Anda di halaman 1dari 29

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

“KUSTA (Lepra)”

DISUSUN OLEH :

NILAM SARI MUSLIMIN A.

FIFI LESTARI SRI MULIANA

RISDAWATI MUH ARJUN WIRAYA

SYAHRA RAMADHANI MARLIANI SABIR

NURMA NURATIQA

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2018-2019
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Assalamu’alaykum Warohmatullahi Wabarokaatuh

Pertama-tama, marilah senantiasa kita memanjatkan Puji dan syukur atas kehadirat
Allah Swt. Yang telah memberikan kita kesempatan dan kesehatan sehingga kami dapat
menyelesaikan Tugas Makalah “KUSTA”. Tak lupa pula kita kirimkan salam dan shalawat
kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. Yang telah membawa kita dari alam kegelapan
menuju alam yang terang berderang seperti sekarang ini.

Penyusunan makalah ini merupakan tugas mata kuliah Keperawatan Medikal


Bedah III tahun 2018/2019. Tugas ini disusun sebagai salah satu penunjang nilai yang
diberikan oleh dosen dalam proses perkuliahan. Walaupun kami mengalami banyak kendala
dalam pembuatannya. Mengingat keterbatasan tersebut, sudah selayaknya penyusun
mengharapkan partisipasi dari Pembaca, terutama kritik dan saran yang bersifat membangun.
Sehingga pada kesempatan yang akan datang kami dapat menyusun makalah yang lebih baik
lagi.

Tak lupa pula, semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat menambah wawasan bagi
mahasiswa serta mendatangkan manfaat yang baik bagi kehidupan kita baik dalam kehidupan
bermasyarakat maupun dalam kehidupan beragama dan bernegara. Amin.

Wassalamu’alaykum warohmatullahi wabarokaatuh.

Samata, 11 September 2018

Penyusun
(Kelompok 4)

DAFTAR ISI

Halaman Sampul.................................................................................................

Kata Pengantar....................................................................................................

Daftar Isi.............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang......................................................................................
B. Rumusan masalah.................................................................................
C. Tujuan penulisan...................................................................................
D. Manfaat penulisan.................................................................................
BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Kusta ………………….…………………………………….


B. Etiologi Osteogenesis imperfec………………………………………
C. Manifestasi klinis Kusta ………………… …………..………………
D. Klasifikasi Kusta………………………………………………………
E. Patofisiologi Kusta ………………….………………………………..
F. Pemeriksaan Penunjang Osteogenesis imperfect ……..……………..
G. Pengaruh Diet TKTP Terhadap Asupan Gizi pasien Kusta ………….

BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN............................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.............................................................................................
B. Saran.......................................................................................................
Daftar Pustaka

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Penyakit lepra (kusta) adalah penyakit menular yang paling tidak menular.
Penyakit Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit sistematik yang mempunyai
predileksi pada kulit dan saraf yang disebabkan oleh Mycobakterium Leprae yang
mempunyai sifat neurotropis, yang biasa ditemukan intra neural dan ekstra neural
yang akan mengakibatkan kerusakan saraf. Penyakit kusta penularannya bisa lewat
kontak langsung (lewat kulit yang luka) atau lewat droplet yang keluar dari hidung
penderita. Droplet yang mengandung kuman ini masuk ke dalam saluran nafas
calon penderita kusta setelah itu baru menyebar keseluruh tubuh dan kemudian
berkembang biak di dalam organ tubuh yang cocok.(Muh.Dali Amiruddin, 2001).

Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang kronis, disebabkan oleh M.


leprae yang obligat intra seluler yang menyerang syaraf perifer, kulit, mukosa
traktus respiratorik bagian atas kemudian menyerang organ-organ lain kecuali
susunan saraf pusat. (Arif, 2000)

Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh mycobacterium


lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya
dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, system
endoteliel, mata, otot, tulang, dan testis. (Djuanda, 4.1997).

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah defenisi dari Kusta ?
2. Bagaimanakah patofisiologi dari Kusta ?
3. Bagaimanakah pengobatan dari penyakit Kusta?
4. Apa saja terapi diet yang baik pada penyakit Kusta ?
5. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pada pasien dengan penyakit Kusta ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk menjelaskan mengenai konsep dan defenisi dari Kusta.


2. Untuk memberikan gambaran mengenai patofisiologi Kusta.
3. Untuk menjelaskan pengobatan yang sesuai dengan Kusta.
4. Untuk memberikan pemahaman mengenai terapi diet yang tepat pada Kusta.
5. Untuk memberikan pemahaman mengenai asuhan keperawatan pada Kusta.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk menambah konsep pengetahuan mengenai penyakit Kusta.
2. Sebagai bahan referensi dalam proses pembelajaran.
3. Sebagai bahan pertimbangan dalam penulisan asuhan keperawatan.

BAB II
KONSEP MEDIS
A. Definisi

Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh mycobacterium

lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya
dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, system

endoteliel, mata, otot, tulang, dan testis. (Djuanda, 4.1997).

Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang

saraf perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Lepra : Morbus hansen,

HamseniasisReaksi : Episode akut yang terjadi pada penderita kusta yang masih

aktiv disebabkan suatu interaksi antara bagian-bagian dari kuman kusta yang telah

mati dengan zat yang telah tertimbun di dalam darah penderita dan cairan

penderita.

B. Etiologi

M. Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang

ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873.

Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar

0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu,

hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur

dalam media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada

binatang Armadillo.

Penyakit kusta disebabkan oleh bacteri yang bernama mycobacterium lepra.

Dimana mycrobacterium ini adalah kuman aero, tidak membentuk spora,

membentuk batan, dikelilingi oleh membrane sel lilin yang merupakan ciri dari

spesies mycrobacterium, berukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro

biasanya berkelompok da nada yang tersebar satu-satu. Hidup dalam sel dan

bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif, tidak mudah diwarnai namun jika

diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alcohol sehingga oleh

karena itu dinamakan sebagai basil ‘’tahan asam’’. Mycrobacterium lepra belum
dapat di kultur oleh labilatorium. Kuman ini menular pada manusia melalui kontak

langsung dengan penderita (keduanya harus ada lesi baik mycroskopis maupun

makroskopis dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang), dan melalui

pernafasan, bakteri kusta ini mengalami proses perkembangbiakan 2- 3 minggu,

pertahanan bakteri ini dalam tubuh manusia mampu bertahan 9 hari di luar tubuh

manusia kemudian kuman membelah dalam jangka 12-21 hari dengan masa

ingkubasi rata-rata 2 hingga 5 tahun bahkan juga dapat memakan waktu lebih dari

5 tahun. Setelah 5 tahun tanda-tanda seorang menderita kusta mulai muncul antara

lain kulit mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh

hingga tidk berfungsi sebagaimana mestinya. Penatalaksanaan kasus yang buruk

dapat menyebabkan kusta menjadi progresif, menyebabkan kerusakan permanen

kulit, saraf, anggota gerak dan mata.

C. Manifestasi Klinis

Gejala kusta antara lain :

1. Bercak putih (hipopigemtasi) yang mati rasa biasanya daerah bercak putih

tidak ada keringat dan bulu.

2. Adanya penebalan saraf tepi dengan disertai gangguan fungsi (hanya dapat

diidentifikasi oleh tenaga yang sudah ahli atau terlatih).

3. Gangguan fungsi saraf meliputi mati rasa/kurang rasa, pareses dan

paralisis, kulit kering, retak dan edema (bengkak).

Ada beberapa tanda yang bisa didapatkan pada penderita kusta :

1. Tanda pada kulit bercak kulit yang merah, kulit yang mengkilap. Bercak

tidak gatal, lesi kulit yang tidak berkeringat atau berambut.


2. Tanda pada saraf rasa kesemutan , tertusuk-tusuk atau nyeri, gangguan

gerak pada anggota badan atau wajah

3. Cacat/deformitas

4. Ulkus yang tidak kun juang sembuh.

D. Klasifikasi

Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling

1. Tipe Tuberkoloid ( TT )

a. Mengenai kulit dan saraf.

b. Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas,

regresi, atau, kontrol healing ( + ).

c. Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama

dengan psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang

teraba, kelemahan otot, sedikit rasa gatal.

d. Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya

respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.

2. Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )

a. Hampir sama dengan tipe tuberkoloid

b. Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe

TT.

c. Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.

d. Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.

3. Tipe Mid Borderline ( BB )

a. Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.

b. Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.


c. Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi

melebihi tipe BT, cenderung simetris.

d. Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.

e. Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk

oralpada bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe

ini.

4. Tipe Borderline Lepromatus ( BL )

Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke

seluruh tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa

nodus melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak seperti punched out.

Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya

keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan

penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat prediteksi.

5. Tipe Lepromatosa ( LL )

a. Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap,

batas tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada

stadium dini.

b. Distribusi lesi khas :

1) Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.

2) Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat

bawah.

c. Stadium lanjutan :

1) Penebalan kulit progresif

2) Cuping telinga menebal


3) Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat

disertai madarosis, intis dan keratitis.

d. Lebih lanjut

1) Deformitas hidung

2) Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis

3) Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.

4) Penyakit progresif, makula dan popul baru.

5) Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.

e. Stadium lanjut

Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan

anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.

6. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley &

Jopling)

a. Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.

b. Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang

dapat ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.

c. Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.

d. Sebagian sembuh spontan.

Gambaran klinis organ lain

a. Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan

b. Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana

c. Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis

d. Lidah : ulkus, nodus

e. Larings : suara parau


f. Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi

g. Kelenjar limfe : limfadenitis

h. Rambut : alopesia, madarosis

i. Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis

interstitial.

E. Patofisiologi

Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah

dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Selain

manusia, hewan yang dapat tekena kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet

pemakan kepiting.

Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M.

leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah

melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga

tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada

setiap individu. Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor

penyebab.

Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak

antara orang yang terinfeksi dan orang yang sehat. Dalam penelitian terhadap

insidensi, tingkat infeksi untuk kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per

1000 per tahun di Cebu, Philipina hingga 55,8 per 1000 per tahun di India Selatan.

Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit

dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan

adnaya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat

dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit.


Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel

deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan

bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan

adanya sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di

penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa

organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat.

Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898.

Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut

Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa

sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di sekret

hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien

lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.

Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat

ini diperkirakan bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang dari

masuknya bakteri. Rees dan McDougall telah sukses mencoba penularan kusta

melalui aerosol di mencit yang ditekan sistem imunnya. Laporan yang berhasil

juga dikemukakan dengan pencobaan pada mencit dengan pemaparan bakteri di

lubang pernapasan.

Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti

berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah

beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda.

Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan

berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah


endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah

disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.

F. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Bakteriologis

Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:

1) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.

2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak

ditemukan lesi ditempat lain.

3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu

ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.

4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium

leprae ialah: Cuping telinga kiri atau kanan, Dua sampai empat lesi kulit

yang aktif ditempat lain

5) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena: Tidak

menyenangkan pasien, Positif palsu karena ada mikobakterium lain, Tidak

pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung apabila

sedian apus kulit negative, Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis

selaput lendir hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat

lain.

6) Indikasi pengambilan sediaan apus kulit: Semua orang yang dicurigai

menderita kusta, Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai

pasien kusta, Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena

tersangka kuman resisten terhadap obat, Semua pasien MB setiap 1 tahun

sekali.
7) Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu

ziehl neelsen atau kinyoun gabett

8) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara

zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman

yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah

(fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.

Indeks Bakteri (IB):

Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus.

IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan.

Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:

0 :bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang

1 :bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang

2 :bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang

3 :bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

4 :bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

5 :bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

6 :bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

Indeks Morfologi (IM).

Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM

digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil

pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat

b. Penatalaksanaan Medik

a. Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien

kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan

dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk

menurunkan insiden penyakit.

Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,

klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk

mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi

ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi

persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995

sebagai berikut:

1. Tipe PB ( PAUSE BASILER)

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :

a) Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas

b) DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah

Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai

minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif.

Menurut WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan

istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam

pengawasan.

2. Tipe MB ( MULTI BASILER)

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:

a) Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas


b) Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan

klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah

c) DDS 100 mg/hari diminum dirumah

Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan

sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis

lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998)

pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18

bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

Dosis untuk anak

a. Klofazimin:

Umur dibawah 10 tahun :

1) Bulanan 100mg/bln

2) Harian 50mg/2kali/minggu

Umur 11-14 tahun

1) Bulanan 100mg/bln

2) Harian 50mg/3kali/minggu

3) DDS:1-2mg /Kg BB

4) Rifampisin:10-15mg/Kg BB

d) Pengobatan MDT terbaru

Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998),

pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal

rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien

langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi


diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat

alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.

e) Putus obat

Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis

dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe

MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang

seharusnya.

b. Perawatan Umum

Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan.

Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi,

baik karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan

reaksi netral.

1. Perawatan mata dengan lagophthalmos

a) Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau

kotoran

b) Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat

c) Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu

2. Perawatan tangan yang mati rasa

a) Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda- tanda

luka, melepuh

b) Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang

setengah jam

c) Keadaan basah diolesi minyak

d) Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus


e) Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku

f) Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka

3. Perawatan kaki yang mati rasa

a) Penderita memeriksa kaki tiap hari

b) Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam

c) Masih basah diolesi minyak

d) Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus

e) Jari-jari bengkok diurut lurus

f) Kaki mati rasa dilindungi

4. Perawatan luka

a) Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam

b) Luka dibalut agar bersih

c) Bagian luka diistirahatkan dari tekanan

d) Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas

Tanda penderita melaksanakan perawatan diri:

a) Kulit halus dan berminyak

b) Tidak ada kulit tebal dan keras

c) Luka dibungkus dan bersih


d) Jari-jari bengkak menjadi kaku.
G. Pengaruh Diet TKTP Terhadap Asupan Gizi

Asupan gizi secara normal dipengaruhi oleh banyaknya makanan yang


dikonsumsi oleh seseorang. Kolerasi antara jumlah makanan adalah korelasi
positif dengan jumlah asupan artinya jika dikondisikan seseorang diberi makan
yang lebih banyak maka asupannya juga akan meningkat pada pasien dirumah
sakit korelasi ini tidak selalu positif artinya jika diberikan makanan dengan tinggi
kalori tinggi rotein maka belum tentu juga akan diikuti dengan meningkatnya
asupan zat gizi. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi pasien.

Kondisi pasienlah yang akhirnya akan menentukan kuantitas dan kualitas


asupan gizinya. Pada sisi perencanaan kebutuhan gizi pasien ditentukan dengan
kecukupan, namun pada sisi implementasi penerimaan pasien akan makanan
yang diberikan akan menentukan jumlah zat gizi yang dikonsumsi. Kondisi
pasien kusta terkait dengan asupan gizi atau asupan makanan, ditentukan oleh
sifat penyakitnya.

Pasien kusta akan memiliki respon terhadap mikrobakterium liprae setelah


masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada
keteraturan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung
pada derajat sistem imunitas seluler pasien. Kalau sistem imunitas tinggi,
penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang ke arah
lepra metosa. Mikrobacterium liprae berpredeleksi di daerah-daerah yang relatif
lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat
penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respon imun pada
setiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selular
daripada intensitas infeksi oleh karena itu penyakit kusta bisa disebut sebagai
penyakit imunologik. (Departemen Kesehatan 2007 & Manjoer 2007)

Reaksi kusta memiliki efek yang sangat besar terhadap metabolisme gizi di
dalam tubuh. Setidaknya dua hal yang dikemukakan oleh prawoto (2005) bahwa
pada rekasi kusta tipe 1 terjadi kenaikan suhu tubuh ini jelas memicu katabolisme
energi dalam tubuh. Jika dalam keadaaan demikian, maka kebutuhan energi harus
mampu dipenuhi oleh asupan gizi yang cukup. Jika asupan energi tidak cukup
maka sumber energi cadangan berupa glikogen dan protein tubuh akan dialihkan
untuk memenuhi kebutuhan energi.
Prawoto (2005), menjelaskan bahwa penderita kusta yang merupakan episode
akut hipersensitifitas terhadap M. Leprae yang menyebabkan gangguan dalam
keseimbangan sistem imunologi. 6 reaksi kusta dibagi menjadi dua yaitu reaksi
kusta tipe 1 atau reaksi refersal dan reaksi kusta tipe 2 atau erythemanodousum
leprosum (NL). Reaksi kusta tipe 1 disebabkan karena meningkatnya kekebalan
seluler secara cepat, ditandai dengan adanya lesi kulit yang memerah, bengkak,
nyeri, panas, neuritis, gangguan fungsi saraf dan kadang disertai demam.
Sedangkan reaksi kusta tipe 2 yang merupakan reaksi humoral yang ditandai
dengan timbulnya nodul kemerahan, neuritis, gangguan

saraf tepi, gangguan konstitusi dan komplikasi pada organ tubuh


lainnya.Vijayarahavan (2005) melaporkan hasil penelitiannya dari india bahwa
salah satu zat gizi yang pentng bagi pasien kusta adalah vitamin E. Vitamin E ini
secara alami sebagai salah satu zat anti oksidan yang memiliki peran besar dalam
menurunkan stress pada pasien kusta. Reaksi oksigen spesies (ROS) pada
penderita kusta menyebabkan penurunan status oksidan dalam kasus kusta.
Turunnya antiksidan menyebabkan produksi radikal bebas akibat pemakaian
obat-obatan yang digunakan terapi kusta semakin meningkat. Intervensi dengan
suplemen anti oksidan seperti vitamin E mencegah stress oksidatif. Penjelasan di
atas membuktikan bahwa peran gizi dalam penyembuhan penyakit kusta sangat
besar. Meskipun dalam penelitian ini tidak diketahui asupan vitamin E pada
pasien namun daro penjelasan ini membuktikan bahwa asupan gizi penting bagi
penderita kusta.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Biodata
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-

anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat

menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena

pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan

ekonomi lemah.

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan

adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf)

kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya

komplikasi pada organ tubuh

3. Riwayat Kesehatan Masa Lalu

Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam

kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.

4. Riwayat Kesehatan Keluarga

Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang

disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya

diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai

penyakit morbus hansen akan tertular.

5. Riwayat Psikososial

Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar

masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan,

sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami

gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi

yang diderita.
6. Pola Aktivitas Sehari-Hari

Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan

kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain

dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan

7. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat

pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya

gangguan saraf tepi motorik.

a. Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea

mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi

mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata

akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II

reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan

mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada

alis mata maka alis mata akan rontok.

b. Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana

dan terdapat gangguan pada tenggorokan.

c. Sistem persarafan:

1) Kerusakan fungsi sensorik

Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa.

Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka,

sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.

2) Kerusakan fungsi motoric


Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-

lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari

tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan

pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata

tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).

3) Kerusakan fungsi otonom

Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan

sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan

akhirnya dapat pecah-pecah.

d. Sistem muskuloskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya

kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.

Sistem integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti

panu), bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul

(benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar

keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit

kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati

kerontokan jika terdapat bercak.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses

inflamasi

2. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi

jaringan

3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik


4. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan

ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh.

C. Intervensi keperawatan

1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses

inflamasi

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti

dan berangsur-angsur sembuh.

Kriteria : Menunjukkan regenerasi jaringan

Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi

Intervensi:

a. Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan

kondisi sekitar luka

Rasional: Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses

inflamasi dan atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.

b. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi

Rasional:menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan

sekitar.

c. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan

adakah penyebaran pada jaringan sekitar

Rasional :Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan

mengidentifikasi terjadinya komplikasi.

d. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam

Rasional:Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk

mempertahankan kebersihan lesi


e. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan

Rasional:Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan

2. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi

jaringan

Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti

dan berangsur-angsur hilang

Kriteria: Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat

berkurang.

Nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang

Intervensi:

a. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri

Rasional:Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan

intervensi.

b. Observasi tanda-tanda vital

Rasional:Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien

c. Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi

Rasional:Dapat mengurangi rasa nyeri

d. Atur posisi senyaman mungkin

Rasional:Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri

e. kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi

Rasional:menghilangkan rasa nyeri

3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik

Tujuan:Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat

teratasi dan aktivitas dapat dilakukan


Kriteria: Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari

Kekuatan otot penuh

Intervensi:

a. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman

Rasional: meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas

b. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit

Rasional: oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas

c. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif

kemudian aktif

Rasional: mencegah secara progresif mengencangkan jaringan,

meningkatkan pemeliharaan fungsi otot/ sendi

d. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan

periode istirahat

Rasional: meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas

e. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada

latihan

Rasional: menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam

perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstan

4. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan

ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh

Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi

secara optimal dan konsep diri meningkat

Kriteria: Pasien menyatakan penerimaan situasi diri


Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri

negative

Intervensi

a. Kaji makna perubahan pada pasien

Rasional: episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini

memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal

b. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan.

Perhatikan perilaku menarik diri.

Rasional: penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa

yang terjadi membantu perbaikan

c. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan

kenyakinan yang salah

Rasional: meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan

untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan

realitas

d. Berikan penguatan positif

Rasional: kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku

koping positif

e. Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat

Rasional: meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon

yang lebih membantu pasien.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh mycobacterium
lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya
dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, system
endoteliel, mata, otot, tulang, dan testis. (Djuanda, 4.1997).
Penyakit kusta disebabkan oleh bacteri yang bernama mycobacterium lepra.
Dimana mycrobacterium ini adalah kuman aero, tidak membentuk spora,
membentuk batan, dikelilingi oleh membrane sel lilin yang merupakan ciri dari
spesies mycrobacterium, berukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro
biasanya berkelompok da nada yang tersebar satu-satu. Hidup dalam sel dan
bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif, tidak mudah diwarnai namun jika
diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alcohol sehingga oleh
karena itu dinamakan sebagai basil ‘’tahan asam’’.
B. Saran
Penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan bagi seluruh
Mahasiswa dan dapat menambah pengetahuan bagi rekan-rekan mahasiswa.
Demi penyempurnaan makalah ini, Kami mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif.

DAFTAR PUSTAKA
Sjamsoe – Daili, Emmi S. 2003. Kusta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia : Jakarta.


Stadar asuhan keperawatan RSUD Tugurejo Semarang. 2002. Ruang Kusta. Propinsi

Jawa Tangah

Sjamsuhidajat. R dan Jong, Wimde. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC :

Jakarta.

Depkes, 1998, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan ke-XII,

Depkes Jakarta

Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius,

Jakarta.

Juall, Lynda, Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II,

EGC. Jakarta, 1995

Simposium Penyakit Kusta, FKUA Surabaya

Marrilyn, Doenges, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai