Anda di halaman 1dari 56

Naskah Modul Elektronik

PENDIDIKAN KEWARGANGERAAN
(MPK 4007)

MODUL I
NILAI-NILAI PANCASILA SEBAGAI
CORE VALUE PKN DAN IDENTITAS
BANGSA

Oleh:
MOHAMAD ANAS, M.PHIL

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Tahun 2014

1|Halaman
HALAMAN PENGESAHAN
Mata Kuliah : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Kode Mata Kuliah : MPK 4007

Modul 1/ Pokok Bahasan 1 : NILAI-NILAI PANCASILA SEBAGAI

CORE VALUE DAN IDENTITAS BANGSA

Nama Penulis Utama/NIP : MOHAMAD ANAS, S. FIL.I, M. PHIL

Alamat Email :

No. Tel./HP :

Nama Anggota Penulis 1/NIP : -

Nama Anggota Penulis 2/NIP : -

Nama Anggota Penulis 3/NIP : -

Fakultas/Program : UPT MKU

Jurusan/Progam Studi : -

Naskah Materi pernah dibiayai oleh hibah lain: Ya / Tidak *)

Malang,

Mengetahui:

Ketua UPT MKU Penulis Utama,

Dr.Istislam, S.H., M.Hum Mohamad Anas, M. Phil.

NIP. 196208231986011002 NIK.80011617110351

2 | Page
3 | Page
DAFTAR ISI

NILAI-NILAI PANCASILA SEBAGAI CORE VALUE


BAGI PKN
A. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM 1
B. PENDAHULUAN 1
C. ISI POKOK BAHASAN 3
1. Pengertian Nilai 3
2. Nilai Ketuhanan 8
3. Nilai Kemanusiaan Indonesia 19
4. Persatuan dalam Kebhinekaan 21
5. Jiwa Kekeluargaan dalam Musyawarah 24
6. Hakika Keadilan Sosial 25
D. LATIHAN SOAL 26
E. SOAL FORMATIF 26
F. DAFTAR PUSTAKA 27

IDENTITAS NASIONAL/BANGSA
A. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM 28
B. PENDAHULUAN 28
C. ISI POKOK BAHASAN 29
1. Pengertian Identitas Nasional 29
2. Faktor Pembentuk Identitas Nasional 31
3. Macam-Macam Identitas Nasional 32
4. Unsur Pembentuk Identitas
34
5. Integrasi Nasional 41
D. LATIHAN SOAL 50
E. SOAL FORMATIF 50
F. DAFTAR PUSTAKA 51

4 | Page
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. –tabel tentang identitas nasional

NILAI-NILAI
PANCASILA SEBAGAI
CORE VALUE BAGI
PKN

A. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


1. Memahami nilai-nilai Pancasila sebagai orientasi Pendidikan
Kewarganegaraan.
2. Mampu, secara akademik, meletakkan nilai nilai Pancasila sebagai
dasar orientasi matakuliah Pendiikan Kewarganegaraan
3. Mampu menghubungkan atau mengaitkan nilai-nilai Pancasila
dengan pokok-pokok bahasan dalam matakuliah Pendidikan
Kewargenageraan.

B. PENDAHULUAN
Segala sesuatu pasti mengandung nilai, klaim non-positivisme ini
meyakini bahwa tidak ada sesuatupun yang tidak bebas nilai, begitupun
dalam Pancasila yang syarat dengan nilai. Nilai adalah kualitas yang
melekat pada sesuatu, menurut Notonagoro nilai dapat berupa material
dan immaterial. Nilai material dimaksudkan berupa bentuk konkrit atau
nyata, bersifat empiris (yang dibuktikan berdasar pengalaman inderawi).
Sementara nilai immaterial berupa kualitas yang bersifat abstrak, namun
dapat dirasakan. Pancasila sendiri lebih kuat atau lebih cenderung
mengandung nilai yang bersifat immaterial, misalnya nilai keimanan, nilai
kemanusiaan, nilai gotong royong, nilai kekeluargaan, nilai keadilan dan
seterusnya.
Nilai-nilai tersebut harus menjadi orientasi fundamental (rujukan
mendasar) bagi Pendidikan Kewarganegaraan, sebab civic education di
5 | Page
negara-negara selain Indonesia, berbeda dengan Pendidikan
Kewarganegaraan, atau pengalaman kebangsaan dengan masyarakat
Indonesia. Hal pokok (asl al-mas’alah) yang membedakan dalam
pengalaman bernegara dan kebangsaan adalah Pancasila itu sendiri. Oleh
karena itu, Pancasila harus (wajib) menjadi rujukan nilai bagi Pendidikan
Kewarganegaraan di Indonesia. Pancasila harus menjiwai atau menyinari
praktik-praktik berbangsa, praktik berpolitik, menjadi manusia ekonomi,
manusia bersosial dan manusia yang terkait dengan dunia sekitar

C. ISI POKOK BAHASAN:


1. Pengertian Nilai

Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai,


yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Di dunia ini
terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan
masalah-masalah nilai yang khusus, seperti ekonomi, estetika, etika,
filsafat agama dan epistemologi. Epistemologi bersangkutan dengan
masalah kebenaran. Etika bersangkutan dengan masalah kebaikan (dalam
arti kesusilaan), sementara estetika bersangkutan dengan masalah
keindahan, seni (Kattsoff, 2004: 319).
Secara etimologis, aksiologi berasal dari kata axiology (Inggris)
yang berakar dari bahasa Yunani axios, artinya layak atau pantas,
sementara logos adalah ilmu, atau studi mengenai sesuatu. Jadi, aksiologi
adalah ilmu tentang kepantasan atau kelayakan (Lorens Bagus, 2005: 33).
Berikut ini beberapa pengertian tentang nilai atau aksiologi:
1. Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai. Maksud dari analisis ini
ialah memberi pengertian tentang nilai, menelaaah ciri atau
karakteristik pada nilai, menelusuri asal-muasal, tipe serta
menelaah kreteria sebuah nilai. Analisis model demikian tidak
bisa dilepaskan dari pendekatan epistemologis.
2. Aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum
tentang nilai atau sebuah studi yang menyangkut segala yang
bernilai.
3. Aksiologi adalah studi filosofis tentang hakikat (ontologis) nilai-
nilai
Secara sederhana, nilai adalah kualitas yang melekat pada objek.
Sesuatu atau objek tersebut dapat saja bernilai jika dilihat dari sudut
kegunaannya secara material, ataupun bernilai dari perspektif motivasi
atau kepentingan. Pertanyaannya, adakah suatu objek yang dapat
dihargai, dinilai lebih tinggi dari sebuah kebaikan?. Apakah nilai
kemanusiaan dapat dinilai atau bernilai sesuatu yang tinggi dari
materinya itu sendiri. Misalnya, seorang dermawan menyantuni anak

6 | Page
yatim-piatu, apakah yang bernilai itu materi (uang) yang diberikan,
ataukah nilai kebaikan itu sendiri? Untuk menjawab hal ini dibutuhkan
sudut pandang untuk melihatnya, yakni sudut pandang teori tentang nilai
itu sendiri. Manakah nilai yang lebih tinggi, antara nilai material atau
immaterial. Maka, pada prinsipnya, nilaipun berjenjang, dari tahap yang
paling sederhana hingga hal yang paling kompleks.
Beberapa persoalan mendasar yang menyangkut mengenai nilai;
Pertama, sudut pandang pertama ini melihat sebuah nilai itu mempunyai
hakikat subyektif. Nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh
manusia sebagai pelaku (subjek). Pengikut teori idealisme subjektif
(positivisme logis, emotivisme, analisis linguistik dalam etika),
menganggap nilai sebagai sebuah fenomen kesadaran dan memandang
nilai sebagai pengungkapan perasaan psikologis, sikap subjektif manusia
kepada objek yang dinilainya. Hal ini berarti unsur-unsur subjektivitas
manusia mempengaruh cara seseorang melihat sebuah realitas.
Kedua, nilai merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui
melalui akal. Pandangan yang menekankan pada penalaran akal budi ini
melihat nilai ada dalam analisis logos semata, tanpa tergantung ruang
dan waktu, hingga kesejarahan yang meliputinya; Ketiga, nilai merupakan
unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan; dalam bahasa Husserl,
“biarlah obyek yang berbicara kepada subyek”, ini dimaksudkan nilai
sesungguhnya terkandung dalam obyek itu sendiri yang ditampakkan
kepada subyek sehingga subyek dapat menampilkannya di permukaan.
Subyek diam, pasif, sementara obyeklah yang bersifat (Lorens Bagus,
2005: 34).
Dari beberapa definisi dan persoalan pokok tentang aksiologi atau
nilai tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa aksiologi adalah ilmu untuk
mempelajari hakikat nilai, struktur nilai hingga karakteristiknya. Dengan
demikian, dalam memahami hakikat nilai itu sangat terkait dengan
ontologi dan epistemology.
Dalam pandangan Max Scheler, terdapat empat jenis value pada
kehidupan manusia. Pertama, nilai sensual, nilai ada nampak dalam
tampilan seperti menyenangkan, bersifat pencitraan. Kedua, nilai hidup,
seperti keagungan, kemuliaan dan kesahajaan. Ketiga, nilai kejiwaan atau
kerokhanian, seperti nilai estetis (keindahan), nilai benar-salah (moral),
dan nilai intrinsik dalam ilmu pengetahuan. Keempat, nilai religius, seperti
yang suci, sakral, nilai yang terkait dengan keilahian atau pengalaman
keagamaan.
Dalam konteks pembedaan atas nilai yang bersifat subjektif dan
objektif, penulis mengklasifikasikannya sebagai berikut:

a. Nilai Subjektif
7 | Page
Dipandang dari aspirasi fundamental yang ada pada manusia, nilai-
nilai batin dapat bersifat subjektif terdapat dalam perkembangan
kebenaran, kebajikan dan keindahan. Nilai subyektif terdiri dari:

1). Nilai Moral


Secara prinsipil, istilah moral dan etika mengandung perbedaan
makna mendasar. Moral mempunyai makna suatu perbuatan baik
atau buruk yang dilakukan seseorang, sementara etika memberikan
pendasaran filosofis atas tindakan moral tersebut. Moral mendorong
untuk berbuat baik dan memberikan penilaian, sementara etika tidak
berpretensi menilai perbuatan itu benar atau salah, etika hanya
memberi landasan filosofis mengapa perbuatan itu dilakukan. Dalam
perspektif moral, sebuah tindakan moral dapat bersumber dari
agama, kearifan masyarakat setempat, ataupun dari nenek moyang
masyarakat kita.
Ajaran Moral, atau ajaran, wejangan, khotbah, kumpulan
peraturan dan ketetapan tentang bagaimana manusia harus hidup
dan bertindak agar menjadi manusia baik. Sumber langsung dari
ajaran moral adalah: kedudukan/kewenangan, misal orang tua, guru,
pemuka masyarakat/agamawan dan tulisan bijak. Sementara,
sumber dasar dari ajaran tersebut adalah agama, tradisi, adat-
istiadat, ideologi tertentu.
Berikut ini ciri-ciri kekhususan moral: 1). Norma moral langsung
berkaitan dengan inti karakter manusia. Karakter menyangkut inti,
kekhasan manusia yang muncul dari dalam. Maka pembahasan
mengenai moral sangat terkait dengan karakter pada diri seseorang.
2). Norma moral menjadi norma yang menegaskan kewajiban dasar
manusia dalam bentuk perintah atau larangan. Jadi ia berfungsi
sebagai imperatif kategoris. 3). Norma moral berlaku umum. Artinya,
berlaku bagi siapa saja, kapan saja dan di mana saja dan dalam
situasi apapun. Dasar dari universalitas itu adalah objektivitas dan
pertanggungjawaban rasional. 4). Norma moral berkaitan dengan
hati nurani, hati nurani adalah institusi tertinggi dari manusia dalam
menetapkan sebuah perilaku yang baik (K. Bertens, 2007).

2). Nilai Sosial

Dalam kehidupan sosial, hubungan-hubungan yang menyangkut


antar manusia tidak hanya bernilai material semata, misalnya
menyangkut hubungan dalam konteks bisnis, hubungan dalam
konteks profesional dan lain-lain, akan tetapi juga mengandung nilai
sosial yang mengandung nilai kemanusiaan. Dalam konteks
8 | Page
Indonesia, nilai-nilai yang mampu mempererat dalam masyarakat
tercermin dalam nilai kekeluargaan, nilai fundamental ini mampu
merekatkan hubungan yang memahami bahwa dalam konteks
masyarakat yang lebih luas bisa disebut kekeluargaan. Ruh progresif
untuk terus saling membantu serta adanya perasaan simpati dan
empati jika terdapat musibah yang menimpa anggota masyarakat
lain memperkuat kerekatan sosial.
Nilai-nilai sosial-budaya dalam masyarakat, khususnya
Indonesia sebetulnya amat banyak, misalnya nilai gotong royong,
nilai yang terkandung dalam ale rasa beta rasa, dan seterusnya.
Nilai-nilai tersebut mendapat tantangan yang besar di era global dan
modernitas. Sangatlah mungkin nilai tersebut tidak banyak bertahan
akibat pengaruh kemodernan yang menggiring pada pola hidup yang
bertentangan dengan nilai-nilai sosial tersebut.
Dalam kondisi tarik-menarik antara nilai sosial yang berangkat
dari kearifan lokal dan nilai yang lahir dari peradaban modern,
dibutuhkan tangan-tangan kreatif untuk mengintegrasikannya.
Mempertahankan nilai sosial yang lama, bukan berarti harus bersikap
konservatif, sementara mengambil nilai sosial yang baru untuk
diintegrasikan dengan nilai sosial yang lama bukan tanpa harus
bersikap imitatif. Integrasi kedua nilai sosial-budaya tersebut mampu
memunculkan nilai sosial baru.

3). Nilai Estetika


Nilai estetika menggambarkan keindahan dari suatu bentu
kesenian atau karya seni. Istilah 'seni' menunjukkan hal-hal yang
mengungkapkan keindahan yang mengemukakan suatu teori
estetika. Kaum seniman berpendapat bahwa seni merupakan
bahasan perasaan. Dapat dipahami di sini bahwa estetika
merupakan suatu teori yang meliputi: (1) penyelidikan mengenai
yang-indah, dan (2) penyelidikan mengenai prinsip-prinsip yang
mendasari seni. Maka kiranya dalam hal ini disimak satu segi teori
estetika yang lain, yaitu (3) pengalaman yang bertalian dengan seni,
masalah penciptaan seni, penilaian terhadap seni atau perenungan
atas seni (Kattsoff, 2004: 378).
Pengalaman estetis merupakan sesuatu yang khas manusiawi.
Ia lahir berdasarkan pengamatan inderawi yang membawa seluruh
diri manusia dalam pengamatannya. Misalnya dalam mengamati
keindahan alam dan keindahan karya seni (Muji Sutrisno dan Christ
Verhaak, 1995: 14). Keindahan estetis murni yang menyangkut
pengalaman estetis seseorang dengan segala sesuatu yang
9 | Page
diserapnya, baik secara visual, audial, maupun intelektual.
Pencerapan tidak semata-mata terjadi dengan melihat atau
membaca kata-kata dan mendengar irama yang selaras dari sajak
itu, melainkan terutama memahami dengan kecerdasan makna yang
terkandung di dalamnya (The Liang Gie, 1997: 18).
Sementara tentang keindahan, para pemikir Barat juga berbeda
pendapat. Setidaknya terdapat dua pandangan yang cukup
representatif untuk dikemukakan dalam pembahasan ini. Pertama,
keindahan diartikan sebagai rasa nikmat yang diobjektivasikan.
Menurut Santayana, keindahan tergantung pada pencerapan
manusia terhadap obyek, meskipun belum tentu obyek itu indah.
Perasaan indah itu ditandai dengan adanya perasaan nikmat. Kedua,
keindahan sebagai obyek tangkapan akali. Gagasan ini diwakili oleh
Thomas Aquinas dan Jacques Maritain. Menurutnya, keindahan
adalah suatu obyek yang dapat menimbulkan kesenangan pada akal.
Obyek itu sendiri indah karena ia memiliki unsur-unsur seimbang,
tertib dan sempurna (Kattsoff, 2004: 389-392).

4). Nilai Spiritual

Sebagai makhluk Tuhan, secara fitrah manusia terus menerus


berusaha untuk menemukan jalan spritualnya. Dalam proses
pengembaraan menuju Tuhan, manusia mengalami berbagai
pengalaman religiusitas. Nabi Ibrahim menunjukkan betapa dalam
menemukan Tuhan menemukan jalan berliku dan berat. Perenungan
dan sikap kritis yang ditunjukkan Nabi Ibrahim dalam mengarungi
keberadaan Tuhan berangkat dari alam sekitar yang akhirnya
menemukan Tuhan. Begitu pula dengan berbagai pengalaman
spiritualitas yang dialami para pemuka agama-agama dunia, sebut
saja Nabi Musa, Nabi Isa (Jesus), Nabi Muhammad, Sidharta
Gautama, dan seterusnya.
Jalan lain yang akan ditelusuri dari beberapa petunjuk dalam
“pembuktian ontologis” merefleksikan apakah mungkin manusia
mengerti istilah seperti “sesuatu yang tidak dapat dipikirkan sesuatu
yang lebih besar daripadanya kalau ia tidak mempunyai semacam
pengalaman, semacam kesadaran akan sesuatu itu. Jalan ini tidak
objektif dalam arti sebuah deduksi, jadi sesuatu yang belum
dipastikan ada (Tuhan) mau dideduksikan dari sesuatu yang ada
(kenyataan di dunia), melainkan jalan ini bersifat transendental. Jalan
ini sebenarnya mau menguraikan sesuatu yang sebenarnya termuat
dalam kesadaran manusia, tetapi biasanya tidak diperhatikan.

10 | P a g e
Dengan kata lain, sebenarnya kita akan mengatakan bahwa
sebenarnya manusia mempunyai suatu pengalaman tentang Tuhan.
Tuhan, bukanlah sama sekali sesuatu yang asing, pengalaman itu
bukan objektif karena Tuhan tidak muncul sebagai suatu objek.
Melainkan pengalaman itu transcendental, bahwa di dalam segala
kegiatan kita selalu sudah bersentuhan dengan Tuhan. Tuhan itu
muncul sebagai syarat kemungkinan bahwa manusia dapat
mengetahui, menghendaki, menghayati makna dan menyadari hati
nurani (Magnis Suseno, 2005: 151).
Akan tetapi penunjukan yang transendental ini bukan sebuah
pembuktian, pengalaman seacam ini tidak pernah dapat
“dibuktikan”, dideduksikan. Pengalaman ini bukan tentang suatu
obyek yang bisa ditunjuk. Pengalaman transendental ini secara
hakiki terlibat dalam pengalaman sebuah objek (terbatas). Di dalam
pengalaman tentang yang terbatas selalu sudah ada pengalaman
tentang yang tak terbatas. Maka, orang tidak dapat seakan-akan
dipaksa untuk mengakuinya. Apabila ada orang menyangkal bahwa
kesadaran akan Yang-Tak-Terhingga itu tersangkut dalam
pengalamannya, tak ada cara untuk memaksanya. Paling-paling kita
dapat mengajaknya untuk memperhatikan kesadarannya dengan
lebih tajam. Barangkali ini lebih dekat dengan fenomenologi, ia
menunjuk, bukan membuktikan. Apabila orang tidak melihat apa
yang ia tunjuk, tak ada cara membuktikan apa yang mau
ditunjukkan. Sebab kesadaran akan Tuhan bersifat implisit, terlibat
dalam apa yang secara eksplisit, secara obyektif, disadari. Pada
umumnya, manusia hanya tersedot perhatiannya pada obyek
kasadaran sehingga apa yang terlibat dalam proses penyadaran
luput dari perhatian (Magnis Suseno, 2005: 152).

b. Nilai Objektif

Nilai-nilai imanen dalam kebudayaan subjektif harus dinyatakan diri


dalam bentuk yang lebih nyata dan riil. Bentuk nyata inilah yang sering
disebut dengan kebudayaan objektif. Di dalam proses pertukaran tersebut
terjadi dialog antara manusia dengan lingkunan sosial dan alam. Nilai-nilai
yang direalisasikan secara batin merupakan landasan terhadap
perkembangan batin lebih lanjut, terus-menerus dalam sarana yang
semakin kompleks.

1). Nilai Ekonomi

11 | P a g e
Nilai ekonomi merupakan bentuk perwujudan nilai yang
menyangkut materi atau bentuk fisik yang bisa memberi manfaat
pada subjek yang mengamati suatu objek. Misalnya, kesehatan,
kenyaman, dan perlindungan fisik (Rescher, 1969: 16).
Bakker (2005: 17) mengutip pendapat S. Thomas bahwa dalam
segala kegiatan manusia mengarah ke karya budi sebagai tujuan.
Agar akal budi berfungsi sempurna, maka dibutuhkan keutuhan dan
kesehatan badan yang diusahakan oleh teknik-teknik yang
menyediakan keperluan-keperluan kehidupan. Jadi jelaslah bahwa
dalam perspektif ini bagaimana segala tugas dan kewajiban manusia
digerakkan untuk memungkinkan perkembangan daya budi.
Evaluasi nilai dilihat dari sifat keuntungan dalam segi ekonomi
yang didapatkan dari objek adalah ciri utama dari kategori nilai
ekonomi. Nilai ekonomi ada karena penilaian terhadap objek yang
bisa memberi keuntungan dalam hal ekonomi bagi subjeknya
(Rescher, 1969: 16).

2). Nilai Hiburan

Nilai penting lain yang dimaksudkan dalam hal ini adalah nilai
hiburan. Fungsi hiburan merupakan sistem sosial-budaya hadir
ditengah-tengah kehidupan sebagai suatu hal yang mempunyai arti
dan maksud tertentu. Salah satu maksud dan tujuannya sebagai
aktualisasi pikiran dan jiwa manusia. Selain dapat digunakan untuk
memuaskan kebutuhan batin manusia akan hiburan, keberadaan
suatu bentuk kesenian tidak terlepas dari dukungan masyarakat
sebagai makhluk sosial yang menggunakan kesenian sebagai sarana
kegiatan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

3). Nilai Lingkungan

Nilai lingkungan memuat hubungan antara manusia, alam dan


Sang Pencipta. Dalam nilai lingkungan, manusia diajarkan untuk
menjaga lingkungan sekitarnya tidak hanya dalam cakupan khusus
seperti lingkungan individu atau rumah tangga, namun juga memuat
hubungan manusia dengan seluruh alam yang menyokongnya.
Habitat atau alam fisik sekitar mempunyai pengaruh besar pada
proses kebudayaan. Manusia tidak dapat mempertahankan diri di
hadapan alam sekitarnya selain dengan menjawab tantangannya.
Hal tersebut terutama berlaku untuk alam sekitar yang dahsyat. Di
sana habitat merupakan faktor yang menentukan, tetapi kurang atau
lebih habitat ikut serta membina kebudayaan. Habitat menandakan
12 | P a g e
keadaan alami dari eksistensi manusia, ciri-ciri fisik dari lingkungan
yang didiami oleh sekelompok manusia; sumber-sumber alam,
keadaan, ketinggian, dan ciri-ciri geografi lainnya bagi mereka untuk
bisa menyesuaikan dirinya (Bakker, 2005: 64).

2. Nilai-nilai Ketuhanan
a. Pengalaman Kebertuhanan

Kepercayaan kepada "yang adikodrati", Tuhan dan pengalaman


religiusitas merupakan gambaran khas semua agama, aliran
kepercayaan, bahkan aliran kebatinan. Kendati demikian, kepercayaan
kepada Tuhan berada dalam banyak perwujudan yang berbeda-beda.
Perbedaan manifestasi ini disebabkan oleh berbagai macam faktor,
diantaranya adalah faktor pengetahuan, kondisi sosial-budaya atau
bahkan ekonomi. Tetapi lebih dari itu, yang perlu digaris bawahi disini
bahwa persoalan kepercayaan merupakan persoalan yang sangat
terkait dengan pengalaman intersubyektivitas. Kepercayaan kepada
yang ghaib tersebut melahirkan suatu tata nilai yang berguna untuk
menopang keberlangsungan kehidupan manusia sendiri. Tata nilai
tersebut selanjutnya melembaga dalam suatu tradisi-tradisi yang
diwariskan turun-temurun lalu mengikat anggota masyarakat yang
mendukungnya. Dengan demikian, terdapat hubungan yang cukup
erat antara kepercayaan, nilai dan tradisi.
Perkembangan pemikiran manusia berjalan ke arah pada
kemajuan (progress). Tanpa bermaksud untuk mengeneralisir secara
keseluruhan di era modern ini, bahwa tentu masih saja ada
sekelompok orang yang masih mempercayai adanya kekuatan dalam
benda, ruh hingga dewa. Keyakinan tentang Tuhan yang dulu berkutat
pada wilayah benda, ruh hingga menjadi dewa bergeser ke arah
paradigma tentang Tuhan yang lebih rasional. Konsep-konsep
ketuhanan yang selama ini dipercaya terbukti tidak bisa diterima akal
dan tidak bisa dibuktikan secara metafisik. Akhirnya, kepercayaan
manusia bergeser ke arah pada satu Tuhan (monoteisme).
Monoteisme sendiri dapat berbentuk deisme atau teisme.
Deisme berasal dari kata latin dues yang berarti Tuhan. Menurut
paham deisme Tuhan berada jauh diluar alam (transenden), dengan
kata lain Ia tidak berada dalam alam (immanen). Setelah Tuhan
menciptakan alam, Ia tidak memperhatikannya lagi. Alam berjalan di
atas hukum-hukum yang telah diciptakan-Nya sendiri dan tidak
berubah-ubah. Konsekwensinya, paham ini tidak lagi percaya terhadap
mukjizat, sebab bertentangan dengan hukum alam. Demikian halnya
dengan wahyu dan doa, dalam paham deisme keduanya tidak lagi
13 | P a g e
diperlukan, sebab Tuhan telah memberi manusia akal. Melalui akal,
manusia sudah bisa membedakan yang benar dan salah serta tidak
bertentangan dengan wahyu, karenanya akal menjadi potensi yang
cukup memadahi untuk memenuhi kehendak Allah (Harun Nasution,
1991:36).
Penganut paham deisme sepakat bahwa Tuhan tidak melakukan
intervensi melalui kekuatan supranatural. Secara garis besar, paham
ini terbagi menjadi empat:
1. Tuhan tidak terlibat dalam proses pengaturan alam. Dia
menciptakan alam dan memprogram perjalanannya, akan
tetapi Dia tidak menghiraukan apa yang akan terjadi ataupun
apa yang telah terjadi.
2. Tuhan terlibat dengan kejadian-kejadian yang sedang
berlangsung di alam, akan tetapi bukan mengenai perbuatan
moral manusia. Manusia memiliki kebebasan untuk berbuat
baik atau buruk, semuanya bukan menjadi urusan Tuhan.
3. Tuhan mengatur alam sekaligus memperhatikan perbuatan
moral manusia. Sesungguhnya Tuhan ingin menegaskan
bahwa manusia harus tunduk pada hukum moral yang telah
ditetapkan di jagad raya ini. Bagaimanapun, manusia tidak
akan hidup sesudah mati. Ketika seseorang mati, maka
babak terakhir kehidupannya ditutup.
4. Tuhan mengatur alam dan mengharapkan manusia mematuhi
hukum-hukum moral yang berasal dari alam. Pandangan ini
berpendapat bahwa ada kehidupan sesudah mati. Seseorang
yang berbuat baik akan mendapat pahala dan yang berbuat
jahat akan mendapat hukuman.

Salah satu aspek positif dari paham deisme adalah akal


mendapat porsi yang lebih besar dalam memahami realitas kehidupan
ini, begitu juga realitas ketuhanan (agama). Peranan akal yang sangat
dominan ini dapat memberikan sumbangsih pada upaya melakukan
telaah kritis atas pemahaman-pemahaman keagaman yang
cenderung bersifat dogmatis. Implikasi yang besar pada paham ini
adalah menempatkan tata aturan alam ini berjalan harmonis di atas
hukum alam yang telah ditetapkan Tuhan. Meskipun begitu,
pengakuan akan adanya Tuhan sebagai pengatur yang maha
sempurna jelas tergambar dalam konsep ketuhanan dalam paham ini.
Selain itu terdapat juga paham panteisme. Paham ini terdiri atas
tiga kata, yaitu pan, yang berarti seluruh, theo, berarti Tuhan, dan ism
(isme), yang berarti paham. Jadi, panteisme adalah paham yang
meyakini bahwa seluruh alam ini adalah Tuhan dan Tuhan adalah
seluruh alam (Amsal Bahtiar, 1997: 89-93). Seluruh alam kosmos ini
adalah Tuhan, semua yang ada dalam keseluruhannya adalah Tuhan
14 | P a g e
dan Tuhan ialah semua yang ada dalam keseluruhannya. Benda-benda
yang dapat ditangkap dengan panca indera adalah bagian dari Tuhan.
Karena Tuhan adalah kosmos dalam keseluruhannya dan karena
benda-benda adalah bagian dari Tuhan, maka Tuhan dalam panteisme
adalah immanen, yaitu berada dalam alam ini, bukan di luar seperti
yang diyakini oleh paham deisme. Karena seluruh kosmos ini adalah
satu, maka Tuhan dalam aliran panteisme juga satu, hanya saja Tuhan
menurut panteisme memiliki bagian-bagian. Dalam panteisme, Yang
Maha Besar itu hanya satu, dan tidak berubah. Hanya alam panca
indera saja yang berubah yang merupakan bagian dari Tuhan dan
semua itu adalah ilusi belaka (Harun Nasution, 1991: 37). Mengenai
persoalan mukjizat, kalangan panteisme menyebut sebagai hal yang
mustahil terjadi karena semua mahluk adalah Tuhan dan Tuhan adalah
semua. Jika mukjizat diartikan sebagai peristiwa yang menyalahi
hukum alam, maka hal tersebut tidak berlaku dalam panteisme sebab
Tuhan sangat identik dengan alam. Karena itu tidak ada suatu
kekuatan apapun yang berasal dari luar yang dapat mengganggu
tatanan yang sudah ada.
Paham lain yang berpandangan bahwa Tuhan adalah
transenden, tetapi sepaham dengan panteisme adalah teisme.
Menurut teisme, Tuhan memang berada di luar alam akan tetapi juga
dekat dengan alam. Berbeda dengan deisme, teisme menyatakan
bahwa alam setelah diciptakan Tuhan, bukan tidak lagi berhajat
kepada-Nya, tetapi tetap berhajat kepada-Nya. Tuhan merupakan
Sebab bagi yang ada di alam ini. Segalanya bersandar pada Sebab ini.
Tuhan adalah dasar dari semua yang ada, dan yang terjadi dalam
alam ini. Kosmos ini tidak bisa berwujud dan berdiri sendiri tanpa
Tuhan. Tuhanlah yang terus menerus secara langsung mengatur alam
ini. Dalam teisme alam ini tidak bergerak dan beredar menurut
hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang tidak berubah, akan
tetapi bergerak dan beredar berdasar kehendak mutlak Tuhan.
Pengalaman akan keber-Tuhan-an di Indonesia digambarkan
oleh Magnis Suseno bersifat ekstrovet, yakni sikap terhadap dunia luar
yang alami dengan kesatuan numinus (pengalaman spiritual) antara
alam, masyarakat dan alam adi kodrati. Pengalaman ini terejawantah
dalam berbagai ritus, tanpa refleksi eksplisit terhadap dimensi batin
sendiri. Kesatuan masyarakat, alam dan alam adi kodrati sebetulnya
terungkap dari kepercayaan bahwa setiap kejadian yang bersifat
empiris selalu berkaitan dengan hal yang adi kodrati atau
metaempiris. Kesatuan masyarakat, alam dan adikodrati ini
diwujudkan dengan sikap hormat pada nenek moyang, melakukan
15 | P a g e
ritual sesaji, slametan dan berbagai ritus lainnya. Karena setiap
kejadian di alam empiris ini selalu terkait dengan alam adi kodrati,
maka sesorang dalam perilakunya harus memperhatikan dan
melakukan ritus-ritus tersebut sebagai upaya untuk menyelamatkan
dirinya dari berbagai kejadian yang tidak diinginkan (Magnis Suseno,
1985: 82-83).
Kayakinan religiusitas berikutnya, bahwa hidup manusia telah
ditentukan oleh Tuhan sangat mewarnai perilaku masyarakat
Indonesia. Masyarakat kita tidak bisa mengelak dari ketentuan yang
telah ditentukan sebelumnya. Kelahiran, kamatian, jodoh, nasib,
adalah bentuk-bentuk takdir yang tidak bisa di lawan. Masyarakat
harus menjalankan kehidupannya sesuai dengan tingkat dan
kedudukannya karena ia tak akan mampu mengubah takdirnya secara
definitif. Oleh karena itu orang harus bisa mengerti dan memahaminya
agar dapat menjalani kehidupan ini dengan selaras dan seimbang
(Magnis Suseno, 1985: 82-83)
Pengalaman keagamaan yang cukup ekstrim bagi sebagian
masyarakat Indonesia adalah pengalaman tentang keakuan sebagai
jalan ke persatuan dengan numinus. Meskipun tujuan akhir dari lelaku
spiritual ini adalah penyatuan hamba dengan Tuhan, namun
penekannya tidak terletak pada pengalaman transendensi itu sendiri.
Penekananya justru terletak pada unsur-unsur itu sendiri, yakni teori
dan keyakinan. Sebab unsur ini menjadi sarana yang ampuh untuk
membulatkan kekuasaan eksistensinya sendiri (Magnis Suseno, 1985:
82-83).
Sebagai etika politik (teodemokrasi) dan landasan moral
penyelenggaraan negara; Kekuasaan dipahami bukan yang bersifat
empiris semata, tetapi merupakan pemberian nur ilahi (Tuhan).
Seseorang yang akan menerima kekuasaan akan terlebih dahulu
menerima pulung, atau ketiban wahyu. Kekuasaan juga dipahami
sebagai bentuk pengejewantahan kekuatan kosmos. Pemusatan
kekuatan kosmos dalam diri penguasa dicari melalui jalan tapa brata,
lelana, tanpa pamrih dan seterusnya. Kekuasan akan dikatakan
berhasil apabila sang raja mampu memberi ketentraman dan
ketenangan pada rakyatnya. Sebaliknya, jika kekacauan telah terjadi
hal ini berarti bahwa sang raja sudah tak lagi menjalankan laku
spiritual, atau sang raja telah melakukan pamrih dan mengumbar
nafsu-nafusnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa kekuasaan dalam
masyarakat Jawa sangat terkait dengan moralitas, moralitas ini
bertumpu dari pengendalian nafsu. Jika tidak mampu mengendalikan
maka secara alamiah yang akan melunturkan kekuataan kosmis atau
16 | P a g e
pemberian wahyu (pulung) yang telah dipercayakan kepadanya
selama ini (Magnis Suseno, 1991: 82-83).

b. Dialog antar agama dalam kebhinekaan keyakinan

Nilai pragmatisme dalam penyatuan hamba dengan Tuhan,


sebagai gambaran pengalaman religiusitas tersebut berakibat pada
pandangan bahwa agama apapun yang dianut tidaklah begitu
penting, akan tetapi justru yang terpenting adalah apakah
pengalaman itu cocok dan dan bermakna dalam kehidupannya.
Sebuah pengalaman spiritual yang menentramkan jalan hidupnya
yang menjadi esensi mendasar dari pola keberagamaan masyarakat
Indonesia (Jawa khususnya). Sikap yang lebih mementingkan nilai
pragmatisme ini juga sebetulnya mempunyai nilai positif bagi upaya
membangun masyarakat yang harmonis, tanpa tersekat oleh bentuk-
bentuk formal agama (Magnis Suseno, 1985: 82-83).
Konsep dasar inilah yang membuat Bung Karno menekankan
akan pentingnya Ketuhanan yang Berkebudayaan (Soekarno),
menekankan nilai toleran; hormat, kerjasama dan seterusnya. Beragai
ragam agama di Indonesia menjadikan kita harus legawa untuk
menerima perbedaan itu. Jika tidak, masihkah keimanan kita
terpasung oleh dikotomi nalar kafir dan muslim, darul harb dan darul
salam? Jika Tuhan saja tidak memaksa manusia untuk menjadi satu
komunitas, kenapa pengakuan keragaman begitu sulit kita hadirkan
dalam pengalaman keagamaan kita. Saatnya, kita melakukan
kesalehan kultural untuk mengatasi keragaman ini. Kesalehan
multikultural ini sebagai cara pandang yang dapat diterima jika
kesalehan dan keimanan diletakkan sebagai praktis dari etika dan
kemanusiaan (Munir Mulkhan, 2007: 69). Dengan demikian, dialog
antar iman pun akan bisa lepas dari belenggu keimanan sempit yang
bersifat eksklusif.
Dalam konteks keberagaman yang plural, maka prinsip-prinsip
kebabasan beragama harus ditekankan. Dalam keyakinan keagamaan,
keyakinan kepada Tuhan itu sendiri merupakan rahmat bagi manusia
dari Tuhan, karenanya Tuhan mengakui hak manusia sendiri dalam
menentukan jalan hidupnya. Meski demikian, setiap pilihan keyakinan
dan praksisnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab manusia.
Dengan pengertian semacam ini dapat digarisbawahi bahwa
pluralisme agama harus dipahami sebagai suatu pertemuaan sejati
dari keberagaman dalam ikatan-ikatan keadaban (bond of civility).

17 | P a g e
Dalam pemahan yang memang plural di bidang agama, maka
yang penting sekali untuk ditekankan adalah dialog atau musyawarah
itu sendiri. Sayangnya, dialog yang beberapa tahun terakhir ini
banyak dilakukan oleh masyarakat agama masih terbentur pada apa
yang oleh Paul Knitter disebut "toleransi yang malas" (lazy tolerance).
Artinya, dalam toleransi semacam ini, setiap agama mengajak agama
lain untuk mengakui kabsahan masing-masing mangambil jalan yang
memuaskan mereka sendiri. Untuk menciptakan atmosfir yang
memungkinkan kedua komunitas agama untuk menahan diri dari
saling menuduh yang lain sebagai tidak toleran, keduanya berharap
dengan tantangan konsep toleransi agama yang sesungguhnya. Tanpa
harus mengorbankan prinsip-prinsip agama yang mendasar, kedua
komunitas harus memiliki niat baik untuk saling mendengar satu sama
lain. Jika keduanya tidak siap dan bersedia untuk bertemu dengan
agama lain dengan sikap pengertian dan hormat, maka "toleransi
yang malas" itu tidak akan berubah, kecuali justru menjadi semakin
parah (Paul Knitter, 1995: 26-27).
Dalam konteks ini, diperlukan sebuah paradigma baru yang tidak
eksklusif dalam dialog. Paradigma dialog yang inklusif ini dirumuskan
oleh Wilfred Cantwell Smith sebagai pergeseran orientasi dialog
kearah saling menghormati, memahami dan membantu satu sama
lain dan bersama-sama bertujuan menciptakan menciptakan dunia
yang dapat diterima. Dengan demikian, misi dialog adalah untuk
bekerja sama dengan seluruh umat manusia, bukan mengisolasi diri
(Wifred Cantwell Smith, 1979: 57-68). Menurut Hans Kung, dialog
adalah bukan sekedar ko-eksistensi, yaitu dalam pengertian dialog
tidak hanya mengantarkan pada dikap bahwa setiap agama berhak
untuk bereksistensi, tetapi pada pro-eksistensi, yaitu mengakui
sekaligus mengafirmasi dan mendukung eksistensi agama selama ia
bertujuan untuk kepentingan manusia secara umum (Hans Kung dan
Karl-Josep, 1999: 32).
Lebih jauh, Raimundo Panikkar menyebutkan bahwa dialog harus
melangkah lebih jauh pada tingkatan intrarelegius, yaitu dialog yang
tidak hanya menuntut suatu sikap inklusif dan paralelisme. Yaitu suatu
sikap yang mengakui bahwa agama merupakan jalan-jalan yang
sejajar. Maka secara etis, dialog tidak dimaksudkan untuk mencampuri
urusan dan ajaran agama lain, juga tidak mau dinobatkan orang lain
dari keyakinannya yang dianut, melainkan untuk memperdalam tradisi
agama sendiri secara lebih kritis.
c. Etnis, Agama dan Nasionalisme

18 | P a g e
Nasionalisme kultural yang mengalami kebangkitan setelah
perang dunia II ternyata dibarengi dengan peningkatan sentimen
etnisitas, bahkan sentimen keagamaan, yang pada gilirannya
memunculkan nasionalisme politik yang amat kental. Menurut
Azyumardi Azra, mengutip pendapat Nodia, nasionalisme itu ibarat
satu koin yang mempunyai dua sisi. Sisi pertama adalah politik, dan
sisi lainnya adalah etnik. Tidak ada nasionalisme tanpa elemen politik;
tetapi substansinya tak bisa lain kecuali sentimen etnik. Hubungan
elemen ini ibarat jiwa politik yang mengambil tubuhnya dalam
etnisitas. Semua ini terlihat jelas melalui latar belakang kemunculan
negara-negara di bekas Uni Soviet, Yugoslavia, Kurdistan, atau Eritrea,
dan terakhir Kosovo. Nasionalisme yang muncul merupakan
perpaduan sentimen etnisitas dan politik yang kemudian
beramalgamasi dengan semangat keagamaan. Hasil dari perpaduan
ini adalah nasionalisme yang sangat chauvinisme dan fascis, seperti
terlihat jelas dalam kasus Serbia (Azyumardi Azra, 2014).
Dalam buku, Global Paradox (1994), John Naisbitt secara tersirat
menyebut etnisitas chauvinistik dan radikal itu sebagai ‘new
tribalism". Tribalisme baru ini secara sempurna mewujudkan diri
dalam berbagai tindak kebrutalan, perkosaan, pembunuhan, dan
bentuk-bentuk lain ‘ethnic cleansing' di wilayah bekas Yugoslavia. Hal
ini merupakan kecenderungan yang sangat berbahaya. Di sini Naisbitt
mengutip laporan The Economist, yang menyatakan bahwa "virus
tribalisme . . . mengandung risiko menjadi AIDS politik internasional,
yang diam selama bertahun-tahun, tetapi tiba tiba membara untuk
menghancurkan berbagai negara." Naisbitt memprediksikan, pada
masa depan kebanyakan konflik bersenjata akan bermotif etnik dan
tribalisme ketimbang bermotif ekonomi dan politik (Azyumardi Azra,
2014).
Teori tentang ‘tribalisme baru' sesungguhnya tidaklah terlalu
baru. Konsep tentang ‘tribalisme baru' ini pertama kali dikembangkan
Greely  dan Novak dengan sebutan ‘new ethnicity'. Keduanya
berargumen, sejak 1970-an di Amerika Serikat terjadi semacam
kebangkitan minat dan kesadaran etnisitas, sehingga sebutan Amerika
sebagai melting pot semakin kehilangan maknanya. Namun, berbeda
dengan ‘tribalisme baru' kontemporer yang disebut Naisbitt, Novak
melihat adanya dua elemen dasar etnisitas atau tribalisme baru itu,
yaitu sensitifitas terhadap pluralisme etnik yang dipadukan dengan
sikap respek terhadap perbedaan kultural antara berbagai kelompok

19 | P a g e
etnis, dan pengujian secara sadar terhadap warisan kultural kelompok
etnis sendiri (Azyumardi Azra, 2014).
Sejauh mana relevansi teori Naisbitt atau Greely dan Novak
dengan pengalaman Indonesia? Negara ini tentu saja memiliki potensi
etnisitas atau tribalisme yang luar biasa besar. Namun, harus diingat
bahwa kebangkitan ‘tribalisme baru' yang relatif ‘modern' seperti
terjadi di Amerika Serikat atau ‘tribalisme baru primitif' di bekas
Yugoslavia mempunyai konteks sosial dan historis tertentu, yang
dalam banyak segi berbeda dengan Asia Tenggara (Azyumardi Azra,
2014).
Pengalaman historis Indonesia dengan nasionalisme, khususnya
dalam hubungan dengan etnisitas dan agama sangat kompleks.
Kompleksitas itu tidak hanya disebabkan perbedaan-perbedaan
pengalaman historis dalam proses pertumbuhan nasionalisme, tetapi
juga oleh realitas Indonesia yang sangat pluralistik, baik secara etnis
mau pun agama. Peta etnografis Indonesia sangat kompleks, antara
lain sebagai hasil dari tipografi kawasan ini. Indonesia dihuni
kelompok-kelompok etnis dalam jumlah besar yang, selain
mempunyai kesamaan kesamaan fisik-biologis, juga memiliki
perbedaan-perbedaan linguistik dan kultural yang cukup substansial.
Meskipun demikian, dalam pertumbuhan nasionalisme di
Indonesia umumnya, etnisitas dapat dikatakan tidak sempat
sepenuhnya mengalami kristalisasi menjadi dasar nasionalisme.
Terdapat beberapa faktor yang menghalangi terjadinya kristalisasi
sentimen etnisitas tersebut. Yang terpenting di antara faktor-faktor itu
adalah agama dan kesadaran tentang pengalaman kesejarahan yang
sama. Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa etnisitas tidak
menjadi faktor penghambat yang signifikan dalam pertumbuhan
nasionalisme Indonesia. Bahkan, etnisitas cenderung kehilangan
relevansinya sebagai sebuah tema politik. Hanya ada sebuah contoh
yang agak langka, Gerakan Hasan Tiro di Aceh yang memang
berusaha mengeksploitasi sentimen etnisitas Aceh vis-à-vis apa yang
disebutnya sebagai ‘kolonialisme Jawa'. Ternyata tema "etnisitas"
seperti ini tidak mendapatkan dukungan historis, sosiologis dan
kultural dari kelompok-kelompok etnis lainnya. Sebab itu, Hasan Tiro
mencoba mengeksploitasi sentimen lain yang menurutnya mungkin
lebih ampuh, yakni dengan mengangkat nasionalisme Sumatera
melalui apa yang disebutnya sebagai "Sumatera Merdeka". Ini jelas
sudah keluar dari etnisitas dalam pengertian sesungguhnya. Bisa

20 | P a g e
dipastikan, tidak banyak orang Sumatera yang menganggap serius
tema ini (Azyumardi Azra, 2014).
Azyumardi sependapat dengan Himmelfarb, adalah ironi yang
pahit bagi sejarah bahwa sekarang ini ketika nasionalisme lebih baru
menjadi lebih agresif dan brutal, nasionalisme lama menjadi lebih
pasif, jinak, bahkan menolak kaitannya dengan agama. Agama
dipandang tidak hanya sekadar kendala, tetapi bahkan merendahkan
nasionalisme itu sendiri. Ini terlihat, misalnya, dari pandangan
Fukuyama yang menganggap agama hanya menimbulkan dampak
negatif terhadap nasionalisme (Azyumardi Azra, 2014).
Pengalaman pertumbuhan dan kebangkitan nasionalisme
Indonesia dalam hubungannya dengan etnisitas dan agama, seperti
dikemukakan di atas, cukup bertolak belakang dengan pandangan
Fukuyama. Fukuyama benar ketika menyatakan bahwa nasionalisme
awal (tepatnya proto-nasionalisme) pada abad ke-16 di Eropa yang
begitu kental dengan sentimen keagamaan, hanya menghasilkan
fanatisme keagamaan dan perang agama. Anggapan ini juga mungkin
benar dalam hubungannya dengan brutalitas nasionalisme Serbia
beberapa tahun lalu. Namun, dalam kasus Islam di Indonesia, justru
kebalikannya. Dengan wajah yang lebih toleran dan ramah, Islam
Indonesia justru merangsang, menumbuhkan, dan berperan amat
positif dalam pertumbuhan nasionalisme (Azyumardi Azra, 2014).
Dalam pengalaman Indonesia, kemajemukan etnisitas beserta
potensi divisif dan konfliknya dengan segera dijinakkan faktor Islam
sebagai agama yang dipeluk mayoritas penduduk Islam
menjadi "supra-identity" dan fokus kesetiaan yang mengatasi identitas
dan kesetiaan etnisitas. Dengan demikian, kedatangan dan
perkembangan Islam di Indonesia tidak hanya menyatukan berbagai
kelompok etnis dalam pandangan keagamaan dan dunia yang sama,
tetapi juga dalam aspek-aspek penting-yang bahkan menjadi dasar
nasionalisme-khususnya bahasa. Berkat Islam, bahasa Melayu yang
kemudian menjadi bahasa Indonesia, menjadi lingua franca berbagai
kelompok etnis di Indonesia (Azyumardi Azra, 2014).
Kesetiaan pada Islam di Indonesia pada gilirannya memperkuat
kesadaran pengalaman kesejarahan yang sama. Dalam pengertian ini,
penjajahan Belanda-yang secara teologis menurut ajaran Islam,
adalah kafir-merupakan semacam blessing in disguise. Dengan kata
lain, penjajahan Belanda mendorong berbagai kelompok etnis di
Indonesia bersatu pada tingkat teologis keagamaan. Di sinilah

21 | P a g e
kemudian sentimen etnisitas menjadi sesuatu yang tidak relevan.
Lihatlah misalnya pengalaman Abd al-Shamad al-Palimbani (1704-
1789), ularna besar asal Palembang yang mengirim surat-surat dari
Mekah kepada penguasa Jawa Mataram untuk melakukan jihad
melawan Belanda (Azyumardi Azra, 2014), atau resolusi Jihad
dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari sehingga melahirkan
pertempuran pada 10 November 1945.
Dengan demikian, dalam kasus Indonesia, Islam menjadi
unsur genuine, pendorong munculnya nasionalisme Indonesia. Pada saat
yang sama, Islam juga mampu menjinakkan sentimen etnisitas untuk
menumbuhkan loyalitas kepada entitas lebih tinggi. Kenyataan ini juga
terlihat dari kemunculan Sarekat Islam (SI) yang merefleksikan
nasionalisme keislaman-keindonesiaan, sekaligus sebagai respons
terhadap kebangkitan nasionalisme di kalangan masyarakat Cina Hindia
Belanda-baik Cina keturunan maupun Cina totok. Walau pun SI pada
esensinya merupakan amalgamasi dari berbagai aspirasi-dari gagasan
Ratu Adil sampai ke tandingan terhadap dominasi Cina-ia mampu menjadi
organisasi yang melewati batas-batas etnisitas dan wilayah (Azyumardi
Azra, 2014).

d. Agama dan Pembangunan (Industrialisasi)

Gencarnya arus modernitas dan kapitalisme global serta


semakin pesatnya gelombang industrialisasi yang juga berimbas pada
wilayah keagamaan di tanah air cukup membuat resah kaum
agamawan dan pengikutnya. Baik disadari atau tidak, arus
industrialisasi telah membuat religiusitas dan kesadaran ilahiyah
termaterialisasi. Bentuk-bentuk ritual keagamaan Meksi kadang tidak
bisa dinalar, bagaimana mungkin terjadi demikian?. Kondisi ini terjadi
akibat paradigma kita tentang agama dan pengamalannya
terkontaminasi oleh kuatnya hegemoni nalar tekstual dalam
beragama, akibatnya nilai-nilai yang luhur dalam beragama nyaris
musnah digerus oleh kuatnya industrialisasi dan sekaligus
‘penguburnya’ dari dalam. Kesadaran agama baru ini kiranya akan
mampu menggesar paradigma keagamaan yang formalistik, melalui
kesadaran peradaban yang sintesis dan mistik antara peradaban
material dan spiritual sebagai bagian integral kesadaran kemanusiaan
masyarakat industrial. Inilah bentuk kesalehan industrial (Munir
Mulkhan, 2007: 58).
Sebagai bentuk respon terhadap hegemoni modernitas dan
industrialisasi, konteks keberagamaan kita juga dihadapkan pada
kearifan lokal. Pengalaman unik keagamaan justru menjadi bagian dari
22 | P a g e
multi kesadaran ilahiyah dan multikultur tanpa bisa diseragamkan
dalam satu ideologi. Pembelajaran agama berbasis kearifan lokal.
Dihadapkan budaya global, muncul berbagai bentuk “agama baru”
yang saintifik. Agama baru yang sama sekali bebeda dari tradisi
ritual, kesadaran kosmos dan teologi agama-agama besar dunia yang
permah ada. Sayangnya, elit-elit agama masih terperangkap pada
tafsir klasik yang bersifat ideologis. Kemunculan agama baru ini dapat
dihadang melalui “kehadiran tuhan dalam wajah yang baru dalam
tafsir ajaran-ajarannya yang bersifat obyektif dan kemanusiaan (Munir
Mulkhan, 2007: 129).
Dalam konteks pembangunan bangsa yang selalu dikonotasikan
oleh negara sebagai pembangunan fisik, maka peran agama dalam
konteks ini sebagai fungsi kontrol. Penghambaan agama atas
kekuasaan di saat kekuasaan menyeleweng justru mereduksi agama
yang mempunyai jiwa pembebas. Ingat, semua agama yang
diturunkan di mukan bumi mempunyai fungsi pembebasan, pembebas
dari ketidakadilan structural oleh rezim atau penguasa di masa itu,
ataupun sebagai pembabasan manusia dari suatu bentuk
‘penghambaan’ pada materi semata. Di sisi lain, agama juga sangat
mungkin diperankan sebagai ‘etos’ untuk pembangunan itu sendiri.
Etos, spirit atau ruh untuk membangun secara berkeadilan, baik
pembangunan manusia secara utuh, maupun pembangunan dalam
bentuk yang lain. Inilah sebuah gerakan agama non-ideologis yang
kultural, disebut demikian karena gerakan agama ini menekankan
pada ‘idea moral’ agama itu sendiri, bukan agama dalam bentuk
formal, apalagi ritual yang ditampakkan.

3. Nilai Kemanusiaan Indonesia

Inti pokok sila kedua adalah manusia, kata ‘manusia’ merupakan


akar kata kemanusiaan, manusia merupakan subjek pendukung utama.
Manusia adalah subjek pendukung pokok negar. Oleh karena itu, manusia
sebagai atau menjadi subjek pendukung sila-sila dalam Pancasila.
Pancasila menjadi dasar filsafat daan asas kerokhanian bangsa dan
negara Indonesia, karena bangsa sebagai rakyat adalah terdiri atas
manusia-manusia.
Unsur hakikat manusia adalah sebagai berikut:
1. Susunan Kodrat manusia terdiri atas:
a. Raga yang terdiri atas, unsur benda mati, unsur binatang dan
unsur tumbuhan
b. Jiwa yang terdiri atas unsur akal, rasa dan kehendak
2. Sifat-sifat kodrat manusia terdiri atas:
23 | P a g e
a. Makhluk individu
b. Makhluk sosial
3. Kedudukan kodrat manusia terdiri atas:
a. Makhluk berdiri sendiri
b. Makhluk Tuhan (Notonagoro, 1975: 87-88)

Susunan kodrat manusia terdiri atas dua unsur yaitu raga dan jiwa
yang merupakan suatu susunan (monodualis, kedua-tunggalan). Manusia
adalah makhluk yang berbadan, yang terdiri dari unsur air mani dan
tanah. Sebagaimana makhluk lain yang terbentuk dari unsur materi,
manusia mempunyai sifat dan ciri-ciri makhluk materi yang terikat dengan
hukum-hukum alamiah, seperti kemampuan untuk tumbuh, berkembang,
bergerak, mempunyai nafsu, instink dan seterusnya. Badan manusia ber-
tumbuh mulai dari kecil menjadi besar, dan ia hanya bisa berkembang
sebagai manusia jika badannya memungkinkan. Menjadi manusia karena
memang terbangun dari badan, ia merupakan suatu struktur hidup,
berproses menurut hukum-hukum biologis. Struktur badan tersebut terdiri
dari beberapa sub-struktur yang tak terhingga jumlahnya, yang nampak
sebagai bangunan dari sel-sel, dan mempunyai diferensiasi yang
berbentuk organ-organ yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda pula.
Setelah ditiupkan ruh ke dalam jasad manusia, maka terjadilah
persatuan antara materi dan ruh ini yang membuat perubahan yang
mendasar bagi diri manusia. Menurut al-Razi, manusia lalu menjadi sosok
makhluk yang bersifat materi dan makhluk ruhani (spiritual) sekaligus.
Persatuan antara materi dan ruh ini tidak terpisah satu sama lain, kecuali
telah dipisahkan oleh kematian. Dengan demikian, dari sisi pertumbuhan
materi/fisik, manusia tumbuh dan berkembang sebagaimana layaknya
makhluk lain. Perbedaannya justru terletak pada aspek ruh yang telah
ditiupkannya ke dalam materi tersebut. Inilah hakekat manusia yang
sebetulnya, ia terbentuk dari dua aspek sekaligus, yakni aspek materi dan
ruhani/jiwa.
Dalam jiwa manusia terkandung akal-budi yang berfungsi
menciptakan atau melahirkan ilmu dan pengetahuan, serta teknologi,
sementara rasa mengantarkan manusia mampu meciptakan karya-karya
estetika, keindahan dan keutamaan. Potensi kehendak pada diri manusia
mengantarkannya untuk mampu bertindak dan berperilaku secara
baik/bermoral. Atas dasar kemampuan inilah, manusia mempunyai
berbagai potensi sekaligus kemampuan yang bisa difungsikan dalam
menjalani hidup sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya. Karenanya, hanya
dengan jalan menggunakan potensi kemanusiaan secara integral,
manusia akan mampu membangun hubungan sosial (lingkungan sekitar,
baik dengan alam dan manusia) dengan baik, juga akan mampu
24 | P a g e
membangun hubungan dengan yang transendan, yakni Tuhan, secara
terus menerus. Menurut Notonagoro, kedudukan kodrat manusia terdiri
atas dua unsur, yakni makhluk berdiri sendiri dan makhluk Tuhan yang
merupakan satu kesatuan (monodualis). Keseluruhan unsur-unsur tersebut
merupakan suatu kesatuan hakikat manusia yang bersifat monopluralis.
Dalam pelaksanannya manusia harus senantiasa berpedoman pada
suatu norma yang baik, agar terlaksananya nilai-nilai hakikat manusia.
Dalam keadaan yang demikian ini manusia mempunyai sifat dan watak
yang luhur yang sesuai dengan hakikat manusia monopluralis, yang
menurut Notonagoro disebut tabiat saleh, yang meliputi empat hal
(Kaelan, 2009: 168-169):
a. Watak penghati-hati (kebijaksanaan)
Sikap perbuatan manusia harus senantiasa merupakan hasil
pertimbangan dari akal, rasa dan kehendak secara selaras. Akal
memberi pengetahuan tentang perbuatan yang bagaimana
harus dilakukan, rasa mengujinya dengan berpedomoan pada
hasratnya (secara estetis), serta kehendak akan menentukan
perbuatan tersebut dilakukan atau tidak (secara etis).
b. Watak keadilan
Hakikat manusia monopluralis harus terjelama dalam suatu
perubahan adil dalam suatu perubahan adil susunan kodrat
manusia terdiri atas jiwa raga, sifat kodrat manusia sebagai
makhluk berdiri sendiri dan makhluk Tuhan. Oleh karena itu,
dalam segala manifestasi perbuatannya manusia harus
senantiasa bersifat adil yaitu kemampuan untuk memberikan
kepada diri sendiri dan kepada orang lain secara semestinya
yang menjadi haknya.
c. Watak kesederhanaan
Setiap perbuatan manusia harus bersifat sederhana, yaitu harus
menekan dan menghindari pelampauan (berkelebihan) dalam
wujud kemewahan, kenikmatan atau hal-hal yang bersifat enak.
Oleh karena itu hasrat-hasrat ketubuhan, hasrat individu
maupun makhluk sosial harus senantiasa saling membatasi diri
agar tidak melampaui batas.
d. Watak keteguhan
Yaitu kemampuan yang ada pada manusia untuk membatasi diri
agar supaya tidak melampaui batas dalam hal menghindari diri
dari duka atau hal yang enak, hal ini sebagai keseimbangan
dengan watak kesederhanaan

Lebih jauh terkait dengan eksistensi manusia ketika berhadapan


dengan orang lain, yakni menyangkut HAM. Hakikat manusia yang
komplek monopluralis tersebut menjadi dasar berjalannya Hak Asasi
Manusia (HAM) di Indonesia, keyakinan bahwa manusia secara kodrat
25 | P a g e
adalah makhluk ciptaan Tuhan maka implikasi dari pandangan tersebut
hak asasi itu disamping melekat pada diri manusia sejak lahir, juga
meyakini bahwa Tuhan adalah pemberi hak asasi tersebut. Prinsip
mendasar tentang manusia (filsafat manusia) yang menyangkut
keyakinan Tuhan sebagai pemberi hak bagi manusia inilah yang
membedakannya dengan HAM di dunia Barat.
Hak asasi yang melekat pada manusia tidak boleh dicabut oleh
siapapun dan dengan cara apapun, ketika negara belum ada-pun hak
asasi lebih dahulu ada. Maka seharusnya, realisasi kemanusiaan yang
beradab semestinya memperhatikan hak-hak asasi manusia yang telah
lama ada. Singkatnya, negara harus melindungi HAM dan kemanusiaan
sebab pada prinsipnya hak asasi telah ada lebih dahulu, Negara tidak
boleh mendiskriminasi hak-hak telah dimiliki oleh warga Negara.
Prinsip anti diskrimatif yang ditekankan pada sila kedua ini
melahirkan sikap egaliter, memandang sederajat, sama sebagai manusia
seutuhnya tanpa membedakan manusia lain berdasarkan agama, suku,
ras, bahasa, etnis dan lain sebagainya. Inilah prinsip mendasar
kemanusiaan yang adil dan beradab yang kemudian oleh negara dibentuk
perangkat peraturan untuk mengaturnya.

4. Persatuan dalam Kebhinekaan

Beragam etis, suku, budaya dan agama pada masyarakat Indonesia


sesunggunya bisa menjadi modal sosial (capital social) yang mendasar
dalam membangun sebuah peradaban, namun beragam budaya tersebut
malah terkadang bersifat kontraproduktif, yang menimbulkan konflik
berkepanjangan antar suku, etnis, budaya dan bahkan agama.
Dalam pengertian sederhana, kebhinekaan dapat dipahami sebagai
keragaman budaya dalam suatu komunitas. Di dalam keragaman terdapat
hubungan timbal-balik atau interaksi, konflik, saling menghormati dan
menghargai, toleran, integrasi, dan bahkan disintegrasi. Masyarakat
multikultur adalah masyarakat yang terdiri atas ragam etnis dan
kebudayaan yang beranekaragam. Kehidupan mereka tidak diatur oleh
sistem budaya tunggal dan tertutup, atau dalam terminologi postmodern
grand narrative, narasi tunggal, melainkan terdiri atas sistem budaya
yang beragam dan nilai yang relatif (J. F. Lyotard, 1991).
Masyarakat multikultur dibedakan dengan masyarakat monokultur,
sebuah masyarakat asli (archais) atau etnis yang semua anggotanya
masyarakatnya berkarakter sama atau homogen, dan bahkan pada
masyarakat yang terikat secara paksa atau tak sadar berdasarkan nilai-
nilai yang dominan dan kuat dalam struktur masyarakatnya. Meskipun

26 | P a g e
konsep masyarakat multikultur masih problematik, secara umum
masyarakat multikultur dinyatakan sebagai sebuah kumpulan beraneka
ragam masyarakat yang memiliki kebudayaan yang eksis satu sama lain
di atas suatu wilayah (Chairul Mahfud, 2006: 86).
Keragaman budaya sesungguhnya mempunyai karakter yang
bersifat ganda, di satu sisi keragaman merupakan potensi besar untuk
membangun peradaban besar, tetapi di sisi lain juga menjadi ancaman
tersendiri, yakni beruapa konflik tidak mampu dikelolah dengan arif dan
bijak, maka primordialisme tidak mampu dibendung yang mengakibatkan
perang antar budaya atau meminjam istilah Samuel Huntington terjadi
benturan peradaban (Samuel Huntington, 2002). Jika konflik horizontal
dalam masyarakat multikultural tidak terjadi berarti telah terbangun
toleransi yang tinggi yang dianut oleh masyarakat. Dalam konteks lokal,
ada asumsi yang berkembang, hal itu disebabkan adanya ikatan adat
yang begitu kuat, sehingga konflik horisontal bisa diantisipasi sedini
mungkin
Di Indonesia, fenomena divergen-disintegratif semakin jelas setelah
runtuhnya rezim Orde Baru, bersamaan dengan makin masifnya praktik-
praktik kapitalisme neoliberal, salah satu ciri terkuat dari globalisasi.
Fenomena divergen-disintegratif di Indonesia berjalan seiring dengan
semua itu, dipicu oleh proses desentralisasi dan otonomi daerah yang
dikukuhkan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 mengenai
Pemerintahan Daerah dan UU No 15/1999 mengenai Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah.
Alih-alih untuk mempersatukan ”mempersamakan” (conformity)
semua elemen negeri ini (slogan Orde Baru), atau mensejahterakan
masyarakat dengan kebijakan disentralisasi dan otonomi daerah (Orde
Reformasi), akan tetapi justru penghargaan dan pengakuan atas
kehadiran ‘yang lain’ (the other) terabaikan. Politik sentralisme kekuasaan
yang pada masa Orde Baru memaksakan paradigma "monokulturalisme"
dengan mengatastanamkan persatuan dan kesatuan. Politik sentralistik
atau paradigma monokultral ini telah menghancurkan local cultural
geniuses, seperti tradisi “pela gandong” di Ambon, “republik nagari” di
Sumatera Barat.
Akibatnya, paradigma tunggal ini mengalami anomali dan
muncullah reaksi-reaksi balik, yang mengandung implikasi-implikasi
negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural.
Sementara proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan
pemerintahan kini justru mengakibatkan terjadinya peningkatan gejala
"provinsialisme", "etnisitas", dan kesukuan.

27 | P a g e
Fenomena divergen-disintegratif ini kian nyata dalam keseharian
hidup bermasyarakat dan berbangsa, berupa rasa kedaerahan, identitas
kesukuan, kelompok, dan agama yang menguat, menimbulkan
fragmentaris kelompok dan konflik-konflik horizontal yang sebelumnya
tidak muncul ke permukaan. Hal ini dapat dilihat dari kasus-kasus Poso,
Kupang, Mataram, Sampit, Mamasa, Ambon, Aceh, dan sebagainya.
Ancaman riil kehidupan bangsa yang pluralis harus betul-betul
diperhatikan. Toleransi, inklusivisme, dan penolakan terhadap berbagai
jenis fundamentalisme dapat dipupuk kalau ada pengakuan terhadap
multikulturalisme, yang diyakini sebagai pendukung pluralisme, yaitu
keberadaan budaya yang sama tinggi dan sama bernilai di dalam suatu
masyarakat yang pluralis.
Sesungguhnya kalau dilacak ke belakang, kita telah mempunyai
budaya toleran yang sangat mengakar, hal ini terbukti dalam tradisi
nusantara di zaman kerajaan Mataram Kuno dan Majapahit. Dialog antar
peradaban nampak dalam pembangunan candi Hindhu dan Budha yang
berdiri secara berdampingan, dan raja-raja Jawa disebut ‘Siwa-Buddha
sebagai wujud representasi dialog antar budaya. Kita juga bisa ambil
contoh masyarakat Tengger di Lereng Gunung Bromo. Kehidupan yang
toleran terbangun dimulai dari kuatnya pondasi masyarakat yang sangat
patuh pada hukum adat, lebih dari sekedar itu, upaya transmisi budaya
toleran ini juga dilakukan secara turun temurun (Nurudin, dkk. ed, 2003).
Ini artinya bahwa betapa kearifan lokal menjadi pondasi dalam
membangun masyarakat majemuk.
Sikap toleran dan kerjasama dapat kita telusuri dari makan gotong
royong itu sendiri. Sepi in pamrih rame ing gawe merupakan peribahasa
dalam bahasa jawa yang mengibaratkan kebersamaan dalam
menyelesaikan pekerjaan yang harus dipukul bersama. Masyarakat
memiliki kesadaran yang tinggi untuk bersama-sama melakukan kegiatan
yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kegiatan ini dilakukan tanpa
pamrih, tanpa imbalan, murni dilakukan untuk mencapai tujuan bersama.
Sistem gotong-royong ini telah dipraktikkan dalam masyarakat Indonesia
semenjak Kerajaan Hindu di Jawa, seperti Mataram Kuno dan Majapahit.
Gotong royong berbeda dengan tolong-menolang, gotong royong
menekankan kebersamaan yang kuat (tangguh) bersama-sama
memecahkan atau melakukan kegiatan yang menyangkut tujuan bersama
(Listiyono Santoso dan Ikhsan Rasyid, 2012: 42-43).
Ketika Bung Karno ‘menemukan’ nilai inti (core value) dari Pancasila
adalah gotong royong maka dapat dipahami bahwa dalam persatuan
nasional ini nilai “kesetaraan” sangat penting. Praktik gotong royong
memperlakukan setiap partisipan secara setara, tanpa memandang
28 | P a g e
agama, tingkat ekonomi, pendidikan, dan seterusnya. Pokok masalah
adalah bagaimana mengangkat nilai kesederajatan dalam gotong royong
tersebut pada level nasional yang tentu saja bertambah luas kompleks
kebudayaannya. Di sinilah diperlukan usaha yang terus menerus yang
harus dilakukan oleh penguasa dari rezim masa lalu hingga sekarang.
Pelanggaraan kesetaraan dapat berupa dominasi, marginalisasi,
hegemonisasi, tebang pilih dalam keadilan, dan seterusnya. Oleh karena
itu, jangan sampai ada peminggiran, penganaktirian, suara yang tidak
didengar atau bahkan ditolak partisipasinya. (Listiyono Santoso dan
Ikhsan Rasyid, 2012: 4-5).

5. Jiwa Kekaluargaan dalam Musyawarah

Terma “kekeluargaan” yang menjadi jiwanya dalam melihat


Pancasila, Soediman Kartohadiprodjo merumuskan jiwa kekeluargaan
dalam Pancasila tersebut dengan rumusan: “Kesatuan dalam Perbedaan,
Perbedaan dalam Kesatuan”. Kesatuan menunjukkan kehidupan manusia,
yaitu selalu dalam suatu pergaulan hidup, tetapi dalam persatuan
pergaulan hidup itu kepribadian tiap individu diakui dan dilindungi yang
ditunjukkan dengan perbedaan, karena tidak ada dua orang di dunia ini
yang sama kepribadiannya. Sebaliknya, dengan pengakuan adanya
kepribadian pada tiap individu dan yang berbeda-beda itu ditunjukkan
dengan “perbedaan” dalam bagian kedua, ini tidak berarti bahwa mereka
bebasa hidup merdeaka dan dapat memperkembangkan kepribadiannya
menurut sesukannya, melainkan meraka terikat oleh individu lainnya
dalam satu “kesatuan”. Isi Pancasila di atas dapat menggambarkan isi jiwa
bangsa Indonesia (Soediman K, 1986: 16)
Kalau sifat kehidupan suatu suatu kesatuan pergaulan hidup
disebut bersifat kekeluargaan, maka ini berarti bahwa kekeluargaan
dipakai sebagai jia dalam lembaga atau instansi tertentu. Hal ini
berimplikasi bahwa dalam pergaulan hidup manusia itu anggota-
anggotanya bertindak seolah-olah mereka dalam keluarga (Soediman K,
1986: 15).
Pangkal pemikiran filsafat Pancasila Soediman K. adalah
kekeluargaan, yang berasal dari kata dasar ‘keluarga’, yakni adalah
sebuah sel menyatu (merupakan kesatuan) tetapi pada saat yang sama
terbangun oleh perbedaan (ayah, ibu, anak-anak). Isi jiwa bangsa tidak
dapat dikenal orang kalau bangsa diam dengan mata tertutup, tetapi
perbuatan-perbuatan manusia itu bersumber pada jiwanya, jadi perbuatan
manusia itu khususnya apa yang kita namakan kebudayaan merupakan
cermin dari bangsa yang bersangkutan. Maka jiwa manusia itu dapat kita

29 | P a g e
tangkap afleidin dari kebudayaanya. Salah satu jiwa ekspresi jiwa bangsa
Indonesia yang turun temurun sekian abad lamanya adalah hukum adat
(Soediman K. 1986: 16). Berdasarkan pikiran ini, maka jiwa bangsa
Indonesia yang tercermin dalam kekeluargan tersebut terukur dalam
bentuk hukum adat Indonesia (Slamet Sutrisno, 2006: 72).Dengan
demikian,filsafat manusia ini tersusun dalam hubungannya dalam
kehidupan atau pergaulan hidup manusia yang asasanya adalah
kekeluargaan.

6. Hakikat Keadilan Sosial

Pembahasan yang menyangkut keadilan sosial itu berarti tidak


berkaitan dengan keadilan individual, yang dimaksudkan dengan keadilan
sosial adalah menyangkut seluk beluk hidup orang kebanyakan. Dalam
konteks ekonomi, penciptaan keadilan sosial menjadi tujuan penting
menurut UUD 1945 adalah perekonomian Indonesia. Secara ideal,
keutuhan Indonesia terjamin atas dasar keadilan secara distributive
(artinya, terdapat pemerataan keadilan berbasis pada keperluan
masyarakat local atau setempat).
Pembicaraan ini bukan ketidakadilan individual, tetapi ketidakadilan
sosial. Ketidakadilan individual sehari-hari dapat mungkin terjadi,
melainkan ketidakadilan sosial proses-proses politik, sosial, ekonomi, dan
budaya atau tentang ketidakadilan struktural. Tuntutan pertama tentang
ketidakadilan sosial adalah pembongkaran atas struktur-struktur yang
tidak adil. Dalam sebuah kelas atau kelompok buruh, petani, nelayan dan
seterusnya sangat mungkin tertimpa ketidakadilan, maka sebab
ketidakadilan itu terjadi bukan karena kebetulan ada satu-dua orang yang
tidak bersikap adil, tetapi justru mereka terperangkap dalam struktur-
struktur kekuasaan yang tidak adil. Ketidakadilan yang paling mendesak
dan kasar adalah kemiskinan dan ketergantungan struktural. Bahwa
dalam sebuah masyarakat masih banyak kelompok yang mendapat
ketidakadilan, bukan karena mereka malas atau tidak bekerja, atau kita
harus dituntut untuk solider dalam melihat mereka, tetapi justru
pembagian dan keadilan distribusi kekayaan alam Indonesia ini belum
dilaksanakan (Magnis Suseno, 2000: 75-76).
Maka orientasi pembangunan harus diarahkan pada upaya
penghapusan kemiskinan dan ketergantungan struktural. Kebijakan
ekonomi harus diarahkan untuk masyarakat yang memang tertindas oleh
sistem yang membuat mereka tidak berdaya. Dalam konteks ini, keadilan
negara harus berpihak, keperpihakan pada kelompok-kelompok
termarginalkan, dan tergerus oleh sistem kapitalis. Peran negara

30 | P a g e
sangatlah penting dalam melaksanakan keadilan distributif. Negara
melakukan pengaturan secara merata dalam porsi dan kebutuhan masing-
masing, artinya bukan berarti negara pilih kasih hanya kepada
masyarakat atau kelompok tertentu, tetapi telah menjadi tugas dan
kewajiabannya sebagai amanat konstitusi.

D. LATIHAN SOAL
1. Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis nilai menurut Max Scheler!
2. Apakah yang dimaksud dengan mono-pluralis dalam pandangan
Notonegoro!
Jawab:

1. Dalam pandangan Max Scheler, terdapat empat jenis nilai pada


kehidupan manusia. Pertama, nilai sensual, nilai ada nampak dalam
tampilan seperti menyenangkan, bersifat pencitraan. Kedua, nilai
hidup, seperti keagungan, kemuliaan dan kesahajaan. Ketiga, nilai
kejiwaan atau kerokhanian, seperti nilai estetis (keindahan), nilai
benar-salah (moral), dan nilai intrinsik dalam ilmu pengetahuan.
Keempat, nilai religius, seperti yang suci, sakral, nilai yang terkait
dengan keilahian atau pengalaman keagamaan.
2. Mono-pluralis adalah kedwi-tunggalan antara jiwa-tubuh, individu-
sosial, makhluk berdiri sendiri sekaligus sebagai hamba Tuhan.

E. SOAL FORMATIF
1. Apakah yang dimaksud dengan nilai?
2. Bagaimana nilai ketuhanan dapat dijadikan etos dalam
pembangunan nasional?
3. Jelaskan yang dimaksud dengan kemanusiaan anti-diskriminatif
yang menjadi dasar HAM Indonesia!
4. Jelaskan falsafah kekeluargaan menurut Soediman Kartohadiprodjo!
5. Apakah yang dimaksud dengan keadilan sosial?

F. DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. “Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Indonesia:


Tantang Global” diakses, pada tanggal 28 November 2014 di
http://www.setneg.go.id/index2.php?
option=com_content&do_pdf=1&id=2255
Bagus, Lorens, 2005. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia.
31 | P a g e
Bakhtiar, Amsal, 1997. Filsafat Agama, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Bakker, Anton, 1992. Ontologi: Filsafat Pengada dan Dasar-dasar
Kenyataan Yogyakarta: Kanisius.
Hans Kung dan Karl-Josef Kuschel, 1999. Etik Global, terj. Ahmad Murtadji
Yogyakartaa: Sisiphus bekerja sama dengan Pustakan Pelajar.
Kaelan, 2009. Filsafat Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa, Yogyakarta:
Gramedia.
Kartohadiprodjo, Soediman, 1986. Pancasila dan/Undang-Undang Dasar
1945.
Kattsoff, Louis, 2004. Pengantar Filsafat, ter. Soemargono, Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Knitter, Paul, 1995. One Earth Many Religions: Multifaith Dialogue and
Global Resposibility Maryknoll-New York: Orbis Books
Listiyono Santoso dan Ikhsan Rasyid, 2012, “Makalah Konggres Pancasila”,
Surabaya: Unair
Lyotard, J. F. 1991. The Postmodern Condition: Report on Knowledge, Geoff
Bennington and Brian Massumi, Manchester: Manchester University
Press.
Magnis-Suseno, Franz, 2005, Etika, Jakarta: Gramedia
_____________________, 1985. Etika Jawa, Jakarta: Gramedia
_____________________, 2000, Kuasa dan Moral, Jakarta: Gramedia
Mahfud, Chairul, 2006. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Montgomery Watt, William, 1996. Muslim–Christian Encounters:Perception
and Misperception, terj. Zaimudin. Jakarta : Gaya Media Pratama,
1996.
Mudji Sutrisno dan Christ Verhaak, 1995. Estetika Filsafat Keindahan,
Yogyakarta: Kanisius.
Mulkhan, Munir, 2007. Satu Tuhan Seribu Tafsir, Yogyakarta: Kanisius.
Nasution, Harun. 1991. Falsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang.
Notonagoro, 1975, Pancasila: Ilmiah Populer, Jakarta: Pantjuran Tudjuh,
Nurudin (ed.)., 2003. Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup
Masyarakat Samin dan Tengger, Yogyakarta: Lkis, 2003
Raimundo Panikkar, 1994. Dialog Intrareligius, terj. J. Dwi Helly Purnomo,
dkk. Yogyakarta: Kanisius
The Liang Gie, 1997. Filsafat Keindahan, Yogyakarta: PUBIB. 1997

32 | P a g e
IDENTITAS BANGSA

A. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pengertian
identitas nasional
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan parameter
identitas nasional
3. Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan unsur-unsur
pembentuk identitas nasional

B. PENDAHULUAN

33 | P a g e
Materi tentang identitas nasional/bangsa ini akan
mengantarkan Anda kepada pemahaman tentang identitas nasional,
pluralitas bangsa, filosofi bhineka tunggal ika, serta mengetahui
unsur-unsur pembentuk identitas nasional berupa suku bangsa,
kebudayaan bangsa, dan kondisi geografis. Nilai-nilai budaya yang
berada dalam sebagian besar masyarakat dalam suatu negara
tercermin di dalam identitas nasional bukanlah barang jadi yang
sudah selesai dalam kebekuan normatif dan dogmatis, melainkan
sesuatu yang terbuka yang cenderung terus menerus berkembang
karena hasrat manuju kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat
pendukungnya. Implikasinya adalah bahwa identitas nasioanal
merupakan sesuatu yang terbuka untuk diberi makna baru agar
tetap relevan dan fungsional dalam kondisi aktual yang berkembang
dalam masyarakat.
Dipandang dari padanan katanya, identitas nasional yang terdiri
dari istilah identitas yang berasal dari identity dan nasional yang
berangkat dari kata nation, yang mana identitas (identity) dapat
diterjemahkan sebagai karakter, ciri, tanda, jati diri ataupun sifat
khas, sementara nasional (nation) yang artinya bangsa; maka
identitas nasional itu merupakan sifat khas kepribadian/karakter
suatu bangsa (Muhamad Erwin, 2012: 41-42).
Sigmund Freud menggariskan bahwa “Character is striving
system which underly behavior” yang berarti bahwa karakter itu
adalah kumpulan tata nilai yang mewujudkan dalam suatu sistem
daya juang (daya dorong) yang melandasi pemikiran, sikap, dan
perilaku. Artinya identitas nasional tersebut berada pada kedudukan
yang luhur dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, oleh
karena itu sebagai nilai, asas, norma kehidupan bangsa sudah
semestinya untuk dijunjung tinggi oleh setiap warga negara
(Muhamad Erwin, 2012: 41-42)

C. ISI POKOK BAHASAN

1. Pengertian Identitas Nasional/Bangsa


Identitas nasional adalah konsep suatu bangsa tentang dirinya. Ciri
khas suatu bangsa adalah penanda utama identitas bangsa tersebut.
Karena menyangkut diri atau ciri suatu bangsa, maka konfirmasi atau
penegasan terhadap identitas nasional suatu bangsa selalu merujuk atau
mengacu pada hakikat bangsa itu sendiri. Dalam konteks Indonesia,
identitas nasional mengacu pada Pancasila sebagai hakikat Indonesia.
Kata “identitas” berasal dari kata identity berarti ciri-ciri, tanda-
tanda, atau jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang
34 | P a g e
membedakannya dengan yang lain. Seseorang atau sesuatu dapat
dibedakan dengan yang lainnya melalui identitas. Identitas adalah sifat
khas yang menerangkan keadaan diri sendiri, kelompok sendiri, komunitas
sendiri, atau negara sendiri. Identitas tidak terbatas pada individu tetapi
berlaku juga bagi kelompok (Bdk, Mundiri, 2006). Contohnya, orang
Indonesia dan bukan Indonesia dapat segera dibedakan berdasarkan
identitasnya atau
Sedangkan “Nasional” menunjuk pada sifat khas kelompok yang
memiliki ciri-ciri kesamaan, baik fisik seperti, budaya, agama, bahasa,
maupun non-fisik seperti, keinginan, cita-cita, dan tujuan. Menurut Koento
Wibisono (2005) pengertian Identitas Nasional pada hakikatnya adalah
“manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam
aspek kehidupan suatu bangsa (nation) dengan ciri-ciri khas, dan dengan
yang khas tadi suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam
kehidupannya” (Srijanti dkk, 2011: 39).
Identitas nasional merupakan sesuatu yang terbuka untuk diberi
makna baru agar tetap relevan dan fungsional dalam kondisi aktull yang
berkembang dalam masyarakat. Jadi, “Identitas nasional” adalah identitas
suatu kelompok masyarakat yang memiliki ciri dan melahirkan tindakan
secara kolektif yang diberi sebutan nasional. Berdasarkan pengertian yang
demikian ini maka setiap bangsa di dunia ini akan memiliki identitas
sendiri-sendiri sesuai dengan keunikan, sifat, ciri serta karakter dari
bangsa tersebut. Identitas nasional suatu bangsa tidak dapat dipisahkan
dengan jati diri suatu bangsa atau lebih populer disebut dengan
kepribadian suatu bangsa (Srijanti dkk, 2011: 39).
Menurut Soemarno Soedarsono, identitas nasional (karakter
bangsa) tersebut tampil dalam tiga fungsi, yaitu:
1. Sebagai penanda keberadaan atau eksistensinya. Bangsa yang
tidak mempunyai jati diri dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara tidak akan eksis disebut sebagai bangga yang besar;
2. Sebagai pencerminan kondisi bangsa yang menampilkan
kematangan jiwa, daya juang, dan kekuatan bangsa ini. Hal ini
tercermin dalam kondisi bangsa pada umumnya dan kondisi
ketahanan bangsa pada khususnya; dan
3. Sebagai pembeda dengan bangsa lain di dunia (Muhamad Erwin,
2012: 42).
Karakter tidak datang dengan sendirinya, tetapi dibentuk dan
dibangun secara sadar dan sengaja, berdasarkan jati diri bangsa
masing-masing. Telah terjadi kemafhuman bahwa suatu bangsa
yang terdiri atas manusia-manusia yang dalam peradapannya
senantiasa bergerak dan berinteraksi dengan bangsa lain melalui
segala identitasnya masing-masing, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Akan tetapi jika suatu banngsa hendak terus
berkarakter, maka bangsa tersebut harus dapat mempertahankan
identitas nasionalnnya sebagai penyangga untuk kehidupan

35 | P a g e
berbangsa dan bernegara dalam menghadapi kekuatan-kekuatan
luar. Sebab kalau tidak, bangsa dan negara akan mati (Muhamad
Erwin, 2012: 42).
Tanda-tanda suatu negara akan mati, menurut Mahatma
Gandhi (Founding Fathers bangsa India) dalam teori Seven Deadly
sins-nya (Tujuh Dosa yang Dapat Mematikan Suatu Negara), yakni
apabila telah bertumbuhkembangnya budaya, nilai-nilai, dan
perilaku: Kekayaan Tanpa Bekerja (Wealth Without Work);
Kesenangan Tanpa Hati Nurani (Pleasure Without Conscience);
Pengetahuan Tanpa Karakter (Knowledge Without Character); Bisnis
Tanpa Moralitas (Business Without Morality); Ilmu Tanpa
Kemanusiaan (Science Without Humanity); Agama Tanpa
Pengorbanan (Religion Without Sacrifice); dan Politik Tanpa Prinsip
(Politic Without Principle) (Muhamad Erwin, 2012: 42).

IDENTITAS NASIONAL

Identitas (Identity) Inasional (Nation)

Sifat Khas/jati Diri Bangsa

IDENTITAS NASIONAL
Sifat Khas/Jati Diri yang Melekat pada Suatu Bangsa

36 | P a g e
2. Faktor-Faktor Pembentuk Identitas
Suatu penelitian dari Institut Teknologi Bandung (ITB) di akhir tahun
2004 menemukan bahwa ada enam faktor yang menentukan
keberhasilan, yaitu: (1) Kreativitas; (2) Percaya diri/memegang prinsip; (3)
Mentalisme berkelimpahan; (4) Integritas; (5) Idealisme; dan (6)
Kompetensi. Bila kita cermati, lima diantaranya adalah faktor-faktor yang
terkait dengan masalah karakter, yaitu kreativitas, percaya diri,
mentalisme berkelimpahan, integritas, dan idealisme. Itu pertanda bahwa,
bagaimanapun juga karakter adalah faktor penting dalam menentukan
keberhasilan. Setidaknya itu telah dibuktikan oleh China, Jepang, dan
Vietnam.
Sifat khas yang dimiliki oleh suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh
objektivitas-historisitasnya, yang meliputi faktor sejarah, sosial, politik,
dan kebudayaan suatu bangsa. Sementara menurut Robert de Vantos,
kemunculan identitas nasional bagi suatu negara adalah sebagai hasil
interaksi historis antara empat faktor penting, yaitu faktor primer, faktor
pendorong, faktor penarik, dan faktor reaktif.
Faktor primer mencakup etnisitas, teritorial bangsa, bahasa,
agama, dan yang sejenisnya. Sementara faktor pendorong meliputi
pembangunan komunikasi, teknologi, kekuatan militer, dan pembangunan
dalam berbagai aspek kehidupan. Faktor pendorong senantiasa bersifat
dinamis, bergerak terus mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan
masyarakatnya. Sementara untuk faktor penarik terdapat pada kodefikasi
bahasa yang resmi dan bagaimana sistem pendidikannya. Sedangkan
ruang lingkup yang terdapat pada faktor reaktif adalah meliputi
penindsan, dominasi, dan kolektivitas rakyatnya (Muhamad Erwin, 2012:
43-44).

Faktor-Faktor Yang Mendukung Kelahiran Identitas Nasional

FAKTOR OBJEKTIF FAKTOR SUBJEKTIF

Geografis Ekologis Demografis Historis Sosial politik Kebudayaan

IDENTITAS NASIONAL

3.Macam-macam Identitas Nasional

37 | P a g e
Parameter artinya suatu ukuran atau patokan yang dapat
digunakan untuk menyatakan sesuatu itu menjadi khas. Parameter
identitas nasional berarti suatu ukuran yang digunakan untuk menyatakan
bahwa identitas nasional itu menjadi ciri khas suatu bangsa.
Identitas nasional Indonesia dapat dirumuskan pembidangannya
dalam tiga bidang sebagai berikut: Pertama, identitas fundamental, yakni
pancasila sebagai filsafat bangsa, hukum dasar, pandangan hidup, etika
politik, paradigma pembangunan. Kedua, identitas instrumental, yang
meliputi UUD 1945 sebagai konstitusi negara, bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan, Garuda Pancasila sebagai lambang negara, Sang Saka
Merah Putih sebagai bendera negara, Bhineka Tunggal Ika sebagai
semboyan negara, dan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Ketiga,
identitas alamiah yang meliputi Indonesia sebagai negara kepulauan dan
kemajemukan terhadap sukunya, budayanya, agamanya.
Pancasila sebagai situasi kejiwaan dan karakter bangsa Indonesia
yang mengandung kesadaran, cita-cita, hukum dasar, pandangan hidup
telah menjadi nilai, asas, norma bagi sikap tindak bagi penguasa dan
Rakyat Indonesia. Satu-satunya falsafah serta ideologi bangsa dan negara
yang melandasi, membimbing, dan mengarahkan bangsa menuju
tujuannya. Pancasila ini hendaknya dibudayakan dalam kehidupan anak
bangsa diseluruh penjuru Nusantara mulai dari diri sendiri dan mulai hari
ini yang kemudian diteruskan kelingkungan keluarga, lalu dapat meluas ke
lingkungan masyarakat yang selanjutnya dapat tercermin ke lingkungan
bangsa dan negara. Dengan begitu kita akan berkarakter dan mempunyai
jati diri sebagai bangsa dan negara yang beradab dan bermaslahat
dimuka bumi, menjadi bangsa dan negara yang bermartabat, yang
menjadi rahmat serta penuh kasih bagi seluruh rakyat Indonesia, bagi
lingkungan alamnya, maupun bagi dunia internasional sebagaimana yang
telah diletakkan dasarnya oleh para pendiri negara kita (Muhamad Erwin,
2012: 46).
Sementara Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan
konstitusional bagi bangsa Indonesia dalam bersikap tindak. UUD 1945
dalam eksistensinya telah mengadakan pembagian tugas bagi pihak-pihak
yang terkait dalam sistem politik di Indonesia dan sekaligus pula telah
memberikan pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan itu serta juga
telah menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia di Indonesia
(Muhamad Erwin, 2012: 46).
Bahasa negara adalah bahasa Indonesia (pasal 36 UUD 1945).
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan berasal dari bahasa Melayu.
Mengapa bahasa Melayu yang akhirnya menjadi bahasa persatuan, hal ini
memang karena bahasa Melayu jauh dari sebelum Indonesia merdeka
telah digunakan sebagai bahasa dalam interaksi antar suku yang tersebar
di seluruh kepulauan Nusantara dan telah pula menjadi bahasa niaga
yang menghubungkan antar pedagang yang berniaga di sepanjang
gugusan kepulauan Nusantara. Keberadaan bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan ini bukan berarti menenggelamkan bahasa-bahasa

38 | P a g e
daerah di Indonesia yang jumlahnya tidak kurang dari 300-an dialek
bahasa daerah. Bahasa-bahasa daerah tetap dipelihara sebagai kearifan
lokal dan bahasa Indonesia berperan sebagai pemersatunya (Muhamad
Erwin, 2012: 46).
Lambang negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka
Tunggal Ika (pasal 36A Amandemen kedua UUD 1945). Garuda Pancasila
sebagai lambang negara bangsa Indonesia melaambangkan kemegahan
negara Indonesia. Adapun bentuk lambang Garuda Pancasila ini adalah
buah karya anak bangsa yaitu Sultan hamid II dari Kesultanan
Pontianak. Seekor burung Garuda yang berdiri tegak, yang kepalannya
menghadap ke kanan dengan mengembangkan sayapnya ke kanan dan
ke ke kiri. Pada sayap kanan dan sayap kirinya berelar 17 helai, dengan
ekor berelar 8 helai dan leher yang berelar 45 helai yang menunjuk pada
waktu kemerdekaan bangsa Indonesia 17-8-1945. Pada dadanya
digantung sebuah perisai yang dibagi menjadi lima ruang di tengah dan
empat di tepi. Bintang cemerlang atas dasar hitam merupakan sinar
cemerlang abadi dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Rantai yang terdiri dari
pada gelang-gelang persegi dan bundar yang bersambung satu sama lain
dalam sambungn yang tiada putusnya adalah lambang perikemanusiaan.
Pohon beringin adalah lambang kebangsaan. Banteng merupakan
lambang kedaulatan rakyat. Padi dan kapas adalah lambang kecukupan.
Kaki burung mencengkram sebuah pita yang sedikit melengkung ke atas.
Pada pita itu tertulis Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda
tetapi tetap satu jua sebagai smboyan negara kita (Muhamad Erwin,
2012: 46).
Bendera negara Indonesia ialah Sang Merah Putih (pasal 35 UUD
1945). Bendera Sang Merah Putih bukan hanya sekedar simbol keindahan
belaka, akan tetapi lebih jauh dari situ Merah Putih adalah cerminan jiwa
bangsa Indonesia dengan semangatnya yang memerah dan dilandasi
dengan hati yang putih. Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya (Pasal 26B
Amandemen kedua UUD 1945). Lagu kebangsaan “Indonesia Raya” buah
karya Wage Rudolf Supratman ini begitu menggambarkan semangat
cinta tanah air dan kegagahan serta kebenaran. Lagu ini pertama kali
diperdengarkan dalam forum resmi yakni pada saat sebelum Kongres
Pemuda II (yang merumuskan Sumpah Pemuda) ditutup pada tanggal 28
Oktober 1928. Pada peristiwa itu lagu Indonesia Raya dimainkan dengan
biola tanpa sair. Lagu tersebut disambut dengan tetesan airmata dan
semangat menggelora demi Indonesia Merdeka (Muhamad Erwin, 2012:
46).
Identitas nasional yang bersifat alamiah terkait yang terkait dengan
pola perilaku yang nampak dalam kegiatan masyarakat: adat-istiadat, tata
kelakuan, kebiasaan. Identitas nasional menggambarkan pola perilaku
yang terwujud melalui aktivitas masyarakat sehari-harinya. Identitas ini
menyangkut adat-istiadat, tata kelakuan, dan kebiasaan. Ramah tamah,
hormat kepada orang tua dan gotong royong merupakan salah satu
identitas nasional yang bersumber dari adat-istiadat dan tata kelakuan.
Lambang-lambang yang merupakan ciri dari bangsa dan secara simbolis
39 | P a g e
menggambarkan tujuan dan fungsi bangsa. Lambang-lambang negara ini
biasanya dinyatakan dalam undang-undang, seperti Garuda Pancasila,
bendera, bahasa, dan lagu kebangsaan.
Alat-alat pelengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan
seperti bangunan, teknologi, dan peralatan manusia. Identitas yang
berasal dari alat perlengkapan ini seperti bangunan yang merupakan
tempat ibadah (borobudur, prambanan, masjid, dan gereja), peralatan
manusia (pakaian adat, teknologi bercocok tanam), dan teknologi
(pesawat terbang, kapal laut, dan lain-lain). Akhirnya, identitas yang
bersumber dari tujuan bersifat dinamis dan tidak tetap seperti budaya
unggul, prestasi dalam bidang tertentu, seperti di Indonesia dikenal
dengan bulu tangkis (Srijanti dkk, 2011: 40).
Bagi bangsa Indonesia, pengertian indikator identitas nasional tidak
merujuk hanya pada individu (adat-istiadat dan tata laku), tetapi berlaku
pula pada suatu kelompok Indonesia sebagai suatu bangsa yang
majemuk, maka kemajemukan itu merupakan unsur-unsur atau indikator
pembentuk identitas yang melekat dan diikat oleh kesamaan-kesamaan
yang terdapat pada segenap warganya.

4.Unsur-unsur Pembentuk Identitas Nasional


Unsur-unsur pembentuk identitas nasional Indonesia berdasarkan
ukuran parameter sosiologis adalah sebagai berikut (Srijanti dkk, 2011:
41-42):
Identitas nasional Indonesia pada saat ini terbentuk dari enam
unsur yaitu sejarah perkembangan bangsa Indonesia, kebudayaan bangsa
Indonesia, suku bangsa, agama, dan budaya unggul. Namun demikian,
unsur-unsur ini tidak statis dan akan berkembang sesuai dengan tujuan
bangsa Indonesia. Di samping itu, Kondisi geografis merupakan identitas
yang bersifat alamiah. Kedudukan geografis wilayah negara menunjukkan
tentang lokasi negara dalam kerangka ruang, tempat, dan waktu,
sehingga untuk waktu tertentu menjadi jelas batas-batas wilayahnya di
atas bumi. Letak geografis tersebut menentukan corak dan tata susunan
ke dalam dan akan dapat diketahui pula situasi dan kondisi
lingkungannya. Bangsa akan mendapat pengaruh dari kedudukan
geografis wilayah negaranya. Letak geografis ini menjadi khas dimiliki
oleh sebuah negara yang dapat membedakannya dengan negara lain.

Berikut ini gambaran umum mengenai unsur-unsur pembentuk


tersebut (Srijanti, 2011: 42-45):

a. Sejarah
Bangsa Indonesia mengalami kehidupan dalam beberapa situasi
dan kondisi sosial yang berbeda sesuai perubahan jaman. Bangsa
Indonesia secara ekonomis dan politik pernah mencapai era
kejayaan di wilayah Asia Tenggara. Kejayaan dalam bidang ekonomi

40 | P a g e
bangsa Indonesia pada era pemerintahan kerajaan Majapahit dan
Sriwijaya, rakyat mengalami kehidupan ekonomi yang sejahtera,
sedangkan dalam bidang politik memiliki kekuasaan negara hingga
seluruh wilayah nusantara yang meliputi wilayah jajahan Belanda
(sekarang wilayah NKRI) hingga wilayah negara Filipina, Singapura,
Malaysia, bahkan sebagian wilayah Thailand.
Realitas perjalanan sejarah mendorong bangsa Indonesia untuk
menjadi bangsa pejuang yang pantang menyerah dalam melawan
penjajah untuk meraih dan mempertahankan kembali harga diri,
martabatnya sebagai bangsa, selain itu, dipertahankan semua
potensi sumber daya alam yang ada agar tidak terus-menerus
dieksplorasi dan dieksploitasi yang akhirnya dapat menghancurkan
kehidupan bangsa Indonesia di masa datang. Perjuangan bangsa
Indonesia terus berlanjut pada perjuangan meraih dan
mempertahankan kemerdakaan bangsa dari penjajah.

b. Kebudayaan

Aspek kebudayaan yang menjadi unsur pembentuk identitas


nasional adalah meliputi tiga unsur, yaitu akal budi, peradaban
(civility), dan pengetahuan (knowledge). Kebudayaan, menurut ilmu
sosiologis termasuk kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, dan
adat-istiadat. Kebudayaan sebagai indikator identitas nasional
bukanlah sesuatu yang bersifat individual. Apa yang dilakukan
sebagai kebiasaan pribadi bukanlah suatu kebudayaan. Kebudayaan
harus merupakan milik bersama dalam suatu kelompok, artinya
para warganya memiliki bersama sejumlah pola-pola berpikir dan
berkelakuan yang didapat dan dikembangkan melalui proses
belajar. Hal-hal yang dimiliki bersama ini harus menjadi sesuatu
yang khas dan unik, yang akan tetap memperlihatkan diri di antara
berbagai kebiasaan-kebiasaan pribadi yang sangat variatif.
1. Akal budi adalah sikap dan perilaku yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia dalam interaksinya antara sesama (horizontal)
maupun antara pimpinan dengan staf, anak dengan orang tua
(vertikal), atau sebaliknya. Bentuk sikap dan perilaku
sebagaimana yang tersebut di atas, adalah hormat-
menghormati antar sesama, sopan santun dalam sikap dan
tutur kata, dan hormat pada orang tua.
2. Peradaban (civility), peradaban yang menjadi identitas
nasional bangsa Indonesia adalah dapat dilihat dari beberapa
aspek yang meliputi aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial,
dan hankam. Identitas nasional dalam masing-masing aspek
yang dimaksud adalah:
a. Ideologi adalah sila-sila dalam Pancasila

41 | P a g e
b. Politik adalah demokrasi langsung dalam pemilu langsung
presiden dan wakil presiden serta kepala daerah tingkat I
dan II kabupaten/kota,
c. Ekonomi adalah usaha kecil dan koperasi
d. Sosial adalah semangat gotong royong, sikap ramah
tamah, murah senyum, dan setia kawan
e. Hankam adalah sistem keamanan lingkungan (siskamling),
sistem perang gerilya, dan teknologi kentongan dalam
memberikan informasi bahaya, dan sebagainya
3. Pengetahuan (knowledge)
a. Pengetahuan yang menjadi unsur pembentuk identitas
nasional meliputi:
b. Prestasi anak bangsa dalam bidang olahraga bulutangkis
dunia
c. Karya anak bangsa dalam bidang teknologi pesawat
terbang, yaitu pembuatan pesawat terbang CN 235, di
IPTN Bandung, Jawa Barat.
d. Karya anak bangsa dalam bidang teknologi kapal laut,
yaitu pembuatan kapal laut Phinisi
e. Prestasi anak bangsa dalam menjuarai lomba olimpiade
fisika dan kimia, dan sebagainya

c. Budaya Unggul
Budaya unggul adalah semangat dan kultur kita untuk mencapai
kemajuan dengan cara ”kita harus mengubah, kita harus berbuat
terbaik, kalau orang lain mampu, mengapa kita tidak mampu”.
Dalam UUD 1945, menyatakan bahwa bangsa Indonesia berjuang
dan mengembangkan dirinya sebagai bangsa yang merdeka,
berdaulat, bersatu, maju, makmur, serta adil atau
berkesejahteraan. Untuk mencapai kualitas hidup demikian, nilai
kemanusiaan, demokrasi dan keadilan dijadikan landasan ideologis
yang secara ideal dan normatif diwujudkan secara konsisten,
konsekuen, dinamis, kreatif, dan bukan indoktriner.

d. Suku Bangsa

Suku bangsa, yaitu golongan sosial yang khusus dan bersifat


askriptif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan
umur dan jenis kelamin. Indonesia dikenal bangsa dengan banyak
suku bangsa, dan menurut statistik hampir mencapai 300 suku
bangsa. Setiap suku mempunyai adat-istiadat, tata kelakuan, dan
norma yang berbeda, namun demikian beragam suku ini mampu
mengintegrasikan dalam suatu negara Indonesia untuk mencapai
tujuan yaitu masyarakat yang adil dan makmur.
Identitas nasional dalam aspek suku bangsa adalah adanya suku
bangsa yang majemuk. Majemuk atau aneka ragamnya suku
42 | P a g e
bangsa dimaksud adalah terlihat dari jumlah suku bangsa lebih
kurang 300 suku bangsa dengan bahasa dan dialek yag berbeda.
Populasinya pada tahun 2007 adalah 225 juta jiwa. Dari jumlah
tersebut diperkirakan separuhnya adalah suku bangsa etnis Jawa.
Sisanya adalah suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia di
luar Jawa, seperti suku Makassar-Bugis (3,68%), Batak (2,04%), Bali
(1,88%), Aceh (1,4%), dan suku-suku lainnya. Sedangkan suku
bangsa atau etnis Tionghoa hanya berjumlah 2,8% tetapi menyebar
ke seluruh wilayah Indonesia dan mayoritas mereka bermukim di
perkotaan.

e. Agama
Identitas nasional dalam aspek agama adalah masyarakat agamis
dan memiliki hubungan antarumat seagama dan antarumat
beragama yang rukun. Indonesia merupakan negara multiagama,
karena itu Indonesia dikatakan negara yang rawan disintegrasi
bangsa. Untuk itu menurut Magnis Suseno, salah satu jalan untuk
mengurangi risiko konflik antaragama perlu diciptakan tradisi saling
menghormati antara umat agama yang ada. Indonesia adalah
negara yang agamis. Agama-agama yang tumbuh dan berkembang
di Indonesia yakni agama Islam,Kristen Katholik, Kristen Protestan,
Hindu, Budha, dan sejak masa pemerintahan Abdurrahman wahid
agama Kong Hu Cu diakui oleh pemerintah sebagai agama, setelah
istilah agama resmi dihapuskan.

f. Bahasa
Bahasa adalah salah satu atribut bangsa di samping sebagai
identitas nasional. Bahasa Indonesia dikenal sebagai bahasa
melayu yang merupakan bahasa penghubung (lingua franca)
berbagai etnis yang mendiami kepulauan nusantara. Bahasa
melayu ini pada tahun 1928 ditetapkan oleh pemuda dari berbagai
suku bangsa Indonesia dalam peristiwa Sumpah Pemuda sebagai
bahasa persatuan bangsa Indonesia.

Bahasa, yakni identitas nasional yang bersumber dari salah satu


lambang suatu negara. Bahasa adalah merupakan satu
keistimewaan manusia, khususnya dalam kaitan dengan hidup
bersama dalam masyarakat adalah adanya bahasa. Bahasa
manusia memiliki simbol yang menjadikan suatu perkataan mampu
melambangkan arti apa pun, sekalipun hal atau barang yang
dilambangkan artinya oleh suatu kata tidak hadir di situ. Di
Indonesia terdapat beragam bahasa daerah yang mewakili
banyaknya suku-suku bangsa atau etnis namun bahasa Melayu
dahulu dikenal sebagai bahasa penghubung berbagai etnis yang
43 | P a g e
mendiami kepulauan nusantara. Selain menjadi bahasa komunikasi
di antara suku-suku di nusantara, bahasa Melayu juga menempati
posisi bahasa transaksi perdagangan internasional di kawasan
kepulauan nusantara yang digunakan oleh berbagai suku bangsa
Indonesia dengan pedagang asing. Pada tahun 1928 Bahasa Melayu
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada tahun tersebut,
bahasa Melayu ditetapkan menjadi bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan bangsa Indonesia. Setelah kemerdekaan, bahasa
Indonesia ditetapkan sebagai bahasa nasional

2. Globalisasi dan Identitas Nasional


Presiden Soekarno kerap menegaskan wasiatnya bahwa tugas
berat bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaan adalah
mengutamakan pelaksanaan nation and caracter building, bahkan Bung
Karno mewanti-wanti, jika pembangunan karakter ini tidak berhasil,
bangsa Indonesia hanya menjadi bangsa kuli! Identitas/kepribadian
bangsa Indonesia yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang halus
budinya, sopan dalam sikapnya, santun dalam tindakanya, sangat toleran,
memiliki solidaritas yang tinggi, dan nasionalisme yang kuat serta
mengakar. Semua itu lambat laun semakin pudar akibat derasnya arus
globalisasi dan kapitalisme yang memberikan ajaran untuk individualis,
materialis, bebas sebebas-bebasnya, konsumtif, pragmatis, dan
praktis/instan (Muhamad Erwin, 2012: 44).
Saat ini manusia Indonesia cenderung kurang tulus dan suka
menggunakan kedok, berbeda antara perkataan dan perbuatan, tidak bisa
memegang janji, dan menghindari tanggung jawab. Nilai-nilai budaya, dan
perilaku munafik dan berorientasi pada keduniaan serta materialisme
semata. Sementara itu korupsi yang masih terus merajalela juga telah
menggerus kesanggupan kita untuk tumbuh, berkembang, dan berdaya
saing. Kalau untuk korupsi ini sampai-sampai ada guyonon di tengah
masyarakat bahwa, “setan tidak perlu lagi menggoda dan mengajari
bangsa Indonesia untuk melakukan korupsi, sebab justru setan yang harus
belajar mengenai jurus-jurus (modus operandi) korupsi dari bangsa
Indonesia dan kemudian digunakan untuk menggoda bangsa atau negara
lain.” (Muhamad Erwin, 2012: 44)
Sikap dan perilaku kurang tulus juga telah menghinggapi negeri ini
yang dapat terlihat pada kondisi saat ini, dimana setiap jasa atau jabatan
selalu diukur dengan materi dan fasilitas. Kalau anggota legislatif gaji dan
fasilitasnya harus segini, untuk pejabat eksekutif pendapat dan
fasilitasnya harus sebesar ini, untuk aparatur penegak hukum (yudikatif),
penghasilan dan fasilitasnya harus senilai ini. Alasannya, menjadi pejabat
negara adalah pekerjaan yang sangat berat. Coba berat mana dengan
pekerjaan para Founding Father dulu! (Muhamad Erwin, 2012: 44-45).
Sikap kurang tulus itu kemudian meluas menjadi hipokrasi umum
yang berupa rendahnya disiplin dan kepatuhan terhadap hukum, dan

44 | P a g e
sikap masa bodoh terhadap kepentingan bersama. Dalam kondisi lebih
buruk lagi, kepentingan kedaerahan, kelompok, dan golongan telah
melunturkan cita-cita bersama sebagai bangsa (Muhamad Erwin, 2012:
45).
Sang guru besar Ki Hajar dewantara telah menggariskan bahwa,
Ing Ngarso Sun Tulodho (di depan memberi suri tauladan). Kalau yang
didepan negeri ini memberi suri tauladan seperti itu tadi, maka jangan
heran kalau yang di tingkat akar rumput banyak psikopat. Terlebih kalau
kita memandang bagaimana peredarsn narkoba di negeri ini yang jelas
selai merusak kepribadian dan moral bangsa juga telah membuat suram
masa depan generasi penerus bangsa (Muhamad Erwin, 2012: 45.
Realitas obyektif tersebut kalau kita dekati dengan cara pandang
Moehtar Lubis dalam buku Manusia Indonesia dapat dibenarkan adanya.
Beberapa karakteristik manusia Indonesia di antaranya berkarakter
hipokrit (munafik), cenderung pada tahayul (irrasional), suka melempar
tanggung jawab pada orang lain, hedonis, dan artistik (mempunyai jiwa
seni atau estetis yang tinggi) dan lain-lain.
Oleh karena itu, tantangan besar bagi manusia Indonesia adalah
pembagunan karakter yang berangkat dari dalam, bahkan bisa menjadi
auto-kritik terhadap diri kita sendiri, tentu melalui beberapa kritik dari
pemikir tentang Indonesia seperti Moehtar Lubis; dalam proses menjadi
dan menemukan kedirian bangsa tersebut kita dituntut untuk terus
berproses ‘menjadi’ Indonesia dengan melihat factor kesjarahan-kritis
serta berangkat dari kebudayaan. Tantangan-tantangan besar lainnya
berasal dari luar, di antaranya mengenai globalisasi dan kebudayaan yang
dibawanya.
Dengan adanya globalisasi, intensitas hubungan masyarakat
antarnegara sangat longgar sehingga rentan sekali memengaruhi nilai-
nilai budaya bangsa, sehingga krisis akhlak dan moral bertambah akut
dan meluas.Memang disatu sisi, kita tidak patut untuk menutup diri dari
globalisasi dengan segala keuntungannya seperti dalam putaran ilmu,
teknologi dan informasi dunia, namun disisi lain kita harus
mempertahankan karakter kita sebagai mana yang telah dirumuskan
dalam philosofhie groundslag bangsa kita. Dalam menghadapi ancaman
negatif globalisasi itu sudah semestinya bangsa Indonesia mulai dari elit
sampai ke rakyatnya untuk kembali memosisikan dirinya kepada sifat
aslinya, agar tidak gampang untuk diintervensi oleh negara lain dan tidak
dikatakan sebagai bangsa yang tidak memiliki prinsip dan tersesat dalam
arus lautan globalisasi (Muhamad Erwin, 2012: 45).
Sifat asli itu terletak pada hati bukan pada tampilan luar. Namun
apabila kita memandang arah pembangunan negara kita begitu terlihat
yang dikedepankan adalah pembangunan fisik dan ekonomi bukan
pembangunan jiwa, padahal lagu Indonesia Raya telah mengamanatkan
untuk membangun jiwa terlebih dahulukemudian badan (“....Bangunlah
jiwanya, bangunlah badanya, untuk Indonesia Raya...”). Padahal tolak
ukur kemajuan suatu bangsa tidak hanya dilihat dari kecanggihan
teknologi ataupun pembangunan fisik semata. Akan tetapi yang
45 | P a g e
terpenting ada pada semangatnya, semangat untuk bekerja bagi bangsa
dengan bekerja secara keras, secara cerdas, dan secara ikhlas,
sebagaiman yang pernah dikumandangkan oleh Bung Karno: “beri aku
seribu orang, dan aku akan menggerakkan Gunung Semeru! Beri aku
sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada Tanah Air, dan aku akan
mengguncang dunia!” (Orasi Bung Karno, 1920).

5.Integrasi Nasional
Membangun suatu bangsa di masa depan memerlukan
kesinambungan dengan kehidupan kultural masa lalu. Kesadaran akan
kontiunitas historis memperkuat kesadaran kultur suatu bangsa, sehingga
terbentuklah rasa nasionalisme atau identitas diri bangsa. Pemupukan
identitas nasional tidak dapat dijalankan tanpa menghidupkan kesadaran
kultural. Namun, pada kenyataannya telah terjadi pemutusan atau
keterputusan penerusan budaya bangsa, entah di sengaja atau bahkan
tidak disadari. Kini, bangsa ini menjadi menjadi negara yang kurang
memperhatikan nilai-nilai budaya, terjadi diskontiunitas budaya, dan
hilangnya identititas bangsa. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka
segeralah bangsa ini akan menjadi kacung di dunia. Akibatnya, negeri ini
tidak mampu menumbuhkan cultural forces yang diperlukan untuk
membentengi diri dari berbagai terpaan modernitas yang berasal dari
Barat. Impian besar menjadi subjek-Indonesia yang berjuang dengan
pikiran cerdas, batin yang bersih, serta tulus dalam menciptakan sistem-
sistem hidup bersama yang manusiawi, humanis, toleran, egaliter,
berharkat dalam keragaman, ataupun menghormati setiap kemajemukan
di bawah kepastian hukum, hampir nyaris semua itu belum terwujud.
Pemutusan mata rantai kultural, rantai ekonomi, perdagangan,
maritim, sikap hidup, pandangan dunia, serta mata rantai nilai-nilai
ketimuran ini disebabkan oleh kolonial Belanda yang telah lama menjajah
negeri ini dengan menggunakan cara-cara feodalistik, seperti sistem
tanam paksa. Salah satu contoh bahwa kita mempunyai tradisi
perdadangan yang kuat dan maritime yang tangguh dapat dilihat sejarah
dibeberapa daerah seperti di Aceh, misalnya seorang Usman berhasil
menjadi pengusaha kain yang mampu menembus pasar internasional.
Ataupun misalnya pada suku Bugis yang mempu membuat perahu yang
kuat dan tidak pernah tenggelam walaupun di hantam ombak besar. Serta
berbagai tradisi nenek moyang di beberapa suku bangsa di negeri ini.
Dalam perspektif sejarah silam sebelum Belanda datang, sistem
pemerintahan desa bangsa ini dipilih rakyat dengan bebas, ada tanah
milik desa dan ada tanah milik individu. Belanda tak mau tahu dengan
sistem ini, yang terpikirkan dalam benak mereka adalah kebutuhan tanah-
tanah untuk produksi harganya tinggi di Eropa pada masa itu. Mereka
46 | P a g e
masuk ke pedalaman menjadikan lurah sebagai agennya dan memilih
tanah yang baik untuk ditanami. Lurah yang dahulunya menjadi simbol
kegotongroyongan lalu menjadi taun yang ikut menindas rakyat. Kolonial
Belanda memporak-porandakan sistem dan tata cara masyarakat lokal,
dan hingga kini kekacauan sistem ini tetap permanen sampai sekarang.
Dari sedikit gambaran di atas dapat diketahui bagaimana proses
kolonialisasi itu berjalan, dibentuk, dan melalui berbagai sarana seperti;
budaya, ekonomi, politik lokal, dan seterusnya. Praktek penanaman pola-
pola imperialis tersebut berjalan dan hingga kini masih berperan
menggerakkan nalar masyarakat Indonesia dari pasca kemerdekaan
hingga kini
Problem yang cukup mendasar bagi kita untuk merumuskan
kembali identitas ke-Indonesiaa adalah bagaimana menjadi Indonesia?
Menjadi Indonesia bukanlah mengungkungnya dalam definisi yang
bersifat esensialis, yakni kebudayaan Indonesia yang digambarkan secar
definitif. Dengan kata lain, kebudayan Indonesia itu harus “begini”, dan
yang “tidak begini” bukan kebudayaan Indonesia. Yang tentu saja
semakin menutup, membatasi dan membunuhnya. Ke-Indonesiaan lalu
menjadi pencitraan yang sangat terbatas.
Setidaknya ada empat strategi untuk merumuskan kembali
Keindonesiaan, pertama, perumusan strategi itu dibuat dengan persepsi
budaya yang komprehensif, yang mempunyai cakupan luas terhadap
perikehidupan masyarakat Indonesia. Persepsi budaya tidak hanya
mengarah pada kesenian belaka, sebab strategi budaya bukan strategi
kesenian. Namun cakupan dalam strategi yang berdasar budaya ini
mengubah cara hidup, persepsi dan tingkah laku warisan kolonial. Secara
lebih khusus, perubahan tersebut menyangkut semua faktor budaya,
yakni: anthropos, oikos, tekne, dan ethnos. Anthropos, berarti Manusia
menjadi faktor penting dalam membangun bangsa ini, terutama dari sisi
kualitas sumberdayanya. Oikos, di mana lingkungan bukan hanya menjadi
sarana, akan tetapi merupakan Lebenswelt, yakni medan yang
memungkinkannya berjuang untuk hidup. Tekne, yakni menjadikan
teknologi sebagai perpanjangan tangan dalam meringankan tugas, bukan
justru teknik yang membelenggunya. Kedua, strategi yang diarahkan
untuk mengarah ke masa depan. Warisan budaya harus dihargai, tetapi
agar warisan tersebut bermakna diperlukan tafsir ulang yang kreatif dan
produktif, seperti dalam bahasa Gadamer, interpretasi bukan hanya
mengarah pada teks, ataupun hanya pada konteks teks tersebut di buat,
akan tetapi diperlukan kontekstualisasi yang bersifat produktif, bukan
hanya reproduktif. Gadamer juga mengingatkan, berpijak pada tradisi
bukan lalu membuat kita masuk dalam kubangan romantisisme, tetapi
47 | P a g e
justru malah mengarahkannya pada modern yang berasal dari dalam diri
kita. Modernitas yang digali dari dalam, modernitas yang berangkat dari
tradisi (turast) dan kebudayaan kita (Hassan Hanafi). Adalah suatu
kenaifan jika kita ingin membangun modernitas tanpa melibatkan tradisi
dan kebudayaan, sebab akan mengalami kepincangan di dalamnya,
sebagaimana modernitas yang terjadi di Eropa. Modernitas yang dibangun
dari kebudayaan kita justru akan meneguhkan ke-diri-an atau jati diri
sebagai bangsa dan mampu mengintegrasikannya dengan kebudayaan
luar. Model integrasi ini tidak menghilangkan identitas, atau bahkan tidak
pula bersifat konservatis terhadap tradisi, sementara terhadap
kebudayaan luar (tentu secara selektif) juga tidak bersifat menolaknya.
Dalam strategi tersebut terkandung adanya kondisi dinamis yang
mendiri. Berbuat secara mandiri, tidak tergantung ataupun menyandarkan
diri pada kebaikan bangsa lain. Masyarakat juga harus mempunyai
kemampuan integratif-akulturatif, yakni terbuka terhadap unsur-unsur
luar, menerima secara selektif dan yang terpenting dari itu adalah mampu
mengintegrasikannya ke dalam kebudayaan nasional untuk memperkuat
identitas kebangsaan, seperti yang telah terbukti dalam serjarah era
kultural sebelum masa kolonial.
Sebagai catatan penting bahwa relasi budaya Indonesia dengan
unsur-unsur asing mengalami tegangan sebagai berikut: bahwa Budaya
Indonesia tidak pernah sepenuhnya anti terhadap budaya luar dan dalam,
antara “ego” dan “the other”. Dominasi kultural tidak akan bisa sungguh-
sungguh mendiktekan “the dominated” untuk mengkonstruksi
pandangan-pandangan, kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai yang
merupakan tiruan atau mimikri “terjajah ‘ dari “penjajah”.
Seiring dengan perkembangan pesat dunia modern, rumitnya
jejaring kebudayaan Indonesia untuk dipahami. Maka pelacakan identitas
Indonesia dengan kembali ke masa lalu, yakni dengan mencari Indonesia
murni yang cenderung ke arah puritan dan bahkan puritanisme adalah hal
yang kurang bijak, namun mengikuti gerak globalisasi juga harus
diperhatikan dengan seksama. Idealnya, pencarian diri kultural Indonesia
adalah dengan membiarkannya selalu berada dalam proses persilangan
akibat dari perjumpaan dengan budaya-budaya lain.
Agar perumusan identitas itu terus berjalan dengan baik seperti
aliran sungai abadi, maka cara yang terbaik adalah membiarkan wacana
kebudayaan di Indonesia tetap hidup. Dengan demikian, identitas
Indonesia akan selalu berada dalam ruang tarik ulur yang bergerak, yakni
ruang ketiga, ruang ambang. Untuk menciptakan ruang wacana yang
melibatkan sebanyak etnis di Indonesia inilah kiranya perlu terus
dikembangkan. Dengan demikian, kebangsaan memang bukanlah suatu
48 | P a g e
entitas yang jadi dan untuk proses ‘redefinisi’ menjadi Indonesia perlu
diciptakan keindonesiaan yang interaktif antar etnis, gerakan yang
bergerak terus menerus, dalam kondisi Indonesia yang demoktratis.
Integritas nasional merupakan interaksi utuh segenap suku-suku
bangsa di seluruh penjuru Nusantara. Penyatupaduan secara utuh ini
pertama kali telah diikrarkan bangsa Indonesia melalui Sumpah Pemuda,
yang kemudian mencapai puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia, 17 Agustus 1945. Indonesia sejak 1945 telah
membuktikan pada dunia, walaupun terdiri dari berbagai suku dan
wilayah kepulauan yang terpisah-pisah oleh lautan, tapi Indonesia
tetaplah Indonesia dalam satu kesatuan yang utuh sebagai negara
(Muhamad Erwin, 2012: 48).
Adapun yang menjadi erekat bangsa Indonesia sehingga tetap
bertahan sampai dengan saai ini tidak lain besar pengaruhnya karena
ditunjang oleh identitas nasional yang memang memiliki karakter yang
dalam. Pancasila telah terbukti berperan sebagai pandangan hidup yang
satu bagi bangsa Indonesia dalam bentuk kesadaran, cita-cita moral, cita-
cita hukum dengan satu kejiwaan nasionalisme Indonesia. Undang-
undang dasar 1945 (Amandemen pertama, kedua, ketiga, keempat) juga
telah memberikan pedoman/patokan yang satu bagi sikap segenap
bangsa Indonesia. Begitupun dengan apa yang dialami oleh bahasa
Indonesia, bahsa Indonesia telah menjadi sasana interaksi yang satu bagi
segenap bangsa Indonesia. Demikian juga terhadap Garuda Pancasila
sebagai lambang negara, Sang Saka Merah Putih sebagai bendera negara
dan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan telah menjadi simbol
kejiwaan yang satu bagi bangsa Indonesia (Muhamad Erwin, 2012: 48).
Identitas nasional juga sangat mengharapkan bentuk integrasi
nasional yang kokoh. Dalam menopang kekokohannya membutuhkan
kekuatan dari integritas sosial dan integritas kebudayaan. Integritas sosial
adalah upaya untuk menyatupadukan masyarakat yang beragam,
berlainan latar belakangnya dan masing-masing memiliki jati diri dari
sukunya menjadi suatu masyarakat baru dan besar yang saling
berasimiliasi. Sementara integritas kebudayaan merupakan sarana
asimilasi budaya atau penyesuaian antar budaya sehingga dapat menjadi
suatu sistem budaya yang selaras (Muhamad Erwin, 2012: 48).
Dari cerminan kedua bentuk integrasi penyokong keberadaan
integrasi nasional itu, maka dapat dirumuskan bahwasnnya integrasi
nasional merupakan penyatupaduan bagian-bagian yang berbeda-beda
menjadi satu kesatuan yang utuh dan tetap memlihara keanekaragaman
dan kearifan-kearifan budaya lokal. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa eksistensi identitas nasional sebagai sarana rekayasa nasional
memerlikan identitas nasional sebagai sarana rekayasa sosial dan politik
dalam upaya mewujutkan persatuan dan kesatuan bangsa yang
diinginkan (Muhamad Erwin, 2012: 49).
Selain itu identitas nasional tidak akan memberikan kekuatan
kepada integritas nasional apabila kesadaran masyarakat sangat rendah.

49 | P a g e
Driyarkara telah merumuskan bahwa kesadaran itu adalah seperti ein
ruf aus mir und doch uber mich, seperti panggilan yang timbul dari aku,
tetapi mengatasi diriku. Kesadaran pada identitas nasional pada
hakekatnya merupakan kesadaran tentang diri kita sendiri, dimana kita
melihat diri kita sendiriberhadapan dengan bangsa kita sendiri. Orang
yang memiliki kesadaran berarti orang tersebut yakin akan cita-cita
kebaikan yang setinggi-tingginya. Keyakinan itulah yang menjadi tempat
bagi jalinan nilai-nilai yang bergumul dalam benak dan sanubari manusia.
Orang yang mengalami dan merasakan keyakinan bahwa suatu perbuatan
yang kongkrit harus dilakukan atau sama sekali tidak boleh dilakukan.
Maka, kesadaran terhadap identitas nasional pada hakekatnya merupakan
keyakinan akan nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia tentang
identitas bangsanya yang pernah ada, yang ada dan yang akan ada.
Selain itu, jalinan nilai-nilai dalam diri manusia itu merupakan refleksi
terhadap akibat dari proses interaksi sosial yang kontinu dan dinamis,
dalam rangka memilih arah dalam kehidupan sosial (Muhamad Erwin,
2012: 49).
Dalam situasi yang konkrit terhadap identitas nasional akan
menjelma dalam bentuk kepatuhan atau ketaatan terhadap identitas
bangsa sendiri. Kepatuhan terhadap identitas bangsa sendiri
begitubergantung pada pertumbuhan akal, kemauandan rasa seseorang.
Ada orang yang sadar terhadap identitas nasionalnya demi kesedapan
hidupbersama, ada yang karena sesuai dengan cita-citanya, ada pula
yang karena kepentingan. Namun pada akhirnya konsekuensi psikologis
dari adanya kesadarn moral atas identitas nasional ini, bahwa kesadaran
itu menggugah timbulnya rasa kebangsaan.
Dengan kesadaran seperti itu, maka secara konkret dapat dilakukan
upaya-upaya kreatifitas bangsa dalam tindakan-tindakan sebagai berikut:
1. Dengan berupaya mengimplementasikan rasa kebangsaan kita
yang berwujud nasionalisme atau pengabdian secara total
kepada Indonesia, misalnya dengan membudayakan
penggunaan bahasa Indonesia, mempublikasikan pertunjukan-
pertunjukan seni budaya bangsa melalui media-media ataupun
dengan menggunakan produk hasil karya anak bangsa;
2. Dengan memodifikasi kebudayaan Indonesia menjadi sesuatu
yang menarik;
Integritas
3. Dengan bersikap Nasional
selektif dalam menerima pengruh globalisasi
yang masuk ke Indonesia (Muhamad Erwin, 2012: 49-50).

Integrasi Kebudayaan Integrasi


Sosial

Persesuaian antar
Penyatuan
kebudayaan
kelompok-kelompok yang kecil menjadi kelompok besar

50 | P a g e

Integrasi Penyatuan
Nasional bagian-bagian yang berbeda menjadi kesatuan yang utuh
Integrasi nasional merupakan interaksi utuh segenap suku-suku
bangsa di segala penjuru nusantara. Penyatupaduan secara utuh ini
pertama kali telah diikrarkan bangsa Indonesia melalui Sumpah Pemuda,
yang kemudian mencapai puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia, 17 Agustus 1945. Sejarah mencatat bahwa perbedaan
suku, agama, ras dan terisah secara geografis tidak menghalangi bangsa
Indonesia untuk menyatu menjadi bangsa.
Adapun yang menjadi perekat bangsa sehingga yang hingga kini
tetap bertahan adalah adanya identitas nasional yang memiliki karakter
yang kuat. Pancasila terbukti menjadi pandangan hidup (filsafat hidup)
bangsa dalam bentuk kesadaran, cita-cita, moral, hukum dan kejiwaan
bangsa. UUD 1945 (amandemen ke-1, 2, 3, 4) juga telah memberikan
pedoman dan patokan dalam kehidupan berbangsa. Begitu pula mengenai
bahasa Indonesia tetap menjadi alat komunikasi pemersatu antar
berbagai suku, etnis yang berbeda. Demikian pula pada Garuda Pancasila
sebagai lambang negara, sang saka Merah Putih sebagai bendera negara
dan Indonesia raya sebagai lagu kebangsaan yang menjadi simbol
kejiwaan yang satu bagi bangsa.
Integrasi nasional membutuhkan penopang, yang berupa integrasi
sosial dan integrasi budaya. Integrasi social merupakan upaya
menyatupadukan berbagai ragam sosial, latar belakang yang berbeda
yang mempunyai jati diri masing-masing menjadi masyarakat baru dan
besar yan berasimilasi. Sementara integrasi budaya lebih menekankan
asimilasi budaya untuk keselarasan. Singkatnya, integrasi nasional adalah
penyatupaduan bagian-bagian yang berbeda-beda menjadi satu kesatuan
yang utuh dengan tetap memelihara keanekaragaman dan kearifan-
kearifan lokal. Menurut Driyarkara, identitas nasional tidak akan
memberikan kekuatan pada integrasi nasional apabila kesadaran
masyarakatnya sangat rendah. Menurutnya, kesadaran itu seperti
panggilan yang timbul dari aku, tetapi mengatasi diriku. Maka dalam
51 | P a g e
konteks nasional, kesadaran yang timbul dari aku itu mampu mengatasi
ke-aku-an untuk kepentingan yang lebih besar, yakni bangsa dan negara.
Pada hakekatnya integrasi merupakan upaya politik/ kekuasaan
untuk menyatukan semua unsur masyarakat yang majemuk harus tunduk
kepada aturan-aturan kebijakan politik yang dibangun dari nilai-nilai kultur
yang ada dalam masyarakat majemuk tadi, sehingga terjadi kesepakatan
bersama dalam mencapai tujuan tujuan nasional dimasa depan untuk
kepentingan bersama.
Proses integrasi disebabkan adanya, kebersamaan sejarah, ada
ancaman dari luar yang dapat mengganggu keutuhan NKRI, adanya
kesepakatan pemimpin, homogenitas social budaya serta agama ,dan
adanya saling ketergantungan dalam bidang politik dan ekonomi.
Integrasi mempunyai dua dimensi, antara lain: integrasi horizontal
dan integrasi vertikal. Dimensi vertikal dalam integrasi nasional bertujuan
mengintegrasikan persepsi dan prilaku elite dan masa dengan cara
menghilangkan, mengurangi perbedaan kesenjangan antara kelompok
yang berpengaruh dengan yang dipengaruhi. Sedangkan dimensi
horizontal mengintegrasikan antara kelompok-kelompok dalam
masyarakat, dengan cara menjembatani perbedaan – perbedaan yang
ditimbulkan oleh factor-faktor teritorial/kultur dengan mengurangi
kesenjangan yang ditimbulkan oleh factor-faktor tersebut.
Contoh-contoh penghambat integrasi nasional :
a. Perbedaan kepentingan, dengan masyarakat yang majemuk
tentu akan menimbulkan pula perbedaan kepentingan antara
yang satu dan yang lain, dan bila tidak disikapi secara
dewasa hal ini juga dapat menimbulkan gesekan gesekan
masyarakat.
b. Diskriminasi, adalah perlakuan yang tidak adil dan memihak
hanya kesatu pihak saja
c. Masih berkembangnya paham etosentris, yaitu paham yang
menganggap budayanya adalah yang paling unggul dan
merendahkan budaya yan lainnya.
d. Masih maraknya isu keagamaan dan saling menjelek-
jelekkan antara agama yang satu dan yang lainnya,
contohnya adalah perang atau bentrokan antar umat
beragama yang masih sering terjadi di sekitar kita.
e. Masih mudahnya masyarakat Indonesia untuk dihasut dan di
adu domba, seperti kita ketahui, dulu sewaktu Indonesia
masih dijajah oleh Belanda, Belanda juga melakukan politik
adu domba (devide et impera) untuk memecah belah
perlawanan rakyat yang hasilnya adalah kita kalah oleh
Belanda.
f. Kurangnya rasa persatuan dan kesatuan

52 | P a g e
g. Bhineka Tunggal Ika hanya sebatas wacana namun tidak
pernah diterapkan atau diimplementasikan secara sistematis.

Kesadaran akan identitas bangsa semestinya harus berangkat dari


kesadaran akan kebudayaan dan sosial bangsa. Integrasi sosial-budaya
yang dapat dilakukan dua strategi; Pertama, proses obyektivikasi. Dalam
konteks ini yang diperkuat adalah menghilangkan unsur-unsur lokalitas
dari kebudayaan dan sosial untuk dapat diuniversalkan, artinya dapat
diterima oleh masyarakat Indonesia. Berbagai kebudayaan daerah
(terutama terkait dengan kearifan lokal) seharusnya dapat diobyektivikasi,
artinya menghilangkan unsur kedaerahan dan menarik nilai-nilai kearifan
di dalamnya yang dapat diterapkan disetiap ruang dan waktu. Kedua,
dapat pula dilakukan untuk menyatupadukan dengan cara menarik
kesamaan identitas/benang merah dari semua kebudayaan daerah.
Kemampuan menyatupadakan kebudayaan daerah ini dapat kita
contohkan kebudayaan gotong-royong yang merupakan hasil
penyatupaduan dari berbagai ragam kebudayaan di daerah.
Oleh karena itu, kesadaran akan identitas nasional harus secara
terus menerus dipertahankan dengan mengimplementasikan rasa
kebangsaan yang berwujud dalam nasionalisme atau pengabdian total
kepada bangsa, misalnya dengan membudayakan penggunaaan bahasa
Indonesia, publikasi seni budaya, dan menggunakan produk anak negeri.
Sikap yang perlu ditekankan pula adalah menyeleksi pengaruh globalisasi
yang kuat menyerang kepribadian bangsa. Kesadaran akan kebudayaan
sendiri akan sangat penting untuk menangkal pengaruh dari luar yang
bertentangan dengan kepribadian bangsa.

D. LATIHAN SOAL
1. Sebutkan identitas nasional yang bersifat fundamental!
2. Jelaskan yang dimaksud krisis identitas di era globalisasi!
Jawab:
1. Identitas nasional yang bersifat fundamental adalah
Pancasila, yang merupakan kristalisasi nilai, tradisi dan
kebudayaan masyarakat Indonesia. Karena bersifat
fundamamental, maka ia bersifat tetap dan tidak ada
perubahan sama sekali
2. Krisis identitas bangsa adalah sebuah kondisi di mana terjadi
ketidakstabilan sebuah karakter bangsa, sehingga mengalami
guncangan budaya. Dalam kondisi demikian, ketidakjelasan
norma mewarnai perilaku dan tindakan sebagian kelompok
masyarakat.
E. SOAL FORMATIF

1. Apakah yang dimaksud dengan identitas nasional/bangsa?

53 | P a g e
2. Gambarkan pembanguan karakter bangsa dari era Orde
Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi!
3. Jelaskan unsur-unsur pembentuk identitas nasional yang
bersifat alamiah!
4. Bagaimana membentuk karakter atau kepribadian bangsa
yang kuat dalam arus global?
5. Apakah yang dimaksud dengan integrasi nasional, jelaskan
pula hubungan integrasi nasional dengan integrasi sosial-
budaya!

54 | P a g e
F. DAFTAR PUSTAKA

Erwin, Muhammad, (2010), Pendidikan Kewarganegaraan Republik


Indonesia,PT. Refika Aditama, Bandung

Indarjo, Mispan. “Gambaran Pengalaman Hermeneutik Hans-Georg


Gadamer, Driyarkara, No. 3/Tahun xx, 1993/1994.

Lubis, Muchtar. 1981. “Penerusan Kebudayaan Kita Terputus”,


Prisma, 11 Novermber.

Noor Syam, Mohammad, (2000), Pancasila, Dasar Negara Republik


Indonesia: Wawasan Sosi-Kultural, Filosofis dan Konstitusional,
Lab Pancasila UM, Malang

Soeprapto, Sri dan Jirzanah, 1996. “Pengembangan Kebudayaan


sebagai Identitas Bansa”, Jurnal Filsafat UGM, Yogyakarta,
Pebruari

Srijanti dkk, 2011, Pendidikan Kewarganegaraan di PT:


Mengembangkan Etika Berwarga Negara, Penerbit Salemba
Empat, Jakarta

Sutrisno, Muji. (2004). “Menafsir KeIndonesiaan”, dalam:


Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas, Yogyakarta:
Kanisius

Sutrisno, Slamet, 2006, Filsafat dan Ideologi Pancasila, Yogyakarta:


Penerbit Andi

G. PENUTUP
Modul I ini memberikan dasar nilai fundamental bagi mata kuliah
Pendidikan Kewargangeraan. Yang dimaksud memberikan dasar
fundamental tersebut adalah bahwa tema-tema yang dibahas dalam
Pendidikan Kewarganegaraan harus mendasarkan diri pada nilai-nilai
fundamental dalam Pancasila. Hal ini berarti bahwa pokok bahasan dalam
Kewargangeraan tidak bisa mendasarkan pada nilai-nilai Liberal, ataupun
nilai yang bertentangan denfan Pancasila. Pembahasan tentang NRI,
misalnya, tidak bisa dilepaskan dari konsep hakikat Negara Indonesia yang

55 | P a g e
berada di titik tengah antara konsep Negara Liberal dan Negara Sosial,
begitu pula dengan tema-teman yang lain.
Secara lebih rinci, hal tersebut diulas dalam bahasan identitas
bangsa yang menggambarkan karakter bangsa, baik secara fundamental,
instrumental maupun alamiah. Modul I ini sangat penting sebagai
pengantar untuk bisa memahami modul-modul berikutnya.

56 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai