oleh istrinya sendiri. Mereka ikut
merasakan tusukan kata-kata yang menyakitkan hati adik bungsu mereka itu.

Mendengar kata-kata perpisahan dari Ker dan adik-adiknya maka para istri-istri mereka menangis
tersedu-sedu. Tar dan adik-adiknya memohon agar suami-suami mereka membatalkan rencananya.
Terutama Babot, istri Beirbit. Ia sangat menyesali tindakannya. Babot memohon maaf kepada
suaminya dan meminta agar Beirbit membatalkan rancana keberangkatannya itu. Namun semua itu
telah terlanjur. Keputusan itu telah disepakati bersama dan rencana tak mungkin dibatalkan lagi.
Mereka segera berangkat karena segala perlengkapan dan perbekalan telah siap di perahu masing-
masing. Akhirnya mereka pun harus berpisah dengan penuh rasa sedih. Sebagai tanda mata, mereka
masing-masing meninggalkan dua buah perahu dan dayung-dayung untuk istri dan anak-anak
mereka yang ditinggalkan. Para istri, yaitu Tar dan adik-adiknya, memberikan seperahu penuh sagu
mentah yang dapat bertahan selama beberapa hari dan ikan-ikan kering sebagai lauknya. Kemudian
Ker dan adik-adiknya naik ke perahu lalu mendayung perahunya menuju ke hulu sungai. Dari
kejauhan mereka masih mendengar suara ratap tangis para istri-istri dan anak-anak mereka yang
ditinggalkan. Mereka terus mendayung perahu mereka sampai menghilang di lekukan tanjung, dan
anak istri mereka tak tampak lagi.

Tar dan adik-adiknya beserta anak-anak mereka sangat sedih ditinggalkan suami dan ayahnya. Ketika
para suami telah menghilang di balik tanjung, istri-istri yang merasa tidak bersalah melampiaskan
kemarahannya kepada Babot. Mereka memarahi babot. Dialah penyebab kepergian suami mereka
dan menyebabkan anak-anak kehilangan ayah. Babot telah menyatakan penyesalannya dan
memohon maaf atas kekeliruan dan tindakannya yang salah. Namun ia tetap dituduh sebagai biang
keladi dari persoalan itu. Tidak sampai di situ saja. Kemudian Babot dan anak-anaknya dikucilkan
oleh kelima kakaknya dan anak-anak mereka. Sambil mendayung, keenam bersaudara itu
menyanyikan lagu-lagu perpisahan yang menggema di dalan hutan dan diatas sungai itu. Pada akhir
perjalanan, tibalah mereka di suatu tempat. Tempat itu cukup jauh dari tempat tinggal anak istri
mereka. Lalu mereka mendaratkan perahu-perahunya dan membangun pondok dari daun-daun
nipah. Di sinilah keenam bersaudara itu beristirahat sambil memerhatikan daerah dan hutan
sekitarnya. Maksud mereka ialah mencari tempat tinggal dan dusun yang sudah lama ditinggalkan.

Mereka sudah bertahun-tahun meninggalkan dusun dan kampung halamannya. Oleh karena itu
mereka susah mengenalinya lagi. Telah banyak terjadi perubahan. Pohon-pohon besar yang
dahulunya tidak ada, sekarang tumbuh dengan lebat dan rimbun. Di bagian lain lereng-lereng
gunung yang hijau sekarang telah dijadikan kebun-kebun. Dusun-dusun sagu telah banyak yang
ditebang. Perubahan-perubahan itu membuat mereka hampir lupa pada kampung halaman dan
dusun tempat mereka dibesarkan. Beberapa hari lamanya mereka tetap berada di pondoknya saja.
Setelah perbekalannya hampir habis, barulah mereka berniat untuk masuk ke hutan. Mereka akan
mencari sagu dan berburu. Ketika mencari sagu dan berburu itulah, Ker dan adik-adiknya
menemukan dusun sagu kepunyaan mereka dahulu. Mereka dapat menandai sungai kecil tempat
mereka mencari udang, dan pohon-pohon melinjo yang ada dipinggir sungai itu. Sejak itu tahulah
mereka bahwa dusun itu adalah kampung mereka yang kini telah sepi. Sekarang mereka bersepakat
untuk tetap diam di situ saja. Adik perempuan mereka satu-satunya telah tiada. Begitu pula Nenek
Yamsyaot yang kejam. Keenam bersaudara itu lalu membangun sebuah pondok yang kokoh yang
disebut honay. Mereka mulai membuka hutan dan berkebun.

Pada suatu hari Ker dan adik-adiknya bermaksud pergi berburu dan menokok sagu, di dusun sagu
yang agak jauh. Si Beirbit Uco diminta tinggal saja untuk menjaga barang-barang mereka. Ker,
Okhoribit, Ovorirat Beirbit Tua dan Beirbit Tengah masuk ke hutan untuk berburu. Tinggallah Beirbit
Uco sendiri menjaga barang. Dalam kesediriannya itu ia membayangkan kembali wajah istrinya yang
mengiba-iba memohon maaf. Ia membayangkan pula anak-anaknya yang menangis tersedu-sedu. Ia
tenggelam dalam lamunannya membayangkan wajah istrinya yang cantik dan anak-anaknya yang
lucu-lucu. Beirbit begitu rindu kepada mereka. Bayangan anak istrinya itu setiap hari selalu
menggodanya. Untuk menghilangkannya Beirbit berusaha membuat ukiran. Dia mengambil
beberapa potong kayu susu dan akar tongke (bakau) lalu mencoba untuk mengukir patung.
Beberapa saat lamanya patung itu telah selesai. Ternyata patung itu menyerupai wajah istrinya. Kini
ia mencoba lagi mengukir wajah dari istri kakak-kakaknya. Ketika hari mulai petang patung kedua
pun selesai. Tak lama kemudian saudara-saudaranya telah kembali dari hutan. Mereka membawa
hasil buruan yang banyak dan juga beberapa goti sagu. Ketika melihat dua buah patung itu saudara-
saudaranya begitu kagum. Salah seorang lalu bertanya.

"Hai, siapa yang membuat patung begini bagus?"

Beirbit Uco yang baru muncul dari belakang honay menjawab.


"Saya yang membuat patung-patung itu."

"Alangkah bagusnya patung-patung itu. Dapatkah engkau membuatkan patung-patung lain lagi
untuk kami?" tanya saudara-saudaranya.

"Besok pagi saya akan membuatkannya," jawab Beirbit.

Keesokan harinya setelah Ker dan saudara yang lainnya pergi ke hutan, Beirbit Uco mulai lagi dengan
pekerjaannya. Dengan hati-hati dan cermat ia mengingat-ingat setiap wajah istri kakak-kakaknya,
lalu menuangkannya pada ukiran yang sedang dikerjakannya. Satu persatu patung dapat
diselesaikan dengan baik. Ketika hari menjelang petang, enam buah patung telah dideretkan di
dalam rumah itu. Sesaat kemudian kelima orang saudara Beirbit pulang dari hutan. Begitu melihat
patung-patung yang berderet itu hati mereka sangat girang. Patung-patung itu mirip sekali dengan
istri-istri mereka. Karena gembiranya keenam bersaudara itu pun bangkit. Mereka mengambil eme
dan fu, yaitu tifa dan suling bambu yang telah digosok dengan jimat dan diberi jampi-jampi. Mereka
membunyikan alat-alat musik itu sambil menari-nari. Mereka menabuh tifa dan meniup suling
dengan perasaan yang meluap-luap disertai dengan teriak-teriakan histeris. Tidak lama kemudian
patung-patung kayu yang mati itu mulai bergerak-gerak mengikuti irama tifa dan lagu yang sedang
dinyanyikan. Demikian kuat pengaruh lagu itu dan bunyi-bunyian yang telah dijampi-jampi atau
dimantrai itu, sehingga patung-patung itu kelihatan seperti benar-benar hidup. Patung-patung itu
ikut menari-nari dan menyanyi bersama-sama keenam saudara itu. Mereka menari dan menyanyi
sampai larut malam. Akhirnya mereka sangat letih lalu jatuh tertidur semuanya.

Pagi-pagi sekali keenam saudara itu terbangun oleh suara kesibukan yang masuk ke dalam
pondoknya. Suara sibuk seperti wanita bekerja. Maka Beirbit Uco lebih dahulu bangun, dan pergi ke
belakang. Sesampainya dibelakang alangkah terkejutnya Beirbit Uco mendapati seorang wanita yang
mirip sekali dengan istrinya. Ia menjadi ragu-ragu dengan penglihatannya sendiri. Ia kembali ke
dalam pondok untuk menyampaikan hal itu kepada saudara-saudaranya itu sedang duduk
terkantuk-kantuk. Di samping mereka masing-masing terdapat satu patung wanita. Tetapi patung
istrinya tidak ada di sana. Ia pun pergi lagi ke belakang. Di sana wanita ajaib itu telah menanti
Beirbit. Ia lalu menghadapi Beirbit dan berkata. "Dengan izin para dewa dan raja tanah saya datang
ke sini sebagai penjelmaan dari patung yang kau buat. Saya adalah Babot istrimu." Alangkah
gembiranya Beirbit Uco telah bertemu kembali dengan istrinya. Sebelumnya ia begitu bingung.
Ketika matahari mulai memancarkan sinarnya menerangi alam sekitar, keenam bersaudara beserta
istri Babot dikejutkan oleh suara riuh dari arah sungai.

Mereka semuanya lalu menuju ke sana untuk menyelidiki asal suara itu. Ternyata setibanya di tepi
sungai mereka menyaksikan sesuatu yang tak disangka-sangkanya. Terlihatlah dua buah perahu
besar yang masing-masing ditumpangi anak istri Ker bersaudara dan barang-barang mereka. Betapa
gembiranya mereka semua dengan kedatangan istri dan anak-anak mereka itu. Mereka disambut
dengan suka cita yang luar biasa. "Rupanya ini adalah karunia dan kemurahan Yang Mahakuasa
kepada kita," pikir Ker dan saudara-saudaranya. Akhirnya Ker dan saudara-saudaranya berkumpul
kembali dengan istri dan anak-anak mereka. Sekarang mulailah mereka membangun rumah-rumah
untuk tiap-tiap keluarga. Hiduplah mereka di sana dengan penuh damai dan bahagia. Keenam
bersaudara itu beranak dan menurunkan cucu-cucu sehingga kampung itu makin lama makin
menjadi besar.

Anda mungkin juga menyukai