Anda di halaman 1dari 2

KEBIJAKAN MORATORIUM S1 FARMASI INDONESIA

Nurul Maharani Putri/Farmasi1A/UNIDA

Menjamurnya Prodi S1 Farmasi dikarenakan farmasi memang merupakan salah satu


prodi yang terbilang cukup bergengsi di Indonesia. Bagaimana tidak, penelitian data
membuktikan bahwa, International Pharmaceutical Federation dan WHO merekomendasikan
negara berkembang salah satunya Indonesia agar memiliki rasio ideal 1 apoteker untuk 2.000
penduduk, namun kenyataannya Indonesia hanya memiliki rasio 1:4528 sehingga dapat
dikatakan Indonesia masih sangat membutuhkan tenaga kesehatan yaitu apoteker.
Namun, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti)
menyatakan kualitas sebagian besar perguruan tinggi dan program studi di Indonesia masih
cukup memprihatinkan. Hal ini dinyatakan dengan, "Kesenjangan mutu pendidikan bisa
dilihat dari hasil akreditasi perguruan tinggi dan program studi. Dari 4.472 perguruan tinggi
di Tanah Air, baru 50 perguruan tinggi yang memiliki akreditasi A dan program studi
terakreditasi A baru sebanyak 2.512”.
Dari masalah ini, pemerintahan Indonesia mengadakan kebijakan moratorium S1
farmasi. Moratorium S1 farmasi adalah pemberhentian sementara pembukaan program studi
S1 farmasi baru yang ada di Indonesia saat ini. Rencana moratorium S1 farmasi didasarkan
pada data jumlah S1 farmasi yang mencapai 128 program studi pada tahun 2014 yang terdiri
dari 128 program studi hanya 14 prodi yang berakreditasi A, 32 prodi berakreditasi B dan 32
prodi berakreditasi C dan 50 prodi yang belum terakreditasi.
Hanya berselang 2 tahun saja jumlah, S1 farmasi pada Februari 2016 telah mencapai
174 prodi dengan 14 prodi yang berakreditasi A, 32 prodi berakreditasi B dan 32 prodi
berakreditasi C dan 96 prodi yang belum terakreditasi. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa
pertumbuhan program studi S1 farmasi mencapai 100% dalam 2 tahun saja.
Hal ini berbanding terbalik dengan pertumbuhan Program Studi Profesi Apoteker
(PSPA) dari maret 2016 hingga februari 2018 jumlahnya hanya bertambah dari 29 menjadi
38 PSPA saja atau dengan kata lain hanya mengalami pertumbuhan 31,57 % saja. Hal ini
tentu membuat APTFI menyatakan keberatan terhadap pembukaan prodi farmasi tanpa
mendapat persetujuan serta rekomendasi dari APTFI.
Kemenristek Dikti seolah – olah hanya mengejar kuantitas saja tanpa melihat kualitas
dari para lulusan yang dihasilkan, ditambah dengan jumlah lulusan S1 farmasi yang tidak
sebanding dengan jumlah PSPA yang ada saat ini yang menyebabkan banyak lulusan S1
farmasi yang kesulitan untuk melanjutkan pendidikan ke program profesi karena keterbatasan
dari jumlah PSPA saat ini.
Akan tetapi, kebijakan moratorium ini bukanlah jalan yang efektif untuk memperbaiki
mutu perguruan tinggi farmasi maupun kualitas tenaga apoteker. Banyak penolakan terjadi di
berbagai perguruan tinggi disertai alasan dan saran.
Mempertimbangkan kebijakan ini dengan beberapa alasan dilakukan pemerintah.
Diantaranya, wilayah Indonesia yang berbentuk kepulauan menjadikan persebaran perguruan
tinggi farmasi tidak merata. Moratorium ini dapat dilakukan di daerah yang memiliki banyak
perguruan tinggi farmasi.
Namun, moratorium harus merujuk pada sasaran yang tepat. Utamakan parguruan
tinggi yang belum terakreditasi. Bagi perguruan tinggi yang memiliki akreditasi rendah,
diberi kesempatan memperbaiki dan meningkatkan kualitasnya dalam jangka waktu yang
ditentukan. Hal ini dibuktikan dengan gerakan akreditasi perguruan tinggi Indonesia yang
dilakukan pemerintah di seluruh nusantara. Dengan tujuan meningkatkan mutu dan kualitas
perguruan tinggi farmasi.
Berdasarkan letak geografis Indonesia, kebutuhan tenaga apoteker di setiap daerah
beragam. Mengatasi masalah ini, pemerintah di setiap daerah mendirikan perguruan tinggi
farmasi demi memenuhi kebutuhan tersebut.
Kebijakan moratorium ini pula yang harus mempertimbangkan alasan pendirian
perguruan tinggi farmasi di setiap daerah. Dengan alasan memenuhi kebutuhan tenaga
apoteker maupun farmasi, moratorium tidak bisa dilaksanakan begitu saja. Namun perguruan
tinggi seperti ini yang benar-benar diharapkan bisa memiliki kualitas yang baik bagi
sarjananya.
Angka pendapatan perkepala keluarga di Indonesia tergolong rendah. Hal ini menjadi
alasan lulusan S1 farmasi lebih memilih profesi tenaga medis farmasi dari profesi apoteker.
Tingkat perbandingan kualitas akreditasi perguruan tinggi farmasi dan profesi apoteker yang
berbeda ini pula menjadikan S1 farmasi sulit melanjutkan profesi apoteker. Dua faktor
pendukun ini menjadi latar belakang pemerintah meningkatkan mutu dan kualitas perguruan
tinggi farmasi.
Kebijakan moratorium S1 farmasi dapat dilakukan pemerintah jika hal ini dipandang
perlu setelah mempertimbangkan alasan dari berbagai aspek. Agar tidak ada kerugian di
pihak manapun serta dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Demi kebaikan pendidikan
hingga kualitas masyarakat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai