Anda di halaman 1dari 8

PENDAHULUAN

Ayam pedaging (broiler) merupakan salah satu komoditi unggas yang memberikan
kontribusi besar dalam memenuhi kebutuhan protein asal hewani bagi masyarakat
Indonesia.Kebutuhan daging ayam setiap tahunnya mengalami peningkatan, karena harganya
yang terjangkau oleh semua kalangan masyarakat.. Broiler adalah jenis ternak unggas yang
memiliki laju pertumbuhan yang sangat cepat, karena dapat dipanen pada umur 5
minggu.Keunggulan broiler didukung oleh sifat genetik dan keadaan lingkungan yang meliputi
makanan, temperatur lingkungan, dan pemeliharaan. (Umam, 2015)

Usaha ternak ayam potong (broiler atau ras pedaging) merupakan ternak yang
memberikan kontribusi terbesar dalam penyediaan daging nasional untuk memenuhi kebutuhan
protein hewani masyarakat. Potensi ini harus dimanfaatkan untuk memberdayakan peternak di
pedesaan melalui pemanfaatan sumber daya secara optimal. (Bahari, 2012)

Usaha ternak potong yang biasa dilakukan adalah usaha kemitraan. Pola kemitraan ini
melibatkan inti dan plasma. Beberapa pola kemitraan dapat dilakukan dengan cara tertulis dan
juga lisan. Pola kemitraan tertulis memiliki perjanjian terikat yang dibuat dengan surat perjanjian
kerjasama yang didalamnya terdapat ketentuan; ketentuan hak dan kewajiban yang harus
dipenuhi oleh pihak inti dan plasma. Sedangkan pola lisan hanya kesepakatan lisan saja.

Setiap hubungan kerjasama antar inti plasma dipastikan tidak semuanya berjalan dengan
baik, beberapa alasannya yaitu dikarenakan tidak sesuainya kesepakatan kemitraan, tidak
sesuainya dengan peraturan dan kebijakan pemerintah hingga perbuatan inti yang bisa saja
memonopoli plasma dikarenakan kebanyakan dari plasma hanya peternak kecil. Maka dari itu
perlu dianalisis apa saja penyimpangan yang terjadi pada kesepakatan bermitra dan hubungannya
dengan peraturan dan kebijakan pemerintah.

1
PEMBAHASAN

Ayam Broiler di Indonesia

Ayam broiler merupakan salah satu jenis ayam potong yang produksinya selalu
mengalami peningkatan setiap tahun. Harganya yang bersahabat oleh rakyat serta dapat diolah
menjadi berbagai jenis olahan menjadi alasan mengapa daging ayam menjadi daging primadona.
Keuntungan bagi peternak ayam broiler juga dapat dirasakan secara signifikan. Berikut
merupakan data produksi daging ayam broiler berdasarkan Direktorat Jendral Peternakan dan
Kesehatan Hewan Kementrian Pertanian 2017:

No. Tahun Produksi (ton)


1 2013 1.497.874
2 2014 1.544.379
3 2015 1.628.307
4 2016 1.905.497
5 2017* 1.848.061
*) Angka Sementara

Produksi daging adalah karkas hasil pemotongan ternak di wilayah tersebut ditambah
dengan edible offal (bagian yang dapat dimakan) selama waktu tertentu. ( Direktorat Jendral
Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2017)

Produksi unggas yang terus meningkat diharapkan bahwa Indonesia tidak lagi
berketergantungan dengan impor. Peternak ayam pedaging yang dilakukan di Indonesia dibagi
menjadi dua pola yaitu pola peternak mandiri dan pola peternak mitra. Pada pola mitra
melibatkan dua pihak yaitu peternak inti (perusahaan) dan peternak plasma (peternak). Pada
dasarnya setiap pola peternakan ini pasti terlibat dan peraturan dan kebijakan pemerintah.
Pemerintah memiliki peran yang sangat penting untuk perkembangan peternakan unggas, baik
itu untuk menangani kerja sama terhadap pola peternakan kemitraan, pengawasan terhadap
pelaksanaan peternakan, hingga aktivitas jual-beli yang dilakukan antar inti dan plasma.

Melalui UU Nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Pasal 31
angka 1, pemerintah menganjurkan peternak untuk melakukan kemitraan usaha dengan pihak
lain berdasarkan perjanjian yang saling menguntungkan dan berkeadilan. Pasal 1 angka 1 PP

2
Nomor 44 tahun 1997 tentang Kemitraan, mendefenisikan kemitraan adalah kerjasama usaha
antara usaha kecil dengan menengah dan atau usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan
oleh usaha menengah dan atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan,
memperkuat dan saling menguntungkan. (Maryati, 2018)

Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999

Kontrak kemitraan unggas memuat pasal yang mengikat pihak peternak untuk
menyerahkan tindakan pemasaran/ penjualan hasil produksinya kepada pihak perusahaan.
Sehingga pihak peternak tidak memiliki akses alternatif untuk memasarkan hasil produksinya.
Seluruh kontrak kemitraan unggas ini bersifat tertutup dan dibuat serta disusun sepihak oleh
perusahaan, sehingga format dan klausal yang tertera merupakan aturan yang pasti dari pihak
perusahaan untuk dipatuhi oleh peternak. Kontrak kemitraan unggas ini dikaji dengan Undang-
undang nomor 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat, khususnya pasal 15 yang berbunyi sebagai berikut :

(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau
tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu atau pada
tempat tertentu.

(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia
membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok (3) Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau
jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa
dari pelaku usaha pemasok; harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku
usaha pemasok; atau tidak akan membeli barang atau jasa yang sama atau sejenis dari
pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

Pada suatu perjanjian yang dilakukan peternak inti dan plasma memiliki beberapa
klausula dari perjanjian kemitraan unggas yang diduga melanggar pasal 15 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 mengenai perjanjian tertutup. Adapun klausula yang diduga melanggar
tersebut seperti : Selama perjanjian ini berlangsung, PIHAK KEDUA tidak diperkenankan untuk
memelihara ayam atau memakai sapronak dari pihak lain, selain dari sapronak PIHAK
PERTAMA

Pasal di atas menunjukkan bahwa pihak peternak (kedua) sangat dirugikan karena :

a) Tidak memiliki alternative pasokan sapronak. Padahal bisa saja sapronak dari pihak
pertama tidak kontinyu atau jumlahnya terbatas. Pasal ini tidak memberikan kesempatan
pihak kedua mencari sapronak dari pihak lain bilamana sapronak dari pihak pertama tidak
kontinyu atau terbatas ;

3
b) Tidak memiliki alternatif sapronak yang lebih murah. Padahal bisa saja sapronak dari
pihak pertama sangat mahal. Namun perjanjian ini mengikat peternak untuk wajib
membeli sapronak dari pihak pertama dengan harga yang ditetapkan oleh mereka.

Selanjutnya contoh klausula yang diduga melanggar Undang-Undang nomor 5 Tahun


1999 adalah sebagai berikut : Karenanya PIHAK KEDUA memberikan kuasa kepada PIHAK
PERTAMA untuk mencarikan pembeli ayam tersebut dan menagih serta menerima hasil
penjualan ayam tersebut untuk melunasi harga sapronak tersebut kepada PIHAK PERTAMA.

Pasal di atas menunjukkan bahwa kerjasama kemitraan ini mengikat pihak kedua karena :

a) Tidak memiliki kepastian waktu panen. Bisa saja pihak pertama melakukan waktu panen
yang cepat (walaupun belum siap untuk dipanen) bilamana harga jual di pasaran sangat
mahal. Demikian pula sebaliknya, bisa saja menunda panen ketika harga jatuh, padahal
usia panen sudah mencukupi. Padahal pada usia tertentu bila tidak dipanen akan
menyebabkan kerugian peternak, karena ayam akan mengonsumsi pakan yang besar yang
tidak sesuai lagi dengan pertambahan bobot ayam;
b) Tidak memiliki alternatif pembeli dan harga jual. Peternak dilarang menjual produksinya
kepada pihak lain. Padahal pihak lain berpeluang membeli dengan harga lebih mahal,
pembayaran lebih cepat serta pelayanan transportasi untuk menjemput hasil panen.

Berdasarkan penelitian maka kontrak kemitraan unggas akan menyebabkan:

a) Plasma tidak memiliki alternatif untuk memperoleh sarana produksi dengan harga dan
kualitas terbaik dari pihak lain.
b) Plasma tidak memiliki alternatif waktu dan harga terbaik untuk menjual produksinya.

Pelaksanaan kemitraan sesuai dengan surat kesepakatan kerjasama yang telah dibuat
walaupun pada kontrak tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.Namun ada beberapa
kesepakatan yang tidak dilaksanakan oleh kedua belah pihak misalnya waktu panen dan waktu
pembayaran hasil usaha yang lambat sehingga berpengaruh pada hubungan usaha inti dan
plasma. (Sirajuddin, 2015)

Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997

Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan menyebutkan:


Menteri dan menteri teknis memberikan bimbingan atau bantuan lainnya yang diperlukan usaha
kecil bagi terselenggaranya kemitraan. Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa :
Bimbingan dan bantuan tersebut meliputi antara lain penyusunan perjanjian dan persyaratannya.
Pasal 19 ini menyebutkan tentang peran pemerintah dalam membantu dan memfasilitasi
pelaksanaan kemitraan bagi pengusaha kecil. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa bimbingan
dan bantuan tersebut meliputi antara lain penyusunan perjanjian dan persyaratannya.

4
Penjelasan pasal 19 tersebut mengindikasikan bahwa peternak berhak untuk ikut
menyusun perjanjian bahkan berhak untuk mendapatkan bimbingan dari pihak pemerintah saat
menyusun perjanjian tersebut. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan responden peternak
mengungkapkan bahwa peternak tidak terlibat dalam pembuatan perjanjian kemitraan tersebut,
juga tidak ada bimbingan dalam penyusunan perjanjian atau persyaratannya karena perjanjian
tersebut telah dibuat atau dicetak oleh pihak perusahaan inti. Padahal sesuai dengan Pasal 19
tersebut seharusnya mitra usaha yaitu peternak plasma juga mempunyai hak untuk ikut
menentukan isi perjanjian. Hal ini merupakan salah satu penyimpangan dari pelaksanaan Pasal
19 tersebut.

Sampai saat ini kondisi tersebut masih berlangsung, sementara dari pihak pemerintah
sendiri sepertinya tidak bisa memberikan jalan keluar agar aspirasi peternak plasma dapat
terakomodasi dalam perjanjian kerja sama yang mereka tanda tangani. Peran pemerintah untuk
mengawasi dan melindungi peternak plasma yang belum nampak implementasinya ditambah lagi
dengan posisi peternak yang lemah dengan latar belakang pendidikan yang tergolong rendah
membuat perusahaan inti lebih leluasa untuk bersikap semaunya. Situasi yang ada cenderung
dimanfaatkan oleh perusahaan inti.

Masalah-masalah yang terjadi dalam pelaksanaan kemitraan antara peternak plasma


dengan PT Ciomas Adisatwa adalah rendahnya harga jual hasil produksi, pembagian kelebihan
harga jual tidak ada perhitungan yang jelas peternak plasma hanya diberikan seadanya, resiko
gagal panen sepenuhnya dibebankan kepada pihak plasma walaupun penyebab gagal panennya
adalah wabah penyakit, sering terlambat panen dan pihak inti tidak melayani protes dari
peternak. (Maryati, 2018)

Permenkeu No 213 Tahun 2011 dan UU No 18 tahun 2009 Pasal 20-23

Hal lain yang menyangkut pakan adalah kebijakan tarif terhadap bahan baku pakan
ternak antara 0-5 persen (Permenkeu No 213 Tahun 2011), kebijakan pengawasan terhadap
pengadaan dan peredaran bahan pakan, termasuk pemasukan pakan dari luar negeri, pengaturan
mengenai batasan tertinggi cemaran dalam pakan, standar atau persyaratan teknis pakan
termasuk untuk pakan tujuan ekspor dan impor (UU No 18 tahun 2009 Pasal 20-23). Adanya
kebijakan pengenaan tarif terhadap bahan baku pakan ternak dan kebijakan pengawasan terhadap
pengadaan dan peredaran bahan pakan, pemasukan pakan, termasuk persyaratan teknis pakan
menyebabkan harga pasar lebih tinggi. (Herawati, 2016)

5
PP 44 tahun 1997

Pelaksanaan program kemitraan dilihat dari tingkat pelaksanaan kewajiban dan hak yang
harus dipenuhi masing-masing pihak (perusahaan dan peternak) dalam menjalankan kemitraan di
Kabupaten Lima Puluh Kota baik pola PIR ataupun non-PIR telah berjalan dengan kategori
sesuai dengan kesepakatan yang dibuat. Akan tetapi, bila dilihat dari pelaksanaan kewajiban dan
hak masing-masing pelaku sebagaimana diatur dalam PP 44 tahun 1997 belum dijalankan
dengan baik.

Peran masing-masing pelaku kemitraan PIR maupun non PIR baru dijalankan dengan
kategori rendah sampai sedang. Hal ini disebabkan oleh kesepakatan kerjasama yang dibuat
antara pelaku kemitraan belum sepenuhnya memuat aturan yang ada dalam peraturan pemerintah
tentang kemitraan. Perusahaan mitra hanya baru memenuhi perannya pada 2 aspek yaitu : 1)
telah memberikan pembinaan dan penyediaan sarana produksi peternakan seperti DOC, pakan
dan obat-obatan, 2) aspek pembinaan dan pengembangan teknologi yang berhubungan dengan
budidaya broiler. Pada aspek permodalan, aspek pemasaran, pembinaan dan pengembangan
sumberdaya manusia, aspek manajemen masih terabaikan. Disisi lainnya peran peternak mitra
sebagai telah dijalankan dengan cukup baik, dimana lebih dari 75% peternak plasma telah
memenuhi perannya dalam hal penyediaan kandang dan perlengkapan kandang, tenaga kerja,
melaksanakan ketentuan teknis dan kegiatan budidaya sesuai dengan ketentuan dari perusahaan
dan melakukan penjualan ternak ke perusahaan mitra. Hanya pada aspek peningkatan
manajemen dan organisasi diantara sesama peternak plasma belum tercipta sampai saat ini.
Untuk peran pemerintah atau lembaga pembina lainnya belum berperan penuh dalam
pelaksanaan kegiatan kemitraan didaerah ini.

6
KESIMPULAN

Berdasarkan data sekunder yang didapat bahwa beberapa kesepakatan bermitra tidak
semuanya saling menguntungkan serta sesuai dengan peraturan dan kebijakan pemerintah.
Dimulai dari perjanjian tertulis yang tidak memiliki kesamaan hak antar inti dan plasma,
kemudian beberapa pelaksanaan inti dan plasma yang belum adil serta adanya penyimpangan
dari kesepakatan seperti waktu panen dan waktu pembayaran hasil usaha yang lambat. Salah satu
pengaruh kebijakan pemerintah adalah harga pasar menjadi lebih tinggi lebih tinggi yang
disebabkan oleh kebijakan pengenaan tarif terhadap bahan baku pakan ternak dan kebijakan
pengawasan terhadap pengadaan dan peredaran bahan pakan, pemasukan pakan, termasuk
persyaratan teknis pakan

7
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. (2017). Statistik Peternakan dan
Kesehatan Hewan 2017. Kementrian Pertanian.

Bahari. (2012). Analisis contract farming usaha ayam broiler. Jurnal Agro Ekonomi, 109-127.

Herawati, M. (2016). Daya saing budidaya ayam ras pedaging pada berbagai pola usaha. JIIA,
277-284.

Maryati. (2018). Perlindungan hukum bagi peternak ayam broiler dalam pola kemitraan inti
plasma dengan PT Ciomas Adisatwa di Kabupaten Kerinci. Wajah Hukum, 56-77.

Nofianti, S. (n.d.). Analisis Pelaksanaan Program Kemitraan Pemeliharaan Broiler di


Kabupaten Lima Puluh Kota. Payakumbuh.

Sirajuddin, S. N. (2015). Analisis kontrak sistem kemitraan ayam ras pedaging dan kaitannya
dengan undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat. JITP, 79-84.

Umam, M. K. (2015). Penampilan produksi ayam pedaging yang dipelihara pada sistem lantai
kandang panggung dan kandang bertingkat. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, 79-87.

Anda mungkin juga menyukai