Anda di halaman 1dari 41

BAB I

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. RZ
Usia : 9 bulan
Tanggal Lahir : 14 Desember 2017
Berat Badan : 8 kg
Panjang Badan : 73 cm
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Pucangsawit RT/RW 002/014
Tanggal Pemeriksaan : 7 September 2018
Nomor Rekam Medis : 01 40 xx xx

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan terhadap orang tua pasien (alloanamnesis) saat
pasien pertama kali masuk rumah sakit di IGD Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Dr. Moewardi Surakarta.
1. Keluhan Utama
BAB cair
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Dua hari SMRS ibu pasien mengeluhkan anak mulai BAB cair dengan
frekuensi 3x/hari, warna kekuningan, konsistensi cair disertai dengan lendir.
Tidak ditemukan BAB darah. BAB cair diikuti dengan muntah. Muntah
didapatkan 5x/hari sebanyak kurang lebih ¼ gelas belimbing berisi cairan
berwarna kuning bercampur susu. Anak muntah tiap diberikan susu. Ibu
pasien juga mengeluhkan anak demam. Demam dirasakan sumer-sumer
hilang timbul, turun jika diberikan penurun panas. Oleh orang tua pasien,
pasien dibawa berobat ke dokter umum. Oleh dokter diberikan obat puyer

1
batuk-pilek, sirup penurun panas dan diare ( orang tua pasien lupa nama
obatnya).
Satu hari SMRS, pasien mulai BAB cair dengan frekuensi 4x/hari
sebanyak ±50 ml tiap kali diare, berwarna kekuningan dan tidak disertai
ampas, tidak ditemukan darah serta diare tidak berbau amis. Muntah masih
dirasakan setiap kali minum. Anak masih mau minum susu, tidak lemas dan
tampak aktif, demam sumer-sumer masih dirasakan.
Hari masuk rumah sakit, pasien BAB cair dengan frekuensi 4x/hari tiap
kali diare berwarna kekuningan dan tidak disertai ampas, tidak ditemukan
darah serta diare tidak berbau amis. Pasien juga muntah 5x dalam 12 jam.
Tiap muntah kurang lebih ¼ gelas belimbing berisi cairan berwarna kuning
bercampur susu. Pasien masih mau minum dan tampak selalu minta minum
atau kehausan. Pasien tampak lemas dan kurang aktif. Oleh orang tua, pasien
dibawa ke IGD RSDM.
Saat di IGD pasien tampak kehausan, rewel, didapatkan BAB cair,
muntah berisi cairan berwarna kuning bercampur susu. Demam sumer-sumer
masih dirasakan, BAK terakhir di IGD.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa (demam disertai muntah dan diare) disangkal.
Riwayat rawat inap di rumah sakit disangkal.
Riwayat kejang demam disangkal.
4. Riwayat Penyakit Keluarga dan Faktor Lingkungan
Riwayat keluarga :
Riwayat diare disangkal
Riwayat demam disangkal
Riwayat lingkungan :
Riwayat diare di sekitar lingkungan disangkal
Riwayat demam di sekitar lingkungan disangkal.

2
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah pasien bekerja sebagai karyawan swasta, ibu pasien juga
bekerja sebagai karyawan swasta. Pasien periksa menggunakan fasilitas
BPJS/asuransi lainnya (umum). Kesan sosial ekonomi cukup.
6. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Status ibu G1P1A0, usia ibu saat hamil adalah 25 tahun. Ibu rutin
kontrol selama masa kehamilan di bidan dan menerima vitamin dan
suplemen. Riwayat penyakit saat kehamilan disangkal. Kesan kehamilan
normal.
Pasien lahir spontan ditolong bidan, cukup bulan, dan berat lahir
3800 gram, panjang badan 49 cm, langsung menangis kuat, tidak biru,
gerak aktif, tidak kuning. Kesan kelahiran normal.
7. Riwayat Imunisasi
Riwayat imunisasi pasien : lengkap
0 bulan : Hep B
1 bulan : BCG, Polio 1 `
2 bulan : DPT-HB-Hib 1, Polio 2
3 bulan : DPT-HB-Hib 2, Polio 3
4 bulan : DPT-HB-Hib 3, Polio 4
9 bulan : Campak
Kesan imunisasi lengkap sesuai jadwal Kemenkes 2017.
8. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan :
- BB = 8 kg, PB 73 cm
Perkembangan :
- Pasien dapat duduk sendiri
- Pasien menengok jika dipanggil nama dan berinteraksi terhadap
suara
Kesan : pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia.

3
9. Riwayat Nutrisi
Pasien mengonsumsi ASI Eksklusif hingga usia 6 bulan. Setelah 6
bulan, pasien mendapat tambahan konsumsi susu formula sebanyak +/-
150 cc per hari. Pasien juga mengkonsumsi makanan pendamping ASI
seperti bubur tim yang ditambahkan telur, ayam, wortel. Makanan selingan
seperti buah, biskuit bayi juga sudah diberikan 2x/hari. Kesan nutrisi
cukup.
10. Pohon Keluarga

II

III

An. RZ usia 9 bulan

Keterangan:
Laki-laki Pasien
Perempuan

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Tampak sakit sedang, rewel, kehausan, kesadaran composmentis
(E4V5M6)
2. Tanda vital
Suhu : 37,7oC
Tekanan darah : 90/70 mmHg

4
Denyut nadi : 116 x/menit
Saturasi O2 : 98%
Frekuensi pernapasan : 24 x/menit
3. Kepala
Mesocephal, UUB cekung.
4. Mata
Pupil isokor 2mm/2mm, sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-),
refleks cahaya (+/+) , mata cekung (+/+), air mata (+/+) berkurang
5. Telinga
Sekret (-), tidak ada nyeri tekan telinga
6. Hidung
Nafas cuping hidung (-/-), sekret (-)
7. Mulut
Stomatitis (-), mukosa bibir kering, tonsil T1-T1, faring hiperemis (-),
pseudomembran (-), detritus (-)
8. Leher
Pembesaran KGB (-)
9. Thorax
Simetris, retraksi (-), normochest (+)
10. Cor
Inspeksi : iktus cordis tak tampak
Palpasi : iktus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi Jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)
11. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba sde
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar: vesikuler (+/+), suara tambahan:
RBH (-/-), RBK (-/-), wheezing (-/-)

5
Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) meningkat
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba membesar, nyeri (-),
turgor kulit kembali lambat
12. Ekstremitas
Akral dingin (-/ -), ADP teraba kuat, CRT < 2 detik, petekie (- / -)
13. Status gizi
Perhitungan Status Gizi
PB/U : 0 SD < BB/PB < 2 SD , normoheight
BB/U : -2 SD < BB/U < 0 SD , normoweight
PB/BB : -2 SD < PB/U < -1 SD, gizi baik
Kesan gizi baik, normoweight, normoheight

D. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Laboratorium Darah (07/09/18)
Pemeriksaan 07/09/18 Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 11.3 g/dl 11.1-14.1
Hematokrit 37 % 32 – 44
Leukosit 6.1 ribu/ul 5.0 – 19.5
Eritrosit 4.57 juta/ul 3.20 – 5.20
Trombosit 347 ribu/ul 150 – 450
INDEX ERITROSIT
MCV 66.4↓ /um 80.0 - 100.0
MCH 20.2↓ Pg 28.0 - 33.0
MCHC 35.5 g/dl 33.0 - 36.0
RDW 10.9↓ % 11.6 - 14.6
MPV 8.4 Fl 7.2 – 11.1
PDW 16↓ % 25 – 65
HITUNG JENIS
Eosinofil 0.20 % 0.00 – 4.00
Basofil 1.40↑ % 0.00 – 1.00

6
Neutrofil 35.20 % 18.00 – 74.00
Limfosit 55.50↓ % 60.00 – 66.00
Monosit 7.70↑ % 0.00 – 6.00
Pemeriksaan laboratorium kesan: Infeksi virus

E. DAFTAR MASALAH
Anak laki-laki berusia 9 bulan, berat badan 8 kg dengan :
- BAB cair dengan frekuensi 3-4x/hari 2 hari SMRS berwarna kekuningan
dan tidak disertai ampas, tidak ditemukan darah, serta diare tidak berbau
amis
- Pasien muntah 5x/hari sebanyak ¼ gelas belimbing berisi cairan berwarna
kekuningan dan susu
- Demam sumer-sumer hilang timbul, turun setelah diberikan obat penurun
demam lalu naik kembali.
- Pasien tampak lemas dan kehausan
- Ubun-ubun besar tampak cekung, mata cekung, penurunan produksi air
mata, mukosa mulut kering, turgor kulit kembali lambat
- Pemeriksaan laboratorium kesan: Infeksi virus

F. DIAGNOSIS BANDING
1. Diare akut dengan dehidrasi ringan sedang e.c rotavirus
2. Diare akut dengan dehidrasi ringan sedang e.c ETEC
3. Gizi baik

G. DIAGNOSIS KERJA
1. Diare akut dengan dehidrasi ringan sedang e.c rotavirus
2. Gizi baik
H. PENATALAKSANAAN
- Rawat di bangsal gastroenterologi anak
- Diet bubur tim/saring 800 kkal/hari + susu formula 3x60cc + ASI on demand

7
- Rehidrasi: Asering (200ml/kgBB/hari) = 66 ml/ jam sampai terehidrasi,
dilanjutkan D51/4 NS 34 ml/ jam
- Zinc 20 mg/24 jam P.O
- Oralit (10 ml/kgBB tiap BAB cair) = 80 ml/BAB cair; (5ml/kgBB tiap
muntah) = 40 ml/muntah
- Inj. Paracetamol (15 mg/kgBB/8jam) dilanjutkan cth I/8 jam P.O

I. PLANNING
- DL2
- Urinalisis
- Feses rutin

J. MONITORING
- KUVS/ jam sampai dengan terehidrasi
- Balance cairan dan diuresis/8 jam
- Status hidrasi/ jam sampai dengan terehidrasi

K. PROGNOSIS
- Ad vitam : bonam
- Ad sanationam : bonam
- Ad fungsionam : bonam

8
9
10
11
12
13
14
BAB II
ANALISIS KASUS

15
Pada kasus ini didapatkan keluhan muntah dan BAB cair sejak 2 hari SMRS
pada seorang pasien bayi laki-laki usia 9 bulan, yang dibawa orang tuanya ke IGD
RSUD Dr. Moewardi dengan frekuensi muntah 5x/hari sebanyak ¼ gelas
belimbing berisi cairan berwarna kuning bercampur susu. Ibu pasien mengeluhkan
adanya muntah setelah meminum ASI. BAB cair 3-4x/hari, warna kekuningan,
tidak ditemukan lendir dan darah. Berdasarkan anamnesis, pasien tersebut
mengalami diare akut, dimana pasien BAB lebih dari 3 kali perhari, disertai
perubahan konsistensi cair dan berlangsung kurang dari satu minggu (Riskesdas,
2007). Pada pasien diare, perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut: lama diare,
frekuensi, volume, konsistensi tinja, warna, bau, ada / tidak lendir dan darah. Bila
disertai muntah: volume dan frekuensinya. Kencing: biasa, berkurang, jarang atau
tidak kencing dalam 6 – 8 jam terakhir. Makanan dan minuman yang diberikan
selama diare. Adakah panas atau penyakit lain yang menyertai seperti: batuk,
pilek, otitis media, campak. Pada pasien ini tidak ditemukan adanya BAB lendir
darah sehingga dapat dipatahkan diagnosis banding disentri. BAB seperti cucian
beras ataupun berbau amis tidak ditemukan sehingga diagnosis lain seperti
cholera ataupun salmonella dapat disingkirkan.
Dua hari SMRS pasien mengeluhkan adanya demam, demam awalnya ada
di sebagian besar anak-anak dengan diare akibat rotavirus. Bila terdapat panas
dimungkinkan karena proses peradangan atau akibat dehidrasi. Panas badan
umum terjadi pada penderita dengan inflammatory diare (Soebagyo, 2008).
Saat di IGD RSDM, pasien tampak rewel, kehausan, ubun-ubun cekung,
mata cekung, air mata sedikit, mukosa mulut kering dan turgor kulit abdomen
lambat. Berdasarkan penelitian, penyebab diare terbanyak adalah rotavirus, dan
menurut Soebagyo (2008) mengenai jenis-jenis diare akut pada anak, ciri-ciri
diare pada pasien mirip dengan diare yang disebabkan oleh ETEC. Pada pasien
juga terdapat tanda-tanda dehidrasi seperti tampak rewel, haus, ubun-ubun
cekung, mata cekung, air mata sedikit, mukosa mulut kering dan turgor kulit
abdomen lambat. Tanda-tanda dehidrasi tersebut diklasifikasikan sebagai
dehidrasi ringan sedang. Oleh karena hal tersebut, diagnosa banding awalnya
adalah diare akut dengan dehidrasi ringan sedang et causa Rotavirus dd ETEC.

16
Saat ini pasien berusia 9 bulan dengan berat badan 8 kg dan panjang badan 73
cm. Pada antropometri didapatkan gizi cukup, normoweight, normoheight. Pasien
mengkonsumsi ASI yang dipompa dan dimasukkan ke dalam botol kurang lebih
10x/hari. Pasien juga mengkonsumsi makanan pendamping ASI seperti bubur tim
yang ditambahkan telur, ayam, wortel. Makanan selingan seperti buah, biskuit
bayi juga sudah diberikan 2x/hari. Sehingga kesan nutrisi cukup.
Faktor risiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen pada diare
antara lain: tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4 – 6 bulan pertama
kehidupan bayi, tidak memadainya penyediaan air bersih, pencemaran air oleh
tinja, kurangnya sarana kebersihan (MCK), kebersihan lingkungan dan pribadi
yang buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak higienis dan cara
penyapihan yang tidak baik. Selain hal-hal tersebut, beberapa faktor pada
penderita dapat meningkatkan kecenderungan untuk dijangkiti diare antara lain :
gizi buruk, imunodefisiensi, berkurangnya keasaman lambung, menurunnya
motilitas usus, menderita campak dalam 4 minggu terakhir dan faktor genetik
(Soebagyo, 2008). Faktor risiko diare yang ditemukan pada pasien berupa:
pemberian ASI yang dimasukan ke dalam botol. Hal ini perlu menjadi perhatian
karena kurangnya higienitas bahan dan peralatan yang digunakan bisa menjadi
media masuknya kuman ke dalam saluran cerna. Selain itu kemungkinan bisa
disebabkan karena kurangnya kebersihan lingkungan di sekitar tempat tinggal
pasien.
Departemen Kesehatan menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare bagi
semua kasus diare yang diderita anak balita baik yang dirawat di rumah maupun
sedang dirawat di rumah sakit, yaitu: 1. Cairan, 2. Zink, 3. Nutrisi, 4. Antibiotik,
5. Nasihat kepada orang tua. Pasien ini ditatalaksana dengan mondok bangsal
gastroenterologi anak untuk dilakukan monitoring.
Terapi cairan yang diberikan pada pasien ini diberikan sesuai dengan terapi
dehidrasi ringan sedang, yaitu: Rehidrasi dapat menggunakan oralit 75ml/kgBB
dalam 3 jam pertama yaitu 75ml x 8 kg= 600 ml oralit, dilanjutkan untuk
mengganti kehilangan cairan setiap diare cair sebanyak 5-10ml/kgBB yaitu 10ml

17
x 8 kg = 80 ml tiap buang air besar, dan mengganti cairan yang hilang sebanyak
5ml/kgBB yaitu 5ml x 8 kg = 40 ml tiap kali muntah
Namun karena pasien sulit untuk minum peroral akibat muntah, maka
diberikan rehidrasi parenteral (intravena) dengan menggunakan IVFD Asering
(200ml/kg/hari) = 200ml x 8 kg= 1600 ml / hari ≈ 66 ml/ jam sampai dengan
terehidrasi; lanjut maintenance D5 ¼ NS 34 ml/jam
Sejak tahun 2004, WHO dan UNICEF telah menganjurkan penggunaan zink
pada anak berusia >6 bulan dengan diare dengan dosis 20 mg perhari selama 10 –
14 hari, dan pada bayi <6 bulan dengan dosis 10 mg perhari selama 10 – 14 hari.
Suplementasi zink telah terbukti mampu memperingan durasi dan keparahan diare
serta kemungkinan infeksi selanjutnya selama 2-3 bulan berikutnya (Soebagyo,
2008).
Antibiotik diberikan jika ada indikasi saja, misalnya disentri (diare
berdarah) atau kolera. Pemberian antibiotik tidak rasional akan mengganggu
keseimbangan flora usus sehingga dapat memperpanjang lama diare dan
Clostridium defficile akan tumbuh yang menyebabkan diare sulit disembuhkan.
Pasien pada kasus ini tidak mendapatkan terapi antibiotik. Pemberian obat pada
pasien ini berupa terapi simptomatis diberikan antipiretik dengan pilihan
paracetamol 15 mg/kgBB/8jam IV apabila demam.
Nasihat kepada orang tua penting diberikan dalam penatalaksanaan diare.
Pemberian minum melalui botol lebih meningkatkan penyebaran penyakit
dibandingkan dengan pemberian ASI ekslusif. Pendidikan terhadap orang tua
yang rendah mengenai bagaimana menjaga higienitas pemberian asupan pada bayi
mempengaruhi kejadian diare.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

18
A. Definisi
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan feses berbentuk cair atau
setengah cair (setengah padat) kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya
lebih dari 3 kali sehari. Diare dibagi dalam diare akut dan diare kronis
(Setiawan, 2006; Talley, 1998; Daldiyono, 1990; Simanjuntak 1983). Diare
akut adalah buang air besar pada bayi dan anak dengan frekuensi lebih dari 3
kali sehari disertai dengan perubahan konsistensi tinja yang menjadi cair
dengan atau tanpa adanya lendir dan atau darah yang berlangsung kurang dari
14 hari dan mendadak (Soebagyo, 2008).
Pada seorang anak yang buang air besarnya mengalami perubahan
konsistensi menjadi cair sudah bisa dinyatakan sebagai diare walaupun
frekuensi defekasinya kurang dari 3 kali sehari. Perubahan konsistensi tinja
terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara absorbsi dan sekresi di dalam
usus sehingga terjadi peningkatan volume air di dalam tinja (Soebagyo, 2008).
World gastroenterologi organisation global guidelines 2005,
mendefinisikan diare akut adalah sebagai pasase tinja yang cair atau lembek
dengan jumlah lebih banyak dari normal, dan berlangsungnya kurang dari 14
hari sedangkan diare kronis adalah diare yang berlangsung lebih dari 15 hari.
Sedangkan Diare persisten adalah diare yang mula-mula bersifat akut namun
berlangsung lebih dari 14 hari, dapat dimulai sebagai diare cair atau disentri
dan akibat diare persisten adalah penurunan berat badan dan gangguan
metabolisme.
Diare infeksi adalah bila penyebabnya infeksi, sedangkan diare noninfektif
bila tidak ditemukan infeksi sebagai penyebab pada kasus tersebut (Setiawan,
2006). Diare organik adalah bila ditemukan penyebab anatomik, bakteriologik,
horomonal, atau toksikologik. Diare fungsional apabila tidak ditemukan
penyebab organik (Setiawan, 2006).

B. Etiologi
Diare akut karena infeksi disebabkan oleh masuknya mikroorganisme atau
toksin melalui mulut. Kuman tersebut dapat melalui air, makanan atau

19
minuman yang terkontaminasi kotoran manusia atau hewan, kontaminasi
tersebut dapat melalui jari/tangan penderita yang telah terkontaminasi
(Suzanna, 1993). Mikroorganisme penyebab diare akut karena infeksi seperti
dibawah ini:

Tabel 1. Kuman penyebab diare akut karena infeksi


VIRUS BAKTERI PROTOZOA
Rotavirus Shigella Giardia Lamblia
Norwalk virus Salmonella Entamoeba
Enteric adenovirus Campylobacter Histolytica
Calicivirus Eschersia Cryptosporidium
Astrovirus Yersinina
Small round virusses Clostridium difficile
Coronavirus Staphylococcus
cytomegalovirus aureus
Bacillus cereus
Vibrio cholerae
Sumber: Mandal et al., 2004
Penyebab diare juga dapat bermacam macam tidak selalu karena infeksi
dapat dikarenakan faktor malabsorbsi seperti malabsorbsi karbohidrat,
disakarida (inteloransi laktosa, maltosa, dan sukrosa) monosakarida
(inteloransi glukosa, fruktosa, dan galaktosa), Karena faktor makanan basi,
beracun, alergi karena makanan, dan diare karena faktor psikologis, rasa takut
dan cemas (Vila J et al., 2000).
Etiologi diare akut pada 25 tahun yang lalu sebagian besar belum
diketahui, akan tetapi sekarang lebih dari 80% penyebabnya telah diketahui.
Terdapat 25 jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan diare. Penyebab
utama oleh virus adalah rotavirus (40-60%) sedangkan virus lainnya ialah
virus norwalk, astrovirus, calcivirus, coronavirs, minirotavirus, dan virus
bulat kecil (Depkes RI, 2005).

20
Diare karena virus ini biasanya tak berlangsung lama, hanya beberapa hari
(3- 4 hari) dapat sembuh tanpa pengobatan (selft limiting disease). Penderita
akan sembuh kembali setelah enetrosit usus yang rusak diganti oleh enterosit
yang baru dan normal serta sudah matang, sehingga dapat menyerap dan
mencerna cairan serta makanan dengan baik.
Bakteri penyebab diare dapat dibagi dalam dua golongan besar, ialah
bakteri non invasif dan bakteri invasif. Termasuk dalam golongan bakteri
noninfasif adalah: Vibrio cholerae, E.colli patogen (EPEC, ETEC, EIEC),
sedangkan golongan bakteri invasif adalah Salmonella sp (Vila J et al., 2000).
Diare karena bakteri invasif dan noninvasif terjadi melalui salah satu
mekanisme yang berhubungan dengan pengaturan transport ion dalam sel-sel
usus berikut ini: cAMP (cyclic Adenosin Monophosphate), cGMP (cyclic
Guanosin Monophosphate), Ca-dependen dan pengaturan ulang sitoskeleton
(Mandal et al., 2004).
C. Epidemiologi
Diare sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan tidak saja di
negara sedang berkembang tetapi juga di negara-negara maju. Walaupun di
negara maju sudah mendapatkan pelayanan kesehatan yang tinggi dan sosial
ekonomi yang baik tetapi penyakit diare tetap sesuatu penyakit yang
mempunyai angka kesakitan yang tinggi yang biasanya disebabkan oleh
foodborne infection dan waterborn infection yang disebabkan karena bakteri
Shigella sp, Campylobacter jejuni, Staphylococcus aureus, Basillus cereus,
Clostridium prefingens, Enterohemorrhagic Eschersia colli (EHEC). Di
negara maju insidensi penyakit diare terdapat 0,5-2% pertahun dan di negara
berkembang lebih dari dari negara maju (Manson’s, 1996).
Pada tahun 1995 Depkes RI memperkirakan terjadinya episode diare
sekitar 1,3 milyar dan kematian balita sebanyak 3,2 juta tiap tahunnya.
Sedangkan pada tahun 2003 di Indonesia dilaporkan 1,6-2 episode diare per
tahun pada balita, sehingga keseluruhan episode diare pada balita adalah 40
juta setahun dengan angka kematian sebanyak 200.000-400.000. Menurut

21
SURKERNAS tahun 2001 diare menduduki peringkat kedua sebagai
penyebab kematian pada bayi dan balita (Soebagyo, 2008).
D. Sistem Imunitas Saluran Cerna
Sistem imunitas di saluran cerna bisa digolongkan menjadi dua yaitu
sistem imun nonspesifik (alamiah) dan sistem imun didapat (spesifik). Sistem
imun nonspesifik adalah komponen tubuh pada individu sehat. Sistem imun
nonspesifik terdiri dari pertahanan fisik atau mekanik, biokimia, humoral dan
pertahanan seluler (Baratawidjaja, 2006).
Pada saluran pencernaan terdapat pertahanan fisik yang berupa saliva yang
mengandung lisozim yang berfungsi menghancurkan lapisan peptidoglikan
dinding bakteri. Selain saliva terdapat selaput lendir di sepanjang saluran
cerna yang juga berperan sebagai pertahanan biokimia karena mensekresi
mukus. Mukus yang berada di dalam usus besar adalah media pelekat bahan
feses sehingga mencegah aktivitas bakteri di dalam saluran cerna. Asam
klorida dalam lambung juga berperan untuk mencegah terjadinya infeksi
dalam saluran cerna. Epitel usus manusia mengalami regenerasi paling cepat
dibandingkan organ yang lain, yaitu sekitar 3-6 hari (Baratawidjaja, 2006).
Sistem imun humoral terdiri dari C-reactive protein, komplemen, dan
interferon. Sedangkan pertahanan seluler terdiri dari fagosit, makrofag, dan
Natural killer cell. Sistem imun spesifik yang terdiri dari humoral dan seluler
bisa bekerja tanpa bantuan sistem imun nonspesifik, tetapi biasanya terjadi
kerjasama antara kedua sistem imun tersebut (Baratawidjaja, 2006).
Sistem imun spesifik humoral terdiri dari limfosit B yang berasal dari sel
multipoten. Fungsi utama sel ini adalah pertahanan terhadap virus, bakteri
beserta toksinnya. Sedangkan sistem imun spesifik seluler adalah sel limfosit
T yang juga berasal dari sel multipoten, dengan fungsi pertahanan terhadap
bakteri hidup, virus, jamur, parasit, dan keganasan (Baratawidjaja, 2006).
Organ limfoid yang terdapat di saluran cerna adalah GALT (Gut
associated-lymphoid tissue) yaitu Peyer’s Patch yang merupakan agregasi
multipel dari jaringan limfosit yang terorganisir dan SLN (solitary lymphoid
nodule) yang merupakan agregasi soliter. Peyer’s Patch merupakan tempat

22
prekursor sel B yang dapat melakukan switching untuk memproduksi IgA
(Baratawidjaja, 2006).
Saluran pencernaan juga mengandung sel-sel limfosit yang disebut sebagai
limfosit intraepitelial dan campuran sel-sel T dan B yang terdapat di dalam
lamina propia. Sel T dan B berperan sebagai efektor yang merangsang limfosit
dalam GALT dan membentuk limfoblas yang kemudian mengalami maturasi
menjadi plasmablas, dimana plasmablas menuju permukaan usus untuk
memproduksi IgA. Sekretori IgA yang disintesis oleh sel plasma berperan
sebagai pertahanan terhadap infeksi, kontrol terhadap antigen, menetralisasi
toksin, dan mencegah perlekatan bakteri ke epitel usus. Selain itu IgA juga
dapat membersihkan komplek imun dengan cara menyalurkannya ke empedu
(Baratawidjaja, 2006)..
E. Patofisiologi Diare
Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih patofisiologi sebagai berikut:
1) Osmolaritas intraluminal yang meninggi, disebut diare osmotik; 2) sekresi
cairan dan elektrolit meninggi, disebut diare sekretorik; 3) malabsorbsi asam
empedu, malabsorbsi lemak; 4) Defek sistem pertukaran anion atau transpot
elektrolit aktif di enterosit; 5) Motilitas dan waktu transit usus abnormal; 6)
gangguan permeabilitas usus; 7) Inflamasi dinding usus, disebut diare
inflamatorik; 8) Infeksi dinding usus, disebut diare infeksi (Setiawan, 2006).
Diare osmotik disebabkan karena meningkatnya tekanan osmotik
intralumen dari usus halus yang dikarenakan oleh obat-obatan atau zat kimia
yang yang hiperosmotik, malabsorbsi umum dan defek dalam absorbsi
mukosa usus misal pada defisiensi disararidase, malabsorbsi glukosa atau
galaktosa (Setiawan, 2006).
Diare sekretorik disebabkan karena meningkatnya sekresi air dan elektrolit
dari usus, menurunnya absorbsi. Yang khas pada diare tipe sekretorik secara
klinis ditemukan diare dengan volume tinja yang banyak sekali. Penyebab dari
diare ini antara lain karena efek enterotoksin pada infeksi Vibrio cholera, atau
Eschersia colli (Setiawan, 2006).

23
Malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak: diare tipe ini didapatkan
pada gangguan pembentukan atau produksi micelle empedu dan penyakit-
penyakit saluran bilier hati (Setiawan, 2006).
Defek sistem pertukaran anion/transpor elektrolit aktif di enterosit; diare
tipe ini disebabkan adanya hambatan mekanisme transport aktif Na + K+ ATP-
ase di enterosit dan diabsorbsi Na+ dan air yang abnormal (Setiawan, 2006).
Motilitas dan waktu transit usus abnormal: diare tipe ini disebabkan
hipermotilitas dan iregularitas motilitas usus sehingga menyebabkan absorpsi
yang abnormal di usus halus. Penyebab gangguan motilitas antara lain:
diabetes melitus, pasca vagotomi, hipertiroid (Setiawan, 2006).
Gangguan permeabilitas usus: diare tipe ini disebabkan permeabilitas usus
yang abnormal disebabkan adanya kelainan morfologi membran epitel spesifik
pada usus halus (Setiawan, 2006).
Inflamasi dinding usus (diare inflamatorik): diare tipe ini disebabkan
adanya kerusakan mukosa usus karena proses inflamasi, sehingga terjadi
produksi mukus yang berlebihan dan eksudasi air dan elektrolit ke dalam
lumen, gangguan absorbsi air-elektrolit. Inflamasi mukosa usus halus dapat
disebabkan infeksi (disentri Shigella) atau noninfeksi (kolitis ulseratif dan
penyakit Chron) (Setiawan, 2006).
Diare infeksi; infeksi oleh bakteri merupakan penyebab tersering dari
diare. Dilihat dari sudut kelainan usus, diare oleh bakteri dibagi atas non
invasif (tidak merusak mukosa) dan invasif (merusak mukosa). Bakteri non-
invasif menyebabkan diare karena toksin yang disekresi oleh bakteri tersebut
diare toksigenik. Contoh diare toksigenik adalah kolera. Enterotoksin yang
dihasilkan kuman Vibrio cholera atau eltor merupakan protein yang dapat
menempel pada epitel usus, yang lalu membentuk adenosin monofosfat siklik
(AMF siklik) di dinding usus dan menyebabkan sekresi aktif anion klorida
yang diikuti air, ion bikarbonat dan kation natrium dan kalium. Mekanisme
absorbsi ion natrium melalui mekanisme pompa natrium tidak terganggu
karena itu keluarnya ion klorida (diikuti ion bikarbonat, air, natrium, ion,
kalium) dapat dikompensasi oleh meningginya absorbsi ion natrium (diiringi

24
oleh air, ion kalium dan ion bikarbonat, klorida. kompensasi ini dapat dicapai
dengan pemberian larutan glukosa yang diabsorbsi secara aktif oleh dinding
sel usus (Setiawan, 2006).
F. Gambaran Klinis
Gambaran klinis diare akut yang disebabkan infeksi dapat disertai dengan
muntah, demam, hematosechia, berak-berak, nyeri perut sampai kram
(Triadmodjo, 1993). karena kehilngan cairan maka penderita merasa haus,
berat badan berkurang, mata cekung, lidah/ mulut kering, tulang pipi
menonjol, turgor berkurang, suara serak. Akibat asidosis metabolik akan
menyebabkan frekuensi pernafasan cepat, gangguan kardiovaskuler berupa
nadi yang cepat tekanan darah menurun, pucat, akral dingin kadang-kadang
sianosis, aritmia jantung karena gangguan elektrolit, anura sampai gagal ginjal
akut(Sudigbya, 1992; Triadmodjo, 1993).
Gejala diare akut dapat dibagi dalam 3 fase, yaitu :
 Fase prodromal (sindroma pra-diare) : pasien mengeluh penuh di
abdomen, nausea, vomitus, berkeringat dan sakit kepala (Kolopaking,
2002; Joan et al,. 1998).
 Fase diare : pasien mengeluh diare dengan komplikasi (dehidrasi, asidosis,
syok, dan lain-lain), kolik abdomen, kejang dengan atau tanpa demam,
sakit kepala (Kolopaking, 2002; Joan et al,. 1998).
 Fase pemulihan : gejala diare dan kolik abdomen berkurang, disertai
fatigue. (Kolopaking, 2002).

25
Tabel. 2. Derajat dehidrasi menurut WHO 1995

Penilaian A B C
1. Lihat:
- keadaan umum Baik, sadar *Gelisah, rewel *Lesu,lunglai
atau tidak
- mata Normal Cekung sadar
- airmata Ada Tidak ada Sangat cekung
Basah Kering Tidak ada
- mulut dan lidah
Minum biasa, *Haus, ingin Sangat kering
- rasa haus
tidak merasa haus minum banyak *Malas minum
atau tidak bisa
minum
2. Periksa : Kembali cepat *Kembali lambat
turgor *Kembali sangat
kulit lambat
3. Hasil pemeriksaan Tanpa dehidrasi Dehidrasi
ringan/sedang Dehidrasi berat
Bila ada 1
tanda* Bila ada 1 tanda*
ditambah 1 atau ditambah 1 atau
lebih tanda yang lebih tanda yang
lain lain

4. Terapi Rencana terapi A Rencana terapi B Rencana terapi C


Sumber : Soebagyo, 2008

26
Tabel 3. Derajat dehidrasi menurut MMWR 2003

Gejala Minimal atau tanpa Dehidrasi ringan- Dehidrasi


berat
dehidrasi sedang
Kehilangan berat Kehilangan berat Kehilangan
berat
badan <3% badan 3-9% badan >9%

Kesadaran Baik, Normal lelah, gelisah, Apatis, letargi, tidak


iritabel sadar
Denyut Normal Normal – meningkat Takikardi,
jantung bradikardi pada
kasus berat
Kualitas nadi Normal Normal – melemah Lemah, kecil, tidak
teraba
Pernapasan Normal Normal – cepat Dalam

Mata Normal Sedikit cekung Sangat cekung

Air mata Ada Berkurang Tidak ada

Mulut dan Basah Kering Sangat kering


lidah
Cubitan kulit Kembali cepat Kembali <2 detik Kembali >2 detik

Capillary Normal Memanjang Memanjang,


refill minimal
Ekstremitas Hangat Dingin Dingin, mottled,
sianosis
Diuresis Normal Berkurang Minimal

Sumber : Soebagyo, 2008

G. Diagnosis Diare Akut


Secara sistematik dan cermat perlu ditanyakan riwayat penyakit, latar
belakang dan lingkungan pasien, riwayat pemakaian obat sebelumnya,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan mikrobiologi (Soebagyo, 2008).

27
Anamnesis yang baik : bentuk feces (watery diarrhea atau disentri diare),
makanan dan minuman 6 - 24 jam terakhir yang dimakan/minum oleh karena
keracunan makanan atau pencemaran sumber air, dimana tempat tinggal
penderita: asrama, penampungan jompo/ pengungsi, dan lain-lain. Wisatawan
asing yang dicurigai kemungkinan kolera, E.colli, Amoebiasis, Giardiasis,
pola kehidupan seksual (Soebagyo, 2008).
Tabel 4. Gejala khas diare akut
Gejala Rota Shigella Salmonel ETEC EIEC Kolera
klinis virus la
17-72 6-72
Masa tunas jam 24-48 jam 6-72 jam jam 6-72 jam 48-72 jam

Panas + ++ ++
++

Mual dan Sering Jarang Sering sering


muntah
Tenesmus Tenesmus Tenesmus
Nyeri perut Tenesmus , kram , kolik + , kram kram

Nyeri kepala + +

Lama sakit 5-7 hari >7 hari 3-7 hari 2-3 hari Variasi 3 hari

Sifat Tinja
Volume Sedang Sedikit Sedikit Banyak Sedikit Banyak

5-10 Terus
Frekuensi x/hari >10 x/hari Sering Sering Sering menerus

Lembek
Konsistensi Cair Lembek Cair Lembek Cair
Lendir darah Sering Kadang
kadang +

Bau Busuk + Amis

Warna Kuning- Merah- Kehijauan Merah Seperti air


hijau hijau hijau cucian beras

28
+ +
Lekosit

Lain-lain Anoreksi Kejang Sepsis Meteror Infeksi


a is sistemik
mus
Sumber : Soebagyo, 2008

H. Penatalaksanaan Diare Akut


Penatalaksanaan diare akut menurut kemenkes RI, (2015) terdapat 5 pilar
diare, antara lain :
1. Rehidrasi
Pengobatan cairan yang diberikan pada
penderita diare akut harus disesuaikan
dengan kondisi saat itu, termasuk
seberapa berat derajat dehidrasinya.
Selain sesuai dengan derajat
dehidrasinya harus diperhitungkan pula
jumlah cairan yang telah hilang melalui
diare dan atau muntah, cairan yang
hilang melalui keringat, urin dan pernapasan, juga cairan yang hilang melalui
tinja dan muntah yang masih berlangsung. Sejak tahun 1975 telah
diperkenalkan cairan rehidrasi oral (CRO) untuk terapi cairan paenderita diare
akut, dengan berjalannya waktu terdapat perkembangan formula CRO yang
sekarang direkomendasikan oleh WHO mulai tahun 2002 dan disetujui saat
pertemuan ”revitalisasi” PMPD di Yogyakarta tahun 2006. Formula baru CRO
tersebut terdiri dari 75 mEq/L natrium, 75 mmol/L glukosa, dengan
osmolaritas total 245 mOsm/L (Soebagyo, 2008).
Pemberian rehidrasi dibagi menjadi 3, tanpa dehidrasi ditatalaksana
dengan rencana A, dengan dehidrasi ringan-sedang ditatalaksana
menggunakan rencana B, dan dehidrasi berat ditatalaksana dengan rencana
terapi C.

29
30
31
32
2. Zink
Zink adalah salah satu mineral yang penting bagi tubuh karena
merupakan unsur pokok dalam beberapa enzim yang mengkatalisis reaksi
kimia dalam tubuh. Zink juga berperan dalam sintesis protein dan sel
(Walker, 2004). Sumber zink dari makanan biasanya berhubungan dengan
makanan yang mengadung protein, misalnya kadar zink tinggi dalam telur,
daging unggas, daging sapi, tiram, kepiting, dan kacang-kacangan.
Absorbsi zink sangat bervariasi dan tergantung dari kandungan zink dalam
makanan dan bioavaibilitas zink. Zink yang berasal dari hewani lebih
mudah diserap, sedangkan dari nabati tergantung dari kandungan zink dari
tanah, dan absorbsinya di usus dihambat oleh fitat. Faktor lain yang dapat
mempengaruhi absorbsi zink adalah inhibisi kompetitif antara besi, zink,
dan tembaga. ASI mengandung sedikit zink, tetapi bioavaibilitasnya tinggi
sehingga dapat mencukupi kebutuhan sampai bayi berumur 6 bulan. Susu
formula mengandung zink yang tinggi, tetapi yang bisa diserap hanya
sedikit.

Tabel 6. Rekomendasi kebutuhan zink menurut usia


Usia Zink (mg)
Bayi 4-5
Anak 1-3 tahun 3
Anak 4-8 tahun 4-5
Perempuan yang tidak hamil 8-9
Perempuan yang hamil dan menyusui 9-13
Laki-laki 13-19

Sumber : Roy SK, 1992


Saluran cerna mempunyai fungsi sebagai salah satu organ sistem imun
terbesar dalam tubuh. Saluran cerna berfungsi sebagai barier non-spesifik
terhadap invasi kuman, adanya sekresi mukus dan tight junction antar sel
enterosit juga menghambat masuknya zat-zat patogen ke dalam usus.
Dalam hal ini zink berperan menjaga integritas mukosa usus melalui
regenerasi dan stabilisasi membran sel.

33
Menurunnya lama diare setelah pemberian zink pada pasien dengan
konsentrasi zink yang rendah telah dibuktikan. Di Bangladesh dan India
telah dilaporkan menurunnya frekuensi diare cair per hari dan lama diare.
Mekanisme pasti kerja zink dalam memperbaiki diare belum diketahui
secara pasti, kemungkinan karena efeknya yang dapat membantu
pertumbuhan sel dan sebagai antioksidan yang dapat melindungi terhadap
kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas (Soebagyo, 2008; Walker,
2004). Permeabilitas usus pada diare akut dan persisten dapat diperbaiki
dengan pemberian zink (Roy, 1992). Efek zink terhadap diare pada anak
kemungkinan karena efeknya yang menghambat pembentukan radikal
bebas dengan cara meningkatkan pembentukan SOD sehingga
menghambat proses apoptosis di sel epitel mukosa usus. Selain itu zink
juga dapat menghambat produksi TNF-α dan IL-6 dimana TNF-α berperan
dalam mekanisme terjadinya diare pada defisiensi zink. Zink juga berperan
dalam meningkatkan pembentukan enzim ADP Ribosil, DNA, dan RNA
polymerase yang berperan dalam proses perbaikan dan regenerasi sel,
dimana hal ini juga menghambat proses apoptosis (Rosalina, 2007).
Zink mempengaruhi regenerasi dan fungsi vili usus, sehingga akan
mempengaruhi pembentukan enzim disakaridase yaitu laktase, sukrose,
dan maltase. Selain itu zink juga mempengaruhi transport Na dan glukosa.
Sehingga dapat dikatakan bahwa zink dapat mempengaruhi proses
penyembuhan diare osmotik yang sebagian besar disebabkan karena
malabsorbsi dan maldigesti (Artana, 2005).
3. Lanjutkan ASI dan makanan
ASI dan makanan tetap dilanjutkan sesuai umur dengan menu yang
sama pada waktu anak sehat, untuk mencegah kehilangan berat badan serta
pengganti nutrisi yang hilang.Pengobatan dietetik pada diare akut
disesuaikan dengan usia anak dan penyebab diare. Pada prinsipnya
pemberian makanan tetap dilanjutkan saat diare dan ditingkatkan setelah
sembuh. Sebagian besar penderita diare cair mandapatkan kembali nafsu
makan mereka setelah dehidrasinya teratasi dengan baik. Tujuan tetap

34
diberikannya makanan saat diare adalah untuk mempercepat perbaikan
fungsi usus termasuk kemampuan menyerap nutrien sehingga dapat
mencegah terjadinya penurunan status gizi. Pemberian susu yang
diencerkan atau bebas laktosa pada bayi diare tidak diperlukan kecuali
apabila pemberian susu menimbulkan diare atau diare bertambah hebat,
tetapi setelah diare berhenti harus diberikan susu formula biasa secara
bertahap (Soebagyo, 2008).
4. Antibiotik selektif
Pengobatan kausa diare diberikan setelah diketahui secara pasti
penyebabnya, jika diperlukan bisa diberikan antibiotik yang sesuai dengan
kuman penyebab diare. Untuk mengetahui kuman penyebab kadang sulit
dilakukan atau hasilnya terlalu lama maka bisa diberikan antibiotik
berdasarkan umur penderita, perjalanan penyakit, dan sifat tinja. Di
Indonesia diperkirakan kejadian diare yang disebabkan oleh infeksi kira-
kira 50-75%, karena itu digunakan pedoman apabila dalam pemeriksaan
tinja ditemukan lekosit 10-20/LP dianggap sebagai infeksi enteral.
Antibiotik untuk penderita diare hanya diberikan apabila ditemukan
bakteri patogen pada tinja, ditemukan darah pada pemeriksaan tinja, klinis
mendukung infeksi enteral, daerah endemik kolera, pada neonatus bila
diduga terkena infeksi nosokomial (Soebagyo, 2008).
5. Edukasi keluarga
Pengobatan simptomatik untuk penderita diare ada beberapa macam
tetapi tidak semuanya menguntungkan, misalnya obat antidiare yang
mempunyai efek spasmolitik akan memperburuk kondisi anak karena akan
menyebabkan tertimbunnya cairan dalam lumen usus dan terjadi
perlipatgandaan bakteri, gangguan digesti dan absorbsi. Obat-obat
adsorben juga terbukti tidak bermanfaat untuk penyembuhan diare. Obat
antiemetik dengan dosis adekuat (sampai dengan 1mg/kgbb/hari) selain
mencegah muntah juga dapat mengurangi sekresi dan hilangnya cairan
bersama tinja. Obat antipiretik dapat diberikan pada penderita diare akut
yang disertai panas, selain menurunkan suhu ternyata antipiretik juga
mengurangi sekresi cairan yang keluar bersama tinja (Soebagyo, 2008).

35
Pemberian probiotik tidak termasuk kedalam 5 pilar diare, tetapi
beberapa penelitian menunjukkan kombinasi anatara zink dan probiotik
juga memberikan manfaat dalam mengurangi morbiditas dengan
menurunkan jumlah hari perawatan di rumah sakit sebesar 1.78 hari lebih
cepat dibanding hanya zink saja (Kusumoindiah, 2009).

36
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Diare merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus atau
bakteri. Untuk memastikan diagnosis diare akut dapat dilakukan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik berupa diare cair sebanyak lebih dari 3 kali perhari selama
kurang dari 7 hari, ditemukannya tanda utama berupa keadaan umum
gelisah/cengeng atau lemah/letargi/koma, rasa haus dan turgor kulit abdomen
menurun. Sedangkan terdapat tanda tambahan yang menunjang diagnosis
diare akut, yaitu ubun-ubun besar cekung, penurunan produksi air mata, serta
mukosa bibir dan mulut kering. Pemeriksaan penunjang berupa hitung darah
rutin dan feses rutin juga membantu menegakkan diagnosis diare. Pada pasien
diare, perlu segera dilakukan pengembalian cairan dan juga pengobatan
suportif lainnya yang terdiri dari rehidrasi (oralit), zink oral diberikan 10 hari
berturut-turut, antibiotik dengan indikasi diare berdarah (disentri) atau kolera,
lanjutkan ASI atau makanan tetap diteruskan, serta edukasi orang tua.
B. Saran
1. Untuk orang tua dan pasien
a. Jaga kesehatan orang tua dan bayi. Usahakan cuci tangan dengan
sabun sebelum memegang bayi, hal ini bertujuan untuk membunuh
kuman yang ada ditangan.
b. Jagalah kebersihan peralatan makan bayi, cuci dengan bersih dan
simpan ditempat yang terhindar dari bakteri dan kuman penyebab
diare.
c. Perhatikan jenis makanan yang diberikan pada anak, usahakan
makanan dimasak dengan sempurna dan bebas dari penyakit dan
racun

37
d. Berikan ASI yang cukup pada bayi untuk mencegah terjadinya
dehidrasi, karena diare sangat menguras cairan dalam tubuh.
e. Berikan oralit pada bayi dengan resep atau petunjuk dokter.
f. Berikan makanan yang mudah dicerna seperti pisang dan kentang
apabila bayi telah diberikan manakan pendamping ASI.
g. Segera bawa ke dokter jika diare yang diderita tak kunjung sembuh
2. Untuk dokter
a. Diharapkan dokter dapat lebih mempertajam kemampuan anamnesis
b. Diharapkan dapat melakukan pemeriksaan fisik dengan benar
sehingga dapat menyingkirkan diagnosis banding.

38
DAFTAR PUSTAKA

Artana WD (2005). Peran suplementasi mineral mikro seng terhadap kesembuhan


diare. Dalam: Sari Pediatri Bagian P2M Dinkes Jateng : Laporan hasil
kegiatan penanggulangan penyakit diare, pp: 15-18.
Baratawidjaja KG (2011). Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Indonesia, pp: 6-33.
Cook GC (1996). Manson’s Tropical Diseases twentieth eition. Saunders.
Daldiyono. Dare. (1990) Dalam : Ali Sulaiman, Daldiyono, Nurul Akba (ed).
Gastroenterologi Hepatologi. Jakarta: Infomedika, pp: 21-23.
Depkes RI, Direktorat Jendral PPM & PL (2005). Keputusan Menkes RI no
1216/MENKES/SK/XI/2001 tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit
Diare, edisi 4.
Joan R, Butterion Stephen B, Calder Wood (1998). Acute Infectious Diarrheal
Diseases and Bacterial Poisoning. Dalam : Horison’s Principle of Internal
Medicine ed 14. New York: Mc Graw Hill Inc.
Kolopaking MS (2002). Penatalaksanaan Muntah dan Diare Akut. Dalam :
Penatalaksanaan kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam II. Jakarta:
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Kusumoindiah (2009). Perbedaan Lama Diare Pada Penderita Diare Akut yang
Diterapi Dengan Zink Dan Probiotik Dibanding Probiotik Di RSUD
Dr.Moewardi Surakarta. Surakarta: Pascasarjana UNS.
Loeheri S, Nariswanto H (1998). Mikrobiologi Penyebab gastroenteritis akut pada
orang dewasa yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr Sardjito.
Yogyakarta: Acta Medica Indonesiana.
Mandal B.k, EGL Wilkins, EM Dunbar. Dan R.T Mayon-White (2008). Lecture
Notes Penyakit Infeksi. Jakarta: Erlangga.
Marsono Edy (2002). Penelitian: Etiologi Diare Akut Di Bangsal Penyakit Dalam
RSUP Dr Kariadi Semarang. Semarang: Bagian Penyakit dalam Fakultas
Kedokteran Undip RSUP Dr Kariadi.

39
Masayoshi (1997). Diagnosis and Treatment of bacterial food Poisoning. Asia
Med Journal, pp: 329-35.
Parmayanti A (2004). Etiologi Diare Akut Infektif Dan Sensivitas Kuman di
Bangsal Penyakit Dalam RS Dr Kariadi Dan Rsu Kota Dati II Semarang.
Semarang: Bagian Penyakit dalam Fakultas Kedokteran Undip RSUP Dr
Kariadi.
Philip D. Smith (1993). Infection Diarrhoea in Patients With AIDS. Dalam:
Gastroenterology Clinics of North America. XXII (3). Philadelphia: WB
Saunders.
Rani AA. (2006). Masalah dalam Penatalaksanaan Diare Akut pada Orang
dewasa. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi IV. Jakarta:
Departemen IPD FK UI.
Riskesdas. (2007). Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007.
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%202013.pdf?opwvc=1 diakses September 2018.
Rosalina I. (2007). Efikasi pemberian zink pada diare. Dalam: Naskah lengkap
konggres nasional III Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia.
Surabaya, pp: 159-67
Roy SK, Behrens RH, Haider R, et al (1992). Impact of zinc supplementation on
intestinal permeability in Bangladeshi children with acute diarrhea and
persisten diarrhea syndrome. J Pediatr Gastroenterology Nutr; 15, pp: 289-
96.
Santoso B (1992). Patogenesis dan Patofisiologi Diare Akut pada Anak. Jakarta:
Balai Penerbit UNDIP Semarang.
Setiawan B (2006). Diare Akut karena Infeksi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid 3. Edisi IV. Jakarta: Departemen IPD FK UI.
Sidi SP, Suradi R, Masoara S, Boedihardjo DS, Marnoto A (2007). Manajemen
Laktasi. Jakarta: Perkumpulan Perinatologi Indonesia.
Soebagyo B (2008). Diare Akut. Dalam : Diare akut pada Anak. Surakarta:
Martuti S. pp: 1-12.

40
Soemarsono S (1996). Kolera. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I
edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Sudibgya I (1992). Smectite untuk pengobatan Diare Akut pada Anak. Semarang:
Balai Penerbit Universitas Diponegoro Semarang.
Sugihanto Eko (2006). Penelitian: Etiologi Diare Akut Infektif di Puskesmas
Mranggen dan Karangawen Kabupaten Demak. Semarang: Bagian Penyakit
dalam Fakultas Kedokteran Undip RSUP Dr Kariadi. Semarang.
Sunoto, Sutoto, Suparto, dkk (1990). Buku Ajar Diare. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Suzanna 1. Park and Ralph A (1993). Giannela Approach to the Adult Patient with
Acute Diarrhoea. Dalam: Gastroenerology Clinics of North America. XXII
(3). Philadelphia: WB Saunders.
Talley NJ (1998). Acute Diarrhoea: Clinical Gastroenterology : A pratical
Problem Based Approach. Sydney: Maclennan + Petty.
Triadmodjo (1993). Pola Kuman Penyebab Diare Akut Pada Neonatus dan Anak.
Dalam : Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta.
Vila J, Vargas M, Ruiz J, Corachan M, De Anta MTJ, Gascon J (2000). Quinolon
Resisten in Enterotoxigenic E.colli Causing Diarrhea in Travelers to India
in Comparison with other Geographycal Areas, pp; 223-229
Walker C, Black RE, (2004). Zinc and the Risk for Infectious Disease. Annual
review of nutrition ; 24 pp: 255-75
Widodo, Gandi dan Sutoto (1998). Masalah Dire Menjelang Tahun 2000. Jakarta:
Acta Medica Indonesiana.

41

Anda mungkin juga menyukai