MAKALAH Dinamika Masyarakat Dan Kebudayaan
MAKALAH Dinamika Masyarakat Dan Kebudayaan
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Effendi, R (2006) mengemukakan bahwa masyarakat merupakan kelompok
atau kolektivitas manusia yang melakukan antar hubungan, sedikit banyaknya
bersifat kekalm berlandaskan perhatian dan tujuan bersama, serta telah melakukan
jalinan secara berkesinambungan dalam waktu yang relatif lama.
E.B Taylor (2007) mengungkapkan bahwa kebudayaan adalah kompleks yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan
kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia
sebagai anggota masyarakat.
Koentjaraningrat (2003) mengungkapkan bahwa untuk menganalisa proses-
proses pergeseran masyarakat dan kebudayaan, termasuk lapangann penelitian
antropologi dan sosiologi yang disebut dinamika sosial diantara konsep-konsep yang
terpenting ada yang mengenai proses-proses belajar kebudayaan sendiri, yakni
internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi. selain itu ada proses perkembangan
kebudayaan umat manusia (atau evolusi kebudayaan) Dari bentuk-bentuk
kebudayaan yang sederhana hingga yang makin lama makin kompleks yang
dilanjutkan dengan proses penyebaran kebudayaan–kebudayaan yang terjadi
bersama dengan perpindahan bangsa-bangsa dari muka bumi. Proses lainnya
adalah proses perkenalan budaya-budaya asing yang disebut “proses akulturasi” dan
proses pembaruan yang disebut “asimilasi” dan yang berkaitan erat dengan
penemuan baru yang disebut “inovasi”.
Dinamika masyarakat merupakan cara untuk menganalisis masyarakat. Yang
didalam dinamika masyarakat ini terdapat konsep-konsep tentang proses-proses
pergeseran masyarakat dan kebudayaan, yaitu mengenai proses internalisasi,
sosialisasi, enkulturasi, evolusi kebudayaan, difusi, alkulturasi, asimilasi, dan inovasi
yang terkait dengan penemuan baru. Yang bila dengan mengenal dan mengerti
secara garis besar maupun spesifik tentang konsep-konsep ini dapat membantu kita
untuk menganalisa secara ilimiah gejala-gejala dan kejadian-kejadian sosial budaya
sekeliling kita dari sudut perwujudan morfologinya.
.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang Masalah maka dapat dirumuskan suatu pokok masalah
yang kemudian disusun dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa konsep-konsep mengenai pergeseran masyarakat dan kebudayaan?
2. Bagaimana proses belajar kebudayaan sendiri?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang hendak dicapai dalam kajian ini adalah untuk mengetahui
konsepsi-konsepsi mengenai pergeseran masyarakat dan kebudayaan, proses
belajar kebudayaan sendiri, proses evolusi sosial, proses difusi, akulturasi dan
pembaharuan atau asimilasi dan perubahan atau inovasi.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Proses Internalisasi
3
hasrat, nafsu dan emosinya. tetapi semua itu juga tergantung pada pengaruh dari
berbagai macam lingkungan sosial dan budayanya..
Dapat disimpulkan, bahwa proses internalisasi merupakan proses
pengembangan atau pengolaan potensi yang dimiliki manusia, yang berlangsung
sepanjang hayat, yang dipengaruhi oleh lingkungan internal maupun eksternal.
Manusia mempunyai bakat yang telah terkandung di dalam dirinya untuk
mengembangkan berbagai macam perasaan, hasrat,nafsu, serta emosi dalam
kepribadian individunya. Akan tetapi, wujud pengaktifan berbagai macam isi
kepribadiannya itu sangat dipengaruhi oleh berbagai macam stimulus yang
berada dalam alam sekitarnya dan dalam lingkungan sosial maupun budayanya.
2. Proses Sosialisasi
4
nilai, dan norma-norma social yang terdapat dalam masyarakat agar dapat
diterima dan berpartisipasi efektif dalam masyarakat.
Proses sosialisasi itu sendiri adalah suatu proses dimana seorang individu
mendapatkan pembentukan sikap untuk berperilaku sesuai dengan kelakuan
kelompoknya. Maka kepribadian adalah keseluruhan faktor biologis, psikologis
dan sosilogis yang mendasari perilaku individu.
3. Proses Enkulturasi
Proses enkulturasi sudah dimulai sejak kecil dalam alam pikiran warga
suatu masyarakat; mula-mula dari orang-orang di dalam lingkungan keluarganya,
kemudian dari teman-temanya bermain. Sering kali ia belajar dengan meniru
berbagai macam tindakan, setelah perasaan dan nilai budaya pemberi motivasi
akan tindakan meniru itu telah diinternalisasi dalam kepribadiannya. Dengan
berkali-kali meniru maka tindakannya akan menjadi suatu pola yang mantap, dan
norma yang megatur tindakannya “dibudayakan”. Kadang-kadang berbagai
norma juga dipelajari seorang individu secara sebagian-sebagian. Disamping
aturan-aturan masyarakat dan Negara yang di ajarkan di sekolah melalui
berbagai mata pelajaran seperti tata Negara, ilmu kewarganegaraan dan
sebagainya, juga aturan sopan-santun bergaul dan lain-lainnya dapat di ajarkan
secara formal.
5
Sebagai contoh dapat disebut misalnya cara seorang Indonesia
mempelajari aturan adat Indonesia yang menganjurkan agar orang Indonesia
yang habis berpergian ke suatu tempat yang jauh, memberi “oleh-oleh” kepada
kerabatnya yang dekat dan kepada para tetangganya yang tinggal di sekitar
rumahnya. Dalam proses sosialisasinya itu ia telah belajar cara-cara bergaul
dengan tiap individu dalam lingkungan kaum kerabat dan tetangga dekatnya tadi,
dan ia telah mengembangkan pola-pola tindakan yang berbeda dalam hal
menghadapi mereka itu masing-masing norma sopan-santun memberi “oleh-oleh”
tadi dibudayakan olehnya berdasarkan ajaran mengenai sopan-santun pergaulan
langsung dari orang tuanya. Walaupun ia telah yakin sepenuhnya bahwa adat itu
adalah benar dan bermanfaat, namun ada satu dua di antara mereka yang tidak
dibelikan oleh-oleh karena hubungan pergaulannya dengan orang-orang tersebut
bukan beruwujud pola-pola tindakan serba ramah, melainkan canggung dan
kaku.
Dalam evolusi sosial terdapat dua jenis cara analisa atau cara pandang. Yaitu,
secara detail (microscopic) dan dengan hanya memperhatikan perubahan-perubahan
besar saja (macroscopic). Recurrent processes atau proses-proses berulang
adalah proses evolusi sosial budaya yang dianalisis secara detail akan menunjukkan
berbagai macam proses perubahan yang terjadi dalam dinamika kehidupan sehari-
hari tiap masyarakat di dunia. Directional processes yaitu proses-proses evolusi
sosial budaya yang di pandang seolah-olah dari jauh hanya akan terlihat perubahan-
perubahan besar yang terjadi dalam suatu masyarakat dalam jangka waktu yang
panjang.
7
idupan sehari-hari dari suatu masyarakat. Proses evolusi sosial budaya secara
macroscopic yang terjadi dalam suatu jangka waktu yang panjang, dalam
antropologi disebut “proses-proses pemberi arah” atau directional processes.
Proses evolusi sosial yang mengarah dalam evolusi kebudayaan adalah: jika
evolusi masyarakat dan kebudayaan kita pandang seolah – olah dari suatu jarak
yang jauh dengan mengambil interval waktu yang panjang (misalnya beberapa
ribu tahun), maka akan tampak perubahan-perubahan besar yang seolah – olah
bersifat menentukan arah (directional) dari sejarah perkembangan masyarakat
dan kebudayaan yang bersangkutan.
8
Teori Evolusi Sosial Universal H. Spencer
10
mengambil calon istrinya dari kelompok-kelompok yang lain dan dibawanya ke
kelompoknya sendiri serta menetap di sana. Sehingga keturunannyapun tetap
menetap bersama mereka.
d. Pada tahapan yang terakhir, patriarchate lambat laun hilang dan berobah
menjadi susunan kekerabatan yang disebut Bachofen susunan parental. Pada
tingkat terakhir ini perkawinan tidak selalu dari luar kelopok (exogami) tetapi
juga dari dalam kelompok yang sama (endogami). Hal ini menjadikan anak-
anak bebas berhubungan langsung dengan kelurga ibu maupun ayah.
a. Zaman Liar Tua. Zaman sejak manusia ada samapai menemukan api,
kemudian manusia menemukan keahlian meramu dan mencari akar-
akar tumbuhan liar untuk hidup.
b. Zaman Liar Madya. Zaman di mana manusia menemukan senjata
busur dan panah. Pada zaman ini manusia mulai merobah mata
pencahariannya dari meramu menjadi pencari ikan.
c. Zaman Liar Muda. Pada zaman manusia menemukan senjata busur
dan panah sampai memiliki kepandaian untuk membuat alat-alat dari
tembikar namun kehidupannya masih berburu.
d. Zaman Barbar Tua. Zaman sejak manusia memiliki kepandaian
membuat tembikar sampai manusia beternak dan bercocok tanam.
e. Zaman Barbar Madya. Zaman sejak manusia beternak dan bercocok
tanam samapai menemukan kepandaian membuat alat-alat atau
benda-benda dari logam
f. Zaman Barbar Muda. Zaman sejak manusia memiliki kepandaian
membuat alat-alat dari logam sampai manusia mengenal tulisan.
g. Zaman Peradaban Purba, menghasilakan beberapa peradapan klasik
zaman batu dan logam
11
h. Zaman Masa Kini, sejak zaman peradapan klasik sampai sekarang
12
D. Proses Difusi
1. Penyebaran manusia
Banyak pula migrasi manusia yang berlangsung cepat dan mendadak. Sebab
dari migrasi semacam ini bisa bermacam-macam, misalnya bencana alam, wabah,
perubahan mata pencaharian hidup,peperangan, dan perkembangan pelayaran.
13
kebudayaan dari satu tempat ke tenpat lain di muka bumi oleh kelompok-kelompok
manusia yang bermigrasi.
Bentuk difusi yang lain lagi dan mendapatkan perhatiaan oleh ilmu antropologi
adalah penyebaran unsur-unsur kebudayaan yang berdasarkan pertemuan-
pertemuan antara individu dalam suatu kelompok manusia dengan individu kelompok
tetangga. Pertemuan-pertemuan antara kelompok-kelompok semacam itu dapat
berlangsung dengan berbagai cara.
Cara yang pertama adalah hubungan dimana bentuk dan kebudayaan itu
masing-masing hampir tidak berubah. Hubungan ini yaitu hubungan symbiotic, dapat
kita lihat contohnya di daerah pedalaman negara-negara kongo,togo dan kamerun di
afrika tengah dan barat. Di daerah pedalaman negara-negara tersebut berbagai suku
bangsa afrika hidup dari bercocok tanam di ladang. Mereka mempunyai tetangga ,
kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari suku-suku negrito hidup dari berburu dan
mengumpulkan hasil hutan. Hasil berburu dan hasil berhutang itu dibarter dengan
hasil pertanian. Hubungan semacam ini telah berlangsung sejak lama sekali,
malahan sudah sejak berabad-abad lamanya, kedua bela pihak sudah saling
membutuhkan,tetapi hubungan mereka terbatas hanya pada barter barang-barang itu
saja, sedangkan proses saling mempengaruhi tidak ada. Pada hubungan symbiotic
itu kebudayaan suku-suku bangsa afrika tidak berubah dan kebudayaan kelompok-
kelompok negrito juga tidak.
Suatu difusi yang meliputi jarak yang besar biasanya terjadi melalui suatu
rangkain pertemuan antara suatu deret suku-suku bangsa. Proses di fusi semacam
ini dalam ilmu antropologi di sebut stimulus diffusion.
1. Alkulturasi
Proses akulturasi ada sejak dulu kala dalam sejarah kebudayaan manusia,
tetapi proses akulturasi yang mempunyai sifat khusus, baru timbul ketika
kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa di Eropa Barat mulai menyebar ke semua
daerah lain di muka bumi, dan mulai mempengaruhi masyarakat-masyarakat suku-
suku bangsa di Afrika, Asia, Oseania, Amerika Utara, dan Amerika Latin.
Suatu panitia dari dewan ilmiah Social Science Council di Amerika yang terdiri
dari tiga orang sarjana antropologi terkenal, yaitu R. Redfield, R Linton, dan M.J.
Herskovith, telah mengerjakan peninjauan kembali tadi dan berhasil menyusun suatu
ikhtisar dalam tahun 1935. Mereka mencoba meringkas dan merumuskan semua
masalah dalam lapangan penelitian akulturasi . Ikhtisar itu berjudul A Memorandum
for the Study of Acculturation, dimuat dalam berbagai majalah ilmu antropologi yang
terpenting.
Setelah perang Dunia II, perhatian terhadap masalah akulturasi malahan lebih
besar lagi, sedangkan metode – metode untuk meneliti masalah akulturasi menjadi
lebih tajam. Proses skulturasi dalam masyarakat suku bangsa yang tersebar di
Benua Asia dan di daerah pulau-pulau di Laut Teduh misalnya, mendapat perhatian
Iatimewa dari Seventh Pasific Science Congress yang diadakan tahun 1949 di
Auckad (New Zealand). Kongres itu mempunyai suatu seminar khusus dalam
acaranya, untuk mendiskusikan masalah akulturasi dalam ilmu antropologi. Bibliografi
dengan catatan dari semua karangan mengenai masalah akulturasi tang disusun
oleh F. Keesing, yaitu : Cultire Change: An Analysis and Bibliography of
Antrhropologigal Sources to 1952, dapat memberikan suatu gambaran tentang hal
yang pernah dikerjakan oleh para sarjana antropologi dalam penelitian-penelitian
mengenai akulturasi hingga tahun 1952. Hal yang dikerjakan antara tahun 1952 dan
1960 juga sangat besar jumlahnya.
b) Mengenai unsur – unsur kebudayaan asing yang mudah diterima, dan sukar
diterima oleh masyarakat;
c) Mengenai unsur-unsur kebudayaan apa yang mudah diganti atau diubah, dan
unsur – unsur yang tidak mudah diganti atau diubah oleh unsur – unsur
kebudayaan asing;
d) Mengenai individu – individu yang suka dan cepat menerima, dan individu-
individu yang sukar dan lambat menerima unsur-unsur kebudayaan asing;
16
e) Mengenai ketegangan – ketegangan dan kritis – kritis sosial yang timbul
sebagai akibat akulturasi.
c) Saluran-saluran yang dilalui oleh unsur – unsur kebudayaan asing untuk masuk
kedalam kebudayaan penerima;
2. Asimilasi
Saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama sehingga
17
Proses-proses sosial yang disebut asimilasi itu banyak diteliti oleh para
sarjana sosiologi, terutama di Amerika Serikat. Di sana timbul berbagai masalah yang
berhubungan dengan adanya individu – individu dan kelompok imigran yang berasal
dari berbagai suku bangsa dan Negara di Eropa, yang mempunyai kebudayaan-
kebudayaan yang berbeda-beda. Indonesia, mempunyai banyak golongan khusus,
baik yang berupa suku bangsa, lapisan sosial, golongan agama, pengetahuan
mengenai seluk-beluk proses asimilasi dari tempat-tempat lain di dunia menjadi
penting sekali sebagai bahan perbandingan.
Hal yang penting untuk diketahui adalah faktor – faktor yang menghambat
proses asimilasi. Dari berbagai proses asimilasi yang pernah diteliti oleh para ahli
terbukti bahwa hanya dengan pergaulan antara kelompok – kelompok secara luas
dan intensif saja, belum tentu terjadi suatu proses asimilasi, kalau di antara
kelompok-kelompok yang berhadapan itu tidak ada suatu sikap toleransi dan simpati
satu terhadap yang lain. Orang Cina misalnya ada di Indonesia, bergaul secara luas
dan intensif dengan orang Indonesia sejak berabad-abad lamanya; namun mereka
belum juga semua terintegrasi ke dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia,
karena selama itu belum cukup ada sikap saling bertoleransi dan bersimpati.
Sikap toleransi dan simpati terhadap kebudayaan lain sering terhalang oleh berbagai
faktor, dan faktor-faktor ini sudah tentu juga menjadi penghalang proses asimilasi
pada umumnya. Faktor-faktor itu adalah :
Jenis-jenis asimilasi
18
c) Asimilasi perkawinan, atau sering disebut asimilasi fisik yang terjadi
karena perkawinan antar etnik atau antarras untuk melahirkan etnik atau
ras baru
terjadi pergaulan antarindividu atau kelompok secara intensif dan dalam waktu
yang relatif lama.
4. Sikap terbuka dari golongan etnik dominan terhadap kelompok etnik minoritas
Faktor-faktor umum yang dapat menjadi penghalang terjadinya asimilasi antara lain
sebagai berikut :
e) Perbedaan ciri-ciri fisik, seperti tinggi badan, warna kulit atau rambut
19
f)Perasaan yang kuat bahwa individu terikat pada kebudayaan kelompok yang
bersangkutan
F. Inovasi
Penemuan baru seringkali terjadi saat ada suatu krisis masyrakat, dan suatu
krisis terjadi karena banyak orang merasa tidak puas karena mereka melihat
kekurangan-kekurangan yang ada disekelilingnya.
Difusi Inovasi adalah teori tentang bagaimana sebuah ide dan teknologi baru
tersebar dalam sebuah kebudayaan. Teori ini dipopulerkan oleh Everett Rogers pada
tahun 1964 melalui bukunya yang berjudul Diffusion of Innovations. Ia mendefinisikan
difusi sebagai proses dimana sebuah inovasi dikomunikasikan melalui
berbagai saluran dan jangka waktu tertentu dalam sebuah sistemsosial.
Inovasi merupakan ide, praktik, atau objek yang dianggap baru oleh manusia atau
unit adopsi lainnya. Teori ini meyakini bahwa sebuah inovasi terdifusi ke seluruh
masyarakat dalam pola yang bisa diprediksi. Beberapa kelompok orang akan
mengadopsi sebuah inovasi segera setelah mereka mendengar inovasi tersebut.
Sedangkan beberapa kelompok masyarakat lainnya membutuhkan waktu lama untuk
kemudian mengadopsi inovasi tersebut. Ketika sebuah inovasi banyak diadopsi oleh
sejumlah orang, hal itu dikatakan exploded atau meledak.
Difusi inovasi sebenarnya didasarkan atas teori pada abad ke19 dari
seorang ilmuan perancis, Gabriel Tarde. Dalam bukunya yang berjudul “The Laws of
Imitation” (1930), Tarde mengemukakan teori kurva S dari adopsi inovasi, dan
pentingnya komunikasi interpersonal.Tardejugamemperkenalkan gagasan
20
mengenai opini leadership , yakni ide yang menjadi penting di antara para peneliti efek
media beberapa dekade kemudian. Tarde melihat bahwa beberapa orang dalam
komunitas tertentu merupakan orang yang memiliki ketertarikan lebih terhadap ide
baru, dan dan hal-hal teranyar, sehingga mereka lebih berpengetahuan dibanding yang
lainnya. Orang-orang ini dinilai bisa memengaruhi komunitasnya untuk mengadopsi
sebuah inovasi.
Mempelajari Inovasi: Tahapan ini merupakan tahap awal ketika masyarakat mulai
melihat, dan mengamati inovasi baru dari berbagai sumber, khususnya media masa
Pengadopsi awal biasanya merupakan orang-orang yang rajin membaca koran dan
menonton televisi, sehingga mereka bisa menangkap inovasi baru yang ada. Jika
sebuah inovasi dianggap sulit dimengerti dan sulit diaplikasikan, maka hal itu tidak
akan diadopsi dengan cepat oleh mereka, lain halnya jika yang dianggapnya baru
merupakan hal mudah, maka mereka akan lebih cepat mengadopsinya. Beberapa
jenis inovasi bahkan harus disosialisasikan melalui komunikasi interpersonal dan
kedekatan secara fisik.
Adopsi inovasi juga dipengaruhi oleh nilai yang dimiliki individu tersebut
serta persepsi dirinya. Jika sebuah inovasi dianggapnya menyimpang atau tidak sesuai
dengan nilai yang ia anut, maka ia tidak akan mengadopsinya. Semakin besar
pengorbanan yang dikeluarkan untuk mengadopsi sebuah inovasi, semakin kecil
tingkat adopsinya.
21
inovasi tidak lepas dari proses penyampaian dari satu individu ke individu lain
melalui hubungan sosial yang mereka miliki.
Riset menunjukkan bahwa sebuah kelompok yang solid dan dekat satu sama lain
mengadopsi inovasi melalui kelompoknya. Dalam proses adopsi inovasi, komunikasi
melalui saluran media massa lebih cepat menyadaran masyarakat mengenai
penyebaran inovasi baru dibanding saluran komunikasi interpersonal. Komunikasi
interpersonal memengaruhi manusia untuk mengadopsi inovasi yang sebelumnya telah
diperkenalkan oleh media massa.
b. Tahap persuasi Tahap kedua ini terjadi lebih banyak dalam tingkat pemikiran calon
pengguna. Seseorang akan mengukur keuntungan yang akan ia dapat jika
mengadopsi inovasi tersebut secara personal. Berdasarkan evaluasi dan
diskusi dengan orang lain, ia mulai cenderung untuk mengadopsi atau menolak
inovasi tersebut.
Kategori pengadopsi :
22
Rogers dan sejumlah ilmuwan komunikasi lainnya mengidentifikasi 5 kategori
pengguna inovasi :
1. Inovator : Adalah kelompok orang yang berani dan siap untuk mencoba hal-hal baru.
Hubungan sosial mereka cenderung lebih erat dibanding kelompok sosial lainnya.
Orang-orang seperti ini lebih dapat membentuk komunikasi yang baik meskipun
terdapat jarak geografis. Biasanya orang-orang ini adalah mereka yang memeiliki
gaya hidup dinamis di perkotaan yang memiliki banyak teman atau relasi.
3. Mayoritas awal : Kategori pengadopsi seperti ini merupakan mereka yang tidak mau
menjadi kelompok pertama yang mengadopsi sebuah inovasi. Sebaliknya, mereka
akan dengan berkompromi secara hati-hati sebelum membuat keputusan dalam
mengadopsi inovasi, bahkan bisa dalam kurun waktu yang lama. Orang-orang seperti
ini menjalankan fungsi penting dalam melegitimasi sebuah inovasi, atau menunjukkan
kepada seluruh komunitas bahwa sebuah inovasi layak digunakan atau cukup
bermanfaat.
4. Mayoritas akhir : Kelompok zang ini lebih berhati-hati mengenai fungsi sebuah
inovasi. Mereka menunggu hingga kebanyakan orang telah mencoba dan mengadopsi
inovasi sebelum mereka mengambil keputusan. Terkadang, tekanan dari kelompoknya
bisa memotivasi mereka. Dalam kasus lain, kepentingan ekonomi mendorong mereka
untuk mengadopsi inovasi.
5. Laggard : Kelompok ini merupakan orang yang terakhir melakukan adopsi inovasi.
Mereka bersifat lebih tradisional, dan segan untuk mencoba hal hal baru. Kelompok ini
biasanya lebih suka bergaul dengan orang-orang yang memiliki pemikiran sama
dengan mereka. Sekalinya sekelompok laggard mengadopsi inovasi baru,
kebanyakan orang justru sudah jauh mengadopsi inovasi lainnya, dan menganggap
mereka ketinggalan zaman
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Difusi adalah salah satu bentuk penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu
tempat ke tempat lainnya. Penyebaran ini biasanya dibawa oleh sekelompok manusia
yang melakukan migrasi ke suatu tempat. Sehingga kebudayaan mereka turut melebur di
daerah yang mereka tuju.Bentuk Penyebaran kebudayaan juga dapat terjadi dengan
berbagai cara. Antara lain:
3. Hubungan perdagangan
Proses Akulturasi sudah ada sejak dulu kala dalam sejarah kebudayaan manusia,
tetapi proses akulturasi yang mempunyai sifat khusus, baru timbul ketika kebudayaan-
kebudayaan bangsa-bangsa di Eropa Barat mulai menyebar ke semua daerah lain di
muka bumi, dan mulai mempengaruhi masyarakat-masyarakat suku-suku bangsa di
Afrika, Asia, Osenia, Amerika Utara, dan Amerika Latin.
Asimilasi adalah pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri
khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru. Proses asimilasi itu
ditandai oleh pengembangan sikap-sikap yang sama, yang walaupun terkadang bersifat
24
emosional, bertujuan untuk mencapai kesatuan, atau paling sedikit untuk mencapai
integrasi dalam organisasi dan tindakan. Secara matematis proses asimilasi dapat
ditulis : Aa + Bb + Cc = Dd yang berarti bahwa kelompok etnik A, B, dan C karena faktor-
faktor pendorong asimilasi terpenuhi, mengalami peleburan unsur-unsur kebudayaan
kelompok etnik a + b + c menghasilkan kebudayaan baru d, yang sebelumnya tidak ada
dalam kebudayaan A, B, maupun D.
B. Saran
Sebagai Penulis, kami merasa masih banyak kekurangan dalam pembuatan
makalah ini, maka dari itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca
sangat kami harapkan agar penyusunan makalah ini bisa mencapai kesempurnaan.
25
DAFTAR PUSTAKA
Herskovits, M.J. 1924. ”Preliminary Consideration of the Culture Areas of Africa”. American
Anthropologist. Vol. XXVI, p. 50-
Kluckhohn, C. And W.H.Lely. 1945. ”The Concept of Culture”. The Science of Man in the
World Crisis. R.Linton (Ed). New York : Columbia University Press, p 78-106
26