Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata
kuliah ini tepat pada waktunya.

Materi dalam Makalah Pendidikan Agama Islam ini disesuaikan, yang bertema
”Akhlaq Pribadi (Pemaaf dan Syaja’ah)”.

Adapun tujuan utama penulisan makalah ini adalah agar semua mahasiswa dan
pembaca dapat memahami konsep dan menerapkannya dalam lingkungan keluarga,
kampus, masyarakat, bangsa dan negara.

Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini dapat terselesaikan berkat


kerjasama kelompok 7. Meskipun demikian, kami menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari sempurna dan banyak kekurangannya. Karena itu kepada para pembaca dan
pemerhati pendidikan dimohon kritik dan saran. Untuk itu kami sampaikan terima kasih
yang sebanyak-banyaknya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita khususnya para
mahasiswa.

Gresik, 01 Oktober 2012

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................ i


DAFTAR ISI ……………………………………………………........... ii

BAB I PENDAHULUAN ….…………………………….………....... 1


I. Latar Belakang ………………..…………………….............. 1
II. Rumusan Masalah ………….…………………….................. 1
III. Tujuan ………………………………………..……............... 1

BAB II PEMBAHASAN …………………………………................... 3


AKHLAK PRIBADI
Pengertian akhlak ........................................................................ 3
1. PEMA’AF
1.1 Pengertian Pemaaf ................................................................... 4
1.2 Pemaaf dalam pandangan islam ………………..………........ 5
1.3 Keutamaan Pemaaf .................................................................. 6
1.4 Cara-cara menjadi seorang pemaaf ......................................... 7
1.5 Hikmah Pemaaf ....................................................................... 8
2. SYAJA’AH
2.1 Pengertian Syaja’ah ................................................................. 9
2.2 Bentuk – bentuk Syaja’ah ........................................................ 10
2.3 Ciri – ciri Syaja’ah ................................................................... 11
2.4 Sumber keberanian ................................................................... 12

BAB III PENUTUP ................................................................................ 17


Kesimpulan …………………………………….....……......... 17

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Islam mengajarkan bahwa akhlaqul kharimah menempati kedudukan yang
sangat penting. Karena akhlaqul kharimah mengajarkan kita tentang nilai-nilai baik
dan buruk, terpuji dan tercela yang dijadikan sebagai pedoman hidup manusia dalam
segala aspek kehidupan. Yang berlaku tidak terbatas, oleh ruang dan waktu.
Hubungan manusia dengan Allah adalah hubungan makhluk dengan
khaliknya. Dalam masalah ketergantungan, hidup manusia selalu mempunyai
ketergantungan kepada yang lain dan tumpuan serta pokok ketergantungan adalah
ketergantungan kepada Yang Maha Kuasa, Yang Maha Perkasa, Yang Maha
Bijaksana, Yang Maha Sempurna, ialah Allah Rabbul ‘alamin, Allah SWT.
Kebahagiaan semua manusia, di dunia dan akhirat tergantung kepada izin
dan ridha Allah SWT. Oleh karena itu Allah SWT memberikan ketentuan-ketentuan
supaya seluruh umat manusia mampu untuk mencapainya. Maka untuk mencapai
kebahagiaan di dunia dan di akhirat itu dengan sendirinya kita harus mengikuti
ketentuan-ketentuan yang berlaku dari Allah SWT.
Dengan menerapkan akhlaq yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah
mengenai nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan umat manusia, manusia tidak akan
mendapatkan kebahagiaan yang semu melainkan kebahagiaan yang nyata. Hal
tersebut yang menjadikan kelompok kami sangat tertarik untuk membahas lebih
lanjut mengenai akhlaq pribadi. Dalam makalah ini kami akan membahas dan
menjabarkan lebih dalam mengenai Pengertian Akhlak dan Macam-macam Akhlak
Pribadi ( Pemaaf dan Syaja’ah ) beserta bentuk-bentuknya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan pemaaf ?


2. Bagaimana pemaaf dalam pandangan islam ?
3. Bagaimana Keutamaan pemaaf?
4. Bagaimana cara menjadi seorang pemaaf?
5. Bagaimana hikmah menjadi seorang pemaaf?
6. Apa yang dimaksud dengan Syaja’ah ?
7. Bagaimana bentuk-bentuk dari Syaja’ah ?
8. Bagaimana Ciri-ciri dari Syaja’ah ?
9. Bagaimana sumber Syaja’ah itu?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembahasan masalah-masalah tersebut diatas ialah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian pemaaf.
2. Untuk mengetahui pemaaf dalam pandangan islam.
3. Untuk mengetahui keutamaan pemaaf.
4. Untuk mengetahui cara menjadi seorang pemaaf.
5. Untuk mengetahui hikmah pemaaf.
6. Untuk mendiskripsikan pengertian syaja’ah.
7. Untuk mengetahui bentuk-bentuk dari syaja’ah.
8. Untuk mengetahui ciri-ciri dari syaja’ah.
9. Untuk mengetahui sumber keberanian.

BAB II
PEMBAHASAN
( AKHLAK PRIBADI )

Pengertian Akhlak

Secara etimologis pengertian akhlaq adalah bentuk jamak dari khuluk yang
berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari kata khalaqa yang
berarti menciptakan. Seakar dengan kata khaliq ( Pencipta ), makhluq ( yang diciptakan)
dan akhalq (Penciptaan).
Kesamaan kata di atas memberitahukan bahwa dalam akhlaq tercakup
pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak Khaliq (Tuhan) dengan perilaku
makhluq (manusia). Dengan kata lain, tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan
lingkungannya baru mengandung nilai akhlaq yang hakiki apabila tindakan atau
perilakunya tersebut didasarkan kepada kehendak khaliq (Tuhan).
Dari pengertian etimologis dapat disimpulkan bahwa akhlak tidak hanya tata
aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antar sesama manusia saja
melainkan juga norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan
bahkan dengan alam semesta sekalipun.
Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam
jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Ibrahim Anis menyebutkan bahwa ahklak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa,
yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa
membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.
Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidan akhlak adalah nilai-nilai dan sifat-sifat
yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat
menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih malakukan atau
meninggalkannya.

Pengertian akhlaq secara terminologis yang dikutip diatas sepakat menyatakan


bahwa akhlak atau khuluq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia
akan muncul secara spontan bilamana diperlukan tanpa memerlukan pemikiran atau
pertimbangan terlebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar.
1. PEMA’AF
1.1 Pengertian Pemaaf

Pemaaf berarti orang yang rela memberi maaf kepada orang lain. Sikap
pemaaf berarti sikap suka memaafkan kesalahan orang lain tanpa sedikit pun ada
rasa benci dan keinginan untuk membalasnya. Dalam bahasa Arab sikap pemaaf
disebut al-‘afw yang juga memiliki arti bertambah (berlebih), penghapusan,
ampun, atau anugerah (Munawwir, 1984: 1020). Dalam al-Quran kata al-‘afw
disebut sebanyak dua kali, yakni dalam QS. al-Baqarah (2): 219 dan QS. al-A’raf
(7): 199. Dalam QS. al-Baqarah (2): 219 Allah Swt. berfirman:

ۗۗ‫افلوعففوو ققلل قينُفلققوون اوماَوذ وويوفسئوقلونووك‬


Artinya : “Dan mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah : “Yang berlebih dari keperluan”.

Dari makna berlebih atau bertambah tersebut, kata al-‘afw maknanya


berkembang menjadi menghapuskan atau memaafkan. Dalam QS. al-A’raf (7):
199 Allah Swt. berfirman:

ۗۗ‫ف ووفأقمفر افلوعففوو قخلذ‬


‫ض لباَفلقعفر ل‬
‫افلوجاَلهلليِون وعلن ووأوفعلر ف‬

Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma`ruf,
serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”
Jadi, makna memaafkan inilah yang kemudian menjadi makna baku dari
kata al-‘afw. Kata al-‘Afw juga merupakan salah satu dari sifat atau asma Allah
yang berarti dzat yang Maha Pemaaf (QS. al-Mujadilah (58): 2).

Sikap pemaaf merupakan salah satu dari akhlak mulia yang juga
merupakan salah satu kriteria sekaligus manifestasi dari ketakwaan seseorang.
Dalam surat Ali ‘Imran (3): 133-134). Allah Swt. berfirman:

‫ضوهاَ وووجنُلةة ورببقكفم لمفن ومفغفلورةة إلولىَ وووساَلرقعوا‬ ‫ض اللسوماَووا ق‬


‫ت وعفر ق‬ ‫( للفلقمتللقيِون أقلعلد ف‬133) ‫ييِقفنُفلققوون الللذيون‬
‫ت ووالفر ق‬

(134) ‫ف اللسلرالء‬ ‫س وعلن ووافلوعاَلفيِون افلوغفيِظو ووافلوكاَلظلميِون ووال ل‬


‫ضلرالء ل‬ ‫اق اللنُاَ ل‬ ِ‫افلقمفحلسلنُيِون يقلح ب‬
‫ب وو ل‬

Artinya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-
orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan
(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang
menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa ciri orang yang bertakwa adalah
orang yang mau memaafkan orang lain tanpa harus menunggu orang lain itu
meminta maaf. Jadi, yang dimaksudkan dalam ayat di atas bukan meminta maaf,
tetapi memberi maaf.

Sikap memberi maaf jauh lebih mulia dari sikap meminta maaf. Dalam
kehidupan sehari-hari, orang yang memberi maaf biasanya didasari adanya
kesalahan yang diperbuat orang lain terhadapnya kemudian dia dengan rela
memaafkan kesalahan orang lain tersebut. Sedangkan orang yang meminta maaf
justru sebaliknya membuat kesalahan terhadap orang lain kemudian dia meminta
maaf atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Jadi, jelas sikap orang yang pertama
lebih mulia daripada sikap orang yang kedua. Orang yang pertama dengan rela
hati menerima perlakuan orang lain yang tidak baik dengan memaafkannya,
sementara orang yang kedua malah membuat kesalahan terhadap orang lain
kemudian dia meminta orang lain memaafkannya. Sikap orang kedua belum tentu
akan diterima oleh orang yang dimintai maaf, sedang sikap orang pertama jelas
akan diterima dengan baik oleh orang yang berbuat salah. Karena itulah al-Quran
menyebut ciri orang bertakwa adalah orang yang mau memaafkan kesalahan
orang lain, bukan meminta maaf kepada orang lain.
1.2 Pemaaf dalam pandangan Islam

Ketika manusia diciptakan, Allah juga menciptakan berbagai bentuk


emosi dan keinginan dalam diri manusia yang berbentuk positif dan negatif yang
saling mempengaruhi antara satu sama lain. Antara sifat positif yang terdapat
dalam diri manusia ialah pemaaf, yakni lawan dari sifat pemarah dan pendendam.

Pemaaf adalah sifat luhur yang perlu ada pada diri setiap muslim. Ada
beberapa ayat al-Quran dan hadis yang menekankan keutamaan bersifat itu yang
juga disebut sebagai sifat orang yang hampir di sisi Allah. Allah berfirman:

“Dan orang yang menahan amarahnya dan memaafkan orang lain, Allah
mencintai orang yang berbuat kebajikan.” (Surah Ali Imran, ayat 132).

Iman dan takwa menjadi pengemudi melahirkan sifat pemaaf, manakala syaitan
pula mengambil tempat mendidik sifat pemarah. Hakikatnya, syaitan sentiasa
menggunakan kelemahan manusia untuk digoda dari pelbagai penjuru agar timbul sifat
haiwaniah dalam diri manusia.

Memang benar, sifat pemaaf itu bukanlah suatu perbuatan yang mudah
dilakukan. Allah berfirman:

“Tetapi, siapa yang sabar dan suka memaafkan, sesungguhnya termasuk


pekerjaan yang berat ditanggung.” (Surah asy-Syura, ayat 43).

Sifat pemaaf memang sukar dilakukan, memandangkan manusia senantiasa


dikuasai fikiran logik untuk bertindak atas sesuatu perkara sehingga membunuh nilai
moral yang sebenarnya. Contohnya, bayangkan apakah tindakan spontan kita jika
ditipu, dihina, dikhianati, dikecewakan dan perkara lain yang tidak disenangi. Sudah
tentu perasaan marah akan menguasai diri dan diikuti pula dengan tindakan berbentuk
lisan dan fizikal.

Kadangkala, perasaan marah juga disebabkan persaingan untuk mendapatkan


sesuatu. Dalam keadaan itu, pesaing dianggap sebagai musuh yang perlu diatasi dengan
cara apa sekalipun. Punca ini boleh merebak kepada fitnah, ugutan dan tindakan fizikal
secara kekerasan.
Emosi manusia mudah terpengaruh ke arah melakukan tindakan yang pada
pandangan logik adalah tindakan yang sepatutnya. Apalagi jika hasutan syaitan berjaya
menguasai diri.

Di sinilah pentingnya kita memupuk sifat pemaaf dalam diri. Sesuatu yang logik
tidak semestinya betul. Sebaliknya, ajaran agama adalah petunjuk kepada kebenaran
yang mesti diamalkan untuk mendapat kebaikan di dunia dan akhirat.

Tindakan marah melampau dan diikuti pula dengan tindakan fizikal bukanlah
jalan menyelesai masalah atau untuk menunjukkan siapa yang benar. Ketika itu jika
diteruskan niat melakukan tindak balas atas kemarahan itu, mungkin ada tindakan yang
mendatangkan keburukan sehingga melakukan pembunuhan.

Siapa yang berupaya untuk menahan kemarahan, bererti dalam dirinya memiliki
kemuliaan, keberanian, keikhlasan dan kekuatan yang sebenarnya. Sebaliknya, orang
yang tidak mampu menahan marah adalah golongan yang lemah.

Nabi Muhammad bersabda: “Bukanlah orang yang kuat itu (dinilai) dengan
(kekuatan) dalam pergelutan, sesungguhnya orang yang kuat ialah orang yang dapat
menguasai dirinya ketika marah.” (Hadis Riwayat Bukhari).

Pentingnya sifat menahan marah, mendorong Nabi Muhammad apabila diminta


oleh seorang lelaki agar berpesan atau mengajarnya mengenai sesuatu perkara,
menjawab ringkas yaitu ‘jangan marah’.

Untuk mendidik sifat baik dalam diri perlulah menghampiri diri dengan
memperbanyakkan melakukan ibadah wajib dan sunnah. Dengan kekuatan takwa dan
iman secara langsung akan menjauhkan perkara yang ditegah, termasuk sifat pemarah.

Sifat pemaaf lahir dari jiwa dan hati yang tenang hasil daripada tarbiyah yang
berterusan. Sebab itu, selalu memupuk sifat pemaaf. Bermulalah dengan perkara yang
kecil dan mudah hilang sifat marah.

Jika ada sesuatu yang menimbulkan perasaan marah, berfikirlah sejenak untuk
terlebih dahulu menilai atau muhasabah diri sendiri terlebih dahulu. Renungkan dalam
hati sendiri adakah perkara itu juga berasal dari kita sendiri? Adakah sebelum ini kita
mengambil langkah yang wajar untuk mengelak perkara itu daripada berlaku?

Jika kita mampu berfikir sedemikian, cahaya kebenaran mudah memasuki ruang
hati dan memberi petunjuk apakah tindakan yang wajar dilakukan seterusnya. Pada
ketika itu syaitan tidak berpeluang untuk menyemarakkan perasaan marah, yang lahir
adalah keinsafan dan sifat memaafkan.

Sifat pemaaf memberi manfaat yang besar kepada diri sendiri terutama dari segi
rohani. Orang yang bersifat pemaaf selalu dalam keadaan tenang, hati bersih, berfikiran
terbuka, mudah diajak berunding dan sentiasa menilai diri sendiri untuk melakukan
kebaikan.

Bagi orang yang bersifat pemaaf, padanya tiada seorang pun dalam hatinya
tersimpan perasaan marah. Sebab itu, hati orang bersifat pemaaf tidak mudah terbakar
dengan provokasi yang menekan dirinya.

Banyak masalah berkaitan hubungan sesama manusia berpunca sifat marah dan
membalas dendam. Biarpun perselisihan kecil, perkara itu tidak dapat diselesaikan
disebabkan perasaan dendam masih bertapak di hati.

Sikap berdendam hanya merugikan kedua pihak. Paling tertekan ialah pihak
yang lebih banyak berdendam. Hatinya tidak tenteram dan sentiasa ada perasaan buruk
sangka. Kadangkala, yang berdendam hanya sebelah pihak. Sedangkan, sebelah pihak
lagi menganggap persengketaan sebelum ini selesai. Jika sifat memaafkan diamalkan,
insya Allah, kita juga tidak akan menanggung kemarahan daripada orang lain.
Sesungguhnya Allah terlebih awal memberi keampunan dengan rahmat-Nya.

1.3 Keutamaan Pemaaf

Ada sepuluh macam keutamaan pemaaf, yaitu :

1. Dapat menyelesaikan perselisihan atau perseteruan.

2. Dapat menghilangkan rasa benci, dengki dan dendam.

3. Dapat menyambung silaturrahim yang telah putus.

4. Dapat memperkokoh ukhuwah Islamiyah (persatuan dan kesatuan umat).

5. Pemaaf itu dapat menghilangkan rasa permusuhan dan memperbanyak teman.

6. Melahirkan sifat tawadu’, menghilangkan sifat sombong dan angkuh.

7. Dapat menghapus dosa dan memudahkan jalan ke surga.

8. Menjadikan hati tenang-tenteram

9. Sifat pemaaf itu akan melahirkan pemaaf juga.


10. Sifat pemaaf itu merupakan bagian dari strategi dakwah yang jitu.

“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf,


serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”, QS. Al-A’raf 7:199.
“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang
yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang
mempunyai keuntungan yang besar”. ( QS. Al-Fushilat 41:35 )

1.4 Cara-cara menjadi seorang pemaaf

Agar sifat pemaaf tumbuh dalam diri seseorang maka sifat itu haruslah
di-latih secara rutin dan terus menerus. Salah satunya adalah dengan latihan dan
mempraktekan "pemaaf" itu dalam kehidupan sehari-hari. Karena dengan
demikian "pemaaf" akan menjadi suatu kebiasaan bagi diri seseorang dan
memaafkan adalah bukan sesuatu yang aneh dalam hidupnya.

Tips lainnya adalah seperti apa yang pernah disampaikan oleh Rasulullah
SAW. Beliau bersabda apabila ingin menjadi pemaaf makan ingatlah dua perkara
dan lupakanlah dua perkara. Perkara apakah yang dimaksud oleh Rasul SAW itu??

Pertama, ingat-ingatlah kebaikan orang lain dan lupakanlah kebaikan kita


kepada orang lain. Kedua, ingat-ingatlah keburukan kita kepada orang lain dan
lupakanlah keburukan orang lain kepada kita.

Bila dua perkara ini sudah menjadi bagian dari sikap kita dalam
pergaulan sehari-hari, insyAllah kita akan menjadi seorang yang pemaaf.

1.5 Hikmah Pemaaf

Di antara hikmah yang dapat dirasakan dari sikap pemaaf di antaranya adalah
sebagai berikut:

a. Orang yang pemaaf akan mendapatkan perlakuan yang lebih baik dari orang yang
dimaafkan. Orang yang dimaafkan merasa mendapatkan perhatian dan
penghormatan dengan dimaafkannya apa yang telah dilakukan, sehingga dia akan
memberikan balasan yang lebih baik dari sekedar sikap pemaaf yang diterima.

b. Orang yang pemaaf akan memperkuat tali silaturrahim dengan orang lain,
termasuk orang yang dimaafkan. Dengan demikian, dia akan tetap memiliki
hubungan yang baik dengan siapa pun.

c. Sikap pemaaf menunjukkan konsistensi seseorang dalam bertakwa. Artinya, orang


yang. tidak memiliki sikap pemaaf berarti dia tidak disebut bertakwa dalam arti
yang sebenarnya.

2. SYAJA’AH
2.1 Pengertian Syaja’ah

SYAJA’AH ( ‫ )شششجاَعة‬menurut makna Etimologi berarti “benar” atau


“gagah”. Sedangkan menurut istilah ialah keteguhan hati, kekuatan pendirian
untuk membela dan mempertahankan kebenaran secara jantan dan terpuji. Jadi,
Syaja’ah yaitu keberanian yang berlandaskan kebenaran dan dilakukan dengan
penuh petimbangan.

Tokoh Abu Zahra berpendapat bahwa Syaja'ah (berani) berkata akan


kebenaran dan berani bertindak membelanya adalah salah satu ciri dan inti akhlaq
islami itu. Ciri yang dimiliki para Nabi, Abdullah bin Abdul Aziz Al-Amri, Hasan
Al Basri ketika menghadapi Al Hajjaj, Ibnu Taimiyyah dan sebagainya. Ciri yang
muncul atas penuhnya tsiqobillah (kepercayaan kepada Allah), dalam hati seorang
Muslim, keyakinan akan kebenaran Allah.

Hati yang telah terwarnai oleh celupan Allah (sibghatullah) dan memiliki
tsiqoh tak akan ragu, apalagi bersangka buruk terhadap Allah. Dalam satu detik di
tengah kegagalan usaha, tak pernah ia melemparkan kesalahan diri pada Allah,
meragukan keadilan Allah dsb. Dia percaya dengan sepenuh percaya akan Allah
dengan segala asmaNya. Dia percaya tindakannya selalu dalam pengawasan
Allah dan mendapat perlindungan dariNya. Dia percaya Allah akan membelanya
baik di dunia maupun kelak di pengadilan akhirat, hari dimana semua pembela
pun turut diadili, saat dimana tak ada lagi pembela selain Allah.
Rasa percaya itulah yang melahirkan keberanian, tsiqoh yang kuat
membuahkan syaja'ah yang benar--berani bukan untuk pujian, kelompok atau
sesuatu yang lain, tetapi berani karena itu, tindakan itu untuk Allah, untuk
membela agama Allah semata, dan tidak untuk yang lainnya.Dalam titik tsiqoh
ini, dalam hati seorang Muslim, kebenaran Al Qur'an dan sunah tak memerlukan
lagi legalitas ilmiah dari para orientalis. Tidak lagi keyakinan baru tumbuh setelah
orang-orang kafir juga mengakuinya. Tsiqoh kepada Allah dan RasulNya
memutus ketergantungan pada selain Allah. Kebenaran Allah adalah benar,meski
ia dibenarkan atau tidak oleh para hamba taghut.

Al Haq adalah haq, meski seluruh musuh Allah berkonspirasi untuk


menolaknya. Kebenaran Allah adalah cahaya yang menerangi hati dan akal yang
fitri. Dia tidak memerlukan pembenaran, karena dia benar adanya. Dia akan
terang dan menjulang meski mulut-mulut pendusta mengingkarinya. Maha Benar
Allah dengan segala firmanNya.

2.2 Bentuk – bentuk Syaja’ah

1. Keberanian menghadapi musuh dalam peperangan Keberanian menyatakan


kebenaran (kalimatul haq) sekalipun dihadapan penguasan yang dholim.

‫أفضل الجهاَد كلمة عدل عنُد سلطاَن جاَئ )أبوداود والترمذى‬

“Jihad yang paling afdhol adalah memperjuangakan keadilah dihadapan


penguasa yang zalim”

2. Keberanian mengendalikan diri takkala marah sekalipun mampu


melampiaskannya
‫إنماَ الشديد الذى يملك نفسه عنُد الغضب )متفق عليِه‬,‫ليِس الشديد باَلصرعة‬

“Bukanlah yang dinamakan pemberani itu orang yang kuat bergulat,


sesungguhnya pemberani itu ialah orang yang sanggup menguasai dirinya
ketika marah”
3. Keberanian menyatakan kebenaran (kalimatul haq) sekalipun dihadapun
penguasan yang dholim

(‫والترمذى فضل الجهاَد كلمة عدل عنُد سلطاَن جاَئر )أبوداود‬

“Jihad yang paling afdhol adalah memperjuangakan keadilah dihadapan


penguasa yang zalim”

2.3 Ciri – ciri Syaja’ah

Ciri-ciri Syaja’ah ada tujuh, yaitu :

1. Tidak mundur kalau dicela

2. Tidak mencari pujian

3. Terus terang mengakui kesalahan

4. Tabah menghadapi penderitaan

5. Sabar meghadapi masalah

6. Berpendirian tetap

7. Bersemangat tinggi

2 4. Sumber keberanian
1. Rasa takut kepada Allah SWT

2. Lebih mencintai akhirat dari pada dunia

3. Tidak takut mati

4. Tidak ragu-ragu

5. Tidak menomersatukan kekuatan materi


6. Tawakal dan yakin pertolongan Allah SWT

7. Hasil pendidikan

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan :

Dalam kehidupan sehari-hari, sosial ataupun bernegara, berperilaku


akhlaqul kharimah sangatlah penting atau dengan meneladani sifat Rasulullah
saw, dalem konteks ini pema’af (orang yang rela memberi maaf kepada orang
lain) dan syaja’ah (keberanian yang berlandaskan kebenaran dan dilakukan
dengan penuh petimbangan). Bisa menjadikan pribadi, lingkungan dan negara
menjadi dengan kedamaian .
Daftar Pustaka

http://afixsite.blogspot.com/2012/03/v-behaviorurldefaultvmlo.html#more

http://www.gudangmateri.com/2010/10/akhlak-pribadi-seorang-muslim.html

http://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CB0QFjAA&url=http%3A%2F
%2Fstaff.uny.ac.id%2Fsites%2Fdefault%2Ffiles%2Flain-lain%2Fdr-marzuki-mag%2FDr.
%2520Marzuki%2C%2520M.Ag_.
%2520Pemaaf.pdf&ei=FEZtUPi9MMf3rQel9IGIDA&usg=AFQjCNE6Y1l7XhExvtKvRKcMapTG
HJ3CKQ&sig2=LZIfJ2q5KRfqw7MLIEU-Aw

http://www.ephi.web.id/index.php/serba-serbi/10-islam/310-sifat-pemaaf-bersih-hatitenangkan-jiwa

http://eepinside.com/?p=2284

http://oeoe.blogsome.com/2008/10/09/menjadi-pemaaf/

http://www.slideshare.net/fuad_ar_rhizma/syajaah
MAKALAH

PEMA’AF DAN SYAJA’AH

KELOMPOK 7 (TUJUH)

1. NENI NOVITA SARI (12 311 002)

2. THOLATUL MAULIDIA ()
3. TEGUH EKO ()

4. DANI PONCO()

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GRESIK

TAHUN PELAJARAN 2012/2013

Anda mungkin juga menyukai