Anda di halaman 1dari 48

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya, kami dapat menyusun makalah ini yang berjudul “Gambaran Radiologi
Fraktur” dengan baik. Adapun maksud dan tujuan kami menyusun karya tulis ini
untuk memenuhi tugas stase Radiologi.

Kami mengucapkan terimakasih kepada dr. Amelia Tjandra, M.Kes, Sp.Rad selaku
pembimbing materi dalam pembuatan makalah ini, serta kepada semua pihak yang
telah mendukung dalam menyusun makalah ini.

Kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan yang terdapat dalam karya tulis
ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran kepada berbagai pihak
untuk kami jadikan sebagai bahan evaluasi. Kami berharap makalah ini bisa dijadikan
tambahan referensi untuk pembuatan naskah ilmiah selanjutnya.

Surakarta, April 2018

Penyusun

1
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Pengertian
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas dari struktur tulang, tulang rawan dan
lempeng pertumbuhan yang disebabkan oleh trauma dan non trauma. Tidak hanya
keretakan atau terpisahnya korteks, kejadian fraktur lebih sering mengakibatkan
kerusakan yang komplit dan fragmen tulang terpisah. Tulang relative rapuh, namun
memiliki kekuatan dan kelenturan untuk menahan tekanan. Fraktur dapat diakibatkan
oleh cedera, stres yang berulang, kelemahan tulang yang abnormal atau disebut juga
fraktur patologis (Solomon et al., 2010).
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat pada tahun 2011-2012 terdapat 5,6 juta
orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita fraktur akibat kecelakaan lalu
lintas. Fraktur merupakan suatu kondisi dimana terjadi diintegritas tulang. Penyebab
terbanyak fraktur adalah kecelakaan, baik itu kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas
dan sebagainya. Tetapi fraktur juga bisa terjadi akibat faktor lain seperti proses
degenerative dan patologi (Depkes RI, 2005). Menurut Depkes RI 2011, dari sekian
banyak kasus fraktur di indonesia, fraktur pada ekstremitas bawah akibat kecelakaan
memiliki prevalensi yang paling tinggi diantara fraktur lainnya yaitu sekitar 46,2%.
Dari 45.987 orang dengan kasus fraktur ekstremitas bawah akibat kecelakaan, 19.629
orang mengalami fraktur pada tulang femur, 14.027 orang mengalami fraktur cruris,
3.775 orang mengalami fraktur tibia, 9702 orang mengalami fraktur pada tulang-
tulang kecil di kaki dan 336 orang mengalami fraktur fibula.
Di Indonesia angka kejadian patah tulang atau insiden fraktur cukup tinggi,
berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI tahun 2013 didapatkan sekitar
delapan juta orang mengalami kejadian fraktur dengan jenis fraktur yang berbeda
dan penyebab yang berbeda. Dari hasil survey tim Depkes RI didapatkan 25%
penderita fraktur yang mengalami kematian, 45% mengalami catat fisik, 15%

2
mengalami stress psikologis seperti cemas atau bahkan depresi, dan 10% mengalami
kesembuhan dengan baik (Depkes RI 2013).

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Fraktur
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas dari struktur tulang, tulang rawan dan
lempeng pertumbuhan yang disebabkan oleh trauma dan non trauma. Tidak hanya
keretakan atau terpisahnya korteks, kejadian fraktur lebih sering mengakibatkan
kerusakan yang komplit dan fragmen tulang terpisah. Tulang relative rapuh, namun
memiliki kekuatan dan kelenturan untuk menahan tekanan. Fraktur dapat diakibatkan
oleh cedera, stres yang berulang, kelemahan tulang yang abnormal atau disebut juga
fraktur patologis (Solomon et al., 2010).

B. Anatomi Tulang
SISTEM RANGKA
Sistem rangka terdiri dari:
- Tulang
- Tulang rawan (kartilago)
- Sendi

4
Gambar 1. Sistem rangka (Paulsen & Washke, 2013)

Fungsi sistem rangka

- Memberi topangan dan bentuk tubuh.


- Pergerakan.
- Perlindungan.
- Membentuk sel darah.
- Tempat penyimpanan mineral

Kategori Tulang

- Tulang panjang
- Tulang pendek
- Tulang pipih

5
- Tulang ireguler

Gambar 2. Tipe tipe tulang (Paulsen & Washke, 2013)

6
Gambar 3. Pembentukan tulang (Paulsen & Washke, 2013)

Rangka manusia tersusun dari sekitar 206 tulang


Digolongkan :
1. Rangka Aksial : rangka yang mendukung kepala, leher dan batang tubuh
2. Rangka Apendiculer : rangka anggota gerak

Rangka Aksial 80 tulang.


Terdiri dari :
1. Tengkorak
2. Kolumna vertebralus
3. Rangka thorax
4. Tulang telinga
5. Tulang hyoid
Rangka Apendiculer 126 tulang.
Terdiri dari:
1. Tulang lengan dan tungkai
2. Tulang Pectoral.
3. Pelvis.

7
Tersusun dari 22 tulang : 8 tulang kranial dan 14 tulang fasial.

1. Kranium :
a. Tulang frontal/dahi
b. Tulang parietal/puncak kepala.
c. Tulang oscipital/belakang kepala.
d. Tulang temporal/samping.
e. Tulang ethmoidal/hidung dalam.
f. Tulang sphenoidal/dasar kepala.
g. Tulang pendengaran.
h. Tulang warmian/tulang kecil diantara tulang kepala.

2. Tulang wajah.
a. Tulang nasal/hidung.
b. Tulang palatum/langit2 mulut.
c. Tulang zygomatikus/pipi.
d. Tulang maksila/rahang atas.
e. Tulang lakrimal/kel air mata.
f. Tulang mandibula/rahang bawah.

8
Gambar 4. Tulang tengkorak (Paulsen & Washke, 2013)

Gambar 5. Tulang tengkorak (Paulsen & Washke, 2013)

TULANG VERTEBRAE

• Terdiri dari :
1. Vertebra serviks 7 tulang
2. Vertebra thoraks 12 tulang
3. Vertebra lumbal 5 tulang

9
4. Sakrum.
5. Coccygis/tulang ekor.
Diantara tulang tulang vertebrata dilapisi dengan discus intervertebralis.

Gambar 6. Tulang vertebrae (Paulsen & Washke, 2013)

Satu tulang vertebrata terdiri dari :


1. Badan tulang / sentrum.
2. Lengkung saraf.
3. Prosesus spinosus.
4. Prosesus transversa.
5. Prosesus artikuler.

10
Gambar 7. Tulang vertebrae (Paulsen & Washke, 2013)

Gambar 8. Tulang vertebrae (Paulsen & Washke, 2013)

TULANG DADA DAN IGA

Terdiri dari :

1. Sternum/tulang dada :
- manubrium
- corpus
- prosesus xypoideus
2. Costa/tulang iga.
Terdiri dari:
a. Iga sejati 7 buah.

11
b. Iga semu 3 buah.
c. Iga melayang 2 buah

Gambar 9. Tulang pada regio thorax (Paulsen & Washke, 2013)

Rangka Apendiculer

A. Girdel Pectoral
Ada 2 tulang :
1. Skapula.
2. Klavikula.
B. Lengan terdiri dari:
1. Humerus / lengan atas.
2. Ulna / lengan bawah sisi dalam.
3. Radius / lengan bawah sisi luar.
4. Karpal / pergelangan tangan.
5. Tangan : a. Metakarpal / telapak.
b. Phalanges / jari.

12
Tulang Bahu

Gambar 10. Tulang bahu (Paulsen & Washke, 2013)

13
Gambar 11. Tulang tangan (Paulsen & Washke, 2013)

Tungkai terdiri dari: Femur / paha :


1. Patela / lutut.
2. Tibia / tulang kering.
3. Fibula / sebelah tulang kering.
4. Tarsal / pergelangan kaki.
5. Kaki : a. Metatarsal / telapak kaki.
b. Phalanges / jari.
Pelvis

Meliputi:
1. Coxae : Ilium, ischium, pubis
2. Simpisis pubis

14
Gambar 13. Tulang pada pelvis (Paulsen & Washke, 2013)

C. Klasifikasi Fraktur
Fraktur merupakan terputusnya kontinuitas struktur tulang. Etiologi terjadinya
fraktur dibagi menjadi dua penyebab utama yaitu trauma dan peristiwa patologis.
Berikut akan dijabarkan peristiwa-peristiwa yang biasa menyebabkan terjadinya
fraktur. Peristiwa trauma dibagi menjadi tiga yaitu pertama kekerasan langsung
misalnya pada tulang kaki yang terlindas mobil pada saat terjadi kecelakaan lalu
lintas, pada keadaan seperti ini tulang dapat patah pada titik terjadinya kekerasan itu.
Patah tulang demikian sering bersifat terbuka, dengan garis melintang atau miring.
Kedua, kekerasan tidak langsung. Kekerasan ini menyebabkan patah tulang di titik
yang jauh dari titik yang mendapat kekerasan. Misalnya jika ada seseorang yang jatuh
dari ketinggian dengan tumit kaki terlebih dahulu, bukan hanya tulang tumit yang
patah tetapi biasa juga tulang tibia. Ketiga, kekerasan akibat tarikan otot. Contohnya
patah tulang akibat tarikan otot adalah patah tulang patella dan olecranon, karena otot
triseps dan biceps mendadak berkontraksi.

15
Sedangkan pada peristiwa patologis terdiri dari stress dan kelemahan tulang.
Kelelahan atau stress fraktur. Fraktur ini terjadi pada orang yang melakukan aktivitas
berulang-ulang pada suatu daerah tulang atau menambah tingkat aktivasi yang berat
dari biasanya.
Secara garis besar, fraktur dapat dibagi menjadi fraktur komplit dan
inkomplit. Pada fraktur komplit, tulang-tulang benar patah menjadi dua fragmen atau
lebih. Sedangkan fraktur inkomplit adalah patahnya tulang hanya pada satu sisi saja.
Selain fraktur komplit dan inkomplit, ada beberapa pembagian dari fraktur yang
disesuaikan dengan masing-masing kategori.

Gambar 14. Jenis jenis fraktur (Asrizal, R.A. 2014)

Fraktur Komplit :
1. Fraktur transversal
Yaitu jenis garis patahan melintang dan sering terjadi.

16
(a) (b)
Gambar 15. (a) klinis Fraktur transversal, (b) gambar radiologi Fraktur
transversal posisi AP/Lateral (Asrizal, R.A. 2014).
2. Fraktur obliq
Fraktur obliq yaitu jenis garis patahan miring.Secara khas disebabkan oleh stress
rotasi.

(a) (b)
Gambar 16. (a) klinis Fraktur obliq, (b) gambar radiologi Fraktur obliqposisi
AP/Lateral (Asrizal, R.A. 2014)
3. Fraktur spiral
Yaitu jenis garis patahan melingkar.

17
(a) (b)
Gambar 17. (a) klinis Fraktur spiral, (b) gambar radiologi Fraktur spiralposisi
AP/Lateral (Asrizal, R.A. 2014)
4. Fraktur impaksi
Fragmen fraktur yang satu tertancap kuat bersama menjadi satu

(a) (b)
Gambar 18. (a) klinis Fraktur impaksi, (b) gambar radiologi Fraktur
impaksiposisi AP/Lateral (Asrizal, R.A. 2014)
5. Fraktur komunitif

18
Terdapat lebih dari dua fragmen fraktur yang biasanya terpecah belah.

(a) (b) (c)


Gambar 19. (a) klinis Fraktur komunitif, (b) dan (c) gambar radiologi Fraktur
komunitifposisi AP/Lateral (Asrizal, R.A. 2014)

6. Fraktur intra-artikuler ( fraktur mengenai permukaan sendi )

(a) (a)

19
(b)

(c)
Gambar 20. (a) klinis Fraktur intra artikuler, (b) dan (c) gambar radiologi Fraktur
intra artikulerposisi AP/Lateral (Asrizal, R.A. 2014)
Fraktur Inkomplit :
1. Greenstick fracture ( fraktur ini sering ditemui pada anak ) . Pada tipe fraktur ini,
tulang melengkung disebabkan oleh konsistensinya yang elastic. Periosteumnya
tetap utuh. Fraktur ini biasanya mudah diatasi dan sembuh dengan baik.

20
(a) (b)
Gambar 21. (a) klinis Fraktur Greenstick, (b) gambar radiologi FrakturGreenstick
posisi oblik (Asrizal, R.A. 2014)

2. Fraktur kompresi ( fraktur ini lebih sering mengenai orang dewasa dan secra khas
mengenai korpus vertebra dan calcaneus )

(a) (b)
Gambar 22. (a) klinis Fraktur kompresi vertebra, (b) gambar radiologi
Frakturkompresi vertebra posisi lateral (Asrizal, R.A. 2014)

21
Berdasarkan hubungan tulang dengan jarigan disekitarnya fraktur dapat dibagi
menjadi :
1. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar.

Gambar 23. Fraktur tertutup (Asrizal, R.A. 2014)


2. Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka dibagi
menjadi tiga derajat ( menurut R.Gustillo ), yaitu :

Gambar 24. Fraktur terbuka (Asrizal, R.A. 2014)


a. Derajat I :

22
- Luka <1 cm
- Kerusakan jaringan lunak sedikit, relatif tanda luka remuk
- Fraktur sederhana,transversal,oblik atau komunitif ringan
- Kontaminasi minimal
b. Derajat II :
- Laserasi >1 cm
- Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
- Frakur komunitif sedang
- Kontaminasi sedang
c. Derajat III :
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot,
dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur tebuka derajat III
terbagi atas :
- Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat
laserasi luas/flap/avulse atau fraktur segmental/sangat komunitif yang
disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran
luka.
- Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau
terkontaminasi.
- Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa
melihat kerusakan jaringan lunak.

Berdasarkan jumlah garis patah :


1. Fraktur komunitif : garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan
2. Fraktur segmental : garis patah lebih dari satu dan tidak berhubungan
3. Fraktur multiple : garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan
tempatnya.
4. Fraktur simple : terdiri dari satu garis patahan

Berdasarkan bergeser atau tidak :

23
1. Fraktur tidak bergeser : garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak
bergeser, periosteumnya masih utuh
2. Fraktur bergeser : terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang juga
disebut lokasi fragmen.

D. Fraktur Healing (Penyembuhan Fraktur)

Penyembuhan fraktur dicirikan oleh proses pebentukan tulang baru dengan


penyatuan fragmen tulang. Penyembuhan tulang dapat secara primer (tanpa
pembentukan kalus) maupun sekunder (dengan pembentukan kalus). Proses
penyembuhan fraktur bervariasi tergantung tipe tulang yang terlibat serta banyaknya
pergerakan pada lokasi fraktur. Strain mekanik berperan penting dalam mengarahkan
respon penyembuhan. Stabilisasi dan kompresi absolut akan mendorong terjadinya
penyembuhan tulang primer, sedangkan stabilisasi relatif akan mendorong terjadinya
penyembuhan sekunder. Namun, pergerakan yang berlebih dapat menimbulkan
penyembuhan yang terlambat (delayed) bahkan dapat menjadi tidak menyatu (non-
union). Penelitian eksperimental dan klinis menunjukkan bahwa pembentukan kalus
terjadi akibat respon terhadap pergerakan pada lokasi fraktur (Solomon et al., 2018).

Penyembuhan dengan penyatuan langsung / direct union (penyembuhan tulang


primer)

Pada lokasi fraktur stabil absolut, misal pada fraktur yang imobilisasi dengan
plat logam, tidak dapat memicu pembentukan kalus. Namun, pembentukan tulang
baru dengan osteoblas timbul secara langsung diantara fragmen. Gap antar
permukaan fraktur diselubungi oleh kapiler baru dan sel osteoprogenitor tumbuh
dimulai dari pangkal dan tulang baru akan terbentuk pada permukaan yang terekspos
(gap healing). Ketika celah atau gap sangat kecil (kurang dari 200 μm), osteogenesis
memproduksi tulang lamelar; gap yang lebih lebar akan diisi terlebih dahulu dengan
tulang anyaman, yang selanjutnya dilakukan remodeling untuk menjadi tulang

24
lamelar. Setelah 3‒4 minggu, fraktur sudah cukup kuat untuk melakukan penetrasi
dan bridging pada unit area remodeling, yaitu cutting cone osteoklastik yang diikuti
osteoblast. Dengan fikasi logam yang rigid, ketiadaan kalus menyebabkan tulang
bergantung pada implan logam dalam waktu lama untuk menjaga integritasnya,
menyebabkan meningkatnya risiko kegagalan implan. Selain itu, implan mengalihkan
beban stress dari tulang, yang dapat menjadi osteoporosis dan tidak dapat pulih
sepenuhnya sampai logam dilepaskan (Solomon et al., 2018).

Penyembuhan dengan kalus (penyembuhan tulang sekunder)

Penyembuhan dengan kalus, meskipun tidak langsung (indirect) memiliki


keuntungan antara lain dapat menjamin kekuatan tulang di akhir penyembuhan
tulang, dan kalus berkembang lebih kuat seiring dengan peningkatan stres (menurut
hukum Wolff). Pada penyembuhan tulang sekunder, operasi stabilisasi tidak selalu
diperlukan namun dapat mencegah penyatuan yang salah (malunion). Proses ini
adalah bentuk alamiah dari penyembuhan fraktur pada tulang tubular tanpa fiksasi,
proses ini terdiri dari lima fase, yaitu (Solomon et al., 2018) :

1. Pembentukan hematom
Saat terjadi trauma, terjadi perdarahan dari tulang dan jaringan lunak.
2. Inflamasi
Proses inflamasi terjadi dengan cepat ketika terbentuk hematom fraktur dan
pelepasan sitokin, dan bertahan hingga mulai terjadi pembentukan jaringan
fibrosa, kartilago, dan tulang (1-7 hari post fraktur). Osteoblas terbentuk untuk
menghilangkan nekrotik pada fragmen tulang.
3. Pembentukan kalus lunak
Setelah 2-3 minggu, terbentuk kalus lunak. Hal ini terjadi ketka fragmen sudah
tidak dapat bergerak bebas. Strain yang terpasang pada sel di celah fraktur
menimbulkan ekspresi faktor pertumbuhan dan sel progenitor terstimulasi untuk

25
menjadi osteoblast. Sel-sel membentuk jalinan tulang secara periosteal. Fraktur
masih bisa bersudut tetapi panjangnya stabil.
4. Pembentukan kalus keras
Ketika ujung fraktur terhubung satu sama lain, kalus keras terbentuk dan bertahan
sampai fragmen bersatu dengan kuat (3-4 bulan). Kalus tulang terbentuk di
pinggiran fraktur dan secara progresif bergerak secara terpusat.
5. Remodeling
Jalinan tulang secara perlahan digantikan oleh tulang lamelar. Proses ini dapet
berjalan beberapa bulan hingga beberapa tahun.

Periosteum merupakan sumber sel punca mesenkimal lokal yang dapat


meningkatkan perbaikan tulang. Untuk alasan ini sangat penting bahwa, sebanyak
mungkin, periosteum ditipertahankan di tempat dan viabel. Hal ini harus
dipertimbangkan ketika pelat kontak langsung dan menekan periosteum, berpotensi
merusak pasokan vaskular dan menyebabkan nekrosis periosteal (Solomon et al.,
2018).

Gambar 25. Penyembuhan fraktur. Lima tahap penyembuhan: (a) Hematoma: ada
kerusakan jaringan dan perdarahan di lokasi fraktur; (B) Inflamasi: sel-sel inflamasi
(sitokin) muncul di hematoma; tulang ujungnya mati dalam beberapa milimeter. (c)
Pembentukan kalus lunak: populasi sel berubah menjadi osteoblas; seiring waktu,

26
kalus dan jalinan tulang muncul di kalus fraktur. (D) pembentukan kalus keras:
fraktur bersatu secara solid. (e) Remodelling: tulang yang baru dibentuk diremodeling
agar menyerupai struktur normal. Jalinan tulang digantikan oleh tulang laminar.
(Appley & Solomon, 2018)

Gambar 26. Kalus dan pergerakan. Tiga kasus klinis dengan fraktur poros femur. (a)
dan (b) keduanya 6 minggu pasca fiksasi: pada (a) Kuntscher nail yang terpasang
kuat, mencegah gerakan, dan tidak ada kalus; di (b) nail terpasang longgar,
memungkinkan beberapa gerakan, terdapat kalus. (C) Pasien ini memiliki iritasi
serebral dan meronta-ronta liar; pada 3 minggu kalus berlebihan. (Appley &
Solomon, 2018)

E. Diagnosis

27
Dalam mendiagnosis fraktur yang dapat dilakukan pertama kali adalah
anamnesis baik dari pasien maupun pengantar pasien. Informasi yang digali adalah
mekanisme cedera, apakah pasien mengalami cedera atau fraktur sebelumnya. Pasien
dengan fraktur tibia mungkin akan mengeluh rasa sakit, bengkak dan
ketidakmampuan untuk berjalan atau bergerak, sedangkan pada fraktur fibula pasien
kemungkinan mengeluhkan hal yang sama kecuali pasien mungkin masih mampu
bergerak (Norvell,2017).
Selain anamnesis, pemeriksaan fisik juga memiliki peranan yang penting.
Pemeriksaan fisik yang dibutuhkan dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu look,
feel, move. Yang pertama look atau inspeksi di mana kita memperhatikan
penampakan dari cedera, apakah ada fraktur terbuka (tulang terlihat kontak dengan
udara luar). Apakah terlihat deformitas dari ekstremitas tubuh, hematoma,
pembengkakan dan lain-lain. Hal kedua yang harus diperhatikan adalah feel atau
palpasi. Kita harus mempalpasi seluruh ekstremitis dari proksimal hingga distal
termasuk sendi di proksimal maupun distal dari cedera untuk menilai area rasa sakit,
efusi, maupun krepitasi. Seringkali akan ditemukan cedera lain yang terjadi
bersamaan dengan cedera utama. Poin ketiga yang harus dinilai adalah move.
Penilaian dilakukan untuk mengetahui ROM (Range of Motion) (Buckley, 2018)..
Seringkali pemeriksaan ROM tidak bisa dilakukan karena rasa sakit yang dirasakan
oleh pasien tetapi hal ini harus tetap didokumentasikan (Patel, 2018).
Pemeriksaan ekstremitas juga harus melingkupi vaskularitas dari ekstrimitas
termasuk warna, suhu, perfusi, perabaan denyut nadi, capillary return (normalnya < 3
detik) dan pulse oximetry. Pemeriksaan neurologi yang detail juga harus
mendokumentasikan fungsi sensoris dan motoris (Patel, 2018).
Pemeriksaan foto thorax dapat dilakukan tergantung kondisi pasien. Dalam
pemeriksaaan radiologi untuk cedera dan fraktur diberlakukan rule of two yaitu:
1. Dua sudut pandang
2. Dua Sendi
3. Dua ekstrimitas

28
4. Dua waktu (Buckley, 2018).

F. Pemeriksaan Radiologis

Modalitas radiologis yang digunakan dalam menganalisis cedera pada sistem


muskuloskeletal adalah sebagai berikut:

1. Radiografi dan Fluoroskopi

Dalam kebanyakan kasus, radiografi diperoleh dalam dua proyeksi ortogonal,


biasanya anteroposterior dan lateral, pada 90 derajat satu sama lain (Gambar 27).
Kadang-kadang diperlukan pandangan oblique dan khusus, terutama dalam
mengevaluasi fraktur struktur kompleks seperti panggul, siku, pergelangan tangan,
dan pergelangan kaki. Fluoroskopi dan rekaman video berguna dalam mengevaluasi
kinematika sendi dan fragmen. Hal ini juga bermanfaat dalam memantau kemajuan
penyembuhan (Greenspan, 2014).

29
Gambar 27. Fraktur tulang metakarpal pada orang dewasa. (A) Radiografi
dorsovolar (posteroanterior) dari tangan tidak menunjukkan fraktur. (B) Radiografi
lateral menunjukkan fraktur tulang metakarpal ketiga (panah).

2. Computed Tomography

CT sangat penting dalam mengevaluasi fraktur kompleks, terutama tulang belakang,


panggul, dan skapula, meskipun modalitas ini berguna dalam penilaian fraktur apa
pun di dekat atau memanjang ke sendi (Gambar 28). Keuntungan CT dibandingkan
radiografi konvensional adalah kemampuannya untuk memberikan resolusi kontras
yang sangat baik dan pengukuran akurat dari koefisien atenuasi jaringan. Penggunaan
reformasi sagital, koronal, dan multiplanar serta rekonstruksi untuk membuat gambar
CT tiga dimensi (3D) (Gambar 29) memberikan keuntungan tambahan atas modalitas
pencitraan lainnya (Greenspan, 2014).

30
Gambar 28. Fraktur sakrum. (A) Radiografi anteroposterior standar dari panggul
menunjukkan fraktur nyata dari cincin obturator kanan. (B) Bagian CT menunjukkan
fraktur sakrum yang tidak terduga dan gangguan sendi sacroiliac kiri.

Gambar 29. Fraktur acetabulum. Gambar CT rekonstruksi 3D menunjukkan ciri khas


dari fraktur dinding posterior dari acetabulum kanan (panah).

3. Scintigraphy

Pemindaian tulang radionuklida dapat mendeteksi fraktur atau fraktur yang terlalu
halus untuk dilihat pada radiografi konvensional (Gambar 30). Scintigraphy kadang-
kadang membantu dalam membuat diagnosis banding fraktur lama atau baru dan
dalam mendeteksi komplikasi seperti osteonekrosis tahap awal. Namun, pemindaian
tulang jarang memberikan informasi baru tentang status penyembuhan fraktur dan,
khususnya, pemindaian tulang statis tidak dapat membedakan penyembuhan fraktur

31
normal dengan delayed fraktur atau yang disebabkan oleh fraktur nonunion. Juga,
pemindaian tulang tidak dapat menunjukkan titik di mana penyatuan klinis terbentuk.
Skintigrafi, bagaimanapun, membantu dalam membedakan fraktur yang tidak
terinfeksi dari yang terinfeksi. Dengan osteomyelitis, pemindaian, menggunakan
gallium-67 (67Ga) sitrat dan sel darah putih berlabel indium (111In), menunjukkan
peningkatan yang signifikan dalam penyerapan pelacak (Greenspan, 2014).

Gambar 30. Fraktur leher femoralis. (A) Pandangan anteroposterior pinggul kiri
menunjukkan band peningkatan densitas (panah), menunjukkan fraktur leher
femoralis. (B) Scan tulang dilakukan setelah pemberian 15 mCi (555 MBq) dari
99
mTC-berlabel MDP menunjukkan peningkatan penyerapan isotop di wilayah leher
femur (panah), mengkonfirmasikan fraktur.

4. Arthrography

Arthrography kadang masih digunakan dalam evaluasi cedera pada tulang rawan
artikular, menisci, kapsul sendi, tendon, dan ligamen (Gambar 31), meskipun, secara
umum, telah digantikan oleh MRI dan MR arthrogaphy. Meskipun hampir setiap
sendi dapat disuntik dengan agen kontras, pemeriksaan ini paling sering dilakukan di
lutut, bahu, pergelangan kaki, dan artikulasi siku (Greenspan, 2014).

32
Gambar 31. Robekan rotator cuff. Radiografi anteroposterior (A) dan aksila (B)
yang diperoleh setelah dilakukan program arthogram singlecontrast bahu kanan
menunjukkan kebocoran kontras ke dalam kompleks bursae subacromialsubdeltoid
(panah) diagnostik dari robekan penuh tendon supraspinatus.

5. Tenografi dan Bursografi

Prosedur-prosedur ini pada saat ini jarang dilakukan, digantikan oleh MRI. Tenografi
dulu dilakukan untuk mengevaluasi integritas tendon, seperti peroneus longus dan
brevis, tibialis anterior dan posterior, dan flexor digitorum longus. Bursografi dari
kompleks subacromial-subdeltoid bursae kadang-kadang menunjukkan robekan
parsial atau penuh dari rotator cuff (Greenspan, 2014).

6. Myelography dan Diskografi

Myelography, baik sendiri atau bersama dengan CT scan, digunakan untuk


mengevaluasi kondisi traumatik tertentu dari tulang belakang. Jika kelainan disk
dicurigai dan studi mielografi tidak diagnostik, diskografi dapat menghasilkan

33
informasi yang diperlukan untuk manajemen pasien lebih lanjut (Gambar 32)
(Greenspan, 2014).

Gambar 32. Pecahnya annulus fibrosus dan herniasi diskus. Jarum tulang belakang
ditempatkan di pusat nukleus pulposus dan disuntikkan beberapa mililiter
metrizamide. Kebocoran kontras ke dalam ruang ekstradural (tanda panah)
menunjukkan robekan anulus fibrosus dan herniasi diskus posterior.

7. Angiografi

34
Angiography diindikasikan jika dicurigai cedera konkomitan pada sistem vaskular
(Gambar 33). DSA lebih disukai karena pengurangan tulang di atasnya menghasilkan
delineasi jelas dari struktur vaskular (Greenspan, 2014).

Gambar 33. Robekan arteri femoralis. Arteriogram femoralis dilakukan untuk


menyingkirkan kerusakan struktur vaskular oleh tulang paha yang retak. Fraktur
transversal femur distal mengakibatkan transeksi arteri femoralis superfisial (panah).

35
8. Magnetic Resonance Imaging

MRI memainkan peran utama dalam evaluasi trauma tulang, tulang rawan, dan
jaringan lunak. Evaluasi MRI pada trauma lutut, terutama kelainan menisci dan
ligamen, memiliki nilai prediktif negatif yang tinggi. MRI dapat digunakan untuk
menyaring pasien sebelum operasi, sehingga artroskopi yang tidak perlu dapat
dihindari. MRI mungkin satu-satunya modalitas pencitraan yang dapat menunjukkan
apa yang disebut kontusio tulang. Kelainan ini terdiri dari perubahan sumsum pasca
trauma yang diakibatkan oleh kombinasi perdarahan, edema, dan cedera
microtrabecular. Cedera meniscal juga dapat didiagnosis secara akurat. Kelainan
berbagai struktur dan efusi sendi pasca trauma juga dapat divisualisasikan dengan
baik (Gambar 34). Demikian pula, ligamen kolateral medial dan lateral, ligamen
anterior dan posterior cruciatum, dan tendon di sekitar sendi lutut dapat ditunjukkan
dengan baik dan kelainan struktur ini dapat didiagnosis dengan akurasi tinggi. Lesi
traumatik tendon (seperti rupture tendon biseps), efusi sendi traumatis, dan hematoma
mudah didiagnosis dengan MRI. Demikian juga, modalitas ini efektif untuk
mendiagnosis robekan labrum kartilago. Perubahan osteonekrosis di berbagai tempat,
terutama pada tahap awal, dapat dideteksi oleh MRI ketika modalitas lain, seperti
radiografi konvensional dan bahkan pemindaian tulang radionuklida, mungkin
normal. MRI pergelangan kaki dan kaki telah digunakan antara lain dalam
mendiagnosis ruptur tendon dan osteonekrosis pasca trauma dari talus. Di
pergelangan tangan dan tangan, MRI telah berhasil digunakan dalam diagnosis awal
osteonekrosis pasca trauma skafoid dan penyakit Kienböck. MRI sangat dianjurkan
sebagai teknik pilihan dalam evaluasi kelainan dari kompleks segitiga fibrokartilago,
meskipun arthrography, terutama dalam hubungannya dengan pencitraan digital dan
CT, juga merupakan modalitas yang sangat efektif. Penggunaan terbesar MRI adalah
untuk mengevaluasi trauma tulang belakang, sumsum tulang belakang, kantung
thecal, dan radiks saraf, serta untuk mengevaluasi herniasi diskus. MRI juga berguna
dalam evaluasi cedera ligamen tulang belakang. Demonstrasi hubungan fragmen

36
vertebral ke sumsum tulang belakang dengan pencitraan sagital langsung sangat
membantu, terutama untuk mengevaluasi cedera di area servikal dan toraks
(Greenspan, 2014).

Gambar 34. Defek Chondral. Axial proton density-weighted weight-saturated MRI


pada lutut menunjukkan defek halus pada kartilago artikular patela kanan (panah).

G. Manajemen

Menurut Brunner & Suddarth (2005) selama pengkajian primer dan resusitasi,
sangat penting untuk mengontrol perdarahan yang diakibatkan oleh trauma
muskuloskeletal. Perdarahan dari patah tulang panjang dapat menjadi penyebab
terjadinya syok hipovolemik. Pasien dievaluasi dengan seksama dan lengkap.
Ekstremitas sebisa mungkin jangan digerakkan untuk mencegah kerusakan soft tissue
pada area yang cedera.

37
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian
fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi.
1. Reduksi fraktur
Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran dan
rotasi anatomis. Reduksi bisa dilakukan secara tertutup, terbuka dan traksi
tergantung pada sifat fraktur namun prinsip yang mendasarinya tetap sama.
a. Reduksi tertutup
Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang kembali
keposisinya dengan manipulasi dan traksi manual
b. Reduksi terbuka
Reduksi terbuka dilakukan pada fraktur yang memerlukan pendekatan bedah
dengan menggunakan alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, plat sekrew
digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan solid terjadi.
c. Traksi
Traksi digunakan untuk reduksi dan imobilisasi. Menurut Brunner & Suddarth
(2005), traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh untuk
meminimalisasi spasme otot, mereduksi, mensejajarkan, serta mengurangi
deformitas. Jenis – jenis traksi meliputi:
- Traksi kulit : Buck traction, Russel traction, Dunlop traction
- Traksi skelet: traksi skelet dipasang langsung pada tulang dengan
menggunakan pin metal atau kawat. Beban yang digunakan pada traksi skeletal
7 kilogram sampai 12 kilogram untuk mencapai efek traksi.
2. Imobilisasi fraktur
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna atau eksterna. Fiksasi eksterna
dapat menggunakan pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu pin dan teknik gips.
Fiksator interna dengan implant logam.

38
Tindakan ORIF (Open Reduction Internal Fixation) atau fiksasi internal dengan
pembedahan terbuka akan mengimmobilisasi fraktur dengan melakukan
pembedahan dengan memasukan paku, sekrup atau pin ke dalam tempat fraktur
untuk memfiksasi bagian-bagian tulang yang fraktur secara bersamaan.
a. Indikasi ORIF:
- Fraktur yang tidak dapat direduksi kecuali dengan operasi.
- Fraktur yang tidak stabil secara bawaan dan cenderung mengalami
pergeseran kembali setelah reduksi, selain itu juga fraktur yang cenderung
ditarik terpisah oleh kerja otot.
- Fraktur yang penyatuannya kurang sempurna dan perlahan-lahan terutama
fraktur pada leher femur.
- Fraktur patologik dimana penyakit tulang dapat mencegah penyembuhan.
- Fraktur multiple, bila fiksasi dini mengurangi resiko komplikasi umum
dan kegagalan organ pada bagian system.
- Fraktur pada pasien yang sulit perawatannya. (Apley, 1995)
b. Komplikasi tindakan ORIF
- Infeksi
- Kehilangan dan kekakuuan jangkauan gerak
- Kerusakan otot
- Kerusakan saraf dan kelumpuhan
- Deformitas
- Sindrom kompartemen (Gayle, 2001)
Meskipun konsep teknik internal fiksasi telah dikemukakan pada pertengahan
tahun 1800‒an, Lister mengenalkan ORIF fraktur patella pada tahun 1860.
Penggunaan plate, screw dan kawat pertama kali dilakukan pada tahun 1880 dan
1890. Awal mula dilakukan pembedahan fiksasi internal mengalami berbagai
macam rintangan seperti infeksi, sedikit pengetahuan tentang implant dan
tekniknya, metal allergic dan keterbatasan pengetahuan tentang proses
penyembuhan fraktur secara biologis. Pada tahun 1950, Dannis dan Muller

39
menetapkan prinsip dan teknik fiksasi internal. Setelah 40 tahun kemudian,
kemajuan ilmu biologi dan mekanikal saat ini telah mempermudah teori dan teknik
fiksasi (Lakatos, 2014).
ORIF merupakan reposisi secara operatif yang diikuti dengan fiksasi interna.
Fiksasi interna yang dipakai biasanya berupa plate and screw. Keuntungan ORIF
adalah tercapainya reposisi yang sempurna dan fiksasi yang kokoh sehingga
pascaoperasi tidak perlu lagi dipasang gips dan mobilisasi segera bisa dilakukan.
Kerugiannya adalah adanya risiko infeksi tulang (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
Indikasi tindakan ORIF pada fraktur femur bagian distal antara lain fraktur
terbuka, fraktur yang dihubungkan dengan neurovascularcompromise, seluruh
displaced fractures, fraktur ipsilateral ekstrimitas bawah, irreducible fractures, dan
fraktur patologis (Thomson & Jonna, 2014).
Prinsip umum dari fiksasi interna antara lain dengan menggunakan pin
andwire, plate and screw, tension‒band principle, intramedullary nails dan
biodegradable fixation (gambar 8). Pin and wires menggunakan metode Kirschner
wires (K‒wires) dan Steinmann pins memiliki beberapa kegunaan,mulai dari traksi
skeletal hingga fiksasi fraktur yang sementara dan definitif. Metode ini juga
memberikan fiksasi sementara untuk rekonstruksi dari fraktur yang melibatkan
kerusakan tulang dan soft tissue yang minimal (Lakatos, 2014).
Bone screw adalah bagian dasar dari metode fiksasi interna modern dan
dapatdigunakan baik secara independen atau dengan kombinasi dengan tipe
implantasi lain. Kekuatan dipengaruhi oleh pemasangan pengencangan screw.
Seiring berjalannya waktu, sejumlah kekuatan kompresif menurun secara lambat
saat tulang mengalami remodeling terhadap tekanan. Namun, waktu penyembuhan
fraktur biasanya lebih singkat dibandingkan waktu yang dibutuhkan dari substansi
yang hilang akibat kompresi dan fiksasi (Lakatos, 2014). Metode lain dengan
menggunakan plate memiliki berbagai macam ukuran dan bentuk untuk tulang dan
lokasi yang berbeda. Dynamiccompression plates (DCPs) tersedia dalam ukuran

40
3,5 mm dan 4,5 mm. Lubang screw pada DCP membentuk sudut kemiringan pada
satu sisi berlawanan daribagian tengah plate (Lakatos, 2014).
Pada tahun 1930 an, Küntscher memperbaiki nailing technique, sehingga
intramedullary (IM) nails menjadi teknik fiksasi standar untuk tulang femur. IM
nails memiliki keuntungan dari plate dan fiksasi eksternal karena
lokasiintramedular memungkinkan penjajaran sumbu aksis dan pengurangan
beban. Implantasi IM nails memberikan fiksasi yang stabil, akan tetapi
penyembuhan berlangsung secara primer melalui pembentukan dari kalus
periosteum (Lakatos, 2014).

Gambar 35. Variasi ORIF (Appley & Solomon, 2018)


3. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
Latihan otot dilakukan untuk meminimalkan atrofi dan meningkatkan
peredaran darah. Partisipasi dalam aktifitas sehari-hari diusahakan untuk
memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.
H. Evaluasi

Evaluasi pada kasus fraktur dimulai dengan anamnesis, pemeriksaan


fisiksampai pemeriksaan penunjang yang terkait. Dokterperlu melakukan anamnesis
secara lengkap terkait keluhan yang dirasakan oleh pasien. Mulai dari riwayat awal
muculnya fraktur, mekasme cedera, perasaan nyeri, bengkak, hematom, tahap

41
penyembuhan luka, pasca operasidrainase luka, ketidakstabilan dan tanda-tanda
muncul infeksi post operasi. Infeksi sangat mengganggu terhadap proses
penyembuhan pada luka fraktur.

1. Pemeriksaan fisik dengan cara inspeksi, palpasi, gerakan terbatas, cek range of
motion, deformitas, swelling jaringan lunak, vaskularisasi anggota adalah
penting dalam proses penilaian fraktur.
2. Radiografik dilakukan saat manajemen fraktur secara non-operatif dan berkurang
fiksasi, dibutuhkan untuk menilai pembentukan pada area fraktur, tampaknya
gambaran sklerotik pada tulang dll.
3. Laboratorium untuk mengevaluasi proses penyembuhan fraktur dengan suspek
timbulnya infeksi setempat.
4. Deformitas menilai adanya pergeseran sendi yang berlebihan terhadap
permukaan bila geser seluruhnya disebut dislokasi . Mobilitas sendi yang
berlebihan (excessive mobility of the joint). Kapsul dan ligament sendi
merupakan jaringan fibrosa yang berfungsi mengamankan sendi
darig e r a k a n ya n g a b n o r m a l .

I. Komplikasi
Komplikasi dari fraktur yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut
(Solomon et al., 2018) :
1. Delayed union – Delayed union berarti penyembuhan fraktur tidak terjadi pada
tingkat dan waktu yang diharapkan tetapi penyembuhan masih mungkin
dilakukan. Upaya tambahan harus ditujukan untuk mencapai penyembuhan
fraktur secepat mungkin. Secara klinis, fraktur ekstremitas memiliki
pembengkakan dan gerakan lokal atau beban berat yang menyakitkan.
2. Non-union - Kadang-kadang proses perbaikan fraktur yang normal digagalkan
dan tulang gagal menyatu. Kecuali ada keropos tulang, non-union biasanya

42
didefinisikan sebagai fraktur yang belum sembuh 9 bulan pasca operasi dan tidak
ada kemajuan penyembuhan yang terlihat selama 3 bulan terakhir. Penyebab
aseptic non-union adalah: (1) ketidakstabilan mekanik atau (2) gangguan
vaskularisasi. Septic non-union terjadi dengan osteosintesis yang terinfeksi.

Aseptic non-union dapat menjadi kaku atau mobile sebagaimana dinilai oleh
pemeriksaan klinis. Pada keadaan mobile dapat bebas dan tanpa rasa sakit untuk
memberikan kesan sendi palsu (pseudoarthrosis). Pada X-rays, non-union
dicirikan oleh garis lucent yang masih ada di antara fragmen tulang; kadang-
kadang ada kalus yang mencoba - tetapi gagal - untuk menjembatani celah fraktur
(non-union hipertrofik) atau pada waktu tidak ada sama sekali (non-union atrofi)
dengan penampilan mengarah ke ujung fraktur (Gambar 5) (Solomon et al.,
2018).

43
Gambar 36. Perbaikan fraktur (a) Fraktur; (b) union; (c) remodeling tulang. Patahan
harus dilindungi sampai terkonsolidasi. (Appley & Solomon, 2018)

Gambar 37. Non-union. Aseptic non-union umumnya dibagi menjadi tipe hipertrofik
dan atrofik. Hypertrophic non-union sering memiliki aliran kalus florid di sekitar
celah fraktur - hasil dari stabilitas tidak sempurna. Kadang-kadang mereka diberi
nama berwarna-warni, seperti (a) kaki gajah. Sebaliknya, atrofi non-union biasanya
muncul dari proses perbaikan yang terganggu; mereka dikelompokkan berdasarkan
penampilan X-ray sebagai (b) nekrotik; (c) celah dan (d) atrofi. (Appley & Solomon,
2018)

3. Infeksi
Infeksi dapat terjadi karena penolakan tubuh terhadap implant berupa internal
fiksasi yang dipasang pada tubuh pasien. Infeksi juga dapat terjadi karena luka
yang tidak steril (Adams, 1992).

44
4. Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis adalah kerusakan tulang yang diakibatkan adanya defisiensi
suplay darah (Apley, 1995).
5. Mal union
Terjadi pnyambungan tulang tetapi menyambung dengan tidak benar seperti
adanya angulasi, pemendekan, deformitas atau kecacatan (Adams, 1992).
Komplikasi yang berhubungan dengan tindakan operasi yaitu kerusakan. jaringan
dan pembuluh darah pada daerah yang dioperasi karena incisi. Pada luka operasi
yang tidak steril akan terjadi infeksi yang dapat menyebabkan proses
penyambungan tulang dan penyembuhan tulang terlambat.

45
BAB III
KESIMPULAN

Fraktur adalah rusaknya kontinuitas dari struktur tulang, tulang rawan dan
lempeng pertumbuhan yang disebabkan oleh trauma dan non trauma. Penyebab
terbanyak fraktur adalah kecelakaan, baik itu kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas
dan sebagainya. Evaluasi fraktur sendiri dapat dilakukan melalui anamnesisl
pemeriksaaan fisik dan pemeriksaaan penunjang. Pemeriksaan penunjang radiologi
yang dapat digunakan antara lain radiografi, CT Scan, scintigrafi, arthrografi,
tenografi, bursografi, myelografi, diskografi, angiografi dan MRI. Penyembuhan
fraktur dicirikan oleh proses pebentukan tulang baru dengan penyatuan fragmen
tulang. Penyembuhan tulang dapat secara primer (tanpa pembentukan kalus) maupun
sekunder (dengan pembentukan kalus). Tindakan yang dapat dilakukan dalam
penanganan fraktur antara lain reduksi fraktur, imobilisasi fraktur dan
mempertahankan serta mengembalikan fungsi tulang. Tindakan ORIF (Open
Reduction Internal Fixation) atau fiksasi internal dengan pembedahan terbuka akan
mengimmobilisasi fraktur dengan melakukan pembedahan dengan memasukan paku,
sekrup atau pin ke dalam tempat fraktur untuk memfiksasi bagian-bagian tulang yang
fraktur secara bersamaan. Komplikasi yang dapat terjadi akibat fraktur antara lain
union, time table, delayed union, non union, infeksi, avaskuler necrosis dan mal
union.

46
DAFTAR PUSTAKA

Adams, C. J, 1992; Outline of Fracture Including Joint Injuries; Tenth edition,


Churchill Livingstone, pp: 48-67, 235-7.

Asrizal, R.A. 2014. Closed Fracture 1/3 Middle Femur Dextra. Jurnal.Vol.2
No.3. FK UNLAM .
Buckley R dkk. General Principle of Fracture Workup. Diakses di
http://emedicine.medscape.com/article/1270717-workup . Diakses tanggal 15 April
2018.
Depkes RI tahun 2005.
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-kesja.pdf
diakses pada 14 April 2018
Garrison, S. J, 1996; Dasar-dasar Terapi Latihan dan Rehabilitasi Fisik;
Terjemahan Hipocrates, Jakarta, pp: 154-8.
Gayle, R., dkk.2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika,
pp: 210-2.

Greenspan A. 2014. Orthopedic Imaging: A Practical Approach. 6th ed.


Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, pp. 111-237

Lakatos R. 2014. General principles of internal fixation. Diakses pada tanggal


15 April 2018. Diakses dari: http://emedicine.medscape.com/article/1269987-
overview#aw2aab6b2
Norvell J G, Kulkarni R. Tibial and Fibular Fracture. Diakses di
http://emedicine.medscape.com/article/826304-overview . tanggal akses 15 April
2018.
Patel M dkk. Open Tibial Fracture. Diakses di
http://emedicine.medscape.com/article/1249761-overview . Tanggal akses 15 April
2018.

47
Paulsen F. & J. Waschke, 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia : Anatomi
Umum dan Muskuloskeletal. Penerjemah : Brahm U, Penerbit : EGC pp
34,35,158,161

Sjamsuhidajat dan Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Vol 3. Jakarta: EGC.
pp 91(4)

Thomson JD, Jonna K. 2014. Open reduction and internal fixation of distal
femoral fractures in adult. Diakses pada tanggal 15 Apil 2018. Tersedia dari:
http://emedicine.medscape.com/article/2000429-overview

Solomon, L. (2018). Principles of fractures. Dalam L. Solomon, Apley &


Solomon’s System of Orthopaedics and Trauma 10th Edition. Boca Raton : CRC
Press, pp. 711-54

48

Anda mungkin juga menyukai