Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Thermodinamika memainkan peran penting dalam analisis sistem dan piranti yang
ada didalamnya terjadi perpindahan formasi energi. Implikasi thermodinamika bercakupan
jauh, dan penerapannya membentang ke seluruh kegiatan manusia. Bersamaan dengan
sejarah teknologi kita, perkembangan sains telah memperkaya kemampuan kita untuk
memanfaatkan energi dan menggunakan energi tersebut untuk kebutuhan masyarakat.
Kebanyakan kegiatan kita melibatkan perpindahan energi dan perubahan energi.
Thermodinamika merupakan ilmu tentang energi, yang secara spesific membahas
tentang hubungan antara energi panas dengan kerja. Seperti telah diketahui bahwa energi
didalam alam dapat terwujud dalam berbagai bentuk, selain energi panas dan kerja, yaitu
energi kimia, energi listrik, energi nuklir, energi gelombang elektromagnit, energi akibat gaya
magnit, dan lain-lain . Energi dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk lain, baik secara alami
maupun hasil rekayasa tehnologi. Selain itu energi di alam semesta bersifat kekal, tidak dapat
dibangkitkan atau dihilangkan, yang terjadi adalah perubahan energi dari satu bentuk menjadi
bentuk lain tanpa ada pengurangan atau penambahan. Prinsip ini disebut sebagai prinsip
konservasi atau kekekalan energy.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun masalah yang akan dibahas pada makalah ini yaitu:
Apa pengertian dari hukum-hukum Termodinamika?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan Makalah ini yaitu:
Dapat memahami bentuk-bentuk energi thermodinamika
Dapat mengetahui hukum-hukum dari Thermodinamika
1.4 Manfaat
Makalah ini dapat memberikan beberapa manfaat, diantarnya dapat menambah wawasan dan
pengetahuan bagi pembaca.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Dasar Termodinamika


Thermodinamika adalah ilmu tentang energi, yang secara spesific membahas
tentang hubungan antara energi panas dengan kerja. Seperti telah diketahui bahwa energi
didalam alam dapat terwujud dalam berbagai bentuk, selain energi panas dan kerja, yaitu
energi kimia, energi listrik, energi nuklir, energi gelombang elektromagnit, energi akibat gaya
magnit, dan lain-lain . Energi dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk lain, baik secara alami
maupun hasil rekayasa tehnologi. Selain itu energi di alam semesta bersifat kekal, tidak dapat
dibangkitkan atau dihilangkan, yang terjadi adalah perubahan energi dari satu bentuk menjadi
bentuk lain tanpa ada pengurangan atau penambahan. Prinsip ini disebut sebagai prinsip
konservasi atau kekekalan energi.
2.2 Kerja dan Panas
Kerja
Kerja dapat didefinisikan sebagai hasil kali antara gaya dan jarak. Kerja dapat berupa
kerja mekanik seperti pada pengembangan es, dapat pula berupa kerja elektrik, kerja
magnetik, dan bentuk-bentuk kerja yang lain. Gambar 2.1 memperlihatkan bagaimana kerja
terbentuk pada saat gas berkembang.

Gambar 2.1 pengembangan gas pada suhu dan tekanan luar (Pekst) tetap.
Bila diasumsikan gesekan antara torak dan wadah bersifat licin sempurna dan tekanan
udara diatas torak sama dengan nol (tidak ada tekanan atmosfer), maka bila gas berkembang,
gas hanya mendapat gaya ke bawah sebesar berat torak yang mempunyai massa m. Kerja
yang diperlukan untuk menggerakkan torak sejauh ∆h adalah:

W = −gaya  jarak

= −mg  ∆h kg m2 det-2
W= −mg ∆h J (2.1)
Tanda negatif digunakan sesuai perjanjian. Menurut perjanjian, apabila suatu sitem
melakukan kerja terhadap lingkungannya maka energi sistem akan berkurang, karena itu
digunakan tanda negatif. Jadi W nilainya negatif. (jika gas ditekan, ∆h akan negatif dan W
akan positif).

Tekanan yang bekerja pada gas ( Pekst ) sama dengan gaya/luas.


Pekst = mg/A (2.2)
A = luas torak
Dengan mensubtitusikan persamaan diatas, akan diperoleh :
W = −Pekst A∆h
A∆h = volume gas, jadi:
W = −Pekst∆V (2.3)
∆V = perubahan volume
Persamaan 2.3 hanya berlaku pada tekanan tetap.
Contoh perhitungan
Misalkan satu mol gas ideal suhu 298 K mempunyai tekanan 2 atm. Volume gas dapat dicari
menggunakan persamaan gas ideal:
V = RT/P
= (0.08206 L atm mol-1 K-1) (298K)/ (2atm)
= 12.2 L
Jadi keadaan awal gas (P1,V1,T) adalah 1 atm, 12,2 liter, 298 K) misalkan pada
keadaan akhir gas mempunyai tekanan 1 atm, sedangkan suhunya sama. Volume gas bila
dihitung dengan persamaan gas ideal akan mempunyai nilai 24.4 liter. Jadi, P2, V2, T = 1
atm, 24,4 liter, 298 K. Sudah dinyatakan di muka bahwa banyaknya kerja yang terlibat dalam
proses akan tergantung pada bagaimana proses melalui dua jalur yang berbeda seperti pada
gambar 2.2.
Gambar 2.2. ketergantungan kerja pada jalur yang ditempuh.
Pada jalur 1, tekanan gas secar tiba-tiba diturunkan menjadi 1 atm, baru gas dibiarkan
mengembang ada tekanan tetap sampai mencapai volume 24,4 liter. Kerja yang terbentuk
pada jalur ini dapat dihitung dengan persamaan 2.3.
W1 = −P∆V

=−(1atm)[(101.32 Nm-2)/1 atm](24.4 – 12.2 )L10-3m3/1 liter


= −1236 Nm
= −1236 J
{1 atm = 101.325 N m-2}
Pada jalur 2, gas dibiarkan mengembang pada tekanan tetap sampai mencapai volume 24.4
liter, baru kemudian tekanannya secara tiba-tiba diturunkan menjadi 1atm .
W2 = −P∆V

= −(2 atm)[(101.325 N m-2)/1 atm]( 24.4 – 12.2 )L10-3m3/1 liter


W2 = −2472 J
Tanda negatif menunjukkan bahwa energi sistemberkurang. Jadi terlihat bahwa jumlah kerja
yang terlibat akan sangat bergantung pada jalannya proses.
Panas
Pengertian panas berbeda dengan pengertian suhu. Panas merupakan faktor eksentif
artinya bergantung pada jumlah zat. Sedangkan suhu adalah faktor intensif dan besarnya
tidak tergantung pada jumlah zat.
Jumlah kuantitas panas biasanya diberi simbol q dan besarnya bergantung pada tiga
faktor yaitu, suhu, jenis zat, dan banyaknya zat. ketiga faktor tadi digabungkan menjadi satu
dalam kapasitas panas. Kapasitas panas suatu zat adalah banyaknya panas yang dibutuhkan
untuk menaikkan suhu 1C. Panas jenis adalah banyaknya yang dibutuhkan untuk menaikkan
suhu 1 gram zat 1C. Kapasitas panas molar adalah banyaknya panas yang dibutuhkan
untuk menaikkan suhu 1 mol zat 1C.
Panas dan kerja merupakan dua besaran yang saling berhubungan. Hal ini telah
dibuktikan oleh Joule dengan percobaannya yaitu joule dapat memperlihatkan bahwa suhu air
dapat dinaikkan hanya denagan gesekan sudu-sudu yang digerakkan dengan jalan
menjatuhkan beban. Dengan percobaan itu Joule memperlihatkan bahwa panas dan kerja
sebenarnya dua bentuk energi yang berbeda. Nisbah antara jumlah kerja dan panas yang
dihasilkan pada percobaan itu dikenal sebagai “tara kalor mekanik”.

2.3 Hukum Termodinamika I


Jika kalor diberikan kepada sistem, volume dan suhu sistem akan bertambah (sistem akan
terlihat mengembang dan bertambah panas). Sebaliknya, jika kalor diambil dari sistem,
volume dan suhu sistem akan berkurang (sistem tampak mengerut dan terasa lebih dingin).
Prinsip ini merupakan hukum alam yang penting dan salah satu bentuk dari hukum kekekalan
energi. Sistem yang mengalami perubahan volume akan melakukan usaha dan sistem yang
mengalami perubahan suhu akan mengalami perubahan energi dalam. Jadi, kalor yang
diberikan kepada sistem akan menyebabkan sistem melakukan usaha dan mengalami
perubahan energi dalam. Prinsip ini dikenal sebagai hukum kekekalan energi dalam
termodinamika atau disebut hukum I termodinamika. Secara matematis, hukum I
termodinamika dituliskan sebagai :

∆U= q + W (2.4)

Q bertanda + bila energi diserap sistem

Q bertanda – bila energi dilepas sistem

W bertanda + bila sistem dikenai kerja

W bertanda – bila sistem melakukan kerja

(note : kadang – kadang untuk energi dalam sigunakan E)

Dimana Q adalah kalor, W adalah usaha, dan ∆U adalah perubahan energi dalam. Secara
sederhana, hukum I termodinamika dapat dinyatakan sebagai berikut.

Jika suatu benda (misalnya krupuk) dipanaskan (atau digoreng) yang berarti diberi kalor
Q, benda (krupuk) akan mengembang atau bertambah volumenya yang berarti melakukan
usaha W dan benda (krupuk) akan bertambah panas yang berarti mengalami perubahan
energi dalam ∆U.
∆U tidak bergantung pada jalannya proses, besaran ini hanya bergantung pada keadaan
awal dan keadaan akhir. ∆U dikenal sebagai fungsi keadaan karena hanya tergantung pada
kondisi yang mencirikan sistem dan tidak bergantung pada bagaimana kondisi itu tercapai.
Nilai ∆U dapat diukur dengan kalorimeter bom.

∆U tidak bergantung pada jalannya proses, besaran ini hanya bergantung pada keadaan
awal dan keadaan akhir. ∆U dikenal sebagai fungsi keadaan karena hanya tergantung pada
kondisi yang mencirikan sistem dan tidak bergantung pada bagaimana kondisi itu tercapai.
Nilai ∆U dapat diukur dengan kalorimeter bom. Kalorimeter bom terdiri dari tabung baja
tebal dengan tutup kedap udara. Ejumlah tertentu zat yang akan diuji, ditempatkan dalam
cawan platina. Sebuah kumparan besi yang diketahui beratnya (yang juga akan dibakar)
ditempatkan pada cawan platina sedemikian sehingga menempl pada zat yang akan diuji.
Kalorimeter bom kemudian akan ditututp dan tutupnya lalu dikencangkan. Setelah itu “bom”
dimasukkan kedalam kalorimeter yang diisi air. Setelah semuanya tersusun, sejumlah tertentu
aliran listrik dialirkan ke kawat besi dan setelah terjadi pembakaran, kenaikan suhu diukur.
Kapasitas panas (harga air) “bom”,kalorimeter, pengaduk, termometer ditentukan pada
percobaan terpisah dengan menggunakan zat yang diketahui panas pembakarannya dengan
tepat (biasanya asma benzoat).
Gambar 2.3 kalorimeter bom

Perhitungan
Dalam melakukan percobaan kuantitas yang diukur adalah
Harga air kalorimeter, penganduk, termometer = W gram
Berat air dalam kalorimeter = H gram
Berat zat yang diuji = S gram
Berat molekul zat = BM g/mol
Berat kawat besi = m gram
Panas pembakaran kawat besi = a J/g
Suhu air awal = T1 C
Suhu air akhir = T2 C
Panas jenis air = c J/g C
Panas pembakaran zat + panas pembakaran kawat besi + panas yang diserap air + panas yang
diserap “bom” = 0.
qv + am + cH (T2 – T1) + cW (T2 – T1) = 0
Jadi panas pembakaran zat pada volume tetap adalah :
qv = [c (T2 − T1) (H + W) + am]
Dimana qv = panas reaksi pada volume tetap
Menurut Hukum Termodinamika I
∆E = qv + W
= qv – Pekst ∆V
Tetapi dalam hal ini ∆V = 0, karena tidak terjadi perubahan volume, jadi :
∆E = qv (2.5)
Dalam percobaan di atas :
∆E = (BM/S)qv J mol-1
Persamaan reaksi untuk pembakaran 1 mol asam benzoat menghasilkan gas CO2 dan air
dapat ditulis:
C6H6O2(s) + 15/2 O2(g) → 7 CO2(g) + 3 H2O(l) ∆Ē = -3223 kJ/mol

Tanda garis di atas Ē menunjukkan bahwa jumlah produk dan reakstan dinyatakan dalam mol.
Tanda negatif pada ∆Ē berarti reaktan bersifat eksotermik (panas dilepaskan ke lingkungan
dan akibatnya energi dalam akan turun). Karena ∆Ē negatif , qv juga negatif. Satuan kJ/mol
tidak berarti bahwa jumlah produk atau reaktan tepat 1 mol tetapi ini hanya menunjukkan
jumlah mol reaktan dan produk sesuai dengan koefisien reaksi. Akibatnya nilai ∆Ē harus
selalu dihubungkan dengan reaksi terterntu.
2.4. Entalpi
Entalpi (E) adalah jumlah energi yang terkandung dalam suatu zat. Bila proses
berlangsung pada tekanan tetap , maka kalor yang terlibat dalam reaksi sama dengan
perubahan entalpi (∆E). Dengan menggunakan hukum termodinamika I akan diperoleh :
∆E = qp + W
= qp − Pekst ∆V
E2 – E1 = Qp – Pekst ( V2 − V1) atau
Qp = ( E2 + PV2) – ( E1 + PV1) (2.6)
Entalpi didefinisikan sebagai
H = E + PV (2.7)
Bila persamaan 2.7 disubtitusikan ke dalam persamaan 2.6, maka
qp = H2 – H1 = ∆H
Terlihat bahwa kenaikan entalpi sama dengan panas yang diserap apabila tidak ada kerja lain
kecuali kerja P∆V. Seperti halnya energi dalam, entalpi juga merupakan fungsi keadaan.
Untuk reaksi yang terjadi pada fase cair, ∆V biasanya kecil (0.1 liter atau kurang), sehingga
PV = 10 J mol-1 yang dianggap tidak berarti, sehingga untuk reaksi dalam fasa gas karena
untuk reaksi pada fasa gas sering kali perubahan volume tidak dapat diabaikan, sehingga ∆E
tidak sama dengan ∆H.
Contoh perhitungan
Hitung ∆H untuk reaksi berikut (T = 298 K)
C3H7OH(l) + 9/2 O2(g) → 3 CO2(g) + 4 H2O(l) ∆E = −2  103 kJ/mol
Dari persamaan 2.4 didapat :
∆H = ∆E + P∆V
Jika gas O2 dan CO2 pada reaksi di atas dianggap sebagai gas ideal, maka pada suhu dan
tekanan tetap dengan menggunakan gas ideal akan didapat:

P∆V = ∆nRT (2.8)

∆n = perbedaan jumlah mol gas


∆n = nproduk − n reaktan
Pada reaksi dia atas ∆n = 3 −9/2 = −3/2
Jadi:
∆H = −2000 + (−3/2 mol) (8.314 10−3 kJ mol K−1) (298 K)
= −2000− 3.72 kJ/mol
∆H = −2003.72 kJ/mol
Entalpi merupakan besaran yang relatif mudah untuk diukur. Besaran tersebut diukur
dengan menggunakan kalorimeter. Kalorimeter ini secara sederhana dapat dibuat dari bahan
yang mempunyai kapasitas panas yang rendah seperti cairan polistirena atau wadah sabun
plastik (B-29). Bahan-bahan tadi harus diisolasi dengan baik, misalnya saja dengan
menggunakan expanded polystyrene (styrofoam) yang biasa digunakan dalam pengepakan.
Contoh perhitungan
Lima puluh gram air dimasukkan ke dalam sebuah kalorimeter. Kemudian suhunya diukur
dan ternyata besarnya 30.5 C. Lima puluh gram air pada wadah lain dipanaskan,kemudian
sesaat sebelum dimasukkan ke dalam kalorimeter suhunya diukur dan ternyata besrnya 70.5
C. Setelah air panas tadi dimasukkan ke dalam kalorimeter, kalorimeter ditutup dan air
didalamya diaduk. Suhu kalorimeter tertinggi yang dapat dicapai adalah 42.2 C. Hitung
kapasitas panas dan atau harga air kalorimeter tersebut (panas jenis air adalah 4.184 J g-1 C)
Panas yang diserap air dingin yang terdapat dalam kalorimeter =
4.184 50 42.2 – 30.5) J = 2447.6 J
Panas yang dilepas air panas yang ditambahkan
4.184 50 (70.5 – 42.2 ) J = 5920.4 J
Panas yang dilepas air panas = panas yang diserap air + panas yang diserap kalorimeter (q)
5920.4 = 2447.6 + q
Jadi, q = 3472.8 J

Jadi kapasitas panas kalorimeter


= 3472.8 / (42.2 – 30.5) J C-1
= 297 J C-1
𝑘𝑎𝑝𝑎𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑝𝑎𝑛𝑎𝑠 𝑘𝑎𝑙𝑜𝑟𝑖𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟
Harga air kalorimeter = 𝑝𝑎𝑛𝑎𝑠 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑎𝑖𝑟

= 297/4.184 g
= 70.9 g
Kapasitas panas kalorimeter sebesar 297 J C-1 berarti bahwa unruk setiap kenaikan suhu
kalorimeter (termasuk pengaduk dan termometer) sebanyak 1 C, energi yang diperlukan
adalah 297 J. Kapasitas panas sebesar iniharus disertakan dalam perhitungan entalpi karena
nilainya cukup besar.
Panas yang diserap kalorimeter dapat dihitung baik dengan menggunakan kapasitas panas
ataupun dengan menggunakan harga air kalorimeter.
Panas yang diterima kalorimeter = kapasitas panas  (T2 –T1 )
Panas yang diserap kalorimeter = harga air kalorimeter 4.184  ( T2−T1 ).
Dimana T2 = suhu akhir, T1 = suhu awal

2.5. kapasitas panas


Kapasitas panas didefenisikan sebagai banyaknya panas yang diperlukan untuk menaikkan
suhu suatu zat sebanyak 1C. Banyakknya panas yang dibutuhkan akan bergantung pada cara
panas itu diserap atau dilepaskan. Panas dapat diserap dalam keadaan volume tetap atau
dalam keadaan tekanan tetap. Telah diperlihatkan bahwa kapasitas pana pada volume tetap
Cv adalah
(𝜕𝐸)
Cv = ( 𝜕𝑇
)v (2.9)

Dan kapasitas panas pada tekanan tetap adalah:


𝜕𝐻
Cp = ( 𝜕𝑇 )p (2.10)

dengan mengintegralkan persamaan 2.9 dan 2.20 akan diperoleh:


𝑇2
∆E = ∫𝑇1 𝐶𝑣 𝜕𝑇 = 𝐶𝑣 ( 𝑇2 − 𝑇1 )

∆E = Cv∆T (2.11)
𝑇
∆E = ∫𝑇 2 𝐶𝑝 𝜕𝑇 = 𝐶𝑝 ( 𝑇2 − 𝑇1 )
1

∆E = Cp ∆T (2.12)
Dalam hal di atas, diasumsikan bahwa nilai Cp dan Cv tidak berubah dengan
berubahnya suhu. (pada kenyataannya nilai Cp dan Cv sedikit berbeda pada suhu yang
berbeda.)
Selisih antara Cp dan Cv adalah :
𝜕𝐻 𝜕𝐸
Cp – Cv = ( 𝜕𝑇 )p − (𝜕𝑇 )V (2.13)

Berdasarkan persamaan 2.7. H = E + PV, karna itu


𝜕𝐻 𝜕𝐸 𝜕𝑉
( 𝜕𝑇 )p = (𝜕𝑇 )p+ (𝜕𝑇 )p (2.14)

Energi dalam juga dapat dituliskan dengan persamaan yang mirip dengan persamaan
2.14, karena E juga merupakan fungsi dari suhu dan volume. Karena itu energi dalam yaitu:
𝜕𝐸 𝜕𝐸
𝜕𝐸 = ( ) 𝑣 𝜕𝑇 + ( ) 𝑇 𝜕𝑉 (2.15)
𝜕𝑇 𝜕𝑉

Dengan menggunakan persamaan 2.15 terhadap suhu pada tekanan tetap akan diperoleh:
(𝜕𝐸/𝜕𝑇)𝑃 = (𝜕𝐸/𝜕𝑇)𝑉 + (𝜕𝐸/𝜕𝑉) 𝑇 (𝜕𝑉/𝜕𝑇)𝑃 (2.16)
Dan dengan mensubtitusikan persamaan 2.16 ke dalam persamaan 2.14 akan diperoleh
(𝜕𝐻/𝜕𝑇)𝑝 = (𝜕𝐸/𝜕𝑇)𝑣 + (𝜕𝐸/𝜕𝑉) 𝑇 (𝜕𝑉/𝜕𝑇)𝑝 + 𝑃(𝜕𝑉/𝜕𝑇)𝑝 (2.17)
Dan akhirnya dengan mensubtitusikan persamaan 2.17 ke dalam persamaan 2.13 akan
diperoleh
𝜕𝑉
Cp − Cv = (𝜕𝑇 ) 𝑝 [𝑃 + (𝜕𝐸/𝜕𝑉) 𝑇 ] (2.18)

Untuk gas ideal , energi dalam pada suhu tetap tidak bergantung pada volume, dengan kata
𝜕𝐸
lain untuk gas ideal (𝜕𝑉) 𝑇 = 0. Karna itu persamaan2.18 dapat disederhanakan menjadi
𝜕𝑉
Cp − Cv = 𝑃 (𝜕𝑇 ) 𝑝 (2.19)

Diperoleh bahwa untuk beberapa gas nyata nilai (𝜕𝐸/𝜕𝑉)𝑇 kecil, karena itu penyederhanaan
seperti pada persamaan 2.19 juga dapat untuk beberapa gas nyata. Menurut persamaan gas
ideal
PV = nRT, karena itu,
𝜕𝑉
P (𝜕𝑇 )p = nR (2.20)

apabila persamaan 2.20 disubtitusikan ke dalam persamaan 2.19 akan diperoleh


Cp – Cv = nR dan (2.21)
Čp −Čv = R (2.22)
Čp = kapasitas panas molar pada tekanan tetap
Čv = kapasitas panas molar pada volume tetap
Čv untuk gas monoatomik seperti helium adalah 3/2 R. karena itu untuk helium Čp = R + 3/2
R = 5/2 R
contoh perhitungan
hitung jumlah panas yang diperlukan untuk menaikkan 8 gram helium dari 298 K ke 398 K
pada tekanan tetap.
8 gram helium = 2 mol
menurut persamaan 2.22
Čp = Čv + R
= 3/2 R +R
= 5/2 R
= 20.8 J K-1 mol-1
qp = ∆H = n Čp ∆T
= 2  20.8  (398 – 298) J
= 4160 J
2.6 Termokimia
Reaksi kimia yang menyangkut pemecahan dan atau pembentukan ikatan kimia selalu
berhubungan dengan penyerapan atau pelepasan panas. Reaksi eksotermik adalah suatu
reaksi yang melepaskan panas. Panas reaksi adalah banyaknya panas yang dilepaskan atau
diserap ketika reaksi kimia berlangsung, banyaknya zat yang bereaksi dinyatakan dalam mol.
Contoh
N2(g) + 3 H2(g) → 2 NH3(g) ∆H = 100 kJ
Berarti bahwa apabila 1 mol gas N2 bereaksi dengan 3 mol gas H2 membentuk 2 mol gas
NH3, akan membebaskan panas sebesar 100 kJ.
Panas reaksi dapat dibedakan atas :
 panas pembentukan
entalpi pembentukan molar standar suatu senyawa adalah banyaknya panas yang
diserap atau dilepaskan ketika 1 mol senyawa tersebut dibentuk dari unsur-unsurnya
dalam keadaan standar. Panas pembentukan molar standar air dapat ditulis sebagai
berikut
H2(g) + ½ O2(g) → H2O(l)
∆Hf = −285.85 kJ/mol
 panas pembakaran
panas pembakaran suatu unsur atau senyawa adalah banyaknya panas yang dilepas
ketika 1 mol unsur atau senyawa tersebut terbakar sempurna dalam oksigen. Sebagai
contoh panas pembakaran molar ( ditandai dengan overbar H ) standar ( ditandai
dengan superskrip ) intan dan grafit dapat ditunjukan sebagai berikut :

C(grafit) + O2(g) → CO2 ∆Ĥ = −393 kJ/mol

C(intan) + O2(g) → CO2 ∆Ĥ = −395 kJ/mol

Perubahan keadaan, walaupun masih dalam fasa yang sama ( dalam hal ini grafit dan
intan keduanya berupa padatan ) akan mempengaruhi jumlah panas yang diserap atau
dilepaskan dalam suatu reaksi, dari kedua allotropi karbon di atas, grafit lebih stabil.
 panas netralisasi
panas netralisasi dapat didefinisikan sebagai jumlah panas yang dilepas ketika 1 mol
pana air terbentuk akibat reaksi netralisasi asam oleh basa atau sebaliknya. Untuk
netralisasi asam kuat oleh basa kuat, nilai ∆Ĥ selalu tetap yaitu −57 kJ/mol. Tetapi
jika basa lemah atau asam lemah dinetralisasi, panas netralisasinya selalu lebih kecil
dari −57 kJ/mol. Hal ini disebabkan bukan reaksi netralisasi yang terjadi, tetapi juga
reaksi ionisasi. Reaksi ionisasi bersifat endotermik.
HCN(aq) → H+ (aq) + CN−(aq) ∆H = +45 kJ/mol
Karena itu, akan didapat : (+45 – 57) kJ/mol = −12 kJ/mol.
 panas pelarutan
Jenis panas reaksi yang lain adalah panas yang dilepas atau diserap ketika 1 mol
senyawa dilarutkan dalam pelarut berlebih yaitu sampai suatu keadaan di mana pada
penambahan pelarut selanjutnya tidak ada panas yang diserap atau dilepaskan lagi.
Air biasanya dilarutkan sebagai pelaru tetapi dapat juga berbentuk cairan .
Contoh
NaCl(s) + aq → NaCl(aq) ∆H = +4 kJ/mol
 panas pengenceran
adalah banyaknya panas yang dilepaskan atau diserap ketika suatu zat atau larutan
diencerkan dalam batas konsentrasi tertentu. Contoh apabila gas HCL diencerkan
dengan sejumlah tertentu air, aka ddidapat persamaan yaitu :
HCL(g) + 25 H2O → HCl(aq) ∆H = 72.4 kJ
 hukum Hess
hukum ini menyatakan banyaknya panas yang dilepas ataupundiserap dalam suatu
reaksi kimia, akan selalu sama,tidak bergantung pada jalannya reaksi , apakah
berlangsung dalam satu tahapataukah beberapa tahap. Agar hukum ini berlaku
disyaratkan bahwa keadaan awal reaktan dan kadaan akhir prosuk pada berbagai
proses tersebut adalah sama.
Contoh perhitungan
Larutan NH4Cl dapat dibuat dari NH3(g) dan HCl(g) dengan menggunakan hukum
Hess
Kedua gas direasikan menghasilkan padatan NH4Cl :
NH3(g) + HCl(g) NH4Cl(s) ∆H = 176 kJ
Kemudian padatan NH4Cl dilarutkan dalam air berlebih :
NH4Cl(s) + aq → NH4Cl(aq) ∆H = +16
Panas total adalah
∆H1 + ∆H2 = −176 +16 = −160 kJ

 energi ikatan
Energi Ikata (EI) menyatakan besarnya kekuatan suatu ikatan-ikatan tertentu dalam
moleku. Untuk molekul diatomik, EI sama dengan D tetapi untuk poliatomik, nilai EI
berbeda dengan D, contoh
CH4(g)→ CH3(g) + H(g) ∆H = 434.7 kJ/mol
CH3(g) → CH2(g) + H(g) ∆ H = 443.9 kJ/mol
Pada kedua reaksi di atas, ikatan yang dipecah adalah sama yaitu ikatam C-H, tetapi
energi yang dibutuhkan masing-masing brbeda. Karena itu untuk menetukan energi
ikatan C-H dalam molekul CH4 diambil nilai rata-rata dari total energi yang
dibutuhkan untuk memutuskan ke empat ikatan C-H dalam molekul CH4 tersebut.
 Variasi ∆Hr dengan suhu
∆Hr = ∆Hproduk − ∆Hreaktan
∆Hproduk = entalpi pembentukan produk
∆Hreaktan = entalpi pembentukan reaktan
Contoh perhitungsn
Entalpi untuk reaksi berikut adalah :
C(s) + ½ O2 (g) CO(g) H pada 298 K = ̶ 110.5 kJ/mol
Berapa panas reaksi pada suhu 498 Kbila kapasitas panas standar untuk O2(g), C(s),
dan CO(g) adalah 29.36; 8.64; dan 29.14 J K-1mol-1
29.36
(29.14−( )−8.64)
H498 − H298 = 2
kJ K-1 mol-1 (498+298)
1000

= 1.16 kJ mol-1
Karena itu, ∆H°498 = (̶ 110.5 + 1.16) kJ mol-1
= ̶ 109.34 kJ mol-1
Terlihat bahwa perbedaan sebesar 1.16 kJ/mol akibat perubahan suhu nilainya kecil
( ̴1) sehingga dapat diabaikan.
2.7. perubahan spontan dan entropi
Perubahan spontan adalah suatu perubahan yang terjadi tanpa perlu bantuan dari luar
sistem. Perubahaan ini akan berlangsung sampai terjadi keadaan seimbang dan setelah
keadaan ini tercapai perubahan akan terhenti, contoh nya es yang sedang mencair. Dalam
bidang kimian pun terdapat perubahan spontan, misalnya saja logam natrium yang
dimasukkan ke dalam air, proses netralisasi asam-basa, dan proses pengkaratan besi.
Pada mulanya para ilmuwan menggunakan entalpi ∆H sebagai kriteria untuk
menentukan spontan tidaknya suatu reaksi. Bila ∆H negatif, yaitu bila reaksi eksotermik
maka reaksi akan spontan, sebaliknya bila ∆H positif reaksi akan nonspontan. tetapi dalam
kenyataannya banyak reaksi kimia yang tidak memenuhi kriteria diatas. Reaksi endotermik
banyak yang bersifat spontan, misalnya saja amonium nitrat yang dilarutkan dalam air dan es
yang meleleh pada suhu ruang merupakan contoh proses endotermik yang spontan. Jadi, ∆H
tidak dapat dijadikan sebagai kriteria untuk menentukan spontatidaknya suatu reaksi.
Perhatikan pencampuran dua gas ideal seperti terlihat pada gambar .dua gas ideal
yang berbeda yaitu A dan B ditempatkan di dalam dua wadah gelas bebeda yang
dihubungkan dengan tabung gas berkeran. Tekanan dua gas tersebut sama. Apabila keran
dibuka, kedua gas akan segera bercampur secara spontan . pencampuran ini bukan
disebabkan perbedaan tekanan karena tekanan kedua gas sama, juga bukan disebabkan
perubahan suhu karena kedua gas bersifat ideal, sehingga ∆H = 0. Karna volume tidak
berubah satu hal yang berubah dalam sistem tersebut di atas adalah derajat keteraturan. dapat
dikatakan bahwa keadaan awal mempunyai tingkat keteraturan yang lebih tinggi daripada
keadaan akhir. Ketika kedua jenis gat telah bercampur sepenuhnya, sistem telah mencapai
keadaan ketidakteraturan yang paling maksimum. Sifat termodinamika berhubungan dengan
derajat ketidakteraturan disebut entropi (S). Makin tinggi derajat ketidakteraturan suatu
sistem, nilai entropi akan semakin besar.

Proses spontan seperti yang terlihat pada gambar dapat dituliskan dengan cara berikut :

A(g) + B(g) → (A + B)(g)


campuran
jika SA(g) adalah entropi gas A, SB(g) adalah entropi gas B, dan Scampuran adalah entropi
campuran A dan B, maka:
∆S = Scampuran – [ 𝑆𝐴(𝑔) + 𝑆𝐵(𝑔)]
Dan karena Scampuran > [ 𝑆𝐴(𝑔) + 𝑆𝐵(𝑔)], maka ∆S bernilai positif. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa apabila ∆S bernilai positif, maka reaksi akan berlangsung spontan.
Tetapi tidaklah tepat apbila kita beranggapan bahwa ∆S merupakan satu-satunya kriteria untu
menunjukkan spontan tidaknyasuatu reaksi. Seperti akan dijelaskan nanti, akan tampak
bahwa baik ∆H maupun ∆S mempunyai peranan penting dalam menentukan spontan atau
tidaknya suatu reaksi.
Secara umum dapat dikatakan bahwa apabila dalam suatu reaksi kimia
ketidakteraturan sistem meningkat, maka ∆S > 0. Ada empat proses yang dapat menyebabkan
∆S > 0 yaitu:
1. Padatan menjadi cairan
2. Cairan menjadi gas
3. Jumlah molekul gas dalam suatu reaksi kimia meningkat.
4. Suhu zat bertambah

2.8 Hukum Termodinamika II

Hukum kedua termodinamika dalam konsep entropi mengatakan, "Sebuah proses alami
yang bermula di dalam satu keadaan kesetimbangan dan berakhir di dalam satu keadaan
kesetimbangan lain akan bergerak di dalam arah yang menyebabkan entropi dari sistem dan
lingkungannya semakin besar".
Apabila kita anggap alam semesta sebagai suatu sistem yang terisolasi, maka setiap proses yang
terjadi di dalam alam semesta akan meningkatkan total entropi dalam alam semesta tersebut.
Dengan kata lain, dengan adanya berbagai proses yang terdapat di dalam alam semesta, tingkat
ketidakteraturan alam semesta cenderung untuk meningkat. Pada kenyataannya setiap kejadian
merupakan proses pembauran. Bercampurnya gas seperti dimuka, mengalirnya panas dari benda
panas ke benda dingin, pembakaran bensin pada mesin mobil, dan banyak contoh peristiwa lain
yang menunjukkan kecendrungan meningkatnya entropi. Kita tidak dapat menjadikan suatu proses
atau reaksi nonspontan menjadi spontan tanpa meningkatnya entropi. Sebagai contoh kita dapat
mengganti logam pada mobil yang berkarat dengan logam yang baru, tetapi untuk memperoleh
logam pengganti, diperoleh energi untuk mengeluarkan biji logam dari tambang dan
memurnikannya, dengan adanya masukan energi kita telah meningkatkan entropi.

Proses Reversibel dan Irreversibel

Dalam suatu sistem, proses reversibel adalah suatu proses yang berlangsung sedemikian sehingga
setiap bagian sistem yang mengalami perubahan dikembalikan pada keadaan semula tanpa
menyebabkan suatu perubahan lain.

Contohnya, Pada suhu ruang es akan mencair secara spontan membentuk air. Peristiwa ini
menentukan salah satu proses alamiah yang spontan. Bila kita menggunakan frizzer untuk
membekukan air, kita harus menggunakan listrik sebagai sumber energi yang secara tidak langsung
akan meningkatkan entropi alam semesta. Secara umum dapat disimpulkan bahwa semua proses
spontan dapat bersifat irreversibel.

2.9 Termodinamika III

Menyatakan bahwa entropi suatu kristal sempurna pada suhu nol mutlak adalah nol. Untuk
menentukan entalpi suatu zat,ditetapkan bahwa nilai entalpi suatu elemen dalam keadaan standar
sama dengan nol. Berlainan dengan entalpi, berdasarkan hukum termodinamika III, entropi absolut
dapat ditentukan dan entropi absolut suatu zat selalu positif.

Pengukuran kapasitas panas pada suhu rendah dapat digunakan untuk mendapatkan nilai
entropi absolut. Hubungan entropi dengan kapasitas panas adalah :

𝑇 𝐶𝑝
ST = ∫0 𝑇
dT
𝑇1
= ∫0 𝐶𝑝 𝑑 ln 𝑇

ST = entropi absolut pada suhu T K

Cp = kapasitas panas pada tekanan tetap

Pada suhu yang sangat rendah (<10K). Di mana pengukuran kapasitas panas sukar dilakukan, nilai
entropi ditentukan dengan cara ekstrapolasi. Gambar memperlihatkan bagaimana hubungan antara
suhu dan entropi secara umum.

Gambar 2.5 variasi nilai entropi absolut pada berbagai suhu berbeda
Perubahan entropi selama perubahan fasa yaitu dari padat ke cair, cair ke gas, dan padatan II ke
padatan I ( padatan II dan padatan I mempunyai bentuk kristal yang berbeda) seperti pada gambar
dapat ditentukan menggunakan persamaan berikut

∆SI→II = ∆HI→II/T1

∆Speleburan = ∆Hpeleburan /T2

∆Spenguapan = ∆Hpenguapan / T3

T1, T2, dan T3 adalah suhu seperti terlihat pada gambar

( T3 = titik didih, T2 = titik lebur, T1 = titik transisi )

2.10 Energi bebas Gibbs

Menurut hukum termodinamika II , jika setiap proses yang terjadi dalam alam semesta
baik peristiwa fisika maupun kimia berlangsung spontan, maka total entropi alam semesta
akan meningkat. Secara matematik hal ini dapat ditulis:

∆Salam semesta > 0

Tetapi apbila proses berlangsung dalam suatu sistem yang merupakan bagian dari alam
semesta, selain perubahan entropi sistem, perubahan entropi lingkungan sekeliling sistem
juga harus diperhatikan. Secara matematik hal ini dapat ditulis:

∆Salam semesta = ∆Ssistem + ∆Slingkungan (2.23)

Untuk reaksi spontan berlaku :

∆Ssistem + ∆Slingkungan > 0 (2.24)

Perubahan entropi lingkungan untuk suatu proses yang reversible dapat dihitung dengan
persamaan :
( 𝒒𝒓𝒆𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊𝒃𝒍𝒆)
∆𝑆 = ( )lingkungan (2.25)
𝑻

Untuk kebanyakan proses, suhu dan tekanan lingkungan sekeliling sistem tetap,
sehingga perubahan entalpi sistem dapat dihubungkan deng perubahan panas lingkungan.
Berdasarkan hukum termodinamika I, didapat

∆𝐻 = −(qreversible)lingkungan (2.26)

Dengan mensubtitusikan persamaan 2.26 ke dalam persamaan 2.22 akan diperoleh :

∆Slingkungan = ∆Hsistem / T (2.27)


Bila suhu (T) lingkungan dan sistem sama, kita dapat mensubtitusikan persamaan 2.27 ke
dalam persamaan 2.24 sehingga untuk suatu perubahan spontan berlaku :

∆Ssistem − ∆Hsistem/T > 0

Dengan mengalikan kedua ruas dengan T akan dipperoleh,

T ∆Ssistem − ∆Hsistem > 0 (2.28)

Suatu besaran termodinamika yang baru yaitu energi bebas Gibbs. Besaran ini deberi
simbol G dan secara matematik dapat ditulis :

G = H – TS (2.29)

Pada suhu dan tekanan tetap, perbubahan energi bebas Gibbs dapa ditulis:

∆G = ∆H – T ∆S (2.30)

Bila persamaan 2.30 digabungkan ke dalam persamaan 2.28 akan diperoleh suatu kriteria
tunggal untuk meramalkan spontan tidaknya suatu reaksi yaitu suatu reaksi akan spontan
apabila :

∆Gsistem < 0

Dengan kata lain apabila pada suatu proses berlangsung pada suhu dan tekanan tetap, G
bernilai negatif, maka proses akan spontan.

Tabel pendugaan spontanitas reaksi dengan persamaan

∆G = ∆H – T ∆S
Energi Bebas Standar, ∆G

Agar hasi lpengukuran energi bebas yang dilakukan pada tempat yang berbeda dapat
dibandingkan, perlu ditentukan suatu kondisi standar dalam melakukan pengukuran energi
bebas tersebut. Berdasarkan perjanjian, kondisi standar adalah sebagai berikut :

 Padatan : zat murni pada P = 1 atm


 Cairan : zat murni pada P = 1 atm
 Gas : gas ideal pada Pparsial = 1atm
 Larutan : larutan ideal pada konsetrasi 1 M

Jadi, perubahan energi bebas standar ∆G, dapat dihitung apabila semua reaktan dan produk
berada dalam keadaan standar.

Berdasarkan perjanjian, ditetapkan pula bahwa energi bebas pembentukan standar (∆Gf)
suatu unsur dalam keadaan paling stabil pada tekanan 1 atm dan pada suhu tertentu adalah
nol.

Bila reaksi kimia dibalik, tanda ∆G akan berubah, seperti halnya entropi dan entalpi.

Contoh perhitungan

Fotosotesis yang terjadi pada tumbuhan hiju pada dasarnya adalah penggabungan CO2 dan
air membentuk glukosa dan oksigen. Reaksinya

6 CO2(g) + 6 H2O(l) → C6H12O6(s) + 6 O2(g)

Hitunglah
a. ∆H; b. ∆S ; c. ∆G reaksi di atas ; d. ∆Slingkungan ; e ∆Salam semesta

jawab
a. ∆H = [6(−393.51) + 6(−285.84)]− [−1274.45 + 6(0)]
= + 2801.65 kJ mol-1
b. ∆S dihitung denggan cara serupa dengan ∆H
∆S = [6(213.64) + 6(69.94)] − [212.13 + 6(205.03)]
= −259.2 JK-1 mol-1
c. ∆G = ∆H − T∆S
= 2801.65 − (298.15)(−259.2)/1000 kJ/mol
= + 2879 kJ mol-1
d. ∆Slingkungan = ∆Hsistem/T

= −2801.65 1000/298.15 J K-1/mol

= −9396.8 J K-1 mol-1

e. ∆Salam semesta = ∆Ssitem + ∆Sligkungan


= (−259.2) + (−9396.8)
= −9656 J K-1 mol-1

Jadi, reaksi bersifat tidak spontan pada segala suhu. Jadi tampak bahwa tanpa perlu
mengetahui mekanisme pembentukan glukosa pada fotosintesis, hanya berdasarkan data
termodinamika, kita dapat menduga bahwa reaksi fotosintesis di atas bersifat tidak spontan.
Karena fotosintesis di atas bersifat tidak spontan . karena fotosintesis terjadi pada sistem
makhluk hidup, haruslah ada suatu energi dari luar sistem agar reaksi fotosinesis di atas dapat
berlangsung.

Ketergantungan G pada suhu dan tekanan

Dari data perubahan entalpi bebas pembentukan standar, ∆Ḡf° kita dapat menghitung
perubahan energi bebas yang disebabkan perubahan suhu dan tekanan. Walaupun P
dinyatakan dalam atmosfer, tetapi perlu diingat bahwa persamaan sebenarnya adalah ln P
(atm/ 1 atm), sehingga atm saling menghilangkan.

2.11 Energi Bebas dan keseimbangan fasa

Diagram fasa suatu zat adalah penggambaran secara grafik fasa ( atau keadaan: padat,
cair, dan gas) zat pada berbagai suhu dan tekanan.Gambar memperlihatkan diagram fasa zat
S.

Garis pada diagram adalah batas yang merupakan kondisi suhu dan tekanan yang
memisahkan satu fasa dengan fasa lain. Apabila suhu dan tekana diatur sedemikian rupa
sehingga berada pada garis, dikatakan bahwa zat berada dalam kondisi kesimbangan pada
kedua fasa yang di pisahkan oleh garis tersebut . pada titik tripel, ketiga fasa yaitu padat, cair,
dan gas berada dalam keseimbangan.

Hukum fasa
Menyatakan bahwa :

f = c− p +2

C = jumlah komponen dalam sistem

P = jumlah dalam sistem

f = jumlah variabel (tekanan, suhu, dan komposisi)

Sebagai contoh, untuk suatu gas murni, hanya ada satu komponen dalam sistem tersebut
sehingga c = 1. Juga hanya ada satu fasa dalam sistem, sehingga p = 1. Jadi berdasarkna
persamaan f = 2 yang berarti diperlukan dua variabel untuk dapat mendefinisaikan secara
sempurna keadaan sistem gas murni tersebut. Kedua variabel tersebut misalnya adalah
tekanan dan suhu adalah tekanan dan suhu (volume dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan gas ideal bila suhu dan tekanan telah diketahui, volume tidak mutlak perlu
diketahui).

Perhatikan pada gambar p = 3 (padatan, cair dan gas); untuk suatu zat murni c= 1. Karena itu
berdasarkan persamaan f = 0 yang berarti untuk mendefenisikan tripel, tidak diperlukan
variabel baik berupa suhu, tekanan, ataupun volume, karena titik tripel suatu sistem sudah
terdefinisi dengan jelas.2.10 energi bebas dan kesetimbangan kimia

Telah diketahui bahwa reaksi akan berlangsung spontan bila ∆G = 0 dan tidak
berlangsung spontan bila ∆G = 0. Pada waktu ∆G = 0, sistem berada dalam keadaan
seimbang. Sebagai contoh perhatikan keseimbangan antara air dan es pada suhu 0 C (273.15
K) dan tekanan 1 atm :

H2O(s) ⇌ H2O(l)

Es air

Untuk proses diatas, nilai ∆G adalah sebagai berikut:

∆Ĝ = 0 = ∆Ĥ − ∆TŚ

Dengan mengubah susunan persamaan di atas akan diperoleh

∆TŚ = ∆Ĥ /T (2.31)

Panas peleburan es adalah 6.02 kJ/mol. Jadi dengan menggunakan persamaan 2.31 dapat
dihitung entropi peleburan yaitu ∆TŚpeleburan = 22 J K-1mol-1. Perhitungan di atas merupakan
salah satu contoh penggunaan keadaan keseimbangan.
Keadaan kesetimbangan dapat pula digunakan untuk menurunkan hubungan antara
∆Ĝ° dengan konstanta keseimbangan K. Perhatikan reaksi berikut yang terjadi dalam fasa
gas. Secara umum dapat ditulis:

a A(g) + b B(g) →c C(g) + d D(g)

A dan B = reaktan

C dan D = produk

a, b, dan c = koefisien reaksi

perubahan energi bebas untuk reksi di atas (dari kiri ke kanan adalah ):

∆G = (cĜC + dĜD )−(aĜA + bĜB) (2.32)

Berdasarkan persamaan 2.32, perubahan energi bebas untuk tiap individu gas adalah:

aĜA= aĜA + aRT ln PA

bĜB= bĜB + bRT ln PB (2.33)

cĜC= cĜC + cRT ln PC

dĜD= dĜD + dRT ln PD

dengan mensubsitusikan persamaan 2.33 ke dalam persamaan 2.32 akan diperoleh :

𝑐 𝑑
∆G (CĝC + dĜD − aĜA − bĜB) + RT ln ( 𝑃𝐶
𝑎
𝑃𝐷
)
𝑏 (2.34)
𝑃𝐴 𝑃𝐵

𝑃𝐶 𝑐 𝑃𝐷 𝑑
∆G = ∆G + RT ln (𝑃𝐴𝑎 𝑃𝐵𝑏 )

∆G = 0

𝑃𝐶 𝑐 𝑃𝐷 𝑑
∆G = − RT ln (𝑃𝐴𝑎 𝑃𝐵𝑏 ) (2.35)

= − RT ln Kp

Kp adalah konstanta keseimbangan dinyatakan dalam tekanan parsial dan sama dengan

𝑃𝐶 𝑐 𝑃𝐷 𝑑
( ) keseimbangan
𝑃𝐴𝑎 𝑃𝐵𝑏

Perlu diingat bahwa Kp tidak berdimensi. Hal ini disebabkan Kp dapat ditulis sebagai:
(𝑃𝑐 ⁄1 𝑎𝑡𝑚)𝑐 (𝑃𝐷 ⁄1 𝑎𝑡𝑚)𝑑
(𝑃𝐴 ⁄1 𝑎𝑡𝑚)𝑎 (𝑃𝐵 ⁄1 𝑎𝑡𝑚)𝑏

Di mana tiap tekanan parsial dibagi dengan tekanan gas dalam keadaan standar yaitu 1 atm.

Perlu diingat bahwa persamaan hanya berlaku untuk gas ideal. Bila asumsi gas ideal
tidak dapat dipenuhi, tekanan gas harus diganti dengan fugasitas yang diberi simbol f.
Apabila kita menggunakan fugasitas, sebenarnya di dalamnya sudah tercakup penggunaan
faktor koreksi. Faktor koreksi yang memperhitungkan ketidakidealan suatu gas disebut
koefisien fugasitas yang diberi simbol y. Koefisien fugasitas berhubungan dengan fugasitas
menurut persamaan.

fgas = y P gas

Untuk gas ideal y =1, untuk gas tak ideal, pada tekanan rendah, y < 1 sedangkan pada
tekanan tinggi, y >1

Apabila kita perhatikan persamaan tampak bahwa spontanisitas suatu reaksi kimia tidak
hanya bergantung pada ∆G, tetapi juga bergaantung pada faktor RT ln Kp. Hal ini dapat
dilihat dari nilai ∆G yang bergantung pada ∆G maupun pada nisbah hasil kali tekanan parsial
produk dan reaktan. ∆G =∆G hanya terjadi apabila Kp=1. Untuk suatu reaksi pada suhu
tertentu, ∆G selalu tetap sedang ∆G dapat berubah-ubah.

Sering kali konstanta keseimbangan tidak dinyatakan dalm tekanan (Kp), tetapi dinyatakan
dalam konsentrasi (Kc). Untuk mengatasi hal di atas , dapat diturunkan suatu persamaan yang
menghubungkan Kp dengan Kc sebagai berikut menurut persamaan gas ideal:

PA = nART/V = CART

PB = nBRT/V = CBRT (2.36)

PC = nCRT/V = CCRT

PD = nDRT/V = CDRT

Bila persamaan 6 disubtitusikan ke dalam persamaan Kp, akan di peroleh :

𝑃𝐶 𝑐 𝑃𝐷𝑑 (𝐶𝑐 𝑅𝑇)𝑐 (𝐶𝐷 𝑅𝑇)𝑑 𝐶𝑐 𝑐 𝐶𝐷 𝑑


Kp = 𝑃𝐴𝑎 𝑃𝐵𝑏
= =
(𝐶𝐴 𝑅𝑇)𝑎 (𝐶𝐵 𝑅𝑇)𝑏 𝐶𝐴𝑎 𝐶𝐵𝑏
(𝑅𝑇)𝑐+𝑑−𝑎−𝑏

Kp = Kc (RT)∆𝑛
∆n=( c+d ) – (a+b)

𝐶𝑐 𝑐 𝐶𝐷 𝑑
Kc = konstanta keseibangan dinyatakan dalam kosentrasi = 𝐶𝐴𝑎 𝐶𝐵𝑏

Ketergantungan konstanta keseimbangan terhadap suhu

Persamaan van’t Hoff adalah persamaan yang dapat digunakan untuk menentukanan
perubahan konstanta keseimbangan akibat perubahan suhu. Persamaan itu dapat diturunkam
sebagai berikut :

∆Ĝ = ∆Ĥ−T∆Ś

Dengan mebagi kedua ruas dengan T dipeloleh :

∆Ĝ/T = ∆Ĥ/T −∆Ś

Apabila G disubtitusikan dengan menggunakan persamaan 2.35 akan diperoleh :

−(RT ln K)/T = ∆Ĥ/T −∆Ś

ln K = − ∆Ĥ/RT− ∆Ś/R (2.37)

Persamaan di atas dikenal sebagai persamaan vant hoff. Bila persamaan di atas diplotkan
dengan ln K sebagai sumbu y dan 1/T sebagai sumbu x seperti terlihat pada gambar akan
diperoleh sebuah garis lurus dengan slope yang negatif yaitu ∆Ĥ/R dan memotong sumbu y
pada ∆Ś/R.
Untuk meningkatkan ketepatan , sering kali konstanta keseimbangan diukur pada dua
suhu yang berbeda , dalam hal ini dengan mengasumsikan bahwa ∆H dan ∆S tidak berubah
dengan berubahnya suhu persamaan 2.37 akan menjadi:
𝐾 ∆Ĥ 1 1
ln 𝐾1 = (𝑇 − )
2 𝑅 2 𝑇1

Pada kenyataan ∆Ĥ dan ∆Ś akan sesikit berubah bila suhu berbeda. Jadi apabila misalnya
hendak ditentukan nilai ∆Ĝ pada suhu yang berbeda dengan yang tercantum dalam tabel
biasanya (298.15 K) dengan mengkonsumsikan ∆Ĥ dan ∆Ś dipengaruhui suhu, dapat
digunakan persamaan Gibbs-Helmholtz :

∆Ĝ = ∆Ĥ − ∆Ś


DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Termodinamika
http://www.cuacajateng.com/hukumpertamathermodinamika.html
http://www.forumsains.com/fisika-smu/bunyi-hukum-ke-2-thermodynamics/
http://adeputriprasetya.blogspot.com/2009/11/hukum-3-termodinamika.html
www.infofisioterapi.com/info/makalah-termodinamika.html
www.bebas.vlsm.org/v12/sponsor/.../0285%20Fis-1-5b.html
http://odimirakoyukieto.blogspot.com/2011/06/makalah-kimia-fisik-termodinamika.html
http://termodinamika1.wordpress.com/2007/12/08/materi-perkuliahan/
http://khairunnisa2.blogspot.com/2013/03/konsep-dasar-termodinamika.html

Anda mungkin juga menyukai