Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Syok merupakan suatu keadaan patofisiologik dinamik yang terjadi bila oxygen
delivery ke mitokondria sel diseluruh tubuh manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan
oxygen consumption. Sebagai respon terhadap pasokan oksigen yangtidak cukup ini,
metabolisme energi sel terbatas, selanjutnya dapat timbul kerusakan irreversible pada organ
vital.

Pada tingkat multiseluler, tidak semua jaringan dan organ secara klinis terganggu
akibat kurangnya oksigen pada saat syok. Alfred Blalock membagi jenis syok menjadi 4
antara lain syok hipovolemik, syok kardiogenik, syok septik, syok neurogenik.

Diseluruh dunia terdapat 6-20 juta kematian akibat syok tiap tahun,
meskipun penyebabnya berbeda tiap-tiap negara. Diagnosa adanya syok harus didasarkan
pada data-data baik klinis maupun laboratorium yang jelas, yang merupakan akibat dari
kurangnya perfusi jaringan. Syok bersifat progresif dan teru memburuk jika tidak segera
ditangani. Syok mempengaruhi kerja organ-organ vital dan penangannya memerlukan
pemahaman tentang patofisiologi syok.
Penatalaksanaan syok dilakukan seperti pada penderita trauma umumnya yaitu
primary survey ABCDE. Tatalaksanan bertujuan untuk memperbaiki gangguan fisiologis dan
menghilangkan faktor penyebab.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Syoka kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh penurunan curah
jantung sistemik pada keadaan volume intravaskular yang cukup, dan dapat
mengakibatkan hipoksia jaringan. Syok dapat terjadi karena disfungsi ventrikel kiri
yang berat, tetapi dapat pula terjadi pada keadaan dimana fungsi ventrikel kiri yang
cukup baik.
Hipotensi sistemik umumnya menjadi dasar diagnosis. Nilai cut off untuk
tekanan darah sistolik yang sering dipakai adalah <90mmHg. Dengan menurunnya
tekanan darah sistolik akan meningkatkan kadar katekolamin yang mengakibatkan
konstriksi arteri dan vena sistemik. Manifestasi klinis dapat ditemukan tanda-tanda
hipoperfusi sistemik mencakup perubahan status mental, kulit dingin dan oliguria.
Syok kardiogenik didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik <90mmHg
selama >1 jam di mana :
 Tak responsif dengan pemberian cairan saja,
 Sekunder terhadap disfungsi jantung, atau,
 Berkaitan dengan tanda-tanda hipoperfusi atau indeks kardiak <2,21/menit
perm2 dan tekanan baji kapiler paru >18 mmHg.
Termasuk dipertimbangkan dalam definisi ini adalah :
 Pasien dengan tekanan darah sistolik meningkat >90 mmHg dalam 1 jam
setelah pemberian obat inotropik, dan
 Pasien yang meninggal dalam 1 jam hipotensi, tetapi memenuhi kriteria lain
syok kardiogenik.

2.2. Etiologi
Komplikasi mekanik akibat infark miokard akut dapat menyebabkan
terjadinya syok. Di antara komplikasi tersebut adalah : ruptur septal ventrikel, ruptur
atau disfungsi otot papilaris dan ruptur miokard yang keseluruhan dapat
mengakibatkan timbulnya syok kardiogenik tersebut.
Hal lain yang sering menyebabkan terjadinya syok kardiogenik adalah
takiaritmia atau bradiaritmia yang rekuren, dimana biasanya terjadi akibat disfungsi
ventrikel kiri, dan dapat tibul bersamaan dengan aritmia supraventrikuler ataupun
ventrikular.
Syok kardiogenik juga dapat timbul sebagai manifestasi tahap akhir dari
disfungsi miokard yang progresif, termasuk akibat penyakit jantung iskemia, maupun
kardiomiopati hipertrofik dan restriktif.
Picard MH et al, melaporkan, abnormalitas struktural dan fungsional jantung
dalam rentang lebar ditemukan pada pasien syok kardiogenik akut. Mortalitas jangka
pendek dan jangka panjang dikaitkan dengan fungsi sitolik ventrikel kiri awal dan
regurgitasi dini tanpa dipengaruhi nilai fraksi ejeksi ventrikel kiri pada awal
(baseline) atau adanya regurgitasi mitral.
Syok kardiogenik diakibatkan oleh kerusakan bermakna pada
miokardiumventrikel kiri yang ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri, yang
mengakibatkangangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke
jaringan. Penyebab dari syok kardiogenik dibagi dalam :
1. Gangguan ventrikular ejection
a. Infark miokard akut
b. Miokarditis akut
c. Komplikasi mekanik :
- Regurgitasi mitral akut akibat ruptur atau disfungsi otot papilaris
- Ruptur septum interventrikulorum
- Ruptur free wall
- Aneurisma ventrikel kiri
- Stenosis aorta yang berat
- Kardiomiopati
- Kontusio miokard
2. Gangguan ventrikular filling
a. Tamponade jantung
b. Stenosis mitral
c. Miksoma pada atrium kiri
d. Trombus ball valve pada atrium
e. Infark ventrikel kanan

2.3. Patofisiologi
Paradigma lama patofisiologi yang mendasari syok kardiogenik adalah depresi
kontraktilitas miokard yan mengakibatkan lingkaran penurunan jantung, tekanan
darah rendah, insufisiensi koroner, dan selannjutnya terjadi penurunan kontraktilitas
dan curah jantung. Paradigma klasik memprediksi bahwa vasokonstriksi sistemik
berkompensasi dengan peningkatan resistensi vaskular sistemik yang terjadi sebagai
respons dari penurunan curah jantung.
Penelitian menunjukkan adanya pelepasan sitokin setelah infark miokard.
Pada pasien IM, diduga terdapat aktivasi sitokin inflamasi yang mengakibatkan
peninggian kadar iNOS, NO, dan peroksinitrit, di mana semuanya mempunyai efek
buruk multipel antara lain :
 Inhibisi langsung kontraktilitas miokard
 Supresi respirasi mitokondria pada miokard non iskemik
 Efek terhadap metabolisme glukosa
 Efek proinflamasi
 Oenurunan responsivitas katekolamin
 Merangsang vasodilatasi sistemik
Sindrom respon inflamasi ditemukan pada sejumlah keadaan non infeksi,
antara lain trauma, pintas kardiopulmoner, pankreatitis dan luka bakar. Pasien
dengan IM luas sering mengalami peningkatan suhu tubuh, sel darah putih,
komplemen, intraleukin, C-reactive protein dan petanda inflamasi lain. NO yang
disintesis dalam kadar rendah oleh endotheliai nitri oxide (eNOS) sel endotel dan
miokard, merupakan molekul yang bersifat kardioprotektif.
Syok kardiogenik dapat dipandang sebagai bentuk yang berat dari kegagalan ventrikel
kiri. Peristiwa patofisiologik dan respon kompensatoriknya sesuai dengan gagal
jantung, tetapi telah berkembang ke bentuk yang lebih berat. Penurunan
kontraktilitas jantung mengurangi curah jantung dan meningkatkan volume dan
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri, hingga mengakibatkan kongesti paru-paru dan
edema.
Dengan menurunnya tekanan arteria, maka terjadi perangsangan terhadap
baroreseptor pada aorta dan sinus karotikus. Perangsangan simpato adrenal
menimbulkan refleks vasokonstriksi, takikardia, dan meningkatkan kontraktilitas
untuk menambah curah jantung dan menstabilkan tekanan darah. Kontraktilitas akan
terus meningkat sesuai dengan hukum Starling melalui retensi natrium dan air. Jadi,
menurunnya kontraktilitas pada syok kardiogenik akan memulai respon kompensatorik, yang
meningkatkan beban akhir dan beban awal. Meskipun mekanisme protektif ini pada
mulanya akan meningkatkan tekanan arteria darah danperfusi jaringan, namun efeknya
terhadap miokardium justru buruk karena meningkatkan beban kerja jantung dan kebutuhan
miokardium akan oksigen. Karena aliran darah koroner tidak memadai, terbukti dengan
adanya infark, maka ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen
terhadap miokardiumsemakin meningkat. Gangguan miokardium juga terjadi akibat
iskemia dan nekrosis fokal, yang akan memperberat lingkaran setan dari kerusakan
miokardium. Dengan bertambah buruknya kinerja ventrikel kiri, keadaan syok berkembang
dengan cepats ampai akhirnya terjadi gangguan sirkulasi hebat yang mengganggu
sistem organ-organ penting.

Pengaruh sistemik dari syok akhirnya akan membuat syok menjadi irreversibel.
Beberapa organ terserang lebih cepat dan berat daripada yang lain.Seperti telah
diketahui, miokardium akan menderita kerusakan yang paling dini pada keadaan syok.
Selain dari bertambahnya kerja miokardium dan kebutuhannya terhadap oksigen, beberapa
perubahan lain juga terjadi. Karena metabolisme anaerobik dimulai pada keadaan syok,
maka miokardium tidak dapat mempertahankan cadangan fosfat berenergi tinggi
(adenosin trifosfat) dalam kadar normal, dan kontraktilitas ventrikel akan makin
terganggu. Hipoksia dan asidosis menghambat pembentukan energi dan mendorong
terjadinya kerusakan lebih lanjut. dari sel-sel miokardium. Kedua faktor ini juga
menggeser kurva fungsi ventrikel kebawah dan ke kanan yang akan semakin
menekan kontraktilitas.

Gangguan pernafasan terjadi sekunder akibat syok. Komplikasi yang


mematikan adalah gangguan pernafasan yang berat. Kongesti paru-paru dan edema
intra-alveolar akan mengakibatkan hipoksia dan kemunduran gas-gas darah arteria.
Atelektasis dan infeksi paru-paru dapat pula terjadi. Faktor-faktor ini memicu
terjadinya syok paru-paru, yang sekarang sering disebut sebagai sindrom distres
pernafasan dewasa. Takipnea, dispnea, dan ronki basah dapat ditemukan,
demikian juga gejala-gejala yang dijelaskan sebelumnya sebagai manifestasi gagal jantung
kebelakang.
Perfusi ginjal yang menurun mengakibatkan anuria dengan keluaran kemih
kurang dari 20 ml/jam. Dengan semakin berkurangnya curah jantung, biasanya
menurunkan pula keluaran kemih. Karena adanya respon kompensatorik retensi
natrium dan air, maka kadar natrium dalam kemih juga berkurang. Sejalan dengan menurunnya
laju filtrasi glomerulus, terjadi peningkatan BUN dan kreatinin. Bila hipotensi berat dan
berkepanjangan, dapat terjadi nekrosis tubular akut yang kemudian disusul gagal ginjal akut.
Syok yang berkepanjangan akan mengakibatkan gangguan sel-sel hati. Kerusakan sel
dapat terlokalisir pada zona-zona nekrosis yang terisolasi, atau dapat berupa nekrosis
hati yang masif pada syok yang berat. Gangguan fungsi hati dapat nyata dan biasanya
bermanifestasi sebagai peningkatan enzim-enzim hati, glutamat-oksaloasetat
transaminase serum (SGOT), dan glutamat-piruvat transaminase serum(SGPT).
Hipoksia hati juga merupakan mekanisme etiologi yang mengawali komplikasi-
komplikasi ini.
Iskemia saluran cerna yang berkepanjangan umumnya mengakibatkan nekrosis
hemorhagik dari usus besar. Cedera usus besar dapat mengeksaserbasi syok melalui
penimbunan cairan pada usus dan absorbsi bakteria dan endotoksin ke dalam
sirkulasi. Penurunan motilitas saluran cerna hampir selalu ditemukan pada keadaan
syok.
Dalam keadaan normal, aliran darah serebral biasanya menunjukan
autoregulasi yang baik, yaitu dengan usaha dilatasi sebagai respon terhadap
berkurangnya aliran darah atau iskemia. Namun, pengaturan aliran darah serebral
ternyata tidak mampu mempertahankan aliran dan perfusi yang memadai pada tekanan darah di
bawah 60 mmHg. Selama hipotensi yang berat, gejala-gejala defisit neurologik dapat
ditemukan. Kelainan ini biasanya tidak berlangsung terus jika pasien pulih dari
keadaan syok, kecuali jika disertai dengan gangguan serebrovaskular
Selama syok yang berkelanjutan, dapat terjadi pengumpulan komponen-
komponen selular intravaskular dari sistem hematologik, yang akan meningkatkan
tahanan vaskular perifer lebih lanjut. Koagulasi intravaskular difus (DIC) dapat
terjadi selama syok berlangsung, yang akan memperburuk keadaan klinis.
2.4. Manifestasi klinis
A. Anamnesis
Keluhan yang timbul berkaitan dengan etiologi timbulnya syok kardiogenik
tersebut. Pasien dengan infark miokard akut datang dengan keluhan tipikal nyeri
dada yang akut, dan kemungkinansudah mempunyai riwayat penyakit jantung
koroner seblumnya.
Pada keadaan syok akibat komplikasi mekanik dari infark miokard akut, biasnaya
terjadi dalam beberapa hari sampai minggu setelah onset infark tersebut.
Umumnya pasien mengeluh nyeri dada dan biasanya disertai gejala tiba-tiba yang
menunjukkan adanya edema paru akut atau bahkan henti jantung.
Pasien dengan aritmia akan mengeluhkan adanya palpitasi, presinkop, sinkop atau
merasakan irama jantung yang berhenti sejenak. Kemudian pasien akan
merasakan letargi akibat berkurangnya perfusi ke sistem saraf pusat.

B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik awal hemodinamik akan ditemukan tekanan darah sistolik
yang menurun sampai <90 mmHg, bahkan dapat turun sampai <bo mmHg pada
pasien yang tidak memperoleh pengobatan adekuat. Denyut jantung biasanya
cenderung meningkat sebagai stimulasi simpatis, demikian pula dengan frekuensi
pernapadan yang biasanya meningkat sebagai akibat kongesti paru.
Pemeriksaan dada akan menunjukkan adanya ronki. Dengan infark ventrikel
kanan atau pasien dengan keadaan hipovolemik yang menurut studi sangat kecil
kemungkinannya menyebabkan kongesti di paru.
Sistem kardiovaskular yang dapat dievaluasi seperti vena-vena di leher seringkali
meningkat distensinya. Letak impuls apikal dapat bergeser pasa pasien dengan
kardiomiopati dilatasi, dan intensitas bunyi jantung akan jauh menurun pada efusi
perikardial ataupun tamponade. Irama gallop dapat ttimbul yang menunjukkan
adanya disfungsi ventrikel kiri yang bermakna.
Pasien dengan gagal jantung kanan yang bermakna akan menunjukkan beberapa
tanda-tanda antara lain : pembesarah hati, pulsasi di liver akibat regurgitasi
trikuspid atau terjadinya asites akibat gagal jantung kanan yangsulit untuk diatasi.
Pulsasi arteri di ekstremitas perifer akan menurun intensitasnya dan edema perifer
dapat timbul pada gagal jantung kanan. Sianosis dan ekstremitas yang teraba
dingin, menunjukkkn terjadinya penurunan perfusi ke jaringan.

C. Pemeriksaan penunjang
 Elektrokardiografi (EKG)
Gambaran rekaman elektrokardiografi dapat membantu untuk menetukan
etiologi dari syok kardiogenik.
 Foto rontgen thorax
Pada foto polos dada akan terlihat kardiomegali dan tanda-tanda kongetsi paru
atau edema paru pada gagal ventrikel kiri yang berat. Bila terjadi komplikasi
defek septal ventrikel atau regurgitasi mitral akibat infark miokard akut, akan
tampak gambaran kongesti paru yang tidak disertai kardiomegali, terutama
pada onset infark yang pertama kali. Gambaran kongesti paru menunjukkan
kecil kemungkinan terdapat gagal ventrikel kanan yang dominan atau keadaan
hipovolemia.
 Ekokardiografi
Modalitas pemeriksaan yang non-invasik ini sangat banyak membantu dalam
membuat diagnosis dan mencari etiologi dari syok kardiogenik. Pemeriksaan
ini relatif cepat dan aman. Keterangan yang diharapkan dapat diperoleh dari
pemeriksaan ini antara lain : penilaian fungsi ventrikel kanan dan kiri (global
maupun segmental), fungsi katup-katup jantung (stenosis atau regurgitas),
tekanan ventrikel kanan dan deteksi adanya shunt (misalnya pada defek septal
ventrikel dengan shunt dari kiri ke kanan), efusi perikardial atau tamponade.
 Pemantauan hemodinamik
Penggunaan kateter Swan-Ganz untuk mengukur tekanan arteri pulmonal dan
tekanan baji pembuluh kapiler paru sangat berguna, khususnya untuk
memastikan diagnosis dan etiologi dari syok kardiogenik, serta sebagai
indikator evaluasi terapi yang diberikan. Pasien syok kardiogenik akibat gagal
ventrikel kiri yang berat, akan terjadi peningkatan baji paru. Bila pada
pengukuran ditemukan tekanan baji pembuluh darah paru lebih dari 18 mmHg
pada pasien infark miokard akut menunjukkan bahwa volume intravaskular
pasien tersebut cukup adekuat. Pasien dengan gagal ventrikel kanan atau
hipovelemia yang signifikan, akan menunjukkan tekanan baji pembbuluh paru
yang normal atau lebih rendah. Pemantauan parameter hemodinamik juga
membutuhkan perhitungan afterload (resistensi vaskular sistemik).
Minimalisasi afterload sangat diperlukan, karena bila terjadi peningkatan
afterload akan menimbulkan efek penurunan kontraktilitas yang akan
menghasilkan penurunan curah jantung.

2.5. Diagnosa
Kriteria untuk diagnosis syok kardiogenik telah ditetapkan oleh
Myocardial Infarction Research Units of the National Heart, Lung, and Blood
Institute, Syok kardiogenik ditandai oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Tekanan arteria sistolik < 90 mmHg atau 30 sampai 60 mmHg di bawah batas
bawah sebelumnya.
2. Adanya penurunan aliran darah ke sistem organ-organ utama :
a. Keluaran kemih < 20 ml/jam, biasanya disertai penurunan kadar natrium
dalam kemih
b. Vasokonstriksi perifer yang disertai gejala kulit dingin, lembab
c. Terganggunya fungsi mental
3. Indeks jantung < 2,1 L/(menit/m2)
4. Bukti-bukti gagal jantung kiri dengan peningkatan LVEDP/tekanan baji kapiler
paru-paru (PCWP) 18 sampai 21 mmHg.
Kriteria ini mencerminkan gagal jantung kiri yang berat dengan adanya gagal
ke depan dan ke belakang. Hipotensi sistolik dan adanya gangguan perfusi jaringan
merupakan ciri khas keadaan syok. Penurunan yang jelas pada indeks jantung sampai kurang dari
0,9 L/(menit/m2) dapat ditemukan pada syok kardiogenik yang jelas.
Pada sebagian besar pasien syok kardiogenik, didapatkan sindrom klinis
yangterdiri dari hipotensi seperti yang disebut di atas; tanda-tanda perfusi jaringan
yang buruk, yaitu oliguria (urin<30 ml/jam), sianosis, ekstremitas dingin, perubahan
mental, serta menetapnya syok setelah dilakukan koreksi terhadap faktor-faktor
nonmiokardial yang turut berperan memperburuk perfusi jaringan dan disfungsi miokard, yaitu
hipovolemia, aritmia, hipoksia, dan asidosis. Frekuensi nafas meningkat, frekuensi
nadi biasanya > 100 x/menit bila tidak ada blok AV. Sering kali didapatkan tanda-tanda
bendungan paru dan bunyi jantung yang sangat lemah walaupun bunyi jantung III sering kali
dapat terdengar. Pasien dengan disfungsi katup akut dapat memperlihatkan adanya
bising akibat regurgitasi aorta atau mitral. Pulsus paradoksus dapat terjadi akibat
adanya tamponade jantung akut.

Menurut Scheidt dan kawan-kawan (1973) kriteria syok kardiogenik dalam


penelitian mereka adalah :
1. Tekanan sistolik arteri <80 mmHg (ditentukan dengan pengukuran intraarteri)
2. Produksi urin < 20 ml/hari atau gangguan status mental.
3. Tekanan pengisian ventrikel kiri > 12 mmHg.4.
Tekanan vena sentral lebih dari 10 mmH2O, dianggap menyingkirkan
kemungkinan hipovolemia. Keadaan ini disertai dengan manifestasi peningkatan
katekolamin seperti pada renjatan lain, yaitu: gelisah, keringat dingin, akral dingin,
takikardia, dan lain-lain.
Tiga komponen utama syok kardiogenik telah termasuk dalam definisi ini, yaitu adanya:
gangguan fungsi ventrikel, bukti kegagalan organ akibat berkurangnya perfusi
jaringan, tidak adanya hipovolemi atau sebab-sebab lainnya.

2.6. Penatalaksanaan
Langkah penatalaksanaan syok kardiogenik
Langkah 1. Tindakan resusitasi segera
Tujuannya adalah mencegah kerusakan organ sewaktu pasien dibawa untuk
terapi definitif. Mempertahankan tekanan arteri rata-rata yang adekuat untuk
mencegah sekuele neurologi dan ginjal adalah vital. Dopamin atau noradrenalin
(norepinefrin), tergantung pada derajat hipotensi, harus diberikan secepatnya untuk
meningkatkan tekanan arteri rata-rata dan dipertahankan pada dosis minimal yang
dibutuhkan. Dobutamin dapat dikombinasikan dengan dopamin dalam dosis sedang
atau digunakan tanpa kombinasi pada keadaan low output tanpa hipotensi yang
nyata.
Intra-aortic balloon counterpulsation (IABP) harus dikerjakan sebelum
transportasi jika fasilitas tersedia. Analisis gas darah dan saturasi oksigen harus
dimonitor dengan memberikan continuous positive airway pressure atau ventilasi
mekanis jika ada indikasi. EKG harus dimonitor secara terus menerus, dan peralatan
defibrilator, obat antiaritmia aiodaron dan lidokain harus tersedia.
Terapi fibrinolitik harus dimulai pada pasien dengan elevasi ST jika
diantisipasi keterlambatan angiografi lebih dari 2 jam. Mortalitas 35 hari pada pasien
dengan tekanan darah sistolik < 100 mmHg yang mendapatkan trombolitik pada meta
analisis FTT adalah 28,9% dibandingkan 35,1% dengan plasebo. Meningkatkan
trombolisis dengan meningkatkan tekanan perfusi koroner. Pada syok kardiogenik
karena infark, inhibitor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan.

Langkah 2. Menentukan secara dini anatomi koroner


Hal ini merupakan langkah penting dalam tatalaksana syok kardiogenik yang berasal
dari kegagalan pompa (pump failure) iskemik yang predominan. Hipotensi diatasi
segera dengan IABP.

Langkah 3. Melakukan revaskularisasi dini


Setelah menentukan anatomi koroner, harus diikuti dengan pemilihan modalitas terapi
secepatnya. Tidak ada trial acak yang membandingkan PCI dengan CABG emergensi
pada left main atau penyakit 3 pembuluh darah besar.

Tahapan-tahapan di dalam penatalaksanaan syok kardiogenik adalah sebagai berikut:


1. Pasien diletakkan dalam posisi berbaring mendatar.
2. Pastikan jalan nafas tetap adekuat dan yakinkan ventilasi yang adekuat, bila tidak
sadar sebaiknya diakukan intubasi.
3. Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam basa yang terjadi.
4. Berikan oksigen 8-15 liter/menit dengan menggunakan masker untuk
mempertahankan PaO2 70-120 mmHg.
a. PaO2 (tekanan yang ditimbulkan oleh O2 yang terlarut dalam darah) minimal
60 mmHg
b. Intubasi jika PaO2 < 60 mmHg pada FIO2 (konsentrasi oksigen inspirasi)
maksimal dengan masker muka atau PaCO2 > 55 mmHg (tekanan yang
ditimbulkan oleh CO2 yang terlarut dalam darah)
c. Semua pasien harus mendapat suplemen oksigen untuk meyakinkan oksigenasi
yang adekuat.
5. Terapi terhadap gangguan elektrolit, terutama Kalium.
6. Koreksi asidosis metabolik dengan Bikarbonas Natrikus sesuai dosis.
7. Pasang Folley catheter, ukur urine output 24 jam. Pertahankan produksi urine > 0,5
ml/kg BB/jam.
8. Lakukan monitor EKG dan rontgen thoraks.
9. Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperberat syok yang ada harus diatasi
dengan pemberian morfin.
10. Hilangkan agitasi, dapat diberikan Diphenhydramin HCL 50 mg per oral atau intra
muskular : 3-4 x/hari.
11. Bila terdapat takiaritmia, harus segera diatasi:
a. Takiaritmia supraventrikular dan fibrilasi atrium dapat diatasi dengan
pemberian digitalis.
b. Sinus bradikardi dengan frekuensi jantung < 50 kali/menit harus diatasi dengan
pemberian sulfas atropin.
12. Pastikan tekanan pengisian ventrikel kiri adekuat. Prioritas pertama dalam
penanganan syok kardiogenik adalah pemberian cairan yang adekuat secara parenteral
(koreksi hipovolemia) dengan menggunakan pedoman dasar PCWP atau pulmonary
artery end diastolic pressure (PAEDP) atau CVP.
Jenis cairan yang digunakan tergantung keadaan klinisnya, tetapi dianjurkan
untuk memakai cairan salin isotonik. Intravenous fluid tolerance test merupakan suatu
cara sederhana untuk menentukan apakah pemberian cairan infus bermanfaat dalam
penanganan syok kardiogenik. Caranya:
a. Bila PCWP atau PAEDP < 15 mmHg (atau CVP < 12 cmH2O), sulit untuk
mengatakan adanya pump failure dan sebelum penanganan lebih lanjut, volume
cairan intravaskuler harus ditingkatkan hingga LVEDP mencapai 18 mmHg. Pada
keadaan ini, diberikan initial test volume sebanyak 100 ml cairan (D5%) melalui
infus dalam waktu 5 menit. Bila ada respon, berupa peningkatan tekanan darah,
peningkatan diuresis, perbaikan syok secara klinis, tanda-tanda kongesti paru
tidak ada atau tidak semakin berat, dan bila PCWP atau PAEDP tidak berubah
atau tidak meningkat > 2 mmHg di atas nilai awal (atau jika CVP tetap atau tidak
meningkat > 2-3 cmH2O di atas nilai awal), maka diberikan cairan tambahan
sebanyak 200 ml dalam waktu 10 menit.
b. Bila selanjutnya PCWP atau PAEDP tetap stabil atau tidak meningkat > 2 mmHg
atau tidak melebihi 16 mmHg (atau jika CVP tetap < 15 cmH2O), tekanan darah
tetap stabil atau meningkat, atau tanda-tanda kongesti paru tidak timbul atau
semakin bertambah, maka infus dilanjutkan dengan memberikan cairan 500-1000
ml/jam sampai tekanan darah dan gejala klinis syok lain menghilang. Periksa
PCWP atau PAEDP (atau CVP), tekanan darah, dan paru setiap 15 menit.
Diharapkan PCWP atau PAEDP akan meningkat sampai 15-18 mmHg (atau CVP
meningkat sampai 15 cmH2O).
c. Jika pada awal pemeriksaan didapatkan nilai PCWP atau PAEDP antara 15-18
mmHg (atau nilai CVP awal 12-18 cmH2O), maka diberikan infus cairan 100 ml
dalam waktu 10 menit. Pemberian cairan selanjutnya tergantung dari peningkatan
PCWP atau PAEDP (atau CVP), perubahan tekanan darah, dan ada tidaknya
gejala klinis kongesti paru.
d. Jika nilai PCWP atau PAEDP pada awalnya 20 mmHg atau lebih (atau jika nilai
awal CVP 20 cmH2O atau lebih), maka tidak boleh dilakukan tes toleransi cairan
intravena, dan pengobatan dimulai dengan pemberian vasodilator.
e. Jika PCWP atau PAEDP menunjukan nilai yang rendah (< 5 mmHg), atau jika nilai
CVP < 5cmH2O, infus cairan dapat diberikan walaupun didapatkan edema paru
akut.
f. Jika pasien menunjukan adanya edema paru dengan nilai PCWP atau PAEDP yang
rendah dan dalam penanganan dengan pemberian infus cairan menyebabkan
peningkatan kongesti paru serta perburukan keadaan klinis, maka infus cairan
harus dihentikan dan keadaan pasien dievaluasi kembali.

13. Pada pasien dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat dan volume intravaskular
yang adekuat harus dicari kemungkinan adanya tamponade jantung sebelum
pemberian obat-obat inotropik atau vasopresor dimulai. Tamponade jantung akibat
infark miokard memerlukan tindakan volume expansion untuk mempertahankan
preload yang adekuat dan dilakukan perikardiosentesis segera.

14. Penanganan pump failure dibagi berdasarkan subset hemodinamik dan pasien
dapat berpindah dari satu subset ke subset lainnya dan memerlukan perubahan dalam
regimen terapi.
a. Subset 1: LVEDP > 15 mmHg, tekanan sistolik arteri > 100 mmHg, dan indeks
jantung < 2,5 liter/menit/m2. Keadaan ini menunjukan adanya gagal jantung kiri
dengan tekanan arteri cukup tinggi, sehingga pengurangan afterload dapat
dilakukan sebagai terapi pertama.
- Ada dua vasodilator yang sering digunakan, yaitu nitrogliserin dan
nitroprusid. Pada waktu pemberian nitroprusid harus dilakukan monitor
terhadap tekanan darah dan tekanan pengisian ventrikel kiri. Pemberian
nitroprusid dimulai dengan dosis 0,4 mg/kg BB/menit (dosis awal jangan lebih
dari 10 mg/menit), kemudian dosis ditingkatkan 5 mg/menit setiap 10 menit
sampai tercapai efek hemodinamik yang diinginkan. Bila curah jantung
meningkat dan gejala syok berkurang, maka terapi diteruskan. Bila tekanan
darah menurun, terjadi takikardi, dan bila peningkatan curah jantung tidak
mencukupi, maka ditambahkan dobutamin dengan dosis awal 5 mg/kg
BB/menit dan ditingkatkan sampai maksimal 15 mg/kg BB/menit. Bila
tekanan darah menurun lebih cepat, maka dobutamin diganti dengan dopamin
(mikro drip) sesuai dosis efektif 2-10 ug/kg BB/menit atau Isoproterenol drip
jika disertai bradikardia.
- Pemberian nitrogliserin mempunyai peranan lebih kecil dalam penanganan
syok kardiogenik ringan. Terutama diberikan bila proses iskemia masih
berlangsung dan didapatkan adanya kongesti paru yang berat. Nitrogliserin
diberikan dengan dosis awal 5 mg/menit dan ditingkatkan 5 mg/ menit setiap
10 menit. Bila ada perbaikan gejala syok dan pump failure, maka nitrogliserin
dilanjutkan selama 24-28 jam. Bila tekanan darah menurun dengan tekanan
preload yang tinggi, maka dosis nitrogliserin diturunkan dan ditambahkan
dobutamin dengan dosis 2-5 mg/kg BB/menit. Bila tekanan darah lebih cepat
menurun, maka dobutamin diganti dengan dopamin.
- Selama periode ini, pemasangan intra aortic ballon pump (IABP)
counterpulsation harus dipertimbangkan, karena hanya dengan tindakan ini
aliran darah koroner dapat ditingkatkan, dan secara bersamaan kerja ventrikel
kiri dapat dikurangi.
- Bila hemodinamik pasien sudah stabil dan tanda-tanda kongesti paru masih
tetap, maka pemberian diuretik secara perlahan dapat dipertimbangkan.
b. Subset 2: Tekanan arteri sistolik < 90 mmHg, LVEDP > 15 mmHg, dan indeks
jantung < 2,5 liter/menit/m2. Keadaan ini menunjukan tanda klasik adanya syok
akibat hipotensi pada pasien infark miokard akut, dimana “tim ballon” perlu
digerakan dan sarana untuk kateterisasi harus dipersiapkan untuk menerima pasien
ini
- Jika pasien dalam keadaan hipotensi berat, norepinefrin merupakan pilihan
utama dengan dosis 2-15 mg/menit sampai tekanan darah sistolik mencapai
80-90 mmHg, kemudian diusahakan untuk mengganti dengan dopamin.
- Jika tekanan darah sistolik 70-90 mmHg, dopamin dapat digunakan untuk terapi
awal dengan dosis 5-15 mg/kg BB/menit, dimana efek utamanya merangsang
adrenergik perifer, lebih baik digunakan norepinefrin.
- Bila tekanan darah pasien sudah stabil, maka terapi selanjutnya yang terbaik
adalah dobutamin yang dapat diberikan bersama-sama dopamin untuk
mengurangi kebutuhan dosis dopamin. Dobutamin tidak dapat digunakan
secara tunggal pada pasien dengan hipotensi berat.
c. Subset 3: Infark ventrikel kanan, peningkatan tekanan diastolik atrium kanan dan
ventrikel kanan (> 10 mmHg), indeks jantung < 2,5 liter/menit/m2, tekanan
sistolik < 100 mmHg, LVEDP normal atau meningkat. Pasien dalam keadaan ini
sangat sensitif terhadap kekurangan volume cairan dan sering menunjukan respon
dengan terapi cairan.
- Prinsip terapi: tekanan pengisian ventrikel kanan harus ditingkatkan dengan
pemberian cairan secara cepat sampai tekanan darah stabil, tekanan pengisian
ventrikel kiri > 20 mmHg, atau tekanan atrium kana > 20 mmHg.
- Pemakaian vasodilator dan diuretik harus dihindarkan dan pada keadaan ini
pemberian dobutamin lebih dianjurkan daripada dopamin.
- Jika dengan terapi cairan dan obat inotropik tidak ada perubahan, maka
dianjurkan pemasangan IABP counterpulsation.

15. Penggunaan trombolitik pada awal terapi infark miokard akan mengurangi jumlah
miokard yang mengalami nekrosis, sehingga insiden sindrom syok kardiogenik akan
berkurang. Penelitian GUSTO I menunjukan angka mortalitas untuk 6 minggu follow
up 58% pada pasien syok kardiogenik yang mendapat terapi trombolisis dan aspirin
serta heparin. Pada GUSTO I TPA lebih baik dari streptokinase bila tidak ada syok
dan insiden syok juga lebih kecil, tetapi pada syok mortalitas pada streptokinase lebih
rendah walaupun secara statistik tidak bermakna.
16. Sementara menunggu uji yang membandingkan angioplasti dan terapi medis, saat ini
dianggap bahwa angioplasti direk lebih superior daripada terapi suportif semata-mata
maupun terapi trombolitik. Keberhasilan percutaneus transluminal coronary
angioplasty (PTCA) terutama bila dilakukan pada 24 jam pertama setelah timbulnya
gejala syok kardiogenik, pada pasien berusia < 65 tahun, dan dengan single-vessel
disease. Kegagalan PTCA terutama dikaitkan dengan usia pasien yang lanjut (> 70
tahun) dan riwayat infark sebelumnya. Data-data menunjukan PTCA pada syok
kardiogenik menurunkan angka kematian menjadi 46% atau kurang. PTCA sebaiknya
dikerjakan dengan support IABP. Semula PTCA dengan balon saja untuk membuka
pembuluh darah yang tersumbat secepatnya pada kasus-kasus infark menunjukan
hasil lebih baik dari trombolisis. Akhir-akhir ini dengan pemasangan stent pada kasus
infark akut menunjukan hasil lebih baik dari angioplasti dengan memakai balon saja,
terutama untuk mencegah penyempitan kembali. Angka mortalitas didalam rumah
sakit untuk pasien infark akut yang dilakukan angioplasti primer 2-6%, tetapi pada
infark akut dengan syok kardiogenik yang dilakukan PTCA, angka kematian di rumah
sakit masih tinggi, menurut PAMI 39%, dan GUSTO 38%.
17. Harapan hidup jangka panjang yang mengecewakan dari penanganan syok
kardiogenik akibat infark miokard dengan terapi medis telah mendorong
dilakukannya tindakan bedah revaskularisasi dini pada pasien yang telah stabil dengan
terapi farmakologis dan IABP. Guyton menyimpulkan bahwa coronary-artery bypass
surgery (CABS/CABG) merupakan terapi pilihan pada semua pasien syok
kardiogenik akibat infark miokard, kecuali pada kelompok oktogenarian. CABS juga
dianjurkan pada pasien yang mengalami kegagalan dengan tindakan angioplasti.
Tindakan operasi dilakukan apabila didapatkan adanya kontraksi dari segmen yang
tidak mengalami infark dengan pembuluh darah yang stenosis. Bedah revaskularisasi
sebaiknya tidak dilakukan pada pasien oktogenarian, pasien dengan LVEDP > 24
mmHg, skor kontraktilitas ventrikel kiri > 13, dan adanya kerusakan pada organ
sistemik yang irreversibel. Pada pasien dengan kerusakan mekanik, misalnya
robeknya otot papilaris, robeknya septum interventrikel, maka tindakan operasi akan
efektif terutama bila revaskularisasi juga dapat dilaksanakan. Kumpulan data dari 370
pasien dari 22 studi menunjukan CABG yang dilakukan pada pasien dengan infark
jantung akut dan syok kardiogenik mempunyai mortalitas sebesar 36%. CABG perlu
dipertimbangkan pada pasien dengan penyempitan di banyak pembuluh darah
(multivessel disease) dan bila PTCA tidak berhasil.
18. Pada pasien syok kardiogenik dengan disfungsi miokard akibat kerusakan miokard
irreversibel, mungkin diperlukan tindakan transplantasi jantung

DAFTAR PUSTAKA
1. Rackley CE. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskular. Edisi 3. EGC. Jakarta. 1995.
Hal. 243-249
2. Trisnohadi HB. Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedoteran Universitas
Indonesia. 2000. Hal: 11-16
3. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan Medik Pedoman Penatalaksanaan Praktis.
Binarupa Aksara. Jakarta. 2000. Hal: 47-57
4. Kaligis RWM. Buku Ajar Kardiologi. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia.
Jakarta. 2002. Hal: 90-93
5. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4.
EGC. Jakarta. 1995. Hal: 593-606
6. Scwartz, Shires, Spencer. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. EGC. Jakarta.
2000. Hal: 37-45
7. Braunwald, Fauci, Isseibacher, Martin, Petersdorf, Wilson. Harrison’s Principles of
th
Internal Medicine vol.1. 13 ed. EGC. Jakarta. 1999. Hal. 218-223
Referat Ilmu Penyakit Jantung

SYOK KARDIOGENIK

Oleh :
Syadza Fadillah
1102008350

Pembimbing :
dr. Syafruddin Surin, Sp.JP

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR REBO
PERIODE 4 FEBRUARI – 13 APRIL 2013

Anda mungkin juga menyukai