Anda di halaman 1dari 19

TINJAUAN PUSTAKA

URTIKARIA DAN ANGIOEDEMA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik


di SMF. Ilmu Kesehatan Anak

oleh:
ROZA INSANIL HUSNA
NIM. 062011101057

Pembimbing:
dr. H. Ahmad Nuri, Sp.A
dr. Gebyar Tri Baskoro, Sp.A
dr. Ramzi Syamlan, Sp.A

SMF. ILMU KESEHATAN ANAK RSD dr.SOEBANDI JEMBER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
JUNI 2011
URTIKARIA DAN ANGIOEDEMA

Pendahuluan
Urtikaria merupakan salah satu bentuk kelainan kulit yang sering terjadi.
Dapat terjadi secara akut maupun kronik, keadaan ini merupakan masalah untuk
penderita, maupun untuk dokter. Walaupun patogenesis dan penyebabnya yang
dicurigai telah ditemukan, ternyata pengobatan yang diberikan kadang-kadang
tidak memberi hasil seperti yang diharapkan.
Sekitar 20% individu pernah mengalami urtikaria atau angioedema pada
suatu waktu di masa hidupnya. Urtikaria yang berlangsung kurang dari 6 minggu
disebut urtikaria akut dan yang berlangsung (baik secara terus menerus maupun
berulang) lebih dari 6 minggu disebut urtikaria kronik. Pada anak, kasus urtikaria
akut lebih banyak terjadi.
Penyebab urtikaria terbanyak adalah degranulasi sel mast dengan akibat
munculnya urtika dan kemerahan (flushing) karena lepasnya performed mediator,
histamin, juga newly formed mediator pada late phase cutaneous response. Pada
anak, hal ini terutama terjadi akibat paparan terhadap alergen. Sumber utama
alergen yang mencetuskan urtikaria dengan perantara IgE adalah makanan dan
obat. Hal lain yang dapat mencetuskan urtikaria/angioedema akut, dan juga
sebagian urtikaria/angioedema kronik adalah mekanisme non imunologik dan
tidak melibatkan IgE. Dalam hal ini terjadi pelepasan histamin, baik secara
langsung, maupun akibat infeksi virus, anafilatoksin, berbagai peptida, dan
protein serta stimulus fisik. Pada urtikaria kronis penyebab tersering adalah proses
autoimun

Definisi
Urtikaria (kaligata, gidu, nettle rash, hives) adalah erupsi kulit yang
menonjol, berbatas tegas, berwarna merah, umumnya berbentuk bulat, gatal, dan
berwarna putih di bagian tengah bila ditekan. Angioedema (giant urticaria,
angioneurotic edema, quinkes edema) adalah sebuah lesi yang sama dengan
urtikaria tetapi pada angioedema meliputi jaringan subkutan yang lebih dalam ,
tidak gatal, namun biasanya disertai dengan rasa nyeri dan terbakar.

1
Gambar 1. Urtikaria

Gambar 2. Angioedema

Epidemiologi
Urtikaria dan angioedema sering dijumpai pada semua umur, orang
dewasa lebih banyak mengalami urtikaria dibandingkan dengan usia muda.
Ditemukan 40% bentuk urtikaria saja, 49% urtikaria bersama-sama dengan
angioedema dan 11% angioedema saja. Lama serangan berlangsung bervariasi,
ada yang lebih dari satu tahun bahkan lebih dari 20 tahun.
Penderita atopi lebih mudah mengalami urtikaria dibandingkan dengan
orang normal. Tidak ada perbedaan frekuensi jenis kelamin, baik laki-laki maupun
perempuan. Umur, ras, aktivitas, letak geografis dan perubahan musim dapat

2
mempengaruhi hipersensitivitas yang diperankan oleh IgE. Penisilin tercatat
sebagai obat yang lebih sering menimbulkan urtikaria.

Klasifikasi
Urtikaria dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi atau etiologi dan
mekanisme patofisiologi.
A. Durasi
1. Akut
Urtikaria akut biasanya terjadi beberapa jam sampai beberapa hari
(kurang dari 6 minggu) dan umumnya penyebabnya dapat diketahui.
2. Kronis
Urtikaria yang berlangsung lebih dari 6 minggu dan urtikaria biasanya
berulang dan tidak diketahui pencetusnya, serta dapat berlangsung
sampai beberapa tahun. Urtikaria kronik umumya ditemukan pada
orang dewasa.

B. Etiologi dan Mekanisme Imun


1. Mekanisme imun
Mekanisme imun dapat diperantarai melalui reaksi hipersensitivitas tipe
I, II, dan III.
2. Mekanisme nonimun (anafilaktoid)
a. Angioedema herediter
b. Aspirin
c. Liberator histamin, yaitu zat yang menyebabkan pelepasan histamin
seperti opiat, pelemas otot, obat vasoaktif, dan makanan (putih telur,
tomat, dan lobster).
3. Fisik
a. Dermatografia (Writting on skin)
b. Urtikaria dingin
c. Urtikaria kolinergik
d. Urtikaria solar

3
e. Urtikaria panas
f. Urtikaria dan angioedema tekanan
g. Angioedema getar
h. Angioedema akuagenik
4. Miscellaneous
a. Urtikaria papular e.c gigitan serangga (nyamuk/lebah)
b. Urtikaria pigmentosa
c. Mastositosit sistemik
d. Infeksi disertai urtikaria
e. Urtikaria dengan penyakit sistemik yang mendasarinya:
- Penyakit vaskular kolagen
- Keganasan
- Ketidakseimbangan sistem endokrin
f. Faktor psikogenik
g. Urtikaria dan angioedema idiopatik

Etiologi
Pada penelitian, ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya.
Diduga penyebab urtikaria bermacam-macam, di antaranya: obat, makanan,
gigitan/sengatan serangga, bahkan fotosensitizer, inhalan, kontaktan, trauma fisik,
infeksi dan infestasi parasit, psikis, genetik, dan penyakit sistemik.

1. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik
maupun non-imunologik. Hampir semua obat sistemik menimbulkan urtikaria
secara imunologik (Tipe I atau II). Contohnya ialah obat-obatan golongan
penisilin, sulfonamid, analgesik, pencahar, hormon, dan diuretik. Ada pula obat
yang secara non-imunologik langsung merangsang sel mast untuk melepaskan
histamin, misalnya kodein, opium, dan zat kontras. Aspirin menimbulkan urtikaria
karena menghambat sintesis prostaglandin dari asam arakidonat.

2. Makanan

4
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya
akibat reaksi imunologik. Makanan berupa protein atau bahan lain yang
dicampurkan ke dalamnya seperti zat warna, penyedap rasa, atau bahan
pengawet sering menimbulkan urtikaria alergika. Contoh makanan yang
sering menimbulkan urtikaria adalah telur, ikan, kacang, udang, cokelat,
tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka serta bahan yang
dicampurkan ke dalam makanan seperti asam nitrat, asam benzoat, dan
ragi.

3. Gigitan/sengatan Serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtikaria setempat. Hal ini
sering diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe selular (tipe IV). Tetapi venom dan
toksin bakteri, biasanya dapat pula mengaktifkan komplemen. Nyamuk,
kepinding, dan serangga lainnya menimbulkan urtikaria berbentuk papular di
sekitar tempat gigitan, biasanya sembuh dengan sendirinya setelah beberapa hari,
minggu, atau bulan.

4. Bahan fotosensitizer
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan
kosmetik, dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.

5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, bulu binatang, dan
aerosol umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik. Reaksi ini sering
dijumpai pada penderita atopi dan disertai gangguan pernapasan.
6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil,
air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia seperti insect
repelent (penangkis serangga), dan bahan kosmetik. Keadaan ini disebabkan
bahan tersebut menembus kulit dan menimbulkan urtikaria.

7. Trauma fisik
Trauma fisik dapat disebabkan oleh faktor dingin, yakni berenang atau memegang
benda dingin; faktor panas misalnya sinar matahari, sinar UV, radiasi dan panas
pembakaran; faktor tekanan yaitu goresan, pakaian ketat, ikat pinggang, atau

5
semprotan air; faktor vibrasi dan tekanan yang berulang-ulang contohnya pijatan
dapat menyebabkan urtikaria fisik baik secara imunologik maupun non-
imunologik.

8. Infeksi dan Infestasi


Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi bakteri,
virus, jamur, maupun infestasi parasit. Infeksi oleh bakteri contohnya infeksi pada
tonsil, gigi, dan sinus paranasal. Masih merupakan pertanyaan apakah urtikaria
muncul karena toksin bakteri atau oleh sensitisasi. Infeksi virus hepatitis,
mononukleosis, dan infeksi virus coxsackie pernah dilaporkan sebagai faktor
penyebab. Karena itu pada urtikaria yang idiopatik perlu dipikirkan kemungkinan
infeksi virus subklinis. Infeksi jamur kandida dan dermatofit sering dilaporkan
sebagai penyebab urtikaria. Infestasi cacing pita, cacing tambang, cacing gelang,
Schistosoma atau Echinococcus dapat menyebabkan urtikaria.

9. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan
permeabilitas dan vasodilatasi kapiler. Ternyata hampir 11.5% penderita urtikaria
menunjukkan gangguan psikis. Penyelidikan memperlihatkan bahwa hipnosis
dapat menghambat eritema dan urtikaria. Pada percobaan induksi psikis, ternyata
suhu kulit dan ambang rangsang eritema meningkat.

10. Genetik
Faktor genetik ternyata berperan penting pada urtikaria dan angioedema,
walaupun jarang menunjukkan penurunan autosomal dominan. Diantaranya ialah
angioneurotik edema herediter, familial cold urticaria, familial localized heat
urticaria, vibratory angioedema, heredo-familial syndrome of urticaria deafness
and amyloidosis, dan erythropoietic protoporphyria.

11. Penyakit sistemik


Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria dan lebih
sering disebabkan oleh reaksi komplek antigen-antibodi. Penyakit vesikobulosa
seperti pemfigus dan dermatitis herpetiformis Duhring sering menimbulkan
urtikaria. Beberapa penyakit sistemik yang sering disertai urtikaria antara lain

6
limfoma, hipertiroid, artritis reumatoid, urtikaria pigmentosa, demam reumatik
dan lupus eritematosus sistemik.

Patogenesis
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang
meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan terjadinya
pengumpulan cairan setempat, sehingga secara klinis tampak edema setempat
disertai kemerahan.
Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat
pelepasan mediator-mediator misalnya histamin, kinin, serotonin, slow reacting
substance of anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mast dan atau
basofil. Selain itu terjadi pula inhibisi proteinase oleh enzim proteolitik misalnya
kalikrin, tripsin, plasmin, dan hemotripsin di dalam sel mast.
Baik faktor imunologik maupun non-imunologik mampu merangsang sel
mas atau basofil untuk melepaskan mediator-mediator tersebut (Gambar 2.1).
FAKTOR NON-IMUNOLOGIK
Pada yang non-imunologik, FAKTOR
mungkin sekali siklik AMP IMUNOLOGIK
(Adenosine Mono
Phosphate) memegang peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan
Bahan kimia pelepas mediator (morfin, kodein) Reaksi Tipe I (IgE) inhalan, obat, makanan, infeksi
kimia seperti golongan amin dan derivat amidin, obat-obatan seperti kodein,
morfin, polimiksin dan beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan
kolinergik
Faktor fisik (panas, seperti
dingin, trauma, sinar asetilkolin
X, cahaya dilepaskan
Sel Masoleh saraf kolinergik
Reaksi Tipe IVkulit, dengan
(kontaktan)
Basofil
mekanisme yang belum diketahui dapat mempengaruhi sel mas untuk melepaskan
mediator. Pengaruh komplemen
Efek Kolinergik

Aktivasi komplemen
(Ag-Ab, venom, toksin)

Pelepasan Mediator: Reaksi Tipe II


H1, SRSA, serotonin, kinin, PEG, PAF

Reaksi Tipe III

Faktor Genetik:
Defisiensi C1 esterase inhibitor
Alkohol, Emosi, Demam Vasodilatasi, Peningkatan Permeabilitas KapilerFamilial cold urticaria
Familial heat urticaria

Idiopatik
Urtikaria
Gambar 3. Diagram Faktor Imunologik dan Non-imunologik
yang Menimbulkan Urtikaria

Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan dapat
secara langsung merangsang sel mas. Beberapa keadaan, misalnya demam, panas,
emosi, dan alkohol dapat merangsang langsung pembuluh darah kapiler sehingga
terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas.
Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria akut daripada kronik,
biasanya IgE terikat pada permukaan sel mas dan atau sel basofil karena adanya
reseptor Fc. Bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE, maka terjadi
degranulasi sel, sehingga terjadi pelepasan mediator. Keadaan ini jelas tampak
pada reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen
juga ikut berperan. Aktivasi komplemen secara klasik maupun alternatif
menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu merangsang sel mas
dan basofil. Hal ini terjadi pada urtikaria akibat venom atau toksin bakteri.
Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi
sitotoksik dan kompleks imun. Pada keadaan ini, juga dilepaskan zat
anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak juga terjadi, misalnya setelah pemakaian
bahan penangkis serangga (insect repelent), bahan kosmetik, dan penggunaan

8
obat-obatan golongan sefalosporin. Kekurangan C1 esterase inhibitor secara
genetik menyebabkan edema angioneurotik yang herediter.

Gejala Klinis
Keluhan subyektif biasanya gatal, rasa terbakar atau tertusuk. Klinis
tampak edema setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah tampak
pucat. Bentuknya dapat papular seperti pada urtikaria akibat sengatan serangga,
besarnya dapat lentikular, numular sampai plakat. Bila mengenai jaringan yang
lebih dalam sampai dermis dan jaringan submukosa atau subkutan, juga beberapa
organ dalam misalnya saluran cerna dan saluran napas disebut dengan
angioedema. Pada keadaan ini jaringan yang sering terkena adalah wajah,
biasanya disertai sesak napas, suara serak, dan rinitis.
Dermografisme, berupa edema dan eritema yang linear di kulit yang
terkena goresan benda tumpul, timbul dalam waktu lebih kurang 30 menit. Pada
urtikaria akibat tekanan, urtikaria timbul pada tempat yang tertekan, misalnya di
sekitar pinggang. Pada penderita ini dermografisme jelas terlihat. Urtikaria akibat
penyinaran biasanya pada gelombang 285-320 nm dan 400-500 nm, timbul
setelah 18-72 jam penyinaran, dan klinisnya berbentuk urtikaria papular. Hal ini
harus dibuktikan dengan tes foto tempel. Sejumlah 7-17% urtikaria disebabkan
oleh faktor fisik, antara lain akibat panas, dingin, tekanan dan penyinaran.
Umumnya pada dewasa muda, terjadi pada episode singkat dan umumnya
kortikosteroid sistemik kurang bermanfaat.
Urtikaria kolinergik dapat timbul pada peningkatan suhu tubuh, emosi,
makanan yang merangsang dan pekerjaan yang berat. Biasanya sangat gatal,
ukurannya bervariasi dari beberapa milimeter sampai numular dan konfluen
membentuk plakat. Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri
perut, diare, muntah, dan nyeri kepala. Biasanya terjadi pada usia 15-25 tahun.
Urtikaria akibat obat atau makanan umumnya timbul secara akut dan generalisata.

Diagnosis
Anamnesis

9
 Adanya bentol kemerahan pada kulit yang mudah dikenali bahkan oleh
orang tua pasien.
 Awitan dan riwayat penyakit serupa sebelumnya: untuk membedakan akut
atau kronik dan mengidentifikasi faktor pencetus yang mungkin sama
dengan pencetus sebelumnya.
 Faktor pencetus ditanyakan faktor yang ada di lingkungan, seperti: alergen
berupa debu, tungau (terdapat pada karpet, kasur, sofa, tirai, boneka
berbulu), hewan peliharaan, tumbuhan, sengatan binatang, serta faktor
makanan seperti zat warna, zat pengawet, zat penambah/modifikasi rasa,
obat-obatan (misalnya: aspirin atau OAINS lainnya), dan faktor fisik
(dingin, panas, dan sebagainya)
 Riwayat penyakit dahulu: demam, keganasan, infestasi cacing
 Riwayat pengobatan untuk episode yang sedang berlangsung
 Riwayat atopi dan riwayat sakit lainnya pada keluarga

Pemeriksaan Fisik
 Pada pemeriksaan fisik ditemukan lesi kulit berupa bentol kemerahan yang
memutih di bagian tengah bila ditekan. Lesi disertai rasa gatal. Yang perlu
diperhatikan adalah distribusi lesi, pada daerah yang kontak dengan
pencetus, pada badan saja, dan jauh dari ekstremitas atau seluruh tubuh.
Hal lain yang perlu diperhatikan lagi adalah bentuk lesi yang mirip satu
sama lain, bintik kecil-kecil di atas daerah kemerahan yang luas pada
urtikaria kolinergik.
 Yang perlu diwaspadai: adanya angioedema, adanya distres napas, adanya
kolik abdomen, suhu tubuh meningkat bila lesi luas, dan tanda infeksi
lokal yang mencetuskan urtikaria.
 Pada urtikaria kronik: hal terpenting adalah mencari bukti dan pola yang
menunjukkan penyait lain yang mendasari, lesi yang menghilang apabila
dilakukan eliminasi diet tertentu, seperti pada penyakit seliak, yaitu,
urtikaria menghilang setelah diberi diet bebas gluten.

Pemeriksaan Penunjang
I. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I

10
Untuk reaksi hipersensitivitas alergi dan non alergi dapat dilakukan:
- Hitung eosinofil darah perifer/nasal
- Pemeriksaan konsentrasi tryptase serum, jika konsentrasinya
>10 mg/ml menunjukkan adanya aktivasi dari sel mast.
Untuk alergi yang diperantarai IgE dilakukan pemeriksaan:
- IgE total serum
Untuk alergen protein (inhalan/makanan) perlu dilakukan:
- Uji tusuk kulit
- Radio-Allergo-Sorbent Test (RAST): IgE spesifik serum
Untuk alergen obat perlu dilakukan:
- Uji tusuk kulit
Satu tetes larutan obat 1:100 dalam larutan garam fisiologis
tanpa pengawet, harus disertai kontrol positif dan negatif
- Uji intradermal
0,02 ml larutan obat 1:1000 dalam larutan garam fisiologis,
harus disertai kontrol positif dan negatif.

II. Urtikaria Fisik


- Gores kulit normal pada daerah volar lengan bawah dengan alat tumpul (stik
yang keras atau tounge blade/penekan lidah atau dengan kuku).
- Suatu reaksi wheal dan kemerahanberbentuk garis akan timbul dalam 2-3
menit setelah digores. Intensitas puncak terjadi 6-7 menit dan hilang spontan
dalam 20 menit. Tipe lambat terjadi dalam 6-9 jam pada sisi yang sama dan
menetap selama 24-48 jam.

III. Urtikaria Yang Tergantung Pada Temperatur


o Urtikaria dingin
- Tempelkan benda dingin pada kulit
- Pegang kubus es atau lebih baik benda dingin yang kering (baskom
tembaga yang diisi es, direndam dalam air dingin atau tabung kering
berisi dry ice.

o Urtikaria panas

11
Tempelkan botol yang telah diisi dengan air panas pada kulit. Urtikaria
akan muncul dalam waktu beberapa menit

o Urtikaria solar
Sejumlah anak memiliki protoporfiria eritropoietik:
- Kulit diberi paparan pancaran sinar dengan berbagai panjang
gelombang di laboratorium
- Eritem yang pruritik akan muncul pada kulit yang terpajan pancaran
sinar, biasanya hilang dalam 24 jam

o Urtikaria tekanan
- Beri tekanan dengan beban, atau
- Gantung suatu beban 7-14 kg di sekeliling lengan bawah atau bahu
selama 10 menit

o Angioedema vibrator
Tempelkan vibrator/mixer pada lengan bawah selama 4 menit

o Urtikaria akuagenik
Tempelkan kompres air/tap water dicoba pada berbagai temperatur pada
kulit yang akan diuji. Papul multipel yang gatal seperti urtikaria
kolinergik akan timbul dalam beberapa menit hingga 30 menit.

o Urtikaria kolinergik
Mandi air hangat atau beraktivitas hingga berkeringat. Wheal yang gatal
dengan diameter 1-3 mm dikelilingi daerah eritema yang luas timbul
dalam 2-20 menit. Episode ini akan menetap dalam 15-30 menit

12
Gambar 4. Uji Tusuk Kulit (Skin Prick Test)

Gambar 5. Uji Tempel (Patch Test)

Diagnosis Banding
a. Sengatan serangga multipel
Pada sengatan serangga akan terlihat titik di tengah bentol yang
merupakan bekas sengatan serangga.
b. Angioedema herediter
Kelainan ini merupakan kelainan yang jarang disertai urtikaria. Pada
kelainan ini terdapat edema subkutan atau submukosa periodik disertai
rasa sakit dan terkadang disertai edema laring. Edema biasanya
mengenai ekstremitas dan mukosa gastrointestinal yang sembuh setelah
1-4 hari. Pada keluarga terdapat riwayat penyakit yang serupa.

13
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan kadar komplemen C4 dan C2
yang menurun dan tidak adanya inhibitor C1-esterase dalam serum.

Penatalaksanaan
Urtikaria akut pada umumnya lebih mudah diatasi dan kadang-kadang
sembuh dengan sendirinya tanpa memerlukan pengobatan. Prinsip pengobatan
urtikaria akut adalah sebagai berikut.

A. Penanganan Umum
1. Eliminasi/Penghindaran faktor penyebab
2. Antihistamin
Medikamentosa utama adalah antihistamin karena mediator utama pada
urtikaria adalah histamin. Preparat yang bisa digunakan:
 Antihistamin H1 generasi I (sedatif), misal Chlorfeniramin
Maleat (CTM) dengan dosis 0,25 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 3 dosis, atau antihistamin H1 generasi II (nonsedatif),
contoh setirizin dengan dosis 0,25 mg/kgBB/kali (usia < 2
tahun: 2 kali/hari; usia > 2 tahun: 1 kali/hari). Pada urtikaria
akut lokalisata cukup diberikan antihistamin H1.
 Penambahan antihistamin H2, misal simetidin 5
mg/kgBB/kali, 3 kali/hari dapat membantu efektifitas
antihistamin H1

Pada umumnya efek antihistamin telah terlihat dalam waktu 15-30


menit setelah pemakaian oral, dan mencapai puncaknya pada 1-2 jam,
sedangkan lama kerjanya bervariasi dari 3-6 jam. Antihistamin dapat
diberikan selama 7-10 hari

3. Adrenergik
Pada urtikaria akut generalisata dan disertai gejala distress pernapasan,
asma atau edema laring, mula-mula diberi adrenalin (1:1000) dengan

14
dosis 0,01 ml/kgBB/kali subkutan (makasimal 0,3 ml) dilanjutkan
dengan pemberian antihistamin.

4. Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan bila tidak memberi respon yang baik dengan
obat lain dengan mewaspadai efek samping yang dapat terjadi.
Kortikosteroid jangka pendek digunakan pada urtikaria akut yang berat
dengan atau tanpa angioedema atau bila urtikaria diduga berlangsung
akibat reaksi alergi fase lambat. Obat yang digunakan adalah prednison
dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 5 hari, tapering off biasanya tidak
dibutuhkan pada urtikaria akut.
5. Antileukotrien (Leukotriene pathway modifiers)
Antileukotrien dapat digunakan bersamaan dengan antihistamin H 1
untuk menangani urtikaria yang tidak terkontrol, tetapi penggunaannya
sebagai terapi tunggal masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Antileukotrien pernah tercatat memiliki manfaat pada kasus alergi
aspirin, namun efek sesungguhnya masih belum dapat dipastikan. Salah
satu antileukotrien yang sering dipakai adalah montelukast dengan dosis
yang dianjurkan untuk anak-anak adalah 4-5 mg/hari. Tablet 4 mg
digunakan pada anak 2-6 tahun dan 5 mg digunakan pada anak 6-15
tahun. Di Indonesia, antileukotrien itu sendiri masih jarang digunakan
dan preparatnya pun masih sangat terbatas. Preparat antileukotrien yang
telah beredar di Indonesia adalah zafirlukast, sedangkan montelukast
belum tersedia. Zafirlukast dapat digunakan untuk mengobati asma
akibat alergi.

Tabel 1. Antihistamin untuk Urtikaria dan Angioedema


Golongan Obat Dosis Frekuensi
Antihistamin H1 (generasi ke-1, sedatif)
Hydroxizine 0,5-2 mg/kg/kali Setiap 6-8 jam
(dewasa 25-100 mg)
Diphenhydramin 1-2 mg/kg/kali Setiap 6-8 jam
(dewasa 50-100 mg)
Chlorpheniramin 0,25 mg/kg/hari Setiap 8 jam

15
Maleat (dibagi 3 dosis)
Antihistamin H1 (generasi ke-2, nonsedatif)
Setirizin 0,25 mg/kg/kali 6-24 bulan: 2 kali/hari
>24 bulan: 1 kali/hari
Fexofenadin 6-11 tahun: 30 mg 2 kali/hari
> 12 tahun: 60 mg
Dewasa : 120 mg 1 kali/hari
Loratadin 2-5 tahun: 5 mg 1 kali/hari
> 6 tahun: 10 mg
Desloratadin 6-11 bulan: 1 mg 1 kali/hari
1-5 tahun: 1,25 mg
6-11 tahun: 2,5 mg
>12 tahun: 5 mg
Antihistamin H2
Cimetidine Bayi: 10-20 mg/kg/hari Tiap 6-12 jam (terbagi 2-4 dosis
Anak: 20-40 mg/kg/hari
Ranitidine 1 bln-16 tahun: 5-10 mg/kg/hari Tiap 12 jam (terbagi dalam 2 dosis)
B. Penanganan Khusus
Dilakukan sesuai dengan diagnosis jenis urtikaria

C. Penanganan Topikal
Untuk mengatasi pruritus, dapat diberikan lotion calamin atau bedak salisilat.

Urtikaria kronim biasanya lebih sukar diatasi. Idealnya adalah etap identifikasi
dan menghilangkan faktor penyebab, namun hal ini juga sulit dilakukan. Untuk
ini, selain antihistamin H1, juga dapat menambahkan obat antihistamin H2.
Kombinasi lain yang dapat diberikan adalah antihistamin H1 dan H2 pada malam
hari atau antihistamin H1 dengan antidepresan trisiklik. Pada kasus berat dapat
diberikan antihistamin H1 dengan kortikosteroid jangka pendek.

Suportif
 Lingkungan yang bersih dan nyaman (suhu ruangan tidak terlalu panas
atau pengap, dan ruangan tidak penuh sesak). Pakaian, handuk, sprei,
dibilas bersih dari sisa deterjen dan diganti lebih sering.
 Pasien dan keluarga diedukasi untuk kecukupan hidrasi, dan
menghindarkan garukan untuk mencegah infeksi sekunder

Indikasi Rawat

16
Urtikaria yang meluas dengan cepat (hitungan menit-jam) disertai dengan
angioedema hebat, distres pernapasan, dan nyeri perut hebat.

Prognosis
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat
ditemukan dan diatasi, sedangkan urtikaria kronis lebih sulit diatasi karena
penyebabnya sulit dicari. Pada umumnya, prognosis urtikaria dapat dikatakan
baik, tetapi karena urtikaria merupakan bentuk kutan anafilaksis sistemik, dapat
saja terjadi obstruksi jalan napas karena adanya edema laring atau jaringan di
sekitarnya, atau anafilaksis sistemik yang dapat mengancam jiwa.
DAFTAR PUSTAKA

Aisah, Siti. 2007. Urtikaria. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Disunting oleh
Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, dan Siti Aisah. Jakarta: FK UI
Grattan, C.E.H dan Humphreys, F. 2007. Guideline For Evaluation And
Management Of Urticaria In Adults And Children. British Journal of
Dermatology 157. Halaman 1116-1123
Hay, Levin, Sondheimer, Deterding. 2009. Current Diagnosis and Treatment in
Pediatrics 19th Edition. New York: McGraw Hill
Huang, Shih Wen. 2010. Pediatrics Angioedema. [serial online].
http://emedicine.medscape.com/article/885100-overview. [20 Mei 2011].
IDAI. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
IDAI. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi I.
Kulszicky, Anthony. 2010. Urticaria and Angioedema. Immuno VI 05/10.
Halaman 1-12.
Leung, D.Y.M. 2007. Urticaria And Angioedema (Hives). Nelson Textbook Of
Pediatrics 17th Edition. Saunders: Philadelphia
Matondang, Soepriyadi, Setiabudiawan. 2007. Urtikaria-Angioedema. Buku Ajar
Alergi-Imunologi Anak Edisi Kedua. Disunting oleh Akib, Munash dan
Kurniati. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Ogbru, O. 2005. Montelukast, Singulair. [serial online].

17
http://www.medicinenet.com/montelukast/article.htm. [1 Juni 2011]
Schwartz, M.W. 2005. Pedoman Klinis Pediatri. Alih bahasa oleh Pendit,
Hartawan, Iqbal, dan Yurita. Clinical Handbook of Pediatrics. Jakarta:
EGC

18

Anda mungkin juga menyukai