Analisis Hukum Terhadap Kasus Sengketa Tanah Proyek Pemukiman TNI
Analisis Hukum Terhadap Kasus Sengketa Tanah Proyek Pemukiman TNI
Sengketa tanah Prokimal (proyek pemukiman TNI AL) meletus tahun 1998. Warga di
sekitar Prokimal sering menggelar unjuk rasa dengan cara memblokade jalur pantura
(pantai utara) untuk menuntut pembebasan lahan yang dianggap miliknya. Di lain
pihak, menurut keterangan TNI AL, lahan yang diinginkan warga itu merupakan milik
TNI AL yang diperoleh dengan pembelian yang sah tahun 1960 seluas 3.569,205
hektare yang tersebar di dua kecamatan, yakni Pattalassang dan Lekok, serta di 11
desa, yakni Desa bontopa’ja , kasomberang, sokkolia,dan Bontomanai.
Saat itu tanah tersebut dibeli seharga Rp 77,66 juta dan rencananya digunakan untuk
pusat pendidikan dan latihan TNI AL yang terlengkap dan terbesar. Karena belum
memiliki dana, agar tidak telantar, tanah tersebut dijadikan area perkebunan dengan
menempatkan 185 keluarga prajurit.
Dari catatan media Surya, dalam setahun terakhir terjadi dua kali pemblokiran jalan
pantura oleh warga, yakni 14 Desember 2006 dan 10 Januari 2007. Selain itu, warga
Desa Bontomanai, Kecamatan Lekok, memilih menempuh jalur hukum dan
menggugat kepemilikan tanah itu ke Pengadilan Negeri (PN) Bangil, 18 Juli 2006 lalu.
Gugatan itu ditempuh 256 warga, namun mereka dinyatakan kalah oleh PN Bangil
dalam sidang 12 Maret lalu. Munculnya keputusan tersebut membuat warga marah
hingga berujung pada bentrokan dengan polisi seusai sidang putusan. Sebelum
persidangan itu, yakni pada 15 Februari, Pangarmatim Laksda Moekhlas Sidik
meresmikan Prokimal sebagai pusat latihan tempur (Puslatpur) dan warga 11 desa
yang berjumlah sekitar 5.700 keluarga rencananya direlokasi ke bagian yang aman.
“Sesuai pesan Panglima TNI, 2007 ini lahan akan di-set up ulang sebagai pusat latihan
tempur untuk meningkatkan profesionalitas prajurit TNI AL. Untuk relokasi warga,
karena ada niatan baik dari kami, tidak akan terjadi masalah seperti saya utarakan di
hadapan warga,” kata Laksda Moekhlas Sidik saat meresmikan Prokimal sebagai
Puslatpur.
Janji untuk merelokasi warga kemudian diwujudkan, dan 360 hektare tanah diberikan
kepada warga di 11 desa yang ditempatkan di luar sabuk batas tempat latihan tempur.
“Sesuai Keputusan KSAL, lahan Prokimal dijadikan pusat latihan tempur dan 5.702
rumah direlokasi di luar garis latihan. Setiap rumah diberi tanah 500 meter persegi
sekaligus bentuk pelepasan dari inventarisasi kekayaan negara (IKN) AL. Untuk biaya
relokasi, TNI AL dan Bupati akan mengusulkan kepada pimpinan masing-masing,”
tandas Moekhlas Sidik didampingi Bupati Takalar, kepada wartawan seusai bertemu
dengan 11 kepala desa mewakili warga di lahan Prokimal Grati, 22 Maret lalu.
Selain itu, TNI AL juga memberikan tambahan lahan sebesar 20 persen untuk
pemenuhan fasilitas umum. Dengan adanya keputusan ini, diharapkan masyarakat
tidak resah karena jaminan keamanan tidak terkena peluru nyasar serta adanya
keputusan hukum atas tanah yang dimilikinya.
Upaya relokasi warga 11 desa ini disambut positif Pemkab Takalar, bahkan Pemkab
mengusulkan anggaran untuk relokasi itu ke pemerintah pusat ditambah dengan
anggaran dari APBD Kabupaten Takalar.
Meski TNI AL memberikan tanah seluas 360 hektare kepada warga 11 desa, namun
para kepala desa saat itu tidak berani menerimanya dan hanya akan menyampaikan
lebih dulu kepada warga. Alasannya, lahan 500 meter persegi dianggap kurang untuk
memenuhi kebutuhan warga.
Di tengah upaya penyelesaian sengketa kasus tanah dengan jalan damai itulah, tiba-
tiba terjadi insiden antara Marinir dengan warga Rabu (30/5), yang menyebabkan
empat warga tewas dan enam lainnya luka-luka.
Masalah tersebut bukan sekadar insiden, tapi (lagi-lagi) tragedi. Celakanya, tragedi
semacam ini bukan hanya sekali-dua, tapi berulang-ulang seakan tak ada bosannya.
Tragedi ini pun semakin menambah panjang daftar korban dari berbagai kasus yang
bersumberkan sengketa tanah (agraria) di Indonesia.
Pihak-pihak yang bersengketa pun sebagian besar kalaupun tidak bisa disebut, hampir
seluruhnya bukan hanya individual, namun melibatkan tataran komunal. Keterlibatan
secara komunal inilah yang memungkinkan sengketa tanah merebak menjadi
kerusuhan massal yang menelan banyak korban. Tatkala kerusuhan meledak, rakyat
lah yang kerap menanggung akibat yang paling berat.
Pada konteks kasus-kasus sengketa tanah ini, kiranya bukan sekadar desas-desus jika
ada cerita, negara justru kerap bersekongkol dengan para pemilik modal. Rakyat
cukup diberi ilusi semua demi negeri ini, demi terwujudnya kehidupan masyarakat
yang gemah ripah loh jinawi repeh rapih toto tengtrem kerto raharjo. Mereka yang
menolak ilusi tersebut, gampang saja solusinya tinggal memberinya shock therapy
dengan teror, intimidasi, dan tindakan refresi.
Cerita semacam ini kiranya bukan hanya tersimpan sebagai milik Rezim Orde Baru.
Di alam keindonesiaan kita hari ini yang konon tengah menyuarakan reformasi,
berbagai bentuk intimidasi dan kekerasan oleh (aparat) negara terhadap masyarakat
masih kerap terjadi dalam konteks sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada
umumnya. Sebut saja, kasus penggusuran Masyarakat Adat Meler-Kuwus, Manggarai,
NTT yang dituduh telah melakukan “perampasan tanah negara” pada tahun 2002 atau
kasus penangkapan dan intimidasi terhadap delapan anggota Serikat Petani Pasundan
di Garut yang dituduh sebagai perambah dan perusak hutan pada awal Maret 2006.
Padahal, Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam telah mengamatkan bahwa “menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia” adalah salah satu prinsip yang wajib ditegakkan oleh (aparat) negara dalam
penanganan sengketa agraria. Dengan merujuk pada Tap MPR ini saja, cara-cara yang
ditempuh oleh (aparat) negara itu tentu saja menjadi tindakan yang tragis-ironis. Sekali
lagi hal itu pun bisa menunjukkan, betapa bobroknya implementasi hukum kita, dan
betapa masyarakat yang semestinya dilindungi selalu berada dalam posisi tidak
berdaya, selalu dipersalahkan, dan menjadi korban. Malangnya, hampir dalam setiap
kasus sengketa tanah, posisi masyarakat selalu lemah atau dilemahkan. Masyarakat
sering tidak memiliki dokumen-dokumen legal yang bisa membuktikan kepemilikan
tanahnya. Mereka bisanya hanya bersandar pada “kepemilikan historis” dimana tanah
yang mereka miliki telah ditempati dan digarap secara turun-temurun.
Dari hal tersebut setidaknya ada 3 (tiga) faktor penyebab sering munculnya masalah
sengketa tanah, diantaranya yaitu :
a) Sistem administrasi pertanahan, terutama dalam hal sertifikasi tanah, yang tidak
beres. Masalah ini muncul boleh jadi karena sistem administrasi yang lemah dan
mungkin pula karena banyaknya oknum yang pandai memainkan celah-celah hukum
yang lemah.
Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Keppres No.34
Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, pada dasarnya
memberi kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah untuk menuntaskan
masalah-masalah agraria. Adalah sudah selayaknya terlepas dari berbagai kekurangan
yang tersimpan di dalam instrumen-instrumen hukum itu jika kewenangan tersebut
dimplementasikan, dengan prinsip-prinsip yang tidak melawan hukum itu sendiri
tentunya.
Sementara itu, gagasan untuk membentuk kelembagaan dan mekanisme khusus untuk
menyelesaikan sengketa tanah semacam Komisi Nasional Penyelesaian Sengketa
Agraria dan juga pembentukan lembaga sejenis di daerah sebagaimana yang pernah
diusulkan oleh berbagai kalangan, kiranya menjadi relevan pula untuk semakin
didesakkan, terlebih jika pemerintah memang benar-benar berkehendak untuk
menjalankan reforma agraria dan menangani permasalahan agraria secara serius.
Belajar dari tragedi Pasuruan, jika Badan Pertanahan Nasional mencatat ada 2.810
kasus sengketa tanah yang berskala nasional, maka boleh dibayangkan bagaimana
hebatnya bom waktu yang akan meledak jika kasus-kasus tersebut tidak segera
mendapatkan penanganan dan penyelesaian yang layak dan yang berpihak pada
kepentingan rakyat.
Kesimpulan
Ada 3 (tiga) faktor penyebab sering munculnya masalah sengketa tanah, diantaranya
yaitu sistem administrasi pertanahan terutama dalam hal sertifikasi tanah yang tidak
beres, distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata dan legalitas kepemilikan tanah
yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat) tanpa memperhatikan
produktivitas tanah.
Rekomendasi