Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH BIOFARMASETIKA

PEMBERIAN SEDIAAN OBAT MELALUI ORAL

Dosen :
Yudistirawati Khusna S.Farm., Apt

Di susun oleh :
Kelompok : 6
Anggota : 1. Rizky Nur Aida (1012016006)
2. Mariana Desi Lestari (1012016016)
3. Shevi Dewi Pratini (1012016032)
4. Noval Aryuzan A. (1012016036)
5. Ika Oktavia (1012016038)
6. Rizqi Fatmiyah (1012016042)

PRODI S1-FARMASI
STIKES HARAPAN BANGSA JEMBER
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa , karena
dengan rahmat dan karunia-Nya kita masih diberi kesempatan untuk
menyelesaikan tugas mata kuliah Biofarmasetika ini.
Makalah ini membahas tentang biofarmasetika tekhnik pemberian obat secara
oral. Makalah ini saya susun agar pembaca khususnya mahasiswa farmasi dapat
memperluas ilmu tentangbiofarmasetika, yang kami sajikan dengan berdasarkan
pengamatan dari berbagai sumber, walau sedikit ada rintangan namun dengan
penuh kesabaran dan pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan.
Semoga makalah kami dapat bermanfaat bagi para mahasiswa, khususnya
pada kelompok yang membaca makalah kami ini, dan semoga dapat memberikan
wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Demi perbaikan makalah ini, kritik dan saran yang membangun dari pembaca
sangat kami harapkan.

Jember, 26 September 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN UTAMA ......................................................................................... i


KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................................... 2
BAB II : HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1 Biofarmasetika Oral ................................................................................. 4
2.2 Anatomi dan Fisiologi .............................................................................. 5
2.3 Rute Perjalanan Obat dalam Tubuh ......................................................... 8
2.4 Tahap Utama Biofarmasetika Oral .......................................................... 9
2.5 Fisiko Kimia Obat .................................................................................. 11
2.6 Jenis-Jenis Obat Per Oral ....................................................................... 13
2.7 Kontra Indikasi Pada Pemberian Obat Per Oral .................................... 14
2.8 Faktor Yang Berperan Dalam Penyerapan ............................................ 15
2.9 Keuntungan dan Kerugian Permberian Obat Per Oral ........................... 18
BAB III : PENUTUP
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 20
3.2 Saran ....................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Efektivitas suatu senyawa obat pada pemakaian klinik berhubungan dengan
farmakokinetiknya. Farmakokinetik suatu senyawa dari suatu bentuk sediaan
ditentukan oleh ketersediaan hayatinya (bioavailabilitasnya). Bioavailibilitas
adalah persentase zat aktif dalam suatu produk obat yang tersedia dalam sirkulasi
sistemik dalam bentuk utuh setelah pemberian obat tersebut, diukur dari kadarnya
dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin.
Studi biofarmasetika didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah dasar dan
metodologi eksperimental. Studi biofarmasetika menggunakan metode in-vitro
dan in-vivo. Metode in-vitro adalah prosedur yang menggunakan alat dan
peralatan uji tanpa melibatkan hewan laboratorium atau manusia. Metode in-vivo
adalah studi yang lebih kompleks yang melibatkan subyek manusia atau hewan
laboratorium. Metode-metode ini harus dapat menilai dampak sifat fisik dan kimia
obat, stabilitas obat, dan produksi skala besar obat dan produk obat pada kinerja
biologis obat. Selain itu, biofarmasetika mempertimbangkan sifat obat dan bentuk
sediaan dalam lingkungan fisiologis, penggunaan terapeutik yang dimaksudkan
obat, dan rute pemberian.
Biofarmasi adalah cabang ilmu farmasi yang mempelajari hubungan antara
sifat-sifat fisiko kimia dari bahan baku obat dan bentuk sediaan dengan efek terapi
sesudah pemberian obat tersebut kepada pasien. Perbedaan sifat fisiko kimia dari
sediaan ditentukan oleh bentuk sediaan, formula dan cara pembuatan, sedangkan
perbedaan sifat fisiko kimia bahan baku obat dapat berasal dari bentuk bahan baku
(ester, garam, kompleks atau polimorfisme) dan ukuran partikel.
Selanjutnya perkembangan ilmu biofarmasi, melihat bentuk sediaan sebagai
suatu “drug delivery system” yang menyangkut pelepasan obat berkhasiat dari
sediaannya, absorpsi dari obat berkhasiat yang sudah dilepaskan, distribusi obat

1
yang sudah diabsorpsi oleh cairan tubuh, metabolisme obat dalam tubuh serta
eliminasi obat dari tubuh.
Sebelum obat yang diberikan pada pasien sampai pada tujuannya dalam
tubuh, yaitu tempat kerjanya atau target site, obat harus mengalami banyak proses.
Dalam garis besar proses-proses ini dapat dibagi dalam tiga tingkat, yaitu Fase
Biofarmasi, Fase Farmakodinamik, Fase Farmakokinetika.
Dapat digambarkan dengan skema berikut untuk obat dalam bentuk tablet
yaitu :
 Tablet dengan Zat Aktif  (FASE BIOFARMASI) Tablet pecah, granul
pecah, zat aktif lepas dan larut  Obat tersedia untuk resorpsi 
Absorpsi, Metabolisme, Distribusi, Ekskresi (FASE
FARMAKOKINETIKA)  Obat tersedia untuk bekerja  Interaksi dengan
reseptor di tempat kerja (FASE FARMAKODINAMIKA)  EFEK.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari penyusunan makalah adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Biofarmasetika Oral?
2. Bagaimana proses anatomi dan fisiologi?
3. Bagaimana rute perjalanan obat dalam tubuh?
4. Apa saja tahap utama biofarmasetika oral?
5. Bagaimana fisiko kimia obat per oral?
6. Apa saja jenis-jenis obat per oral?
7. Apa kontra indikasi pada pemberian obat per oral?
8. Faktor apa saja yang berperan dalam penyerapan?
9. Sebutkan keuntungan dan kerugian pemberian obat per oral?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah adalah sebagai berikut:
1. Dapat menjelaskan pengertian biofarmasetika oral.
2. Dapat menjelaskan proses anatomi dan fisiologi.
3. Dapat menjelaskan rute perjalanan obat dalam tubuh.
4. Dapat menjelaskan tahap utama dalam biofarmasetika oral.

2
5. Dapat menjelaskan fisiko kimia obat per oral.
6. Dapat menyebutkan jenis-jenis obat per oral.
7. Dapat menjelaskan kontra indikasi pada pemberian obat per oral.
8. Dapat menyebutkan dan menjelaskan factor yang berperan dalam
penyerapan.
9. Dapat menyebutkan keuntungan dan kerugian pemberian obat per oral.

3
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Biofarmasetika Oral


Biofarmasetika adalah ilmu yang menguji keterkaitan antara sifat
fisikokimia obat ini, bentuk sediaan di mana obat diberikan, dan rute pemberian
pada tingkat dan tingkat penyerapan obat sistemik. Dengan demikian,
biofarmasetika melibatkan faktor-faktor yang mempengaruhi, yaitu: (1) stabilitas
obat dalam produk obat, (2) pelepasan obat dari produk obat, (3) tingkat
pembubaran / pelepasan obat di tempat penyerapan, dan (4) penyerapan sistemik
obat.
Pemberian obat peroral merupakan cara pemberian yang paling alamiah
untuk semua bahan yang akan diserap oleh organ tubuh. Fungsi alat cerna adalah
menyerap sebagian besar bahan-bahan yang diperlukan untuk hidup. Cara
pemberian obat per oral paling banyak dipakai di luar lingkungan rumah sakit
terutama untuk pengobatan sendiri.
Pemberian obat per oral merupakan cara yang paling banyak dipakai
karena ini merupakan cara yang paling mudah, murah, aman, dan nyaman bagi
pasien. Berbagai bentuk obat dapat di berikan secara oral baik dalam bentuk
tablet, sirup, kapsul atau puyer. Untuk membantu absorbsi , maka pemberian obat
per oral dapat di sertai dengan pemberian setengah gelas air atau cairan yang lain.
Beberapa jenis obat dapat mengakibatkan iritasi lambung dan
menyebabkan muntah (mislanya garam besi dan Salisilat). Untuk mencegah hal
ini, obat di persiapkan dalam bentuk kapsul yang diharapkan tetap utuh dalam
suasana asam di lambung, tetapi menjadi hancur pada suasana netral atau basa di
usus. Dalam memberikan obat jenis ini, bungkus kapsul tidak boleh di buka, obat
tidak boleh dikunyah dan pasien di beritahu untuk tidak minum antasaid atau susu
sekurang-kurangnya satu jam setelah minum obat.

4
2.2 Anatomi dan Fisiologi

1. Mulut
a. Anatomi

Mulut terbuka kearah belakang


menuju cavum pharyngis. Bagian
atas dibatasi oleh palatum, bagian
bawah oleh dinding dasar mulut,
bagian samping oleh pipi. Dasar
mulut bertumpu pada ligamen otot.
b. Fisiologi Mukosa
Permukaan bagian dalam mulut lebih sempit, ditutupi oleh lapisan
mukosa yang sangat tipis, bening dan agak melekat : adanya ayaman
kapiler (tight junction) pada mukosa yang tipis tersebut memudahkan
penyerapan. Selanjutnya prinsip ini digunakan untuk pemberian zat
aktif per lingual.
c. Pengeluaran air liur (saliva)
Air liur terutama mengandung enzim ptyalin yang merupakan suatu
amylase dengan pH aktivitas optimum 6,7. Proses hidrolisa ptyalin
terhadap amilum akan berlanjut sekitar 30 menit didalam lambung,
walaupun pH-nya menurun karena bercampur dengan cairan lambung.

5
2. Lambung
a. Anatomi

Lambung merupakan sebuah kantong dengan panjang sekitar 25 cm


dan 10 cm saat kosong, volume 1 – 1,5 liter pada dewasa normal.
b. Fisiologi
Pengeluaran cairan lambung terjadi karena tiga proses yaitu : proses
mekanik (kontak makanan dengan dinding lambung), proses hormonal
(sekresi lambung) dan persarafan.
3. Usus halus
a. Anatomi

Usus halus merupakan lanjutan lambung yang terdiri atas 3 bagian


yaitu duodenum yang terfiksasi, jejunum dan ileum yang bebas
bergerak. Diameter usus halus tergantung pada letaknya (2-3 cm) dan
panjang keseluruhan antara 5-9 cm.

6
b. Fisiologi
Usus halus terdiri atas 5 lapisan melingkar, berupa jaringan otot
(musculus) dan lapisan lender (mukosa). Lapisan yang paling dalam
(lapisan mukosa) sangat berperan pada proses penyerapan obat.
4. Usus besar (Kolon)
a. Anatomi
Ileum dipisahkan dari usus besar oleh valvula ileocaecal atau valvula
BAUCHI, serabut-serabut lipatan otot menonjol ke dalam lubang
saluran yang berfungsi mencegah aliran dari usus besar menuju usus
halus.
Posisi usus besar seperti kerangka pigura. Berukuran panjang 1,4-1,8
meter dan diameternya kea rah distal semakin membesar. Usus besar
dibedakan atas :
 Usus besar menaik (Colon ascendens) dimulai dari caecum,
segmen yang membesar dengan bentukan vertikel berupa
appendix/ usus buntu. Colon ascendens ini pendek berukuran
sekitar 15 cm dan berdiameter cukup besar (6 cm) dan terfiksasi.
 Usus besar melintang (Colon transfersum), mengambang dan
berukuran panjang sekitar 50 cm dan berdiameter 4-5 cm.
muncul dari sudut hepatic (flexura hepatica) menuju sudut limpa
(lien) dan sebagian besar menempel pada lengkungan lambung.
 Usus besar menurun (Colon descendens), melekat dan
relatifpendek (12 cm), berdiameter kecil (3 cm).
 Colon ileocaecal, dilanjutkan dengan Colon pelvinal atau
signoida yang muaranya lebih lebar.
b. Fisiologi
Bila usus halus merupakan organ penyerapan maka usus besar
merupakan agen penyerapan air, penampungan dan pengeluaran
bahan-bahan feces.

7
2.3 Rute Perjalanan Obat Oral Dalam Tubuh
Suatu obat yang diminum per oral akan melalui tiga fase: biofarmasetik
(disolusi), farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi.
Dalam fase farmasetik, obat berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus
membrane biologis. Jika obat diberikan melalui rute subkutan, intramuscular, atau
intravena, maka tidak terjadi fase farmaseutik. Fase kedua, yaitu farmakokinetik,
terdiri dari empat proses (subfase): absorpsi, distribusi, metabolisme (atau
biotransformasi), dan ekskresi. Dalam fase farmakodinamik, atau fase ketiga,
terjadi respons biologis atau fisiologis.
Untuk menghasilkan efek farmakologi atau efek terapi, obat harus mencapai
tempat aksinya dalam kosentrasi yang cukup untuk menimbulkan respon.
Tercapainya konsentrasi obat tergantung dari jumlah obat yang diberikan,
tergantung pada keadaan dan kecepatan obat diabsorbsi dari tempat pemberian
dan distribusinya oleh aliran darah ke bagian lain dari badan.
Skema perjalanan obat dalam tubuh :

 Fase biofarmasi atau biofarmasetika adalah fase yang meliputi waktu


mulai penggunaan obat melalui mulut sampai pelepasan zat aktifnya
kedalam cairan tubuh. Fase ini berhubungan dengan ketersediaan farmasi
dari zat aktifnya dimana obat siap diabsorbsi.
 Fase farmakokinetika adalah fase ini meliputi waktu selama obat
diangkut ke organ yang ditentukan, setelah obat dilepas dari bentuk

8
sediaan. Obat harus di absorbsi ke dalam darah, yang akan segera di
distribusikan melalui tiap-tiap jaringan dalam tubuh. Dalam darah obat dapat
mengikat protein darah dan mengalami metabolisme, terutama dalam
melintasi hepar (hati). Meskipun obat akan didistribusikan melalui badan,
tetapi hanya sedikit yang tersedia untuk diikat pada struktur yang telah
ditentukan. Fase farmakokinetika terdiri dari absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi.
 Fase farmakodinamika adalah fase dimana obat telah berinteraksi
dengan sisi reseptor dan siap memberikan efek. Fase farmakodinamik
sendiri yang dipelajari adalah efek obat dalam tubuh atau mempelajari
pengaruh obat terhadap fisiologis tubuh. Kebanyakan obat pada tubuh
bekerja melalui salah satu dari proses interaksi obat dengan reseptor,
interaksi obat dengan enzim, dan kerja obat non spesifik.Interaksi obat
dengan reseptor terjadi ketika obat berinteraksi dengan bagian dari sel,
ribosom, atau tempat lain yang sering disebut sebagai reseptor. Reseptor
sendiri bisa berupa protein, asam nukleat, enzim, karbohidrat, atau lemak.
Semakin banyak reseptor yang diduduki atau bereaksi, maka efeknya akan
meningkat. Interaksi obat dengan enzim dapat terjadi jika obat atau zat
kimia berinteraksi dengan enzim pada tubuh.

2.4 Tahap Utama Biofarmasetika Oral


Fase biofarmasetika dapat diuraikan dalam tiga tahap utama, yaitu L.D.A
yang berarti Liberasi (pelepasan), Disolusi (Pelarutan), dan Absorpsi (penyerapan.
Seperti halnya dengan sistem A.D.M.E pada nasib zat aktif in vivo, maka ketiga
tahap L.D.A berbeda pada setiap jalur.

9
2.4.1 Liberasi (Pelepasan)
Apabila seorang penderita menerima obat berarti ia mendapatkan zat
aktif yang diformula dalam bentuk sediaan dan dengan dosis tertentu. Obat
pada mulanya merupakan depot zat aktif yang jika mencapai tempat
penyerapan akan segera diserap (Drug delivery system dalam istilah anglo-
sakson). Proses pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan cukup rumit dan
tergantung pada jalur pemberian dan bentuk sediaan, serta dapat terjadi secara
cepat dan lengkap. Pelepasan zat aktif dipengruhi oleh keadaaan lingkungan
biologis dan mekanis pada tempat pemasukan obat, misalnya gerak peristaltic
usus, dan hal ini penting untuk bentuk sediaan yang keras atau kenyal (tablet,
suppositoria dll).
Sebagaimana diketahui, tahap pelepasan ini dapat dibagi dalam dua tahap
yaitu tahap pemecahan dan peluruhan misalnya untuk sebuah tablet. Dari tahap
pertama ini diperoleh suatu disperse halus padatan zat aktif dalam cairan di
tempat obat masuk ke dalam tubuh.
2.4.2 Disolusi (Pelarutan)
Setelah terjadi pelepasan yang bersifat setempat, maka tahap kedua
adalah pelarutan zat aktif yang terjadi secara progresif, yaitu pembentukan
disperse molekuler dalam air. Tahap kedua ini merupakan keharusan agar
selanjutnya terjadi penyerapan. Tahap ini juga diterapkan pada obat-obtan yang
dibuat dalam bentuk larutan zat aktif dalam minyak, tetapi yang terjadi adalah
proses ekstraksi (penyarian). Setelah pemberian sediaan larutan, secara in situ
dapat timbul endapan zat aktif yang biasanya berbentuk amorf sebagai akibat
perubahan pH dan endapan tersebut selanjutnya akan melarut lagi.
Laju disolusi obat mungkin tergantung posisi, karena variasi dalam
kedekatannya dengan kelenjar ludah utama dan kadar air saliva yang
diproduksi. Rute sublingual tidak cocok untuk produk yang mempunyai profil
konsentrasi plasma-waktu diperpanjang, absorpsi selesai cepat karena epitel di
daerah ini sangat tipis (sekitar 100 μm). Absorpsi cepat yang menghasilkan
konsentrasi plasma puncak tinggi dapat diatasi dengan menghantarkan obat ke
mukosa bukal lebih tebal yang dapat memperlambat absorpsi. Aktivitas

10
metabolik dari mukosa oral dan populasi bakteri dapat mempengaruhi atau
mendegradasi obat.
2.4.3 Absorpsi (Penyerapan)
Tahap ini merupakan bagian dari fase biofarmasetika dan awal fase
farmakokinetik, jadi tahap ini benar-benar merupakan masuknya zat aktif
dalam tubuh yang aturan-aturannya ditengarai oleh pemahaman ketersediaan
hayati (bioavabilitas).
Penyerapan zat aktif tergantung pada bagian parameter, terutama sifat
fisika-kimia molekul obat. Absorpsi ini tergantung juga pada tahap sebelumnya
yairu saat zat aktifnya berada dalam fase biofarmasetika.
Absorpsi obat melalui saluran cerna pada umumnya terjadi secara difusi
pasif, karena itu absorpsi mudah terjadi bila obat dalam bentuk nonion dan
mudah larut dalam lemak. Absorpsi obat di usus halus selalu jauh lebih cepat
dibandingkan di lambung karena permukaan epitel usus halus jauh lebih luas
dibandingkan dengan epitel lambung. Absorpsi secara transport aktif terjadi
terutama di usus halus untuk zat-zat makanan : glukosa dan gula lain, asam
amino, basa purin dan pirimidin, mineral, dan beberapa vitamin.

2.5 Fisiko Kimia Obat


Aspek biofarmasetika dari obat dan produk, yaitu :
1. Kelarutan
Kelarutan didefinisikan sebagai banyaknya materi (obat) yang dapat
terlarut dalam suatu solven (pelarut) pada kesetimbangan. Kelarutan berkaitan
dengan disolusi (pelarutan) yaitu laju larutnya suatu zat dalam satuan waktu.
Kelarutan merupakan parameter biofarmasetik untuk pemberian oral, karena
obat harus larut dalam cairan lambung sebelum diabsorpsi.
2. Hidrofilisitas / lipofilisitas
Koefisien partisi atau distribusi dari suatu obat merupakan suatu ukuran
relative dari kecenderungan senyawa untuk berbagi antara solven hidrofil dan
lipofil, dan ini mengindikasikan sifat hidrofilik/lipofilik material tersebut.
Lipofilisitas penting dalam biofarmasetik karena sifat tersebut berefek terhadap

11
partisi pada membran biologis dan karenanya mempengaruhi permeabilitas
melalui membran yaitu berikatan atau berdistribusi pada jaringan in vivo.
3. Bentuk garam dan polimorf
Senyawa obat dapat berada dalam beragam bentuk, termasuk garam,
solvat, hidrat, polimorf atau amorf. Bentuk padatan akan mempengaruhi sifat
zat padat tersebut antara lain kelarutan, laju disolusi, stabilitas, higroskopisitas,
dan juga memberi dampak pada proses manufaktur dan kinerja klinis. Bentuk
garam dapat dipilih, yang mempunyai kelarutan lebih besar, dan ini akan
memperbaiki laju disolusi dari zat aktif.
4. Stabilitas
Stabilitas kimia dari obat amat penting untuk menghindarkan implikasi
aktivitas farmakologik dan/atau toksikologik. Profil stabilitas pH juga penting
dari perspektif fisiologik dengan pertimbangan rentang nilai pH yang terjadi in
vivo, khususnya dalam saluran cerna. Stabilitas fisik mengacu pada perubahan
senyawa obat padat yaitu termasuk transisi polimorfik, solvatasi/desolvatasi.
Ditingkat produk stabilitas menyangkut integritas sifat mekanis (kekerasan,
friabilitas, swelling) dan perubahan pada tampilan produk.
5. Sifat partikel dan serbuk
Sifat ruah (curah) serbuk farmasetis termasuk ukuran partikel, kerapatan,
aliran, wettability, dan luas permukaan. Beberapa sifat tersebut penting dari
pandangan proses pabrikasi (manufaktur), misalnya kerapatan dan aliran,
sedangkan sifat lainnya dapat berpengaruh kuat pada laju disolusi produk obat
(ukuran partikel, wettability, dan luas permukaan).
6. Formulasi
Bahan tambahan (eksipien) ditambahkan dalam suatu produk dapat
mempengaruhi absorpsi obat.
 Menaikkan kelarutan obat, menaikkan laju absorpsi obat
 Menaikkan waktu penahan obat dalam saluran cerna, hingga dapat
menaikkan jumlah obat yang terabsorpsi
 Menaikkan difusi obat melintasi dinding usus
 Memperlambat pelarutan (disolusi), menurunkan absorpsi obat.

12
2.6 Jenis-Jenis Obat Per Oral
2.6.1 Pil
Yaitu satu atau lebih dari satu obat yang di campur dengan bahan
kohesif dalam bentuk lonjong, bulat atau lempengan. Pil hendaknya di telan
secara utuh karena dapat mengandung obat - obatan yang rasanya sangat tidak
enak atau zat besi yang bisa membuat gigi penderita berwarna hitam.
2.6.2 Tablet
Yaitu obat bubuk yang dipadatkan dalam bentuk lonjong atau
lempengan. Tablet dapat di patahkan untuk mempermudah dalam menelan.
2.6.3 Bubuk/Puyer
Yaitu obat yang di tumbuk halus. Bubuk ini tidak dapat larut dalam air
dan dapat di berikan kepada penderita dengan cara berikut :
 Dari kertas pembungkusnya di jatuhkan keatas lidah penderita
 Kita campur dalam air atau susu (campuran tersebut harus terus kita aduk
karena bubuk itu tidak larut dalam cairan tersebut)
 Di persiapkan dalam pembungkus obat bubuk
2.6.4 Drase
Yaitu obat - obatan yang di bungkus oleh selaput tipis gula. Harus di
telan secara utuh karena dapat mengandung obat - obatan yang mempunyai
kemampuan untuk mengiritasi selaput lendir lambung pasien.
2.6.5 Kapsul
Yaitu obat dalam bentuk cair, bubuk atau minyak dengan di bungkus
gelatin yang juga harus di telan secara utuh karena dapat menyebabkan
muntah akibat iritasi selaput lendir lambung pasien. Suatu obat di persiapkan
dalam bentuk kapsul dengan harapan agar tetap utuh dalam suasana asam
lambung tetapi menjadi hancur pada suasana netral atau basa di usus. Dalam
pemberian obat jenis kapsul, bungkus kapsul tidak boleh di buka, obat tidak
boleh dikunyah dan pasien diberitahu untuk tidak minum susu atau antacid
sekurang kurangnya satu jam setelah minum obat.

13
2.6.6 Sirup
Disini kita memakai sendok pengukur, gelas pengukur (yang kecil),
atau botol tetesan. Kadang -kadang sirup sebelum diminum harus dikocok
terlebih dahulu. Pemberiannya harus dilakukan dengan cara yang paling
nyaman khususnya untuk obat yang pahit atau rasanya tidak enak. Pasien
dapat diberiminum dingin (es) sebelum minum sirup tersebut. Sesudah
minum sirup, pasien dapat diberi minum, pencuci mulut atau kembang gula.

2.7 Kontra Indikasi Pada Pemberian Obat Per Oral


a. Keadaan patofisiologik penderita : suatu sediaan antirematik tidak dapat
diberikan per oral tanpa resiko dimuntahkan sebelum obat bereaksi.
b. Pada cairan lambung yang asam, zat aktif tertentu dapat dirusak oleh
enzim pencernaan seperti lipase, penisilinase tertentu atau terjadinya
pengikisan mukosa (natrium salisilat berubah menjadi asam salisilat).
c. Enzim proteolitik dalam saluran cerna dapat merusak zat aktif polipeptida
protein (insulin. Hormone, polipeptida, serum).
d. Enzim flora usus dapat pula berpengaruh pada selulase dan selulosa,
penisilinase dan penisilina.
e. Kadang-kadang terjadi interaksi antara zat aktif dan bahan cairan lambung
dan selanjutnya membentuk senyawa kompleks yang sukar diserap,
misalnya musin dan streptomisina, garam empedu dan ammonium
kuartener.
f. Tujuan farmakokinetik tidak selalu dapat dicapai dengan pemakaian
sediaan oral.
g. Beberapa zat aktif di metabolisme pada membrane usus dan dengan
demikian sebagian telah rusak saat memasuki aliran darah.
h. Harus dipertimbangkan pula kemungkinan adanya “efek lintasan pertama”
(Test pass effect) dan adanya klirens hepatic yang merupakan proses
metabolisme yang mengubah zat aktif menjadi bentuk yang tidak aktif,
sehingga dengan demikian obat tidak dapat diberikan per oral (misalnya
lidokaina, progesterone, testosterone, estradiol dan lain-lain).

14
2.8 Faktor Yang Berperan Dalam Penyerapan
2.8.1 Faktor Fisiologi
1. Permukaan Penyerap
Lambung tidak mempunyai permukaan penyerap yang berarti
dibandingkan dengan usus halus. Lambung lebih merupakan organ
penggetahan dibandingkan dengan organ penyerap. Namun mukosa lambung
dapat menyerap obat yang diberikan peroral, dan tergantung pada keadaan,
lama kontak menentukan terjadinya penyerapan pasif dan zat aktif lipofil dan
bentuk tak terionkan pada pH lambung yg asam (asam lemah seperti asam
salisilat, barbiturat).
Usus halus mempunyai luas permukaan penyerap 40-50 m2. Penyerapan
ini dapat terjadi secara kuat pada daerah tertentu tanpa mengabaikan keasaman
pH yang akan mengionisasi zat aktif atau menyebabkan pengendapan sehingga
penyerapan hanya terjadi pada daerah tertentu. Suatu alkaloida yang kuat dan
terionkan dalam cairan lambung, secara teori kurang sediserap. Bila pH
menjadi netral atau alkali, bentuk basanya akan mengendap pada pH. Bentuk
basa tersebut kadang-kadang sangat tidak larut untuk dapat diserap dalam
jumlah yang cukup. Leh sebab itu harus dirancang suatu bentuk sediaan dengan
perlepasan dan pelarutan zat aktif yang cepat.
2. Umur
Terjadinya keadaan dosis-lebih disebabkan oleh adanya penyerapan tak
terkontrol.Pada bayi dan anak-anak, sebagian seistem enzimnya belum
berfungsi sempurna sehingga dapat terjadi dosis lebih pada zat aktif tertentu
yang disebabkan tidak sempurnanya proses detoksifikasi metabolik, atau
karena penyerapan yang tidak sempurna dan karena gangguan saluran cerna
sebagai akibat adanya bahan tambahan tertentu yang tidak dapat diterima.Oleh
sebab itu pengaturan dosis obat pada bayi tidak dapat dihitung dengan rumus
yang sederhana seperti pada orang dewasa, tetapi harus menggunakan fungsi
berat badan.

15
Pada penderita tua, terlihat fenomena penurunan penyerapan dan
kecendurungan menurunnya HCl lambung sehingga mengurangi penyerapan
asam lemah.
Posologi pada penderita tua tampaknya sangat dipengaruhi oleh faktor
individu. Secara sederhana pemberian obat pada keadaan tersebut harus
dilaksanakan dengan sangat hati-hati.
3. Sifat Membran Biologik
Sifat membran biologik sel-sel penyerap pada mukosa pencernaan akan
mempengaruhi proses penyerapan. Sifat utama lipida memungkinkan
terjadinya difusi pasif zat aktif dengan sifat lipofil tertentu dari bentuk yang tak
terionkan dilambung dan terutama diusus besar. Semua jenis transpor zat aktif
diusus halus yang meliputi:
 Transpor dengan pembentukan pasangan ion
 Transpor sederhana
 Transpor aktif
 Pinositosis
Adanya berbagai mekanisme tersebut menyebabkan pelipat ganda
kemampuan penyerapan usus halus dibandingkan dengan kemampuan usus
besar.
4. Laju Perlewatan
Laju transit dan waktu tinggal dilambung merupakan salah satu faktor
yang sangat penting, yang mempengaruhi intensitas penyerapan. Suatu zat aktif
yang sukar diserap lambung seharusnya tidak tinggal lama dilambung. Oleh
sebab itulah waktu pengosongan lambung sebaiknya diusahakan terjadi lebih
cepat. Sebaliknya bila transit diusus berjalan lambat, hal tersebut
menguntungkan bagi zat aktif yang hanya diserap pada bagian tertentu saluran
cerna, terutama dalam hal transpor aktif. Contoh yang klasik adalah riboflavin
yang diserap pada bagian atas usus halus. Bila obat dalam keadaan terlarut
melewati daerah penyerapan terlalu cepat maka penyerapannya menjadi sangat
sedikit. Fenomena yang sama juga terjadi pada tetrasiklina, fenisilina, seofulvin
dan garam-garam besi (fe).

16
Kecepatan transit dilambung tak dapat dikontrol selama waktu makan dan
gumpalan makanan meninggalkan lambung bertahap dalam waktu yang lama
ataupun singkat.
2.8.2 Faktor Patologi
1. Gangguan Fungsi Pengetahan
Psikis merupakan satu faktor yang dapat meningkatkan atau menghambat
proses pengeluaran getah. Pada orang pemarah akan terjadi
peningkatan pengeluaran getah dan sebaliknya akan terjadi hambatan
pengeluaran getah pada seseorang yang depresif.
Pengeluaran getah lambung meningkat pada keadaan tukak duedenum
yang mana berlebihan asam dapat merusak aktivitas enzim pankreatik.
Sebaliknya pengeluaran getah lambung berkurang pada keadaan pH yang
meningkat akibat tukak lambung, gastritis kronis, penyakit beimer dan
diabetes.
Tidak cukupnya pengeluaran getah empedu yang disebabkan oleh
pembuntuan (obstruksi) saluran empedu akan menghambat penyerapan lemak
dan vitamin yang larut dalam lemak.
2. Gangguan Transit
Waktu tinggal dalam lambung pada umumnya akan meningkat pada
keadaan:
 Penyempitan pilorus (stenose pylorus)
 Tukak lambung (ulkus ventriculi) pada bagian juxta pylorus
 Kelainan pembuluh darah tertentu
 Sprue
 Myxcodemia (salah satu bentuk peradangan kelenjar)
Gerakan usus halus tergantung pada sistem simpatik dan semua hal yang
berpengaruhi gerakan tersebut juga akan mempengaruhi waktu transit. Tukak
duedenal menyebabkan gerakan duodenum yang berlebihan sedangkan sprue
dan colitis ulcerosa (keradangan usus besar yang bersifat seperti tukak)
umumnya menghambat gerakan usus.

17
3. Gangguan Penyerapan
a. Pengurangan luas permukaan penyerap
 Pembedahan: Gastrectomie (berpengaruh pada luas permukaan penyerap,
pemotongan usus (pengaruhnya tergantung pada panjang dan letak
pemotongan)
 Anomali atau cacat pada mukosa permukaan, baik karena bawaan atau
karena perolehan :entropati pada gluten, intoleransi selektif pada
karbohidrat dan pertumbuhan mikroba.
b. Perubahan Media Usus
 Penambahan senyawa anti mikroba atau anti parasit dapat
memutuskan ikatan konjugasi garam empedu (akibat terjadi kesalahan
penyerapan lemak dan vitamin yang larut lemak), dan merusak zat aktif
sebelum diserap (vitamin B12).
 Adanya bahan obat antimikroba berspektrum luas dapat mengganggu
keseimbangan flora usus, misalnya neomisina dapat merintangi kerja.
Lipase pankreatik dan garam empedu

2.9 Keuntungan dan Kerugian Pemberian Obat Per Oral


1. Keuntungan
Keuntungan dari pemberian obat per oral adalah :
- Harga relative lebih murah.
- Bisa di kerjakan sendiri boleh pasien.
- Tidak menimbulkan rasa nyeri.
- Bila terjadi keracunan, obat masih bias di keluarkan dari tubuh dengan cara
Reflek muntah dari faring dan Kumbah Lambung asalkan obat di minum
belum melebihi 4 jam artinya obat masih di dalam gaster
- Tetapi bilamana lebih dari 4 jam tapi belum melebihi 6 jam racun di dalam
intestinum atau belum mengalami absorbsi.

18
2. Kerugian
Kerugian dari pemberian obat per oral adalah :
a. Pada aksinya yang lambat sehingga cara ini tidak dapat di pakai pada
keadaan gawat.
b. Obat yang di berikan per oral biasanya membutuhkan waktu 30 sampai
dengan 45 menit sebelum di absorbsi dan efek puncaknya di capai setelah 1
sampai dengan 1 ½ jam.
c. Rasa dan bau obat yang tida enak sering mengganggu pasien.
d. Cara per oral tidak dapat di pakai pada pasien yang mengalami mual-mual,
muntah, semi koma, pasien yang akan menjalani pangisapan cairan lambung
serta pada pasien yang mempunyai gangguan menelan.

19
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Biofarmasetika adalah ilmu yang menguji keterkaitan antara sifat
fisikokimia obat ini, bentuk sediaan di mana obat diberikan, dan rute pemberian
pada tingkat dan tingkat penyerapan obat sistemik.
Pemberian obat per oral merupakan cara yang paling banyak dipakai
karena ini merupakan cara yang paling mudah, murah, aman, dan nyaman bagi
pasien. Berbagai bentuk obat dapat di berikan secara oral baik dalam bentuk
tablet, sirup, kapsul atau puyer.
Fase biofarmasetika dapat diuraikan dalam tiga tahap utama, yaitu L.D.A
yang berarti Liberasi (pelepasan), Disolusi (Pelarutan), dan Absorpsi (penyerapan.
Seperti halnya dengan sistem A.D.M.E pada nasib zat aktif in vivo, maka ketiga
tahap L.D.A berbeda pada setiap jalur.

3.2 Saran
Bagi mahasiswa dan mahasiswi diharapkan untuk menambah wawasan
dengan banyak membaca buku dan terus mencari informasi tentang
biofarmasetika sediaan obat melalui oral.

20
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Empat. Jakarta: UI
Press
Irianto, K. 2014. Anatomi dan Fisiologi. Bandung: Penerbit Alfabeta
Ganiswara, S.G. 1955. Farmakologi dan Terapi. Edisi Keempat. Jakarta: Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran UI.
Shargel, Leon, Susanna, Wu-Pong dan Andrew, BC. 2005. Applied
Biopharmaceutics and Pharmacokinetics. Edisi Kelima. Surabaya: Pusat
Penerbitan dan Percetakan Universitas Airlangga.
Tjay, T.H dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting. Jakarta: PT Gramedia

Anda mungkin juga menyukai