Dosen :
Yudistirawati Khusna S.Farm., Apt
Di susun oleh :
Kelompok : 6
Anggota : 1. Rizky Nur Aida (1012016006)
2. Mariana Desi Lestari (1012016016)
3. Shevi Dewi Pratini (1012016032)
4. Noval Aryuzan A. (1012016036)
5. Ika Oktavia (1012016038)
6. Rizqi Fatmiyah (1012016042)
PRODI S1-FARMASI
STIKES HARAPAN BANGSA JEMBER
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa , karena
dengan rahmat dan karunia-Nya kita masih diberi kesempatan untuk
menyelesaikan tugas mata kuliah Biofarmasetika ini.
Makalah ini membahas tentang biofarmasetika tekhnik pemberian obat secara
oral. Makalah ini saya susun agar pembaca khususnya mahasiswa farmasi dapat
memperluas ilmu tentangbiofarmasetika, yang kami sajikan dengan berdasarkan
pengamatan dari berbagai sumber, walau sedikit ada rintangan namun dengan
penuh kesabaran dan pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan.
Semoga makalah kami dapat bermanfaat bagi para mahasiswa, khususnya
pada kelompok yang membaca makalah kami ini, dan semoga dapat memberikan
wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Demi perbaikan makalah ini, kritik dan saran yang membangun dari pembaca
sangat kami harapkan.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
yang sudah diabsorpsi oleh cairan tubuh, metabolisme obat dalam tubuh serta
eliminasi obat dari tubuh.
Sebelum obat yang diberikan pada pasien sampai pada tujuannya dalam
tubuh, yaitu tempat kerjanya atau target site, obat harus mengalami banyak proses.
Dalam garis besar proses-proses ini dapat dibagi dalam tiga tingkat, yaitu Fase
Biofarmasi, Fase Farmakodinamik, Fase Farmakokinetika.
Dapat digambarkan dengan skema berikut untuk obat dalam bentuk tablet
yaitu :
Tablet dengan Zat Aktif (FASE BIOFARMASI) Tablet pecah, granul
pecah, zat aktif lepas dan larut Obat tersedia untuk resorpsi
Absorpsi, Metabolisme, Distribusi, Ekskresi (FASE
FARMAKOKINETIKA) Obat tersedia untuk bekerja Interaksi dengan
reseptor di tempat kerja (FASE FARMAKODINAMIKA) EFEK.
2
5. Dapat menjelaskan fisiko kimia obat per oral.
6. Dapat menyebutkan jenis-jenis obat per oral.
7. Dapat menjelaskan kontra indikasi pada pemberian obat per oral.
8. Dapat menyebutkan dan menjelaskan factor yang berperan dalam
penyerapan.
9. Dapat menyebutkan keuntungan dan kerugian pemberian obat per oral.
3
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
4
2.2 Anatomi dan Fisiologi
1. Mulut
a. Anatomi
5
2. Lambung
a. Anatomi
6
b. Fisiologi
Usus halus terdiri atas 5 lapisan melingkar, berupa jaringan otot
(musculus) dan lapisan lender (mukosa). Lapisan yang paling dalam
(lapisan mukosa) sangat berperan pada proses penyerapan obat.
4. Usus besar (Kolon)
a. Anatomi
Ileum dipisahkan dari usus besar oleh valvula ileocaecal atau valvula
BAUCHI, serabut-serabut lipatan otot menonjol ke dalam lubang
saluran yang berfungsi mencegah aliran dari usus besar menuju usus
halus.
Posisi usus besar seperti kerangka pigura. Berukuran panjang 1,4-1,8
meter dan diameternya kea rah distal semakin membesar. Usus besar
dibedakan atas :
Usus besar menaik (Colon ascendens) dimulai dari caecum,
segmen yang membesar dengan bentukan vertikel berupa
appendix/ usus buntu. Colon ascendens ini pendek berukuran
sekitar 15 cm dan berdiameter cukup besar (6 cm) dan terfiksasi.
Usus besar melintang (Colon transfersum), mengambang dan
berukuran panjang sekitar 50 cm dan berdiameter 4-5 cm.
muncul dari sudut hepatic (flexura hepatica) menuju sudut limpa
(lien) dan sebagian besar menempel pada lengkungan lambung.
Usus besar menurun (Colon descendens), melekat dan
relatifpendek (12 cm), berdiameter kecil (3 cm).
Colon ileocaecal, dilanjutkan dengan Colon pelvinal atau
signoida yang muaranya lebih lebar.
b. Fisiologi
Bila usus halus merupakan organ penyerapan maka usus besar
merupakan agen penyerapan air, penampungan dan pengeluaran
bahan-bahan feces.
7
2.3 Rute Perjalanan Obat Oral Dalam Tubuh
Suatu obat yang diminum per oral akan melalui tiga fase: biofarmasetik
(disolusi), farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi.
Dalam fase farmasetik, obat berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus
membrane biologis. Jika obat diberikan melalui rute subkutan, intramuscular, atau
intravena, maka tidak terjadi fase farmaseutik. Fase kedua, yaitu farmakokinetik,
terdiri dari empat proses (subfase): absorpsi, distribusi, metabolisme (atau
biotransformasi), dan ekskresi. Dalam fase farmakodinamik, atau fase ketiga,
terjadi respons biologis atau fisiologis.
Untuk menghasilkan efek farmakologi atau efek terapi, obat harus mencapai
tempat aksinya dalam kosentrasi yang cukup untuk menimbulkan respon.
Tercapainya konsentrasi obat tergantung dari jumlah obat yang diberikan,
tergantung pada keadaan dan kecepatan obat diabsorbsi dari tempat pemberian
dan distribusinya oleh aliran darah ke bagian lain dari badan.
Skema perjalanan obat dalam tubuh :
8
sediaan. Obat harus di absorbsi ke dalam darah, yang akan segera di
distribusikan melalui tiap-tiap jaringan dalam tubuh. Dalam darah obat dapat
mengikat protein darah dan mengalami metabolisme, terutama dalam
melintasi hepar (hati). Meskipun obat akan didistribusikan melalui badan,
tetapi hanya sedikit yang tersedia untuk diikat pada struktur yang telah
ditentukan. Fase farmakokinetika terdiri dari absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi.
Fase farmakodinamika adalah fase dimana obat telah berinteraksi
dengan sisi reseptor dan siap memberikan efek. Fase farmakodinamik
sendiri yang dipelajari adalah efek obat dalam tubuh atau mempelajari
pengaruh obat terhadap fisiologis tubuh. Kebanyakan obat pada tubuh
bekerja melalui salah satu dari proses interaksi obat dengan reseptor,
interaksi obat dengan enzim, dan kerja obat non spesifik.Interaksi obat
dengan reseptor terjadi ketika obat berinteraksi dengan bagian dari sel,
ribosom, atau tempat lain yang sering disebut sebagai reseptor. Reseptor
sendiri bisa berupa protein, asam nukleat, enzim, karbohidrat, atau lemak.
Semakin banyak reseptor yang diduduki atau bereaksi, maka efeknya akan
meningkat. Interaksi obat dengan enzim dapat terjadi jika obat atau zat
kimia berinteraksi dengan enzim pada tubuh.
9
2.4.1 Liberasi (Pelepasan)
Apabila seorang penderita menerima obat berarti ia mendapatkan zat
aktif yang diformula dalam bentuk sediaan dan dengan dosis tertentu. Obat
pada mulanya merupakan depot zat aktif yang jika mencapai tempat
penyerapan akan segera diserap (Drug delivery system dalam istilah anglo-
sakson). Proses pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan cukup rumit dan
tergantung pada jalur pemberian dan bentuk sediaan, serta dapat terjadi secara
cepat dan lengkap. Pelepasan zat aktif dipengruhi oleh keadaaan lingkungan
biologis dan mekanis pada tempat pemasukan obat, misalnya gerak peristaltic
usus, dan hal ini penting untuk bentuk sediaan yang keras atau kenyal (tablet,
suppositoria dll).
Sebagaimana diketahui, tahap pelepasan ini dapat dibagi dalam dua tahap
yaitu tahap pemecahan dan peluruhan misalnya untuk sebuah tablet. Dari tahap
pertama ini diperoleh suatu disperse halus padatan zat aktif dalam cairan di
tempat obat masuk ke dalam tubuh.
2.4.2 Disolusi (Pelarutan)
Setelah terjadi pelepasan yang bersifat setempat, maka tahap kedua
adalah pelarutan zat aktif yang terjadi secara progresif, yaitu pembentukan
disperse molekuler dalam air. Tahap kedua ini merupakan keharusan agar
selanjutnya terjadi penyerapan. Tahap ini juga diterapkan pada obat-obtan yang
dibuat dalam bentuk larutan zat aktif dalam minyak, tetapi yang terjadi adalah
proses ekstraksi (penyarian). Setelah pemberian sediaan larutan, secara in situ
dapat timbul endapan zat aktif yang biasanya berbentuk amorf sebagai akibat
perubahan pH dan endapan tersebut selanjutnya akan melarut lagi.
Laju disolusi obat mungkin tergantung posisi, karena variasi dalam
kedekatannya dengan kelenjar ludah utama dan kadar air saliva yang
diproduksi. Rute sublingual tidak cocok untuk produk yang mempunyai profil
konsentrasi plasma-waktu diperpanjang, absorpsi selesai cepat karena epitel di
daerah ini sangat tipis (sekitar 100 μm). Absorpsi cepat yang menghasilkan
konsentrasi plasma puncak tinggi dapat diatasi dengan menghantarkan obat ke
mukosa bukal lebih tebal yang dapat memperlambat absorpsi. Aktivitas
10
metabolik dari mukosa oral dan populasi bakteri dapat mempengaruhi atau
mendegradasi obat.
2.4.3 Absorpsi (Penyerapan)
Tahap ini merupakan bagian dari fase biofarmasetika dan awal fase
farmakokinetik, jadi tahap ini benar-benar merupakan masuknya zat aktif
dalam tubuh yang aturan-aturannya ditengarai oleh pemahaman ketersediaan
hayati (bioavabilitas).
Penyerapan zat aktif tergantung pada bagian parameter, terutama sifat
fisika-kimia molekul obat. Absorpsi ini tergantung juga pada tahap sebelumnya
yairu saat zat aktifnya berada dalam fase biofarmasetika.
Absorpsi obat melalui saluran cerna pada umumnya terjadi secara difusi
pasif, karena itu absorpsi mudah terjadi bila obat dalam bentuk nonion dan
mudah larut dalam lemak. Absorpsi obat di usus halus selalu jauh lebih cepat
dibandingkan di lambung karena permukaan epitel usus halus jauh lebih luas
dibandingkan dengan epitel lambung. Absorpsi secara transport aktif terjadi
terutama di usus halus untuk zat-zat makanan : glukosa dan gula lain, asam
amino, basa purin dan pirimidin, mineral, dan beberapa vitamin.
11
partisi pada membran biologis dan karenanya mempengaruhi permeabilitas
melalui membran yaitu berikatan atau berdistribusi pada jaringan in vivo.
3. Bentuk garam dan polimorf
Senyawa obat dapat berada dalam beragam bentuk, termasuk garam,
solvat, hidrat, polimorf atau amorf. Bentuk padatan akan mempengaruhi sifat
zat padat tersebut antara lain kelarutan, laju disolusi, stabilitas, higroskopisitas,
dan juga memberi dampak pada proses manufaktur dan kinerja klinis. Bentuk
garam dapat dipilih, yang mempunyai kelarutan lebih besar, dan ini akan
memperbaiki laju disolusi dari zat aktif.
4. Stabilitas
Stabilitas kimia dari obat amat penting untuk menghindarkan implikasi
aktivitas farmakologik dan/atau toksikologik. Profil stabilitas pH juga penting
dari perspektif fisiologik dengan pertimbangan rentang nilai pH yang terjadi in
vivo, khususnya dalam saluran cerna. Stabilitas fisik mengacu pada perubahan
senyawa obat padat yaitu termasuk transisi polimorfik, solvatasi/desolvatasi.
Ditingkat produk stabilitas menyangkut integritas sifat mekanis (kekerasan,
friabilitas, swelling) dan perubahan pada tampilan produk.
5. Sifat partikel dan serbuk
Sifat ruah (curah) serbuk farmasetis termasuk ukuran partikel, kerapatan,
aliran, wettability, dan luas permukaan. Beberapa sifat tersebut penting dari
pandangan proses pabrikasi (manufaktur), misalnya kerapatan dan aliran,
sedangkan sifat lainnya dapat berpengaruh kuat pada laju disolusi produk obat
(ukuran partikel, wettability, dan luas permukaan).
6. Formulasi
Bahan tambahan (eksipien) ditambahkan dalam suatu produk dapat
mempengaruhi absorpsi obat.
Menaikkan kelarutan obat, menaikkan laju absorpsi obat
Menaikkan waktu penahan obat dalam saluran cerna, hingga dapat
menaikkan jumlah obat yang terabsorpsi
Menaikkan difusi obat melintasi dinding usus
Memperlambat pelarutan (disolusi), menurunkan absorpsi obat.
12
2.6 Jenis-Jenis Obat Per Oral
2.6.1 Pil
Yaitu satu atau lebih dari satu obat yang di campur dengan bahan
kohesif dalam bentuk lonjong, bulat atau lempengan. Pil hendaknya di telan
secara utuh karena dapat mengandung obat - obatan yang rasanya sangat tidak
enak atau zat besi yang bisa membuat gigi penderita berwarna hitam.
2.6.2 Tablet
Yaitu obat bubuk yang dipadatkan dalam bentuk lonjong atau
lempengan. Tablet dapat di patahkan untuk mempermudah dalam menelan.
2.6.3 Bubuk/Puyer
Yaitu obat yang di tumbuk halus. Bubuk ini tidak dapat larut dalam air
dan dapat di berikan kepada penderita dengan cara berikut :
Dari kertas pembungkusnya di jatuhkan keatas lidah penderita
Kita campur dalam air atau susu (campuran tersebut harus terus kita aduk
karena bubuk itu tidak larut dalam cairan tersebut)
Di persiapkan dalam pembungkus obat bubuk
2.6.4 Drase
Yaitu obat - obatan yang di bungkus oleh selaput tipis gula. Harus di
telan secara utuh karena dapat mengandung obat - obatan yang mempunyai
kemampuan untuk mengiritasi selaput lendir lambung pasien.
2.6.5 Kapsul
Yaitu obat dalam bentuk cair, bubuk atau minyak dengan di bungkus
gelatin yang juga harus di telan secara utuh karena dapat menyebabkan
muntah akibat iritasi selaput lendir lambung pasien. Suatu obat di persiapkan
dalam bentuk kapsul dengan harapan agar tetap utuh dalam suasana asam
lambung tetapi menjadi hancur pada suasana netral atau basa di usus. Dalam
pemberian obat jenis kapsul, bungkus kapsul tidak boleh di buka, obat tidak
boleh dikunyah dan pasien diberitahu untuk tidak minum susu atau antacid
sekurang kurangnya satu jam setelah minum obat.
13
2.6.6 Sirup
Disini kita memakai sendok pengukur, gelas pengukur (yang kecil),
atau botol tetesan. Kadang -kadang sirup sebelum diminum harus dikocok
terlebih dahulu. Pemberiannya harus dilakukan dengan cara yang paling
nyaman khususnya untuk obat yang pahit atau rasanya tidak enak. Pasien
dapat diberiminum dingin (es) sebelum minum sirup tersebut. Sesudah
minum sirup, pasien dapat diberi minum, pencuci mulut atau kembang gula.
14
2.8 Faktor Yang Berperan Dalam Penyerapan
2.8.1 Faktor Fisiologi
1. Permukaan Penyerap
Lambung tidak mempunyai permukaan penyerap yang berarti
dibandingkan dengan usus halus. Lambung lebih merupakan organ
penggetahan dibandingkan dengan organ penyerap. Namun mukosa lambung
dapat menyerap obat yang diberikan peroral, dan tergantung pada keadaan,
lama kontak menentukan terjadinya penyerapan pasif dan zat aktif lipofil dan
bentuk tak terionkan pada pH lambung yg asam (asam lemah seperti asam
salisilat, barbiturat).
Usus halus mempunyai luas permukaan penyerap 40-50 m2. Penyerapan
ini dapat terjadi secara kuat pada daerah tertentu tanpa mengabaikan keasaman
pH yang akan mengionisasi zat aktif atau menyebabkan pengendapan sehingga
penyerapan hanya terjadi pada daerah tertentu. Suatu alkaloida yang kuat dan
terionkan dalam cairan lambung, secara teori kurang sediserap. Bila pH
menjadi netral atau alkali, bentuk basanya akan mengendap pada pH. Bentuk
basa tersebut kadang-kadang sangat tidak larut untuk dapat diserap dalam
jumlah yang cukup. Leh sebab itu harus dirancang suatu bentuk sediaan dengan
perlepasan dan pelarutan zat aktif yang cepat.
2. Umur
Terjadinya keadaan dosis-lebih disebabkan oleh adanya penyerapan tak
terkontrol.Pada bayi dan anak-anak, sebagian seistem enzimnya belum
berfungsi sempurna sehingga dapat terjadi dosis lebih pada zat aktif tertentu
yang disebabkan tidak sempurnanya proses detoksifikasi metabolik, atau
karena penyerapan yang tidak sempurna dan karena gangguan saluran cerna
sebagai akibat adanya bahan tambahan tertentu yang tidak dapat diterima.Oleh
sebab itu pengaturan dosis obat pada bayi tidak dapat dihitung dengan rumus
yang sederhana seperti pada orang dewasa, tetapi harus menggunakan fungsi
berat badan.
15
Pada penderita tua, terlihat fenomena penurunan penyerapan dan
kecendurungan menurunnya HCl lambung sehingga mengurangi penyerapan
asam lemah.
Posologi pada penderita tua tampaknya sangat dipengaruhi oleh faktor
individu. Secara sederhana pemberian obat pada keadaan tersebut harus
dilaksanakan dengan sangat hati-hati.
3. Sifat Membran Biologik
Sifat membran biologik sel-sel penyerap pada mukosa pencernaan akan
mempengaruhi proses penyerapan. Sifat utama lipida memungkinkan
terjadinya difusi pasif zat aktif dengan sifat lipofil tertentu dari bentuk yang tak
terionkan dilambung dan terutama diusus besar. Semua jenis transpor zat aktif
diusus halus yang meliputi:
Transpor dengan pembentukan pasangan ion
Transpor sederhana
Transpor aktif
Pinositosis
Adanya berbagai mekanisme tersebut menyebabkan pelipat ganda
kemampuan penyerapan usus halus dibandingkan dengan kemampuan usus
besar.
4. Laju Perlewatan
Laju transit dan waktu tinggal dilambung merupakan salah satu faktor
yang sangat penting, yang mempengaruhi intensitas penyerapan. Suatu zat aktif
yang sukar diserap lambung seharusnya tidak tinggal lama dilambung. Oleh
sebab itulah waktu pengosongan lambung sebaiknya diusahakan terjadi lebih
cepat. Sebaliknya bila transit diusus berjalan lambat, hal tersebut
menguntungkan bagi zat aktif yang hanya diserap pada bagian tertentu saluran
cerna, terutama dalam hal transpor aktif. Contoh yang klasik adalah riboflavin
yang diserap pada bagian atas usus halus. Bila obat dalam keadaan terlarut
melewati daerah penyerapan terlalu cepat maka penyerapannya menjadi sangat
sedikit. Fenomena yang sama juga terjadi pada tetrasiklina, fenisilina, seofulvin
dan garam-garam besi (fe).
16
Kecepatan transit dilambung tak dapat dikontrol selama waktu makan dan
gumpalan makanan meninggalkan lambung bertahap dalam waktu yang lama
ataupun singkat.
2.8.2 Faktor Patologi
1. Gangguan Fungsi Pengetahan
Psikis merupakan satu faktor yang dapat meningkatkan atau menghambat
proses pengeluaran getah. Pada orang pemarah akan terjadi
peningkatan pengeluaran getah dan sebaliknya akan terjadi hambatan
pengeluaran getah pada seseorang yang depresif.
Pengeluaran getah lambung meningkat pada keadaan tukak duedenum
yang mana berlebihan asam dapat merusak aktivitas enzim pankreatik.
Sebaliknya pengeluaran getah lambung berkurang pada keadaan pH yang
meningkat akibat tukak lambung, gastritis kronis, penyakit beimer dan
diabetes.
Tidak cukupnya pengeluaran getah empedu yang disebabkan oleh
pembuntuan (obstruksi) saluran empedu akan menghambat penyerapan lemak
dan vitamin yang larut dalam lemak.
2. Gangguan Transit
Waktu tinggal dalam lambung pada umumnya akan meningkat pada
keadaan:
Penyempitan pilorus (stenose pylorus)
Tukak lambung (ulkus ventriculi) pada bagian juxta pylorus
Kelainan pembuluh darah tertentu
Sprue
Myxcodemia (salah satu bentuk peradangan kelenjar)
Gerakan usus halus tergantung pada sistem simpatik dan semua hal yang
berpengaruhi gerakan tersebut juga akan mempengaruhi waktu transit. Tukak
duedenal menyebabkan gerakan duodenum yang berlebihan sedangkan sprue
dan colitis ulcerosa (keradangan usus besar yang bersifat seperti tukak)
umumnya menghambat gerakan usus.
17
3. Gangguan Penyerapan
a. Pengurangan luas permukaan penyerap
Pembedahan: Gastrectomie (berpengaruh pada luas permukaan penyerap,
pemotongan usus (pengaruhnya tergantung pada panjang dan letak
pemotongan)
Anomali atau cacat pada mukosa permukaan, baik karena bawaan atau
karena perolehan :entropati pada gluten, intoleransi selektif pada
karbohidrat dan pertumbuhan mikroba.
b. Perubahan Media Usus
Penambahan senyawa anti mikroba atau anti parasit dapat
memutuskan ikatan konjugasi garam empedu (akibat terjadi kesalahan
penyerapan lemak dan vitamin yang larut lemak), dan merusak zat aktif
sebelum diserap (vitamin B12).
Adanya bahan obat antimikroba berspektrum luas dapat mengganggu
keseimbangan flora usus, misalnya neomisina dapat merintangi kerja.
Lipase pankreatik dan garam empedu
18
2. Kerugian
Kerugian dari pemberian obat per oral adalah :
a. Pada aksinya yang lambat sehingga cara ini tidak dapat di pakai pada
keadaan gawat.
b. Obat yang di berikan per oral biasanya membutuhkan waktu 30 sampai
dengan 45 menit sebelum di absorbsi dan efek puncaknya di capai setelah 1
sampai dengan 1 ½ jam.
c. Rasa dan bau obat yang tida enak sering mengganggu pasien.
d. Cara per oral tidak dapat di pakai pada pasien yang mengalami mual-mual,
muntah, semi koma, pasien yang akan menjalani pangisapan cairan lambung
serta pada pasien yang mempunyai gangguan menelan.
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Biofarmasetika adalah ilmu yang menguji keterkaitan antara sifat
fisikokimia obat ini, bentuk sediaan di mana obat diberikan, dan rute pemberian
pada tingkat dan tingkat penyerapan obat sistemik.
Pemberian obat per oral merupakan cara yang paling banyak dipakai
karena ini merupakan cara yang paling mudah, murah, aman, dan nyaman bagi
pasien. Berbagai bentuk obat dapat di berikan secara oral baik dalam bentuk
tablet, sirup, kapsul atau puyer.
Fase biofarmasetika dapat diuraikan dalam tiga tahap utama, yaitu L.D.A
yang berarti Liberasi (pelepasan), Disolusi (Pelarutan), dan Absorpsi (penyerapan.
Seperti halnya dengan sistem A.D.M.E pada nasib zat aktif in vivo, maka ketiga
tahap L.D.A berbeda pada setiap jalur.
3.2 Saran
Bagi mahasiswa dan mahasiswi diharapkan untuk menambah wawasan
dengan banyak membaca buku dan terus mencari informasi tentang
biofarmasetika sediaan obat melalui oral.
20
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Empat. Jakarta: UI
Press
Irianto, K. 2014. Anatomi dan Fisiologi. Bandung: Penerbit Alfabeta
Ganiswara, S.G. 1955. Farmakologi dan Terapi. Edisi Keempat. Jakarta: Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran UI.
Shargel, Leon, Susanna, Wu-Pong dan Andrew, BC. 2005. Applied
Biopharmaceutics and Pharmacokinetics. Edisi Kelima. Surabaya: Pusat
Penerbitan dan Percetakan Universitas Airlangga.
Tjay, T.H dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting. Jakarta: PT Gramedia