Anda di halaman 1dari 52

ANALISIS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

INFARK MIOKARD AKUT DENGAN GANGGUAN RASA


AMAN NYAMAN : NYERI AKUT DI RUANG ICU RSUD Dr
SOEDIRMAN KEBUMEN

2017

1
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama :
Tempat/ Tanggal Lahir :
Alamat :
Nomor telepon / HP :
Alamat Email :
Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah saya yang
berjudul :
“ANALISIS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN INFARK MIOKARD
AKUT DENGAN GANGGUAN RASA AMAN NYAMAN : NYERI AKUT
DI RUANG ICU RSUD Dr SOEDIRMAN KEBUMEN”

Bebas dari plagiarisme dan bukan hasil karya orang lain.

Apabila dikemudian hari diketemukan seluruh atau sebagian dari karya ilmiah
tersebut terdapat indikasi plagiarisme, saya bersedia menerima sanksi sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Demikianlah pernyataan ini dibuat dalam keadaan sadar dan tanpa unsur paksaan
dari siapapun.
Kebumen, Agustus 2017
Yang membuat pernyataan,

(..................................)

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan ridhoNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Analisis Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Infark Miokard Akut dengan Gangguan Rasa Aman
Nyaman : Nyeri Akut di Ruang ICU RSUD Dr Soedirman Kebumen”.
Pelaksanaan penelitian ini tidak lepas dari bantuan dan doa semua pihak yang
telah ikhlas memberikannya. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih
kepada:
1. Suamiku dan putra putriku yang telah memberikan dukungan dan doa serta
menjadi penyemangat sehingga diberi kemudahan dalam menyelesaikan
studi di program ilmu keperawatan program profesi ners STIKES
Muhammadiyah Gombong
2. Dr. Bambang Suryanto, M.Kes selaku direktur RSUD Dr. Soedirman
Kebumen yang telah memberikan fasilitas, sarana, dan prasarana yang
diberikan kepada peneliti sehingga mampu menyelesaikan karya ilmiah
akhir ini.
3. Rekan–rekan yang bersama–sama saling mengingatkan dan membantu
serta memotivasi dalam penyusunan karya ilmiah akhir ini.
4. Semua pihak yang tidak memungkinkan untuk penulis sebut satu persatu
yang telah membantu dalam penyusunan karya ilmiah akhir ini.
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga karya ilmiah akhir ini membawa manfaat
bagi pengembang ilmu keperawatan.

Kebumen, Agustus 2017

Penulis

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infark adalah area nekrosis koagulasi pada jaringan akibat iskemia
lokal, disebabkan oleh obstruksi sirkulasi ke daerah itu, paling sering karena
trombus atau embolus (Dorland, 2012). Miokard merupakan jaringan otot
jantung. Infark miokard akut (AMI) atau yang lebih dikenal dengan serangan
jantung adalah suatu keadaan dimana suplai darah pada suatu bagian jantung
terhenti sehingga sel otot jantung mengalami kematian (Robbins, 2007).
Infark miokard sangat mencemaskan karena sering berupa serangan
mendadak, umumnya pada pria usia 35-55 tahun, tanpa ada keluhan
sebelumnya (Tim Penyusun FKUI, 2012)
Miokard infark adalah nekrosis daerah miokardial yang biasanya
disebabkan oleh suplai darah yang terhambat atau terhenti terlalu lama, yang
paling sering akibat adanya trombus akut/mendadak pada coronary
artherosclerotic stenosis, dan manifestasi klinis pertama adalah iskemia
jantung, atau adanya riwayat angina pectoris. Infark Miokard Akut (AMI)
adalah nekrosis miokard akibat gangguan aliran darah ke otot jantung. Infark
Miokard Akut terjadi akibat penyumbatan koroner (pembuluh darah yang
memperdarahi jantung) akut dengan iskemia yang berkepanjangan yang pada
akhirnya menyebabkan kerusakan sel dan kematian (infark) miokard. Iskemia
sendiri merupakan suatu keadaan transisi dan reversible pada miokard akibat
dari ketidakseimbangan antara suplay dan demand miokard yang
menyebabkan hipoksia miokard. Kerusakan ini akan menggangu fungsi
utama jantung dalam mekanis, biokimiawi, dan listrik sehingga jantung tidak
lagi mampu memompa darah secara adekuat untuk dialirkan ke otak dan
organ lain yang akan berlanjut (Fenton, 2009).
AMI merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara
maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada AMI adalah 30% dengan lebih dari
separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai Rumah Sakit. Walaupun

4
laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam dua dekade terakhir, sekitar 1
diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam
tahun pertama setelah AMI (Alwi, 2009).
Menurut laporan WHO, pada tahun 2004, penyakit AMI merupakan
penyebab kematian utama di dunia (WHO, 2008). Terhitung sebanyak
7.200.000 (12,2%) kematian terjadi akibat penyakit ini di seluruh dunia. AMI
adalah penyebab kematian nomor dua pada negara berpenghasilan rendah,
dengan angka mortalitas 2.470.000 (9,4%). Di Indonesia pada tahun 2010,
penyakit Infark Miokard Akut merupakan penyebab kematian pertama,
dengan angka mortalitas 220.000 (14%) (WHO, 2008).
American Heart Association (AHA) melaporkan bahwa angka
kejadian infark miokard akut di Amerika pada tahun 2007 sebanyak 5000
penduduk. Diperkirakan lebih dari 12 juta kasus baru penyakit jantung
koroner setiap tahunnya di seluruh dunia. Data epidemiologis pada tingkat
nasional diantaranya laporan studi mortalitas tahun 2011 oleh Survei
Kesehatan Nasional menunjukkan bahwa penyebab utama kematian di
Indonesia adalah penyakit sistem sirkulasi (jantung dan pembuluh darah)
sekitar 26,39% (Jamal, 2012). Jumlah kasus AMI di Jawa Tengah pada tahun
2007 sebanyak 8.602 kasus. Sedangkan pada tahun 2008 meningkat menjadi
8.939 kasus (Dinkes Propinsi Jateng, 2008). Pada tahun 2009, angka kejadian
AMI mengalami penurunan yaitu 7.399 kasus (Dinkes Propinsi Jateng, 2009).
Kasus AMI di RSUD Dr. Soedirman Kebumen pada periode tahun
2016 sebanyak 150 orang (Rekam Medik RSUD Dr Soedirman Kebumen,
2016).Berdasarkan penjelasan data dan survey awal di atas penulis tertarik
untuk mengetahui pengaruh relaksasi benson terhadap penurunan skala nyeri
dada kiri pada pasien infark miokard akut di ruang ICU RSUD Dr Soedirman
Kebumen.
Keluhan yang khas pada AMI adalah nyeri dada retrosternal (di
belakang sternum), seperti diremas-remas, ditekan, ditusuk, panas atau
ditindih barang berat. Nyeri dapat menjalar ke lengan (umumnya kiri), bahu,
leher, rahang bahkan kepunggung dan epigastrium. Nyeri berlangsung lebih

5
lama dari angina pektoris biasa dan tidak responsif terhadap nitrogliserin.
Kadang-kadang, terutama pada pasien diabetes dan orang tua, tidak
ditemukan nyeri sama sekali. Nyeri dapat disertai perasaan mual, muntah,
sesak nafas, pusing, keringat dingin berdebar-debar atau sinkope dan pasien
sering tampak ketakutan. AMI sering didahului dengan keluhan angina dan
perasaan tidak enak di dada atau epigastrium. Keluhan Nyeri dada kiri sering
mengawali serangan jantung yang memiliki resiko lebih hebat bahkan
kematian.
Nyeri dapat diatasi dengan penatalaksanaan nyeri yang bertujuan
untuk meringankan atau mengurangi rasa nyeri sampai tingkat kenyamanan
yang dirasakan oleh klien. Ada dua cara penatalaksanaan nyeri yaitu terapi
farmakologis dan non-farmakologis. Tindakan perawat untuk menghilangkan
nyeri selain mengubah posisi, meditasi, makan, dan membuat klien merasa
nyaman yaitu mengajarkan teknik relaksasi (Potter & Perry, 2008). Ketepatan
penatalaksanaan nyeri dada kiri pada pasien AMI sangat menentukan
prognosis penyakit. Perawat memiliki peran dalam pengelolaan nyeri dada
kiri pada pasien AMI. Intervensi keperawatan meliputi intervensi mandiri
maupun kolaboratif. Intervensi mandiri antara lain berupa pemberian
relaksasi, sedangkan intervensi kolaboratif berupa pemberian farmakologis.
Intervensi non farmakologis mencakup terapi agen fisik dan intervensi
perilaku kognitif. Salah satu intervensi keperawatan yang digunakan untuk
mengurangi nyeri dada kiri adalah relaksasi Benson.
Relaksasi adalah suatu jenis terapi untuk penanganan kegiatan mental
dan menjauhkan tubuh dan pikiran dari rangsangan luar untuk
mempersiapkan tercapainya hubungan yang lebih dalam dengan pencipta,
yang dapat dicapai dengan metode hypnosis, meditasi yoga, dan bentuk
latihan-latihan yang ada hubungannya dengan penjajakan pikiran (Martha,
2005). Relaksasi Benson merupakan relaksasi menggunakan teknik
pernapasan yang biasa digunakan di rumah sakit pada pasien yang sedang
mengalami nyeri dengan tidak menggunakan tegangan otot sehingga sangat
tepat untuk mengurangi nyeri dada kiri pada kasus AMI. Kelebihan dari

6
latihan teknik relaksasi dibandingkan teknik lainnnya adalah lebih mudah
dilakukan dan tidak ada efek samping apapun (Solehati & Kosasih, 2015).
Relaksasi Benson merupakan pengembangan metode respons relaksasi
dengan melibatkan faktor keyakinan pasien, yang dapat menciptakan suatu
lingkungan internal yang tenang sehingga dapat membantu pasien mencapai
kondisi kesehatan dan kesejahteraan lebih tinggi (Benson & Proctor, 2012).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah : “BagaimanaAnalisis Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Infark Miokard Akut Dengan Gangguan Rasa Aman Nyaman : Nyeri Akut Di
Ruang ICU RSUD Dr. Soedirman Kebumen?”.

C. Tujuan
1) Tujuan Umum
Menganalisis asuhan keperawatan pasien infark miokard akut dengan
masalah nyeri akut
2) Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi hasil pengkajian pada pasien infark miokard akut
dengan masalah nyeri akut
b. Memaparkan hasil rumusan diagnosa pada pasien infark miokard akut
dengan masalah nyeri akut
c. Memaparkan hasil intervensi pada pasien infark miokard akut dengan
masalah nyeri akut
d. Memaparkan hasil implementasi pada pasien infark miokard akut
dengan masalah nyeri akut
e. Memaparkan hasil evaluasi pada pasien infark miokard akut dengan
masalah nyeri akut
f. Menganalisis salah satu intervensi dengan inovasi terbaru

7
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan atau sumber informasi serta
dasar pengetahuan bagi para mahasiswa keperawatan dan dapat dijadikan
sebagai materi latihan dalam mengurangi nyeri pada pasien infark
miokard akut dengan terapi relaksasi benson.
2. Bagi Institusi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bukti nyata akan efek terapi
relaksasi benson terhadap penurunan skala nyeri sehingga dapat dijadikan
sebagai suatu Standar Operasional Prosedur (SOP) atau Standar Asuhan
Keperawatan (SAK) untuk mengurangi nyeri pada pasien infark miokard.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya dan
menjadi referensi, khususnya yang mengangkat topik terapi penurunan
skala nyeri selain terapi relaksasi benson.
4. Bagi Pasien
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang cara alternatif
untuk menurunkan skala nyeri pada pasien infark miokard akut dengan
terapi relaksasi benson.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Masalah Keperawatan


1. Infark Miokard Akut
a. Pengertian
Infark adalah area nekrosis koagulasi pada jaringan akibat
iskemia lokal, disebabkan oleh obstruksi sirkulasi ke daerah itu,
paling sering karena trombus atau embolus (Dorland, 2011).
Iskemia terjadi oleh karena obstruksi, kompresi, ruptur karena
trauma dan vasokonstriksi. Obstruksi pembuluh darah dapat
disebabkan oleh embolus, trombus atau plak aterosklerosis.
Kompresi secara mekanik dapat disebabkan oleh tumor, volvulus
atau hernia. Ruptur karena trauma disebabkan oleh aterosklerosis
dan vaskulitis. Vaskokonstriksi pembuluh darah dapat disebabkan
obat -obatan seperti kokain (Wikipedia, 2010). Infark miokard
adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung yang
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen (Fenton, 2009). Klinis sangat mencemaskan karena sering
berupa serangan mendadak umumya pada pria 35-55 tahun, tanpa
gejala pendahuluan (Santoso, 2005).

b. Etiologi dan Faktor Predisposisi


Menurut Alpert (2010), infark miokard terjadi oleh
penyebab yang heterogen, antara lain:
1). Infark miokard tipe 1
Infark miokard secara spontan terjadi karena ruptur plak, fisura,
atau diseksi plak aterosklerosis. Selain itu, peningkatan
kebutuhan dan ketersediaan oksigen dan nutrien yang
inadekuat memicu munculnya infark miokard. Hal-hal tersebut
merupakan akibat dari anemia, aritmia dan hiper atau hipotensi.

9
2). Infark miokard tipe 2
Infark miokard jenis ini disebabkan oleh vaskonstriksi dan
spasme arteri menurunkan aliran darah miokard.
3). Infark miokard tipe 3
Pada keadaan ini, peningkatan pertanda biokimiawi tidak
ditemukan. Hal ini disebabkan sampel darah penderita tidak
didapatkan atau penderita meninggal sebelum kadar pertanda
biokimiawi sempat meningkat.
4). a. Infark miokard tipe 4a
Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard
(contohnya troponin) 3 kali lebih besar dari nilai normal akibat
pemasangan percutaneous coronary intervention (PCI) yang
memicu terjadinya infark miokard.
b.Infark miokard tipe 4b
Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent
trombosis.
5). Infark miokard tipe 5
Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai normal.
Kejadian infark miokard jenis ini berhubungan dengan operasi
bypass koroner.
Ada empat faktor resiko biologis infark miokard yang tidak
dapat diubah, yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga.
Resiko aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya
usia. Penyakit yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun.
Faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat
memperlambat proses aterogenik (Santoso, 2005).
Faktor- faktor tersebut adalah abnormalitas kadar serum
lipid, hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, faktor psikososial,
konsumsi buah-buahan, diet dan alkohol, dan aktivitas fisik

10
(Ramrakha, 2006). Menurut Anand (2008), wanita mengalami
kejadian infark miokard pertama kali 9 tahun lebih lama daripada
laki-laki. Perbedaan onset infark miokard pertama ini diperkirakan
dari berbagai faktor resiko tinggi yang mulai muncul pada wanita
dan laki-laki ketika berusia muda. Wanita agaknya relatif kebal
terhadap penyakit ini sampai menopause, dan kemudian menjadi
sama rentannya seperti pria. Hal diduga karena adanya efek
perlindungan estrogen (Santoso, 2005).
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor
resiko adalah hiperlipidemia. Hiperlipidemia adalah peningkatan
kadar kolesterol atau trigliserida serum di atas batas normal. The
National Cholesterol Education Program (NCEP) menemukan
kolesterol LDL sebagai faktor penyebab penyakit jantung koroner.
The Coronary Primary Prevention Trial (CPPT) memperlihatkan
bahwa penurunan kadar kolesterol juga menurunkan mortalitas
akibat infark miokard (Brown, 2006).

c. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik seringkali normal. Apabila
ditemukan tanda-tanda gagal jantung atau instabilitas
hemodinamik, sebaiknya segera ditentukan diagnosis dan
penatalaksanaan yang tepat. Peran penting dari pemeriksaanfisik
yakni untuk mengekslusi penyebab nyeri dada nonkardiak dan
penyakit jantung non-iskemik misalnya emboli paru, diseksi aorta,
perikarditis, penyakit jantung valvular (European Society of
Cardiology, 2012).

11
d. Penatalaksanaan Infark Miokard Akut
1. Penatalaksanaan Medis
Menurut Smetlzer (2012): Tujuan dari penatalaksanaan
medis adalah memperkecil kerusakan jantung sehingga
mengurangi terjadinya komplikasi. Kerusakan jantung
diperkecil dengan cara, segera mengembalikan keseimbangan
antara kebutuhan dan suplai oksigen jantung tetapi obat-obatan,
pemberian oksigen dan tirah baring dilakukan secara
bersamaan untuk tetap mempertahankan fungsi jantung. Obat-
obatan dan oksigen digunakan untuk mengurangi kebutuhan
oksigen, sementara tirah baring dilakukan untuk mengurangi
kebutuhan oksigen. Hilangnya nyeri merupakan indikator
utama bahwa kebutuhan dan suplai telah mencapai
keseimbangan.
Ada tiga kelas obat-obatan yang biasa digunakan untuk
meningkatkan suplai oksigen Smeltzer dan Bare, 2013).
a). Vasodilator
Vasodilator pilihan untuk mengurangi nyeri jantung
adalh nitrogliserin. Nitrogliserin menyebabkan dilatasi
arteri dan vena, sehingga menurunkan jumlah darah yang
kembali ke jantung (pre load) dan mengurangi beban kerja
(viorkload) jantung.
b). Antikoagulan
Heparin digunakan untuk membantu
mempertahankan integritas jantung. Dengan
memperpanjang waktu pembekuan darah dapat
menurunkan kemungkinan pembentukan trombus dan akan
menurunkan aliran darah.

12
c). Trombosit
Tujuan trombosit untuk melarutkan setiap trombus
yang telah terbentuk di arteri koroner, memperkecil
penyumbatan dan juga luasnya infark, contohnya
steptokinase atau anti streptease, selain itu pemberi
analgetik juga bisa diberikan. Morfin dapat menurunkan
tekanan dalam kapiler paru, mengurangi perembasan cairan
ke jaringan paru dan menurunkan kecepatan napas. Diuretik
bisa diberikan untuk vasodilatasi dan penimbunan darah di
pembuluh darah perifer, contohnya furosemide (lasix).
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut Doenges(2010) dasar data pengkajian yang perlu
diperhatikan pada pasien dengan infark miokard adalah sebagai
berikut :
a). Aktivitas
Pasien sering mengalami kelemahan, kelelahan, tidak
dapat tidur. Ditandai adanya takikardia dan dispnea pada
saat istirahat maupun beraktivitas.
b). Sirkulasi
Adanya riwayat infark miokard sebelumnya,
penyakit arteri koroner, gagal jantung kronis, masalah
tekanan darah dan diabetes mellitus perlu ditanyakan pada
pasien. Ditandai dengan tekanan darah dapat normal atau
naik atau turun, nadi dapat normal penuh atau tak kuat juga
bisa lemah tapi kuat, dan disritmia.
c). Nyeri atau ketidaknyamanan
Nyeri dada yang timbulnya mendadak atau tidak
berhubungan dengan aktivitas, tida hilang dengan istirahat
skala nyeri 1-10. Hal ini ditandai dengan wajah meringis,
menangis, merintih. Perubahan frekuensi atau irama
jantung, tekanan darah, pernapasan, warna kulit, kesadaran.

13
d). Pernapasan
Pada pasien infark dapat terjadi dispnea, batuk
dengan atau tanpa produksi sputum, riwayat merokok dan
pernapasan kronis, ditandai dengan peningkatan frekuensi
pernapasan, napas sesak, pucat, sianosis.
Tindakan keperawatan utama pada paisen infark meliputi sebagai
berikut (Corwin, 2011) :
1. Diberikan oksigen untuk meningkatkan oksigen darah sehingga beban
atau jantung berkurang dan perfusi sistemik meningkat.
2. Pembahasan aktivitas fisik untuk mengurangi beban kerja jantung
membantu membatasi luas kerusakan.
3. Obat untuk menghilangkan nyeri untuk menenangkan pasien juga
sebagai vasodilator yang bekerja menurunkan preload dan afterload,
contohnya morfin.
4. Diberikan diuretik untuk mencegah kelebihan volume serta timbulnya
gagal jantung kongestif.

2. Nyeri
a. Pengertian
Asosiasi International untuk Penelitian Nyeri (International
Association for the Study of Pain, IASP) mendefinisikan nyeri
sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang
tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang
aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian
dimana terjadi kerusakan (Potter dan Perry, 2006). Nyeri adalah
sensasi ketidaknyamanan yang dimanifestasikan sebagai
penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata,
ancaman, dan fantasi luka (Tamsuri, 2007).

14
Nyeri adalah sensasi yang sangat tidak menyenangkan dan
sangat individual yang tidak dapat dibagi dengan orang.Nyeri
dapat memenuhi seluruh pikiran seseorang, mengubah kehidupan
orang tersebut.Akan tetapi, nyeri adalah konsep yang sulit
dikomunikasikan oleh klien (Berman, 2009).
Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang
tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang aktual dan
potensial (Judha, 2012).Nyeri adalah perasaan yang tidak nyaman
yang sangat subjektif dan hanya orang yang mengalaminya yang
dapat menjelaskan dan mengevaluasi perasaan tersebut (Mubarak,
2007).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa nyeri adalah kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan
bersifat sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap
orang dalam hal skala atau tingkatnnya, dan hanya orang
tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri
yang dialaminya.

b. Fisiologi Nyeri
Bagaimana nyeri merambat dan dipersepsikan oleh individu
masih belum sepenuhnya dimengerti.Akan tetapi, bisa tidaknya
nyeri dirasakan dan hingga derajat mana nyeri tersebut
mengganggu dipengaruhi oleh interaksi antara sistem algesia tubuh
dan transmisi sistem saraf serta interpretasi stimulus (Mubarak,
2008).Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi dan perilaku.
Stimulus penghasil nyeri mengirim impuls melalui serabut
saraf perifer. Serabut nyeri memasuki medulla spinalis dan menjadi
salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai didalam
massa berwarna abu-abu di medulla spinalis.Terdapat pesan nyeri
dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah
stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa

15
hambatan ke korteks serebral.Sekali stimulus nyeri mencapai
korteks serebral, maka otak mengiterpretasi kualitas nyeri dan
memproses informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang
lalu (Potter dan Perry, 2006).

c. Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi menurut Andarmoyo (2013) adalah sebagai berikut:
1) Berdasarkan durasi nyerinya dibedakan menjadi nyeri akut dan
nyeri kronik
a. Nyeri Akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera
akut, penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki awitan
yang cepat dengan intensitas yang bervariasi (ringan
sampai berat). Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivasi
sistem saraf simpatis yang akan memperlihatkan gejala-
gejala seperti peningkatan respirasi, peningkatan tekanan
darah, peningkatan denyut jantung dan dilatasi pupil.
Pasien yang mengalami nyeri akut biasanya juga akan
memperlihatkan respon emosi dan perilaku seperti
menangis, mengerang kesakitan, mengerutkan wajah atau
meringis. Nyeri akut akan berhenti dengan sendirinya dan
akhirnya menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah
keadaan pulih pada area yang terjadi kerusakan yang
berlangsung dari beberapa detik hingga enam bulan.
b. Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten
yang menetap sepanjang periode waktu yang cukup lama
dan biasanya berlangsung lebih dari enam bulan selain itu
nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan
yang diarahkan pada penyebabnya.Manifestasi klinis yang
tampak pada nyeri kronis sangat berbeda dengan yang

16
diperlihatkan oleh nyeri akut.Manifestasi yang biasanya
muncul berhubungan dengan respon psikossosial seperti
rasa keputusan, kelesuan, penurunan libido (gairah
seksual), penurunan berat badan, mudah tersinggung,
marah, tidak tertarik pada aktivitas fisik. Secara verbal
nyeri kronik mungkin akan melaporkan adanya
ketidaknyamanan, kelemahan, dan kelelahan.

2) Berdasarkan lokasi dibedakan menjadi enam jenis yaitu nyeri


superfisiak, nyeri somatik dalam, nyeri viseral, nyeri alih, dan
nyeri sebar menurut Tamsuri (2007):
a. Nyeri Superfisial
Biasanya timbul akibat stimulasi terhadap kulit
seperti pada laserasi, luka bakar, dan sebagainya.Nyeri jenis
ini memiliki durasi yang pendek, terlokalisir, dan memiliki
sensasi yang tajam.
b. Nyeri Somatik
Nyeri yang terjadi pada otot dan tulang serta
struktur penyokong lainnya, umumnya nyeri bersifat
tumpul dan distimulasi dengan adanya peregangan dan
iskemia.
c. Nyeri Viseral
Nyeri yang disebabkan oleh kerusakan organ
internal.Nyeri yang timbul bersifat difus dan durasinya
cukup lama.
d. Nyeri Sebar (radiasi)
Sensasi nyeri yang meluas dari daerah asal ke
jaringan sekitar.Nyeri jenis ini biasanya dirasakan oleh
klien seperti berjalan/ bergerak dari daerah asal nyeri ke
sekitar atau ke sepanjang bagian tubuh tertentu.

17
e. Nyeri Alih
Nyeri yang timbul akibat adanya nyeri viseral yang
menjalar ke organ lain, sehingga dirasakan nyeri pada
beberapa tempat atau lokasi.

d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri


Menurut Potter dan Perry (2006) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi respon nyeri sebagai berikut:
1) Usia
Merupakan variabel penting yang dapat mempengaruhi
nyeri, terutama pada anak dan lanjut usia (lansia). Perbedaan
kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana respon anak
dan lansia terhadap nyeri. Anak yang masih kecil mempunyai
kesulitan memahami nyeri yang diakibatkan oleh tindakan
keperawatan.Mereka belum dapat mengucapkan kata-kata
untuk mengungkapkan secara verbal dan mengekspresikan
nyeri kepada orang tua atau petugas kesehatan.Sedangkan pada
lansia, perawat harus melakukan pengkajian secara lebih rinci
ketika seseorang lansia melaporkan adanya rasa nyeri.Kondisi
nyeri lansia mengalami lebih dari satu area tempat. Lansia
terkadang pasrah terhadap apa yang mereka rasakan dan
menganggap hal tersebut merupakan konsekuensi penuaan yang
dianggap tidak bisa dihindari.
2) Jenis Kelamin
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara
bermakna dalam respon nyeri. Toleransi nyeri sejak lama telah
menjadi subyek penelitian yang melibatkan pria dan wanita,
akan tetapi toleransi terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor
biokimia dan merupakan hal yang unik pada setiap individu
tanpa memperhatikan jenis kelamin.

18
3) Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai kebudayaan mempengaruhi
cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang
diharapkan dan yang diterima oleh kebudayaan mereka. Budaya
dan etnisitas berpengaruh pada respon seseorang terhadap
nyeri.Sejak dini pada masa kanak-kanak, individu belajar di
sekitar mereka respon nyeri yang dapat diterima dan tidak
diterima. Harapan dan nilai-nilai budaya perawat dapat
mencakup cara menghindari ekspresi nyeri yang berlebih,
seperti meringis atau menangis yang berlebih. Individu
akhirnya akan yakin bahwa persepsi dan reaksi mereka
terhadap nyeri adalah normal dan dapat diterima.
4) Makna Nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri
mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang
beradaptasi terhadap nyeri. Hal ini juga dikaitkan secara dekat
dengan latar belakang budaya individu tersebut. Individu akan
mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda-beda.
5) Perhatian
Tingkat seseorang klien memfokuskan perhatiannya pada
nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri.Perhatian yang
meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat,
sedangkan upaya pengalihan atau distraksi dihubungkan dengan
respon nyeri yang menurun.
6) Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat
kompleks.Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri
tetapi nyeri juga menimbulkan suatu perasaan ansietas.Stimulus
nyeri mengaktifkan bagian sistem limbik yang diyakini
mengendalikan emosi seseorang khususnya ansietas.Sistem

19
limbik dapat memprotes reaksi emosi terhadap nyeri, yakni
memperburuk atau menghilangkan nyeri.
7) Keletihan
Keletihan yang dirasakan seseorang akan meningkatkan
persepsi nyeri menyebabkan sensasi rasa nyeri semakin intensif
dan menurunkan kemampuan koping.
8) Pengalaman sebelumnya
Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa
individu akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa
yang datang. Apabila individu sejak lama sering mengalami
serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh maka rasa takut
akan muncul atau sebaliknya, akhirnya seseorang akan lebih
siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk
menghilangkan nyeri.
9) Gaya Koping
Nyeri dapat menyebabkan ketidakmampuan baik
sebagian maupun keseluruhan, seringkali menemukan berbagai
cara untuk mengembangkan koping terhadap efek fisik dan
psikologis nyeri. Sumber-sumber koping seperti dengan
keluarga pendukung melakukan latihan atau menyanyi dapat
digunakan untuk memahami koping selama nyeri.
10) Dukungan Keluarga dan Sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung
pada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh
dukungan, bantuan atau perlindungan. Kehadiran mereka akan
meminimalkan kesepian dan ketakutan.

20
e. Efek Nyeri
Menurut Potter dan Perry (2006) Sensasi nyeri
menimbulkan efek terhadap individu yang merasakan, yaitu
meliputi:
1) Tanda dan gejala fisik akibat nyeri
Respon fisiologi terhadap nyeri dapat menunjukkan
keberadaan dan sifat nyeri dan ancaman yang potensial
terhadap kesejahteraan klien serta ancaman yang potensial
terhadap kesenjangan hidup.Nyeri juga dapat meningkatkan
denyut jantung, tekanan darah dan frekuensi pernafasan.
2) Indikator Perilaku Efek Nyeri
Reaksi terhadap nyeri merupakan respons fisiologis dan
perilaku yang terjadi setelah mempersepsikan nyeri. Pada
respon fisiologis, sistem saraf otonom terstimulus bersamaan
dengan naiknya impuls-impuls nyeri ke medula spinalis hingga
batang otak dan talamus. Pada awalnya, sistem saraf simpatis
berespons, menyebabkan respons melawan atau menghindar.
Stimulasi dari cabang saraf simpatis pada sistem saraf otonom
mengakibatkan respons fisiologis seperti peningkatan respirasi,
peningkatan denyut jantung, vasokontriksi, peningkatan
tekanan darah, ketegangan otot. Apabila nyeri berlanjut, maka
sistem saraf parasimpatis mulai bereaksi.
Adaptasi terhadap nyeri ini terjadi setelah beberapa jam
atau beberapa hari mengalami nyeri (Potter & Perry, 2009).
Seseorang dapat belajar menghadapi nyeri melalui aktivitas
kognitif dan perilaku, seperti distraksi, guided imagery dan
banyak tidur. Individu dapat berespons terhadap nyeri dan
mencari intervensi fisik untuk mengatasi nyeri, seperti
analgesik, masase, dan olahraga (Kozier,2010). Gerakan tubuh
dan ekspresi wajah dapat mengindikasikan adanya nyeri,
seperti gigi mengatup, menutup mata dengan rapat, wajah

21
meringis, merengek, menjerit dan imobilisasi tubuh
(Kozier,2009).
f. Karakteristik Nyeri
Laporan tunggal klien tentang nyeri yang dirasakan merupakan
indikator tunggal yang paling dapat dipercaya tentang keberadaan
dan intensitas nyeri dan apapun yang berhubungan dengan
ketidaknyamana.Nyeri juga bersifat individualistik.Pengkajian
karakteristik umum nyeri membantu perawat membentuk
pengertian pola nyeri dan tipe terapi yang digunakan untuk
mengatasi nyeri. Menurut (Potter dan Perry, 2006) ada beberapa
kriteria pengkajian nyeri seperti:
1) Lokasi
Untuk mengkaji lokasi nyeri, perawat meminta klien untuk
menunjukan semua daerah yang dirasa tidak nyaman. Untuk
melokalisasi nyeri dengan lebih spesifik, perawat kemudian
meminta klien melacak daerah nyeri dan titik yang paling
nyeri, Hal ini sulit dilakukan apabila nyeri bersifas difus,
meliputi beberapa tempat atau melibatkan segmen terbesar
tubuh. Perawat dapat menggambarkan lokasi nyeri klien
seperti dengan diagram tubuh manusia. Hal ini dapat
bermanfaat sebagai patokan dasar apabila nyeri berubah.
2) Awitan dan Durasi
Mungkin lebih mudah untuk mendiagnosa sifat nyeri
dengan mengidentifikasi faktor waktu.Misalnya, tipe-tipe
tertentu nyeri kepala dapat dikenali dengan mengidentifikasi
waktu terjadi nyeri.Awitan nyeri yang berat dan mendadak
lebih mudah dikaji daripada nyeri yang bertahap atau
ketidaknyamanan yang ringan.Pemahaman tentang siklus
waktu nyeri membantu perawat untuk mengetahui kapan harus
melakukan intervensi sebelum terjadi atau memperburuk nyeri.

22
3) Keparahan
Karakteristik paling subjektif pada nyeri adalah tingkat
keparahan atau intensitas nyeri tersebut.Klien seringkali
diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan,
sedang atau parah.Namun, makna istilah-istilah ini berada bagi
perawat dan klien.
4) Kualitas
Karakteristik subyektif nyeri yang lain adalah kualitas nyeri
itu sendiri. Karena tidak terdapat perbendaharaan kata nyeri
yang khusus atau umum, kata-kata yang seorang klien pilih
untuk mendeskripsikan nyeri dapat diterapkan pada suatu hal
dengan jumlah berapapun.Seringkali klien mendeskripsikan
nyeri sebagai sensasi remuk, berdenyut, tajam atau
tumpul.Nyeri yang klien rasakan seringkali tidak dapat
dijelaskan.Perawat sebaiknya tidak memberikan kata-kata
deskriptif pada klien. Pengkajian akan lebih akurat apabila
klien mampu mendeskripsikan sensasi yang dirasakannya
setelah perawat mengajukan pertanyaan terbuka.
5) Pola Nyeri
Berbagai faktor mempengaruhi karakter nyeri.Faktor-faktor
ini membantu perawat mengkaji peristiwa atau kondisi spesifik
yang mempresipitasi dan memperburuk nyeri.Perawat meminta
klien untuk mendeskripsikan aktivitas yang menyebabkan
nyeri.Perawat juga meminta klien mendemonstrasikan aktivitas
yang menimbulkan respon nyeri. Setelah perawat
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempresipitasi atau
memperburuk, akan lebih mudah bagi perawat merencanakan
intervensi untuk mencegah supaya nyeri tidak terjadi atau tidak
semakin memburuk.

23
g. Pengukuran Nyeri
1) Skala Nyeri Numerik (Numerical Rating Scale)
Numerical

0 1 2 3 4 6 7 8 9 10
Gambar 2.1 Rentang skala nyeri numerical (Potter and
Perry, 2006)

Numerical Rating Scale (NRS) merupakan pengukuran


nyeri dimana klien diminta untuk memberikan angka 1 sampai
10.Nol diartikan tidak ada nyeri sedangkan 10 diartikan rasa
nyeri yang hebat dan tidak tertahankan oleh klien. Pengukuran
ini lebih mudah dipahami oleh klien baik diberikan secara lisan
maupun dengan mengisi form kuesioner (Andarmoyo, 2013).
2) Skala Verbal Deskriptif (Verbal Descriptif Scale)

Tidak Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri


ada ringan sedang berat sangat
nyeri berat
Gambar 2.2 Rentang skala nyeri descriptive (Tamsuri, 2007)
Verbal Descriptie Scale (VDS) berisi kata sifat yang
menunjukkan derajat nyeri secara ekstrim (misalnya: tidak
sampai sangat nyeri sekali). Seseorang ditanya untuk memilih
kata sifat yang tepat sesuai dengan intensitas nyerinya (Potter
dan Perry, 2006).
3) Skala Analog Visual (Visual Analog Scale)

Tidak nyeri Sedikit Sedang

24
(Nyeri berat) (Nyeri hebat) (Nyeri yang tidak tertahankan)
Gambar 2.3 Visual Analog Scale (Judha, 2012)
Visual Analog Scale (VAS) dapat digunakan untuk
mengetahui tingkat nyeri, skala ini terdiri dari enam wajah
kartun yang diurutkan dari seseorang yang tersenyum (tidak
ada rasa sakit), meningkat wajah yang kurang bahagia hingga
ke wajah yang sedih, wajah penuh dengan air mata (Potter dan
Perry, 2006).

h. Penatalaksanaan Nyeri
1) Terapi Nyeri Farmakologis
Manajemen nyeri yang dialami pasien melalui intervensi
farmakologi dengan dokter atau pemberi perawatan utama
lainnya.Namun demikian, perawatan yang harus
mempertahankan pemberian analgesik, mengkaji keefektifannya
dan melaporkan jika intervensi tersebut tidak efektf dan
menimbulkan efek samping. Analgesik merupakan metode yang
paling umum untuk mengatasi nyeri. Walaupun analgesik dapat
menghilangkan nyeri denga efektif, perawat dan dokter masih
cenderung tidak melakukan upaya analgesik dalam penanganan
nyeri karena informasi obat yang tidak benar, karena adanya
kekhawatiran klien akan mengalami ketagihan obat, cemas akan
melakukan kesalahan dalam menggunakan analgesik narkotik
dan pemberikan obat yang kurang dari yang diresepkan. (Potter
dan Perry, 2006).
Ada tiga jenis analgesik menurut Potter dan Perry (2006),
yakni:

25
a) Analgesik Non Narkotik
Asetaminofen, aspirin, NSAID(Non Steroidal Anti
Inflammatory Drugs) dan obat inhibitor COX-2 adalah
contoh-contoh yang umum dari analgesik golongan non
narkotik.Obat-obatan ini sering digunakan untuk
manajemen nyeri pertama bagi kategori ringan sampai
sedang, seperti nyeri yang terkait dengan artritis reumatoid,
prosedur pengobatan gigi dan prosedur bedah minor,
episiotomi, dan masalah pada punggung bagian bawah.Satu
pengecualian, yaitu ketorolak (Toradol), merupakan agen
analgesik pertama yang dapat diinjeksikan yang
kemanjurannya dapat dibandingkan dengan morfin.Ada
berbagai macam NSAID (Non Steroidal Anti Inflammatory
Drugs)dengan dosis yang sangat bervariasi dan dosis ini
sebaiknya disesuaikan dengan masing-masing
individu.Salah satu NSAID yang sering digunakan adalah
ibuprofen.
Kebanyakan NSAID bekerja pada reseptor saraf
perifer untuk mengurangi transmisi dan resepsi stimulus
nyeri.Kerja dari aspirin, acetaminofen dan NSAID sangat
bergantung pada besarnya dosis yang diberikan. Bila rasa
nyeri tidak juga kurang, maka obat-obatan ini biasanya akan
diresepkan dengan dosis yang lebih tinggi atau berlebihan.
Ketorolak adalah suatu obat analgesik inflamasi non
steroid yang menunjukkan efek analgesik yang moderat bila
diberi secara intramuskuler atau intravaskuler. Obat ini
diberikan sebagai analgesik post operasi baik sebagai obat
tunggal maupun sebagai opioid suplemen (Sukandar &
Andrajati, 2008). Ketorolak 30 mg sebagai dosis tunggal
yang diberikan secara intramuskuler atau intravaskuler
diberikan setiap 6-8 jam.Ketorolak sebagai obat analgesia

26
sebanding dengan 10 mg morfin (Sukandar & Andrajati,
2008).Maksimum plasma konsentrasi tercapai pada 45-60
menit, dan lama waktu kerja obat analgesik secara
parenteral selama 6 jam.
b) Analgesik Golongan Narkotik
Analgesik narkotik umumnya diresepkan untuk
nyeri yang sedang sampai berat, seperti nyeri pascaoperasi
dan nyeri maligna.Ini bekerja pada sistem saraf pusat untuk
menghasilkan kombinasi efek yang mendepresi dan
menstimulasi.Analgesik narkotik, apabila diberikan secara
oral atau injeksi, bekerja pada pusat otak yan lebih tinggi
dan medulla spinalis melalui ikatan dengan reseptor opiat
untuk memodifikasi persepsi nyeri dan reaksi terhadap
nyeri.
Contoh analgesik narkotik yaitu meperidin,
metilmorfin, morfin sulfat, fentanil, butofanol, hidromorfon
HCL.Morfin sulfat merupakan derivat opium dan memiliki
karakteristik efek analgesik seperti meningkatkan ambang
nyeri, mengurangi kecemasan dan ketakutan, menyebabkan
orang tertidur.Bahaya morfin sulfat dan analgesik narkotik
adalah berpotensi mendepresi fungsi sistem saraf yang
vital.Opiat menyebabkan depresi pernafasan di dalam
batang otak.Klien juga mengalami efek samping, seperti
mual, muntah, konstipasi, dan perubahan proses mental.
c) Adjuvan
Adjuvan seperti sedatif, anticemas dan relaksan otot
meningkatkan kontrol nyeri atau menghilangkan gejala lain
yang terkait dengan nyeri, seperti depresi dan mual. Agens
tersebut diberikan dalam bentuk tunggal atau disertai
ananalgesik.Sedatif serigkali diresepkan untuk penderita
nyeri kronik.Contoh adjuvan yaitu amitriptilin, hidroksin,

27
klorpromazin, diazepam.Obat-obatan ini dapat
menimbulkan rasa kantuk dan kerusakan koordinasi,
keputusan, dan kewaspadaan mental.Penyalahgunaan
sedatif dan agens anticemas meruapakan masalah kesehatan
yang serius yang menyebabkan gangguan perilaku.

2) Tindakan Peredaan Nyeri Non Farmakologis


Manajemen nyeri non farmakologis merupakan tindakan
menurunkan respon nyeri tanpa menggunakan agen
farmakologi.Pemberian melakukan intervensi dengan teknik non
farmakologi merupakan tindakan independen dari seseorang
perawat dalam mengatasi respon nyeri klien (Andarmoyo, 2013).
Manajemen nyeri non farmakologis menurut Tamsuri (2007)
yaitu teknik distraksi, teknis massage, teknik relaksasi,
immobilisasi, kompres, terapi musik, dan guided imaginary.

3. Terapi Relaksasi Benson


a. Pengertian Relaksasi Benson
Relaksasi adalah suatu jenis terapi untuk penanganan
kegiatan mental dan menjauhkan tubuh dan pikiran dari
rangsangan luar untuk mempersiapkan tercapainya hubungan yang
lebih dalam dengan pencipta, yang dapat dicapai dengan metode
hypnosis, meditasi yoga, dan bentuk latihan-latihan yang ada
hubungannya dengan penjajakan pikiran (Martha, 2005). Relaksasi
benson merupakan pengembangan metode respon relaksasi dengan
melibatkan faktor keyakinan pasien, yang dapat menciptakan suatu
lingkungan internal sehingga dapat membantu pasien mencapai
kondisi kesehatan dan kesejah teraan lebih tinggi (Purwanto,
2006).

28
b. Macam-Macam Relaksasi Benson
1). Relaksasi Pernafasan Diafragma
Pernafasan diafragma merupakan pernafasan yang pelan,
sadar, dan dalam. Metode ini melibatkan gerakan sadar abdomen
bagian bawah atau daerah perut. Pernafasan diafragma berfokus
pada sensasi tubuh semata dengan merasakan udara mengalir dari
hidung atau mulut secara perlahan-lahan menuju ke paru dan
berbalik melalui jalur yang sama sehingga semua indra lain
rangsanganya dihambat.
2). Relaksasi Nafas Dalam
Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk
asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan
kepada klien bagaimana cara melakukan napas dalam, napas
lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana
menghembuskan napas secara perlahan.
3). Muscle relaxation (Relaksasi Otot)
Teknik ini bertujuan untuk memberikan rasa nyaman pada
otot otot. Ketika terjadi stress otot otot pada beberapa bagian tubuh
menjadi menegang seperti otot leher, pungung, lengan. Teknik
dilakukan dengan caramerasakan perubahan dan sensasi pada otot
bagian tubuh tersebut. Teknik dapat dilakukan dengan meletakkan
kepala diantara kedua lutut (kira kira selama 5 detik dan
merebahkan badan ke belakang secara berlahan selama 30 detik,
sikap ini dilakukan terus secara berulang sambil
merasakan perubahan pada otot otot tubuh sambil menarik nafas
dalam.
4). Autogenic relaxation
Autogenic relaxation merupakan jenis relaksasi yang
diciptakan sendiri oleh individu bersangkutan. Cara seperti ini
dilakukan dengan mengabungkan imajinasi visual dan dengan
menarik nafas secara perlahan.

29
5). Relaksasi Benson
Respon relaksasi dengan melibatkan faktor keyakinan
pasien, yang dapat menciptakan suatu lingkungan internal sehingga
dapat membantu pasien mencapai kondisi kesehatan dan kesejah
teraan lebih tinggi.
Relaksasi Benson yaitu suatu tehnik pengobatan untuk
menghilangkan nyeri, insomnia (tidak bisa tidur) atau kecemasan.
Cara pengobatan ini merupakan bagian pengobatan spiritual. Pada
tehnik ini pengobatan sangat fleksibel dapat dilakukan dengan
bimbingan mentor, bersama-sama atau sendiri. Tehnik ini
merupakan upaya untuk memusatkan perhatian pada suatu fokus
dengan menyebut berulang-ulang kalimat ritual dan
menghilangkan berbagai pikiran yang mengganggu. Tehnik
pengobatan ini dapat dilakukan setengah jam dua kali sehari.

c. Tujuan Relaksasi Benson


Soeharto (2009) menyatakan bahwa tujuan teknik relaksasi
napas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli,
memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru,
meningkatkan efesiensi batuk, mengurangi stress baik stress fisik
maupun emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri dan
menurunkan kecemasan serta menurunkan tekanan darah sistolik
dan diastolic.
d. Keuntungan Relaksasi Benson
Relaksasi benson merupakan pengembangan metode respon
relaksasi pernafasan dengan melibatkan faktor keyakinan pasien,
yang dapat menciptakan suatu lingkungan internal sehingga dapat
membantu pasien mencapai suatu kondisi kesehatan dan
kesejahteraan yang lebih tinggi (Benson & Proctor 2000, dalam
Purwanto, 2006). Keyakinan memiliki pengaruh fisik atau bahkan
jiwa manusia yaitu relevan dan berpengaruh dalam terapi dan

30
pencegahan penyakit manusia secara genetika memiliki kebutuhan
akan keyakinan dan mendapatkan makanan dari keyakinan.
Keyakinan dapat mempengaruhi dan menyembuhkan hingga 90%
keluhan medis (Cecep, 2015).

e. Langkah – Langkah Relaksasi Benson (Menurut Purwanto (2006)


adalah) :
1. Membentuk suasana sekitar tenang, menghindarkan dari
kebisingan
2. Menarik nafas dalam melalui hidung, dan jaga mulut tetap
tertutup, hitungan sampai 3 tahan selama inspirasi
3. Kemudian hembuskan lewat bibir seperti meniup dan ekspirasi
secara perlahan dan lewat sehingga terbentuk suara hembusan
tanpa mengembungkan dari pipi
4. Membaca kalimat – kalimat sesuai keyakinan, misalnya jika
beragama Islam membaca istighfar
5. Lakukan sebanyak 5 – 7 kali

Untuk berhenti jangan langsung, duduklah dulu dan


beristirahat.Buka pikiran kembali. Barulah berdiri dan melakukan
kegiatan kembali. Menurut Benson, yang menemukan tehnik ini,
cara ini bisa diubah misalnya tidak dengan posisi duduk tapi
dilakukan sambil melaksanakan gerakan jasmani.

31
BAB III
LAPORAN MANAJEMEN KASUS KELOLAAN

A. Profil Lahan Praktek


1. Profil RSUD Dr. Soedirman Kebumen
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Kebumen
berdiri sejak tahun 1917 yang dikelola oleh misi Zending Belanda.
Sejak tahun 1953, RSUD Kabupaten Kebumen resmi menjadi milik
Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen. Berdasarkan Surat
Keputusan Menteri kesehatan RI Nomor 233/Menkes/SK/VI/1983
tentang Penetapan Tambahan Beberapa Rumah Sakit Umum
Pemerintah sebagai Rumah Sakit Umum Pemerintah Kelas B dan C,
maka RSUD Kabupaten Kebumen menjadi Rumah Sakit Pemerintah
kelas C. Tahun 2003, RSUD Kabupaten kebumen berubah menjadi
Badan Pengelolaan (Eselon II) sesuai Peraturan Daerah Nomor 54
Tahun 2003.
Setelah dalam kurun waktu 98 tahun RSUD Kebumen
beroperasi di Dusun Bojong Kelurahan Panjer Kecamatan Kebumen,
tepatnya di selatan jalan kereta api disebelah barat Stasiun Kebumen.
Gedung di Lokasi ini merupakan peninggalan Belanda, dan strategis
pada zaman dahulu karena dekat dengan stasiun, rel kereta api, dan
sungai besar. Namun kondisi ini sudah tidak strategis lagi dimasa
sekarang, dan efektif sejak 1 maret 2015 Operasional RSUD Kebumen
pindah secara keseluruhan ke gedung baru yang beralamat di Jalan
Lingkar Selatan Desa Muktisari Kecamatan Kebumen. Bersamaan
dengan kepindahan tersebut, RSUD Kabupaten Kebumen resmi
mempergunakan nama RSUD dr. Soedirman Kebumen, dengan
ditetapkannya Peraturan Bupati Nomor 18 Tahun tahun 2014 tentang
Pola Tata Kelola pada RSUD dr. Soedirman Kebumen. Dr. Soedirman
adalah direktur ke-2 setelah dr. Goelarso. Dikarenakan tidak dapat

32
dilacaknya ahli waris dr. Goelarso maka dipilihlah nama dr. Soedirman
yang memenuhi persyaratan perijinan ahli waris.
Surat Keputusan Bupati Nomor 445/565/2010 tanggal 10
Desember 2010 tentang Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten
Kebumen sebagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang
menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
Daerah (BLUD), maka RSUD Kabupaten Kebumen menerapkan PPK
BLUD di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kebumen dengan Status
Penuh. Penetapan sebagai BLUD tersebut dalam upaya untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, dengan menerapkan pola
pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa
keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat.Hal
tersebut untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat khususnya
di bidang kesehatan dalam rangka memajukan kesejahteraan umum.
RSUD Dr. Soedirman Kebumen yang memiliki VISI ”Menjadi
RS Modern, Profesional, Pusat Rujukan Kegawatan Medik dan
Spesialistik”. MISI RSUD Dr. Soedirman Kebumen adalah :
1. Menyelenggarakan pelayanan kegawatan medik dan pelayanan
kesehatan tingkat spesialistik yang bermutu untuk seluruh
masyarakat;
2. Modernisasi sistem, sarana dan prasarana pelayanan yang sesuai
standar nasional kelas B;
3. Menyelenggarakan pendidikan SDM yang mendukung
profesionalisme dan daya saing;
4. Meningkatkan kemampuan keuangan untuk mendukung
kemandirian dan pengembangan layanan.

33
MOTTO RSUD Dr. Soedirman Kebumen adalah SENYUM (
Sigap, Empati, Nyaman, Unggul dan Memuaskan. Selain itu RSUD
Dr. Soedirman Kebumen juga memiliki tata nilai yang memberikan
landasan sikap dan perilaku karyawan dalam menjalankan tugas, yaitu
:
1. Keiklasan
Setiap karyawan RSUD Dr. Soedirman melandasi setiap aktivitasnya
dengan ikhlas sebagai bagian daripada ibadah kepada Tuhannya dan
amal saleh kepada sesama manusia.
2. Keramahan
Dalam melaksanakan aktivitasnya setiap karyawan RSUD Dr.
Soedirman selalu mengedepankan sikap ramah dalam melayani
pelanggan.
3. Pembelajaran
Setiap karyawan RSUD Dr. Soedirman memiliki minat dan
mendapatkan dorongan dan sarana untuk menjalani proses
pembelajaran dalam setiap aktivitas yang dijalani.
4. Kebersamaan
Dalam melaksanakan aktivitasnya setiap karyawan RSUD Dr.
Soedirman selalu mengedepankan kerja sama tim yang saling
menolong satu sama lain dalam hal menegakkan kebenaran.
5. Kedisiplinan
Setiap aktivitas karyawan RSUD Dr. Soedirman yang dijalankan selalu
dilandasi dengan kedisiplinan yang tinggi sebagai upaya mencapai
kinerja yang optimal.

2. Gambaran Lahan Praktik Ruang ICU


Intensif Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit
yang mandiri (instalasi di bawah direktur pelayanan), dengan staf
khusus dan perlengkapan yang khusus yang ditujukan untuk observasi,
perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cidera

34
atau penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam
nyawa. ICU menyediakan kemampuan dan sarana, prasarana serta
peralatan khusus untuk menunjang fungsi-fungsi vital dengan
menggunakan ketrampilan sfat medik, perawat dan staf lain yang
berpengalaman dalam pengelolaan keadaan-keadaan tersebut.
Berdasarkan peraturan Direktur RSUD Dr. Soedirman Kebumen No
445/483/kep/2016 ICU berubah menjadi Instalasi Rawat Intensif yang
dikepalai oleh seorang dokter Anestesiologi. Kapasitas Instalasi Rawat
Intensif berjumlah 14 bed.
Instalasi Rawat Intensif terletak di lantai dua betrsebelahan
dengan Ruang IBS.Secara teori dengan lay out ruangan dengan desain
huruf L. ruang Instalasi Rawat Intensif sudah memnuhi surat dengan
penempatan dan pembagian ruangan yang tepat.
Fasilitas lain di Instalasi Rawat Intensif yaitu adanya ruangan
pertemuan yang biasanya digunakan perawat atau mahasiwa praktik
untuk berdiskusi. Ruang perawat diruang Instalasi Rawat Intensif
digunakan untuk menempatkan tas dan barang-barang perawat,
ruangan ini bisa digunakan untuk tempat solat dan terdapat toilet untuk
perawat.
Ruang cuci digunakan untuk pencucian alat makan pasien oleh
petugas, selain itu terdapat terdapat pemisahan sampah sampah medis
dengan non medis yang ditempatkan pada masing-masing ember besar
sesuai dengan jenis sampahnya. 10 besar penyakit di Instalasi Rawat
Intensif yaitu CHF, Stroke, Post Laparatomy, AMI, PEB + SC, Sepsis,
DHF/DSS, CKD, BRPN, PJB.

35
B. Ringkasan Proses Asuhan Keperawatan
1. Ringkasan Proses Pengkajian
a. Resume Pasien I
Tn. H (60 tahun) seorang laki-laki, beragama islam, alamat klirong,
status menikah, pendidikan terakhir SD bekerja sebagai pedagang.
Tn. H mengeluh nyeri dada sejak pagi, belum BAB sejak 3 hari
yang lalu, sudah berobat ke puskesmas klirong tetapi tidak ada
perubahan, 1 jam sebelum masuk rumah sakit nyeri bertambah,
kemudian klien dibawa ke IGD RSUD Dr. Soedirman Kebumen.
Kondisi saat ini klien mengeluh nyeri dada sebelah kiri, nyeri
seperti tertekan benda berat, nyeri dirasa hilang timbul, skala nyeri
7, nyeri bertambah saat beraktifitas berat dan berkurang dengan
tiduran. Saat pengkajian didapatkan hasil keadaan umum klien
tampak menahan nyeri dengan skala 7, klien juga mengeluh nyeri
ulu hati. TD: 130/60 mmHg, Nadi: 102x/menit, RR: 24x/menit,
Suhu: 360C, kesadaran Composmentis, GCS: 15 E4M6V5. Riwayat
penyakit dahulu, klien belum pernah mengalami keluhan serupa,
klien juga tidak mempunyai riwayat penyakit seperti hipertensi,
kolesterol tinggi dan TBC. Klien mengatakan anggota keluarganya
yang lain tidak ada yang menderita penyakit seperti klien.

b. Resume Pasien II
Ny. S (51 tahun) seorang perempuan, beragama islam, alamat
banyumas, status menikah, pendidikan terakhir SMA bekerja
sebagai ibu rumah tangga. Ny. S datang dari ruang IGD dengan
keluhan nyeri dada sebelah kiri, mengatakan tidaknyaman saat
beraktivitas, sakit kepala pada saat bangun tidur, dan gangguan
penglihatan.Kondisi saat ini klien mengeluh nyeri dada sebelah
kiri, nyeri menyebar di bagian dada., nyeri dirasa hilang timbul,
skala nyeri 8, nyeri bertambah saat berjalan dan berkurang dengan
tiduran. Saat pengkajian didapatkan hasil keadaan umum klien

36
tampak menahan nyeri dengan skala 8, klien juga mengeluh sakit
kepala.. TD: 150/80 mmHg, Nadi: 92x/menit, RR: 22x/menit,
Suhu: 360C, kesadaran Composmentis, GCS: 15 E4M6V5. Riwayat
penyakit dahulu, klien pernah mondok dengan penyakit hipertensi
dan jantung di RSUD Banyumas, klien mempunyai riwayat
penyakit hipertensi, keluarga yang lain tidak ada yang memiliki
penyakit seperti klien atau penyakit yang menular.

c. Resume Pasien III


Tn D (54 tahun) seorang laki-laki, beragama islam, status
menikah, alamat adipala, pendidikan terakhir SMP bekerja sebagai
buruh. Tn D datang dari IGD dengan keluhan nyeri dada, nyeri
dirasakan sangat nyeri seperti rasa terbakar dan ditindih benda
berat. Keluhan dirasakan menjalar ke lengan kiri tetapi keluhan
agak berkurang jika klien istirahat. Kondisi saat ini klien mengeluh
nyeri dada, nyeri seperti terbakar, nyeri dirasa hilang timbul, skala
nyeri 7, nyeri bertambah saat beraktifitas berat dan berkurang
dengan tiduran. Saat pengkajian didapatkan hasil keadaan umum
klien tampak menahan nyeri dengan skala 7. TD : 140/100 mmHg,
Nadi 89x/menit, RR : 26 x/menit, Suhu : 360C, infus RL 20 tpm.
Tidak ada riwayat penyakit menular.

d. Resume Pasien IV
Tn. M (65 tahun) laki-laki, beragama islam, alamat kebumen status
menikah, pendidikan terakhir SMP bekerja sebagai pedagang. ± 3
hari yang lalu pasien sehabis bangun tidur, perut terasa sakit, dada
ampeg, lemes. Kemudian di bawa ke IGD RSUD Dr. Soedirman,
oleh dokter yang memeriksanya pasien dirawat di ICU mendapat
infus RL 16 tpm, dan injeksi rantin 2 ml/12 jam secara iv.Saat
dikaji klien mengeluh dada ampeg dan lemes, klien mengatakan
nyeri seperti ditindih beban, dengan skala nyeri 8, nyeri hilang

37
timbul kurang lebih dalam rentan waktu 5 menit. Pasien juga
mengatakan mual muntah, tidak nafsu makan, berat badan klien
sebelum sakit 47kg berat badan sekarang 43kg. Pasien terlihat
gelisah dan sering bertanya dengan kondisi kesehatannya saat ini.
TD : 130/90 mmHg, Nadi : 90x/menit, RR : 26x/menit, Suhu :
36,60C. Klien mengatakan dahulu pernah sesak nafas, mempunyai
riwayat merokok, hipertensi, tidak ada riwayat obat anti
tuberkulosa, dalam keluarganya ada ibunya yang mengalami
jantung.

e. Resume PasienV
Ny. P (68 tahun) perempuan, beragama islam, alamat kebumen
status menikah, pendidikan terakhir SD, alamat pejagoan, bekerja
sebagai pedagang. Klien mengeluhkan nyeri hebat di dada, seperti
di cengkeram menjalar dari tengah ke dada kiri ke rahang dan
lengan kiri, oleh keluarga klien di bawa ke IGD RSUD Dr.
Soedirman.. Saat dikaji klien mengeluh nyeri hebat di dada, susah
bernafas, klien mengatakan nyeri nyeri hebat di dada, seperti di
cengkeram, dengan skala nyeri 8, nyeri hilang timbul kurang lebih
dalam rentan waktu 5 menit. Klien terlihat tampak menahan nyeri,
gelisah. TD : 190/80 mmHg, Nadi : 90x/menit, RR : 26x/menit,
Suhu : 36,50C. Sekitar 5 tahun yang lalu klien dirawat di RSU
Sruweng dengan sakit jantung, hipertensi, setelah itu tidak pernah
control. Dalam keluarganya tidak ada yang mempunyai penyakit
yang sama.

2. Diagnosa Keperawatan
Data-data yang sudah didapatkan pada saat pengkajian
kemudian dianalisis untuk menegakkan masalah keperawatan serta
menghitung skoring untuk menetapkan prioritas masalah yang ingin
diatasi. Berdasarkan hasil skoring tersebut didapat bahwa diagnosis

38
prioritas yang ingin diatasi yaitu diagnosa nyeri akut. Nyeri akut
adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
yang muncul akibat kerusakan jaringan yang actual atau potensial atau
digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (International
Assoctiation for the study of pain) : awitan yang tiba-tiba atau lambat
dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi
atau diprediksi dan berlangsung < 6 bulan (NANDA, 2015). Masalah
keperawatan lain yang muncul ansietas. Ansietas yaitu perasaan tidak
nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai respons otonom
(sumber sering kali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu),
perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Hal
ini merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan individu
akan adanya bahaya dan memampukan individu untuk bertindak
menghadapi ancaman.

3. Rencana Asuhan Keperawatan


Diagnosis Keperawatan nyeri akut pada pasien infark miokard
akut. Tujuan umum yaitu setelah dilakukan intervensi, pasien (infark
miokard akut) mampu mengontrol nyeri, melaporkan bahwa nyeri
berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri, mampu mengenali
nyeri, menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang, tidak
mengalami gangguan tidur.
a. Tujuan khusus 1 :
Setelah dilakukan intervensi selama 2x15 menit, diharapkan klien
mampu mengontrol nyeri ditandai dengan :
1. Klien mampu mengetahui penyebab nyeri
2. Klien mampu menjelaskan pengalaman nyeri yang pernah
dirasakan sebelumnya
3. Klien mampu mengontrol nyeri dengan teknik non
farmakologi (terapi benson)
4. Klien mampu mencari bantuan saat nyeri timbul

39
b. Tujuan khusus 2 :
Setelah dilakukan intervensi selama 2x15 menit, diharapkan klien
mampu mengontrol nyeri ditandai dengan :
1. Klien mampu menyatakan bahwa nyeri berkurang dengan
menggunakan manajemen nyeri
2. Klien mampu menerima nyeri fisiologis yang dialami
c. Tujuan khusus 3
Setelah dilakukan intervensi selama 2x15 menit, diharapkan klien
mampu mengontrol nyeri ditandai dengan :
1. Klien mampu mengenali skala nyeri
2. Klien mampu mengenali frekuensi nyeri
3. Klien mampu mengenali tanda nyeri
d. Tujuan khusus 4
Setelah dilakukan intervensi selama 2x15 menit, diharapkan klien
mampu mengontrol nyeri ditandai dengan :
1. Klien mampu meningkatkan istirahat
2. Klien tidak menunjukkan tanda nyeri

4. Implementasi
Implementasi yang dilakukan oleh perawat kepada kelima
klien dengan infark miokard akut berdasarkan perencanaan mengenai
diagnosis yang telah dibuat sebelumnya yaitu asuhan keperawatan
gadar. Implementasi yang dilakukan untuk mengatasi nyeri akut pada
klien dengan infark miokard akut yaitu mengajarkan cara mengontrol
nyeri dengan mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda
nyeri), penyebab nyeri dan mengajarkan teknik non farmakologi.
Implementasi mulai dilakukan pertama kali tanggal 07 Januari 2017
pukul 14.00 WIB yaitu pada kunjungan pertama. Implementasi yang
dilakukan yaitu mengajarkan cara mengontrol nyeri pada tujuan
khusus pertama hingga ke empat.

40
Pada tujuan khusus pertama, yaitu mendiskusikan dengan klien
penyebab nyeri yang dirasakan oleh klien infark miokard akut dimulai
dari penjelasan mengenai efek yang ditimbulkan setelah di diagnosis
infark miokard akut. Setelah klien paham mengenai penyebab nyeri,
kemudian dilanjutkan dengan diskusi tentang pengalaman nyeri
sebelumnya dan teknik cara mengontrol nyeri yang sudah pernah
dilakukan, kemudian jika klien belum tahu teknik cara mengontrol
nyeri maka dilanjutkan dengan mengajarkan teknik non farmakologi
untuk mengurangi nyeri seperti melakukan relaksasi benson. Teknik
ini langsung dipraktekan di tempat tidur klien. Setelah klien paham,
maka intervensi dilanjutkan dengan memberi penjelasan kepada klien
untuk segera mencari bantuan saat nyeri timbul semakin hebat.
Berdasarkan respon yang diberikan oleh klien, maka dapat
disimpulkan bahwa klien dianggap telah mengenal dan mengerti cara
mengontrol nyeri menggunakan teknik non farmakologi, maka akan
dilanjutkan pada tujuan khusus kedua.
Pada tujuan khusus kedua, yaitu setelah klien melakukan
teknik cara mengontrol nyeri selanjutnya menganjurkan klien untuk
menyatakan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen
nyeri serta klien mampu menerima nyeri fisiologis yang dialami.
Tujuan khusus ketiga yaitu klien mampu mengenali skala
nyeri, frekuensi nyeri dan tanda nyeri. Implementasi pertama pada
tujuan khusus ketiga ini yaitu membantu klien mengenali frekuensi
nyeri dan tanda nyeri. Implementasi pertama pada tujuan khusus ketiga
ini yaitu membantu klien mengenali rentang nyeri yang dialami dari
rentang nilai 1 sampai 10. Skala 1-3 nyeri ringan, 4-6 nyeri sedang dan
7-10 nyeri berat. Setelah klien mampu mengenali skala nyeri yang
dirasakannya selanjutnya mengenali frekuensi nyeri. Sebagai contoh
yaitu nyeri seperti diremas-remas, ditimpa beban berat, terbakar, atau
yang lainnya dan klien mampu mengekspresikan rasa nyeri yang
dialami.

41
Tujuan khusus keempat yaitu klien meningkatkan istirahat
danklien tidak menunjukan tanda-tanda nyeri. Implementasi pada
tujuan khusus keempat ini yaitu mengevaluasi nyeri berkurang ditandai
dengan klien mampu beristirahat danklien sudah tidak menunjukan
tanda-tanda nyeri kembali. Hal ini berarti klien mampu mengontrol
nyeri dengan cara manajemen nyeri.

5. Evaluasi
Asuhan keperawatan gadar pada klien dengan infark miokard
akut dilakukan selama 3 kali pertemuan pada setiap klien, terdiri dari
pengkajian selama 3 kali pertemuan dan 3 kali implementasi dan 3 kali
pertemuan untuk terminasi. Evaluasi yang ingin dijabarkan oleh
penulis terdiri dari rangkuman dari semua implementasi yang telah
dilakukan kepada masing-masing klien infark miokard akut. Evaluasi
yang didapatkan selama 11 kali pertemuan kepada kelima klien infark
miokard akut yaitu pada pertemuan pertama melakukan pengkajian
pada kelima klien infark miokard akut dan menemukan masalah
keperawatan yang muncul dan melakukan intervensi. Evaluasi dimulai
pada tanggal 07 Januari 2017 pukul 16.30 WIB. Pada pertemuan kedua
dilakukan implementasi untuk tujuan khusus pertama hingga keempat
yaitu membantu cara mengontrol nyeri dengan cara mengenal nyeri,
mengenal penyebab nyeri, sehingga klien mampu menyatakan bahwa
nyeri berkurang dan klien merasa nyaman serta mampu meningkatkan
istirahat.
Selama pertemuan dan intervensi yang telah dilakukan selama
2 kali pertemuan pada setiap klien dengan infark miokard akut dalam
membina hubungan kerjasama yang baik dengan mahasiswa untuk
mengatasi masalah keperawatan yang dialami klien yaitu nyeri akut.
Selama 2 kali pertemuan, awalnya ada beberapa klien yang kurang
mampu mengontrol nyerinya, akan tetapi pada pertemuan kedua

42
setelah di evaluasi, klien sudah mampu mengontrol nyeri yang muncul
dengan teknik relaksasi benson dan skala nyeri berkurang.

43
BAB IV
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Karakteristik Pasien


Pada bab ini penulis menjelaskan tentang karakteristik masing-
masing klien dengan infark miokard akut di ruang ICU RSUD Dr.
Soedirman Kebumen.
Tabel 1.1 Karakteristik klien infark miokard akut di ruang ICU RSUD Dr.
Soedirman Kebumen.
Karakteristik Frekuensi (n=5) Persentase
Usia
51 - 55 tahun 2 40%
56 - 65 tahun 3 60%
Tingkat Pendidikan
SD 2 40%
SMP 2 40%
SMA 1 20%
Pekerjaan
Ibu Rumah Tangga 2 40%
Pedagang 2 40%
Buruh 1 20%
Riwayat Jantung
Tidak pernah 2 40%
1kali 2 40%
2 kali 1 20%
Riwayat Hipertensi
Tidak pernah 1 20%
1 kali 3 60%
2 kali 1 20%

Tabel diatas menunjukan bahwa responden paling banyak termasuk dalam


rentang usia 56-65 tahun yaitu 3 orang (60%), berpendidikan SD dan SMP
yaitu 2 orang (40%) dan 2 orang (40%), bekerja sebagai ibu rumah tangga
sebanyak 2 orang (40%), pedagang 2 orang (40%), buruh 1 orang (20%),
riwayat jantung dua kali yaitu 1 orang (20%) jantung satu kali yaitu 2
orang (40%), tidak pernah 2 orang (40%). Riwayat hipertensi dua kali

44
yaitu 1 orang (20%), hipertensi satu kali yaitu 3 orang (60%), tidak pernah
1 orang (20%).

B. Analisis Masalah Keperawatan


Diagnosa keperawatan adalah proses menganalisis data subjektif
dan objektif yang telah diperoleh pada tahap pengkajian untuk
menegakkan diagnosis keperawatan. Selain itu, diagnosis keperawatan
adalah seni dalam mengidentifikasi masalah dari tanda dan gejala yang ada
dan merupakan pernyataan atau kesimpulan yang berfokus pada sifat dasar
dari kondisi atau masalah (Deswani,2009). Infark adalah area nekrosis
koagulasi pada jaringan akibat iskemia lokal, disebabkan oleh obstruksi
sirkulasi ke daerah itu, paling sering karena trombus atau embolus
(Dorland, 2012). Miokard merupakan jaringan otot jantung. Miokard
infark adalah nekrosis daerah miokardial yang biasanya disebabkan oleh
suplai darah yang terhambat atau terhenti terlalu lama, yang paling sering
akibat adanya trombus akut/mendadak pada coronary artherosclerotic
stenosis, dan manifestasi klinis pertama adalah iskemia jantung, atau
adanya riwayat angina pectoris. Infark Miokard Akut (AMI) adalah
nekrosis miokard akibat gangguan aliran darah ke otot jantung. Infark
Miokard Akut terjadi akibat penyumbatan koroner (pembuluh darah yang
memperdarahi jantung) akut dengan iskemia yang berkepanjangan yang
pada akhirnya menyebabkan kerusakan sel dan kematian (infark) miokard
Seperti yang dirasakan oleh kelima klien dengan infark miokard
akut, mereka mengalami nyeri saat beraktifitas. Masing-masing klien
memiliki karakteristik dalam penilaian nyeri yang berbeda-beda.
Karakteristik nyeri dapat diukur atau dilihat berdasarkan lokasi nyeri,
durasi nyeri (menit, jam, hari, bulan) irama/periodenya (terus menerus,
hilang timbul, periode bertambah atau berkurangnya intensitas) dan
kualitas (nyeri seperti ditusuk, terbakar, sakit nyeri dalam atau superficial)
dan dapat juga dilihat berdasarkan metode PQRST. P : Provocate, Q :
Quality, R : Region, S : Scale, T : Time (Judha, 2012).

45
Data subjektif : 2 klien mengatakan nyeri dada sebelah kiri dan 3 klien
mengatakan nyeri dada.nyeri seperti tertindih beban berat, terbakar dan
seperti dicengkeram.Dua klien mengatakan skala nyeri 7, tiga klien
mengatakan skala nyeri 8.
Data objektif : klien nampak meringis kesakitan, menahan nyeri,
memejamkan mata menahan nyeri. Teknik pengurangan nyeri yang telah
kelima klien ini lakukan yaitu berbaring atau mengurangi aktivitas gerak.
Berdasarkan data klien tersebut, maka penulis mengangkat sebagai
diagnosa aktual. Menurut Deswani, (2009) diagnosa aktual terdiri atas tiga
bagian problem, etiologi, tanda dan gejala. Menggunakan kata
penghubung berhubungan dengan.
Penulis memprioritaskan diagnosa ini, karena kebutuhan rasa
nyaman atau terbebas dari nyeri merupakan kebutuhan dasar manusia
secara fisiologis. Rasa tidak nyaman ini ditunjukan dengan tanda dan
gejala seperti ketika ada nyeri, pasien menunjukkan perilaku protektif dan
tidak tenang (Hidayat, 2007). Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan
yang harus dipenuhi, karena jika tidak terpenuhi dapat berpengaruh
terhadap kebutuhan yang lain. Selain diagnosa tersebut muncul diagnosa
lainnya antara lain: resiko penurunan curah jantung.

C. Analisis Salah Satu Intervensi Yang Dikaitkan Dengan Konsep dan


Hasil Penelitian Terkini
Perencanaan adalah bagian dari tahap proses keperawatan yang
meliputi tujuan perawatan, penetapan kriteria hasil, penetapan rencana
tindakan yang akan diberikan kepada klien untuk memecahkan masalah
yang dialami klien serta rasional masing-masing rencana tindakan yang
akan diberikan kepada klien (Hutahaean, 2010).
Intervensi keperawatan disesuaikan dengan kondisi klien dan
fasilitas yang ada, sehingga rencana tindakan dapat diselesaikan dengan
kriteria hasil menggunakan SMART yaitu S (Spesific) dimana tujuan harus
spesifik dan tidak menimbulkan arti ganda, M (Measurable) dimana tujuan

46
keperawatan harus dapat diukur, khususnya tentang perilaku pasien : dapat
dilihat, didengar, diraba dan dibau, A (Achievable) dimana harus dapat
dicapai, R (Reasonable) dimana tujun harus dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah, T (Time) mempunyai batasan waktu yang jelas (Nursalam,
2008).
Salah satu rencana tindakan keperawatan yang dilakukan pada
kelima klien dengan tujuan dan kriteri hasil yaitu setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 2x 24 jam, diharapkan nyeri teratasi dengan
kriteria hasil yaitu pasien menyatakan nyeriberkurang, tanda-tanda vital
dalam rentang normal (120/80 mmHg), Nadi 60-100x/menit), pernafasan
16-24x/menit), pasien tampak rileks.
Rencana keperawatan menurut Wilkinson (2007) berdasarkan NIC
(Nursing Intervention Classification) dan NOC (Nursing Outcome
Classification) untuk diagnose nyeri antara lain kaji tanda-tanda vital
untuk mendeteksi adanya perubahan system tubuh (Hidayat, 2004). Kaji
karakteristik nyeri (PQRST) yang sebagai indikator tunggal yang paling
dapat dipercaya tentang keberadaan dan intensitas nyeri dan apapun yang
berhubungan untuk mengatasi nyeri (Potter& Perry, 2005). Berikan posisi
nyaman dengan rasional untuk meningkatkan kenyamanan pasien. Ajarkan
teknik nonfarmakologi antara lain relaksasi benson, distraksi (
mendengarkan musik, menonton TV, kompros dingin dan masase) dengan
rasional untuk melepaskan ketidaknyamanan dan stress serta berguna
untuk merelaksasikan otot (Potter & Perry, 2005). Hasil penelitian oleh
Lip(2016), menyebutkan bahwa sebagian besar 21 % pasien infark
miokard mengalami nyeri dada. Penanganan nyeri dengan foot hand
massage sangat efektif untuk mengatasi nyeri. Foot hand massage sendiri
adalah bentuk massage pada kaki atau tangan yang didasarkan pada premis
bahwa ketidak nyamanan atau nyeri diarea spesifik kaki atau tangan
berhubungan dengan bagian tu buh atau gangguan (Stillwell, 2011).
Menurut Furlan, (2014) massage telah ditemukan untuk menghasilkan
respon relaksasi dan massage berdampak positif untuk pengurangan nyeri.

47
D. Inovasi Tindakan Keperawatan Untuk Pemecahan Kasus
Selain lima implementasi unggulan yang telah dilakukan yaitu
monitor TTV, mengkaji karakteristik nyeri, memberikan posisi nyaman,
mengajarkan teknik non farmakologi cara mengontrol nyeri dengan cara
RELAKSASI BENSON serta melakukan kolaborasi dengan dokter
pemberian terapi analgetik, ada beberapa intervensi lainnya yang telah
dilakukan untuk mengatasi nyeri akut pada klien dengan infark miokard
akut yaitu mengajarkan cara mengontrol nyeri dengan menggunakan terapi
Foot hand massage.

48
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Hasil pengkajian yang didapatkan pada kelima pasien dengan infark
miokard akut antara lain data subyektif,2 klien mengatakan nyeri dada
sebelah kiri dan 3 klien mengatakan nyeri dada.nyeri seperti tertindih
beban berat, terbakar dan seperti dicengkeram.Dua klien mengatakan
skala nyeri 7, tiga klien mengatakan skala nyeri 8. Data objektif : klien
nampak meringis kesakitan, menahan nyeri, memejamkan mata
menahan nyeri. Teknik pengurangan nyeri yang telah kelima klien ini
lakukan yaitu berbaring atau mengurangi aktivitas gerak.
2. Diagnosa Keperawatan yang muncul pada kelima pasien infark
miokard akut yaitu nyeri akut
3. Intervensi keperawatan yang disusun pada kelima pasien infark
miokard akut dengan masalah nyeri akut adalah diskusi dengan pasien
penyebab nyeri yang dirasakan, ajarkan cara mengontrol nyeri, ajarkan
teknik non farmakologi yaitu relaksasi benson. Ajarkan pasien untuk
mengenali skala nyeri, frekuensi nyeri dan tanda nyeri. Tingkatkan
istirahat dan kurangi aktifitas gerak.
4. Tindakan keperawatan yang dilakukan pada kelima pasien selama
2x15 menit di rumah sakit sudah sesuai dengan intervensi yang sudah
dibuat penulis.
5. Evaluasi yang dilakukan selama 2x15 menit pada diagnosa
keperawatan nyeri akut dengan teknik relaksasi benson sudah teratasi
dan sesuai tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan.
6. Setelah dilakukan terapi relaksasi benson pada kelima pasien selama
2x15 menit, terdapat penurunan skala nyeri. Pemberian terapi relaksasi
benson sudah efektif dilakukan karena skala nyeri berkurang.

49
B. Saran
1. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat memberikan kemudahan dalam pemakaian
sarana dan prasarana yang meupakan fasilitas bagi mahasiswa untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan melalui praktik klinik keperawatan
maupun pembuatan laporan akhir.
2. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan perawat maupun petugas kesehatan mampu lebih
meningkatkan kemampuanya dalam mengintepretasikan secara cermat
dalam melakukan pengkajian yang aktual dan akurat untuk
mendapatkan data dasar, menegakan diagnosa keperawatan yang tepat,
memilah terapi dan tindakan yang sesuai dan mengevaluasi respon
klien terhadap tindakan asuhan keperawatan yang telah dilakukan
untuk memberikan pelayanan dengan optimal kepada klien sertahal ini
mampu meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.
3. Bagi Penulis Selanjutnya
Diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang
relaksasi benson terhadap penurunan skala nyeri sehingga bisa
dilakukan dalam penelitian selanjutnya dengan menambahkan jumlah
sampel atau membandingkan dengan kelompok kontrol.

50
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, I., (2009). Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST, dalam: Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B.,Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK-UI
Andarmoyo, S. (2013). Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta: Ar
Ruzzmedia

Benson, H. & Proctor. (2012). Ways to Calm Your Mind, IBT Medica, Inc. The
Newsweek/DailyBest Company LLC, New York.
Berman, A. (2009). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinik. Jakarta: EGC

Brown C.T.,(2006). Penyakit Aterosklerotik Koroner, dalam: Patofisiologi


Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit. Price S. A, Wilson L. M. Edisi VI.
Elsevier Science

Corwin. (2011). Tindakan Keperawatan Infark Miokard Akut .Jakarta :EGC

Doenges E. 2000. Marlynn, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta

Dorland, W.A. Newman, (2012), Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Fenton, Drew. (2009). Myocardial Infarction. Diakses tanggal 07 Agustus 2017
dari http://emedicine.medscape.com
Mubarak, W. I. (2009). Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia: Teori dan Aplikasi
dalam Praktik Manajemen NyeriJakarta: EGC
Potter and Perry. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses
dan Praktek Volume 2 Edisi 4. Jakarta: EGC
Purwanto. S,. (2006). Relaksasi Benson. Jurnal Psikologi Universitas
Muhammadiyah
Semarang. SUHUF

51
Riskesdas.,2008. Profil Kesehatan Dinkes Propinsi Jawa Tengah Tahun 2008.
http://www.rikesdasjateng2008.pdf Diakses Tanggal 2 Agustus 2017
Solehati, T & Kosasih.C.T., (2015). Konsep & Aplikasi Relaksasi dalam
Keperawatan maternifas. Bandung : PT Refika Aditama.
Tamsuri, A. (2007). Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC

52

Anda mungkin juga menyukai