Anda di halaman 1dari 8

Ringkasan Psikolingusitik: Pengantar Pemahaman

BAB I
PENDAHULUAN

Judul Buku : Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman


Pengarang : Soenjono Dardjowidjojo
Penerbit :Yayasan Obor Indonesia Anggota IKAPI DKI Jakarta
ISBN : 979-461-9
Edisi Pertama : April 2003
Jumlah Halaman : 340 Halaman
Jumlah Bab : 12 Bab

• Bab 1: Pengantar Dasar


• Bab 2: Bagaimana Manusia Mempersepsi Ujaran
• Bab 3: Bagaimana Manusia Memahami Ujaran
• Bab 4: Pelaksanaan Tindak Ujar
• Bab 5: Produksi Ujaran
• Bab 6: Produksi Kalimat
• Bab 7: Penyimpanan dan Retrival Kata
• Bab 8: Landasan Biologis Pada Bahasa
• Bab 9: Landasan Neurologis Pada Bahasa
• Bab 10: Pemerolehan Bahasa
• Bab 11: Memori, Pikiran, dan Bahasa
• Bab 12: Membaca dan Psikolinguistik

Pada buku Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa karya Soenjono Dardwowidjojo ini terdiri
dari 12 bab, dari ke dua-belas bab ini yang akan saya analisis ialah bab I sampai dengan Bab IV.

BAB II
PEMBAHASAN

BAB I: BAGIAN DASAR


1.1 Sejarah Lahirnya Psikolinguistik
Psikolinguistik adalah ilmu hidriba, yakni ilmu yang merupakan gabungan antara dua ilmu psikologi
dan linguistik. Benih ilmu ini sudah tampak pada abad ke 20 tatkala psikolog Jerman Wilhelm
Wundt menyatakan bahwa bahasa dapat dijelaskan dengan dasar prinsip-prinsip psikologis (Kess,
1992).
Sementara itu di benua Amerika kaitan antara bahasa dan ilmu jiwa juga mulai tumbuh.
Perkembangan ini dapat dibagi menjadi empat tahap (Kess, 1992): a) tahap formatif, b) tahap
linguistik, c) tahap kognitif, dan d) tahap psokolinguistik, realita psikolinguistik, dan ilmu kognitif.
a) Tahap Formatif
Pada pertengahan abad ke dua-puluh Jonh W. Gardner, seorang psikolog dari Corporation,
Amerika mulai menggagas hidridisasi (penggabungan) kedua ilmu ini. Hasil pertemuan ini
membuat gema yang begitu kuat di antara para ahli jiwa maupun ahli bahasa sehingga banyak
penelitiaan yang kemudian dilakukan terarah pada kaitan antara istilah Psycholinguistics pertama
kali dipakai.
b) Tahap Linguistik
Perkembangan ilmu linguistik, yang semula berorientasi pada aliran behaviorisme dan kemudian
beralih ke mentalisme (yang sering juga disebut sebagai nativisme) pada tahun 1957 dengan
diterbitkannya buku Chomsky, syntatic Structures, dan kritik tajam dari Chomsky terhadap teori
behavioristik B.F. Skinner (Chomsky 1959) telah membuat psikolinguistik sebagai ilmu yang
banyak diminati oarang.
c) Tahap Kognitif
Pada tahap ini psikolinguisti mulai mengarah pada peran kognisi dan landasan biologis manusia
dalam pomerolahan bahasa. Pelopor seperti Chomsky mengatakan bahwa linguis itu sebenarnya
adalah psikolog kognitif. Pemerolehan bahasa pada manusia bukanlah penguasaan komponen
bahasa tanpa berlandaskan pada prinsip-prinsip kognitif.
d) Tahap Teori Psikolinguistik
Pada tahap akhir ini, psikolinguistik tidak lagi berdiri sebagai ilmu yang terpisah dari ilmu-ilmu lain
karena pemerolehan dan penggunaan bahasa manusia menyangkut banyak cabang ilmu
pengetahuan yang lain. Psikolinguistik tidak lagi terdiri dari psiko dan linguistik saja tetapi juga
menyangkut ilmu-ilmu lain seperti neurologi, filsafat, primatologi, dan genetika.

1.2 Defenisi Psikolinguistik


Secara rinci psikolinguistik mempelajari empat topik utama: (a) komprehensi, yakni proses-proses
mental yang dilalui oleh manusia sehinggga mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang
dan memahami apa yang dimaksud, (b) produksi, yakni proses-proses mental pada diri kita yang
membuat kita dapat belajar seperti yang kita ujarkan, (c) landasan biologis serta neurologis yang
membuat manusia bisa berbahasa, dan (d) pemerolehan bahasa yakni bagaimana anak
memperoleh bahasa mereka.

1.3 Kodrat Bahasa


Ciri-ciri khusus yang membedakan bahasa menusia dengan bahasa binatang ialah: pertama,
bahasa manusia memiliki ketergantungan struktur (structure dependence). Ciri kedua adalah
bahwa bahasa dan pemakai bahasa itu kreatif. Ciri ketiga adalah bahwa bahasa dapat dipakai
untuk mengungkapkan situasi atau peristiwa yang sudah lampau atau yang belum tejadi dan
bahkan untuk sesuatu yang dibayangkan. Ciri keempat adalah bahwa bahasa memiliki struktur
ganda yang dinamakan struktur yang batin (deep structure) dan struktur lain (surface structure). Ciri
kelima adalah bahwa bahasa itu diperoleh secara turun temurun dari satu generasi ke generasi
yang lain. Ciri keenam adalah bahwa hubungan antara kata dengan benda, Perbuatan, atau
keadaan yang durujuknya itu arbitrer (arbitrary). Ciri yang ketuju adalah bahwa bahasa memiliki
pola dualitas. Dan ciri yang terakhir adalah bahwa bahasa itu memiliki semantitas.

1.4 Defenisi Bahasa


Dari gambaran ciri-ciri di atas, bahasa bisa didefinisikan dari berbagai sudut pandang. Namun
definisi yang banyak dipakai orang adalah: bahasa adalah suatu simbol lisan yang arbitrer yang
dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untk berkomunikasi dan berinteraksi antar
sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama.

1.5 Komponen Bahasa


Pada aliran linguistik manapun bahasa selalu dikatakan memiliki tiga komponen yaitu: sintaksis,
fonologi, dan semantik. Komponen sintaksi mengenai ihwal yang berkaitan dengan kata, frasa, dan
kalimat. Studi tentang kata, seperti telaah tentang bagaimana kata dibentuk dan diturunkan,
umumnya ditangani dalam suatu tataran yang dinamakan morfologi. Komponen fonologi bersifat
interpretif.
Dalam komponen fonologi tidak hanya diinventarisasi jumlah dan macam bunyi yang ada pada
suatu bahsa tetapi juga bagaimana bunyi-bunyi tadi membentuk suatu sistem dalam bahasa
tersebut. Komponen semantik membahas tentang ihwal makna dan juga bersifat interpretif. Dalam
komponen ini ada seperangkat aturan semantik yang dipakai untuk menentukan apakah masukan
dari komponen sintaktik itu memenuhi kaidah semantik yang ada pada bahasa tersebut.

1.6 Pragmatik
Prakmatik bukanlah salah satu dari komponen bahasa, ia hanyalah memberikan prespektif kepada
bahasa. Karena pragmatik menyangkut makna maka seringkali ilmu ini dikacaukan dengan ilmu
makna, semantik. Sementara itu, pragmatik merujuk kekajian makna dalam interaksi antara
seorang penutur dengan penutu yanng lain (Jucker, 1998). Karena pragmatik mencakup
penggunaan bahasa dalam interaksi maka pragmatik memperhatikan pula aspek-aspek lain dalam
komunikasi seperti pengetahuan dunia (world knowladge), hubungan antara pembaca dengan
pendengar atau orang ketiga dan macam-macam tindak ujar (speech acts) dalam kalimat.
BAB II: BAGAIMANA MANUSIA MEMPERSEPSI UJARAN
1. Penelitian Mengenai Persepsi ujaran
Dari segi ilmu pengetahuan, kajian dari penelitian mengenai bagaimana manusia mempersepsi
ujaran dapat dikatakan masih sangat baru. Meskipun Willis tahun 1829 dan Helmholtz tahun 1859
telah mempelajari ciri fisik dari bunyi, penelitian bagaimana kita mempersepsi ujaran baru mulai
perang dunia II (Gleason dan ratner 1988:109).

2. Masalah Dalam Mempersepsi Ujaran


Masalah yang dihadapi dalam mempersepsi ujaran ini adalah bagaimana kita dapat menangkap
dan kemudian mencerna bunyi-bunyi yang diujarkan dengan sengat cepat. Di samping kecepatan,
bunyi dalam satu ujaran juga tidak diucapkan secara utuh tetapi sepertinya lebur dengan bunyi
yang lain. Suara seorang wanita, seorang pria, dan seorang anak juga berbeda-beda. Getar pita
suara untuk wanita berkisar antara 200-300 per detik, sedangkan untuk pria suara untuk pria hanya
sekitar 100. Karena itu, suara seorang pria kedengaran lebih “berat”. Sedangkan suara anak lebih
tinggi dari pada suara wanita karena getaran pita suaranya bisa mencapai 400 per detik.
Perbedaan-perbedaan ini memunculkan bunyi yang berbeda-beda, meskipun kata yang diucapkan
itu sama.

3. Mekanisme Ujaran
Sumber dari bunyi adalah paru-paru. Paru-paru kita berkembang dan berkempis untuk menyedot
dan mengeluarkan udara. Udara ini kemudian lewat lorong yang dinamakan faring (pharynx). Dari
faring itu ada dua jalan yang pertama melalui hidung dan yang kedua melalui rongga mulut. Semua
yang dibuat dengan udara melalui hidung disebut bunyi nasal. Sementara itu bunyi yang udaranya
keluar melalui mulut dinamakan bunyi oral. Pada mulut terdapat dua bagian-bagian atas dan
bagian bawah mulut. Bagian-bagian ini adalah :
1. Bibir : bibir atas dan bibir bawah. Kedua bibir ini dapat dirapatkan untuk membentuk bunyi yang
dinamakan bilabial yang artinya dua bibir bertemu. Bunyi seperti [p], [b], dan [m] adalah bunyi
babalial.
2. Gigi : untuk ujaran hanya gigi ataslah yang mempunyai peran. Gigi ini dapat berlekatan dengan
bibir bawah untuk membentuk bunyi yang dinamakan labiodental. Contoh untuk bunyi seperti ini
adalah bunyi [f] dan [v]. Gigi juga dapat berlekatan dengan ujung lidah untuk membentuk bunyi
dental seperti bunyi [t] dan[d] dalam bahasa indonesia.
3. Alveolar: daerah ini berada persis dibelakang gigi atas. Pada alveolar dapat ditempelkan ujung
lidah untuk membentuk bunyi yang dinamakan bunyi alveolar.
4. Palatal keras (hard plate): daerah ini adalah rongga atas mulut, persis dibelakang daerah
alveolar. Pada daerah ini dapat ditempelkan lidah untuk membentuk bunyi yang dinamakan alveo
palatal seperti bunyi [c] dan [j].
5. Palatal lunak ( soft falate): Pada palatal lunak dapat diletakkan bagian belakang lidah untuk
membentuk bunyi yang dinamakan velar seperti bunyi [k] dan [g].
6. Uvala: pada ujung rahang atas terdapat tulang lunak yang dinamakan uvala.
7. Lidah : adalah bagian mulut yang fleksibel dan dapat bergerak dengan lentur. Lidah dibagi
menjadi beberapa bagian: Ujung lidah (tip of the tongue), Mata lidah ( blade), Depan lidah (front),
Belakang lidah.
8. Pita suara (vocal cords) adalah sepasang selaput yang berada di jakun (larynx).
9. Faring (pharynx) adalah salurang udara menuju rongga mulut atau rongga hidung.
10. Rongga hidung : rongga untuk bunyi-bunyi nasal seperti /m/ dan /n/
11. Rongga mulut : untuk bunyi-bunyi oral seperti /p/, /b/, /a/, dan /i/.

3.1 Bagaiman Bunyi Dibuat


Bunyi juga dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu konsonan dan vokal. Perbedaan antara
keduanya terletak pada pembuatannya.

3.1.1 Pembuatan Bunyi Konsonan


Untuk membuat bunyi konsonan perlu diperhatikan tiga faktor yaitu: Fatkor pertama titik artikulasi,
yakni tempat dimana artikulator itu berada, berdekatan, dan berlekatan. Faktor kedua cara
artikulasi yakni bagaimana caranya udara dari paru-paru itu kita lepaskan. Faktor yang ketiga ialah
status pita suara.

3.1.2 Pembuatan Bunyi Vokal


Berbeda dengan konsonan, kriteria yang dipakai untuk membentuk bunyi vokal adalah (1) tinggi
rerndahnya lidah; (2) posisi lidah; (3) ketegangan lidah; dan (4) bentuk bibir.

3.1.3 Fonotatik
Tiap bahasa memiliki sistem sendiri-sendiri untuk menggabungkan fonem agar menjadi suku dan
kemudian kata. Dengan demikian maka tidak mustahil adanya dua bahasa yang memiliki dua
fonem yang sama tetapi fototatiknya, yakni sistem pengaturan fonemnya berbeda.

3.1.4 Struktur Sukukata


Suatu struktur kata terdiri dari dua bagian utama yakni, onset (pembukaan), dan rima (rhyme).
Rima terdiri dari nukleus (ncleus) dan koda (coda).

3.1.5 Fitur Distingtif


Fitur-fitur distingtif yang ada pada konsonan adalah: vokalik dan konsonantal, anterior, koronal,
kontinuan (continuant), straiden (strident), nasal, vois. Untuk bunyi vokal fitur-fitur distringtifnya
adalah tinggi, vokalik, belakang, bundar, dan tegang.

3.1.6 Voice Onset Time


Voice Onset Time, yang sering disingkat sebagai VOT, adalah waktu antara lepasnya udara untuk
mengucaukan suatu konsonan dengan getaran pita suara untuk bunyi vokal yang mengikutinya.
Dalam contoh kata bahasa inggris man, karena /m/ adalah [=vois], yang berarti bahwa pita
suaranya pastilah bergetar, maka celah waktu untuk bunyi ini meluncur ke bunyi /æ/ adalah nol.

3.2 Transmisi Bunyi


Bunyi yang dikeluarkan oleh menusia ditransmisikan ke telinga pendengar melalui gelombang
udara. Pada saat suatu bunyi dikeluarkan, udara bergetar olehnya dan membentuk semacam
gelombang. Dengan mekanisme yang ada pada telinga, manusia menerima bunyi dasn dengan
melalui syaraf-syaraf sensoris bunyi ini kemudian “dikirimkan” ke otak untuk diproses dan
kemudian ditangkapnya. Pemrosesan di otak dibimbing oleh pengetahuan tentang bahasa
tersebut, termasuk pengetahuan tentang bagaimana bunyi-bunyi itu dibuat dan fitur apa saja yang
terlibat.

4. Persepsi Terhadap Ujaran


Persepsi terhadap suatu ujaran bukanlah suatu yang mudah dilakukan oleh manusia karena ujaran
merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ada batas waktu yang jelas antara satu kata
dengan kata yang lain. Namun demikian manusia tetap saja mempersepsi bunyi-bunyi bahasanya
dengan baik. Tentu saja persepsi seperti ini dilakukan melalui tahap-tahap tertentu. Pada dasarnya
ada tiga tahap dalam pemrosesan persepsi bunyi (Clark & Clark, 1977): Tahap auditori, Tahap
fonetik, dan Tahap fonologis.

5. Model-model Untuk Persepsi


Dalam rangka memahami bagaiman manusia mempersepsi bunyi sehingga akhirnya dapat
terbentuk komperhensi, para ahli psikolinguistik mengemukakan model-model teoritis. Sampai saat
ini ada empat model teoritis yang telah di ajukan orang yaitu: model teori motor untuk persepsi
ujaran, model analisis dengan sintesis, fuzzy logical model, model cohort, model trece.

6. Persepsi Ujaran Dalam Konteks


Persepsi terhadap suatu bunyi dalam deretan bunyi bisa juga dipengaruhi oleh kecepatan ujaran.
Suatu bunyi yang diucapkan dengan bunyi-bunyi yang lain secara cepat akan sedikit banyak
berubah lafalnya. Akan tetapi, sebagai pendengar tetap saja dapat memilah-milahnya dan akhirnya
menentukannya. Faktor lain yang membantu kita dalam mempersepsi suatu ujara adalah
pengetahuan kita tentang sintaksis maupun semantik bahasa kita.
BAB III: BAGAIMAN MANUSIA MEMAHAMI UJARAN
1. Struktur Batin dan Struktur lahir
Perbedaan antara struktur lahir dan batin ini sangat penting untuk pemahaman kalimat karena
proses mental yang dilalui oleh manusia dalam menanggapi kalimat-kalimat seperti ini berbeda
dengan kalimat-kalimat yang tidak ambigu. Meskipun konsep struktur batin dan lahir ini sudah tidak
diikuti lagi oleh penggagasannya (Chomsky 1996), dalam kaitannya dengan komprehensi ujaran
kedua konsep ini rasanya masih sangat bermamfaat.

2. Proposisi
Unit-unit makna pada kalimat dinamakan proposisi (Clark dan Clark 1977:11). Lobner
memdefinisikannya sebagai a set of the referents of all referring element and how they are linked
(Lobner, 2002:23-29 dan 99-120). Proposisi terdiri dari dua bagian (a) argument, yakni ihwal atau
ihwal- ihwal yang dibicarakan, dan (b) predikasi, yakni pernyataan yang dibuat mengenai
argument.

3. Konstituen Sebagai Realita Psikologis


Konstituen bukankah hanya sekedar potongan kalimat yang sifatnya arbitrer saja. Pemotongan
kalimat menjadi konstituen mempunyai landasan psikologis maupun sintatik yang kuat. Pertama,
konstituen merupakan satu kesatuan yang utuh secara konseptual. Kedua, pemotongan kelompok
kata di luar konstituen akan mengganggu komprehensi kita. Ketiga, yang kita simpan dalam
memori kita bukanlah kata-kata yang lepas dari konstituennya, tetapi kesatuan makna dari masing-
masing konstituen.

4. Strategi Dalam Memehami Ujaran


Dalam memahami suatu ujaran, ada tiga faktor yang ikut membatu kita. Pertama adalah faktor
yang berkaitan dengan pengetahuan dunia. Tidak jarang pula pengetahuan dunia ini merupakan
satu-satunya faktor yang membantu kita memahami isi suatu ujaran. Pengetahuan tentang dunia
yang sifatnya tidak universal adalah pengetahuan yang spesifik terdapat pada budaya atau
masyarakat tertentu.
Di samping pengetahuan tentang dunia, memahami tentang ujaran kita juga dibantu oleh faktor-
faktor sintatik. Dengan kata lain, kita memakai strategi-strategi sintatik untuk membantu kita
memahami suatu ujaran. Strategi itu antara lain:
a) Setelah kita mengidentifikasi kata pertama dari suatu konstituen yang kita dengar, proses mental
kita akan mencari kata lain yang selaras dengan kata pertama dalam konstuen tersebut.
b) Setelah mendnegar kata yang pertama dalam konstituen, perhatikan apakah kata berikutnya
mengakhiri konstruksi itu.
c) Setelah kita mendengar suatu verba, carilah macam serta argumen yang selaras dengan verba
tersebut.
d) Tempelkanlah tiap kata baru pada kata yang baru saja mendahuluinya. Strategi ini berkaitan
dengan kenyataan bahwa wujud kalimat memang dalam bentuk linier sehingga kata yang
mengikutinya biasanya menjelaskan kata yang mendahuluinya.
e) Pakailah kata pertama atau konstituen dari suatu klausa untuk mengidentifikasi fungsi dari
klausa tersebut.
f) Pada bahasa tertentu seperti bahasa inggris, afiks juga memberikan bantuan dalam
pemahaman.
Di samping strategi sintatik, orang juga memakai strategi semantik dalam memahami ujaran.
Berikut ini beberapa strategi semantik yang kita pakai ialah:
a) Pakailah nalar dalam memahami ujaran.
b) Carilah konstituen yang memahami syarat-syarat semantk tertentu.
c) Apabila ada urutan kata N V N, maka N yang pertama adalah pelaku perbuatan, kecuali ada
tanda-tanda lain yang mengingkarinya.
d) Bila dalam wacana kita temukan pronominal seperti dia, mereka, atau kami, carilah antesiden
untuk pronominal ini.
e) Informasi lama biasanya mendahului informasi baru.
Dari gambaran di atas tampak bahwa strategi sintatik dan strategi semantik dipelukan untuk
memahami ujaran.

5. Ambiguitas
Dalam beberapa hal kadang kita menemukan kalimat yang bermakna lebih dari satu yang
umumnya disebut sebagai kalimat yang ambigu atau raksa.

5.1 Macam Ambiguitas


Dilihat dari segi unsur leksikal dan struktur kalimatnya, ambiguitas dapat dibagi menjadi dua
macam: (a) ambiguitas leksikal, dan (b) ambiguitas gramatikal. Sesuai dengan namanya,
ambiguitas leksikal adalah macam ambiguitas yang penyebabnya adalah bentuk leksikal yang
dipakai.
Ambiguitas gramatikal adalah macam ambiguitas yang penyebabnya adalah bentuk struktur
kalimat yang dipakai. Ambiguitas gramatikal dapat dibagi menjadi dua macam yaitu ambiguitas
sementara (local ambiguity), dan ambiguitas abadi (standing ambiguity) (Gleason dan Ratner
1998).

5.2 Teori Pemrosesan Kalimat Ambigu


Pada dasarnya ada dua macam teori ambigu mengenai pemrosesan kalimat yang bermakna
ganda. Teori pertama dinamakna Garden Path Theory (GPT). Menurut teori Fraizer tahun 1987 ini,
orang membangun makna berdasarkan pengetahun sintatik. Ada dua principle dalam teori ini: (1)
Minimal Attachment Principle (MAP), dan Late Closure Principle (LCP).

5.3 Pemrosesan Kalimat Non-harfiah


Sebagian teori menyatakan bahwa ada tiga tahap dalam pemrosesannya. Pertama, kita berikan
tanggapan secara harfiah untuk tiap kata yang msuk terlebih dahulu. Kedua kita berikan makna
harfiah terhadap kata-kata yang kita dengar itu. Dan ketiga mencari makna lain di luar makan
harfiah yang mustahil itu.
5.4 Pemrosesan Secara Sintatik atau Semantik
Seperti dinyatakan sebelumnya, ada dua macam pendekatan yang membantu kita mempersepsi
dan memahami ujaran, dan kedua pendekatan ini seolah-olah merupakan dua kelompok yang
berdiri sendiri-sendiri. Dalam kenyataannya kedua kelompok ini saling membantu.
Kompetensi kita sebagai penutur asli tentang sintaksis bahasa kita tentu merupakan bekal intuitif
yang membimbing kita untuk menerima, menolak, meragukan, dan mendeteksi ambiguitas suatu
kalimat. Sebagai penutur asli, kita juga memiliki intuisi semantik, baik yang bersifat universal
maupun yang lokal.

6. Penyimpanan Kata
6.1 Faktor Yang Mempengaruhi Akses Terhadap Kata
Pada dasarnya retrival kata dipegaruhi oleh pelbagai faktor yaitu, Frekuensi kata, Ketergambaran,
Keterkaitan semantik, kategori gramatikal, dan fonologi.

6.2 Teori Tentang Makna


Ada dua teori untuk memahami makna yaitu teori fitur dan teori berdasarkan pengetahuan. Teori
fitur pada dasarnya menyatakan bahwa kata memiliki seperangkat fitur, atau ciri yang menjadi
bagian integral dari kata itu. Manusia dapat memahami ujaran karena mereka dapat mengenali
kata-kata yang mereka dengar secara intuitif yang sebenarnya berdasarkan peda pengetahuan
yang mereka miliki tentang bahasa dan budaya mereka.

BAB IV: PELAKSAAN TINDAK UJARAN


1. Tujuan Ujaran
Dalam berujar, manusia pastilah mempunyai tujuan. Tujuan itu berupa pemberian informasi kepada
pendengar. Dengan demikian, suatu ujaran itu mengandung di dalamnya tiga unsur; (a) tindak
ujaran (speech acts); (b) muatan proposisi (propositional content); (c) muatan tematik (thematic
content).
1.1 Tindak Ujaran
Searli membagi tindak ujaran kedalam lima kategori yaitu: representative, direktif, komisif,
ekspresif, dan deklarasi. (Searli 1969:34; Mey 2002:120).

1.2 Muatan Proposisi


Pada muatan proposisi pendengar meramu satu proposisi dengan proposes yang lain, makin lama
makin meninggi shingga terbentuklah suatu pengertian yang menyeluruh dari proposisi-proposisi
tersebut.

1.3Muatan Tematik
Muatan tematik merujuk pada pengertian akan adanya dua macam informasi dalam kalimat yakni,
informasi lama (old atau given information) dan informasi baru (new information).

2.Langkah Umum dalam Pelaksanaan Ujaran


Langkah apa yang kemudian harus dilakukan oleh pendengar setelah memahami suatu ujaran
tergantung pada macam ujaran yang didengar. Dari teori tindak ujaran kita ketahui bahwa ujaran
hanya bisa representative, direktif, komisif, ekspresif, atau deklarasi.

3. Pelaksaan Ujaran
3.1Pelaksanaan Tindak Ujaran Representatif
Karena tindak ujaran representatif hanyalah merupakan pernyataan mengenai sesuatu, maka yang
perlu kita lakukan adalah menghimpun muatan proposisi dan memahami mana yang merupakan
informasi lama dan informasi yang baru.
3.2Pelaksanaan Tindak Ujaran Direktif
Tindakan ujaran direktif dapat dibagi menadi tiga kelompok yaitu: (a) pertanyaan dengan jawaban
ya/tidak/bukan/belum; (b) pertanyaan yang memerlukan jawaban mana/(si, meng) apa; dan (c)
perintah untuk melaksankan sesuatu.

3.3Pelaksanaan Tindak Ujaran Komisif


Seperti dinyatakan sebelumnya, tindak ujaran komisif berbeda dengan tindak ujaran direktif hanya
dalam arahnya direktif kepada sipendengar, komisif kepada diri sipembicara. Karena tindak ujaran
komisif tidak menanyakan atau memerintahkan sesuatu maka tidak ada perbuatan yang harus
dilakukan.

3.4Pelaksaanaan Tindak Ujaran Ekspresif


Karena tindak ujaran ekspresif menyatakan keadan psikologis seseorang, maka pelaksanaannya
pun bukan berupa perbuatan, khususnya perbuatan fisik.

3.5Pelaksaan Tindak Ujaran Deklarasi


Karena dalam tindak ujaran deklarsi diperlukan adanya syarat kelayakan agar kalimat yang
diucapkan itu bermakna, maka langkah tambahan dalam memahami dan kemudian melaksanakan
ujaran ini adalah untuk meyakinkan diri bahwa si pembicara itu memang mempunyai wewenang
untuk mengatakan apa yang dia katakan.

4. Pelaksanaan Tindak Ujaran Tak Langsung


Tony, berapa kali mama telah bilang untuk tidak menaruh handuk dilantai? Mendengar kalimat
seperti ini Tony tentu tidak akan menjawab dengan kalimat “lima kali, Ma”, atau “Nggak ingat, Ma
berapa kali”. Dia sadari bahwa ibunya sedang marah dan menyuruhnya untuk mengambil handuk
itu.
Ujaran seperti ini dinamakan ujaran tak langsung, artinya, apa yang dikatakan dengan apa yang
dimaksud tidak sama. Ujaran seperti ini lebih sukar untuk dilaksanakan karena ada satu fase
tambahan yang harus dilalui, yakni fase untuk mentransfer dari makna literal ke makna yang tak
langsung. Dalam hal ini, prinsipel yang dinamakan prinsipel Kooperatif sangat membantu.
4.1Prinsipel Kooperatif
Dalam kita berkomunikasi kita juga mengikuti prinsipel seprti ini. Prinsipel yang dinamakan prinsipel
kooperatif (cooperative principle) ini pertama kali dikemukakan oleh filosof H. Paul Grice pada
tahun 1967. Pada dasarnya prinsipel ini memberikan landasan mengapa manusia saling
berkomunikasi. Landasan ini disebut sebagai maksim (maxim). Grise memberikan empat macam
maksim (Grice 1975; Thomas 1998:176-179; Mey 2001:17-79) yaitu: maksim kuantitas, maksim
kualitas, maksim hubungan (Relation), maksim cara (Manner).

4.2Pelaksanaan Ujaran dan Presipel Kooperatif


Kaitan antara pelaksanaan ujaran dan prinsipel kooperatif adalah bahwa dalam berhasa orang
tidak selamanya menyatakan apa yang dimaksud secara rinci dan eksplisit. Perhatikan contoh
dibawah ini:
Mama: Don, tuh diangkat telponnya.
Dony: lagi main, ma.
Dari segi sintaksis, kedua percakapan ini tidak ada hubungannya sama sekali. Akan tetapi, karena
adanya maksim hubungan yang menekankan adanya informasi yang relevan untuk mencapai
tujuan percakapan makanya mamanya tahu apa yang dimaksud oleh Dony.

4.3Langkah-langkah dalam Pelaksanaan Ujaran Tak-langsung


Ujaran tak langsung memerlukan pemerosesan yang lebih rumit dan lebih lama sebelum dapat
dilaksanakan. Secara singkat proses tersebut adalah: memerlukan bunyi /j/ dan /r/ dalam bahasa
Indonesia, tetapi tetap saja tidak dapat mengeluarkan kedua bunyi itu sampai keadaan biologisnya
memungkinkan.

BAB III
PENUTUP

Psikolinguistik adalah ilmu hidrida, yakni ilmu yang merupakan gabungan antara dua ilmu psikologi
dan linguistik. Dari segi ilmu pengetahuan, kajian dari penelitian mengenai bagaimana manusia
mempersepsi ujaran dapat dikatakan masih sangat baru. Meskipun Willis tahun 1829 dan
Helmholtz tahun 1859 telah mempelajari ciri fisik dari bunyi, penelitian bagaimana kita
mempersepsi ujaran baru mulai perang dunia II (Gleason dan ratner 1988:109).

Masalah yang dihadapi dalam mempersepsi ujaran ini adalah bagaimana kita dapat menangkap
dan kemudian mencerna bunyi-bunyi yang diujarkan dengan sengat cepat. Di samping kecepatan,
bunyi dalam satu ujaran juga tidak diucapkan secara utuh tetapi sepertinya lebur dengan bunyi
yang lain.
Bunyi juga dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu konsonan dan vokal. Perbedaan antara
keduanya terletak pada pembuatannya.

Untuk membuat bunyi konsonan perlu diperhatikan tiga faktor yaitu: Fatkor pertama titik artikulasi,
yakni tempat diman artikulator itu berada, berdekatan, dan berlekatan. Faktor kedua cara artikulasi
yakni bagaiman caranya udara dari paru-paru itu kita lepaskan. Faktor yang ketiga ialah status pita
suara.

Dalam berujar, manusia pastilah mempunyai tujuan. Tujuan itu berupa pemberian informasi kepada
pendengar. Dengan demikian, suatu ujaran itu mengandung di dalamnya tiga unsur; (a) tindak
ujaran (speech acts); (b) muatan proposisi (propositional content); (c) muatan tematik (thematic
content).

Anda mungkin juga menyukai