Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


ARDS Acute Respiratory Distress Syndrome adalah suatu bentuk edema
paru yang dapat dengan cepat menimbulkan gagal napas akut. Sindrom ini
memiliki beberapa sinonim dalam penyebutannya, yaitu Shock Lung, Self Lung,
White Lung, Wet Lung, atau Da Nang Lung. Ards terjadi akibat adanya cedera
langsung atau tidak langsung. Cedera langsung ialah cedera yang berasal dari
pernapasan, dan cidera tidak langsung ialah cidera yang berasal dari luar
pernapasan. Penegakan sindrom ARDS cukup sulit dan kematian dapat terjadi
dalam tempo 48 jam sesudah awitan sindrom jika tidak didiagnosis dan
penanganan tidak seera dilakukan (Kowalak, 2012).ARDS merupakan salah satu
kegawat daruratan dalam bidang repirologi (Hartini, Amin, Pitoyo, & Rumende,
2014).
Menurut data dari The ARDS Network dalam (Hartini et al., 2014), mortalitas
pasien ARDS di Amerika Serikat sebesar 35% (1996), 26% (2005), Eropa
sebesar 32,7%(2004), Australia sebesar 34% (2002), Cina 52% (2004), India
47,8% (2006).
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Mahasiswa mengetahui dan memahami konsep ARDS (Acute Respiratory
Distress Syndrome) serta asuhan keperawatan kritis dari ARDS.
1.2.2 Tujuan khusus
a. Diketahuinya definisi dari ARDS (Acute Respiratory Distress
Syndrome).
b. Diketahuinya etiologi dari ARDS (Acute Respiratory Distress
Syndrome).
c. Diketahuinya klasifikasi ARDS (Acute Respiratory Distress
Syndrome).
d. Diketahuinya patofisiogi dari ARDS (Acute Respiratory Distress
Syndrome).
e. Diketahuinya manifestasi klinik dari ARDS (Acute Respiratory
Distress Syndrome).
f. Penatalaksanaan ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome).
g. Diketahinya asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien ARDS
(Acute Respiratory Distress Syndrome).
BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1 Definisi
ARDS merupakan keadaan gagal nafas mendadak yang timbul pada klien
dewasa tanpa kelainan paru yang mendasari sebelumnya. Sindrom gawat nafas
akut dikenal juga dengan edema paru nonkardiogenik. Sindrom ini merupakan
sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan progresif kandungan oksigen di
arteri yang terjadi setelah penyakit atau cidera serius. ARDS biasanya
membutuhkan ventilasi mekanik yang lebih tinggi dari tekanan jalan nafas
normal. Terdapat kisaran yang luas dari faktor yang berkaitan dengan terjadinya
ARDS termasuk cidera langsung pada paru (seperti inhalasi asap ) atau gangguan
tidak langsung pada tubuh ( seperti syok).
Secara makroskopis, paru tampak hitam kemerahan, beratnya bertambah,
tidak mengandung udara, dan hampir tidak mengembang. Potongan
penampangan paru menunjukkan perdarahan, kongesti dan edema, menyerupai
hati. Perubahan paling awal dari segi histologis adalah mikroemboli
trombositfibrin yang biasa terlihat dalam 6 jam pertama. Pada tahap berikutnya
didapatkan kongesti kapiler, edema interstitial, edema intra-alveoli, perdarahan
intra-alveoli, pembentukan membrane hialin, hipertropi dan hyperplasia sel
alveoli dan interstitial, proliferasi fibroblast alveoli, dan pada tahap akhir
didapatkan pengendapan kolagen yang luas sehingga akhirnya terjadi fibrosis
(Muttaqin, 2008).
2.2 Etiologi
Somantri (2007) mengemukakan beberapa etiologi yang menjadi penyebab
terjadinya ARDS, yaitu sebagai berikut :
1. Shock (disebabkan banyak faktor)
2. Trauma (memar pada paru-paru, fraktur multiple, dan cedera kepala)
3. Cedera sistem saraf yang serius. Cedera sistem saraf yang serius seperti
trauma, CVA (cerebro vascular accident), tumor, dan peningkatan tekanan
intra kranial yang menyebabkan terangsangnya saraf simpatis sehingga
mengakibatkan vasokonstriksi sistemik dengan distribusi sejumlah besar
volume darah kedalam paru-paru. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan
hidrostatik yang kemudian akan menyebabkan cedera paru-paru (Lung
injury).
4. Gangguan metabolisme (Pankreatitis & Uremia)
5. Emboli lemak dan cairan amnion
6. Infeksi paru-paru difuse (bakteri, virus dan jamur)
7. Inhalasi gas beracun (rokok, oksigen konsentrasi tinggi, gas klorin, NO2 dan
Ozon)
8. Aspirasi (sekresi gastrik, tenggelam, dan keracunan hidrokarbon)
9. Menelan obat berlebih dan overdosis narkotik/non narkotik (heroin, opioid
dan aspirin)
10. Kelainan darah (DIC{Disseminated Intravascular Coagulation}, Transfusi
darah multiple, dan bypass kardiopulmoner)
11. Operasi besar
12. Repon imunologik terhadap antigen pejamu (syndrome goodpasture &
SLE)
2.3 Klasifikasi
Menurut kriteria Berlin, ARDS diklasifikasikan berdasarkan nilai PaO2/FiO2.
Istilah Acute Lung Injury (ALS) tidak ada di dalam kriteria Berlin. Berikut
klasifikasi ARDS yang dikemukakan oleh Berlin (Editor, 2016). :
a. Ringan (mild), yaitu PaO2/FiO2 lebih dari 200 mmHg, tetapi ≤ 300 mmHg
dengan Positive-end Expiratory Presssure(PEEP) atau Continuous Positive
Airway Pressure (CPAP) ≥ 5 cmH2O
b. Sedang, yaitu PaO2/FiO2 lebih dari 100 mmHg, tetapi ≤200 mmHg dengan
PEEP ≥5 cmH2O.
c. Berat, yaitu jika PaO2/FiO2 ≤100 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O.

2.4 WOC (Web Of Cautions)

2.5 Patofisiologi
Pada ARDS, penumpukan cairan di dalam interstitium paru, ruang alveolar
dan saluran nafas kecil menyebabkan kekakuan paru sehingga ventilasi
terganggu dan oksigenisasi pada darah kapiler paru berkurang. Cedera yang
menimbukan semua keadaan ini akan menurunkan aliran darah normal ke dalam
paru-paru.
Trombosit mulai mengalami agregasi dan melepaskan substansi, seperti
serotonin, bradikinin, serta histamin yang akan menarik dan mengaktifkan sel-sel
neutofil. Substansi ini menimbulkan inflamasi serta kerusakan pada membran
alveoli dna kemudian meningkatkan permeabilitas kapiler. ARDS stdaium awal
tanda dan gejala tidak akan terdeteksi. Histamin dan substansi inflamasi lain
meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga memungkinkan cairan bergerak ke
dalam ruang interstisial. Akibatya, pasien mengalami takipnea, dispnea, dan
takikardia. Karena terjadi peningkatan permeabilitas kapiler maka protein, sel
darah, dan lebih banyak lagi cairan akan merembes keluar sehingga timbul
edema paru. Takikardia, dispnea, dan sianosis dapat terjadi. Hipoksia
(biasanya tidak responsif terhadap peningkatan fraksi oksigen yang
dihirup), penurunan kelenturan paru (penurunan compliance paru), ronki
basah dan kering akan terjadi perdarahan dan edema yang timbul pada paru
secara signifikan menurunkan kelenturan paru dan mengganggu ventilasi alveoli.
Cairan dalam alveoli dan penurunan aliran darah akan merusak surfaktan
yang terdapat dalam alveoli. Keadaan ini mengurangi kemampuan sel-sel alveoli
untuk memproduksi lebih banyak surfaktan. Tanpa surfaktan, alveoli paru serta
bronkiolus terisi cairan dan kolaps, pertukaran gas terganggu, dan paru-paru
menjadi sangat tidak lentur. Selanjutnya ventilasi alveopli akan berkurang. Beban
kerja ventilasi dan pertukaran gas akan beralih ke bagian paru yang tidak terkena,
dan aliran darah paru akan memintas dari kanan ke kiri. Pekerjaan akan semakin
bertambah, dan pasien dapat menghasilkan sputum kental yang berbuih serta
hipoksemia yang nyata di sertai gawat pernapasan yang semakin berat.
Zat-zat mediator yang dilepaskan oleh sel-sel neutrofil dan makrofag juga
menyebabkan vasokonstriksi arteri pulmonalis degan derajat yang bervariasi
sehingga terjadi hipertensi pulmoner. Perubahan ini mengakibatkan
ketidakcocokan ventilasi perfusi. Walaupun pasien masih bisa bereaksi dengan
frekuensi pernapasan yang meningkat, namun tidak terdapat cukup oksigen yang
bisa melintasi membran kapiler alveoli. Karbodioksida terus melintas dengan
mudah dan hilang pada setiap ekspirasi. Dengan penurunan kadar oksigen dan
karbondioksida di dalam darah, pasien akan semakin mengalami takipnea,
hipoksemia, dan hiperkapnia (tekanan parsial karbon dioksida [ PaCO2] yang
rendah dalam darah arteri).
Edema paru semkain bertambah parah dan terbentuk membran hialin,
inflamasi akan menimbulkan fibrosis, yang selanjutnya menghalangi pertukaran.
Fibrosis secara progresif meyumbat alveoli paru,bronkiolus, dan interstisium.
Kapasitas fungsional yang tersisa menurun dan pemintasan atau shunting yang
terjadi semakin bertambah serius (Kowalak, 2012)
2.6 Manifestasi klinis
Menurut Jones (2009) gejala dari ARDS akan terjadi dalam kurun waktu 24-
48 jam dari penyebabnya, yaitu sebagai berikut :

a. Peningkatan laju pernapasan, peningkatan kerja pernapasan, dispnea, dan


sianosis.

b. Bunyi napas tambahan ( Crackle, Rhonki, Mengi) dan batuk kering.

c. Retraksi interkostal dan supersternal, tidak nyaman di retrosternal.

d. Agitasi, kelelahan,ansietas, dan konfusi.

e. Diaforesis (berkeringat).

f. Paradoks abdominal (pernapasan perut ).


g. Peningkatan tekanan untuk ventilasi ( Hipoksemia yang refrakter ( tidak
responsive dengan terapi oksigen) terhadap peningkatan konsentrasi fraksi
oksigen pada gas yang diinspirasi (FiO2).

h. Peningkaan inspirasi puncak.

i. Penurunan volume paru, penurunan kapasitas residu fungsional, rasio


ventilasi/perfusi (V/Q) yang rendah.

j. PCWP <18 mmHg dan/atau tidak ada bukti CHF atau hipertensi atrium kiri.

k. Pada awalny alkalosis respiratorik akut, yang dapat berkembang menjadi


asidosis respiratorik.

l. Perburukan gas darah arterial (AGD) dengan peningkatan FiO2, bertambahnya


rhonki.

m. Perburukan rasio tekanan parsial oksigen arterial (PaO2/FiO2 (P/F).

n. Infiltrat pulmonal bilateral difus pada rontgen dada menunjukkan “whiteout” .

o. Masalah cairan dan elektrolit.

p. Tekanan darah turun dan denyut nadi cepat.

2.7 Penatalaksanaan
Menurut Kowalak (2012) pada pasien dengan ARDS diperlukan
pertimbangan khusus dalam penanganan. Terapi yang dilakukan difokuskan
kepada koreksi penyebab ARDS dan pencegahan progresivitas hipoksemia serta
asidosis respiratorik. Berikut ialah tatalaksana yang dapat dilakukan pada pasien
dengan ARDS :
a. Pemberian oksigen yang diatur keseimbangannya melalui masker yang pas
sehingga meungkinkan penggunaan tekanna positif saluran napas yang
kontinu.
b. Pada keadaan hipoksemia yang tidak cukup responsif terhadap tindakan
diatas, dukungan ventilasi dapat dilakukan dengan intubasi, ventilasi volume
dan PEEP (positive ekspiratory pressure).
c. Ventilasi dengan rasio terbalik yang dikontrol oleh tekanan untuk
membalikkan rasio inspriasi ekspirasi konvensional dan memnimalkan resiko
barotrauma (pernapasan mekanis harus dibatasi tekanannya untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut pada alveoli paru).
d. Hiperkapnia yang diperbolehkan untuk membatasi peak inspiratory pressure
(meskipun penegeluaran karbondikosida terganggu, penanganan tidak
dilakukan bagi perubahan selanjutnya pada konsentrasi hidrogen serta oksigen
darah.
e. Obat-obat golongan sedatif, narkotik, atau penyekat neuromuskular, seperti
panpuronium bromida, yang dapat diberikan selama pelaksanaan ventilasi
mekanis untuk mengurangi kegelisahan, konsumsi oksigen, serta prodksi
karbondioksida dan untuk memfasilitasi ventilasi.
f. Pemberian sodium bikarbonat yang dapat membalikkan asidosis metabolik
yang berat.
g. Pemberian cairan intravena untuk mempertahankan tekanan darah dengan
mengatasi hipovolemik.
h. Pemberian preparat vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah.
i. Pemberian preparat antiikroba untuk mengatasi infeksi non-virus.
j. Pemberian preparat diuretik untuk mengurangi oedem interstisial dan oedem
paru.
k. Koreksi keseimbangan elektrolit dan asam-basa untuk mempertahankan
integritas sel, khususnya pompa Na dan K.
l. Pembatasan cairan untuk mencegah bertambahnya oedem interstisial dan
oedem paru
Sedangkan pertimbangan khusus yang perlu diperhatikan dalam penanganan
ARDS ialah :
a. Lakukan pemerisaan status respiratori pasien dengan sering. Waspadai
kemungkinan retraksi pada saat inspirasi. Perhatikan frekuensi, irama, dan
kedalaman pernafasan, mengawasi kemungkinan timbul edema dan
penggunaan otot-otot aksesorious pernapasan.
b. Pada auskultasi dengarkan bunyi tambahan atau penurunan bunyi nafas.
Lakukan pengecekan sputum untuk menemukan apakah sputum jernih atau
berbuih. Yang dapat menunjukkan edema paru. Yang kedua, amati dan catat
status neurologi pasien pada keadaan hipoksemi (tingkat kesadaran dan
pelambanan mental).
c. Pertahankan patensi jalan napas dengan melakukan penghisapan dengan
teknik yang streil dan non-traumatik. Pastikan pengaturan kelembapan udara
napas yang adekuat untuk membantu mengencerkan sekret yang lengket.
Tiga, lakukan pemantauan dengan ketat untuk memantau frekuensi jantung
dan tekanan darah pasien. Awasi kemungkinan timbul aritmia yang dapat
terjadi karena hipoksemi, gangguan keseimbangan asam-basa atau elektrolit.
Jika dilakukan kateterissi arteri pulmonalis kita harus mengetahui tingkat
PAWP (tekanna baji arteri pulmonalis) yang dikehendaki.
d. Lakukan pengecekan hasil pengkuran ini dengan sering dan awasi
kemungkinan penurunan saturasi oksigen dalam darah vena yang tercampur.
e. Lakukan pemantauan kadar elektrolit serum dan koreksi gangguan
keseimbangan elektrolit. Hitung asupan dan haluaran cairan, timbang berat
badan pasien setiap hari.
f. Cek penyetelan ventilator dengan sering dan bersihkan kondensat dari selang
untuk memastikan penyampaian oksigen yang adekuat. Melakukan
pemantauan hasil analisis gas darah arteri: cek kemungkinan timbul asidosis
metabolik. Serta respiratori, dan perubahan PaO2, pasien yang menderita
hipoksemia yang berat mungkin memerlukan ventilasi mekanis terkontrol
dengan tekanna positif. Berikan obat-obat sedatif jika diperlukan untuk
mengurangi kegelisahan pasien.
g. Karena PEEP dapat menurnkan curah jantung, lakukan pemeriksaan untuk
mengecek hipotensi, takikardi, dan penurunan curah jantung. Pngisapan hanya
dilakukan jika perlu untuk mempertahankan PEEP atau kita dapat memakai
alat pengisapan yang terintegrasi dengan ventilator. Lakuan perubahan posisi
tubuh pasien dengan sering dan catat peningkatan jumlah sekret, penaikan
suhu tubuh, atau keadaan hipotensi yang dapat menunjukkan keadaan
kemunduran umum.
2.8 Asuhan Keperawatan Kritis Pada ARDS (Acute Respiratory Distress
Syndrome)
A. Biodata Pasien
Berisi mengenai data demografi pasien, yaitu nama, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, usia, status pernikahan,nomor rekam medik, diagnosa
medis, tangal masuk RS, dan alamat pasien.
B. Biodata Penanggung Jawab
Juga berisi tentang data demografi pennaggung jawab pasien yaitu nama,
jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan apa hubungan penanggung
jawab dengan pasien.
C. Primary Survey (Pengkajian Primer)
1) Airway :
a. Ada sumbatan jalan napas (sebagai akibat dari penumpukan sputum
atau lendir)
b. Bronskospasme (akibat surfaktan yang in-adekuat)
c. Ada bunyi napas tambahan berupa Crackle, Rhonki, Mengi.
2) Breathing
a. Pasien mengalami sesak napas (dispnea), diikuti dengan frekuensi
napas cepat dan dalam atau cepat dan dangkal, RR: >20 x/menit
(takipnea).
b. Paradoks abdominal ( pernapasan perut)
c. Pasien mengalami retraksi interkostal atau retraksi supersternal.
d. Terdapat sputum kental yang berbuih.
3) Circulation
a. Tekanan darah turun dan denyut nadi cepat.
b. Warna kulit mungin pucatakibat dari saturasi oksigen yang turun, akral
mungkin teraba dingin, CRT mungkin <3 detik, terdapat edema paru.
4) Disability
a. Berdasarkan manifestasi klinis, mungkin pasien akan mengalami
agitasi, konfusi, kelelahan dan ansietas.
5) Expossure
Dapat dilihat apakah pada pasien terdapat jejas bekas lupa, apakah pasien
perdarahan beserta karakteristiknya.
D. Pengkajian sekunder
1. Keluhan utama
Tanyakan pada pasien mengenai keluhan yang dirasakan pasien.
2. Alergi terhadap obat atau makanan tertentu
3. Pengobatan terakhir
Berisi mengenai pengobatan yang dilakukan atau dikonsumsi oleh pasien
sebelum terjadinya ARDS.
4. Pengalaman pembedahan
5. Riwayat penyakit dahulu
Pada ARDS etiologi yang menyebabkan ARDS dapat terjadi akibat injuri
langsung, dan injury tidak langsung. Pada injuri tidak langsung etiologi
muncul dari luar penyakit paru, seperti trauma, dan sepsis. Sedangkan
injuri langsung memang berasal dari penyakit pada saluran pernapasan
sebelumnya pada paru, seperti ifeksi paru, PPOK, kontusio paru, dan
cedera dada)
6. Riwayat penyakit sekarang
E. Pengkajian Biologis
1. KU (Keadaan Umum) Pasien : status kesadaran pasien.
2. TTV (Tanda-tanda vital) :
a) Tekanan darah : tekanan darah menurun
b) HR (Nadi) : denyut nadi cepat.
c) RR (pernapasan): >20 x/menit (takipnea).
d) Suhu
3. Pemeriksaan head to toe
a) Kepala : kesimetrisan bentuk kepala.
1) Mata : inspeksi pupil, konjungtiva (anemis/tidak), reaksi pupil
terhadap cahaya.
2) Telinga : letak, bentuk, dan keberadaan serumen.
3) Hidung : cek kepatenan jalan napas, apakah ada deviasi septum
nasi.
4) Mulut : apakah pasien sianosis sentral, mukosa mulut, lidah, bau
mulut.
b) Leher : inspeksi apakah ada cedera cervikal, deviasi atau kesimetrisan
dari leher, keadaan kelenjar tiroid, trakea, dan apakah ada
peningkatan JVP atau tidak.
c) Dada
1) Inspeksi : pada pasien ARDS penggunaan alat bantu pernapasan
mungkin ada, kesimetrisan bentuk dada.
2) Palpasi : pada pasien dengan ARDS, taktil fremitus tidak akan
teraba karena adanya edema paru.
3) Perkusi : didapati bunyi pekak akibat dari adanya penumpukkan
cairan di paru.
4) Auskultasi : akan terdegar bunyi paru ronkhi, mengi, atau
crackles.
d) Abdomen
Inspkesi, Auskultasi, Palpasi, dan Perkusi abdomen.
e) Ekstremitas/ muskuloskeletal
Apakahada edema, kontraktur, trauma, deformitas, rentang gerak dan
kekuatan otot.
f) Kulit : pasien diaforesis (berkeringat).
F. Diagnosa
Diagnosa yang mungkin muncul pada gawat darurat pasien ARDS ialah
(Comer, 1998) :
1) Ketidakefektifan jalan napas b.d edema interstisial, kenaikan tahanan
jalan napas, penurunan komplians paru, sekresi pulmonal.
2) Ketidakefektifan pertukaran gas b.d edema intra-alveolar, atelektasis,
ketidakcocokan ventilasi/prefusi, penurunan PO2 arteri, peningkatan
jumlah dan aktivitas surfaktan, hipoventilasi alveolar, letak membran
hialin, kolap alveoli, penurunan kapasitas difusi, dan shunting.
3) Ketidakefektifan pola napas b.d penurunan komplians paru, edema
pulmonal, peningkatan massa paru, penurunan surfaktan.
4) Ansietas b.d penyakit kritis, efek dari hipoksemia, ketakutan akan
kematian, perubahan status kesehatan, perubahan lingkungan.
G. Rencana Intervensi Keperawatan
Comer (1998) merumuskan intervensi berdasarkan diagnosa yang muncul
pada pasien dengan ARDS, yaitu :
Intervensi Rasional

Monitor tanda-tanda vital setiap 1-2 Ventilasi mekanik dan penggunaan


jam dan prn. PEEP meningkatkan tekanan
intrathoracic yang menyebabkan
kompresi pembuluh darah besar di
dada dan ini menyebabkan
penurunan aliran balik vena ke
jantung dan penurunan tekanan
darah.
Catat tekanan PA setiap jam, Tekanan PA akan meningkat tetapi
kardiak output/ indeks setiap 4 jam, tekanan baji akan normal. Ini
dan hitung nilai hemodinamika adalah pertanda klasik untuk
lain. membedakan antara edema paru
kardiogenik dan non-kardiogenik.
Kebanyakan pasien ARDS
memiliki fungsi jantug yang
memadai setidaknya pada awalnya,
kecuali penurunan CO/CI karena
PEEP.
Monitor perubahan mental, Dapat menjadi indikasi penurunan
penurunan tekanan perifer, kulit curah jantung dan penurunan
teraba dingin atau basah. perfusi.

Anda mungkin juga menyukai