Anda di halaman 1dari 5

Analisis Hukum Terhadap Kasus Sengketa Tanah

Proyek Pemukiman TNI-AL Di Takalar


KASUS POSISI

Sengketa tanah Prokimal (proyek pemukiman TNI AL) meletus tahun 1998. Warga di
sekitar Prokimal sering menggelar unjuk rasa dengan cara memblokade jalur pantura
(pantai utara) untuk menuntut pembebasan lahan yang dianggap miliknya. Di lain
pihak, menurut keterangan TNI AL, lahan yang diinginkan warga itu merupakan milik
TNI AL yang diperoleh dengan pembelian yang sah tahun 1960 seluas 3.569,205
hektare yang tersebar di dua kecamatan, yakni Pattalassang dan Lekok, serta di 11
desa, yakni Desa bontopa’ja , kasomberang, sokkolia,dan Bontomanai.

Saat itu tanah tersebut dibeli seharga Rp 77,66 juta dan rencananya digunakan untuk
pusat pendidikan dan latihan TNI AL yang terlengkap dan terbesar. Karena belum
memiliki dana, agar tidak telantar, tanah tersebut dijadikan area perkebunan dengan
menempatkan 185 keluarga prajurit.

Kemudian pada 1984 keluar Surat Keputusan KSAL No Skep/675/1984 tanggal 28


Maret 1984 yang menunjuk Puskopal dalam hal ini Yasbhum (Yayasan Sosial
Bhumyamca) untuk memanfaatkan lahan tersebut sebagai lahan perkebunan produktif,
dengan memanfaatkan penduduk setempat sebagai pekerja.

Upaya-upaya penyelesaian sertifikasi tanah yang dilaksanakan Lantamal III makassar


sejak 20 Januari 1986 dapat terealisir BPN pada 1993 dengan terbitnya sertifikat
sebanyak 14 bidang dengan luas 3.676 hektare. Meski demikian masih ada penduduk
yang belum melaksanakan pindah dari tanah yang telah dibebaskan TNI AL. Pada 20
November 1993 Bupati Pasuruan mengirimkan surat kepada Komandan Lantamal III
Surabaya perihal usulan pemukiman kembali nonpemukim TNI AL di daerah Prokimal
Grati. Kemudian Bupati Pasuruan mengajukan surat kepada KSAL pada 3 Januari
1998 untuk mengusulkan bahwa tanah relokasi untuk penduduk nonpemukim TNI AL
agar diberikan seluas 500 meter persegi per KK.

Dari catatan media Surya, dalam setahun terakhir terjadi dua kali pemblokiran jalan
pantura oleh warga, yakni 14 Desember 2006 dan 10 Januari 2007. Selain itu, warga
Desa Bontomanai, Kecamatan Lekok, memilih menempuh jalur hukum dan
menggugat kepemilikan tanah itu ke Pengadilan Negeri (PN) Bangil, 18 Juli 2006 lalu.
Gugatan itu ditempuh 256 warga, namun mereka dinyatakan kalah oleh PN Bangil
dalam sidang 12 Maret lalu. Munculnya keputusan tersebut membuat warga marah
hingga berujung pada bentrokan dengan polisi seusai sidang putusan. Sebelum
persidangan itu, yakni pada 15 Februari, Pangarmatim Laksda Moekhlas Sidik
meresmikan Prokimal sebagai pusat latihan tempur (Puslatpur) dan warga 11 desa
yang berjumlah sekitar 5.700 keluarga rencananya direlokasi ke bagian yang aman.
“Sesuai pesan Panglima TNI, 2007 ini lahan akan di-set up ulang sebagai pusat latihan
tempur untuk meningkatkan profesionalitas prajurit TNI AL. Untuk relokasi warga,
karena ada niatan baik dari kami, tidak akan terjadi masalah seperti saya utarakan di
hadapan warga,” kata Laksda Moekhlas Sidik saat meresmikan Prokimal sebagai
Puslatpur.

Janji untuk merelokasi warga kemudian diwujudkan, dan 360 hektare tanah diberikan
kepada warga di 11 desa yang ditempatkan di luar sabuk batas tempat latihan tempur.

“Sesuai Keputusan KSAL, lahan Prokimal dijadikan pusat latihan tempur dan 5.702
rumah direlokasi di luar garis latihan. Setiap rumah diberi tanah 500 meter persegi
sekaligus bentuk pelepasan dari inventarisasi kekayaan negara (IKN) AL. Untuk biaya
relokasi, TNI AL dan Bupati akan mengusulkan kepada pimpinan masing-masing,”
tandas Moekhlas Sidik didampingi Bupati Takalar, kepada wartawan seusai bertemu
dengan 11 kepala desa mewakili warga di lahan Prokimal Grati, 22 Maret lalu.

Selain itu, TNI AL juga memberikan tambahan lahan sebesar 20 persen untuk
pemenuhan fasilitas umum. Dengan adanya keputusan ini, diharapkan masyarakat
tidak resah karena jaminan keamanan tidak terkena peluru nyasar serta adanya
keputusan hukum atas tanah yang dimilikinya.

Upaya relokasi warga 11 desa ini disambut positif Pemkab Takalar, bahkan Pemkab
mengusulkan anggaran untuk relokasi itu ke pemerintah pusat ditambah dengan
anggaran dari APBD Kabupaten Takalar.

Meski TNI AL memberikan tanah seluas 360 hektare kepada warga 11 desa, namun
para kepala desa saat itu tidak berani menerimanya dan hanya akan menyampaikan
lebih dulu kepada warga. Alasannya, lahan 500 meter persegi dianggap kurang untuk
memenuhi kebutuhan warga.

Di tengah upaya penyelesaian sengketa kasus tanah dengan jalan damai itulah, tiba-
tiba terjadi insiden antara Marinir dengan warga Rabu (30/5), yang menyebabkan
empat warga tewas dan enam lainnya luka-luka.

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Masalah tersebut bukan sekadar insiden, tapi (lagi-lagi) tragedi. Celakanya, tragedi
semacam ini bukan hanya sekali-dua, tapi berulang-ulang seakan tak ada bosannya.
Tragedi ini pun semakin menambah panjang daftar korban dari berbagai kasus yang
bersumberkan sengketa tanah (agraria) di Indonesia.

Sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada umumnya sepertinya merupakan


konflik laten. Dari berbagai kasus yang terjadi, bangkit dan menajamnya sengketa
tanah tidaklah terjadi seketika, namun tumbuh dan terbentuk dari benih-benih yang
sekian lama memang telah terendap.

Pihak-pihak yang bersengketa pun sebagian besar kalaupun tidak bisa disebut, hampir
seluruhnya bukan hanya individual, namun melibatkan tataran komunal. Keterlibatan
secara komunal inilah yang memungkinkan sengketa tanah merebak menjadi
kerusuhan massal yang menelan banyak korban. Tatkala kerusuhan meledak, rakyat
lah yang kerap menanggung akibat yang paling berat.

Pada konteks kasus-kasus sengketa tanah ini, kiranya bukan sekadar desas-desus jika
ada cerita, negara justru kerap bersekongkol dengan para pemilik modal. Rakyat
cukup diberi ilusi semua demi negeri ini, demi terwujudnya kehidupan masyarakat
yang gemah ripah loh jinawi repeh rapih toto tengtrem kerto raharjo. Mereka yang
menolak ilusi tersebut, gampang saja solusinya tinggal memberinya shock therapy
dengan teror, intimidasi, dan tindakan refresi.

Cerita semacam ini kiranya bukan hanya tersimpan sebagai milik Rezim Orde Baru.
Di alam keindonesiaan kita hari ini yang konon tengah menyuarakan reformasi,
berbagai bentuk intimidasi dan kekerasan oleh (aparat) negara terhadap masyarakat
masih kerap terjadi dalam konteks sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada
umumnya. Sebut saja, kasus penggusuran Masyarakat Adat Meler-Kuwus, Manggarai,
NTT yang dituduh telah melakukan “perampasan tanah negara” pada tahun 2002 atau
kasus penangkapan dan intimidasi terhadap delapan anggota Serikat Petani Pasundan
di Garut yang dituduh sebagai perambah dan perusak hutan pada awal Maret 2006.

Padahal, Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam telah mengamatkan bahwa “menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia” adalah salah satu prinsip yang wajib ditegakkan oleh (aparat) negara dalam
penanganan sengketa agraria. Dengan merujuk pada Tap MPR ini saja, cara-cara yang
ditempuh oleh (aparat) negara itu tentu saja menjadi tindakan yang tragis-ironis. Sekali
lagi hal itu pun bisa menunjukkan, betapa bobroknya implementasi hukum kita, dan
betapa masyarakat yang semestinya dilindungi selalu berada dalam posisi tidak
berdaya, selalu dipersalahkan, dan menjadi korban. Malangnya, hampir dalam setiap
kasus sengketa tanah, posisi masyarakat selalu lemah atau dilemahkan. Masyarakat
sering tidak memiliki dokumen-dokumen legal yang bisa membuktikan kepemilikan
tanahnya. Mereka bisanya hanya bersandar pada “kepemilikan historis” dimana tanah
yang mereka miliki telah ditempati dan digarap secara turun-temurun.

Didalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA)


sebenarnya termaktub satu ketentuan akan adanya jaminan bagi setiap warga negara
untuk memiliki tanah serta mendapat manfaat dari hasilnya (pasal 9 ayat 2). Jika
mengacu pada ketentuan itu dan juga merujuk pada PP No. 24/1997 tentang
Pendaftaran Tanah (terutama pasal 2) Badan Pertanahan Nasional (BPN) semestinya
dapat menerbitkan dokumen legal (sertifikat) yang dibutuhkan oleh setiap warga
negara dengan mekanisme yang mudah, terlebih lagi jika warga negara yang
bersangkutan sebelumnya telah memiliki bukti lama atas hak tanah mereka. Namun
sangat disayangkan pembuktian dokumen legal melalui sertifikasi pun ternyata bukan
solusi jitu dalam kasus sengketa tanah. Seringkali sebidang tanah bersertifikat lebih
dari satu, pada kasus Meruya yang belakangan sedang mencuat, misalnya. Bahkan,
pada beberapa kasus, sertifikat yang telah diterbitkan pun kemudian bisa dianggap
aspro (asli tapi salah prosedur).

Dari hal tersebut setidaknya ada 3 (tiga) faktor penyebab sering munculnya masalah
sengketa tanah, diantaranya yaitu :
a) Sistem administrasi pertanahan, terutama dalam hal sertifikasi tanah, yang tidak
beres. Masalah ini muncul boleh jadi karena sistem administrasi yang lemah dan
mungkin pula karena banyaknya oknum yang pandai memainkan celah-celah hukum
yang lemah.

b) Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam


distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian
telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis.
Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani atau penggarap tanah memikul
beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan
ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik.

c) Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal


(sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de
jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal
besar, karena mereka telah membelinya dari para petani atau pemilik tanah, tetapi
tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja.Ironisnya ketika masyarakt miskin
mencoba memanfaatkan lahan terlantar tersebut dengan menggarapnya, bahkan ada
yang sampai puluhan tahun, dengan gampanya mereka dikalahkan haknya di
pengadilan tatkala muncul sengketa.

Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Keppres No.34
Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, pada dasarnya
memberi kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah untuk menuntaskan
masalah-masalah agraria. Adalah sudah selayaknya terlepas dari berbagai kekurangan
yang tersimpan di dalam instrumen-instrumen hukum itu jika kewenangan tersebut
dimplementasikan, dengan prinsip-prinsip yang tidak melawan hukum itu sendiri
tentunya.

Sementara itu, gagasan untuk membentuk kelembagaan dan mekanisme khusus untuk
menyelesaikan sengketa tanah semacam Komisi Nasional Penyelesaian Sengketa
Agraria dan juga pembentukan lembaga sejenis di daerah sebagaimana yang pernah
diusulkan oleh berbagai kalangan, kiranya menjadi relevan pula untuk semakin
didesakkan, terlebih jika pemerintah memang benar-benar berkehendak untuk
menjalankan reforma agraria dan menangani permasalahan agraria secara serius.
Belajar dari tragedi Pasuruan, jika Badan Pertanahan Nasional mencatat ada 2.810
kasus sengketa tanah yang berskala nasional, maka boleh dibayangkan bagaimana
hebatnya bom waktu yang akan meledak jika kasus-kasus tersebut tidak segera
mendapatkan penanganan dan penyelesaian yang layak dan yang berpihak pada
kepentingan rakyat.

Negara mengatur pengelolaan sumber daya agraria untuk sebesar-besarnya


kemakmuran rakyat, sampai hari ini barangkali masih hanya sebatas retorika. Yang
kerap terjadi justru sebaliknya dimana rakyat yang kehilangan kemakmuran sebesar-
besarnya.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada umumnya sepertinya merupakan


konflik laten dan pihak-pihak yang bersengketa pun sebagian besar kalaupun tidak
bisa disebut, hampir seluruhnya bukan hanya individual, namun melibatkan tataran
komunal maka boleh dibayangkan bagaimana hebatnya bom waktu yang akan
meledak jika kasus-kasus sengketa tanah tersebut tidak segera mendapatkan
penanganan dan penyelesaian yang layak dan yang berpihak pada kepentingan rakyat.

Ada 3 (tiga) faktor penyebab sering munculnya masalah sengketa tanah, diantaranya
yaitu sistem administrasi pertanahan terutama dalam hal sertifikasi tanah yang tidak
beres, distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata dan legalitas kepemilikan tanah
yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat) tanpa memperhatikan
produktivitas tanah.

Berdasarkan Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan


Pengelolaan Sumber Daya Alam, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok
Agraria, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan
Keppres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, pada
dasarnya memberi kewenangan untuk menjalankan reforma agraria yang besar kepada
pemerintah daerah untuk menuntaskan masalah-masalah agraria secara serius.

Rekomendasi

Banyaknya permasalahan pertanahan yang melibatkan masyarakat dengan masyarakat,


masyarakat dengan perusahaan maupun masyarakat dengan pemerintah yang kerap
berujung pada dirugikannya salah satu pihak dirasakan perlu dilakukan penyelesaian
sengketa alternatif (PSA). Saat ini di Indonesia belum ada langkah PSA, selama ini
permasalahan sengketa pertanahan selalu di selesaikan di pengadilan dimana biasanya
dalam proses pengadilan tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, biaya cukup
mahal dan tidak bisa langsung di eksekusi. Sehingga sebelum berkas perkara masuk ke
pengadilan perlu dibuat mekanisme PSA. Diantaranya membuat lembaga mediasi dan
membuat arbitrase pertanahan, dimana lembaga mediasi bertugas mempertemukan
pihak-pihak bersengketa, sedangkan arbitrase mempunyai tugas untuk melakukan
penyelesaian di luar pengadilan tetapi berkas berada di pengadilan

Anda mungkin juga menyukai