Anda di halaman 1dari 17

Jangan Beri Hukuman Fisik Pada Siswa Di Sekolah

http://novehasanah.blogspot.com/
Jangan Beri Hukuman Fisik Pada Siswa Di Sekolah
Hukuman fisik adalah hukuman yang diberikan kepada siswa secara fisik seperti memukul, menjewer,
berdiri dengan satu kaki di depan kelas, dan bentuk-bentuk lainnya. Tujuan diberikannya hukuman fisik ini
oleh guru adalah agar siswa dapat menyesali perbuatannya yang buruk agar tidak mengulanginya lagi.
Tetapi benarkah hukuman fisik efektif untuk mencegah siswa berperilaku buruk (melanggar peraturan)? Ini
adalah sebuah pertanyaan besar yang harus dijawab oleh kita para pendidik di negeri tercinta ini.

Hukuman fisik dalam pendidikan di Indonesia

Di Indonesia, hukuman fisik cukup umum ditemukan di banyak sekolah. Alasan mengapa beberapa guru
suka memberi hukuman fisik pada siswa tentunya karena mereka menganggap hukuman fisiklah yang
paling efektif untuk menhentikan atau mencegah siswa berperilaku buruk yang tidak sesuai dengan
peraturan sekolah. Hukuman fisik dapat kita temukan mulai dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah
menengah.

Di Indonesia, tidak ada aturan yang secara khusus melarang guru memberikan hukuman fisik. Bahkan
mendikbud Mohammad Nuh yang pernah ditanya wartawan di Gedung Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan di Jakarta (Jumat, 7-9-2012) soal hukuman fisik mengatakan bahwa hukuman fisik sah-sah
saja diberikan, hanya saja harus mendidik dan merupakan jalan terakhir yang diberikan untuk memberikan
pemahaman pada siswa. (lihat artikel di
http://edukasi.kompas.com/read/2012/09/08/07215735/Mendikbud.Hukuman.Fisik.untuk.Siswa.Sah.Saja.a
sal). Menurut Mohammad Nuh, hukuman fisik itu juga sebuah pelajaran selama tidak dalam bentuk yang
berlebihan. Pernyataan mendikbud ini tentu saja menuai pro kontra di kalangan pendidik dan pemerhati
pendidikan di Indonesia.

Beberapa negara yang memperbolehkan hukuman fisik


Bagaimana di dunia luar sana? Ternyata hukuman fisik di beberapa negara diperbolehkan (tidak dianggap
melanggar hukum). Pemikiran awal mengapa hukuman fisik dapat dilakukan oleh sekolah (guru atau
personil lain di sekolah) adalah bahwa guru berperan sebagai orang tua bagi siswa saat ia berada di
sekolah. Orang tua telah mempercayakan pendidikan anaknya kepada sekolah, sehingga sekolah
mempunyai hak untuk memberikan hukuman fisik bila siswa melanggar peraturan dan tata tertib sekolah
atau mempunyai perilaku buruk lainnya.

Akan tetapi, walaupun demikian, di luar sana, walaupun hukuman fisik tidak dianggap perbuatan
melanggar hukum, pemberian hukuman fisik dilakukan dengan pengawasan yang ketat oleh pihak sekolah
sehingga kemungkinan-kemungkinan buruk akibat pemberian hukuman fisik dapat dihindarkan.
Bagaimana dengan Indonesia? Sepertinya, pemberian hukuman fisik kepada siswa lebih sering berupa
tindakan sebagai tanggapan otomatis terhadap perilaku buruk siswa. Akibatnya banyak guru yang dalam
keseharian mereka suka menerapkan hukuman fisik cenderung asal dalam memberikannya. Lihat saja
bagaimana berita-berita di media massa yang menyebutkan bagaimana guru-guru kita telah memberi
hukuman fisik yang spontan dan berujung cedera pada anak didik. Tidak jarang pula, guru pada akhirnya
harus berhadapan dengan meja pengadilan dan ujung-ujungnya meringkuk di dalam bilik jeruji besi.

Kebanyakan Melarang Penggunaan Hukuman Fisik


Kebanyakan negara-negara melarang hukuman fisik untuk anak di sekolah dan dianggap pelanggaran
hukum. Negara yang pertama kali melarang praktik penggunaan hukuman fisik di sekolah adalah Polandia.
Negara-negara yang menganggap pemberian hukuman fisik adalah sebuah pelanggaran hukum antara lain
negara-negara Eropa, Kanada, Korea Selatan, New Zealand, dll. Argentina telah melarang segala bentuk
hukuman fisik sejak tahun 1813, kemudian dilegalkan pada tahun 1817, lalu kembali dilarang pada tahun
1980an. RRC telah melarang hukuman fisik sejak tahun 1949, Itali (1928), Rusia (1917), Irlandia (1982),
India (2000) dan Belanda (1920). Selain itu masih banyak lagi negara-negara lain yang telah menyatakan
bahwa memberi hukuman fisik kepada siswa itu merupakan pelanggaran hukum.

Apa akibatnya jika hukuman fisik diberikan pada siswa?


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian hukuman fisik pada akhirnya akan berdampak buruk
pada siswa seperti: meningkatnya keagresifan siswa, perilaku merusak(fasilitas sekolah), vandalisme
(corat-coret), prestasi belajar menjadi rendah, menurunnya kemampuan perhatian pada pembelajaran,
meningkatnya angka putus sekolah, takut sekolah (fobia), menghindari sekolah, rendah diri, ragu-ragu,
depresi, keluhan sakit, bunuh diri, hingga pembangkangan kepada guru. Beberapa peneliti seperti ahli
psikologi Jerman Richard von Krafft-Ebing juga melihat munculnya tendensi sadisme dan masokisme yang
menjadi berkembang pada anak-anak yang sering mendapat hukuman fisik.

Jika hukuman fisik tidak baik, apa yang dapat dilakukan guru untuk memperbaiki kelakuan siswa?
Guru dapat melakukan pendekatan secara personal kepada siswa yang melakukan pelanggaran tata tertib
sekolah. Pendekatan secara personal dapat dilakukan dengan berbicara dari hati ke hati tentang alasan
mereka melakukan pelanggaran. Sanksi yang mendidik dapat diberikan sebagai konsekuensi pelanggaran
yang mereka lakukan. misalnya saja, jika buang sampah sembarangan di lingkungan sekolah dianggap
sebagai suatu pelanggaran tata tertib, maka sanksi berupa membersihkan bagian halaman atau ruangan
yang dikotorinya adalah bentuk sanksi yang sesuai. Beberapa sanksi dapat dimuat dan disusun lalu
dipertimbangkan untuk menjadi bagian dari tata tertib sekolah. Jadi ketika siswa melakukan pelanggaran,
mereka telah tahu apa konsekuensi (sanksi) yang akan mereka terima. Baca juga: CARA MENGATASI
MASALAH DISIPLIN SISWA

Tips Terkait Pelanggaran Tata Tertib oleh Siswa


Penting bagi siswa untuk menyadari bahwa segala tata tertib yang dibuat (bahkan dapat dengan melibatkan
siswa-siswa saat membuatnya) adalah bertujuan untuk kebaikan semua orang di lingkungan sekolah. Selain
itu, perlu bagi guru untuk bijak dalam memberikan sanksi (bukan hukuman fisik), apalagi jika hukuman
fisik diberikan secara spontan tanpa mempertimbangkan kesesuaian dengan pelanggaran yang dilakukan
oleh siswa. Guru juga harus menjaga emosinya saat memberikan sanksi sehingga ia tidak akan terlibat
dengan pemberian hukuman fisik yang membahayakan keselamatan siswa (baik secara fisik maupun
mental), yang tidak hanya merugikan siswa tapi juga merugikan guru yang bersangkutan karena harus
berhadapan dengan hukum semisal kasus kekerasan fisik terhadap anak. Wibawa seorang guru tidaklah
sama makna dengan guru yang ditakuti siswa karena mereka tidak berani melanggar peraturan oleh sebab
bisa dihukum. Seyogyanya, mengikuti semua tata tertib dan aturan yang berlaku didasari oleh pemahaman
siswa bahwa mereka memang penting untuk menaatinya karena berkaitan dengan kepentingan dirinya
sendiri dan orang banyak. Guru yang berwibawa adalah guru yang disegani siswa karena memiliki
pengetahuan yang lyas dan dalam, bertindak secara proporsional dan adil, ramah dan menyenangkan.

Demikian tulisan tentang hukuman fisik di sekolah, semoga mempunyai manfaat bagi kita semua. Jika para
pembaca mempunyai pemikiran-pemikiran lain atau yang belum terungkap dalam tulisan ini, silakan
membaginya di kolom komentar di bawah. Wassalam.
GURU TIDAK MUNGKIN MENGHUKUM MURID YANG BAIK
GURU TIDAK MUNGKIN MENGHUKUM MURID YANG BAIK
http://misterrakib.blogspot.co.id/
KATA PENGANTAR
Tulisan ini awalnya untuk disertasi di S3 UIN Suska Riau di Pekanbaru. Kenyataannya bukan hanya untuk
itu,karena begitu banyaknya permintaan seminar tentang perlindungan nasib guru yang dianggap
melakukan kekerasan, padahal hanya memberikan hukuman disipilin, sekedarnya saja. Sesuai dengan
profesi penulis sebagai widyaiswara pendidikan, masalah punishmen ini, selalu mengmuka, dan tidak
pernah lenyap. Akhirnya disertasi itu penulis penggal-penggal menjadi buku kecil seperti ini. Semoga
bermanfaat.
PEMBAHASAN
Tindakan guru menghukum anak didik, tidak salah mutalk, masih wajar, selagi tidak
menimbulkan bekas atau memar. Guru memegang prinsip: yang salah harus dihukum. Tidak
mungkin guru menghukum murid yang baik. Dengan hukuman, anak disadarkan. UU
Perlindungan Anak dapat membuat anak tidak menemukan” kesalahan” dirinya. Dia
merasabenar. Buktinya, dia dibela dan sang guru dihukum. Konsep benar-salah menjadi
hilang. Derita Guru: Sebuah Dilema Pendidikan. Keberadaan UU Perlindungan Anak ini,
menurut penulis menjadi sebuah penderitaan guru. Mereka dihadapkan padamasalah dilematis
dalam proses pendidikan dan pembinaan anak muridnya. Situasi mereka berhadapan dengan
UU Perlindungan Anak. Demi pembinaan dan penegakan disiplin kepada siswa, ada guru yang
terpaksa menampar siswanya. Akan tetapi guru tersebut dihadapkan pada jerat hukum. Maksud
baikguru justru berakibat buruk. Padahalmenyadarkan murid. Di antara cara penyadaran adalah
“tempeleng”, walaupun bisa pakai cara lain yang tanpa kekerasan. UU Perlindungan Anak
tidak membolehkan memakai cara kekerasan, padahal cara itu bisa menjadi sarana paling
efektif. Tingkat penyadarannya lebih kuat dibandingkan menegur dan menasehati.
Tempelenghanya sekali, bisa merupakan bentuk shock therapy.
Menurut penulis UU Perlindungan Anak menjadi penderitaan para guru di sekolah. Mereka
tidak berani bertindak tegas kepada murid karena takut terkena sanksi dari UU Perlindungan
Anak. Bayangkan saja, terkena pasal 80 ayat (1)merupakan penderitaan yang amat sangat bagi
guru yang berpenghasilan pas-pasan. Ada guru masuk penjara, asalkan tiap bulan gajinya jalan
terus,tidak akan jadi masalah serius. Tetap mengajar dengan ganti rugi sebesar 72 juta rupiah,
jelas akan memberatkan keluarganya.
Di sebuah sekolah menengah pertama, ada siswa sedang berkelahi,lalu datang guru melerai.
Tapi disambut dengan caci maki olehsiswa yang berkelahi, karena tidak terima perkelahiannya
dipisahkan. Guru juga masih muda, demi harga diri yang diinjak murid, gurumenampar siswa.
Sang guru dilaporkan ke polisi, beberapa hari di penjara. Akhirnya dibebaskan dengan tebusan.
Apa yang terjadi setelah peristiwa itu? Para guru lain tidak berani bertindak tegas kepada
siswa. Anak-anak tumbuh “liar” dan para guru tak berani menegur. Terjadipembiaran. Ketika
guru bertindak tegas, anak dapat mengancam dengan UU Perlindungan Anak. Anak akan
dengan mudah mengejek gurunya bahkan menghina guru dan guru tidak bisa berbuat apa-apa
karena takut dengan UU Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak merusak dunia
pendidikan. Tidak setuju dengan UU Perlindungan Anak, karena UU itu bisa digunakan anak
untuk merendahkan martabat guru. Dia sangat prihatin dengan nasib para guru.Inilah bagian
dari kritik penulis terhadap UU Perlindungan anak. Anak bisa benar menurut hukum tapi salah
total menurut etika dan akhlaqul karimah.
Menurut penulis, hukuman dari guru, bukan penganiayaan, adakekeliruan dalam UU
Perlindungan Anak, berkaitan dengan kata “penganiayaan” dan kekerasan. Kategori
penganiayaan adalah kekerasan yang bertubi-tubi, mirip dengan penyiksaan. Memukul atau
menempeleng berkali-kali, sekalipun murid sudah minta ampun. Tapi jika cuma sekali, bukan
penganiayaan. Kalau dikatakan kekerasan, seperti kasus IPDN, penganiayaan memang kejam,
karena bertubi-tubi. Misalnya, dipukul lalu ditendang berkali-kali. Karena itu ada yang cacat
dan bahkan sampai tewas.
Penulistidak setuju jika guru menempeleng, satu kali saja masuk kategori kekejaman (pasal 13
ayat 1) tidak manusiawi (pasal 16 ayat 1). Dalam kasus-kasus penganiayaandi sekolah,
dilakukan oknum guru sebenarnya tidak masuk kategori kekerasan, yang bukan kekejaman,
penganiayaan yang tidak manusiawi.Yang menjadi persoalan, haruskah kekerasan itu dihukum,
jika bertujuan baik,menyadarkan murid akan kesalahannya. Untuk bisa sadar,sering
menyakitkan. Tapi itulah shock therapy. Harus juga diperhatikan kewajiban anak. Dalam UU
Perlindungan Anak, khususnya soal hak dan kewajiban anak dan pasal lain yang berkaitan
dengan hak anak (18 pasal), sementara kewajiban hanya satu pasal saja (pasal 19). bunyi pasal
19 UU Perlindungan Anak ini:
Setiap anak berkewajiban untuk :
1. menghormati orang tua, wali, dan guru;
2. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
3. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
4. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Jika anak tidak melaksanakan kewajibannya, sanksi apa yang dapat diberikan UU RI no.23 th
2002? Tidak ditemukan hal ini. Penegak hukum hanyamelihat hak anak, mengabaikan hak
guru. Kasus ini punya daya tarik bagi polisi dan pengacara? Tidak ada pembicaraan bagaimana
kewajiban anak? Apakah anak yang tidak melakukan kewajibannya, seperti yang tertera dalam
UU Perlindungan Anak, juga dapat ditindak?
Kasus anak SD yang mengganggu temannya yang sedang latihan, berarti tidak melakukan
kewajiban no. 2 dalam pasal (19) UU Perlindungan Anak. Kasus SMK, siswa tidak
melaksanakan kewajiban no. 3 dan 5. Guru punya wewenang melaporkan siswake polisi? Dan
apa sanksi buat anak tersebut? Hak dan kewajiban mesti seimbang. Orang tidak bisa menuntut
hak tanpa melaksanakan kewajibannya, karenaberkaitan dengan UU Perlindungan Anak. Kritik
penulis ialah perluditinjau soal keseimbangan hak dan kewajiban bagi anak itu sendiri. Jangan
hanya membebani kesalahan pada guru.
KPAI, menggunakan dasar UU No. 23 Tahun 2009, bahwa definisi anak pada Pasal 1
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan. Artinya, sebelum berusia 18 tahun, anak tidak boleh dijatuhi
sanksi pidana dengan pemenjaraan. Terlepas dari pro kontra yang terjadi, ada suatu
pandangan tentang fenomena kejahatan anak yang menarik untuk dikaji. Pandangan
ini memberikan solusi yang tuntas terhadap permasalahan kejahatan anak, yang
secara otomatis akan menghentikan kontroversi hukuman pidana pada anak.
Pandangan tersebut adalah pandangan hukum Islam.
Kejahatan dengan pelaku anak-anak didominasi oleh tindak pencurian, Disusul
kemudian kasus penyalahgunaan obat-obatan terlarang, pencabulan, dan
pembunuhan(kapanlagi.com). Sebagian pihak menuding bahwa penyebab dari
kejahatan anak ini adalah kemiskinan dan kerusakan moral di kalangan anak. Tidak
dapat dimungkiri bahwa kemiskinan dan kerusakan moral menjadi pemicu munculnya
banyak kejahatan anak. Namun perlu kita pahami bahwa kemiskinan dan kerusakan
moral hanya merupakan fakta akibat. Selama kita hanya terpaku pada fakta dan
memecahkan berdasar fakta, maka penyelesaian yang kita dapat hanya penyelesaian
yang bersifat parsial dan tambal sulam. Untuk mendapat pemecahan yang tuntas,
kita harus menengok lebih dalam, mengapa ada kemiskinan dan kerusakan moral?
Kemiskinan dan kerusakan moral adalah hal yang pasti muncul dalam penerapan
sistem kapitalis-liberal yang dianut Indonesia. Sistem kapitalis ditandai dengan
menyerahkan pengelolaan kekayaan sumberdaya alam dan distribusinya kepada
individu. Individu yang mampu memiliki akses terhadap sumberdaya akan terpenuhi
kebutuhan hidupnya, sedangkan yang tidak memiliki akses tidak akan mampu
memenuhinya. Sistem ini menciptakan kesenjangan yang lebar antara pemilik akses
dengan yang tidak memilikinya. Maka muncullah kemudian kemiskinan yang
tersistematis, diikuti dengan kecemburuan sosial yang besar karena pameran
kekayaan dijadikan komoditas di berbagai media massa.
Kapitalisme umumnya disertai “saudara kembarnya,” liberalism dan sekulerisme.
Pemisahan agama dari kehidupan akan mencabut nilai-nilai moral. Ditambah dengan
paham kebebasan bertingkah laku, mengakibatkan norma-norma agama semakin
terpinggirkan. Padahal, kekuatan ruhiyah yang lahir dari pemahaman terhadap
agama adalah satu-satunya motor penggerak penerapan moral. Maka memberikan
pendidikan moral budi pekerti tanpa membangkitkan kekuatan ruhiyah, sama saja
seperti kita mendorong mobil yang rusak. Lelah tanpa hasil.
Dengan mencermati akar permasalahannya, dapat katakan bahwa munculnya
kejahatan anak-anak adalah akibat kesalahan dalam memilih sistem yang diterapkan.
Anak hanya menjadi korban. Penulis tidak setuju dengan defini anak dalam UU No. 23
tahun 2002 yang menyatakan, bahwa anak-anak ialah yang belum berumur 18 tahun.
Pendefinisian anak yang tidak tepat memiliki implikasi terhadap cara pandang hukum
kepada anak yang nantinya ikut andil juga dalam memunculkan kejahatan anak-anak.
Hukum Islam mendefinisikan anak adalah mereka yang belum mencapai masa
baligh. Huzaemah T.Yanggo, MA dalam bukunyaFiqih Anak, mengatakan bahwaal-
bulughadalah habisnya masa kanak-kanak. Pada laki-laki, baligh ditandai dengan
bermimpi (al ihtilam), dan perempuan ditandai dengan haid. Rasulullah saw bersabda
bahwapena-pencatat amal- itu diangkatdari orang yang tidur sampai ia bangun,anak
kecil sampai ia dewasa (yahtalima), orang gila sampai ia
sadar.”[1] Katayahtalimaadalah orang yang sudah bermimpi (al-ihtilam). Maka
dipahami bahwa anak yang sudah baligh telah menerima beban taklif, yaitu
menjalankan hukum syara’, dan dihisab sebagai implikasi dari pembebanan tersebut.
Ini berarti pada saat baligh, anak dianggap telah dewasa dan dapat diperlakukan
sebagai manusia dewasa di hadapan hukum.
Dengan pemahaman dewasa adalah saat baligh, anak harus dipersiapkan dengan
sungguh-sungguh, sehingga siap untuk menjadi manusia dewasa yang sanggup
mempertanggungjawabkan perbuatannya saat baligh. Ini berbeda dengan pandangan
yang ada saat ini yang menganggap anak dewasa bila sudah menginjak usia 18
tahun. Pandangan ini membuat kontradiksi pada diri anak, di satu sisi saat ia baligh,
hormon-hormon dan alat reproduksinya sudah matang, sehingga secara biologis ia
dewasa, namun ia tetap diperlakukan seperti anak-anak dan tidak mendapat
pembekalan bagaimana bertanggungjawab dengan kondisi balighnya tersebut,
sehingga secara akal pikiran, ia masih jauh dari matang. Kondisi ini membuat anak
cenderung mudah terjerumus dalam dunia kejahatan.
Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan anak. Ini
tercermin dari banyaknya hadist-hadist yang memerintahkan mendidik anak secara
rinci. Pendidikan anak dimulai dari pendidikan di dalam rumah oleh orangtua,
pembentukan lingkungan yang kondusif oleh masyarakat dan didukung oleh aturan-
aturan negara yang menjamin anak memperoleh pendidikan berkualitas dengan
mudah. Islam juga menciptakan suasana kondusif yang mendukung pendidikan anak.
Islam mewajibkan orangtua memberikan nafkah pada anak sehingga anak tidak harus
menanggung beban hidup keluarga. Islam mewajibkan negara menyediakan
lapangan kerja agar orangtua dapat mencari nafkah untuk anak.
Islam mewajibkan negara untuk menjamin kehidupan yang bersih dari berbagai
kemungkinan berbuat dosa. Negara menjaga agama, menjaga moral dan
menghilangkan setiap hal yang dapat merusaknya seperti peredaran minuman keras,
narkoba, pornografi. Dengan menerapkan sistem Islam secara sempurna, kejahatan
anak akan dapat dihilangkan. Yang tumbuh adalah anak-anak berkualitas, yang akan
menjaga eksistensi umat umat terbaik. Anak adalah amanah Allah QS. An-Nisa’ (4):58
yangmenyatakan bahwaAllah mewajibkan manusia, menyampaikan amanah dan
berkewajiban berlaku adil. Maksudnya Allah SWT.,menerangkan bahwa
melaksanakan amanat dan tanggung jawab adalah perintah Allah kepada seluruh
hamba-Nya, termasuk yang diperintahkan juga adalah menghukum dengan adil
antara semua manusia dan Allah adalah sebaik-baik pemberi pengajaran akan
keadilan. Maka hendaklah orang beriman menjadikan keadilan Allah sebagai standar,
bukan yang lainnya di dalam melaksanakan hukum, sementara Allah tetap mengawasi
dan memperhatikan bagaimanamelaksanakan perintahNya, firman Allah:
“Sesungguhnya Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.
Yang dimaksud dengan amanat di sini ialah tugas-tugas yang telah dipercayakan kepada
manusia sebagai khalifah. Termasuk menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkan
keputusan dengan adil dengan berpegang teguh kepada kitab Allah dan sunnah Rasul.Dalam
cakupan yang lebih luas, kata amanat bisa berarti kesanggupan melaksanakan dan
menegakkan dien, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Ahzab:72, yang berbicara
mengenai pemberian amanat kepada orang yang memang layak untuk menerima amanat
tersebut dan juga ayat tersebut memberikan penekanan terhadap pentingnya penegakan hukum
dalam satu kalangan masyarakat.[2] Hal ini menjadi satu bagian penting dalam pembahasan
kemaslahatan yang hendak dicapai dalam suatu lingkungan masyarakat.[3]
Mengenai keadilan[4], adadua macam, pertamadistributive dan
kedua commutative. Keadilan distributive memberikan gambaran untuk memberikan keadilan
sesuai dengan haknya masing-masing, dengan kata lain kemaslahatan fardiyyah dan bukan
kemaslahatan secara umum. Tapi keadilan commutative memberikan keadilan secara umum
kepada siapa saja. Salah satu prinsip keadilan yang merupakan bagian dari kemaskahatan
menajdi satu teori yang dianut oleh Islam dalam menentukan kebijakan hukum Islam,
bahwaAllah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Salah satu contoh lain dijelaskan dalam kitab al -asybah wa al- nadhair. Syekh
Imam Jalaluddin Abdurrrahman bin Abi Bakr As- Suyuti mengungkapkan contoh yang
sederhana, bahwa dalam suatu negara apabila ada keinginan untuk menghilangkan tentara
dalam anggaran program kenegaraan dengan alasan yang dibolehkan maka hal itu
diperbolehkan, tetapi kalau sekiranya alasan yang akan digunakan sebagai landasan peniadaan
hal tesebut tidak diperbolehkan atau bahkan tidak dalam kategori penting dan dharurat maka
peniadaan tersebut tidak diperbolehkan. Kemudian contoh yang lain adalah soal pembagian
zakat, seorang imam atau pemimpin yang masih dalam keadaan mampu tidak boleh
mengutamakan dirinya dalam menerima zakat dari pada rakyat yang notabene lebih
memutuhkan.[5]
Dalam konteks kontemporer, kaidah tersebut tentunya tidak boleh terlepas dari jiwa seorang
pemimpin. Oleh karena itulah setiap kebijakan yang mengandung manfaat dan maslahat bagi
rakyat maka itulah yang direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai/ dievaluasi
kemajuannya. Sebaliknya kebojakan yang mendatangkan mudharat dan mafsadah bagi rakyat,
itlah yang harus disingkirkan dan dijauhi. Dalam upaya-upaya pemabangunan misalnya,
membuat irigasi untuk petani, membuka laangan kerja yang padat karya, melindungi hutan
lindung, menjaga ligkungan, mengangkat pegawai yang benar-benar amanah dan professional
dan lain sebagainya.[6]
Dalam mendukung kaidah tersebut, tentu diperlukan kaidah pelengkap yang bisa mendukung
dan sejalan dalam pemaknaan terhadap kaidah tersebut. Diantara kaidah-kaidah yang
diperkukan untuk mendukung kaidah tersebut adalah kaidah yang berbunyi; ikhtiyarul amstal
fal amtsal (memilih yang representative dan lebih representative lagi). Kaidah ini memberikan
gambaran kepada sikap yang harus diambil dan diimplementasikan oleh seorang pemimpin
dalam membuat sebuah kebijakan, yaitu harus dilakukan dan dipilih mana yang representative
untuk bisa dilaksanakan terlebih dahulu. Artinya kebutuhan masyarakat yangbanyak, mana
yang lebih representatif untuk dilaksanakan dan diprioritaskan.
Di samping mengenai substansi yang hendak dicapai dari sebuah kemaslahatan yang ada, maka
pada dasarnya terdapat faktor lain yang memberikan kontribusi terhadap itercapainya sebuah
maslahat. Di antaranya adalah factor mekanisme system kekuasaan dan jalannya pemerintahan
yang sistematis. Dalam fiqh siyasah, terdapat pembagian kekuasaan sejak zaman
kekhalifahan.[7] Pembagian kekuasaan itu terus berkembang maka kemudian muncul berbagai
lembaga kekuasaan dalam sebuah Negara. Ada khalifah (presiden)sebagai lembaga kekuasaan
eksekutif (al- hai’ah al- tanfidhiyyah), dan lembaga legislative atau alh al- halli wa al- aqdi
(al- hai’ah al- tasyri’iyah) dan lembaga yudikatif (al- hai’ah al- qadhaiyyah), bahkan lembaga
pengawasan (al -hai’ah al- muraqabah).
Mengenai permasalahan ini, dalam hukum Islam terdapat kaidah yangmenyatakan:al wilayah
al khassah aqwa min al wilayah al ‘ammah (kekuasaan yang lebih khusus lebih kuat
(kedudukannya) dari pada kekuasaan umum). Maksud kaidah tersebut adalah bahwa lembaga-
lembagakhusus lebih kuat kekuasaannya daripada lembaga-lembagaumum, misalnya, camat
lebih kuat kekuasaanya dalam wilayahnya daripada gubernur , wali nasab lebih kuat
kekuasaannya terhadap anak-anaknya dari pada pengadilan agama dan seterusnya. Pada intinya
dalam kaidah inti ini, segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum, harus dicarikan
solusi terbaiknya demi kemaslahatan. Solusi terbaik yang dapat ditawarkan bisa meliputi
substansi dari permasalahan yang sedang dibahas dan mekanisme dalam pelaksanaannya.
Dalam sebuah system hukum,ada hukum formil dan hukum materiil yang tidak boleh lepas.
Kemudian pertanyaannya adalah, maslahat yang seperti apa yang mengikat seorang pemimpin
untuk selalu memasukkan konsep tersebut dalam pertimbangan utama, dalam mengambil setiap
kebijakan?
9.6. Analisis Konsep Mashlahah
Perlunya, analisis konsep maslahat ,menurut beberapa pandangan dan konsep mengenai
maslahat yang ada sebenarnya telah disampaikan oleh banyak dari kalangan para pakar di
bidangnya, tetapi karena batasan yang ada, maka dalam disertasi ini,kajiandifokuskan pada
salah satu konsep atau teori tentang maslahat yang disampaikan dan dikemukakan oleh
Najmuddin At- Tufi. Diantara beberapa pandangan beliau tentang konsep maslahat adalah:
9.6.1. Pengertian Mashlahat
Dalam pandangan at-Tufi bahasan lafadz maslahat berdasarkan wazan maf'alatun dari
kata shalah. Artinya, bentuk sesuatu dibuat sesuai dengan kegunaannya. Misalnya, pena dibuat
agar dapat digunakan untuk menulis. Pedang dibuat untuk memenggal. Sedangkan definisi
maslahat adalah sarana yng menyebabkan adanyamanfaat. Misalnya, perdagangan adalah
sarana untuk mencapai keuntungan. PengertianTasharruful Imam ‘Ala al- Ra’iyah Manutun Bi
al- Maslahah. Masalahat, berdasarkan syari'at adalah sesuatu yang menjadi penyebab untuk
sampai kepada maksud syar'i, baik berupa ibadat maupun adat. Kemudian, maslahat ini terbagi
menjadi dua bagian, yaitu perbuatan yang memang merupakan kehendak syari', yakni ibadat
dan apa yang dimaksudkan untuk kemanfaatan semua umat manusia dan tatanan kehidupan,
seperti adat istiadat.[8]
9.6.2. Berlakunya Mashlahat
Mengenai lapangan hukum mu'amalat dan yang sejenisnya, dalil yang diikuti adalah maslahat.
Maslahat dan dalil-dalil syari'at lainnya, terkadang senada dan terkadang bertentangan. Jika
senada, memang hal itu baik seperti senadanya antara nash, ijma' dan maslahat mengenai
ketetapan hukum dharury yang berjumlah lima. Hukum-hukum kulliyang dharuri itu ialah
dibunuhnya orang yang membunuh, dibunuhnya orang yang murtad, pencuri dipotong
tangannya, peminum dihukum dera dan orang yang menuduh orang baik berbuat zina harus
dijatuhi hukuman hadd, dan contoh-contoh lain yang serupa dalam hal dalil-dalil syari'at
senada dengan maslahat. Jika ternyata tidak senada dan bertentangan, jika ada kemungkinan
dipadukan harus dilakukan perpaduan antara nas, ijma' dan maslahat. Misalnya, jika terdapat
sebagian dalil yang mempunyai kemiripan dengan maslahat, lakukanlah antara dalil dan
maslahat itu sesuatu pemaduan. Syaratnya, tidak boleh mempermainkan dalil, dan maslahat
yang dituju harus benar-benar hakiki. Jika ternyata di antara keduanya tidak bisa dipadukan,
yang didahulukan adalah maslahat atas dalil-dalil syari'at lainnya. Sebab, Rasulullah saw.
bersabda, la darara wa la dirara. Makna hadis ini khusus dimaksudkan untuk menghilangkan
mudarat untuk memelihara maslahat yang menjadi tujuan utama hukum syari'at, sehingga
wajib didahulukan. Sedangkan dalil-dalil lainnya, tidak ubahnya sebagai sarana. Jadi, tujuan
harus didahulukan daripada sarana.
At-Tufi menganggap bahwa maslahat hanya ada pada masalah yang berkaitan
dengan mu'amalat dan yang sejenisnya, bukan pada masalah yang berhubungan dengan ibadat
atau yang serupa, karena, masalah ibadat hanya hak Syari'. Tidak mungkin seseorang
mengetahui hakekat yang terkandung di dalam ibadat, baik kualitas maupun kuantitas, waktu
atau tempat, kecuali hanya berdasarkan petujuk resmi Syari'. Kewajiban hamba hanyalah
menjalankan apa saja yang telah diperintahkan oleh Tuhannya. Misalnya, pembantu tidak akan
dikatakan sebagai seorang yang taat jika tidak menjalankan perintah yang telah diucapkan oleh
tuannya, atau mengerjakan apa saja yang sudah menjadi tugasnya. Demikian halnya dalam
masalah ibadat. Karenanya, ketika para filosoftelah mulai mempertuhankan akal, dan mulai
menolak syari'at,tentulah Allah amat murka terhadap mereka. Mereka tersesat jauh dari
kebenaran. Bahkan mereka sangat menyesatkan.[9]
Apakah hukuman fisik bagi anak-anak,[10] mengandung kemaslahatan, dan
membawa manfaat bagi kehidupan remaja, sedangkan mafsadah mengakibatkan mudharat bagi
kehidupan.[11] Apa yang disebut dengan maslahat, perlu mendapat kriteria dan batasan-
batasan tertentu sehingga keberadaan maslahat tidak dijadikan sebagai satu “tempat
berlindung” untuk bisa melegalisasi permasalahan-permaslahan yang sebenarnya tidak masuk
dalam kategori maslahat. Menurut jumhur ulama’, untuk kriteria maslahat apabila dilihat akan
muncul sebagai beikut:
1. Kemaslahatan itu harus diukur kesesuaiannya dengan maqashid al- syari’ah, dalil-
dalil kulli, (general dari Al Qur’an dan Al- Sunnah), semangat ajaran, dan
kaidah kulliyahhukum Islam.
2. Kemaslahatan itu harus meyakinkan, dalam arti harus berdasarkan penelitian yang akurat,
hinga tidak meragukan lagi.
3. Kemaslahatan itu harus memberi kemanfaatan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia,
bukan sebagian masyarakat kecil.
4. Kemaslahatan itu memberikan kemudahan, bukan mendatangkan kesulitan dalam arti dapat
dilaksanakan dan pilih yang terbaik di antara yang baik.[12]
a.Kemaslahat dan batasannya
Para ahli ushul fiqh membagi maslahat menjadi tiga macam, yaitu: maslahah mu'tabarah,
maslahah mulghah dan maslahah mursalah. Maslahah mu'tabarah adalah maslahat yang
terdapat pada hukum yang ditetapkan oleh nash, seperti maslahat pada hukum qishash. Hukum
ini ditetapkan oleh QS. Al-Baqarah ayat 178 dan 179. Hikmah dari maslahat yang ditimbulkan
oleh qishash ialah melestarikan hidup manusia. Begitu juga maslahat yang terdapat pada
hukum potong tangan pencuri dan maslahat yang ada pada hukum Had al-qadzaf (hukuman
seseorang yang menuduh berzina).
Semua maslahat ini telah diterangkan dalam Nash Al-Qur'an. Jadi, memotong tangan pencuri
itu sendiri merupakan maslahat dan ia disebut maslahat mu'tabarah karena maslahat itu
bersumber dari syariah. Sedangkan maslahah mulghah adalah maslahat yang dianggap invalid
oleh syariah atau dengan kata lain bahwa maslahat itu merupakan maslahat yang keberadaanya
diingkari oleh syariah, seperti maslahat zina. Kenikmatan yang didapat dari zina, secara
material bisa disebut maslahah tetapi ia dibatalkan oleh sya-riah melalui nash-nash yang ada.
Demikian juga maslahat riba, minum arak dan lain sebagainya.
Untuk mengetahui kapan suatu maslahat itu dianggap valid (mu'tabarah) dan bisa dijadikan
landasan suatu hukum, ada lima syarat atau batasan yang bisa dijadikan titik tolak. Kelima
syarat tersebut ialah:
1. Maslahat tidak bertentangan dengan maqasid syariah.
2. Maslahat tidak bertentangan dengan nash Al-Quran.
3. Maslahah tidak bertentangan hadits Nabi.
4. Maslahat tidak bertentangan dengan qiyas (analogi).
5. Maslahat tidak bertentangan dengan maslahat lainnya yang lebih penting atau maslahat yang
sejajar dengannya.
Kelima syarat ini merupakan batasan atau standar yang digunakan untuk membedakan
antara maslahah mu'tabarah (yang dapat dijadikan dasar hukum) dan maslahah mulghah (yang
tidak dapat dijadikan dasar hukum).(7 Seorang mujtahid harus benar-benar menguasai dan
mendalami batasan-batasan di atas. Dan di sinilah tingkat kejeniusan seorang mujtahid diuji.
Peta penguasaannya terhadap nash dapat diukur dari sejauh mana ia bisa menggunakan
batasan-batasan itu dalam beristinbath sebagaimana mestinya.
Kesimpulan para ahli ushul fiqh yang mengatakan bahwa setiap hukum pasti akan berujung
pada suatu maslahat.[13] Hukumtidak pernah lepas dari maslahat, tetapi maslahat tidaklah
merupakan dasar hukum yang berdiri sendiri. Kedudukan maslahat tidak seperti kedudukan Al-
Qur’an, Sunnah Nabawiyah, ijma’ dan qiyas sebagai dalil mustaqil (berdiri sendiri). Mengapa?
Karena maslahat pada dasarnya hanyalah merupakan makna umum yang secara implisit berada
di balik hukum-hukum juz’iy (parsial). Sementara hukum-hukum juz’iy itu sendiri tidak akan
ada tanpa melalui proses istinbath.
9.6.3. Masalahat dalam kaidah fiqih dalam realitas
Bertitik tolak dari pernyataan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk
kemaslahatan,menimbulkan persoalan tentang hubungan nash Al-quran atau Sunnah Rasul
dengan maslahat merupakan salah satu permasalahan yang pelik dan penting. Ijtihad atas dasar
maslahat sebagai tujuan hukum Islam sering memungkinkan tidak diterapkannya ketentuan nas
menurut apa adanya, tetapi diterapkan dengan cara lain atau bahkan tidak diterapkan sama
sekali.
Untuk pengembangan maslahat dalam legislasi Indonesia kontemporer erat kaitannya dengan
pengembangan budaya hukum Islam. Dalam pengembangan budaya hukum Islam di Indonesia
kaum muslimin dihadapkan pada kemungkinan, yaitu hukum positif Islam yang terbatas pada
mempermasalahkan hukum yang berlaku bagi kaum muslimin, dan nilai-nilai hukum Islam,
yang akan berlaku bagi seluruh warga negara, bahkan mungkin seluruh penduduk (termasuk
yang bukan warga negara). Kedua alternatif tersebut akan mempengaruhi pembentukan hukum
nasional pada masa yang akan datang.
Bertolak dari kerangka pemikiran bahwa hukum positif Islam pada masa mendatang adalah
hukum yang bersumber dari nilai-nilai agama Islam dan dihubungkan pula dengan teori
peringkatan hukum, maslahat dalam hukum Islam dapat diterjemahkan sebagai maslahat rakyat
dalam segala aspeknya, mencakup bidang yang begitu luas, seperti ekonomi, hukum, politik
dan sebagainya (mu'amalah). Dan maslahat menempati posisi sebagai nilai-nilai Islam (norma
hukum) yang abstrak atau cita-cita hukum. Oleh karena itu, dibutuhkan formulasi asas-asas,
peraturan (perundang-undangan) atau bentuk legislasi lainnya sebagai norma antara yang
merupakan kreativitas ijtihad yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, budaya dan kurun
waktu. Semua hasil penerapan dan penegakan norma antara tersebut menjadi hukum positif
yang merupakan norma konkret (living law) masyarakat.
Apabila formulasi dan aplikasi suatu peraturan perundang-undangan dalam berbagai bidang seperti
ekonomi, politik, hukum (norma antara) mampu mewujudkan maslahat rakyat banyak dalam arti
sebenarnya dan dapat pula merekayasa tercapainya cita-cita kehidupan rakyat banyak, berarti aturan-aturan
tersebut masih mungkin dan dapat dipertahankan. Akan tetapi, jika sebaliknya, justru formulasi dan
aplikasi berbagai peraturan perundang-undangan dalam berbagai lapangan kehidupan rakyat banyak itu
tidak mampu lagi menampung aspirasi kerakyatan dikarenakan adanya faktor perubahan situasi dan
kondisi, perlu diganti dengan aturan-aturan yang baru yang betul-betul aspiratif. Dengan demikian,
maslahat rakyat merupakan cita-cita atau tujuan yang hendak diwujudkan, sedangkan peraturan-peraturan
undang-undang merupakan sarana untuk mewujudkan cita-cita kerakyatan. Oleh karena itu efektivitas
suatu sarana dapat dipantau oleh masyarakat. Dalam kaitan ini, yang terpenting adalah bagaimana nilai-
nilai Islam dapat terpatri dalam kehidupan bernegara, masyarakat, bangsa, keluarga dan individu, kemudian
mengakkan keadilan sosial dan menciptakan suatu masyarakat egalitarian, jauh dari eksploitasi manusia
atas manusia lain maupun eksploitasi golongan atas golongan lain. Dengan kata lain, hukum Islam tidak
dalam norma, melainkan dalam substansinya.
Maslahat menjadi syarat utama dalam pengambilan setiap kebijakan yang diambil oleh para penguasa atau
pemimpin. Maslahat yang bisa dikategorikan sebagai landasan dalam pengambilan hukum mempunyai
beberapa syarat yang harus terpenuhi, di antara syarat-syarat tersebut dikemukakan oleh MUI dan jumhur
ulama’ sendiri. Di antara konsep maslahat yang banyak dipakai adalah konsep yang digagas dari
Najmuddin At- tufi. Dalam pemikirannya,berpendirian bahwa mashlahat adalah tujuan penetapan hukum
Islam dalam lapangan mu'amalah, apabila penerapan nash atau ijma' sesuai dengan bunyi tekstualnya
bertentangan dengan maslahat dan tidak dapat dikompromikan. Maslahat hendaklah lebih diutamakan
daripada dalil-dalil syara' lainnya.
Maslahat merupakan tujuan sedangkan dalil-dalil syara' merupakan sarana untuk mencapai tujuan, karena
itu tujuan hendaklah lebih diutamakan daripada sarana. Dalam perspektif pembaruan (reaktualisasi) hukum
Islam dalam bidang mu'amalah dewasa ini, maslahat tokoh tersebut dapat dijadikan rujukan dengan cara
mendasarkan konsep maslahat tersebut sebagai substansi yang disarikan dari Alquran dan hadits serta dapat
dipertanggungjawabkan secara keagamaan. Konsep tersebut memberikan jalan keluar bahwa dalam
masalah mu'amalah umat Islam,seperti kehidupan sosial, ekonomi, politik dan lain-lain, penentuan boleh
tidaknya sesuatu ditekankan pada maslahat umum dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi
kehidupan manusia sebagai praktisi hukum.
9.6.4.Analisis Saddu al-dzari’ah
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd al-
dzari’ahdan fath al-dzari’ah. Metode sadd al-dzari’ah merupakan upaya preventif agar tidak
terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Metode hukum ini merupakan salah satu
bentuk kekayaan khazanah intelektual Islam yang –sepanjang pengetahuan penulis–tidak dimiliki
oleh agama-agama lain. Selain Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang
didokumentasikan dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak.
Menurut penulis UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga memuat pasal-
pasal yang sejalan dengan Sadd al-Zari’ah, karenamerupakan upaya melindungi anak Indonesia
dari perlakuan yang sewenang-wenang. Namun, eksistensinya seringkali dijadikan “alat” untuk
menjustifikasi kesalahan anak. Kondisi ini berdampak semakin sulitnya guru melaksanakan tugas
kependidikan untuk menegakkan kedisiplinan, terutama membina kepribadian anak dengan
akhlak yang terpuji. Bila dalam pendidikan dikenal pemberian penghargaan (reward) dan
hukuman (funishment), sebagai salah satu alat pendidikan, maka dengan adanya UU
Perlindungan Anak dan KPAI, seakan dunia pendidikan kehilangan salah satu alat dalam
melaksanakan proses pendidikan. Padahal, eksistensi reward dan funishment sangat penting
dalam pencapaian tujuan pendidikan.
Adanya KPAI dan UU Perlindungan Anak secara yuridis melarang adanya tindakan kekerasan
terhadap peserta didik. Padahal, sebagai seorang pendidik, guru/dosen memiliki otoritas
akademik di dalam kelas untuk menegakkan disiplin agar tercapai tujuan pembelajaran yang
dilaksanakan. Di sisi lain, seringkali terlupakan adalah alasan hukuman yang dilakukan guru.
Untuk itu, perlu dilakukan uji materi (judicial review) terhadap UU. Perlindungan Anak, khususnya
pasal 80, 81, dan 82. Sebab, belum tentu tindakan guru murni kesalahannya, akan tetapi akibat
kesalahan yang dilakukan peserta didiknya.
Perlakuanterhadap guru, sebagai tenaga pendidik, mereka seringkali berada pada posisi yang
dilematis, antara tuntutan profesi dan perlakukan masyarakat. Mereka dituntut untuk mampu
menghantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan. Namun tatkala mereka berupaya
untuk menegakkan kedisplinan, mereka dihadang oleh UU Perlindungan Anak dan KPAI. Jika
mereka gagal menegakkan kedisiplinan peserta didiknya dan gagal menghantarkan peserta didik
pada pencapaian tujuan pendidikan, kembali pendidik akan menjadi kambing hitam dan tumbal
atas kegagalan tersebut.
Tatkala guru ingin melakukan hukuman terhadap muridnya dalam rangka menegakkan
kedisiplinan, maka secara sepontan orang tua dan masyarakat mengkategorikannya sebagai
tindakan melanggar HAM dan UU Perlindungan Anak. Mereka kemudian melaporkan tindakan
guru tersebut kepada polisi atau kepada KPAID. Dengan kekuatan tersebut, acapkali guru tidak
mendapatkan perlindungan terhadap profesinya. Akibat adanya KPAID dan UU Perlindungan
Anak, eksistensi guru berada pada posisi sangat pasif dan menjadi sosok yang serba salah.[14]
Urgensi UU Guru dan Dosen, secara yuridis, UU Perlindungan Guru dan Dosen telah termuat
dalam UU No 14/2005. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa
pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan
perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.Adapun maksud perlindungan profesi
yang diamanatkan dalam UU No 14/2005 tentang guru dan dosen adalah perlindungan terhadap
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundang-
undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam
menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang
dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugasnya. Sementara perlindungan keselamatan
dan kesehatan kerja meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja,
kecelakaan kerja, kesehatan, dan/atau resiko lainnya.
Eksistensi UU No 14/2005 telah memuat perlindungan terhadap guru atas profesinya.
Implementasi terhadap UU tersebut masih belum terlaksana. UU tersebut lebih banyak disoroti
sebagai kekuatan hukum atas peningkatan kesejahteraan guru/dosen, sementara perlindungan
terhadap profesi guru/dosen seringkali lepas dari perhatian. Jalan tengah perlu diciptakan. Ahli
hukum, tidakmungkin, menutup mata terhadap tindakan oknum guru yang kurang mendidik
dengan memberikan hukuman di luar nilai pendidikan. Mereka bisa saja, meletakkan peserta
didiknya sebagai “penjahat” yang harus “dihabisi,” bukan sosok yang perlu dibimbing dan
diperbaiki. Demikian pula sikap orang tua yang mulai mengalami pergeseran dalam memandang
profesi guru. Mereka terlalu banyak menuntut guru agar dapat mengantarkan peserta didik
sebagai masyarakat terdidik, namun tidak seiring dengan kenyamanan dan perlindungan yang
diberikan.
Menurut penulis, ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan guru dalam menghukum murid
yang bersalah. Pertama, memberikan laporan kepada orang tua murid perihal prilaku anak
mereka dengan cara pemanggilan secara langsung. Tahapan ini dilakukan sebanyak 2 kali
dengan ikut melibatkan guru BK. Kedua, bila selama 2 kali pemanggilan tidak menunjukan
perubahan dan kerjasama yang baik, seorang guru bisa memberikan hukuman dengan syarat :
(1). Hukuman fisik, tidak pada tempat yang vital. (2) Hukuman dilakukan dalam bentuk yang
mendidik. (3) Hukuman dilaksanakan secara adil dan ikut mempertimbangkan aspek psikologis
peserta didik.[15]

Perlindungan Anak Menjadi Mata Kuliah di Fakultas Keguruan dan Ilmu


Pendidikan

Hidayatullah.com–Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai perlunya mata kuliah


perlindungan anak diajarkan di perguruan tinggi khususnya fakultas keguruan dan ilmu
pendidikan/tarbiyah. Hal tersebut dianggap sebagai bentuk “vitamin” bagi calon guru agar
memiliki kompetensi memberikan perlindungan terhadap peserta didik di lingkungan
sekolah/madrasah.

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Susanto menjelaskan, dua regulasi yakni Undang-undang
Sisdiknas dan Perlindungan Anak memiliki spirit yang sama untuk perlindungan anak.
Menurutnya, tidak ada substansi yang bertentangan antara kedua UU tersebut.

“Selama ini ada cara pandang yang membolehkan kekerasan asal dengan tujuan baik. Itu
dianggap lazim dan wajar oleh guru. Padahal dari sistem pedagogi, cara pandang seperti itu
keliru. Dari Undang-undang Sisdiknas dan Perlindungan Anak cara pandang seperti itu
kontraproduktif,” kata Susanto dalam rilisnya.
Susanto juga menolak anggapan bahwa pendidikan anak membutuhkan pendekatan kekerasan
sebagai solusi efektif pendisiplinan siswa. Menurutnya, persepsi perlindungan anak dibutuhkan
setiap pendidik di lingkungan institusi pendidikan.

“Ada persepsi yang mengatakan UU Perlindungan Anak ini menjadi ancaman bagi pendidik dan
institusi pendidikan. Kalau di-break down, asalkan guru menjalankan fungsinya dengan baik tidak
ada ancaman, namun jika guru melakukan tindakan kekerasan tentu konsekuensinya pidana ”
tegasnya di hadapan peserta Forum Diskusi Bersama di Kantor KPAI, Jakarta.

Komisioner KPAI Maria Ulfa Ansor mengatakan, KPAI telah melakukan riset sejak 2012 terhadap
1.200 siswa di beberapa SD, SMP dan SMA di Jabodetabek. Hasilnya, 86 persen anak pernah
mengalami kekerasan di sekolah, sementara 76 persen mengalami kekerasan di keluarga.
Ironisnya, dari riset itu pula diketahui 81 persen siswa ternyata pernah menjadi pelaku
kekerasan.

“Ini menjadi siklus kekerasan yang harus dipotong,” jelas Ulfa.

Sementara itu, Kementerian Agama mengungkapkan problematika dalam pendidikan anak


berawal dari pendidik. Jika seorang pendidik tidak memiliki jiwa pendidik maka akan berdampak
pada murid.

“Kami memiliki fakta ada seseorang yang bukan latar belakang pendidikan tapi memiliki jiwa
pendidik, dan ada pula orang yang memiliki latar belakang pendidikan tapi tidak memiliki jiwa
pendidik,” ujar Kasie Penelitian Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama, Anis
Masykur yang menjadi narasumber dalam forum tersebut.

Menurutnya, sebuah survei menyebutkan kekerasan terhadap murid menyebabkan anak


tersebut mengalami penurunan kecerdasan hingga 40 persen. Oleh sebab itu, metode
pengajaran ramah anak harus diterapkan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang
kondusif.

“Lebih dari itu, kesalahan pada sistem pendidikan kita karena sekarang banyak guru yang
bekerja karena motivasi materi. Ini menjadi persoalan karena mereka mengajar bukan dari hati,”
jelasnya.* http://m.hidayatullah.com/

PROBLEMATIKA HUKUMAN FISIK TERHADAP


SISWA DI ERA REFORMASI
I. Pendahuluan
Guru sebagai ujung tombak penyelenggaraan sistem pendidikan nasional memiliki multifungsi dan
multiperan,antara lain sebagai manager,operator dan sekaligus sebagai evaluator pendidikan.Dalam
melaksanakan fungsi dan perannya,guru memiliki kewenangan untuk melakukan sesuatu hal yang
dianggap perlu guna mencapai tujuan pendidikan,antara lain kewenangan memilih trategi atau
metode mendidik,kewenangan dalam menilai dan menentukan kelulusan siswa,atau kewenangan
memilih dan menggunakan alat pendidikan.
Guru diberi tanggung jawab yang demikian besar oleh negara,yaitu mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mewujukan tujuan pendidikan nasional melalui pengembagan akademik,budi pekerti dan
ketrampilan pada diri peserta didik.Sebagai imbangan dari tanggung jawab yang besar itu maka
gurupun dibekali ilmu pengetahuan dan ketrampilan profesi dan diberi gaji yang besar melalui
sertifikasi pendidik.
Guru didalam melaksanakan tugas profesi di sekolah menghadapi beberapa siswa yang memiliki
pribadi yang berbeda-beda.Perbedaan kharakter siswa kadang membuat suasana belajar
terganggu,pencapaian tujuan pendidikan beragam,dan kedipsiplinan kadang terganggu.Oleh karena
itu,guru dalam melaksanakan tugas mendidiknya diberi kewenangan oleh negara untuk memilih dan
menggunakan alat pendidikan,antara lain memberi hukuman kepada peserta didik sesuai dengan
kaidah pendidikan,sebagaimana yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 14
tahun 2005.
Namun,pada perkembangannya,konsepsi hak asasi manusia yang mencakup hak anak,memberi
jaminan perlindungan terhadap hak-hak anak dari tindak kekerasan melalui Undang-Undang
Perlindungan Anak. Di era reformasi ini kita telah banyak mendengar berita tentang oknum guru yang
berurusan dengan pihak penegak hukum;ditangkap,ditahan,diadili,bahkan ada yang dipenjara karena
tindakannya memberi hukuman fisik kepada siswa dianggap sebagai tindak kekerasan terhadap
anak.
Dengan adanya konsekwensi hukum atas hukuman fisik terhadap peserta didik,maka banyak guru
yang ragu atau takut menghukum siswanya yang pelanggarannya sudah tidak bisa ditolerir,akibatnya
prilaku buruk siswa semakin menjadi-jadi;melakukan tawuran,pengrusakan fasilitas
sekolah,perbuatan asusila,penghinaan terhadap guru/pegawai dan perbuatan lainnya yang kalau
dibina dengan tindakan non fisik saja tidak berpengaruh.Guru menjadi bingun.Di satu sisi,guru
menghendaki hukuman fisik demi merubah prilaku negatif,menegakkan disiplin atau menjaga harga
diri.Namun,di sisi lain guru dibayang-bayangi oleh proses hukum.

B. Hukuman Dalam Pendidikan


Dalam proses pendidikan, yaitu dalam proses pembentukan kepribadian anak, guru diberi
kewenangan untuk memilih dan menggunakan alat pendidikan. Alat pendidikan dipergunakan agar
dalam pembentukan kepribadian anak itu dapat berjalan dengan baik. Alat-alat pendidikan yang kita
kenal di antaranya adalah pemberian contoh dan teladan; ancaman dan ganjaran; perintah dan
larangan; serta hukuman.
Alat pendidikan yang berupa hukuman kadang-kadang memang terpaksa harus digunakan. baik
dalam bentuk fisik dan non fisik.Hukuman non fisik sudah jelas batasannya di dalam tata tertib
sekolah,antara lain membuat pernyataan tidak melanggar lagi,panggilan orang tua dan atau
dikembalikan kepada orang tua.Sedangkan hukum fisik,sampai sekarang masih belum jelas
batasannya,sehingga kadang seorang guru memilih dan menggunakan suatu bentuk hukuman
fisik,namun pilihan atau tindakan guru itu dipersalahkan sebagai perbuatan yang melanggar HAM
dengan tuduhan telah melakukan kekerasan terhadap anak,apalagi kalau yang di hukum secara fisik
itu adalah anak seorang pejabat atau anak anggota parlemen.
Secara historis mulai era orde lama sampai era orde baru, hukuman fisik seperti menjewer atau
mencubit sering dilakukan oleh pendidik, baik di tingkat sekolah dasar sampai dengan sekolah
lanjutan atas. Hukuman tersebut dirasakan oleh guru sangat ampuh untuk mendidik peserta didik
agar lebih berdisiplin dalam melakukan proses pendidikan. Seiring dengan reformasi, disertai dengan
gelombang hak asasi manusia di Indonesia, alat pendidikan berupa hukuman fisik menjadi suatu
hukuman yang dianggap melanggar hak asasi manusia peserta didik. Hal ini diperparah dengan
banyaknya kasus hukuman mendidik yang diselewengkan menjadi suatu penganiayaan terhadap
peserta didik.
Hal ini menyebabkan perubahan perspektif masyarakat dan penegak hukum (kepolisian) dalam
melihat hukuman fisik yang mendidik. Hukuman fisik yang dahulu dianggap sebagai suatu alat
pendidikan, lambat laun dilihat sebagai suatu bentuk pelanggaran ham anak. Keadaan ini merupakan
pisau bermata dua bagi guru, disatu pihak tanpa hukuman mendidik anak didik sulit dikendalikan dan
cenderung membandel; di lain pihak apabila guru menerapkan hukuman mendidik secara fisik dapat
menyebabkan guru yang bersangkutan dilaporkan ke pihak kepolisian karena melakukan
penganiayaan dan pelanggaran ham.
Guru berada di antara dua hal,yaitu memerlukan hukuman fisik untuk menegakkan kedisiplin dan
memperbaiki diri siswa itu sendiri dan pada sisi lain guru harus berhati-hati alam memberi hukuman
fisik,karena salah memilih hukuman fisik maka akan berurusan dengan penegak hukum.Keduanya
diatur oleh undang-undang,Undang-Undang Guru yang memberi kewenangan kepada guru untuk
memilih dan menggunakan hukuman.Sedangkan perundang-undangan HAM anak memungkinkan
guru diproses secara hukum bila hukumannya terhadap siswa masuk dalam kategori tindak
kekerasan/penganiayaan.
Hukuman fisik dalam proses pendidikan amat sulit untuk dihindari,karena guru bukanlah
malaikat,melainkan manusia biasa yang kadang tidak mampu mengendalikan emosi bila menghadapi
siswa yang perkataan atau perbuatannya sudah melampaui batas kewajaran,baik terhadap
sekolah,teman sekolah,maupun terhadap guru itu sendiri.Kalau guru tidak bertindak,maka perilaku
buruk siswa akan menjadi-jadi.Oleh karena itu,diperlukan suatu batasan yang jelas tentang
bagaimana bentuk hukuman fisik yang dibolehkan dilakukan oleh seorang guru,agar kedisiplinan,
kewibawaan guru tetap terjaga dan proses pendidikan siswa itupun bisa berjalan sebagaimana yang
diharapkan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar hukuman fisik yang dilakukan terhadap siswa tidak
disalahgunakan oleh guru,tidak merugikan siswa dan tidak menimbulkan masalah hukum,antara lain:
1. Diperlukan adanya batasan yang jelas tentang bentuk hukuman fisik yang boleh diambil oleh guru
terhadap siswanya.Undang-Undang Guru Nomor 14 Tahun 2005 memberi kewenangan kepada guru
untuk memberi hukuman kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan.Bentuk hukuman
inilah yang kurang jelas,sehingga kadang guru menyalahgunakannya atau guru telah mengambil
tindakan yang dianggap tetap,akan tetapi tindakannya itu berseberangan dengan ham,aturan ham
mempersalahkan tindakan guru tersebut.
2. Diperlukan peran organisasi guru untuk membuat batasan bentuk-bentuk hukuman yang bisa
diambil oleh guru terhadap siswa.Perumusan batasan bentuk hukuman itu,tentu harus melibatkan
pihak kepolisian,komnas HAM atau tokoh masyarakat.Jadi perlu ada nota kesepahaman (MoU)
antara pihak organisasi guru dengan kepolisian,komnas ham dan tokoh masyarakat.
3. Diperlukan peran pemerintah daerah untuk membuat perangkat aturan tentang bentuk hukuman
yang bisa dilakukan oleh guru terhadap siswa.Perangkat aturan itu bisa menjadi acuan bagi guru
dalam memilih dan menggunakan alat pendidikan ini.
4. Diperlukan kesepahaman antara pihak sekolah dengan pihak orang tua dan komite sekolah dalam
merumuskan tata tertib sekolah dan bentuk-bentuk hukuman yang bisa diambil oleh guru terhadap
siswanya.
Dengan adanya keempat hal di atas,maka yakinlah kedisplinan di sekolah bisa terjaga, prilaku siswa
bisa dikendalikan dan gurupun merasa aman dari bayang-bayang penjara

D. Penutup
Memilih dan menggunakan hukuman terhadap peserta didik adalah hak atau kewenangan guru sebagai
tenaga pengajar dan tenaga pendidik.Hukuman hendaknya berada di dalam kaidah pendidikan.
Hukuman fisik kadang menimbulkan masalah hukum terhadap guru karena kadang berseberangan
dengan hak asasi anak.Oleh karena itu diperlukan suatu batasan yang jelas tentang bentuk hukuman
yang dibolehkan dijatuhkan oleh guru terhadap siswa di sekolah.Batasan itu tentunya dibuat oleh
organisasi guru,atau pemerintah daerah yang bekerja sama dengan pihak kepolisian,komnas HAM dan
tokoh masyarakat/dewan pendidikan.
Guru memerlukan jaminan rasa aman dalam memilih dan menggunakan alat pendidikan.Oleh karena
perlu ada jaminan bantuan dan perlindungan hukum terhadap guru yang menghukum siswa dengan
tindakan yang berada dalam batasan yang telah diatur. wacana.siap.web.id

Dalam budaya Korea, pertimbangan yang paling penting bagi seorang pimpinan bukan kepribadian atau
pengalaman kerja, melainkan di Universitas apa orang tersebut belajar. Korea memiliki tingkat kelulusan
SMA 97%, ini adalah yang tertinggi tercatat di negara-negara maju. Sangat menarik untuk dicatat
bahwa 80% sekolah-sekolah di Korea memperbolehkan hukuman fisik.
kanataintan-san.blogspot.co.id

Corporal — physical — punishment of students has a long history, and 20 states still permit its
use. What are the arguments for and against corporal punishment? Should administrators and
teachers be allowed to discipline students physically? Why or why not?

In the article “Schools Under Pressure to Spare the Rod Forever,”Dan Frosch tells the story of one
case, and then puts it into larger context:

When Tyler Anastopoulos got in trouble for skipping detention at his high school recently,
he received the same punishment that students in parts of rural Texas have been getting for
generations.

Tyler, an 11th grader from Wichita Falls, was sent to the assistant principal and given three
swift swats to the backside with a paddle, recalled Angie Herring, his mother. The blows
were so severe that they caused deep bruises and the boy wound up in the hospital, Ms.
Herring said.

While the image of the high school principal patrolling the halls with paddle in hand is
largely of the past, corporal punishment is still alive in 20 states, according to the Center for
Effective Discipline, a group that tracks its use in schools around the country and advocates
for its end. Most of those states are in the South, where paddling remains ingrained in the
social and family fabric of some communities.

Each year, prodded by child safety advocates, state legislatures debate whether corporal
punishment amounts to an archaic form of child abuse or an effective means of discipline.

This month, Tyler, who attends City View Junior/Senior High School, told his story to
lawmakers in Texas, which is considering a ban on corporal punishment. The same week,
legislators in New Mexico voted to end the practice there.

Texas schools, Ms. Herring fumed, appear to have free rein in disciplining a student, “as
long as you don’t kill him.”

“If I did that to my son,” she said, “I’d go to jail.”

Students: Tell us what you think about corporal punishment in school. Is it permitted, and used,
in your state and your school? Do you support or oppose it, and why? What do you think about
the fact that some students and alumni — not just school officials — think corporal punishment
should be used in school?

Students 13 and older are invited to comment below. Please use only your first
name. For privacy policy reasons, we will not publish sKopral - fisik - hukuman dari siswa
memiliki sejarah panjang, dan 20 negara masih mengizinkan penggunaannya. Apa argumen
untuk dan terhadap hukuman fisik? Harus administrator dan guru diizinkan untuk
mendisiplinkan siswa secara fisik? Mengapa atau mengapa tidak?

Dalam artikel "Sekolah Under Pressure untuk Spare Rod Selamanya," Dan Frosch bercerita
tentang satu kasus, dan kemudian menempatkan ke dalam konteks yang lebih besar:

Ketika Tyler Anastopoulos mendapat masalah untuk melewatkan penahanan di SMA-nya baru-
baru ini, ia menerima hukuman yang sama bahwa siswa di bagian pedesaan Texas telah
mendapatkan selama beberapa generasi.

Tyler, seorang siswi kelas 11 dari Wichita Falls, dikirim ke asisten kepala sekolah dan diberikan
tiga swats cepat ke belakang dengan dayung, kenang Angie Herring, ibunya. Pukulan yang begitu
parah sehingga mereka menyebabkan memar yang mendalam dan anak berakhir di rumah sakit,
kata Ms Herring.

Sementara gambar kepala sekolah tinggi berpatroli di lorong-lorong dengan dayung di tangan
sebagian besar dari masa lalu, hukuman fisik masih hidup di 20 negara, menurut Pusat Disiplin
Efektif, kelompok yang melacak penggunaannya di sekolah-sekolah di seluruh negeri dan
pendukung untuk akhir. Sebagian besar negara-negara yang di Selatan, di mana mendayung
tetap tertanam dalam struktur sosial dan keluarga dari beberapa komunitas.

Setiap tahun, didorong oleh pendukung keselamatan anak, legislatif negara memperdebatkan
apakah hukuman fisik sebesar bentuk kuno dari pelecehan anak atau sarana yang efektif disiplin.
Bulan ini, Tyler, yang menghadiri City View SMP / SMA, menceritakan kisahnya kepada anggota
parlemen di Texas, yang sedang mempertimbangkan larangan hukuman fisik. Minggu yang
sama, legislator di New Mexico sebagai untuk mengakhiri praktek di sana.

Sekolah Texas, Ms. Herring kesal, tampaknya memiliki kebebasan dalam mendisiplinkan
mahasiswa, "selama Anda tidak membunuhnya."

"Jika saya melakukan itu untuk anak saya," katanya, "saya akan masuk penjara."

Siswa: Beritahu kami apa yang Anda pikirkan tentang hukuman fisik di sekolah. Apakah
diizinkan, dan digunakan, di negara Anda dan sekolah Anda? Apakah Anda mendukung atau
menentangnya, dan mengapa? Apa pendapat Anda tentang fakta bahwa beberapa mahasiswa dan
alumni - bukan hanya pejabat sekolah - pikir hukuman fisik harus digunakan di sekolah?

Siswa 13 dan lebih tua diundang untuk komentar di bawah ini. Harap hanya menggunakan nama
pertama Anda. Untuk alasan kebijakan privasi, kami tidak akan menerbitkan komentar siswa
yang mencakup nama terakhir.tudent comments that include a last name.

http://learning.blogs.nytimes.com/

Anda mungkin juga menyukai